EKOREGION TANAH PENCEMANRAN SUNGAI DELI

EKOREGION TANAH DELI
Jaya Arjuna,
Tanah Deli
Wilayah yang dinamakan Tanah Deli terletak pada dataran rendah antara Sei
Wampu dan Sei Ular di pantai Timur Sumatera Utara. Tanah Deli memiliki curah
hujan 400-1.400 milimeter per musim tanam dan suhu udara 22-18 derajat celsius.
Tanahnya bertekstur pasir hingga lempung, berdrainase baik, dan kedalaman lapisan
tanahnya (solum) lebih dari 1,2 meter serta memiliki tingkat kemasaman (pH) antara
5,5 - 6,2. Di antara Sei Wampu dan Sei Ular juga mengalir Sei Belawan, Sei Deli,
Sei Percut, Sei Tuan, Sei Serdang dan Sei Kemang. Secara keseluruhan, sungaisungai ini hulunya adalah hutan suaka alam atau hutan lindung di Bukit Barisan
yang sebagian besar wilayah hutannya dikelola atas nama Taman Nasional Gunung
Leuser.
Pada tahun 1863, Jacobus Nienhuys seorang Belanda mula membudidayakan
tembakau di Tanah Deli. Panen tembakau perdana Nienhuys yang dikirim ke
Belanda ternyata mendapat sambutan luar biasa, dan dinyatakan sebagai tembakau
berkualitas terbaik dunia. Tanaman tembakau membutuhkan hara tinggi. Ratusan
hulu anak-anak sungai yang menyusup di lantai hutan pegunungan Bukit Barisan
yang dulunya tertutup debu letusan Gunung Toba, membawa unsur hara turun ke
dataran rendah Tanah Deli. Kondisi khusus ini menyebabkan tidak ada daerah lain
yang mampu menandingi kualitas tembakau yang ditanam di daerah ini. Dunia
akhirnya mengenal Tanah Deli karena tembakau dagangan Nienhuys disebut dengan

nama tanah asalnya yaitu Tembakau Deli.
Produksi awal tembakau yang mencapai 1,2 ton/ha merupakan daya tarik bagi
para investor. Pengusaha Belanda membuka lahan di Tanah Deli menjadi areal
perkebunan tembakau yang luasnya mencapai 260.000Ha. Tanah Deli dikenal dunia
sebagai penghasil tembakau yang disebut juga sebagai emas hijau. Medan sebagai
pusat dagang Tanah Deli segera berubah menjadi kota bercorak arsitektur Eropah
dan dapat julukan Parijs van Sumatera.
Terbukanya lapangan pekerjaan tidak mampu dipenuhi oleh tenaga lokal.
Belanda sebagai pengusaha perkebunan mendatangkan orang Cina dan India dari
Malaysia sebagai tenaga kerja dan juga tenaga lokal dari Jawa. Tingginya nilai
ekonomi tembakau menyebabkan pengusahanya jadi kaya raya. Para pedagang yang
terlibat langsung atau tidak langsung dengan usaha perkebunan tembakau juga
menjadi makmur.
Medan sebagai pusat perdagangan Tanah Deli mulai
dikembangkan dan ditata menjadi kota yang nyaman dihuni. Penghijauan di Medan
dilakukan dengan menanam lima jenis pohon peneduh yaitu mangga, bunga tanjung,
mahoni, asam jawa dan trembesi. Medan aman dari ancaman bencana banjir karena
sistem drainasenya yang baik serta ada empat sungai mengalirkannya langsung ke
laut.. Untuk keberlangsungan usaha perkebunannya serta pasokan air bagi kota
Medan, Belanda menetapkan seluruh daerah hulu sungai Sei Wampu-Sei Ular

sebagai cagar alam. Cagar alam didefinisikan Belanda sebagai kawasan yang tidak
dimiliki oleh siapapun dan dimaksudkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
keindahan.

