Analisis Kebijakan Sistem Budidaya Tanam

1 | Page

REVISI

Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Publik

“Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah
Terhadap Kebutuhan Petani”
Dosen pengampu: Drs. Sudarmo, M.A. , Ph. D.

Disusun oleh:
Catur Wulandari
S241208003

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013


2 | Page

Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah Terhadap
Kebutuhan Petani
A. Petani dan Pertanian Indonesia: Kondisi dan Permasalahannya
Indonesia dikatakan sebagai negara agraris, ini mengisyaratkan
bahwa

sebagian

besar

wilayah

Indonesia

terdiri

dari


wilayah

pertanian dan masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Kini
jumlah lahan pertanian di Indonesia menuju kondisi kritis, ditambah
banyaknya alih fungsi lahan. Tugas negara (pemerintah) dalam hal ini
adalah menciptakan dan menjaga kesejahteraan masyarakat pertani.
Pertanian merupakan sektor yang sudah ada dan dilakukan oleh
sebagian besar masyarakat sejak jaman dulu. Untuk itulah banyak
petani yang berusaha untuk mempertahankan keanekaragaman hayati
dan

keketerampilan/kemampuan

bertani.

Keinginan

untuk


tetap

menjaga keanekaragaman hayati ditujukan untuk kebaikan generasigenerasi penerus bangsa. Penjagaan ini dilakukan dengan pemuliaan
tanaman, yaitu budidaya dan pembenihan. Hal ini dilakukan supaya
varietas-varietas

tanaman

lokal

tetap

terjaga

karena

memiliki

keunggulan.
Pada tahun 1992 pemerintah membuat kebijakan mengenai Sistem

Budidaya

Tanaman

sebagai

upaya

untuk

meningkatkan

sektor

pertanian. Regulasi mengenai sistem budidaya tanaman yaitu UndangUndang No 12 Tahun 1992. Kebijakan ini ditujukan untuk:
1. Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman
guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan,
industri dalam negeri dan memperbesar ekspor
2. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani
3. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan

kesempatan kerja

3 | Page

Namun regulasi tersebut justru menciptakan sistem budidaya tanaman
yang merugikan petani. Undang-undang tersebut membuka peluang
masuknya pemodal asing. Petani pemulia tanaman justru mendapat
tekanan dari adanya benih-benih introduksi yang diproduksi oleh
perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Padahal
varietas

baru

dari

benih

introduksi

tersebut


merupakan

hasil

persilangan genetik antara varietas tanaman dari Indonesia.
Petani dipaksa untuk membeli benih yang berasal dari petani
sendiri atau benih impor dengan harga yang mahal. Padahal benih dari
perusahaan jelas berbeda kualitasnya dengan benih lokal, meskipun
benih perusahaan biasanya lebih cepat masa panennya tetapi rakus
penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Sayangnya

benih tersebut

memang diciptakan demikian karena perusahaan telah menyiapkan
pupuk dan pestisida. Dari sinilah kemandirian petani dikebiri.
Permasalahan pertanian sudah dimulai sejak adanya Revolusi
Hijau. Pada awalnya sistem pertanian yang diterapkan diseluruh
daerah pertanian adalah sistem tradisional. Sistem ini akrab dengan
petani, namun kurang mampu mengimbangi kebutuhan pangan yang

terus

meningkat seiring

dengan peningkatan jumlah penduduk.

Kemudian munculah sistem pertanian konvensional yang merupakan
temuan baru dalam pertanian. Perubahan yang cepat dalam sistem
baru ini dipacu oleh “revolusi hijau” yang dideklarasikan pada tahun
1990.
Padahal selama beribu tahun (setidaknya seperti yang tertulis di
dincing Candi Borobudur) petani kita selalu menerapkan pertanian
yang berorientasi pada lingkungan alamiah sampai kira-kira tahun
1900an, pupuk dari kotoran hewan atau sisa-sisa panen digunakan
sebagai penyubur alamiah. Sampai kemudian muncullah revolusi hijau
(Pangaribuan, 2002).

Keinginan pemerintah untuk menigkatkan

produksi pertanian melalui revolusi hijau agar mencapai swasembada

pangan justru merugikan bagi petani Indonesia. Revolusi hijau telah
menggeser lokalitas pertanian pada traktor, bibit pabrikan, pupuk,
pestisida, herbisida kimia. Juga berkontribusi pada peminggiran

4 | Page

perempuan dengan modernisasi. Pangaribuan (2002) menyatakan
pemakaian pupuk, obat-obatan pembasmi hama, penyakit dan gulma
menyebar tanpa dapat dikendalikan, petani yang tidak mengikuti tren
ini dicap sebagai petani kuno dan ketinggalan jaman, bahkan tindakan
represif dapat dikenakan stempel sebagai pembangkang atau pengikut
organisasi terlarang.
Sebagai hasilnya Indonesia mampu mencapai swasembada pangan
terutama beras pada 1993 sampai dengan 1997 (Lengman, 1997).
Namun, sistem tersebut telah menciptakan kerusakan-kerusakan
struktur tanah akibat pemupukan yang berlebihan, peledakan populasi
hama yang timbul sebagai dampak meningkatnya penggunaan bahan
kimia pertanian yang tidak terkontrol (Pangaribuan, 2002).
Scaller (1993) menyebutkan ada beberapa dampak negatif dari
sistem pertaniaan konvensional:

1. Mencemari air tanah dan air permukaan
2. Membahayakan kesehatan manusia dan hewan, baik pestisida
maupun bahan aditif pakan
3. Menurunkan
genetik

fora

keanekaragaman

hayati

dan

merupakan

fauna

yang


termasuk
modal

sumber
utama

pertanian berkelanjutan (Suistainable Agriculture).
4. Meningkatkan ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida
5. Menurunkan produktivitas lahan karena erosi, pedatan lahan dan
berkurangnya bahan organik
6. Meningkatkan ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak
terbarui (Non-renewable Natural Resources)
Pertanian

ini

mampu

meningkatkan


produktivitas

namun

menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan. Selain itu, sangat
disayangkan adalah petani kehilangan hak untuk melakukan pemuliaan
tanaman lokal. Dampaknya kini sudah jarang ditemui benih-benih lokal
dan kehilangan kemampuan untuk pemuliaan. Diperparah dengan
munculnya pupuk-pupuk kimia yang tidak hanya berbahaya dan
mengganggu ekologi tetapi juga berbahaya bagi manusia (petani).
Sebagai hasilnya pembangunan ekonomi pertanian justru menurun dan

5 | Page

merugikan ekonomi petani. Padahal pertanian merupakan potensi
ekonomi yang paling besar karena sebagian besar penduduk Indonesia
hidup dari sektor pertanian.
Sistem budidaya tanaman justru memaksa petani untuk patuh pada
kepentingan-kepentingan

pencari

melakukan

pemerintah

keinginan

modal.

