Analisis Kebijakan Sistem Budidaya Tanam
1 | Page
REVISI
Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Publik
“Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah
Terhadap Kebutuhan Petani”
Dosen pengampu: Drs. Sudarmo, M.A. , Ph. D.
Disusun oleh:
Catur Wulandari
S241208003
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
2 | Page
Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah Terhadap
Kebutuhan Petani
A. Petani dan Pertanian Indonesia: Kondisi dan Permasalahannya
Indonesia dikatakan sebagai negara agraris, ini mengisyaratkan
bahwa
sebagian
besar
wilayah
Indonesia
terdiri
dari
wilayah
pertanian dan masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Kini
jumlah lahan pertanian di Indonesia menuju kondisi kritis, ditambah
banyaknya alih fungsi lahan. Tugas negara (pemerintah) dalam hal ini
adalah menciptakan dan menjaga kesejahteraan masyarakat pertani.
Pertanian merupakan sektor yang sudah ada dan dilakukan oleh
sebagian besar masyarakat sejak jaman dulu. Untuk itulah banyak
petani yang berusaha untuk mempertahankan keanekaragaman hayati
dan
keketerampilan/kemampuan
bertani.
Keinginan
untuk
tetap
menjaga keanekaragaman hayati ditujukan untuk kebaikan generasigenerasi penerus bangsa. Penjagaan ini dilakukan dengan pemuliaan
tanaman, yaitu budidaya dan pembenihan. Hal ini dilakukan supaya
varietas-varietas
tanaman
lokal
tetap
terjaga
karena
memiliki
keunggulan.
Pada tahun 1992 pemerintah membuat kebijakan mengenai Sistem
Budidaya
Tanaman
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan
sektor
pertanian. Regulasi mengenai sistem budidaya tanaman yaitu UndangUndang No 12 Tahun 1992. Kebijakan ini ditujukan untuk:
1. Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman
guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan,
industri dalam negeri dan memperbesar ekspor
2. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani
3. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan
kesempatan kerja
3 | Page
Namun regulasi tersebut justru menciptakan sistem budidaya tanaman
yang merugikan petani. Undang-undang tersebut membuka peluang
masuknya pemodal asing. Petani pemulia tanaman justru mendapat
tekanan dari adanya benih-benih introduksi yang diproduksi oleh
perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Padahal
varietas
baru
dari
benih
introduksi
tersebut
merupakan
hasil
persilangan genetik antara varietas tanaman dari Indonesia.
Petani dipaksa untuk membeli benih yang berasal dari petani
sendiri atau benih impor dengan harga yang mahal. Padahal benih dari
perusahaan jelas berbeda kualitasnya dengan benih lokal, meskipun
benih perusahaan biasanya lebih cepat masa panennya tetapi rakus
penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Sayangnya
benih tersebut
memang diciptakan demikian karena perusahaan telah menyiapkan
pupuk dan pestisida. Dari sinilah kemandirian petani dikebiri.
Permasalahan pertanian sudah dimulai sejak adanya Revolusi
Hijau. Pada awalnya sistem pertanian yang diterapkan diseluruh
daerah pertanian adalah sistem tradisional. Sistem ini akrab dengan
petani, namun kurang mampu mengimbangi kebutuhan pangan yang
terus
meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk.
Kemudian munculah sistem pertanian konvensional yang merupakan
temuan baru dalam pertanian. Perubahan yang cepat dalam sistem
baru ini dipacu oleh “revolusi hijau” yang dideklarasikan pada tahun
1990.
Padahal selama beribu tahun (setidaknya seperti yang tertulis di
dincing Candi Borobudur) petani kita selalu menerapkan pertanian
yang berorientasi pada lingkungan alamiah sampai kira-kira tahun
1900an, pupuk dari kotoran hewan atau sisa-sisa panen digunakan
sebagai penyubur alamiah. Sampai kemudian muncullah revolusi hijau
(Pangaribuan, 2002).
Keinginan pemerintah untuk menigkatkan
produksi pertanian melalui revolusi hijau agar mencapai swasembada
pangan justru merugikan bagi petani Indonesia. Revolusi hijau telah
menggeser lokalitas pertanian pada traktor, bibit pabrikan, pupuk,
pestisida, herbisida kimia. Juga berkontribusi pada peminggiran
4 | Page
perempuan dengan modernisasi. Pangaribuan (2002) menyatakan
pemakaian pupuk, obat-obatan pembasmi hama, penyakit dan gulma
menyebar tanpa dapat dikendalikan, petani yang tidak mengikuti tren
ini dicap sebagai petani kuno dan ketinggalan jaman, bahkan tindakan
represif dapat dikenakan stempel sebagai pembangkang atau pengikut
organisasi terlarang.
Sebagai hasilnya Indonesia mampu mencapai swasembada pangan
terutama beras pada 1993 sampai dengan 1997 (Lengman, 1997).
Namun, sistem tersebut telah menciptakan kerusakan-kerusakan
struktur tanah akibat pemupukan yang berlebihan, peledakan populasi
hama yang timbul sebagai dampak meningkatnya penggunaan bahan
kimia pertanian yang tidak terkontrol (Pangaribuan, 2002).
Scaller (1993) menyebutkan ada beberapa dampak negatif dari
sistem pertaniaan konvensional:
1. Mencemari air tanah dan air permukaan
2. Membahayakan kesehatan manusia dan hewan, baik pestisida
maupun bahan aditif pakan
3. Menurunkan
genetik
fora
keanekaragaman
hayati
dan
merupakan
fauna
yang
termasuk
modal
sumber
utama
pertanian berkelanjutan (Suistainable Agriculture).
4. Meningkatkan ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida
5. Menurunkan produktivitas lahan karena erosi, pedatan lahan dan
berkurangnya bahan organik
6. Meningkatkan ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak
terbarui (Non-renewable Natural Resources)
Pertanian
ini
mampu
meningkatkan
produktivitas
namun
menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan. Selain itu, sangat
disayangkan adalah petani kehilangan hak untuk melakukan pemuliaan
tanaman lokal. Dampaknya kini sudah jarang ditemui benih-benih lokal
dan kehilangan kemampuan untuk pemuliaan. Diperparah dengan
munculnya pupuk-pupuk kimia yang tidak hanya berbahaya dan
mengganggu ekologi tetapi juga berbahaya bagi manusia (petani).
Sebagai hasilnya pembangunan ekonomi pertanian justru menurun dan
5 | Page
merugikan ekonomi petani. Padahal pertanian merupakan potensi
ekonomi yang paling besar karena sebagian besar penduduk Indonesia
hidup dari sektor pertanian.
Sistem budidaya tanaman justru memaksa petani untuk patuh pada
kepentingan-kepentingan
pencari
melakukan
pemerintah
keinginan
modal.
Petani
yang
dipaksa
sebenarnya
untuk
hanya
menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional.
Sekitar Juli-Agustus 2012 sebuah perusahaan benih, Syngenta,
bermitra
dengan
kelompok
tani
di
Pasuruan
dengan
program
pembenihan tanaman jagung. Petani menyambut dengan antusias
karena perusahaan siap membeli jagung pipil kering dengan harga Rp
2.950,-,
sementara
harga
dipasar
Rp
2.500,-per
kilogram.
Perusahaanpun memberikan pinjaman pupuk dan biaya garap. Setelah
perusahaan membeli benih jagung petani dan mengemasnya ulang,
mereka menjual ke petani dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp
55.000,- s.d. Rp 75.000,-. Hal ini sangat merugikan petani.
Selain itu, petani juga menjadi korban permainan benih impor.
Benih hibrida terhitung mahal, mencapai Rp 50.000,- per kilogram.
Sedangkan benih unggul nonhibrida hanya Rp 6.000,- sampai Rp
7.000,-.
Padahal
kualitas
benih
padi
hibrida
kurang
baik
dan
merugikan petani. Benih padi hibrida muncul untuk melanjutkan
program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) pada tahun 2007
untuk mencapai surplus nasional 10 juta ton pada 2014.
Beberapa fakta tersebut menggambarkan permasalahan yang
dihadapi pertanian. Petani semakin tertekan ketika hak mereka
dipangkas, ditambah dengan beberapa kasus yang menimpa petani
karena dianggap tidak mendukung agenda besar pemerintah dan
pemilik modal. Ada beberapa kasus yang menjerat petani:
1. Pertengahan
Februari
2005,
Tukirin
seorang
petani
pemulia
tanaman jagung, di Kediri, Jawa Timur, dijatuhi hukuman percobaan
selama satu tahun. Sejak saat itu ia tak boleh lagi menanam jagung.
