Latar Belakang - Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) Pada Tegakan Agroforestri Di Kabupaten Langkat

  

PENDAHULUAN

Latar Belakang

  Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui konversi hutan merupakan penyebab dalam pemanasan global. Pemanasan global akibat meningkatnya gas rumah kaca telah mempengaruhi ekosistem bumi yang terjadinya perubahan suhu, ketersediaan air, dan meningkatnya akumulasi karbon (C) yang disebabkan oleh konsentrasi CO 2 meningkat (Murdiyarso et al., 1994).

  Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis. Untuk menurunkan dampak dari pemanasan global ini adalah dengan upaya mitigasiyaitu berupa upaya untuk menstabilkan konsentrasi CO di atmosfer yang

  2

  salah satunya dengan cara melakukan penanaman jenis tanaman berkayu pada areal-areal hutan dan lahan yang terdegradasi.

  Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon di atmosfer. Menurut Utami et. al. (2003) agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang berfungsi produktif dan protektif. Sistem agroforestri berkontribusi mengurangi peningkatan CO atmosfer dan gas rumah kaca lainnya dengan cara meningkatkan

  2

  karbon dalam tanah dan mengurangi tekanan untuk pembukaan lahan hutan, dimana karbon yang berasal dari CO

  2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan dalam bentuk biomassa.

  Sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman musiman bila ditinjau dari cadangan karbon. Hal ini disebabkan bermacam-macam kualitasnya serta terjadi secara terus menerus. Walaupun peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan suatau tawaran yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan karbon pada lahan-lahan terdegradasi (Widianto et al., 2003).

  Sejauh ini praktek agroforestri telah banyak ditemukan di berbagai tempat di Indonesia terutama di Kabupaten Langkat. Sampai saat ini data dan potensi agroforestri khususnya di Kabupaten Langkat belum banyak diketahui dan belum dianggap sebagai salah satu sumber daya yang mampu mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan. Melalui penelitian ini akan dilakukan pendugaan karbon tersimpan pada tegakan agroforestri (kebun campuran) dengan mengambil studi kasus pada Kecamatan Sei Bingei, Kecamatan Bahorok, dan Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Langkat mencatat luas kebun campuran sekitar 112.912,79 ha dan tiga kecamatan yang telah disebutkan memiliki potensi yang cukup besar. Untuk mengetahui seberapa besar karbon tersimpan maka digunakan metode yang sudah ada sebelumnya (allometrik) dan menggunakan informasi dari data penginderaan jarak jauh serta pengukuran di lapangan.

  Tujuan Penelitian 1.

  Untuk menghitung C-stock pada permukaan tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat.

2. Untuk memetakan sebaran karbon pada tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat dengan menggunakan metode NDVI.

  Manfaat Penelitian 1.

  Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan khususnya bagi peneliti terkait dengan biomassa karbon tersimpan pada lahan agroforestri

2. Sebagai informasi bagi dunia pendidikan, penelitian, masyarakat umum, dan lembaga terkait dalam pengelolaan sumber daya alam.

TINJAUAN PUSTAKA

  Biomassa dan Pemanasan Global

  Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr per m

  2

  atau ton per ha (Brown, 1997).

  Pada ekosistem daratan, cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok yaitu:

  1. Bagian hidup (biomassa): massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, ranting dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

  2. Bagian mati (nekromassa): masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun- daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.

  3. Tanah (bahan organik tanah): sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm. Ketiga komponen karbon berdasarkan keberadaannya di alam dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu: a. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:

  • Biomassa pohon. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomassa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang (dan tinggi pohon, jika ada).
  • Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan).
  • Nekromassa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan karbon yang akurat.
  • Seresah. Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.

  b. Karbon di dalam tanah, meliputi:

  • Biomassa akar. Akar mentransfer karbon dalamjumlah besarlangsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar
diestimasi berdasarkan diameter akar (akar utama), sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang

  • Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada dipermukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah. Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan karbon (rosot karbon = karbon sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan karbon tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO

  2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun

  pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO

  2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya

  menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka jumlah karbon tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO

  2 di udara harus dikendalikan dengan jalan

  meningkatkan jumlah serapan CO oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan

  2

  pelepasan (emisi) CO

  2 ke udara serendah mungkin. Jumlah karbon tersimpan

  dalam setiap penggunaan lahan tanaman, serasah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan karbon (Hairiah et al., 2007).

  Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat

  (serasah), hewan dan jasad renik. Biomassa ini merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula, bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol, dan senyawa lainnya (Arief, 1994).

  Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan ini mengikat karbondioksida (CO

  2 ) dari udara dan mengubahnya menjadi bahan organik

  melalui proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini diawali dengan pengambilan karbondioksida dari udara dan air dari tanah oleh tumbuh-tumbuhan berklofil hijau. Dengan bantuan klorofil a dan b dan dibawah pengaruh sinar matahari sebagai energi, tumbuh-tumbuhan mampu mengubah karbondioksida dan air menjadi gula, air dan oksigen atau zat asam. Energi cahaya matahari yang tertangkap dalam proses fotosintesis itu akhirnya diubah menjadi energi kimia yang tersimpan dalam zat-zat organik seperti gula, tepung, lemak dan sebagainya diubah menjadi energi kimia oleh tumbuh-tumbuhan hijau ini digunakan untuk membentuk bahan-bahan organik, yang semakin lama semakin tinggi kadar energinya (Zebua, 2008).

  Perubahan iklim global pada dekade terakhir ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO

  2 ). Indonesia sebagai negara penyumbang CO 2 terbesar ketiga di dunia,

  dengan emisi CO

  2 rata-rata per tahun 3000 Mt atau berarti telah menyumbangkan

  sekitar 10% dari total emisi CO

  2 di dunia. Meningkatnya konsentrasi CO

  2

  disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat antara lain pembakaran hutan dalam skala luas secara bersamaan dan pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan-lahan pertanian (Hairiah, K. et.al., 2007).

  Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang paling ekstensif misalnya agroforestri kompleks yang menyerupai hutan hingga paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur. Pengukuran secara kuantitatif C tersimpan dalam berbagai macam penggunaan lahan perlu dilakukan.

  Untuk itu diperlukan metoda pengukuran standar yang baku dan telah dipergunakan secara luas, agar hasilnya dapat dibandingkan antar lahan dan antar lokasi.

  Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO

  2 ) melalui proses

  fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan vegetasi baik pohon, semak, liana dan, epifit merupakan bagian dari biomassa atas permukaan. Di bawah permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan karbon mungkin lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada di atas permukaan. Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar.

  Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah karbon yang terserap dari atmosfer.

  Potensi Agroforestri dalam Menyerap Karbon

  Pembiayaaan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia umumnya berasal dari hasil ekploitasi sumberdaya alam, industri dengan teknologi yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam mengakibatkan terjadinya deforestsi, konversi lahan pertanian, dan pencemaran lingkungan. Keadaan ini diperparah oleh lemahnya pemahaman etika lingkungan dan cenderung antroposentris dan eksploitatif. Jika deforestasi dan konversi lahan semakin tidak terkendali dikhawatirkan berdampak luas diantaranya pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan terjadinya hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan perubahan iklim global.

  Terkait dengan upaya menekan efek gas rumah kaca yaitu mengurangi perlu mendapat perhatian. Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan sebuah rekomendasi Protokol Kyoto, dalam pelaksanaannya mengacu kepada tiga aspek pembangunan berkelanjutan yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta berkelanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance) (Riyadi, 2005).

  Konsep agroforestri yaitu suatu sistem pertanian berbasis pepohonan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan kelestarian alam merupakan suatu alternatif yang paling sesuai dalam menjawab tantangan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sistem agroforestri beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomassanya juga tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat (Roshetko et al., 2002).

  Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan dengan mengkombinasikan beberapa macam pohon baik dengan atau tanpa tanaman semusim atau ternak, pada lahan yang sama untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan. Pada dasarnya agroforestri mempunyai beberapa komponen penyusun utama yaitu pohon (tanaman berkayu), tanaman non -pohon, ternak, dan manusia (Suprayogo et al., 2003).

  Pemilihan pohon yang akan ditanam pada suatu lahan memiliki dua alasan bangunan, kayu bakar, obat-obatan dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat pelayanan adalah untuk pengendalian erosi, meningkatkan kesuburan yanah, konservasi biodiversitas dan untuk penyimpanan karbon serta mengurangi efek rumah kaca. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis untuk ditanam yaitu tujuan penanaman, jenis potensi, dan jenis yang bisa tumbuh di lokasi yang bersangkutan. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, sengon, petai, jati, dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro, dan kaliandra (Suryanto et al., 2005).