Pemanfaatan Lahan yang Tidak Arif.
Pengelola sumber daya alam dan kebijakan pengelolaan sudah berubah dengan
bertukarnya pemerintahan. Dulu pengelolaan Tanah Deli dipegang pedagang.
Mereka menjaga sekuat daya agar usahanya tetap berkembang dan tetap
menguntungkan. Belanda yang pedagang didukung oleh kekuasaan tentara yang
menjalankan aturan untuk mengamankan usaha dan keberlanjutan daya dukung
asetnya. Segala kebijakan terkait pemanfaatan lahan direncanakan dan diatur secara
matang, serta diawasi penerapannya dengan ketat. Hutan hanya dikatagorikan
sebagai hutan tetap (dalam kawasan hutan) dan hutan cadangan (di luar kawasan
hutan yang belum ditentukan peruntukannya). Lahan disebut hutan kalau ada
tegakan pohon dan lantai hutannya tidak terganggu. Daerah yang memiliki
keindahan atau keunikan khusus, potensi pengembangan ilmu pengetahuan, habitat
hewan dan tumbuhan endemik diamankan dari kegiatan pembangunan. Deleng
Lancuk, Tangkahan, Lau Debuk-Debuk, Sibolangit, Bahorok adalah contoh wilayah
yang dijadikan daerah terlarang untuk dimasuki orang. Hanya yang memiliki izin
khusus untuk melakukan penelitian demi perkembangan ilmu pengetahuan yang

boleh memasukinya. Hewan dan tumbuhan dilindungi hak hidupnya di daerah
larangan. Penikmat keindahan alam juga dibatasi jumlah dan geraknya ke dan di
dalam daerah larangan.
Bila kekuasaan tidak lagi di tangan pedagang yang memahami arti
keberlanjutan usaha, maka visi tentang lahan juga berubah. Apalagi kekuasaan
pemanfaatan lahan hanya berpandangan untuk kepentingan jabatan sesaat tanpa
dilatarbelakangi tanggungjawab moral untuk kepentingan bersama antar generasi.
Aturan tentang pengelolaan kebun yang harus menguntungkan secara berkelanjutan
mulai dirubah. Pengawasan tidak lagi sesuai aturan. Aturan berjalan sesuai kemauan,
bukan kemauan yang harus ikut aturan. Tuntutan tumbuhan tembakau terhadap unsur
hara yang tinggi sudah tidak mampu lagi dipenuhi. Lahan tembakau tidak boleh
ditanami secara terus menerus. Untuk mengembalikan kesuburannya, lahan harus
dibiarkan 8 s.d 10 tahun baru boleh ditanami kembali. Pertumbuhan penduduk yang
sangat pesat menyebabkan orang haus lahan. Tanah yang sengaja dibiarkan
ditumbuhi semak berlukar oleh pihak pengelola kebun sebelum ditanami tembakau
kembali, dianggap sebagai lahan terlantar. Masyarakat menanaminya dengan
tanaman semusim. Lahan dipacu terus untuk berproduksi. Pengerusan TopSoil
berlangsung dengan pesat. Akibatnya produksi tembakau menurun bahkan hanya
sekitar 270 kg/ha. Harganya di pasaran dunia masih tinggi. Kecemerlangan zaman
tembakau meredup sudah. Penghasilan Tanah Deli dari penjualan tembakau menurun

bukan karena harga tembakau turun, tetapi produksinya yang berkurang. Tanah Deli
tidak mampu lagi memasok kebutuhan dunia akan kualitas tembakau terbaik
pembalut cerutu.
Selain tembakau, Belanda juga memperkenalkan komoditas perkebunan lain
yaitu sawit, karet, tebu dan coklat. Sebagian lahan Tanah Deli tidak lagi ditanami
tembakau. Semua hutan di lahan datar telah bertukar menjadi tanaman perkebunan.
Tanah Deli jadi merana. Hutan pengunungan dijarah, humus di lantai hutannya
digerus untuk pengganti pupuk. Wilayah yang sumber daya alamnya dikenal
penghasil dolar berubah jadi sumber bencana bagi masyarakatnya. Daerah Sei
Wampu-Sei Ular sudah jadi daerah langganan banjir. Tanah Deli bukan lagi tanah
harapan. Daerah hulu yang seharusnya dijadikan hutan tetap, dirubah fungsi dan