Lelaki 62 tahun itu dituduh mencuri benih jagung oleh PT BISI,
sebuah perusahaan yang sebelumnya bekerjasama dengan petani
6 | Page
lokal menanam jagung hibrida. Sertifkasi liar menjadi dalih yang
berhasil menjerat Tukirin, bersumber dari Undang-Undang Nomor
12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT), melanggar
ketentuan Pasal 13 Ayat 2 dan 3.
2. Pada 16 Januari 2010, Kuncoro, seorang petani pemulia benih
jagung dituduh melakukan pemalsuan merek dagang Bisi. Petani
asal Dusun Besuk, Kediri, Jawa Timur itu dijerat Pasal 60 dan 61 UU
No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Padahal Ia hanya
seorang petani penangkar benih yang menjual jagung curah tanpa
menggunakan merek Bisi. UU Nomor 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (SBT) jelas mempersempit dan menghalangi
kesempatan petani berperanserta dalam pengembangan budidaya
tanaman.
Penerapan
UU
SBT
berpotensi
menghalangi
akses
masyarakat, khususnya petani, untuk memenuhi hak atas pangan.
Peristiwa tersebut nampaknya akan terus menimpa para petani
pemulia tanaman pangan. Setidaknya sejak 2005 sampai saat ini,
belasan petani pemulia telah dikriminalisasi. Karena itulah, para
relawan sosial yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological
Livehood and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi nonpemerintan petani maupun pendamping petani kecil, akademisi,
mendorong petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara
hukum. Komunitas tersebut mengajukan Judicial Riview terhadap UU
No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman kepada
Mahkamah Konstitusi.
Judicial Riview tersebut dilakukan karena kebijakan yang dibuat
pada Masa Orde Baru tersebut ternyata justru banyak menimbulkan
dampak yang merugikan bagi petani. Democratic Governance
yang
mulai dibangun pasca runtuhnya orde baru kini membawa petani dan
berbagai kalangan yang peduli
akan permasalahan petani dan
pertanian untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh petani.
Untuk itulah diperlukan kajian terhadap kebijakan tersebut dan
reformulasi kebijakan baru untuk menghasilkan kebijakan yang pro-
7 | Page
poor.
Dengan
demikian
akan
menciptakan
Community
Based
Development khususnya bidang pertanian.
B. Masalah Kebijakan
Permasalahan-permasalahan yang muncul jelas merupakan indikasi
bahwa
petani
belum
mendapatkan
regulasi
yang
menjamin
perlindungan atas hak petani. Regulasi yang ada telah merubah
agrikulktur menjadi agribisnis yang tidak beorientasi pada kearifan
lokal
dan
kesejahteraan
petani.
Dasar
hukum
yang
digunakan
perusahaan perusahaan untuk menjerat petani adalah Undang-Undang
No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Alih-alih
memberikan hak perlindungan kepada petani, sebaliknya ketentuan
mengenai Sistem Budidaya Tanaman justru memberikan banyak beban
kewajiban bagi petani yang
hendak melakukan budidaya benih. UU
yang lahir pada masa orde baru ini minim pelibatan masyarakat
dalam perencanaan budidaya tanaman.
Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menganalisis
Kebijakan Sistem Budidaya Tanaman tersubut:
1. Konsideran kebijakan bagus, tetapi aturan pelaksana tidak
memihak petani.
Konsideran UU ini punya tujuan yang bagus, namun pada
pasalnya cenderung memberikan kesempatan pada birokrasi dan
eksekutif untuk membuat aturan pelaksana yang tidak memihak
petani kecil. Dari sisi prinsip, pembuat UU tidak memikirkan subjek
yang terkena dampak, yaitu petani kecil untuk memenuhi
persyaratan yang sangat berat. Ada beberapa pasal yang menjadi
persoalan petani:
a. Pasal 6, pemerintah menyatakan bahwa petani memiliki hak
menanam apa yang diinginkan. Tetapi diayat berikutnya hak bisa
hilang akibat petani wajib mengikuti rencana yang ditentukan
pemerintah.
8 | Page
b. Pasal
9,
petani
yang
sedari
awal
melakukan
pencarian
plasmanutfah kemudian harus memakai ijin, kalau tidak maka
menjadi terlarang.
c. Pasal 12, hasil karya petani melakukan pemuliaan tanaman
apabila diedarkan oleh kelompok, komunal dilarang, serta dituduh
melakukan sertifkasi liar.
d. Pasal 60 mengenai aturan pemiadanaan.
Pasal-pasal tersebut yang sering menjadi dasar menjerat petani
dalam kasus hukum.
Petani yang melaksanakan pemuliaan benih
dianggap melanggar peraturan karena tidak memenuhi persyaratan.
Hal ini disebabkan karena pemerintah menerapkan peraturan yang
sama antara petani pemulia tanaman dengan perusahaan, pabrik
atau laboratorium dan peneliti. Penerapan ketentuan yang sama ini
ditujukan untuk menjaga keanekaragaman tanaman pangan dari
pihak yang tidak bertanggungjawab tetapi justru petani yang
dilemahkan dengan kebijakan tersebut.
Fakta-fakta
yang
terjadi
menunjukkan
bahwa
telah
terjadi
Kriminalisasi petani. Kriminalisasi oleh perusahaan-perusahaan
pada
petani
dengan
dalih
pelanggaran
terhadap
UU
Sistem
Budidaya Tanaman. Padahal pemuliaan tanaman yang dilakukan
petani hanya untuk menjaga keunggulan lokal, keanekaragamn
hayati dan menjaga keseimbangan ekologi alam. Keuntungan
petanipun tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh
perusahaan-perusahaan tersebut.
Diskriminasi juga dialami oleh petani. Diskriminasi ini terjadi
bukan hanya karena keterbatasan akses pada sumber tertentu,
tetapi juga penerapan ketentuan yang sama antara kemampuan
yang berbeda, seperti yang dialami petani. Petani mendapatkan
perlakuan atau syarat yang sama dengan perusahaan-perusahaan
besar
agar
mampu
menyingkirkan
petani
memuliakan
dalam
tanaman.
upaya
akhirnya juga membatasi akses petani.
Ini
pemuliaan
juga
berarti
tanaman
yang
9 | Page
UU tersebut juga menimbulkan kebijakan mengenai benih impor.
Masuknya benih impor melalui dua regulasi yaitu, Peraturan
Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2006 Tentang Pemasukan dan
Pengeluaran Benih, impor benih hanya boleh dilakukan selama 2
tahun.
Kedua,
Peraturan
No.70/Permentan/OT.140/2007
dilakukan
hingga
3
Menteri
yang
tahun,
Pertanian
menyatakan
setelah
itu
impor
boleh
importir
wajib
membudidayakan benih di Indonesia. Padahal munculnya benih
impor ini merugikan petani pemulia tanaman. Sehingga muncul
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a. Peraturan perundangan ini berkaitan dengan kebijakan mengenai
kontrol terhadap benih, justru menghambat kreativitas dan
produktivitas petani, bahkan melanggar hak-hak petani.
b. UU SBT mengontrol semua proses budidaya tanaman semua
tanaman, yang berpotensial melanggar hak-hak petani.
c. Aturan UU tidak mempertimbangkan dan menegasikan peran
petani pemulia, dengan secara langsung/tidak langsung yang bisa
melakukan
pemuliaan
adalah
perusahaan/laboratorium
dan
peneliti.
d. UU SBT ini menegasikan adanya benih yang dikembangkan oleh
petani secara turun menurun.
e. UU SBT ini berpotensi meletakkan peran petani hanya sebagai
pengguna
benih,
sehingga
benih
hanya
dimonopoli
oleh
perusahaan dan menyebabkan ketergantungan pada perusahaan
benih, benih menjadi mahal
f. UU SBT menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya
membagi benihnya, bertukar benih dan menjual kepada sesama
petani, karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah
dipenuhi oleh petani.
g. Berpotensi meletakkan kontrol sumber daya pertanian, termasuk
benih, pengetahuan, pada beberapa perusahaan pertanian dan
perbenihan.
10 | P a g e
h. Dirancang untuk memberikan perlindungan kepada peneliti,
industri swasta yang bergerak dibidang pertanian dan atau
perbenihan, bukan petani.
i. Mendukung
pola
pertanian
monokultur
yang
justru
rawan
serangan hama dan tidak berkelanjutan.
