Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) Pada Tegakan Agroforestri Di Kabupaten Langkat

PENDUGAAN CADANGAN KARBON Above Ground Biomass (AGB) PADA TEGAKAN AGROFORESTRI DI KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI Oleh :
Yusrani Dwi Paulina Malau 081201059
Manajeman Hutan
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

PENDUGAAN CADANGAN KARBON Above Ground Biomass (AGB) PADA TEGAKAN AGROFORESTRI DI KABUPATEN LANGKAT
SKRIPSI
Oleh : Yusrani Dwi Paulina Malau
081201059 Manajeman Hutan Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarajana di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

LEMBAR PENGESAHAN

Judul

: Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB)

pada Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat


Nama

: Yusrani Dwi Paulina Malau

NIM : 081201059

Program Studi : Manajemen Hutan

Ketua

Disetjui Oleh Komisi Pembimbing

Rahmawaty, S.Hut, MSi, Ph.D

Anggota Riswan S.Hut

Mengetahui, Ketua Program Studi Kehutanan
Siti Latifah S. Hut, M.Si, Ph.D


ABSTRAK
Yusrani Dwi Paulina Malau. Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) pada Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat. Dibimbing oleh Rahmawaty dan Riswan.
Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui konversi hutan merupakan penyebab dalam pemanasan global. Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon di atmosfer. Sistem agroforestri berkontribusi mengurangi peningkatan CO2 atmosfer dan gas rumah kaca lainnya dengan cara meningkatkan karbon dalam tanah dan mengurangi tekanan untuk pembukaan lahan hutan, dimana karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan dalam bentuk biomassa. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung C-stock dan untuk memetakan sebaran karbon pada tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat dengan menggunakan data penginderaan jarak jauh. Perhitungan kandungan karbon dilakukan tanpa melakukan pengrusakan dengan menggunakan metode allometrik dan metode lanskap (NDVI).
Jenis-jenis vegetasi yang ada di lahan sebaran agroforestri di Kabupaten Langkat yaitu sengon, mindi, sungkai, coklat, mangga, mahoni, nangka, durian, karet, kemiri, jati, jengkol, petai, dan duku. Jumlah cadangan karbon pada tegakan agroforestri di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok, dan Kecamatan Wampu yaitu 58,438 ton/ha, 63,005 ton/ha, dan 56,76 ton/ha. Perbedaan perolehan kandungan karbon dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, keragaman ukuran diameter dan sebaran berat jenis vegetasi.
Hasil analisis indeks vegetasi NDVI dengan data lapangan (karbon) menghasilkan persamaan regresi linier sederhana yaitu Y = 33,62+43,53x dengan nilai koefisien korelasi yaitu 0,807. Dari hasil yang diperoleh menunjukkan adanya hubungan linier yang sangat baik sehingga dapat dikatakan hasil estimasi cadangan karbon yang dilakukan dapat menjelaskan keadaan yang ada di lapangan.
Kata kunci: Agroforestri, Kandungan Karbon, NDVI, Biomassa

PENDAHULUAN
Latar Belakang Perubahan tata guna lahan dan perubahan penutupan lahan melalui
konversi hutan merupakan penyebab dalam pemanasan global. Pemanasan global akibat meningkatnya gas rumah kaca telah mempengaruhi ekosistem bumi yang terjadinya perubahan suhu, ketersediaan air, dan meningkatnya akumulasi karbon (C) yang disebabkan oleh konsentrasi CO2 meningkat (Murdiyarso et al., 1994).
Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis. Untuk menurunkan dampak dari pemanasan global ini adalah dengan upaya mitigasiyaitu berupa upaya untuk menstabilkan konsentrasi CO2 di atmosfer yang salah satunya dengan cara melakukan penanaman jenis tanaman berkayu pada areal-areal hutan dan lahan yang terdegradasi.
Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon di atmosfer. Menurut Utami et. al. (2003) agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang berfungsi produktif dan protektif. Sistem agroforestri berkontribusi mengurangi peningkatan CO2 atmosfer dan gas rumah kaca lainnya dengan cara meningkatkan karbon dalam tanah dan mengurangi tekanan untuk pembukaan lahan hutan, dimana karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan dalam bentuk biomassa.
Sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman musiman bila ditinjau dari cadangan karbon. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang memiliki biomassa tinggi dan masukan serasah yang

bermacam-macam kualitasnya serta terjadi secara terus menerus. Walaupun peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan suatau tawaran yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan karbon pada lahan-lahan terdegradasi (Widianto et al., 2003).
Sejauh ini praktek agroforestri telah banyak ditemukan di berbagai tempat di Indonesia terutama di Kabupaten Langkat. Sampai saat ini data dan potensi agroforestri khususnya di Kabupaten Langkat belum banyak diketahui dan belum dianggap sebagai salah satu sumber daya yang mampu mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan. Melalui penelitian ini akan dilakukan pendugaan karbon tersimpan pada tegakan agroforestri (kebun campuran) dengan mengambil studi kasus pada Kecamatan Sei Bingei, Kecamatan Bahorok, dan Kecamatan Wampu yang ada di Kabupaten Langkat. Pada tahun 2009, Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten Langkat mencatat luas kebun campuran sekitar 112.912,79 ha dan tiga kecamatan yang telah disebutkan memiliki potensi yang cukup besar. Untuk mengetahui seberapa besar karbon tersimpan maka digunakan metode yang sudah ada sebelumnya (allometrik) dan menggunakan informasi dari data penginderaan jarak jauh serta pengukuran di lapangan.
Tujuan Penelitian 1. Untuk menghitung C-stock pada permukaan tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat. 2. Untuk memetakan sebaran karbon pada tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat dengan menggunakan metode NDVI.

Manfaat Penelitian 1. Sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan khususnya bagi peneliti terkait dengan biomassa karbon tersimpan pada lahan agroforestri 2. Sebagai informasi bagi dunia pendidikan, penelitian, masyarakat umum, dan lembaga terkait dalam pengelolaan sumber daya alam.