  Potensi penyerapan karbon dari sistem agroforestri didasarkan kepada menentukan rosot karbon di atmosfer secara signifikan melalui kecepatan pertumbuhan dan produktifitas. Dengan memperhitungkan pohon dalam produksi pertanian, agroforestri dapat meningkatkan penyimpanan karbon pada lahan untuk kebutuhan tanaman pertanian. Konsep agroforestri dinilai mempunyai nilai lebih pada komponen-komponen kesuburan tanah, variasi spesies, dan konsepnya yang menyeluruh. Alasan utama yang mendasari potensi agroforestri dalam mengurangi emisi karbon yaitu banyaknya lahan di daerah tropis yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan meningkatnya penerapan sistem agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan potensi yang nyata sebagai sumber biotik karbon dan meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam dan hutan tanaman, kayu yang diproduksi sering dipakai sebagai kayu bakar menggantikan bahan bakar mengurangi tekanan terhadap penebangan hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang tidak diperbaharui.

  Widianto et al. (2003) menyatakan bahwa bila ditinjau dari cadangan karbon, sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman musiman. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang memiliki biomassa tinggi dan masukan serasah yang bermacam-macam kualitasnya serta terjadi secara terus-menerus. Walaupun peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan suatu tawaran yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan karbon

  Kawasan penyangga yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser cukup banyak menerapkan agroforestri dalam pemanfaatan lahan masyarakat seperti Bahorok. Vegetasi asli daerah penelitian menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1995) adalah hutan hujan tropis. Pada daerah-daerah yang relatif datar terdapat berbagi jenis komoditi pertanian baik tanaman perkebunan dan industri (kemiri, kulit manis, kopi, karet, dan kelapa sawit) maupun tanaman pangan, palawija, dan hortikultura. Komoditi tanaman hutan asli daerah yang banyak dibudidayakan adalah sungkai dan jenis yang banyak diintroduksikan yaitu mahoni, sengon, mindi, dan jati.

  Metode Allometrik untuk Menduga Cadangan Karbon

  Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi karbon diatas permukaan dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah.

  Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon bawah permukaan meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi) serta hamparan lahan gambut (Hairiah et al., 2007).

  Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas permukaan. Teknik untuk mengukur biomassa bisa dilakukan dengan metode destruktif dan menggunakan persamaan allometrik. Penggunaan metode destruktif sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika pemecahannya dapat digunakan persamaan allometrik yang telah disusun dari tanaman yang sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan diameter dan tinggi tanaman. Pada Tabel 1 disajikan rumus-rumus allometrik untuk menduga biomassa tanaman. Karbon atas permukaaan dapat diduga jika biomassa telah diketahui. Persamaan allometrik merupakan persamaan yang menghubungkan dimensi-dimensi dari pohon dengan nilai biomassa pohon. Setiap tanaman yang berbeda akan memiliki pola yang berbeda untuk membentuk persamaan allometrik ini (Pearson et al., 2007).

  Tabel 1. Rumus-rumus allometrik untuk menduga biomassa beberapa jenis tanaman yang umum ditanam pada lahan agroforestri No. Jenis Tanaman Rumus Allometrik Sumber

  2.831

  1. Sengon AGB est = 0.0272 D Sugiharto, 2002

  2.06

  2. Kopi AGB est = 0.281 H D Arifin, 2001

  1.98

  3. Kakao AGB est = 0.01208 D Yuliasmara et al., 2009

  2.68

  4. Mahoni AGB est = 0.048 D Adinugroho, 2001

  2.62

  5. Pohon bercabang AGB est Ketterings, 2001 = 0.11 ρ D

  2

  6. Pohon tidak bercabang AGB est /4 Hairiah et al., 1999 = π ρ H D

  7. Karet AGB est = -3,84 + 0,528×BA +

  ICRAF, 200

  2

  0,001×BA

  2.30

  8. Jati AGB est = 0.20091 D Hendri, 2001

  Keterangan: B = berat kering (kg) H = tinggi pohon (cm) D = diameter (cm) 3 ρ = berat jenis kayu (g/cm ) 2 BA = basal area (cm )

  Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan (Gibbs et al., 2007).

  Biomassa dapat diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau dikembangkan dengan persamaan allometrik yang telah disusun sebelumnya (Brown, 1997). Model pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter tinggi dan diameter pohon (Johnsen et al., 2001).

  Bentuk percabangan dan produksi biomassa pohon dalam sistem agroforestri dipengaruhi oleh pengelolaannya seperti pemangkasan, pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan penyiangan. Dengan demikian, persamaan allometrik yang digunakan untuk menaksir biomassa pohon berbeda dengan yang digunakan untuk pohon yang tumbuh di hutan.