2. Rendahnya
Responsivitas
Pemerintah
ditandai
dengan
Langkah petani untuk Judicial Riview UU SBT
Menyadari akan pentingnya perlindungan hak petani maka
beberapa
pihak
bersinergi
untuk
membagun
kekuatan
yang
merupakan modal sosial. Maka inisiatif dari para relawan sosial
yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological Livehood
and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi non-pemerintan
petani maupun pendamping petani kecil, akademisi, mendorong
petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara hukum.
Kekuatan petani dibangun agar mampu memiliki bargaining position
dalam
dalam
upaya
menjaga
agrikultur.
Komunitas
tersebut
bersama petani melakukan Judicial Riview terhadap UU No. 12
Tahun 1992 tersebut pada Oktober 2012. JR tersebut diajukan oleh:
Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS)
Farmer Initiatives for Ecological Livehoods and Democracy
(FIELD)
Aliansi Petani Indonesia (API)
Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Besa)
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)
Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS)
Perkumpulan Sawit Watch
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Kunoto
Kinarsih
11 | P a g e
Kegiatan
awal adalah workshop
pada
22-24
Mei 2012
di
Yogyakarta dengan tajuk “Mewujudkan Hak Petani Atas Benih”,
bertujuan : memperkuat persepsi jaringan petani tentang hak petani
atas benih serta merumuskan langkah strategis dan taktis sebagai
upaya mewujudkan hak petani atas benih.
Workshop tersebut
merekomendasikan beberapa hal untuk ditindaklanjuti:
Memilih strategi advokasi dan fokus isu terkait regulasi benih:
Judicial Review UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman
Pengorganisasian jaringan petani pembenih
Menyusun modul panduan pengelolaan pembenihan
Menyusun desain community seed center
Mengusulkan konsep perlindungan benih lokal didalam peraturan
daerah (Perda) dan peraturan desa (perdes)
Kemudian
dilaksanakan
sosialisasi
uji
materiil
UU
SBT
di
komunitas petani organik pada 26-28 Juni 2012 di Sumatera Barat.
Selanjutnya dilakukan sarasehan di Bogor, Jawa barat. Pertemuan
pakar dilakukan dan konferensi pers dilakukan beberapa kali.
Hasil kajian menunjukkan bahwa UU ini diperuntukkan bagi
perusahaan-perusahaan asing, hak kekayaan intelektual, dan selalu
membuka
peluang
investasi
modal
raksasa.
Bukan
untuk
kesejahteraan petani. UU ini juga sama sekali tidak menyinggung
soal participatory plan breeding, UU ini menegasikan dan
memarjinalkan
Pemerintah
kebudayaan
hanya
mengejar
bercocok
aspek
tanam
petani.
produksi,
padahal
pendekatan petani lebih holistik dan sustainable.
Kemudian
juga
dilakukan
identifkasi
pihak-pihak
berkepentingan terhadap UU SBT tersebut, diantaranya:
Petani
Petani
pemulia
benih
Petani penangkar
Petani penggarap
Perusahaan
Perusahaan benih
Distributor
Pengecer
Petani
mitra
Pemerintah
Kementerian
pertanian
Kementerian
perdagangan
yang
12 | P a g e
dan pemilik
perusahaan
Kementerian BUMN
DPR
Polisi
BPSP (Balai Pengawas
dan Sertifkasi Benih)
BP (Balai Penelitian)
Hal tersebut menunjukkkan bahwa kebijakan pemerintah belum
pro pada petani, belum mampu menjadi solusi atas permasalahan
petani
dan
pertanian
memarjinalkan
Indonesia.
kebudayaan
UU
bercocok
ini
menegasikan
tanam
petani.
dan
Hal
ini
menunjukkan masih rendahnya responsivitas pemerintah terhadap
kebutuhan petani.
Responsivitas (Dunn, 2003:437) berkenaan dengan seberapa jauh
suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi
terhadap
harapan,
keinginan
dan
aspirasi,
serta
tuntutan
masyarakat (Tangkilisan, 2005:177). Dengan demikian responsivitas
merupakan langkah pemerintah dalam meyediakan tuntutan warga
masyarakat.
memenuhi
Kemauan
kebutuhan
ini
diwujudkan
masyarakat.
dalam
Sistem
kebijakan
budidaya
untuk
tanaman
merupakan sistem pengembangan dan pemanfaatan sumber daya
alam nabati melalui upaya manusia dengan modal, teknologi dan
sumberdaya
lainnya
menghasilkan
barang
guna
memenuhi
kebutuhan manusia secara lebih baik. Sistem budidaya diciptakan
untuk menjaga ketersediaan tanaman pangan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia yang selalu meningkat.
Kebijakan tersebut seharusnya merupakan bentuk responsivitas
terhadap kebutuhan dan kepentingan petani. Namun permasalahan
yang terjadi
justru mengidikasikan kebijakan tersebut belum
menjadi jawaban atas permasalahan petani, selain itu responsivitas
terhadap kebutuhan petani masih lemah. Padahal responsivitas
dalam kebijakan pertanian merupakan faktor penting, mengingat
13 | P a g e
sebagian besar masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai
petani.
Disisi lain petani yang merasa pemerintah tidak responsif
terhadap kepentingan dan kebutuhan petani membangun kekuatan
untuk
melakukan
perlawan.
Masyarakat
petani
membangun
kekuatan dengan Modal Sosial. Burt
(1992) dalam Agus dkk
mendefnsikan, modal
kemampuan
untuk
melakukan
sosial
adalah
asosiasi (berhubungan)
satu
masyarakat
sama lain dan
selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi
kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial
yang lain. Solow (1999) mendefnisikan, modal sosial sebagai
serangkaian
dalam
nilai-nilai
perilaku
kapabilitas
menghasilkan
yang
untuk
atau
norma-norma
dapat mendorong
bekerjasama
kontribusi
dan
besar
yang
diwujudkan
kemampuan
berkoordinasi
terhadap
dan
untuk
keberlanjutan
produktivitas.
Petani dengan berbagai komunitasnya kemudian membentuk
Assosiasi Bank Benih Indonesia guna mempertahankan benih lokal.
Peristiwa ini telah membawa peristiwa sosial menjadi peristiwa
politik. Petani yang merasa ditindas telah melakukan upaya untuk
mempengaruhi kebijakan dengan membangun modal sosial.
3. Permasalahan Konstitusional
Ada beberapa pasal dalam UU SBT yang bertentangan dengan UUD
1945, yaitu:
a. Sistem budidaya tanaman yang dipaksakan oleh pemerintah
kepada petani sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Ayat 1 huruf
a, huruf b dan huruf c bertentangan dengan pasal 28 A UUD 1945
yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.
Bagi petani bercocok tanam atau membeudidayakan tanaman
merupakan hidup dan penghidupannya.
b. Jika pasal 5 tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 Ayat 2 yang
menyatakan bahwa petani wajib ikut serta dalam mewujudkan
14 | P a g e
rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, maka ini
mengakibatkan pertentangan antara kewenangan pemerintah
dengan hak petani. Petani harus tunduk pada perencanaan
pemerintah yang mengakibatkan ketidakpastian hukum antara
hak dan kewajiban petani.
Padahal jaminan kepastian hukum yang adil merupakan hak
konstitusional yang diatur dalam pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945,
yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Disisi lain pengaturan wilayah dan produksi oleh pemerintah
menyebabkan petani kehilangan hak untuk menentukan jenis dan
pola budidaya tanamandi tanahnya sendiri. Hal ini bertentangan
dengan Pasal 28 H Ayat 4 yang menyatakan bahwa:” Setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”
c. Pasal 6 Ayat 1 menyatakan petani memiliki “kebebasan”, tetapi
kebebasan tersebut dibatasi oleh Ayat 2 dengan mewujudkan
rencana pemerintah. Padahal petani tidak dilibatkan dalam
perencanaan. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 A,
Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28 I Ayat 3 UUD
1945.
Pasal 28 I Ayat 3 berisi tentang penghromatan terhadap identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional.
d. Pasal 9 Ayat 3 , sepanjang kata “ Perorangan” bertentangan
dengan Pasal 28A, Pasal 28 C, Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 I Ayat 2
dan 3, serta Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945.
UU SBT membedakan antara pemulia tanaman dengan petani.