Petani

yang

dipaksa

sebenarnya

untuk
hanya

menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional.
Sekitar Juli-Agustus 2012 sebuah perusahaan benih, Syngenta,
bermitra

dengan

kelompok

tani

di

Pasuruan

dengan

program

pembenihan tanaman jagung. Petani menyambut dengan antusias
karena perusahaan siap membeli jagung pipil kering dengan harga Rp
2.950,-,

sementara

harga

dipasar

Rp

2.500,-per

kilogram.

Perusahaanpun memberikan pinjaman pupuk dan biaya garap. Setelah
perusahaan membeli benih jagung petani dan mengemasnya ulang,
mereka menjual ke petani dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp
55.000,- s.d. Rp 75.000,-. Hal ini sangat merugikan petani.
Selain itu, petani juga menjadi korban permainan benih impor.
Benih hibrida terhitung mahal, mencapai Rp 50.000,- per kilogram.
Sedangkan benih unggul nonhibrida hanya Rp 6.000,- sampai Rp
7.000,-.

Padahal

kualitas

benih

padi

hibrida

kurang

baik

dan

merugikan petani. Benih padi hibrida muncul untuk melanjutkan
program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) pada tahun 2007
untuk mencapai surplus nasional 10 juta ton pada 2014.
Beberapa fakta tersebut menggambarkan permasalahan yang
dihadapi pertanian. Petani semakin tertekan ketika hak mereka
dipangkas, ditambah dengan beberapa kasus yang menimpa petani
karena dianggap tidak mendukung agenda besar pemerintah dan
pemilik modal. Ada beberapa kasus yang menjerat petani:
1. Pertengahan

Februari

2005,

Tukirin

seorang

petani

pemulia

tanaman jagung, di Kediri, Jawa Timur, dijatuhi hukuman percobaan
selama satu tahun. Sejak saat itu ia tak boleh lagi menanam jagung.
Lelaki 62 tahun itu dituduh mencuri benih jagung oleh PT BISI,
sebuah perusahaan yang sebelumnya bekerjasama dengan petani

6 | Page

lokal menanam jagung hibrida. Sertifkasi liar menjadi dalih yang
berhasil menjerat Tukirin, bersumber dari Undang-Undang Nomor
12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT), melanggar
ketentuan Pasal 13 Ayat 2 dan 3.
2. Pada 16 Januari 2010, Kuncoro, seorang petani pemulia benih
jagung dituduh melakukan pemalsuan merek dagang Bisi. Petani
asal Dusun Besuk, Kediri, Jawa Timur itu dijerat Pasal 60 dan 61 UU
No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Padahal Ia hanya
seorang petani penangkar benih yang menjual jagung curah tanpa
menggunakan merek Bisi. UU Nomor 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (SBT) jelas mempersempit dan menghalangi
kesempatan petani berperanserta dalam pengembangan budidaya
tanaman.

Penerapan

UU

SBT

berpotensi

menghalangi

akses

masyarakat, khususnya petani, untuk memenuhi hak atas pangan.
Peristiwa tersebut nampaknya akan terus menimpa para petani
pemulia tanaman pangan. Setidaknya sejak 2005 sampai saat ini,
belasan petani pemulia telah dikriminalisasi. Karena itulah, para
relawan sosial yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological
Livehood and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi nonpemerintan petani maupun pendamping petani kecil, akademisi,
mendorong petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara
hukum. Komunitas tersebut mengajukan Judicial Riview terhadap UU
No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman kepada
Mahkamah Konstitusi.
Judicial Riview tersebut dilakukan karena kebijakan yang dibuat
pada Masa Orde Baru tersebut ternyata justru banyak menimbulkan
dampak yang merugikan bagi petani. Democratic Governance

yang

mulai dibangun pasca runtuhnya orde baru kini membawa petani dan
berbagai kalangan yang peduli

akan permasalahan petani dan

pertanian untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh petani.
Untuk itulah diperlukan kajian terhadap kebijakan tersebut dan
reformulasi kebijakan baru untuk menghasilkan kebijakan yang pro-

7 | Page

poor.

Dengan

demikian

akan

menciptakan

Community

Based

Development khususnya bidang pertanian.

B. Masalah Kebijakan
Permasalahan-permasalahan yang muncul jelas merupakan indikasi
bahwa

petani

belum

mendapatkan

regulasi

yang

menjamin

perlindungan atas hak petani. Regulasi yang ada telah merubah
agrikulktur menjadi agribisnis yang tidak beorientasi pada kearifan
lokal

dan

kesejahteraan

petani.

Dasar

hukum

yang

digunakan

perusahaan perusahaan untuk menjerat petani adalah Undang-Undang
No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Alih-alih
memberikan hak perlindungan kepada petani, sebaliknya ketentuan
mengenai Sistem Budidaya Tanaman justru memberikan banyak beban
kewajiban bagi petani yang

hendak melakukan budidaya benih. UU

yang lahir pada masa orde baru ini minim pelibatan masyarakat
dalam perencanaan budidaya tanaman.
Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menganalisis
Kebijakan Sistem Budidaya Tanaman tersubut:
1. Konsideran kebijakan bagus, tetapi aturan pelaksana tidak
memihak petani.
Konsideran UU ini punya tujuan yang bagus, namun pada
pasalnya cenderung memberikan kesempatan pada birokrasi dan
eksekutif untuk membuat aturan pelaksana yang tidak memihak
petani kecil. Dari sisi prinsip, pembuat UU tidak memikirkan subjek
yang terkena dampak, yaitu petani kecil untuk memenuhi
persyaratan yang sangat berat. Ada beberapa pasal yang menjadi
persoalan petani:
a. Pasal 6, pemerintah menyatakan bahwa petani memiliki hak
menanam apa yang diinginkan. Tetapi diayat berikutnya hak bisa
hilang akibat petani wajib mengikuti rencana yang ditentukan
pemerintah.

8 | Page

b. Pasal

9,

petani

yang

sedari

awal

melakukan

pencarian

plasmanutfah kemudian harus memakai ijin, kalau tidak maka
menjadi terlarang.
c. Pasal 12, hasil karya petani melakukan pemuliaan tanaman
apabila diedarkan oleh kelompok, komunal dilarang, serta dituduh
melakukan sertifkasi liar.
d. Pasal 60 mengenai aturan pemiadanaan.
Pasal-pasal tersebut yang sering menjadi dasar menjerat petani
dalam kasus hukum.