TINJAUAN PUSTAKA
Biomassa dan Pemanasan Global Biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme
(tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr per m2 atau ton per ha (Brown, 1997).
Pada ekosistem daratan, cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok yaitu:
1. Bagian hidup (biomassa): massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, ranting dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.
2. Bagian mati (nekromassa): masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daundaun gugur (serasah) yang belum terlapuk.
3. Tanah (bahan organik tanah): sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

Ketiga komponen karbon berdasarkan keberadaannya di alam dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi: • Biomassa pohon. Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomassa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang (dan tinggi pohon, jika ada). • Biomassa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan). • Nekromassa. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan karbon yang akurat. • Seresah. Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.
b. Karbon di dalam tanah, meliputi: • Biomassa akar. Akar mentransfer karbon dalamjumlah besarlangsung ke dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomassa akar dapat pula

diestimasi berdasarkan diameter akar (akar utama), sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang • Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada dipermukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah. Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan karbon (rosot karbon = karbon sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan karbon tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka jumlah karbon tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jumlah karbon tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, serasah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan karbon (Hairiah et al., 2007). Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan

(serasah), hewan dan jasad renik. Biomassa ini merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula, bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol, dan senyawa lainnya (Arief, 1994).
Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan ini mengikat karbondioksida (CO2) dari udara dan mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Proses fotosintesis ini diawali dengan pengambilan karbondioksida dari udara dan air dari tanah oleh tumbuh-tumbuhan berklofil hijau. Dengan bantuan klorofil a dan b dan dibawah pengaruh sinar matahari sebagai energi, tumbuh-tumbuhan mampu mengubah karbondioksida dan air menjadi gula, air dan oksigen atau zat asam. Energi cahaya matahari yang tertangkap dalam proses fotosintesis itu akhirnya diubah menjadi energi kimia yang tersimpan dalam zat-zat organik seperti gula, tepung, lemak dan sebagainya disimpanan dalam akar, batang, buah, cabang dan, daun. Energi matahari yang diubah menjadi energi kimia oleh tumbuh-tumbuhan hijau ini digunakan untuk membentuk bahan-bahan organik, yang semakin lama semakin tinggi kadar energinya (Zebua, 2008).
Perubahan iklim global pada dekade terakhir ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO2). Indonesia sebagai negara penyumbang CO2 terbesar ketiga di dunia, dengan emisi CO2 rata-rata per tahun 3000 Mt atau berarti telah menyumbangkan sekitar 10% dari total emisi CO2 di dunia. Meningkatnya konsentrasi CO2 disebabkan oleh pengelolaan lahan yang kurang tepat antara lain pembakaran

hutan dalam skala luas secara bersamaan dan pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan-lahan pertanian (Hairiah, K. et.al., 2007).
Indonesia memiliki berbagai macam penggunaan lahan, mulai dari yang paling ekstensif misalnya agroforestri kompleks yang menyerupai hutan hingga paling intensif seperti sistem pertanian semusim monokultur. Pengukuran secara kuantitatif C tersimpan dalam berbagai macam penggunaan lahan perlu dilakukan. Untuk itu diperlukan metoda pengukuran standar yang baku dan telah dipergunakan secara luas, agar hasilnya dapat dibandingkan antar lahan dan antar lokasi.

Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana dan, epifit merupakan bagian dari biomassa atas permukaan. Di bawah permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan karbon mungkin lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada di atas permukaan. Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan. Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar. Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah karbon yang terserap dari atmosfer.

Potensi Agroforestri dalam Menyerap Karbon Pembiayaaan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia
umumnya berasal dari hasil ekploitasi sumberdaya alam, industri dengan teknologi yang kurang bersahabat dengan lingkungan. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam mengakibatkan terjadinya deforestsi, konversi lahan pertanian, dan pencemaran lingkungan. Keadaan ini diperparah oleh lemahnya pemahaman etika lingkungan dan cenderung antroposentris dan eksploitatif. Jika deforestasi dan konversi lahan semakin tidak terkendali dikhawatirkan berdampak luas diantaranya pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang menyebabkan terjadinya hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan perubahan iklim global.
Terkait dengan upaya menekan efek gas rumah kaca yaitu mengurangi kadar gas CO2 di atmosfer, skema perdagangan karbon merupakan peluang yang perlu mendapat perhatian. Clean Development Mechanism (CDM) yang merupakan sebuah rekomendasi Protokol Kyoto, dalam pelaksanaannya mengacu kepada tiga aspek pembangunan berkelanjutan yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta berkelanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance) (Riyadi, 2005).
Konsep agroforestri yaitu suatu sistem pertanian berbasis pepohonan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan mempertahankan kelestarian alam merupakan suatu alternatif yang paling sesuai dalam menjawab tantangan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sistem agroforestri memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menghasilkan jenis produk yang

beragam baik kayu maupun non-kayu. Kandungan biomassanya juga tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat (Roshetko et al., 2002).
Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan dengan mengkombinasikan beberapa macam pohon baik dengan atau tanpa tanaman semusim atau ternak, pada lahan yang sama untuk mendapatkan berbagai macam keuntungan. Pada dasarnya agroforestri mempunyai beberapa komponen penyusun utama yaitu pohon (tanaman berkayu), tanaman non -pohon, ternak, dan manusia (Suprayogo et al., 2003).
Pemilihan pohon yang akan ditanam pada suatu lahan memiliki dua alasan yaitu untuk produksi dan pelayanan. Untuk produksi artinya untuk bahan bangunan, kayu bakar, obat-obatan dan lain-lain. Sedangkan yang bersifat pelayanan adalah untuk pengendalian erosi, meningkatkan kesuburan yanah, konservasi biodiversitas dan untuk penyimpanan karbon serta mengurangi efek rumah kaca. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis untuk ditanam yaitu tujuan penanaman, jenis potensi, dan jenis yang bisa tumbuh di lokasi yang bersangkutan. Jenis-jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka, melinjo, sengon, petai, jati, dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro, dan kaliandra (Suryanto et al., 2005).
Potensi penyerapan karbon dari sistem agroforestri didasarkan kepada asumsi bahwa komponen-komponen pohon dalam sistem agroforestri dapat