Padahal kegiatan pemuliaan tanaman tiak bisa dipisahkan dari
petani dan diantara petani ada pemulia tanaman.
e. Pasal 10 UU SBT menyatakan introduksi benih dapat dilakukan
untuk pemuliaan tanaman yang dapat dilakukan oleh perorangan
dan badan hukum. Selanjutnya pasal 11 menyatakan setiap orang
15 | P a g e
atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk
menemukan varietas unggul. Dalam frasa setiap orang terdapat
kominitas petani yang telah melakukan pemuliaan tanaman secara
turun-menurun, sedangkan dalam frasa badan hukum terdapat
perusahaan-perusahaan
yang
melakukan
privatisasi
dan
komersialisasi benih. Ini juga merupakan tindakan diskriminatif
f. Pasal 12 UU SBT, menyatakan bahwa “varietas hasil pemuliaan
atau introduksi dari luar negeri” dilepas oleh pemerintah sebelum
diedarkan. Ini berarti ada peraturan atau ketentuan tertentu
untuk melepaskan benih, padahal dalam frasa varistas hasil
pemuliaan
ada
yang
dilakukan
oleh
petani
kecil.
Hal
ini
bertentangan dengan pasal 28 A, Pasal 28 C, Pasal 28I Ayat 3 dan
Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945. UU Sistem Budidaya Tanaman
tersebut melanggar hak petani dan tidak bisa digunakan untuk
kemakmuran rakyat.
g. Sedangkan
pasal
60
UU
SBT
tentang
ketentuan
pidana
bertentangan dengan Pasal 28 G Ayat 1 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa:” Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang
dibawah
kekuasannya,
serta
berhak
atas
rasa
aman
dan
perlindungan dari ancaman kekuatan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
4. Tidak
adanya
pelibatan
masyarakat
dalam
perencanaan
Sistem Budidaya Tanaman.
Pemerintah
menginginkan
petani
mengikuti
program
yang
dirancang oleh pemerintah, namun petani tidak terlibat dalam
perencanaannya. Tidak adanya akses dan ruang partisipasi yang
terbuka bagi petani inilah yang membuat kebijakan Sistem Budidaya
Tanaman selama ini tidak memihak pada petani. Sehingga kebijakan
maupun program yang dibuat tidak mampu memenuhi kebutuhan
dan kepentingan petani yang sebenarnya. Tidak ada manajemen
partisipatif dalam pembuatan kebijakan, sehingga petani hanya
16 | P a g e
bertindak sebagai obyek yang harus melaksanakan kebijakan yang
telah dibuat oleh pemerintah.
Petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pengembangan
dan pengaturan produksi serta penetapan wilayah. Selama ini yang
ada hanyalah forum sosialisasi mengenai imbauan pemerintah.
Petani
yang
tidak
menjalankan
imbauan
pemerintah
dapat
dikrimminalisasi, diskriminasi dan diintimidasi.
Penelitian bidang pertanian yang dilakukan dibiayai oleh negara
dan pangusaha, perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tidak
didasarkan atas kebutuhan petani. Tidak melibatkan petani secara
aktif dan partisipatif, serta mengabaikan ketangguhan ekosistem.
Pemerintah hanya mengejar kepentingan angka produksi yang
tinggi,
mengabaikan
tujuan-tujuan
lain
dibidang
kelestarian
lingkungan, ketangguhan ekosistem, kesejahteraan petani dan
rendahnya etika lingkungan.
Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang pembuatan kebijakan,
dimana pembuatan kebijakan ini adalah pada masa orde baru.
Pemerintahan Orde Baru memasuki wilayah politik baru, yaitu
Negara-Birokrat-Otoriter
(NBO), yang memang tidak dapat
dipisahkan dengan model pembangunan ekonomi “Trickle Down
Efect”. Model pembangunan yang diharapkan mampu memberikan
‘tetesen’ kesejahteraan pada masyarakat. Masyarakat Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru dijauhkan dari segala macam
aktivitas politik maupun ekonomi. Dimana pada masa tersebut
banyak kebijakan publik yang dibuat dengan cara Top-Down, hal ini
membuat
kebijakan
yang
dihasilkan
dalam
sisitem
budidaya
tanaman ini tidak mempertimbangkan partisipasi masyarakat.
Menurut Adi (2003), Sebagian besar kebijakan Pemerintah (Orde
baru) bernuansa “top-down”, dominasi Pemerintah sangat tinggi,
akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan
keunggulan desa, dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan
dan kebutuhan lokal. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil
17 | P a g e
dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang
tidak bisa ditolak. Masyarakat hanya sekedar objek pembangunan
yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belum menjadi subyek
pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi
inisiator (sumber bertindak).
Lebih jauh Adi menyampaikan bahwa kegagalan penerapan
program-program pembangunan perdesaan di masa lalu adalah
karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program
pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Proses perencanaan
pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralisasi
dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan
bermasyarakat. Partisipasi saat itu lebih diartikan pada bagimana
upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada
awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah.
Karenanyalah perekonomian secara umum meningkat namun
upaya-upaya untuk menyejahteraan masyarakat tidak tercapai. Kini
dengan munculnya orde reformasi yang
membawa amandeman
UUD 1945 maka prinsip partisipasi menjadi sangat penting dalam
menunjang
Democratic
Governance
.Tidak
adanya
partsisipasi
petani dalam tahapan rencana pembangunan dan perencanaan
budidaya tanaman ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat 2 karena
telah menghalangi petani dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif, partisipati untuk membangun masyarakat bangsa dan
negara. Juga bertentangan dengan pasl 28 I ayat 2 tentang
perlindungan terhadap diskriminiasi, karena merupakan praktek
diskriminasi terhadap petani.
5. Globalisasi Benih dan Neo-Liberalisme
Benih merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian.
Namun kini benih sudah banyak yang dikuasai oleh perusahaan
asing. Perusahaan-perusahaan benih raksasa yang menguasai pasar
benih dunia telah mengakses ratusan ribu jenis benih kemudian
diproduksi sebagai bibit unggul, hibrida dan transgenik. Selama
18 | P a g e
1996-2007 varietas tanaman yang telah dipatenkan untuk tanaman
pangan sebanyak 27 %, sayuran 10% dan buah-buahan sebanyak 4
%. Hak paten ini menambah kemenangan perusahaan atas petani
kecil terkait akses terhadap benih di dunia.
Saat ini sekitar 90% pasar benih dan input pertanian dikuasai
perusahaan-perusahaan
perusahaan
benih
multinasional
raksasa.
(MNC),
Setidaknya
antara
lain
terdapat
6
Monsanto,
Syngenta, Bayer, Dow Agro Science, BASF dan Dupon. Pada
1996, sekitar 10 perusahaan menguasai 37 % benih didunia, pada
2004: 49 %, 2005: 51%, dan 2006: 57% dengan nilai total 13 Miliar
Dollar AS. (Utomo, 2012)
Fakta
tersebut
menunjukkan
bahwa
perusahaan-perusahaan
multinasional menguasai pasar benih lokal. Stidaknya ada sekitar 51
perusahaan benih yang menguasai benih lokal. Benih-benih hibrida
menggantikan
benih-benih
lokal.
Padahal
benih-benih
hibrida
memiliki kelemahan:
a. Tidak tahan terhadap serangan hama
b. Harga benihnya mahal
c. Petani harus membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil
panen
sebelumnya
tidak
dapat
dipakai
untuk
pertanaman
berikutnya
Sebenarnya sumbangan petani terhadap diversitas sumberdaya
genetika lebih besar. Sejak
1990 petani telah menanam 1,9 juta
jenis tanaman, sebaliknya sektor industri hanya menanam 72.500
saja. Petani telah memuliakan 5000 tanaman pangan, sementara
perusahaan
termasuk
yang
multinasional
hanya
mampu
menghasilkan 150 jenis.
Masuknya benih asing tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya
perusahaan multinasonal yang kini sudah menguasai pasar input
pertanian di Indonesia. Hal ini sudah dimulai pada masa orde baru
dimana
pembuat
kebijakan
begitu
dekat
dengan
penguasa.
Kebijakan ekonomi awal orde baru membuka lebar-lebar modal
asing dengan dibuatnya Undang Undang Penanaman Modal Asing
19 | P a g e
pada Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal dalam
Negeri pada Tahun 1968. Pemerintahan Orde Baru memutuskan
untuk menerapkan tiga langkah pembangunan ekonomi berikut pada
masa
awal
pelunasan
pemerintahannya.
utang
mengembalikan
luar
negeri
kepercayaan
Pertama,
menjadwalkan
sebagai
pihak
langkah
luar
awal
negeri.
kembali
untuk
Kedua,
mengendalikan infasi yang tak terkontrol melalui program impor
komoditi besar-besaran yang di biayai oleh pinjaman-pinjaman hasil
re-negoisasi.