Petani yang melaksanakan pemuliaan benih

dianggap melanggar peraturan karena tidak memenuhi persyaratan.
Hal ini disebabkan karena pemerintah menerapkan peraturan yang
sama antara petani pemulia tanaman dengan perusahaan, pabrik
atau laboratorium dan peneliti. Penerapan ketentuan yang sama ini
ditujukan untuk menjaga keanekaragaman tanaman pangan dari
pihak yang tidak bertanggungjawab tetapi justru petani yang
dilemahkan dengan kebijakan tersebut.
Fakta-fakta

yang

terjadi

menunjukkan

bahwa

telah

terjadi

Kriminalisasi petani. Kriminalisasi oleh perusahaan-perusahaan
pada

petani

dengan

dalih

pelanggaran

terhadap

UU

Sistem

Budidaya Tanaman. Padahal pemuliaan tanaman yang dilakukan
petani hanya untuk menjaga keunggulan lokal, keanekaragamn
hayati dan menjaga keseimbangan ekologi alam. Keuntungan
petanipun tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh
perusahaan-perusahaan tersebut.
Diskriminasi juga dialami oleh petani. Diskriminasi ini terjadi
bukan hanya karena keterbatasan akses pada sumber tertentu,
tetapi juga penerapan ketentuan yang sama antara kemampuan
yang berbeda, seperti yang dialami petani. Petani mendapatkan
perlakuan atau syarat yang sama dengan perusahaan-perusahaan
besar

agar

mampu

menyingkirkan

petani

memuliakan
dalam

tanaman.

upaya

akhirnya juga membatasi akses petani.

Ini

pemuliaan

juga

berarti

tanaman

yang

9 | Page

UU tersebut juga menimbulkan kebijakan mengenai benih impor.
Masuknya benih impor melalui dua regulasi yaitu, Peraturan
Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2006 Tentang Pemasukan dan
Pengeluaran Benih, impor benih hanya boleh dilakukan selama 2
tahun.

Kedua,

Peraturan

No.70/Permentan/OT.140/2007
dilakukan

hingga

3

Menteri

yang

tahun,

Pertanian

menyatakan

setelah

itu

impor

boleh

importir

wajib

membudidayakan benih di Indonesia. Padahal munculnya benih
impor ini merugikan petani pemulia tanaman. Sehingga muncul
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a. Peraturan perundangan ini berkaitan dengan kebijakan mengenai
kontrol terhadap benih, justru menghambat kreativitas dan
produktivitas petani, bahkan melanggar hak-hak petani.
b. UU SBT mengontrol semua proses budidaya tanaman semua
tanaman, yang berpotensial melanggar hak-hak petani.
c. Aturan UU tidak mempertimbangkan dan menegasikan peran
petani pemulia, dengan secara langsung/tidak langsung yang bisa
melakukan

pemuliaan

adalah

perusahaan/laboratorium

dan

peneliti.
d. UU SBT ini menegasikan adanya benih yang dikembangkan oleh
petani secara turun menurun.
e. UU SBT ini berpotensi meletakkan peran petani hanya sebagai
pengguna

benih,

sehingga

benih

hanya

dimonopoli

oleh

perusahaan dan menyebabkan ketergantungan pada perusahaan
benih, benih menjadi mahal
f. UU SBT menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya
membagi benihnya, bertukar benih dan menjual kepada sesama
petani, karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah
dipenuhi oleh petani.
g. Berpotensi meletakkan kontrol sumber daya pertanian, termasuk
benih, pengetahuan, pada beberapa perusahaan pertanian dan
perbenihan.

10 | P a g e

h. Dirancang untuk memberikan perlindungan kepada peneliti,
industri swasta yang bergerak dibidang pertanian dan atau
perbenihan, bukan petani.
i. Mendukung

pola

pertanian

monokultur

yang

justru

rawan

serangan hama dan tidak berkelanjutan.
2. Rendahnya

Responsivitas

Pemerintah

ditandai

dengan

Langkah petani untuk Judicial Riview UU SBT
Menyadari akan pentingnya perlindungan hak petani maka
beberapa

pihak

bersinergi

untuk

membagun

kekuatan

yang

merupakan modal sosial. Maka inisiatif dari para relawan sosial
yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological Livehood
and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi non-pemerintan
petani maupun pendamping petani kecil, akademisi, mendorong
petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara hukum.
Kekuatan petani dibangun agar mampu memiliki bargaining position
dalam

dalam

upaya

menjaga

agrikultur.

Komunitas

tersebut

bersama petani melakukan Judicial Riview terhadap UU No. 12
Tahun 1992 tersebut pada Oktober 2012. JR tersebut diajukan oleh:
Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS)
Farmer Initiatives for Ecological Livehoods and Democracy
(FIELD)
Aliansi Petani Indonesia (API)
Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Besa)
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)
Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS)
Perkumpulan Sawit Watch
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Kunoto
Kinarsih

11 | P a g e

Kegiatan

awal adalah workshop

pada

22-24

Mei 2012

di

Yogyakarta dengan tajuk “Mewujudkan Hak Petani Atas Benih”,
bertujuan : memperkuat persepsi jaringan petani tentang hak petani
atas benih serta merumuskan langkah strategis dan taktis sebagai
upaya mewujudkan hak petani atas benih.

Workshop tersebut

merekomendasikan beberapa hal untuk ditindaklanjuti:
Memilih strategi advokasi dan fokus isu terkait regulasi benih:
Judicial Review UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman
Pengorganisasian jaringan petani pembenih
Menyusun modul panduan pengelolaan pembenihan
Menyusun desain community seed center
Mengusulkan konsep perlindungan benih lokal didalam peraturan
daerah (Perda) dan peraturan desa (perdes)
Kemudian

dilaksanakan

sosialisasi

uji

materiil

UU

SBT

di

komunitas petani organik pada 26-28 Juni 2012 di Sumatera Barat.
Selanjutnya dilakukan sarasehan di Bogor, Jawa barat. Pertemuan
pakar dilakukan dan konferensi pers dilakukan beberapa kali.
Hasil kajian menunjukkan bahwa UU ini diperuntukkan bagi
perusahaan-perusahaan asing, hak kekayaan intelektual, dan selalu
membuka

peluang

investasi

modal

raksasa.