menentukan rosot karbon di atmosfer secara signifikan melalui kecepatan pertumbuhan dan produktifitas. Dengan memperhitungkan pohon dalam produksi pertanian, agroforestri dapat meningkatkan penyimpanan karbon pada lahan untuk kebutuhan tanaman pertanian. Konsep agroforestri dinilai mempunyai nilai lebih pada komponen-komponen kesuburan tanah, variasi spesies, dan konsepnya yang menyeluruh. Alasan utama yang mendasari potensi agroforestri dalam mengurangi emisi karbon yaitu banyaknya lahan di daerah tropis yang digunakan untuk kegiatan pertanian dan meningkatnya penerapan sistem agroforestri dalam waktu yang panjang akan menghasilkan peningkatan potensi yang nyata sebagai sumber biotik karbon dan meskipun jumlah karbon yang diserap per satuan luas relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam dan hutan tanaman, kayu yang diproduksi sering dipakai sebagai kayu bakar menggantikan bahan bakar fosil. Penggunaan kayu hasil agroforestri yang tidak untuk kayu bakar akan mengurangi tekanan terhadap penebangan hutan alam dan kebutuhan bahan bakar dari sumber yang tidak diperbaharui.
Widianto et al. (2003) menyatakan bahwa bila ditinjau dari cadangan karbon, sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman musiman. Hal ini disebabkan oleh adanya pepohonan yang memiliki biomassa tinggi dan masukan serasah yang bermacam-macam kualitasnya serta terjadi secara terus-menerus. Walaupun peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan suatu tawaran yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan cadangan karbon pada lahan-lahan terdegradasi.

Kawasan penyangga yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser cukup banyak menerapkan agroforestri dalam pemanfaatan lahan masyarakat seperti Bahorok. Vegetasi asli daerah penelitian menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1995) adalah hutan hujan tropis. Pada daerah-daerah yang relatif datar terdapat berbagi jenis komoditi pertanian baik tanaman perkebunan dan industri (kemiri, kulit manis, kopi, karet, dan kelapa sawit) maupun tanaman pangan, palawija, dan hortikultura. Komoditi tanaman hutan asli daerah yang banyak dibudidayakan adalah sungkai dan jenis yang banyak diintroduksikan yaitu mahoni, sengon, mindi, dan jati.
Metode Allometrik untuk Menduga Cadangan Karbon Cadangan karbon pada ekosistem teresterial (daratan) terbagi menjadi
karbon diatas permukaan dan karbon di bawah permukaan atau dalam tanah. Karbon di atas permukaan tanah meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan gulma), nekromassa (bagian pohon atau tanaman yang sudah mati) dan serasah (bagian tanaman yang gugur berupa daun dan ranting). Karbon bawah permukaan meliputi biomassa akar dan bahan organik tanah (sisa tanaman, hewan dan manusia yang mengalami dekomposisi) serta hamparan lahan gambut (Hairiah et al., 2007).
Biomassa tanaman digunakan sebagai dasar untuk menduga karbon atas permukaan. Teknik untuk mengukur biomassa bisa dilakukan dengan metode destruktif dan menggunakan persamaan allometrik. Penggunaan metode destruktif sangat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang panjang terutama jika dilakukan terhadap vegetasi hutan. Oleh karena itu salah satu metode


pemecahannya dapat digunakan persamaan allometrik yang telah disusun dari

tanaman yang sejenis. Persamaan ini menghubungkan biomassa tanaman dengan

diameter dan tinggi tanaman. Pada Tabel 1 disajikan rumus-rumus allometrik

untuk menduga biomassa tanaman. Karbon atas permukaaan dapat diduga jika

biomassa telah diketahui. Persamaan allometrik merupakan persamaan yang

menghubungkan dimensi-dimensi dari pohon dengan nilai biomassa pohon. Setiap

tanaman yang berbeda akan memiliki pola yang berbeda untuk membentuk

persamaan allometrik ini (Pearson et al., 2007).

Tabel 1. Rumus-rumus allometrik untuk menduga biomassa beberapa jenis

tanaman yang umum ditanam pada lahan agroforestri


No. Jenis Tanaman 1. Sengon 2. Kopi 3. Kakao 4. Mahoni 5. Pohon bercabang 6. Pohon tidak bercabang 7. Karet
8. Jati

Rumus Allometrik
AGBest = 0.0272 D2.831 AGBest = 0.281 H D 2.06 AGBest = 0.01208 D 1.98 AGBest = 0.048 D2.68 AGBest = 0.11 ρ D2.62 AGBest = π ρ H D2/4
AGBest = -3,84 + 0,528×BA + 0,001×BA2 AGBest = 0.20091 D2.30

Sumber Sugiharto, 2002 Arifin, 2001 Yuliasmara et al., 2009 Adinugroho, 2001 Ketterings, 2001 Hairiah et al., 1999 ICRAF, 200
Hendri, 2001

Keterangan:

B = berat kering (kg)

H = tinggi pohon (cm)

D = diameter (cm) ρ = berat jenis kayu (g/cm3) BA = basal area (cm2)

Metode pendugaan cadangan karbon atas permukaan dengan pendekatan


biomassa merupakan salah satu metode yang bisa diterapkan (Gibbs et al., 2007).

Biomassa dapat diduga melalui pengukuran lapangan yang intensif atau

dikembangkan dengan persamaan allometrik yang telah disusun sebelumnya

(Brown, 1997). Model pendugaan biomassa dapat disusun berdasarkan parameter

tinggi dan diameter pohon (Johnsen et al., 2001).