Ketiga,
mengundang
investasi
sebesar-besarnya,
terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
(Analisa-kebijakan-ekonomi-post-orde, 2009)
Pembangunan pada masa itu , dengan suntikan modal dan
teknologi diharapkan mampu membawa “Trickle Down Efect” dan
“Spillover”. Dibuka peluang sebesar-besarnya untuk modal asing
dan dalam negeri, untuk mendukung konstruktif pembangunan
ekonomi tersebut, pemerintahan Orde Baru meminta dukungan IMF
(International Monetary Fund). Poin-poin penting yang disarankan
untuk diterapkan oleh IMF adalah, pertama, kekuatan pasar adalah
kekuatan yang vital dalam stabilisasi ekonomi. Kedua, untuk itu,
maka keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi pasar
dengan tidak lagi menikmati fasilitas kredit dan alokasi devisa dari
negara, tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga
subsidi. Ketiga, sebagai insentif bagi sektor swasta maka lisensi
impor terhadap bahan baku dan perlengkapan tidak lagi di batasi.
Terakhir adalah fasilitas insentif berupa keringanan pajak dan lainlain bagi penanaman modal baru yang di jamin oleh UndangUndang. Hubungan baru antara IMF dengan pemerintahan Orde
Baru ini menjadi momentum awal dari ketergantungan (dependen)
pembangunan ekonomi Indonesia terhadap pihak eksternal atau luar
negeri.
Menurut Mander, et all (2003) Seluruh kebijakan lembagalembaga Bretton Woods (Bank Dunia, IMF, WTO dan lainnya) tidak
dirancang untuk memberikan keuntungan kepada negara-negara
20 | P a g e
miskin, melainkan kepada negara-negara indusri kaya dan berbagai
korporasi global. Sebagai akibatnya banyak kebijakan yang dibuat
pemerintah dikendalikan oleh kepentingan korporasi global.
Lebih jauh Mander, et all menyatakan bahwa dampak yang paling
traumatis kebijakan globalisasi- baik dalam penciptaan kemiskinan
maupun penghancuran lingkungan hidup-
telah terjadi perubahan
perekonomian lokal yang sangat dipaksakan yaitu perubahan model
pertanian yang terdiversifkasi dalam skala kecil menuju ekspor
industrial, dan perubahan itu digerakkan oleh korporasi-korporasi
global.
Sistem ini justu telah menghilangkan keswasembadaan dan
kemandirian petani menjadi ketergantungan dan kelaparan. Karena
petani-petani yang dulu mengembangkan tanaman pangan untuk
mereka dan komunitas mereka, terganti atau tergantung pada
korporasi-korporasi raksasa dengan pola pengembangan ekspor
global. Campur tangan lembaga-lembaga tersebut menurut Mander,
et all (2003) telah menggeser kesejahteraan masyarakat petani.
Petani yang dulu telah menanam bermacam-macam benih varietas
lokal, membuat pupuk sendiri, melakukan sistem tanam bergilir, dan
pengelolaan pstisida, pengelolaan benih, air dan tenaga kerja
menjadi diliputi dengan kemiskinan.
Sehingga tidak heran kebijakan yang dibuat pada masa (Orde
Baru) tersebut lebih memihak pada keuntungan pengusaha. Ini juga
yang terjadi pada kebijakan sistem budidaya tanaman yang dibuat
pada masa orde baru ini. Dengan demikian, kebijakan yang
dihasilkan merupakan kepentingan penguasa dan pengusaha yang
begitu
dekat
pada
masa
tersebut.
Kebijakan
tersebut
juga
merupakan alat “tools” bagi korporasi-korporasi global dalam
menjalankan neo-liberalisasi.
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan
yang
diungkapkan
diatas maka diperlukan re-formulasi kebijakan baru untuk menjamin
kebijakan yang benar-benar memihak pada kepentingan masyarakat.
Untuk itulah dirumuskan peta masalah dalam memformulasikan
21 | P a g e
kebijakan baru. Dunn (2003), menyampaikan beberapa tahap dalam
perumusan masalah yaitu:
a. Situasi Masalah, merupakan upaya pengenalan masalah
b. Meta Masalah, merupakan upaya pencarian masalah
c. Masalah Subtantif, merupakan upaya pendefnisian masalah
d. Masalah Formal, merupakan spesifkasi masalah
Berdasarkan
fakta-fakta
yang
diungkapkan
diatas
maka
peta
masalah dalam kebijakan sistem budidaya tanaman tersebut adalah
sebagai berikut:
C. Tujuan Analisis
22 | P a g e
-
Mengevaluasi
kebijakan
pemerintah
dalam
sistem
budidaya
tanaman
-
Menyusun rekomendasi alternatif kebijakan dalam me-Reformulasi
kebijakan sistem budidaya tanaman
D. Kebijakan yang dianalisis
-
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya
Tanaman
E. Evaluasi Kebijakan
Beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut menggirirng
pada
harus
Budidaya
dilakukannya
Tanaman.
evaluasi
Fakta-fakta
terhadap
tersebut
kebijakan
Sistem
menunjukkan
bahwa
pemerintah belum responsif terhadap kepentingan petani.
F. Penilaian Alternatif
Kriteria yang digunakan untuk pemilihan alternatif menggunakan
kriteria kelayakan alternatif kebijakan yang disampaikan oleh Patton
dan Sawicki dalam Subarsono (2008), ada 4 Kriteria:
1. Kelayakan teknis (Technical Feasibility), apakah alternatif yang
dipilh dapat mengatasi pokok persoalan yang muncul, mencakup
dua sub-kriteria:
a. Efektivitas (Efectiveness), apakah alternatif yang dipilih dapat
mencapai tujuan yang diinginkan
b. Kecukupan (Adequacy), seberapa jauh alternatif yang dipilih
mampu menyelesaikan persoalan
2. Kemungkinan ekonomik dan fnansial (Economic and Financial
Possibility),sub kriteria:
a. Economic eficiency (efsiensi ekonomi), apakah dengan resource
yang ada dapat memperoleh manfaat yang optimal
b. Profitability (Keuntungan), mempersoalkan perbandingan input
dan output kebijakan
c. Cost efectiveness (efsiensi biaya), mempersoalkan apakah
tujuan dapat dicapai dengan biaya yang minimal.
3. Kelayakan Politik (Political Viability), mencakup:
23 | P a g e
a. Acceptability (Tingkat Penerimaan), apakah alternatif kebijakan
yang bersangkutan dapat diterima oleh aktor politik (pembuat
keputusan) dan masyarakat (penerima Kebijakan)
b. Appropriateness (kepantasan), mempersoalkan apakah kebijakan
yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat.
c. Responsivenees (daya tanggap), menanyakan apakah kebijakan
yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
d. Legal, apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan
dengan peraturan yang ada
e. Equity (keadilan), menanyakan apakah kebijakan tersebut dapat
mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat
4. Kelayakan administratif (administrative operability), sub-kriteria:
a. Authority (otoritas), mempersoalkan apakah organisasi pelaksana
kebijakan cukup memiliki otoritas
b. Institutional
commitment
(komitmen
institusi),
menyangkut
komitmen dari para administrator dari tingkat atas dampai
tingkat bawah.
c. Capability (kapasitas), berkenaan dengan kemampuan aparatur
baik kemampuan konseptual maupun ketrampilan.
d. Organizational support (dukungan organisasi), ada tidaknya
dukungan dari organisasi pelaksana kebijakan.
G. Alternatif kebijakan
Alternatif
kebijakan
yang
direkomendasikan
berkaitan
dengan
Undang-Undang mengenai Kebijakan Sistem Budi Daya Tanaman
tersebut adalah:
1. Perubahan atau amandemen UU No. 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman
Melihat banyaknaya pasal dan ketentuan dalam UU yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak petani maka alternatif
kebijakan yang diajukan adalah perubahan UU tersebut menuju UU
yang lebih responsif pada kebutuhan dan kepentingan petani.
24 | P a g e
Bukan hanya sekedar Uji materi, sebab UU tersebut tidak
melibatkan partisipasi masyarakat dan hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu.
Nugroho (2003: 224) mengkaitkan kebijakan publik dengan
Good Governance, baik dalam formulasi, implementasi, maupun
evaluasi kebijakan publik. Sehingga dalam setiap tahap-tahap
proses
kebijakan publik akan berdasarkan pada prinsip-prinsip
Good
Governance
yang
berupa
akuntanbilitas,
transparansi,
fairness dan katanggapan. Secara umum prinsip GG adalah
participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus
orientation, equity, efectiveness and eficiency, accountability dan
strategic vision.