Bukan

untuk

kesejahteraan petani. UU ini juga sama sekali tidak menyinggung
soal participatory plan breeding, UU ini menegasikan dan
memarjinalkan
Pemerintah

kebudayaan

hanya

mengejar

bercocok
aspek

tanam

petani.

produksi,

padahal

pendekatan petani lebih holistik dan sustainable.
Kemudian

juga

dilakukan

identifkasi

pihak-pihak

berkepentingan terhadap UU SBT tersebut, diantaranya:
Petani
Petani
pemulia
benih
Petani penangkar
Petani penggarap

Perusahaan
Perusahaan benih
Distributor
Pengecer
Petani
mitra

Pemerintah
Kementerian
pertanian
Kementerian
perdagangan

yang

12 | P a g e

dan pemilik

perusahaan

Kementerian BUMN
DPR
Polisi
BPSP (Balai Pengawas
dan Sertifkasi Benih)
BP (Balai Penelitian)

Hal tersebut menunjukkkan bahwa kebijakan pemerintah belum
pro pada petani, belum mampu menjadi solusi atas permasalahan
petani

dan

pertanian

memarjinalkan

Indonesia.

kebudayaan

UU

bercocok

ini

menegasikan

tanam

petani.

dan

Hal

ini

menunjukkan masih rendahnya responsivitas pemerintah terhadap
kebutuhan petani.
Responsivitas (Dunn, 2003:437) berkenaan dengan seberapa jauh
suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi
terhadap

harapan,

keinginan

dan

aspirasi,

serta

tuntutan

masyarakat (Tangkilisan, 2005:177). Dengan demikian responsivitas
merupakan langkah pemerintah dalam meyediakan tuntutan warga
masyarakat.
memenuhi

Kemauan
kebutuhan

ini

diwujudkan

masyarakat.

dalam

Sistem

kebijakan

budidaya

untuk

tanaman

merupakan sistem pengembangan dan pemanfaatan sumber daya
alam nabati melalui upaya manusia dengan modal, teknologi dan
sumberdaya

lainnya

menghasilkan

barang

guna

memenuhi

kebutuhan manusia secara lebih baik. Sistem budidaya diciptakan
untuk menjaga ketersediaan tanaman pangan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia yang selalu meningkat.
Kebijakan tersebut seharusnya merupakan bentuk responsivitas
terhadap kebutuhan dan kepentingan petani. Namun permasalahan
yang terjadi

justru mengidikasikan kebijakan tersebut belum

menjadi jawaban atas permasalahan petani, selain itu responsivitas
terhadap kebutuhan petani masih lemah. Padahal responsivitas
dalam kebijakan pertanian merupakan faktor penting, mengingat

13 | P a g e

sebagian besar masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai
petani.
Disisi lain petani yang merasa pemerintah tidak responsif
terhadap kepentingan dan kebutuhan petani membangun kekuatan
untuk

melakukan

perlawan.

Masyarakat

petani

membangun

kekuatan dengan Modal Sosial. Burt

(1992) dalam Agus dkk

mendefnsikan, modal

kemampuan

untuk

melakukan

sosial

adalah

asosiasi (berhubungan)

satu

masyarakat

sama lain dan

selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi
kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial
yang lain. Solow (1999) mendefnisikan, modal sosial sebagai
serangkaian
dalam

nilai-nilai

perilaku

kapabilitas
menghasilkan

yang

untuk

atau

norma-norma

dapat mendorong

bekerjasama

kontribusi

dan

besar

yang

diwujudkan

kemampuan
berkoordinasi

terhadap

dan
untuk

keberlanjutan

produktivitas.
Petani dengan berbagai komunitasnya kemudian membentuk
Assosiasi Bank Benih Indonesia guna mempertahankan benih lokal.
Peristiwa ini telah membawa peristiwa sosial menjadi peristiwa
politik. Petani yang merasa ditindas telah melakukan upaya untuk
mempengaruhi kebijakan dengan membangun modal sosial.
3. Permasalahan Konstitusional
Ada beberapa pasal dalam UU SBT yang bertentangan dengan UUD
1945, yaitu:
a. Sistem budidaya tanaman yang dipaksakan oleh pemerintah
kepada petani sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Ayat 1 huruf
a, huruf b dan huruf c bertentangan dengan pasal 28 A UUD 1945
yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.
Bagi petani bercocok tanam atau membeudidayakan tanaman
merupakan hidup dan penghidupannya.
b. Jika pasal 5 tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 Ayat 2 yang
menyatakan bahwa petani wajib ikut serta dalam mewujudkan

14 | P a g e

rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, maka ini
mengakibatkan pertentangan antara kewenangan pemerintah
dengan hak petani. Petani harus tunduk pada perencanaan
pemerintah yang mengakibatkan ketidakpastian hukum antara
hak dan kewajiban petani.
Padahal jaminan kepastian hukum yang adil merupakan hak
konstitusional yang diatur dalam pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945,
yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Disisi lain pengaturan wilayah dan produksi oleh pemerintah
menyebabkan petani kehilangan hak untuk menentukan jenis dan
pola budidaya tanamandi tanahnya sendiri. Hal ini bertentangan
dengan Pasal 28 H Ayat 4 yang menyatakan bahwa:” Setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”
c. Pasal 6 Ayat 1 menyatakan petani memiliki “kebebasan”, tetapi
kebebasan tersebut dibatasi oleh Ayat 2 dengan mewujudkan
rencana pemerintah. Padahal petani tidak dilibatkan dalam
perencanaan. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 A,
Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28 I Ayat 3 UUD
1945.
Pasal 28 I Ayat 3 berisi tentang penghromatan terhadap identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional.
d. Pasal 9 Ayat 3 , sepanjang kata “ Perorangan” bertentangan
dengan Pasal 28A, Pasal 28 C, Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 I Ayat 2
dan 3, serta Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945.
UU SBT membedakan antara pemulia tanaman dengan petani.
Padahal kegiatan pemuliaan tanaman tiak bisa dipisahkan dari
petani dan diantara petani ada pemulia tanaman.
e. Pasal 10 UU SBT menyatakan introduksi benih dapat dilakukan
untuk pemuliaan tanaman yang dapat dilakukan oleh perorangan
dan badan hukum. Selanjutnya pasal 11 menyatakan setiap orang

15 | P a g e

atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk
menemukan varietas unggul. Dalam frasa setiap orang terdapat
kominitas petani yang telah melakukan pemuliaan tanaman secara
turun-menurun, sedangkan dalam frasa badan hukum terdapat
perusahaan-perusahaan

yang

melakukan

privatisasi

dan

komersialisasi benih. Ini juga merupakan tindakan diskriminatif
f. Pasal 12 UU SBT, menyatakan bahwa “varietas hasil pemuliaan
atau introduksi dari luar negeri” dilepas oleh pemerintah sebelum
diedarkan. Ini berarti ada peraturan atau ketentuan tertentu
untuk melepaskan benih, padahal dalam frasa varistas hasil
pemuliaan

ada

yang

dilakukan

oleh

petani

kecil.