Bentuk percabangan dan produksi biomassa pohon dalam sistem agroforestri dipengaruhi oleh pengelolaannya seperti pemangkasan, pengaturan jarak tanam, pemupukan, dan penyiangan. Dengan demikian, persamaan allometrik yang digunakan untuk menaksir biomassa pohon berbeda dengan yang digunakan untuk pohon yang tumbuh di hutan.
Estimasi Cadangan Karbon Menggunakan Data Penginderaan Jauh Adanya perubahan tutupan lahan di suatu wilayah dapat mengindikasikan
dinamika cadangan karbon di wilayah tersebut. Misalnya, aktivitas konversi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya menyebabkan terjadinya penurunan jumlah cadangan karbon. Kuantifikasi perubahan lahan yang terjadi dalam satu rentang waktu, dapat dilakukan dengan menganalisa citra satelit (misalnya Landsat) dari waktu pengambilan yang berbeda yang didukung oleh peta tutupan lahan, topografi, tanah dan sebagainya (Hairiah et al., 2011).
Saat ini terdapat tiga pendekatan untuk menduga atau memonitor biomassa, yaitu modeling, pengukuran lapangan, dan penginderaan jauh. Diantara tiga pendekatan, pengukuran langsung di lapangan dipertimbangkan lebih dapat dipercaya dan lebih teliti dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya. Meskipun demikian, pendekatan ini mahal dan resolusi spasial data dalam studi di lapangan terbatas. Dengan memadukan data spasial dan atribut kedalam SIG, maka integrasinya (Penginderaan Jauh dan SIG) akan menawarkan suatu metoda untuk menduga biomassa pada skala wilayah yang sangat besar, dimana ketersediaan data kehutanan terbatas.
Fungsi hutan sebagai penyerap karbon membuat informasi mengenai jumlah karbon yang tertahan pada suatu kawasan hutan (stok karbon) menjadi

penting. Salah satu cara menghitung kuantitas kandungan karbon tersimpan dalam biomassa hutan diatas permukaan tanah didasarkan pada pengukuran lapangan di tingkat plot kemudian nilai biomassa ini dikonversi menjadi kandungan karbon.
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh, misalnya citra Landsat, SPOT maupun Aster bersama dengan data lapangan memiliki potensi yang baik dalam pengembangan model estimasi cadangan karbon hutan. Penggunaan teknik penginderaan jauh dimaksudkan untuk memberikan penilaian umum tentang penutupan vegetasi, tidak hanya tentang lokasi proyek tetapi juga daerah di sekitarnya.
Data sinar tampak (visible) dan infra merah (infrared) dari satelit penginderaan jauh optis secara umum digunakan untuk klasifikasi tutupan lahan sedangkan data pankromatik dapat menyediakan informasi tekstur yang sangat berguna untuk menentukan jenis kanopi hutan dan batas tegakan (stand boundaries) (Roswiniarti, 2008).
Kelas-kelas vegetasi yang telah ditentukan kemudian dirubah menjadi informasi distribusi biomassa dengan mengkonversi nilai spektralnya menjadi biomassa berdasarkan pengukuran contoh/sampel plot di lapangan untuk tipe vegetasi tertentu serta menghubungkannya dengan nilai NDVI. Tahap berikutnya adalah membuat peta distribusi/penyebaran biomassa berdasarkan peta penyebaran tipe vegetasi hasil interpretasi citra satelit dan cek lapangan, kemudian mengkonversi peta biomassa menjadi peta sebaran cadangan karbon dengan mengalikan nilai biomassa dengan faktor 0,5 (Murdiyarso, 2002).

Secara garis besar, tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pengolahan awal data satelit; mencakup koreksi atmosfer, koreksi radiometrik, dan koreksi geometri.
2. Klasifikasi data satelit berdasarkan tutupan lahannya; memilih sistem klasifikasi tutupan lahan yang sesuai dengan kondisi studi area. Kelas tutupan lahan yang umum digunakan adalah hutan primer, hutan sekunder, perkebunan/semak/ belukar, dan lahan terbuka.
3. Perhitungan indeks vegetasi dari citra untuk menganalisa kondisi vegetasi, misalnya NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced Vegetation Index).
4. Survei vegetasi untuk mengetahui jumlah biomasa di lapangan berdasarkan kelas hasil klasifikasi tutupan lahan. Inventarisasi biasanya dilakukan pada plot-plot pengukuran lapangan untuk mendapatkan jumlah biomassa diatas dan dibawah permukaan tanah.
Umumnya pendugaan biomassa di lapangan dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik. Biomassa yang diukur umumnya berupa biomassa pohon tegakan (diatas permukaan tanah) yang dihitung berdasarkan penjumlahan biomassa batang, cabang, dan daun.
5. Analisa data surveivegetasi untuk mendapatkan rata-rata biomasa berbagai jenis tutupan lahan
6. Penghitungan karbon untuk seluruh jenis tutupan lahan (berdasarkan hasil klasifikasi data satelit) dan analisa potensi biomasa.
7. Korelasi antara NDVI dan data survei vegetasi. Hasil pengideraan jauh dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk membagi area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relatif homogen. Hasil

pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan pengambilan data lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil pengideraan jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar (Roswiniarti, 2008).

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November 2012. Penelitian ini dilaksanakan di lahan sebaran agroforestri yaitu di Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Bahorok, dan Kecamatan Wampu yang dapat dilihat pada Gambar 1 dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak pada kecamatan Sei Bingai, kecamatan Bahorok
dan kecamatan Wampu. Pada kecamatan Sei Bingai berada pada desa Telaga, pada kecamatan Bahorok berada pada desa Timbang Lawan dan desa Lau Damak, dan pada kecamatan Wampu berada di desa Gohor Lama dan Stabat Lama.
Secara geografis, desa Telaga terletak pada 3,3120167 LU dan 98,3965833 BT. Menurut data BPS Kabupaten Langkat 2012, luas kecamatan Sei Bingai sekitar 33,317 km2 dan desa Telaga memiliki luas 53,38 km2 atau sekitar 16,02 % dari total keseluruhan kecamatan Sei Bingai. Luas lahan pertanian pada desa ini sekitar 38 km2 untuk lahan sawah dan sekitar 2.583 km2 untuk lahan bukan sawah termasuk di dalamnya sekitar 230 km2 untuk tanaman keras perkebunan rakyat.