Dengan demikian pengintegrasian GG dalam
proses kebijakan publik akan menjamin partisipasi, responsivitas,
keadilan, efektivitas dan efsiensi serta akuntabilitas. Sehingga
perlu dibuat kebijakan yang mampu menjamin dilaksankannya
prisnsip-prinsip
Good
pelaksanaannya
tetapi
Governance
juga
dalam
bukan
hanya
pembuatan
dan
dalam
evaluasi
kebijakan.
Reformulasi kebijakan dengan mengintegrasikan GG harus
mampu menciptakan Sistem Budidaya Tanaman yang mengandung:
Sistem
pertanian
yang
berwawasan
lingkungan
(Agroecosystem) dan memperhatikan etika lingkungan
Sistem
pertanian
yang
berkelanjutan
(Suistainable
Agriculture)
Mengembangkan potensi sosial dan ekonomi masyarakat
petani (Community Based Development)
Menjamin hak-hak petani
Reformulasi kebijakan tersebut diperlukan karena banyak pasal
yang
juga
bertentangan
dengan
UUD
1945
amandemen.
Reformulasi kebijakan tersebut dilakukan oleh lembaga legislatif
dengan
berorientasi
memerlukan
waktu
pada
kepentingan
yang
panjang
petani,
untuk
namun
membuat
akan
sebuah
kebijakan. Pembuatan kebijakan ini harus juga menyertakan
25 | P a g e
aspirasi petani dalam komunitas petani, sehingga kebijakan akan
bersifat Buttom Up. Dengan prinsip partisipatori maka kebijakan
yang dibuat akan mampu menyelesaikan masalah yang selama ini
menjerat petani.
Penilaian terhadap kriteria ini
a. Technical Feasibility
Kriteria ini mencakup Efectiveness and adequacye Kebijakan
ini
akan
efektif
karena
adanya
prinsip
partisipasi
serta
memperhatikan hak-hak petani, sehingga masyarakat tidak
hanya menjadi obyek tetapi juga subyek kebijakan. Kebijakan ini
akan menjadi pedoman nasional dalam upaya menciptakan
sistem budidaya tanaman yang berwawasan lingkungan dan
berkesinambungan serta memperhatikan kesejahteraan petani.
Selain itu kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan
(adequacy), karena petani akan mendapatkan jaminan atas hakhak mereka. Dengan demikian petani tidak akan disamakan
dengan perusahaan-perusahaan ataupun laorataorium untuk
penelitian.
b. Economic and Financial Possibility
Kriteria ini berupa economic eficiency, profitability and cost
efectivenesse Pembuatan UU memang memerlukan biaya yang
tidak sedikit, apalagi ongkos politik yang harus dikeluarkan,
namun pembuatan kebijakan harus menggunakan sumber daya
yang ada untuk mencapainya. Kebijakan ini mampu menciptakan
economic eficiency, jika melalui proses-proses yang fair. Namun
disisi lain profitability akan berkurang karena mempersempit
kemungkinan masuknya modal asing tetapi lebih mengutamakan
pada kesejahteraan masyarakat.
Disisi lain, ketika kebijakan ini sudah jadi dan diimplementasikan
akan
mampu
mencapai
cost
efectiveness,
karena
membutuhkan biaya yang minimal untuk mencapai tujuan.
c. Political Viability
akan
26 | P a g e
Kriteria
ini
mencakup
responsiveness, legal dan
acceptability,
approppriateness,
equitye Kebijakan ini akan memiliki
acceptability yang berbeda antara masyarakat dengan aktor
politik, dari aktor politik akan ada dimensi politik yang berperan.
Padalah
kebijakan
ini
merupakan
tuntutan
masyarakat
(Responsiveness), sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada
(Legal) karena justru UU SBT yang sekarang banyak pasal yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 amandemen.
Selain itu kebijakan ini akan memberikan Equity
dalam
masyarakat dengan perlakuan sesuai dengan yang dibutuhkan
petani.
Namun, Acceptability aktor politik akan berbeda dan bisa
bertentangan dengan korporasi global dengan bergagai alatnya.
d. Administrative Operability
Kriteria ini mencakup authority, institutional commitment,
capability,
and
organizational
supporte
Lembaga
legislatif
memiliki authority dalam melakukan perubahan UU tersebut dan
meformulasikan kebijakan baru yang lebih propetani. Kebijakan
dengan
bentuk
UU
akan
mampu
mengikat
institutonal
commitment aparat pelaksana kebijakan dari tingkat atas sampai
bawah. Namun, kebijakan ini belum didukung dengan capability
dan organizational support yang memadai. Karena selama ini
pemerintah telah cenderung melaksanakan kebijakan yang topdown.
2. Pembuatan Peraturan Daerah mengenai perlindungan bibit
lokal dan pertanian organik
Dengan adanya kebijakan desentraliasai dimana kewenangan
daerah lebih besar dalam penagturan diri maka Pemerintah Daerah
menjadi regulasi yang penting. Pembuatan peraturan daerah ini
diperlukan
dengan
memperhatikan
lokalitas
masing-masing
daerah. Perda ini akan menjamin kesejahteraan petani dan sistem
pertanian yang berbeda disetiap daerah. Badjuri dan Yuwono
27 | P a g e
(2002:181)
menyampaikan
bahwa
kebijakan
otonomi
daerah
menuntut daerah untuk mampu mandiri khususnya dalam konteks
kebijakan publik, spirit dan kebijakan otonomi daerah ini adalah
bahwa daerah diharapkan mampu menyusun perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan daerahnya
sendiri.
Maka diperlukan perda yang mandapat jaminan dengan UU.
Peraturan
daerah
yang
dibuat
harus
memuat
mengenai
perlindungan terhadap bibit lokal dan sistem pertanian organik.
Hal ini didasari karena sistem pertanian konvensional yang
sekarang banyak menimbulkan kerusakan baik secara ekologi,
ekonomi maupun sosial. Dengan pertanian organik maka akan
membentuk sistem pertanian yang suistainable agriculture dan
agroecosysteme Mc Guinees (1993) menyatakan pertaian organik
merupakan sistem produksi yang menyeluruh dan terpadu yang
mengoptimalkan
produktivitas
agroekosistem
(ekosistem
pertanian). Pertanian yang berpijak pada kesuburan tanah sebagai
kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan
alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas
yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan. Pertanian yang
menghasilkan pangan yang sehat (bebas dari obat-obatan dan zat
kimia yang mematikan).
Menurut
International
Federation
of
Organic
Agriculture
Movement (IFOAM) salah satu tujuan sistem pertanian organik ini
mampu
mempertahankan
pelestarian
habitat
keanekaragaman
tanaman
dan
hewan.
hayati
termasuk
Dengan
demikian
pelaksanaan sistem pertanian ini mampu menjaga keanekaragaman
hayati termasuk bibit lokal.
Maka pemerintah daerah (legislatif
daerah), harus membuat perda ini dengan melibatkan pihak ketiga
seperti akademisi, NGO, komunitas masyarakat.
Penilaian terhadap alternatif ini adalah:
a. Technical Feasibility
28 | P a g e
Kebijakan akan lebih Efective karena mampu menjadi
payung
hukum
didaerah
dalam
mempertahankan
sistem
pertanian yang baik sesuai dengan lokalitas masing-masing
daerah. Kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan
(Adequacy) di daerah dengan adanya kebijakan desentralisasi.
b. Economic and Financial Possibility
Pembuatan perda juga memelukan biaya yang tidak sedikit,
namun mampu dilakukan (Economic eficiency). Kebijakan ini
mampu memperoleh manfaat optimal pada petani (Profitability)
dengan
sistem
konvensional.
pertanain
Selain
itu,
yang
efsien
sistem
dari
pertanian
pada
ini
sistem
juga
lebih
menguntungkan bagi ekologi, ekonomi dan sosial sehingga
memiliki cost efectiveness
c. Political Viability
Kebijakan
ini
merupakan
tuntutan
masyarakat
(Responsiveness) yang merupakan penguatan pada tingkat lokal.
Kebijakan
ini
sesuai
dengan
nilai-nilai
yang
ada
dalam
masyarakat Appropriateness, karena menjaga agrikultur bukan
hanya berorientasi pada agribisinis. Pembuatan Kebijakan ini
juga tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta
memberikan
Equitye
Namun,
bisa
bertentangan
dengan
perusahaan benih/pemilik modal
d. Administrative Operability
Pemerintah
adanya
cukup memiliki
kebijakan
commitment
otoritas
desentralisasi.
(komitmen
institusi),
(Authority)
dengan
Namun,
nstitutional
Capability
(kapasitas),
Organizational support (dukungan organisasi) masih lemah.