pemanfaatannya. Berdasarkan kondisi geografis, wilayah sekitar Sibolangit harus
dijadikan hutan tetap. Tidak boleh dijamah, tapi pada kenyataanya dihancurkan jadi
lahan terbuka dan tak terkelola dengan baik. Sebagian besar daerah hulu yang
seharusnya jadi resapan air bagi kota Medan telah berubah menjadi pemukiman,
bangunan hotel dan restoran yang kedap air. Manfaat ekologis yang tinggi diganti
dengan manfaat ekonomis yang sangat rendah dan tidak mensejahterakan
masyarakatnya.
Catatan sejarah telah menunjukkan bahwa kesalahan memahami karakteristik

sumber daya alam dan kondisi ekosistemnya menyebabkan lahan menjadi menurun
produksi dan manfaatnya. Kesalahan memahami kondisi geografis lahan,
menyebabkan bencana bagi daerah sekitarnya. Dipicu pertumbuhan ekonomi,
masyarakat melupakan budaya yang mengisyaratkan bahwa manusia harus hidup
berdampingan dengan alam. Msyarakat harus menjaga kesimbangan alam. Hanya
pada lingkungan alam yang baik manusia dapat menyempurnakan nilai
kemanusiaannya. Daya dukung alam hanya meningkat sesaat setelah dieksploitasi,
setelah itu akan menurun secara drastis dan relatif tidak akan kembali pada kondisi
semula. Daya tampung alam memiliki keterbatasan. Tanah Deli sudah terlanjur
rusak. Hanya upaya yang serius, terencana baik dan didukung komitmen
pengelolanya yang tinggi dapat menyelamatkannya dari kehancuran total.
Sungai Pada Ekoregion Tanah Deli
Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus
memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis,
budaya masyarakat yang disebut dengan asas ekoregion. Tanah Deli memiliki
karakteristik lahan yang sangat unik. Delapan sungai yang mengalir di wilayah
Tanah Deli memiliki ekosistem yang memberikan daya dukung tinggi bagi
kehidupan masyarakatnya. Masyarakat yang mendiami wilayah Tanah Deli walau
terdiri atas keberagaman etnik, secara sosial dan budaya ternyata mampu hidup

saling melengkapi tanpa mengalami friksi. Permasalahan yang paling mendasar
adalah rendahnya kesadaran menjaga kualitas lingkungan. Masyarakat dan
pemerintahnya belum memiliki konsep yang jelas serta komitmen yang kuat untuk
menghindari terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan. Rusaknya dan
tercemarnya ke delapan sungai yang mengalir di Tanah Deli dapat diindikasikan
dengan seringnya terjadi banjir, serta menurunnya fungsi dan pemanfaatannya.
Rendahnya komitmen pengelolanya dapat diindikasikan dengan makin tingginya
frekuensi kejadian banjir, serta makin besarnya tingkat kerusakan yang
ditimbulkannya.
Tanah Deli mencakup wilayah lintas administrasi kewenangan pemerintahan
yaitu Kabupaten Langkat, Kota Binjai, Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang.
Lemahnya sistem kordinasi antar pemerintah daerah memerlukan kebijakan khusus
dalam percepatan pemulihan kualitas dan fungsi lingkungannya. Dulu, sungai yang
mengalir di Tanah Deli adalah penyebar kesuburan dan pendukung kehidupan..
Sekarang jadi sumber bencana. Karena pengelolaan yang lemah, musim kering
sungai tidak lagi mampu memasok air untuk kehidupan. Dimusim hujan, sungai
malah jadi penyebar bencana banjir. Berdasarkan potensi manfaat dan besarnya
ancaman, setelah penetapan ekoregion Tanah Deli, maka upaya yang harus
dilakukan adalah pemulihan kondisi sungai-sungainya.