Hal

ini

bertentangan dengan pasal 28 A, Pasal 28 C, Pasal 28I Ayat 3 dan
Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945. UU Sistem Budidaya Tanaman
tersebut melanggar hak petani dan tidak bisa digunakan untuk
kemakmuran rakyat.
g. Sedangkan

pasal

60

UU

SBT

tentang

ketentuan

pidana

bertentangan dengan Pasal 28 G Ayat 1 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa:” Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang
dibawah

kekuasannya,

serta

berhak

atas

rasa

aman

dan

perlindungan dari ancaman kekuatan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
4. Tidak

adanya

pelibatan

masyarakat

dalam

perencanaan

Sistem Budidaya Tanaman.
Pemerintah

menginginkan

petani

mengikuti

program

yang

dirancang oleh pemerintah, namun petani tidak terlibat dalam
perencanaannya. Tidak adanya akses dan ruang partisipasi yang
terbuka bagi petani inilah yang membuat kebijakan Sistem Budidaya
Tanaman selama ini tidak memihak pada petani. Sehingga kebijakan
maupun program yang dibuat tidak mampu memenuhi kebutuhan
dan kepentingan petani yang sebenarnya. Tidak ada manajemen
partisipatif dalam pembuatan kebijakan, sehingga petani hanya

16 | P a g e

bertindak sebagai obyek yang harus melaksanakan kebijakan yang
telah dibuat oleh pemerintah.
Petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pengembangan
dan pengaturan produksi serta penetapan wilayah. Selama ini yang
ada hanyalah forum sosialisasi mengenai imbauan pemerintah.
Petani

yang

tidak

menjalankan

imbauan

pemerintah

dapat

dikrimminalisasi, diskriminasi dan diintimidasi.
Penelitian bidang pertanian yang dilakukan dibiayai oleh negara
dan pangusaha, perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tidak
didasarkan atas kebutuhan petani. Tidak melibatkan petani secara
aktif dan partisipatif, serta mengabaikan ketangguhan ekosistem.
Pemerintah hanya mengejar kepentingan angka produksi yang
tinggi,

mengabaikan

tujuan-tujuan

lain

dibidang

kelestarian

lingkungan, ketangguhan ekosistem, kesejahteraan petani dan
rendahnya etika lingkungan.
Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang pembuatan kebijakan,
dimana pembuatan kebijakan ini adalah pada masa orde baru.
Pemerintahan Orde Baru memasuki wilayah politik baru, yaitu
Negara-Birokrat-Otoriter

(NBO), yang memang tidak dapat

dipisahkan dengan model pembangunan ekonomi “Trickle Down
Efect”. Model pembangunan yang diharapkan mampu memberikan
‘tetesen’ kesejahteraan pada masyarakat. Masyarakat Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru dijauhkan dari segala macam
aktivitas politik maupun ekonomi. Dimana pada masa tersebut
banyak kebijakan publik yang dibuat dengan cara Top-Down, hal ini
membuat

kebijakan

yang

dihasilkan

dalam

sisitem

budidaya

tanaman ini tidak mempertimbangkan partisipasi masyarakat.
Menurut Adi (2003), Sebagian besar kebijakan Pemerintah (Orde
baru) bernuansa “top-down”, dominasi Pemerintah sangat tinggi,
akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan
keunggulan desa, dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan
dan kebutuhan lokal. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil

17 | P a g e

dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang
tidak bisa ditolak. Masyarakat hanya sekedar objek pembangunan
yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belum menjadi subyek
pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi
inisiator (sumber bertindak).
Lebih jauh Adi menyampaikan bahwa kegagalan penerapan
program-program pembangunan perdesaan di masa lalu adalah
karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program
pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Proses perencanaan
pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralisasi
dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan
bermasyarakat. Partisipasi saat itu lebih diartikan pada bagimana
upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada
awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah.
Karenanyalah perekonomian secara umum meningkat namun
upaya-upaya untuk menyejahteraan masyarakat tidak tercapai. Kini
dengan munculnya orde reformasi yang

membawa amandeman

UUD 1945 maka prinsip partisipasi menjadi sangat penting dalam
menunjang

Democratic

Governance

.Tidak

adanya

partsisipasi

petani dalam tahapan rencana pembangunan dan perencanaan
budidaya tanaman ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat 2 karena
telah menghalangi petani dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif, partisipati untuk membangun masyarakat bangsa dan
negara. Juga bertentangan dengan pasl 28 I ayat 2 tentang
perlindungan terhadap diskriminiasi, karena merupakan praktek
diskriminasi terhadap petani.
5. Globalisasi Benih dan Neo-Liberalisme
Benih merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian.
Namun kini benih sudah banyak yang dikuasai oleh perusahaan
asing. Perusahaan-perusahaan benih raksasa yang menguasai pasar
benih dunia telah mengakses ratusan ribu jenis benih kemudian
diproduksi sebagai bibit unggul, hibrida dan transgenik. Selama

18 | P a g e

1996-2007 varietas tanaman yang telah dipatenkan untuk tanaman
pangan sebanyak 27 %, sayuran 10% dan buah-buahan sebanyak 4
%. Hak paten ini menambah kemenangan perusahaan atas petani
kecil terkait akses terhadap benih di dunia.
Saat ini sekitar 90% pasar benih dan input pertanian dikuasai
perusahaan-perusahaan
perusahaan

benih

multinasional

raksasa.

(MNC),

Setidaknya

antara

lain

terdapat

6

Monsanto,

Syngenta, Bayer, Dow Agro Science, BASF dan Dupon. Pada
1996, sekitar 10 perusahaan menguasai 37 % benih didunia, pada
2004: 49 %, 2005: 51%, dan 2006: 57% dengan nilai total 13 Miliar
Dollar AS. (Utomo, 2012)
Fakta

tersebut

menunjukkan

bahwa

perusahaan-perusahaan

multinasional menguasai pasar benih lokal. Stidaknya ada sekitar 51
perusahaan benih yang menguasai benih lokal. Benih-benih hibrida
menggantikan

benih-benih

lokal.

Padahal

benih-benih

hibrida

memiliki kelemahan:
a. Tidak tahan terhadap serangan hama
b. Harga benihnya mahal
c. Petani harus membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil
panen

sebelumnya

tidak

dapat

dipakai

untuk

pertanaman

berikutnya
Sebenarnya sumbangan petani terhadap diversitas sumberdaya
genetika lebih besar. Sejak

1990 petani telah menanam 1,9 juta

jenis tanaman, sebaliknya sektor industri hanya menanam 72.500
saja. Petani telah memuliakan 5000 tanaman pangan, sementara
perusahaan

termasuk

yang

multinasional

hanya

mampu

menghasilkan 150 jenis.
Masuknya benih asing tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya
perusahaan multinasonal yang kini sudah menguasai pasar input
pertanian di Indonesia. Hal ini sudah dimulai pada masa orde baru
dimana

pembuat

kebijakan

begitu

dekat

dengan

penguasa.