3. Penguatan komunitas petani (Social Capital) yang mampu
menjamin akses dalam perencanaan kebijakan pertanian
Penguatan komunitas petani ini diperlukan untuk menciptakan
kekuatan bargaining position petani. Ini merupakan modal sosial
bagi petani dalam memperkuat organisasi dan jaringan tani, maka
29 | P a g e
sosial capital ini sangat penting. Putnam dalam Laren (2004)
menyatakan
“Social
capital
refers
to
features
of
social
organization, such as networks, norms, and trust, that facilitate
coordination
and
cooperation
for
mutual
Woolcock (1998) dalam Lubis dkk,
benefitt.
Menurut
Modal sosial didefnisikan
sebagai informasi, trust, dan norms of reciprocity yang melekat
pada jaringan sosial dengan tujuan untuk menciptakan tindakan
kolektif yang menguntungkan. Modal sosial didasarkan pada dua
nilai, yaitu primordiality dan civilitye
Zhang
(2011)
menyampaikan
bahwa
berbagai
penelitian
membuktikan bahwa sosial kapital memberikan manfaat yang
besar
pada
masyarakat,
salah
meningkatkan kehidupan ekonomi.
satu
yang
terpenting
adalah
Ada dua bentuk modal sosial
ini yaitu Bonding Social Capital dan Bridging Social Capitale
Menurut Larsen dkk (2004) Bonding social capital occurs within a
community of individuals, such as a neighborhood, but the
relationships and trust formed by bonding social capital may not
precipitate action in addressing a neighborhood probleme Bonding
social capital is a necessary antecedent for the development of the
more powerful form of bridging social capital . Sedangkan Bridging
social capital is what Paxton (1999) refers to as cross-cutting tiese
Bridging social capital occurs when members of one group connect
with members of other groups to seek access or support or to gain
informatione
Modal sosial terikat (Bonding Social Captal) adalah cenderung
bersifat
eksklusif
(Hasbullah,
2006).
Apa
yang
menjadi
karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus
sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian,
adalah lebih berorientasi ke dalam (inwardlooking) dibandingkan
dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat
yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius
(cenderung homogen)
30 | P a g e
Mengikuti
Hasbullah
(2006),
bentuk
modal
sosial
yang
menjembatani ini in
REVISI
Tugas Mata Kuliah Analisis Kebijakan Publik
“Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah
Terhadap Kebutuhan Petani”
Dosen pengampu: Drs. Sudarmo, M.A. , Ph. D.
Disusun oleh:
Catur Wulandari
S241208003
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
2 | Page
Analisis Judicial Riview UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem
Budidaya Tanaman: Responsivitas Pemerintah Terhadap
Kebutuhan Petani
A. Petani dan Pertanian Indonesia: Kondisi dan Permasalahannya
Indonesia dikatakan sebagai negara agraris, ini mengisyaratkan
bahwa
sebagian
besar
wilayah
Indonesia
terdiri
dari
wilayah
pertanian dan masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Kini
jumlah lahan pertanian di Indonesia menuju kondisi kritis, ditambah
banyaknya alih fungsi lahan. Tugas negara (pemerintah) dalam hal ini
adalah menciptakan dan menjaga kesejahteraan masyarakat pertani.
Pertanian merupakan sektor yang sudah ada dan dilakukan oleh
sebagian besar masyarakat sejak jaman dulu. Untuk itulah banyak
petani yang berusaha untuk mempertahankan keanekaragaman hayati
dan
keketerampilan/kemampuan
bertani.
Keinginan
untuk
tetap
menjaga keanekaragaman hayati ditujukan untuk kebaikan generasigenerasi penerus bangsa. Penjagaan ini dilakukan dengan pemuliaan
tanaman, yaitu budidaya dan pembenihan. Hal ini dilakukan supaya
varietas-varietas
tanaman
lokal
tetap
terjaga
karena
memiliki
keunggulan.
Pada tahun 1992 pemerintah membuat kebijakan mengenai Sistem
Budidaya
Tanaman
sebagai
upaya
untuk
meningkatkan
sektor
pertanian. Regulasi mengenai sistem budidaya tanaman yaitu UndangUndang No 12 Tahun 1992. Kebijakan ini ditujukan untuk:
1. Meningkatkan dan memperluas penganekaragaman hasil tanaman
guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan,
industri dalam negeri dan memperbesar ekspor
2. Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani
3. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan
kesempatan kerja
3 | Page
Namun regulasi tersebut justru menciptakan sistem budidaya tanaman
yang merugikan petani. Undang-undang tersebut membuka peluang
masuknya pemodal asing. Petani pemulia tanaman justru mendapat
tekanan dari adanya benih-benih introduksi yang diproduksi oleh
perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Padahal
varietas
baru
dari
benih
introduksi
tersebut
merupakan
hasil
persilangan genetik antara varietas tanaman dari Indonesia.
Petani dipaksa untuk membeli benih yang berasal dari petani
sendiri atau benih impor dengan harga yang mahal. Padahal benih dari
perusahaan jelas berbeda kualitasnya dengan benih lokal, meskipun
benih perusahaan biasanya lebih cepat masa panennya tetapi rakus
penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Sayangnya
benih tersebut
memang diciptakan demikian karena perusahaan telah menyiapkan
pupuk dan pestisida. Dari sinilah kemandirian petani dikebiri.
Permasalahan pertanian sudah dimulai sejak adanya Revolusi
Hijau. Pada awalnya sistem pertanian yang diterapkan diseluruh
daerah pertanian adalah sistem tradisional. Sistem ini akrab dengan
petani, namun kurang mampu mengimbangi kebutuhan pangan yang
terus
meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk.
Kemudian munculah sistem pertanian konvensional yang merupakan
temuan baru dalam pertanian. Perubahan yang cepat dalam sistem
baru ini dipacu oleh “revolusi hijau” yang dideklarasikan pada tahun
1990.
Padahal selama beribu tahun (setidaknya seperti yang tertulis di
dincing Candi Borobudur) petani kita selalu menerapkan pertanian
yang berorientasi pada lingkungan alamiah sampai kira-kira tahun
1900an, pupuk dari kotoran hewan atau sisa-sisa panen digunakan
sebagai penyubur alamiah. Sampai kemudian muncullah revolusi hijau
(Pangaribuan, 2002).
Keinginan pemerintah untuk menigkatkan
produksi pertanian melalui revolusi hijau agar mencapai swasembada
pangan justru merugikan bagi petani Indonesia. Revolusi hijau telah
menggeser lokalitas pertanian pada traktor, bibit pabrikan, pupuk,
pestisida, herbisida kimia. Juga berkontribusi pada peminggiran
4 | Page
perempuan dengan modernisasi. Pangaribuan (2002) menyatakan
pemakaian pupuk, obat-obatan pembasmi hama, penyakit dan gulma
menyebar tanpa dapat dikendalikan, petani yang tidak mengikuti tren
ini dicap sebagai petani kuno dan ketinggalan jaman, bahkan tindakan
represif dapat dikenakan stempel sebagai pembangkang atau pengikut
organisasi terlarang.
Sebagai hasilnya Indonesia mampu mencapai swasembada pangan
terutama beras pada 1993 sampai dengan 1997 (Lengman, 1997).
Namun, sistem tersebut telah menciptakan kerusakan-kerusakan
struktur tanah akibat pemupukan yang berlebihan, peledakan populasi
hama yang timbul sebagai dampak meningkatnya penggunaan bahan
kimia pertanian yang tidak terkontrol (Pangaribuan, 2002).
Scaller (1993) menyebutkan ada beberapa dampak negatif dari
sistem pertaniaan konvensional:
1. Mencemari air tanah dan air permukaan
2. Membahayakan kesehatan manusia dan hewan, baik pestisida
maupun bahan aditif pakan
3. Menurunkan
genetik
fora
keanekaragaman
hayati
dan
merupakan
fauna
yang
termasuk
modal
sumber
utama
pertanian berkelanjutan (Suistainable Agriculture).
4. Meningkatkan ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida
5. Menurunkan produktivitas lahan karena erosi, pedatan lahan dan
berkurangnya bahan organik
6. Meningkatkan ketergantungan pada sumber daya alam yang tidak
terbarui (Non-renewable Natural Resources)
Pertanian
ini
mampu
meningkatkan
produktivitas
namun
menimbulkan dampak pada kerusakan lingkungan. Selain itu, sangat
disayangkan adalah petani kehilangan hak untuk melakukan pemuliaan
tanaman lokal. Dampaknya kini sudah jarang ditemui benih-benih lokal
dan kehilangan kemampuan untuk pemuliaan. Diperparah dengan
munculnya pupuk-pupuk kimia yang tidak hanya berbahaya dan
mengganggu ekologi tetapi juga berbahaya bagi manusia (petani).