Delapan sungai utama di Tanah Deli, merupakan penampung dari 387 anakanak sungai yang terdiri atas 73 ordo 2, 144 ordo tiga, 106 ordo 4 dan 64 ordo 5.
Banyaknya jumlah ordo 2 sebagai anak sungai dan ordo 3 sebagai anak-anak sungai
dari DAS seluas 9.161,2 Km2 menunjukkan luasnya areal jangkauan sungai-sungai
tersebut dalam areal Tanah Deli. Sungai dengan DAS terluas serta ordo terbanyak
adalah Sei Wampu. Dalam DAS Sei Wampu seluas 5.930 Km2, terdapat 13 sungai
ordo 2, 90 sungai ordo 3, 60 sungai ordo 4 dan 36 sungai ordo 5. Data ini dapat juga
mengingatkan bahwa bila curah hujan tinggi di hulu, maka ancaman banjir terluas
juga akan terjadi dalam DAS Wampu. Fakta ini terlihat pada kejadian banjir tahun
2000 dan meningkat lagi tahun 2001 yang hampir menggenangi seluruh wilayah
Kecamatan Kabupaten Langkat. Bila dilihat dari kondisi hulu sungainya yang
sebagai besar adalah areal Taman Nasional Gunung Leuser, maka keutuhan hutan
TNGL merupakan kunci keselamatan bagi daerah dalam DAS Sei Wampu.
Banyaknya sungai yang mengalir pada areal yang tanahnya bertekstur pasir
hingga lempung juga menyebabkan mudahnya terjadi penggerusan tanah yang
meningkatkan jumlah sedimen. Hampir seluruh muara sungai di Tanah Deli saat ini
sudah mengalami pendangkalan yang cukup parah. Kondisi terparah adalah Sei Deli
dan Sei Ular yang areal pendangkalannya lebih dari 85% daerah muara sungai.
Pendangkalan ini menyebabkan aliran air ke laut jadi terhambat sehingga
menyebabkan kerapnya terjadi banjir, apalagi bila gelombang laut besar.
Pengecualian adalah pada muara Sei Belawan yang sebaran areal pendangkalannya

cukup rendah karena adanya upaya pengerukan yang terus menerus oleh pengelola
pelabuhan Belawan.
Upaya Perlindungan dan Pengelolaan Tanah Deli
Perjalanan sejarah mencatat bahwa Tanah Deli yang sudah dikenal dunia
dengan produk tembakau terbaik akhirnya harus kehilangan reputasi dan juga
potensi ekonomi karena terjadinya kerusakan lingkungan. Daerah-daerah lain juga
akan mengalami nasib yang sama bila kejatuhan Tanah Deli tidak dijadikan
pelajaran. UUPPLH tahun 2009 menyatakan bahwa Perencanaan Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dilaksanakan melalui tahapan inventarisasi
lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH. Upaya
pemulihan kualitas lingkungan Tanah Deli tampaknya tidak akan mengalami
kesulitan untuk melalui tahapan ini. Data dan informasi tentang sumber daya alam
sudah tersedia pada masing-masing pemerintah daerah, termasuk juga tentang
kerusakan lingkungan dan konfliknya. Tanah Deli pernah menjadi wilayah kerja dari
berbagai LSM lingkungan yang juga menginventarisir data dan informasi sumber
daya alamnya, termasuk hal spesifik seperti flora dan mega fauna langka. Hulu
sungai Tanah Deli adalah Taman Nasional Gunung Leuser yang juga memiliki
sistem pengelolaan sendiri, termasuk pengumpulan data dan informasinya. Bahkan
ada LSM yang sudah membuat rancangan teknis detil pengelolaan daerah hulu hilir
TNGL. Secara adminsitratif, saat ini Tanah Deli tinggal menunggu penetapannya