  Estimasi Cadangan Karbon Menggunakan Data Penginderaan Jauh

  Adanya perubahan tutupan lahan di suatu wilayah dapat mengindikasikan dinamika cadangan karbon di wilayah tersebut. Misalnya, aktivitas konversi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya menyebabkan terjadinya penurunan jumlah cadangan karbon. Kuantifikasi perubahan lahan yang terjadi dalam satu rentang waktu, dapat dilakukan dengan menganalisa citra satelit (misalnya Landsat) dari waktu pengambilan yang berbeda yang didukung oleh peta tutupan lahan, topografi, tanah dan sebagainya (Hairiah et al., 2011).

  Saat ini terdapat tiga pendekatan untuk menduga atau memonitor biomassa, yaitu modeling, pengukuran lapangan, dan penginderaan jauh. Diantara tiga pendekatan, pengukuran langsung di lapangan dipertimbangkan lebih dapat dipercaya dan lebih teliti dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya. Meskipun demikian, pendekatan ini mahal dan resolusi spasial data dalam studi di lapangan terbatas. Dengan memadukan data spasial dan atribut kedalam SIG, maka integrasinya (Penginderaan Jauh dan SIG) akan menawarkan suatu metoda untuk menduga biomassa pada skala wilayah yang sangat besar, dimana ketersediaan data kehutanan terbatas. Fungsi hutan sebagai penyerap karbon membuat informasi mengenai penting. Salah satu cara menghitung kuantitas kandungan karbon tersimpan dalam biomassa hutan diatas permukaan tanah didasarkan pada pengukuran lapangan di tingkat plot kemudian nilai biomassa ini dikonversi menjadi kandungan karbon.

  Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh, misalnya citra Landsat, SPOT maupun Aster bersama dengan data lapangan memiliki potensi yang baik dalam pengembangan model estimasi cadangan karbon hutan. Penggunaan teknik penginderaan jauh dimaksudkan untuk memberikan penilaian umum tentang penutupan vegetasi, tidak hanya tentang lokasi proyek tetapi juga daerah di sekitarnya.

  Data sinar tampak (visible) dan infra merah (infrared) dari satelit penginderaan jauh optis secara umum digunakan untuk klasifikasi tutupan lahan sedangkan data pankromatik dapat menyediakan informasi tekstur yang sangat boundaries ) (Roswiniarti, 2008).

  Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian dirubah menjadi informasi distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spektralnya menjadi biomassa berdasarkan pengukuran contoh/sampel plot di lapangan untuk tipe vegetasi tertentu serta menghubungkannya dengan nilai NDVI. Tahap berikutnya adalah membuat peta distribusi/penyebaran biomassa berdasarkan peta penyebaran tipe vegetasi hasil interpretasi citra satelit dan cek lapangan, kemudian mengkonversi peta biomassa menjadi peta sebaran cadangan karbon dengan mengalikan nilai biomassa dengan faktor 0,5 (Murdiyarso, 2002 ).

  Secara garis besar, tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

  1. Pengolahan awal data satelit; mencakup koreksi atmosfer, koreksi radiometrik, dan koreksi geometri.

  2. Klasifikasi data satelit berdasarkan tutupan lahannya; memilih sistem klasifikasi tutupan lahan yang sesuai dengan kondisi studi area. Kelas tutupan lahan yang umum digunakan adalah hutan primer, hutan sekunder, perkebunan/semak/ belukar, dan lahan terbuka.

  3. Perhitungan indeks vegetasi dari citra untuk menganalisa kondisi vegetasi, misalnya NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Index).

  4. Survei vegetasi untuk mengetahui jumlah biomasa di lapangan berdasarkan kelas hasil klasifikasi tutupan lahan. Inventarisasi biasanya dilakukan pada plot-plot pengukuran lapangan untuk mendapatkan jumlah biomassa diatas

  Umumnya pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik. Biomassa yang diukur umumnya berupa biomassa pohon tegakan (diatas permukaan tanah) yang dihitung berdasarkan penjumlahan biomassa batang, cabang, dan daun.

  5. Analisa data surveivegetasi untuk mendapatkan rata-rata biomasa berbagai jenis tutupan lahan

  6. Penghitungan karbon untuk seluruh jenis tutupan lahan (berdasarkan hasil klasifikasi data satelit) dan analisa potensi biomasa.

  7. Korelasi antara NDVI dan data survei vegetasi.

  Hasil pengideraan jauh dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk membagi area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relatif homogen. Hasil pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan pengambilan data lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil pengideraan jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar (Roswiniarti, 2008).