Desa Timbang Lawan terletak pada 3,5065833 LU dan 98,1662667 BT serta memiliki luas 100,85 km2 (9,15%). Desa Lau Damak terletak 3,4770167 LU dan 98,1804500 BT serta memiliki luas 110,19 km2 (10%). Luas tanam tanaman keras perkebunan rakyat di desa Lau Damak sekitar 90 km2 dan di desa Timbang Lawan sekitar 69 km2.
Desa Gohor Lama terletak pada 3,7698333 LU dan 98,3835667 BT dengan luas wilayahnya sekitar 6,37 km2. Desa Stabat Lama terletak pada 3,7719167 LU dan 98,4370333 BT dengan luas wilayahnya sekitar 33,10 km2. Sirait (2009) menyatakan bahwa luasan lahan agroforestri di desa Gohor Lama sekitar 810,762 ha dan di desa Stabat Lama sekitar 96,487 ha.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Position System
(GPS), pita ukur, tali rafia, clinometer, kamera digital, alat tulis, software Arcview

3.3, dan ERDAS Image 8.5. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu tegakan-tegakan yang ada pada lahan agroforestri yang tersebar di Kecamatan Sei Bingei, Kecamatan Bahorok, Kecamatan Wampu dan citra satelit Landsat.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode non-destructive
dengan menggunakan metode allometrik dan metode lanskap (NDVI). Metode non-destructive adalah metode perhitungan biomassa tanpa melakukan perusakan pada tegakan-tegakan yang ada dengan menggunakan rumus-rumus allometrik yang ada pada Tabel 1. Jika di lapangan dijumpai tanaman yang tidak memiliki rumus allometrik maka diklasifikasikan ke dalam pohon yang bercabang seperti duku, durian, jengkol, mangga, limus, cempedak, petai, mindi, nangka, kemiri dan pohtidak bercabang seperti sungkai dengan mengetahui berat jenis pohon tersebut.
Metode skala lanskap (NDVI) adalah metode yang memperhitungkan besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal digital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit dari citra satelit. Metode NDVI didasarkan pada besarnya nilai digital number pada sebaran agroforestri yang disesuaikan dengan nilai biomassa hasil pengukuran di lapangan sehingga diperoleh peta sebaran cadangan karbon.
Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data dan
analisis data.

1. Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini ada dua yaitu data primer dan

data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan survey

langsung ke lahan sebaran agroforestri di Kabupaten Langkat. Data ini diperoleh


dengan mengambil koordinat titik di lapangan menggunakan GPS serta

pengukuran tinggi dan diameter tegakan.

Data sekunder dikumpulkan dari data yang telah ada sebelumnya baik data

yang dikeluarkan oleh instansi terkait maupun literatur pendukung lainnya.

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data primer dan sekunder yang digunakan

No Nama Data

Jenis Data Sumber

1. Titik sampel (training area) Primer GPS

2. Titik sampel uji lapangan


Primer GPS

3. Tinggi Tegakan

Primer Clinometer

4. Diameter tegakan 5. Citra Landsat 7 ETM+

Primer Pita ukur Sekunder www.glovis.usgs

6.

Peta Administrasi Kabupaten Langkat

Sekunder

Dishut Sumatera Utara

7.

Peta Kawasan Kabupaten

Agroforestri

Sekunder

Dishut Sumatera Utara

Tahun 2012 2012 2012 2012 2011
2011
2011

2. Analisis Data

Analisis data dilakukan agar diperoleh hasil nilai cadangan karbon dan

peta sebaran cadangan karbon pada tegakan agroforestri. Analisis data dilakukan

dengan menghitung biomassa pohon dengan menggunakan rumus allometrik

pada Tabel 1. Setelah diketahui biomassanya, maka akan dapat diketahui

kandungan karbon dengan menggunakan rumus (5).

Pembuatan Plot pada Areal Sebaran Pengambilan plot contoh dibuat agar dapat mewakili tipe penggunaaan
lahan yang terdapat di lokasi penelitian. Plot pengukuran dibuat berdasarkan

pertimbangan keterwakilan penutupan lahan dan kualitas citra serta aksesibilitas di lapangan. Plot dibuat sebanyak 12 dengan 4 plot pada setiap kecamatan. Maretnowati (2004) dalam penelitiannya membuat plot sampel pada lahan agoforestri dengan ukuran 5 m× 40 m dengan metode systematic plot sampling with random start. Sedangkan Yudisthira (2006) menggunakan plot dengan ukuran 10 m × 10 m dengan luasan 0,01 ha sebagai unit contoh terkecil. Pengukuran pohon dilakukan dengan cara mengukur dimensi tegakan berupa diameter setinggi dada ≥ 5 cm.
Menurut Hairiah et al. (2011) pengukuran cadangan karbon menggunakan petak contoh (plot) dibuat dengan ukuran 100 m × 20 m jika dalam plot tersebut terdapat pohon dengan diameter ≥ 30 cm. Selain itu dibuat petak contoh (sub plot utama) dengan ukuran 40 m × 5 m untuk pengukuran pohon dengan diameter 5 cm hingga 30 cm. Metode ini merupakan RaCSA (Rapid Carbon Stock Appraisal) telah mencakup cara untuk mengekstrapolasi cadangan karbon dari tingkat lahan ke tingkat bentang alam. RaCSA telah diuji pada berbagai jenis penggunaan lahan di berbagai daerah dengan kondisi iklim yang berbeda melalui kegiatan TUL-SEA (Trees in multi-Use Landscapes in Southeast Asia) dan dan ALLREDDI (The Accountability and Local Level Initiative to Reduce Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia) yang dikoordinir oleh World Agroforestry Centre (ICRAF Southeast Asia). Pemilihan plot contoh juga didasarkan pada keanekaragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada. Adapun prosedur pembuatan plot di lapangan sebagai berikut:

a. Dibuat plot dengan ukuran 20 m × 100 m bila dalam lahan yang diamati

terdapat pohon besar (diameter batang lebih dari 30 cm atau lingkar batang

lebih dari 95 cm)

b. Dibuat sub plot utama dengan ukuran 40 m × 5 m untuk pengukuran

cadangan karbon pada lahan agroforestri dengan tingkat kerapatan pohon

tinggi. Pohon yang diukur adalah pohon dengan diameter 5 cm hingga 30

cm

Utara

40 m

60 m

5m

Timur

15 m Keterangan:

= Pohon besar DBH > 30 cm (keliling 95 cm) di dalam atau di luar sub-plot utama
= Pohon dengan DBH antara 5 - 30 cm di dalam atau di luar sub-plot utama Gambar 2. Pembuatan plot
d. Dicatat nama lokal dan/atau nama latin (jika dapat diketahui) dari tanaman
yang akan diukur
e. Diukur tinggi tegakan-tegakan dan diameter yang ada di dalam plot dan sub
plot utama

f. Dihitung biomassa pohon dengan rumus–rumus yang ada pada Tabel 1
sehingga diperoleh biomasa per pohon (kg/tanaman).
g. Dijumlahkan data biomassa semua pohon yang diperoleh pada satu lahan,
baik yang ukuran besar maupun yang kecil, sehingga diperoleh total
biomasa tanaman per lahan (kg/luasan lahan)
h. Biomassa per hektar dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
................................ (1)
Keterangan : W : Total biomassa (ton/ha) Wpi : Biomassa pohon (ton) A : Luas plot (m2) n : Jumlah pohon
Pendugaan C-Stock dalam Tingkat Landskap
Kandungan karbon dalam vegetasi dapat diduga dari biomassa dengan persamaan:
Y = W × 0,5 ..........................................(2) Keterangan :
Y : Kandungan karbon diatas permukaan tanah (ton/ha) W : Total biomassa per hektar (ton/ha) (Brown et al., 1996).
Hubungan antara NDVI dan data hasil pengukuran lapangan mampu
memberikan informasi tentang biomassa vegetasi dan merupakan salah satu
metode pendekatan untuk menduga kandungan karbon yaitu ekstraksi nilai NDVI
pada tiap lokasi plot pengukuran cadangan karbon. Metode skala lanskap (NDVI)
yaitu besaran nilai kehijauan vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal
digital data nilai kecerahan (brightness) beberapa kanal data sensor satelit.

Adapun prosedur analisis data selanjutnya yaitu:

1. Pengolahan awal citra

2. Data dari citra selanjutnya akan diolah ke dalam software ERDAS Image

8.5 untuk dilakukan pengklasifikasian terhadap citra tersebut (Metode

NDVI)

3. Perhitungan indeks vegetasi dari citra Landsat

NDVI = Band NIR - Band R ............. (3)

Band NIR + Band R

Keterangan:

• NIR

= infra-merah dekat

• R = merah

• NDVI

= -1 berarti air (makin negatif makin dalam)

• NDVI

= 0 berarti tanah gundul

• NDVI

= 1 berarti hijau (lebat)

• Band NIR

= TM4, TM 5 (Landsat-TM), Xs3 (SPOT)

• Band R

= TM1, TM2, TM3 (Landsat-TM), Xs1, Xs2 (SPOT)

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah salah satu produk data

penginderaan jauh yang umum dalam menganalisa kondisi vegetasi. Indeks

vegetasi berbasis NDVI yang ditunjukkan pada persamaan mempunyai nilai yang

hanya berkisar antara -1 (non-vegetasi) hingga 1 (vegetasi).

4. Diambil beberapa titik dengan menggunakan GPS pada lahan agroforestri

untuk pengambilan sampel

5. Data dari GPS tersebut diolah kedalam software Arcview 3.3 untuk

diketahui penyebarannya dan didukung dengan citra landsat yang bertujuan

untuk melihat perubahan tutupan lahan pada lahan agroforestri

6. Ditentukan korelasi antara nilai kandungan karbon dengan nilai NDVI

dengan menggunakan rumus (7)

7. Diperoleh peta penyebaran cadangan karbon pada lahan agroforestri

Hubungan antara Karbon dan NDVI
Regresi linier sederhana digunakan untuk melihat hubungan antara
kandungan karbon dan NDVI. Jika diberikan data contoh ((xi, yi); i = 1, 2, ..., n), maka nilai dugaan kuadrat terkecil bagi parameter dalam regresi, y = a + bx dapat
diperoleh dari rumus (Walpole, 1992):
................. (4) .......................... (5) Korelasinya dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
.... (6)
Estimasi biomassa atas permukaan dicari melalui hubungan matematis
antara biomassa pengukuran lapangan dengan indeks vegetasi pada
masing-masing parameter rata-rata dan median dengan menggunakan analisis
regresi. Analisis regresi yang diperoleh dengan model persamaan:
Y = a + bx............................. .................. (7) dimana: Y = kandungan karbon di atas permukaan a,b = Parameter x = Nilai DN (Digital Number) / variabel bebas (rata-rata dan median)

Tahapan Pendugaan Cadangan Karbon Pendugaan cadangan karbon pada sebaran agroforestri dilakukan
berdasarkan langah-langkah yang ada pada Gambar 3. Tahap demi tahap dilaksanakan agar diperoleh hasil berupa nilai kandungan karbon dan peta sebaran cadangan karbon di lokasi penelitian.