Kebijakan ekonomi awal orde baru membuka lebar-lebar modal
asing dengan dibuatnya Undang Undang Penanaman Modal Asing

19 | P a g e

pada Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal dalam
Negeri pada Tahun 1968. Pemerintahan Orde Baru memutuskan
untuk menerapkan tiga langkah pembangunan ekonomi berikut pada
masa

awal

pelunasan

pemerintahannya.
utang

mengembalikan

luar

negeri

kepercayaan

Pertama,

menjadwalkan

sebagai
pihak

langkah
luar

awal

negeri.

kembali
untuk
Kedua,

mengendalikan infasi yang tak terkontrol melalui program impor
komoditi besar-besaran yang di biayai oleh pinjaman-pinjaman hasil
re-negoisasi.

Ketiga,

mengundang

investasi

sebesar-besarnya,

terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
(Analisa-kebijakan-ekonomi-post-orde, 2009)
Pembangunan pada masa itu , dengan suntikan modal dan
teknologi diharapkan mampu membawa “Trickle Down Efect” dan
“Spillover”. Dibuka peluang sebesar-besarnya untuk modal asing
dan dalam negeri, untuk mendukung konstruktif pembangunan
ekonomi tersebut, pemerintahan Orde Baru meminta dukungan IMF
(International Monetary Fund). Poin-poin penting yang disarankan
untuk diterapkan oleh IMF adalah, pertama, kekuatan pasar adalah
kekuatan yang vital dalam stabilisasi ekonomi. Kedua, untuk itu,
maka keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi pasar
dengan tidak lagi menikmati fasilitas kredit dan alokasi devisa dari
negara, tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga
subsidi. Ketiga, sebagai insentif bagi sektor swasta maka lisensi
impor terhadap bahan baku dan perlengkapan tidak lagi di batasi.
Terakhir adalah fasilitas insentif berupa keringanan pajak dan lainlain bagi penanaman modal baru yang di jamin oleh UndangUndang. Hubungan baru antara IMF dengan pemerintahan Orde
Baru ini menjadi momentum awal dari ketergantungan (dependen)
pembangunan ekonomi Indonesia terhadap pihak eksternal atau luar
negeri.
Menurut Mander, et all (2003) Seluruh kebijakan lembagalembaga Bretton Woods (Bank Dunia, IMF, WTO dan lainnya) tidak
dirancang untuk memberikan keuntungan kepada negara-negara

20 | P a g e

miskin, melainkan kepada negara-negara indusri kaya dan berbagai
korporasi global. Sebagai akibatnya banyak kebijakan yang dibuat
pemerintah dikendalikan oleh kepentingan korporasi global.
Lebih jauh Mander, et all menyatakan bahwa dampak yang paling
traumatis kebijakan globalisasi- baik dalam penciptaan kemiskinan
maupun penghancuran lingkungan hidup-

telah terjadi perubahan

perekonomian lokal yang sangat dipaksakan yaitu perubahan model
pertanian yang terdiversifkasi dalam skala kecil menuju ekspor
industrial, dan perubahan itu digerakkan oleh korporasi-korporasi
global.
Sistem ini justu telah menghilangkan keswasembadaan dan
kemandirian petani menjadi ketergantungan dan kelaparan. Karena
petani-petani yang dulu mengembangkan tanaman pangan untuk
mereka dan komunitas mereka, terganti atau tergantung pada
korporasi-korporasi raksasa dengan pola pengembangan ekspor
global. Campur tangan lembaga-lembaga tersebut menurut Mander,
et all (2003) telah menggeser kesejahteraan masyarakat petani.
Petani yang dulu telah menanam bermacam-macam benih varietas
lokal, membuat pupuk sendiri, melakukan sistem tanam bergilir, dan
pengelolaan pstisida, pengelolaan benih, air dan tenaga kerja
menjadi diliputi dengan kemiskinan.
Sehingga tidak heran kebijakan yang dibuat pada masa (Orde
Baru) tersebut lebih memihak pada keuntungan pengusaha. Ini juga
yang terjadi pada kebijakan sistem budidaya tanaman yang dibuat
pada masa orde baru ini. Dengan demikian, kebijakan yang
dihasilkan merupakan kepentingan penguasa dan pengusaha yang
begitu

dekat

pada

masa

tersebut.

Kebijakan

tersebut

juga

merupakan alat “tools” bagi korporasi-korporasi global dalam
menjalankan neo-liberalisasi.
Berdasarkan

permasalahan-permasalahan

yang

diungkapkan

diatas maka diperlukan re-formulasi kebijakan baru untuk menjamin
kebijakan yang benar-benar memihak pada kepentingan masyarakat.
Untuk itulah dirumuskan peta masalah dalam memformulasikan

21 | P a g e

kebijakan baru. Dunn (2003), menyampaikan beberapa tahap dalam
perumusan masalah yaitu:
a. Situasi Masalah, merupakan upaya pengenalan masalah
b. Meta Masalah, merupakan upaya pencarian masalah
c. Masalah Subtantif, merupakan upaya pendefnisian masalah
d. Masalah Formal, merupakan spesifkasi masalah
Berdasarkan

fakta-fakta

yang

diungkapkan

diatas

maka

peta

masalah dalam kebijakan sistem budidaya tanaman tersebut adalah
sebagai berikut:

C. Tujuan Analisis

22 | P a g e

-

Mengevaluasi

kebijakan

pemerintah

dalam

sistem

budidaya

tanaman
-

Menyusun rekomendasi alternatif kebijakan dalam me-Reformulasi
kebijakan sistem budidaya tanaman

D. Kebijakan yang dianalisis
-

Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya
Tanaman

E. Evaluasi Kebijakan
Beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut menggirirng
pada

harus

Budidaya

dilakukannya

Tanaman.

evaluasi

Fakta-fakta

terhadap

tersebut

kebijakan

Sistem

menunjukkan

bahwa

pemerintah belum responsif terhadap kepentingan petani.
F. Penilaian Alternatif
Kriteria yang digunakan untuk pemilihan alternatif menggunakan
kriteria kelayakan alternatif kebijakan yang disampaikan oleh Patton
dan Sawicki dalam Subarsono (2008), ada 4 Kriteria:
1. Kelayakan teknis (Technical Feasibility), apakah alternatif yang
dipilh dapat mengatasi pokok persoalan yang muncul, mencakup
dua sub-kriteria:
a. Efektivitas (Efectiveness), apakah alternatif yang dipilih dapat
mencapai tujuan yang diinginkan
b. Kecukupan (Adequacy), seberapa jauh alternatif yang dipilih
mampu menyelesaikan persoalan
2. Kemungkinan ekonomik dan fnansial (Economic and Financial
Possibility),sub kriteria:
a. Economic eficiency (efsiensi ekonomi), apakah dengan resource
yang ada dapat memperoleh manfaat yang optimal
b. Profitability (Keuntungan), mempersoalkan perbandingan input
dan output kebijakan
c. Cost efectiveness (efsiensi biaya), mempersoalkan apakah
tujuan dapat dicapai dengan biaya yang minimal.
3. Kelayakan Politik (Political Viability), mencakup:

23 | P a g e

a. Acceptability (Tingkat Penerimaan), apakah alternatif kebijakan
yang bersangkutan dapat diterima oleh aktor politik (pembuat
keputusan) dan masyarakat (penerima Kebijakan)
b. Appropriateness (kepantasan), mempersoalkan apakah kebijakan
yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat.
c. Responsivenees (daya tanggap), menanyakan apakah kebijakan
yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
d. Legal, apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan
dengan peraturan yang ada
e. Equity (keadilan), menanyakan apakah kebijakan tersebut dapat
mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat
4. Kelayakan administratif (administrative operability), sub-kriteria:
a. Authority (otoritas), mempersoalkan apakah organisasi pelaksana
kebijakan cukup memiliki otoritas
b. Institutional

commitment

(komitmen

institusi),

menyangkut

komitmen dari para administrator dari tingkat atas dampai
tingkat bawah.
c. Capability (kapasitas), berkenaan dengan kemampuan aparatur
baik kemampuan konseptual maupun ketrampilan.
d. Organizational support (dukungan organisasi), ada tidaknya
dukungan dari organisasi pelaksana kebijakan.
G. Alternatif kebijakan
Alternatif

kebijakan

yang

direkomendasikan

berkaitan

dengan

Undang-Undang mengenai Kebijakan Sistem Budi Daya Tanaman
tersebut adalah:
1. Perubahan atau amandemen UU No. 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman
Melihat banyaknaya pasal dan ketentuan dalam UU yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak petani maka alternatif
kebijakan yang diajukan adalah perubahan UU tersebut menuju UU
yang lebih responsif pada kebutuhan dan kepentingan petani.

24 | P a g e

Bukan hanya sekedar Uji materi, sebab UU tersebut tidak
melibatkan partisipasi masyarakat dan hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu.
Nugroho (2003: 224) mengkaitkan kebijakan publik dengan
Good Governance, baik dalam formulasi, implementasi, maupun
evaluasi kebijakan publik. Sehingga dalam setiap tahap-tahap
proses

kebijakan publik akan berdasarkan pada prinsip-prinsip

Good

Governance

yang

berupa

akuntanbilitas,

transparansi,

fairness dan katanggapan. Secara umum prinsip GG adalah
participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus
orientation, equity, efectiveness and eficiency, accountability dan
strategic vision.

Dengan demikian pengintegrasian GG dalam

proses kebijakan publik akan menjamin partisipasi, responsivitas,
keadilan, efektivitas dan efsiensi serta akuntabilitas. Sehingga
perlu dibuat kebijakan yang mampu menjamin dilaksankannya
prisnsip-prinsip

Good

pelaksanaannya

tetapi

Governance
juga

dalam

bukan

hanya

pembuatan

dan

dalam
evaluasi

kebijakan.
Reformulasi kebijakan dengan mengintegrasikan GG harus
mampu menciptakan Sistem Budidaya Tanaman yang mengandung:
 Sistem

pertanian

yang

berwawasan

lingkungan

(Agroecosystem) dan memperhatikan etika lingkungan
 Sistem

pertanian

yang

berkelanjutan

(Suistainable

Agriculture)
 Mengembangkan potensi sosial dan ekonomi masyarakat
petani (Community Based Development)
 Menjamin hak-hak petani
Reformulasi kebijakan tersebut diperlukan karena banyak pasal
yang

juga

bertentangan

dengan

UUD

1945

amandemen.

Reformulasi kebijakan tersebut dilakukan oleh lembaga legislatif
dengan

berorientasi

memerlukan

waktu

pada

kepentingan

yang

panjang

petani,

untuk

namun

membuat

akan

sebuah

kebijakan. Pembuatan kebijakan ini harus juga menyertakan

25 | P a g e

aspirasi petani dalam komunitas petani, sehingga kebijakan akan
bersifat Buttom Up. Dengan prinsip partisipatori maka kebijakan
yang dibuat akan mampu menyelesaikan masalah yang selama ini
menjerat petani.
Penilaian terhadap kriteria ini
a. Technical Feasibility
Kriteria ini mencakup Efectiveness and adequacye Kebijakan
ini

akan

efektif

karena

adanya

prinsip

partisipasi

serta

memperhatikan hak-hak petani, sehingga masyarakat tidak
hanya menjadi obyek tetapi juga subyek kebijakan. Kebijakan ini
akan menjadi pedoman nasional dalam upaya menciptakan
sistem budidaya tanaman yang berwawasan lingkungan dan
berkesinambungan serta memperhatikan kesejahteraan petani.
Selain itu kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan
(adequacy), karena petani akan mendapatkan jaminan atas hakhak mereka. Dengan demikian petani tidak akan disamakan
dengan perusahaan-perusahaan ataupun laorataorium untuk
penelitian.
b. Economic and Financial Possibility
Kriteria ini berupa economic eficiency, profitability and cost
efectivenesse Pembuatan UU memang memerlukan biaya yang
tidak sedikit, apalagi ongkos politik yang harus dikeluarkan,
namun pembuatan kebijakan harus menggunakan sumber daya
yang ada untuk mencapainya. Kebijakan ini mampu menciptakan
economic eficiency, jika melalui proses-proses yang fair. Namun
disisi lain profitability akan berkurang karena mempersempit
kemungkinan masuknya modal asing tetapi lebih mengutamakan
pada kesejahteraan masyarakat.
Disisi lain, ketika kebijakan ini sudah jadi dan diimplementasikan
akan

mampu

mencapai

cost

efectiveness,

karena

membutuhkan biaya yang minimal untuk mencapai tujuan.
c. Political Viability

akan

26 | P a g e

Kriteria

ini

mencakup

responsiveness, legal dan

acceptability,

approppriateness,

equitye Kebijakan ini akan memiliki

acceptability yang berbeda antara masyarakat dengan aktor
politik, dari aktor politik akan ada dimensi politik yang berperan.
Padalah

kebijakan

ini

merupakan

tuntutan

masyarakat

(Responsiveness), sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada
(Legal) karena justru UU SBT yang sekarang banyak pasal yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 amandemen.
Selain itu kebijakan ini akan memberikan Equity

dalam

masyarakat dengan perlakuan sesuai dengan yang dibutuhkan
petani.
Namun, Acceptability aktor politik akan berbeda dan bisa
bertentangan dengan korporasi global dengan bergagai alatnya.
d. Administrative Operability
Kriteria ini mencakup authority, institutional commitment,
capability,

and

organizational

supporte

Lembaga

legislatif

memiliki authority dalam melakukan perubahan UU tersebut dan
meformulasikan kebijakan baru yang lebih propetani. Kebijakan
dengan

bentuk

UU

akan

mampu

mengikat

institutonal

commitment aparat pelaksana kebijakan dari tingkat atas sampai
bawah. Namun, kebijakan ini belum didukung dengan capability
dan organizational support yang memadai. Karena selama ini
pemerintah telah cenderung melaksanakan kebijakan yang topdown.
2. Pembuatan Peraturan Daerah mengenai perlindungan bibit
lokal dan pertanian organik
Dengan adanya kebijakan desentraliasai dimana kewenangan
daerah lebih besar dalam penagturan diri maka Pemerintah Daerah
menjadi regulasi yang penting. Pembuatan peraturan daerah ini
diperlukan

dengan

memperhatikan

lokalitas

masing-masing

daerah. Perda ini akan menjamin kesejahteraan petani dan sistem
pertanian yang berbeda disetiap daerah. Badjuri dan Yuwono