sebagai Ekoregion Tanah Deli dan kemudian diikuti dengan RPPLHnya. Penetapan
ini diperlukan untuk mempermudah kordinasi antar departemen, lintas kewenangan
pemerintahan serta tanggung jawab dan kewenangan pengelolanya.
Pengelolaan DAS Sei Wampu-Sei Ular sebagai bagian dari wilayah kerja Balai
Pengelolaan DAS Wampu-Ular memang memerlukan kordinasi dan komitmen kuat
dari pemangku kepentingannya. Di hulu, hutannya rusak cukup parah. Dari 30%

yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, selain hulu Sei Wampu maka
sungai lain memiliki tutupan hutan tidak lebih dari 8%. Berdasarkan kondisi lantai
hutannya yang tidak lagi memiliki tutupan humus, maka fungsi hutan semua sungai
sudah mencapai taraf kerusakan parah. Tidak ada lagi hutan yang ditutupi humus.
Upaya pengelolaan paling penting dan paling beresiko kegagalan tinggi adalah
menyetop penebangan kayu untuk dan atas nama kepentingan apapun. Tindak
lanjutnya adalah dengan menanam, merawat hingga tumbuh dan membesarkan
pohonnya. Introdusi teknologi baik untuk penanaman pohon, teknis pengolahan
lahan dalam areal DAS secara keseluruhan diperlukan sehingga kualitas sungai dan
lahan darat dapat dipulihkan segera.
Berbagai upaya untuk mengurangi waktu dan laju air sampai ke laut diperlukan
secara terpadu dengan perbaikan kualitas hutan, termasuk pemulihan fungsi lantai
hutannya. Peraturan untuk menjaga daerah hijau pada pinggiran sungai harus

dijalankan secara tegas, walau dengan terpaksa mengorbankan bangunan yang sudah
mempersempit dan bahkan menyita alur sungai. Pengerukan muara sungai adalah
program prioritas, khususnya untuk Sei Deli dan Sei Ular guna memperlancar arus
air dan jalur transportasi sungainya. Pengerukan muara sungai sekaligus mengurangi
resiko kejadian banjir di daratan. Secara teori, semua bisa dikerjakan dan kualitas
lahan Tanah Deli pasti bisa dipulihkan. Tantangannya adalah diperlukan komitmen
pemerintah mulai dari pusat hingga daerah untuk melaksanakan amar peraturan
perundangan-undangan yang sudah berlaku positif. Perlu keseriusan dan kordinasi
yang baik dari berbagai pemangku kepentingan untuk berbuat sesuai dengan Tugas
Pokok dan Fungsinya.
Bila hulu sungai dan badan aliran sungai sudah bisa dipulihkan, maka kerja
berat berikutnya adalah menata ulang, siapa berbuat apa dan atas dasar apa terhadap
lahan yang juga punya banyak masalah. Hanya sebagian kecil dari luas lahan yang
pernah jadi areal tanaman tembakau dulu yang masih dikuasai oleh PTPN. Dari
sebagian kecil itupun sudah dikonversi dengan tanaman perkebunan lainnya.
Sebagian lahan sudah berpindah tangan baik melalui perebutan, pengambilalihan,
pemidahtanganan atau berbagai cara lainnya, namun pasti tidak akan mungkin
dikembalikan kewenangan pengelolaannya untuk menjadi tanaman tembakau. Kita
harus menyadari bahwa untuk mengembalikan kejayaan Tembakau Deli sudah
sangat tidak mungkin lagi. Paling tidak jejak sejarah ini bisa jadi acuan untuk

meyakinkan bahwa seluruh daerah dalam wilayah Tanah Deli itu memiliki
karakteristik bentang alam, daerah aliran sungai, iklim, flora dan fauna, sosial
budaya, ekonomi dan kelembagaan masyarakat yang sama sejak abad
kesembilanbelas. Dasar ini cukup untuk menetapkannya sebagai ekoregion Tanah
Deli.