Citra Satelit Landsat Kabupaten Langkat
Subset Image
Peta Tutupan Lahan

adalah memotong objek pada citra untuk mendapatkan daerah yang diteliti.

Pengecekan di Lapangan dari Hasil Interpretasi Citra Satelit
Pengambilan Sampel Skala Plot di Lapangan dengan Ukuran 20 × 100 m

Metode Allometrik untuk menghitung biomassa pohon
Perhitungan Karbon Agroforestri
Perhitungan indeks vegetasi citra dengan NDVI
Korelasi antata Nilai Karbon dengan nilai NDVI
Total Cadangan Karbon dan Peta Sebaran Cadangan Karbon
Gambar 3. Diagram alir penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Agroforestri Sistem pemanfaatan lahan agroforestri banyak diterapkan pada desa yang
ada pada tiga kecamatan. Pada Gambar 4 dapat dilihat sebaran agroforestri yang ada di kabupaten Langkat. Kondisi agroforestri yang ada pada tiga kecamatan memiliki tegakan dengan variasi umur dan jenis yang cukup beragam. Komponen penyusun agroforestri dapat dikelompokkan ke dalam komoditi tanaman perkebunan, tanaman kehutanan, dan tanaman buah-buahan. Tanaman perkebunan yang dominan dibudidayakan yaitu karet yang umumya berumur 15-20 tahun, tanaman buah-buahan berumur sekitar 10-25 tahun. Adapun jenis-jenis tanamannya yaitu sengon, mindi, sungkai, coklat, mangga, mahoni, nangka, durian, karet, kemiri, jati, jengkol, petai dan duku yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 menjelaskan bahwa jenis pohon yang mendominasi sistem agroforestri di desa Telaga yaitu durian, jati dan mahoni. Pada Kecamatan Bahorok, pohon yang mendominasi yaitu karet, mahoni dan jati. Tanamantanaman ini dipilih karena tanaman ini tidak hanya menghasilkan kayu namun juga menghasilkan getah dan buah. Martial (2010) menyatakan dengan luas lahan kering hampir 3000 ha, Lau Damak (di Kecamatan Bahorok) didominasi oleh agroforestri karet dibanding dengan sistem pemanfaatan lahan lainnya. Kecamatan Wampu didominasi oleh pohon karet dan jati.

Tabel 3. Jenis-jenis pohon pada plot sebaran agroforestri

No. Nama lokasi

Nama pohon

Nama lokal

Nama latin

1. Kecamatan Sei Bingai Coklat

Theobrema cacao

Duku

Lansium domesticum

Durian

Durio ziberthinus

Jati Tectona grandis

Jengkol

Pithecellobium jiringa

Mahoni

Swietenia mahagoni

Mangga

Mangifera indica

Mindi

Melia azedarach

Sungkai

Peronema canescens

Kopi

Coffea arabica

Sengon

Paraserianthes falcataria

Cempedak

Artocharpus indica

Petai

Parkia speciosa

2. Kecamatan Bahorok

Coklat Karet

Theobrema cacao Hevea brasiliensis

Mahoni

Swietenia mahagoni

Limus (Bacang) Mangifera foetida

Jengkol

Pithecellobium jiringa

Petai

Parkia speciosa

Durian

Durio ziberthinus

Duku

Lansium domesticum

Mangga

Mangifera indica

Jati Tectona grandis

Sengon

Paraserianthes falcataria

Cempedak

Artocharpus indica

Sungkai

Peronema canescens

Mindi

Melia azedarach

Kemiri

Aleurites moluccana

Kopi

Coffea arabica

Sengon

Paraserianthes falcataria

3. Kecamatan Wampu

Sungkai

Peronema canescens

Mindi

Melia azedarach

Mahoni

Swietenia mahagoni

Nangka

Anthocarpus integra

Kopi

Coffea arabica

Durian Kemiri

Durio ziberthinus Aleurites moluccana

Coklat

Theobrema cacao

Jati Tectona grandis

Karet

Hevea brasiliensis

Cempedak

Artocharpus indica

Jumlah
35 5 24 33 7 16 3 13 9 9 16 5 2 45 29 19 6 6 5 9 3 3 15 13 3 6 6 3 8 13 10 9 11 3 22 15 8 19 24 25 4

Gambar 4. Peta sebaran agroforestri di Kabupaten Langkat

Tanaman pertanian yang dipilih ditanam yaitu kopi karena kopi tahan terhadap naungan, mudah dipelihara dan berbuah setiap saat. Selain buahnya, kayu pada tanaman kopi juga dapat dimanfaatkan, terutama jika produksi tanaman kopi mengalami penurunan sehingga kayu tanaman kopi dapat dijual per kubik atau dimanfaatkan untuk kayu bakar. Jenis tanaman yang ditanam oleh petani didasarkan pada tujuan untuk menghasilkan buah dan kayu. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suryanto (2005) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis untuk ditanam yaitu tujuan penanaman, jenis potensi dan jenis yang bisa tumbuh di lokasi yang bersangkutan.
Pemilihan tanaman seperti sengon, mahoni, karet, durian, coklat, kopi, mindi, dan5 sungkai dinilai merupakan pilihan yang tepat karena nilai ekonominya yang cukup tinggi. Berkaitan dengan jenis tanaman yang dapat tumbuh di lokasi bersangkutan, menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (1995) menyatakan bahwa komoditi tanaman hutan asli di daerah kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yaitu sungkai dan jenis yang banyak diintroduksikan yaitu mahoni, sengon, mindi, dan jati.
Biomassa Tegakan Salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah dengan
mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan. Tumbuhan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan menyerap gas asam arang (CO2) dari udara melalui proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, bunga dan buah. Dengan demikian mengukur

jumlah karbon yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu

lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Pengukuran biomassavpada tegakan agroforestri mempertimbangkan

diameter batang dan tinggi batang yang datanya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan biomassa berdasarkan kelas diameter (ton/ha)