27 | P a g e

(2002:181)

menyampaikan

bahwa

kebijakan

otonomi

daerah

menuntut daerah untuk mampu mandiri khususnya dalam konteks
kebijakan publik, spirit dan kebijakan otonomi daerah ini adalah
bahwa daerah diharapkan mampu menyusun perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan daerahnya
sendiri.
Maka diperlukan perda yang mandapat jaminan dengan UU.
Peraturan

daerah

yang

dibuat

harus

memuat

mengenai

perlindungan terhadap bibit lokal dan sistem pertanian organik.
Hal ini didasari karena sistem pertanian konvensional yang
sekarang banyak menimbulkan kerusakan baik secara ekologi,
ekonomi maupun sosial. Dengan pertanian organik maka akan
membentuk sistem pertanian yang suistainable agriculture dan
agroecosysteme Mc Guinees (1993) menyatakan pertaian organik
merupakan sistem produksi yang menyeluruh dan terpadu yang
mengoptimalkan

produktivitas

agroekosistem

(ekosistem

pertanian). Pertanian yang berpijak pada kesuburan tanah sebagai
kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan
alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas
yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan. Pertanian yang
menghasilkan pangan yang sehat (bebas dari obat-obatan dan zat
kimia yang mematikan).
Menurut

International

Federation

of

Organic

Agriculture

Movement (IFOAM) salah satu tujuan sistem pertanian organik ini
mampu

mempertahankan

pelestarian

habitat

keanekaragaman

tanaman

dan

hewan.

hayati

termasuk

Dengan

demikian

pelaksanaan sistem pertanian ini mampu menjaga keanekaragaman
hayati termasuk bibit lokal.

Maka pemerintah daerah (legislatif

daerah), harus membuat perda ini dengan melibatkan pihak ketiga
seperti akademisi, NGO, komunitas masyarakat.
Penilaian terhadap alternatif ini adalah:
a. Technical Feasibility

28 | P a g e

Kebijakan akan lebih Efective karena mampu menjadi
payung

hukum

didaerah

dalam

mempertahankan

sistem

pertanian yang baik sesuai dengan lokalitas masing-masing
daerah. Kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan
(Adequacy) di daerah dengan adanya kebijakan desentralisasi.
b. Economic and Financial Possibility
Pembuatan perda juga memelukan biaya yang tidak sedikit,
namun mampu dilakukan (Economic eficiency). Kebijakan ini
mampu memperoleh manfaat optimal pada petani (Profitability)
dengan

sistem

konvensional.

pertanain

Selain

itu,

yang

efsien

sistem

dari

pertanian

pada

ini

sistem

juga

lebih

menguntungkan bagi ekologi, ekonomi dan sosial sehingga
memiliki cost efectiveness
c. Political Viability
Kebijakan

ini

merupakan

tuntutan

masyarakat

(Responsiveness) yang merupakan penguatan pada tingkat lokal.
Kebijakan

ini

sesuai

dengan

nilai-nilai

yang

ada

dalam

masyarakat Appropriateness, karena menjaga agrikultur bukan
hanya berorientasi pada agribisinis. Pembuatan Kebijakan ini
juga tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta
memberikan

Equitye

Namun,

bisa

bertentangan

dengan

perusahaan benih/pemilik modal
d. Administrative Operability
Pemerintah
adanya

cukup memiliki

kebijakan

commitment

otoritas

desentralisasi.

(komitmen

institusi),

(Authority)

dengan

Namun,

nstitutional

Capability

(kapasitas),

Organizational support (dukungan organisasi) masih lemah.
3. Penguatan komunitas petani (Social Capital) yang mampu
menjamin akses dalam perencanaan kebijakan pertanian
Penguatan komunitas petani ini diperlukan untuk menciptakan
kekuatan bargaining position petani. Ini merupakan modal sosial
bagi petani dalam memperkuat organisasi dan jaringan tani, maka

29 | P a g e

sosial capital ini sangat penting. Putnam dalam Laren (2004)
menyatakan

“Social

capital

refers

to

features

of

social

organization, such as networks, norms, and trust, that facilitate
coordination

and

cooperation

for

mutual

Woolcock (1998) dalam Lubis dkk,

benefitt.

Menurut

Modal sosial didefnisikan

sebagai informasi, trust, dan norms of reciprocity yang melekat
pada jaringan sosial dengan tujuan untuk menciptakan tindakan
kolektif yang menguntungkan. Modal sosial didasarkan pada dua
nilai, yaitu primordiality dan civilitye
Zhang

(2011)

menyampaikan

bahwa

berbagai

penelitian

membuktikan bahwa sosial kapital memberikan manfaat yang
besar

pada

masyarakat,

salah

meningkatkan kehidupan ekonomi.

satu

yang

terpenting

adalah

Ada dua bentuk modal sosial

ini yaitu Bonding Social Capital dan Bridging Social Capitale
Menurut Larsen dkk (2004) Bonding social capital occurs within a
community of individuals, such as a neighborhood, but the
relationships and trust formed by bonding social capital may not
precipitate action in addressing a neighborhood probleme Bonding
social capital is a necessary antecedent for the development of the
more powerful form of bridging social capital . Sedangkan Bridging
social capital is what Paxton (1999) refers to as cross-cutting tiese
Bridging social capital occurs when members of one group connect
with members of other groups to seek access or support or to gain
informatione
Modal sosial terikat (Bonding Social Captal) adalah cenderung
bersifat

eksklusif

(Hasbullah,

2006).

Apa

yang

menjadi

karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus
sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian,
adalah lebih berorientasi ke dalam (inwardlooking) dibandingkan
dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat
yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius
(cenderung homogen)

30 | P a g e

Mengikuti

Hasbullah

(2006),

bentuk

modal

sosial

yang

menjembatani ini in

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63