Lokasi 5-10

11-15

16-20

Kelas Diameter

21-25

26-30

31-35

Sei Bingai 0,140 0,043 6,397 14,191 12,954 15,722

Bahorok 0,131 0,422 4,796 7,076

10,312 21,247

Wampu 3,572 3,310 1,089 6,231

21,949 18,430

>36
42,104 50,974 24,483

Struktur tegakan adalah sebaran individu tumbuhan dalam lapisan tajuk

dapat diartikan sebagai sebaran pohon per satuan luas dalam berbagai kelas

diameternya. Secara keseluruhan struktur tegakan pohon adalah hubungan antara

banyaknya pohon dengan kelas diameter dalam plot penelitian. Pada penelitian

ini, pohon-pohon dengan diameter lebih kecil dari 5 cm tidak didata karena

pertumbuhan tersebut masih belum stabil dan masih termasuk dalam kategori

tumbuhan bawah. Keberadaan pohon dengan diameter > 30 cm pada suatu

penggunaan lahan memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap total

cadangan karbon. Dari Tabel 3 dapat dinyatakan bahwa pada tegakan agroforestri

yang ada di kecamatan Sei Bingai, kecamatan Bahorok, kecamatan Wampu

memberikan sumbangan biomassa secara berurutan sekitar 63,16%, 76,04%,

54,27% dari total biomassa berasal dari pohon yang berdiameter >30 cm. Pada

penelitian Rahayu et al. (2007) di Kabupaten Nunukan menyatakan bahwa

keragaman ukuran diameter, keberadaan pohon dengan diameter > 30 cm pada

suatu sistem penggunaan lahan, memberikan sumbangan biomassa yang cukup

berarti terhadap total cadangan karbon seperti pada hutan primer, sekitar 70% dari

total biomassa berasal dari pohon yang berdiameter > 30 cm sedangkan pohon yang berdiameter antara 5-30 hanya sekitar 30%.
Biomassa pohon terbesar pada pohon yang memiliki diameter paling tinggi. Hal ini disebabkan biomassa berkaitan erat dengan fotosintesis, biomassa bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari usra dan mengubahnya menjadi senyawa organik dari proses fotosintesis. Biomassa pada tiap bagian pohon tersebut meningkat secara proporsional dengan semakin besarnya diameter pohon sehingga biomassa pada tiap bagian pohon mempunyai hubungan dengan diameter pohon.
Pertambahan diameter akan menentukan jumlah karbon yang dikandung suatu vegetasi. Pertambahan diameter merupakan dari hasil fotosintesis untuk pertumbuhan ke arah horisontal. Haygreen dan Bowyer (1996) menyatakan bahwa seiring bertambahnya umur melalui pembentukan dan pembesaran sel-sel yang membelah berulang-ulang membentuk sel-sel baru yang meristematik. Selama pohon tumbuh, pohon menambah kayu baru sehingga memperbesar diameter batang, cabang serta memperbanyak jumlah bagian-bagian pohon lainnya dimana karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh tanaman dan disimpan dalam bentuk biomassa. Dengan bertambahnya diameter pohon, maka kemampuan pohon menyimpan karbon bebas dari udara semakin tinggi. Pohon dengan diameter yang masih kecil terjadi peningkatan karbon biomassa yang relatif lambat yang selanjutnya akan semakin cepat seiring bertambahnya diameter seperti yang disajikan pada Gambar 5. Namun pada gambar juga terlihat penurunan kandungan biomassa pada kelas diameter 16-20 cm di Kecamatan

Wampu, hal ini terjadi karena jumlah pohon pada kelas diameter tersebut sedikit yang mengakibatkan akumulasi kandungan karbon menurut diameter menurun.

Biomassa

60 50 40 30 20 10
0 Sei Bingai Bahorok Wampu

Kecamatan

Ø 5-10 Ø 11-15 Ø 16-20 Ø 21-25 Ø 26-30 Ø 31-35 Ø > 36

Gambar 5. Biomassa tegakan agroforestri berdasarkan diameter Rahayu et al. ( 2007) menyatakan bahwa perbedaan perolehan biomassa dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, keragaman ukuran diameternya dan sebaran berat jenis vegetasinya, dimana penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomassanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Tipe hutan dengan komposisi jenis pohon dengan berat jenis yang tinggi akan mempunyai potensi simpanan yang cenderung lebih tinggi daripada tipe hutan dengan kerapatan tinggi tetapi jenis pohon dengan berat jenis yang rendah.
Potensi Agroforestri dalam Menyerap Karbon Dalam kaitan dengan upaya menekan efek gas rumah kaca yaitu
mengurangi kadar gas CO2 di atmosfer, meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan merupakan salah satu peluang yang perlu mendapat perhatian. Agroforestri merupakan suatu sistem pemanfaatan lahan yang dapat

menghasilkan karbon yang cukup tinggi. Roshetko et al. (2002) menyatakan bahwa kandungan biomassa pada agroforestri tinggi sehingga pembangunan sistem agroforestri pada lahan-lahan kritis dan terlantar selain dapat memperlambat terjadinya pemanasan global juga memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan dan sosio-ekonomi masyarakat.
Tabel 5 menjelaskan jumlah kandungan karbon total pada tiga kecamatan. Kandungan karbon di Kecamatan Bahorok lebih tinggi dibandingkan di Kecamatan Sei Bingai dan Kecamatan Wampu. Hal ini terjadi karena keadaan agroforestri di kecamatan Bahorok lebih rapat dan kondisi pohon dengan diameter yang besar dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Pada Gambar 6 ditampilkan persentase perbandingan kandungan karbon pada setiap kecamatan.

Wampu 32%

Sei Bingai 33%

Bahorok 35%
Gambar 6. Perbandingan Kandungan Karbon Widianto et al. (2003) menyatakan bahwa bila ditinjau dari cadangan karbon, sistem agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pertanian berbasis tanaman musiman maupun