Sebagai hasilnya pembangunan ekonomi pertanian justru menurun dan
5 | Page
merugikan ekonomi petani. Padahal pertanian merupakan potensi
ekonomi yang paling besar karena sebagian besar penduduk Indonesia
hidup dari sektor pertanian.
Sistem budidaya tanaman justru memaksa petani untuk patuh pada
kepentingan-kepentingan
pencari
melakukan
pemerintah
keinginan
modal.
Petani
yang
dipaksa
sebenarnya
untuk
hanya
menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional.
Sekitar Juli-Agustus 2012 sebuah perusahaan benih, Syngenta,
bermitra
dengan
kelompok
tani
di
Pasuruan
dengan
program
pembenihan tanaman jagung. Petani menyambut dengan antusias
karena perusahaan siap membeli jagung pipil kering dengan harga Rp
2.950,-,
sementara
harga
dipasar
Rp
2.500,-per
kilogram.
Perusahaanpun memberikan pinjaman pupuk dan biaya garap. Setelah
perusahaan membeli benih jagung petani dan mengemasnya ulang,
mereka menjual ke petani dengan harga yang lebih tinggi yaitu Rp
55.000,- s.d. Rp 75.000,-. Hal ini sangat merugikan petani.
Selain itu, petani juga menjadi korban permainan benih impor.
Benih hibrida terhitung mahal, mencapai Rp 50.000,- per kilogram.
Sedangkan benih unggul nonhibrida hanya Rp 6.000,- sampai Rp
7.000,-.
Padahal
kualitas
benih
padi
hibrida
kurang
baik
dan
merugikan petani. Benih padi hibrida muncul untuk melanjutkan
program peningkatan produksi beras nasional (P2BN) pada tahun 2007
untuk mencapai surplus nasional 10 juta ton pada 2014.
Beberapa fakta tersebut menggambarkan permasalahan yang
dihadapi pertanian. Petani semakin tertekan ketika hak mereka
dipangkas, ditambah dengan beberapa kasus yang menimpa petani
karena dianggap tidak mendukung agenda besar pemerintah dan
pemilik modal. Ada beberapa kasus yang menjerat petani:
1. Pertengahan
Februari
2005,
Tukirin
seorang
petani
pemulia
tanaman jagung, di Kediri, Jawa Timur, dijatuhi hukuman percobaan
selama satu tahun. Sejak saat itu ia tak boleh lagi menanam jagung.
Lelaki 62 tahun itu dituduh mencuri benih jagung oleh PT BISI,
sebuah perusahaan yang sebelumnya bekerjasama dengan petani
6 | Page
lokal menanam jagung hibrida. Sertifkasi liar menjadi dalih yang
berhasil menjerat Tukirin, bersumber dari Undang-Undang Nomor
12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT), melanggar
ketentuan Pasal 13 Ayat 2 dan 3.
2. Pada 16 Januari 2010, Kuncoro, seorang petani pemulia benih
jagung dituduh melakukan pemalsuan merek dagang Bisi. Petani
asal Dusun Besuk, Kediri, Jawa Timur itu dijerat Pasal 60 dan 61 UU
No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Padahal Ia hanya
seorang petani penangkar benih yang menjual jagung curah tanpa
menggunakan merek Bisi. UU Nomor 12/1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman (SBT) jelas mempersempit dan menghalangi
kesempatan petani berperanserta dalam pengembangan budidaya
tanaman.
Penerapan
UU
SBT
berpotensi
menghalangi
akses
masyarakat, khususnya petani, untuk memenuhi hak atas pangan.
Peristiwa tersebut nampaknya akan terus menimpa para petani
pemulia tanaman pangan. Setidaknya sejak 2005 sampai saat ini,
belasan petani pemulia telah dikriminalisasi. Karena itulah, para
relawan sosial yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological
Livehood and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi nonpemerintan petani maupun pendamping petani kecil, akademisi,
mendorong petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara
hukum. Komunitas tersebut mengajukan Judicial Riview terhadap UU
No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman kepada
Mahkamah Konstitusi.
Judicial Riview tersebut dilakukan karena kebijakan yang dibuat
pada Masa Orde Baru tersebut ternyata justru banyak menimbulkan
dampak yang merugikan bagi petani. Democratic Governance
yang
mulai dibangun pasca runtuhnya orde baru kini membawa petani dan
berbagai kalangan yang peduli
akan permasalahan petani dan
pertanian untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami oleh petani.
Untuk itulah diperlukan kajian terhadap kebijakan tersebut dan
reformulasi kebijakan baru untuk menghasilkan kebijakan yang pro-
7 | Page
poor.
Dengan
demikian
akan
menciptakan
Community
Based
Development khususnya bidang pertanian.
B. Masalah Kebijakan
Permasalahan-permasalahan yang muncul jelas merupakan indikasi
bahwa
petani
belum
mendapatkan
regulasi
yang
menjamin
perlindungan atas hak petani. Regulasi yang ada telah merubah
agrikulktur menjadi agribisnis yang tidak beorientasi pada kearifan
lokal
dan
kesejahteraan
petani.
Dasar
hukum
yang
digunakan
perusahaan perusahaan untuk menjerat petani adalah Undang-Undang
No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Alih-alih
memberikan hak perlindungan kepada petani, sebaliknya ketentuan
mengenai Sistem Budidaya Tanaman justru memberikan banyak beban
kewajiban bagi petani yang
hendak melakukan budidaya benih. UU
yang lahir pada masa orde baru ini minim pelibatan masyarakat
dalam perencanaan budidaya tanaman.
Ada beberapa hal yang dapat digunakan untuk menganalisis
Kebijakan Sistem Budidaya Tanaman tersubut:
1. Konsideran kebijakan bagus, tetapi aturan pelaksana tidak
memihak petani.
Konsideran UU ini punya tujuan yang bagus, namun pada
pasalnya cenderung memberikan kesempatan pada birokrasi dan
eksekutif untuk membuat aturan pelaksana yang tidak memihak
petani kecil. Dari sisi prinsip, pembuat UU tidak memikirkan subjek
yang terkena dampak, yaitu petani kecil untuk memenuhi
persyaratan yang sangat berat. Ada beberapa pasal yang menjadi
persoalan petani:
a. Pasal 6, pemerintah menyatakan bahwa petani memiliki hak
menanam apa yang diinginkan. Tetapi diayat berikutnya hak bisa
hilang akibat petani wajib mengikuti rencana yang ditentukan
pemerintah.
8 | Page
b. Pasal
9,
petani
yang
sedari
awal
melakukan
pencarian
plasmanutfah kemudian harus memakai ijin, kalau tidak maka
menjadi terlarang.
c. Pasal 12, hasil karya petani melakukan pemuliaan tanaman
apabila diedarkan oleh kelompok, komunal dilarang, serta dituduh
melakukan sertifkasi liar.
d. Pasal 60 mengenai aturan pemiadanaan.
Pasal-pasal tersebut yang sering menjadi dasar menjerat petani
dalam kasus hukum.
Petani yang melaksanakan pemuliaan benih
dianggap melanggar peraturan karena tidak memenuhi persyaratan.
Hal ini disebabkan karena pemerintah menerapkan peraturan yang
sama antara petani pemulia tanaman dengan perusahaan, pabrik
atau laboratorium dan peneliti. Penerapan ketentuan yang sama ini
ditujukan untuk menjaga keanekaragaman tanaman pangan dari
pihak yang tidak bertanggungjawab tetapi justru petani yang
dilemahkan dengan kebijakan tersebut.
Fakta-fakta
yang
terjadi
menunjukkan
bahwa
telah
terjadi
Kriminalisasi petani. Kriminalisasi oleh perusahaan-perusahaan
pada
petani
dengan
dalih
pelanggaran
terhadap
UU
Sistem
Budidaya Tanaman. Padahal pemuliaan tanaman yang dilakukan
petani hanya untuk menjaga keunggulan lokal, keanekaragamn
hayati dan menjaga keseimbangan ekologi alam. Keuntungan
petanipun tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh
perusahaan-perusahaan tersebut.
Diskriminasi juga dialami oleh petani. Diskriminasi ini terjadi
bukan hanya karena keterbatasan akses pada sumber tertentu,
tetapi juga penerapan ketentuan yang sama antara kemampuan
yang berbeda, seperti yang dialami petani. Petani mendapatkan
perlakuan atau syarat yang sama dengan perusahaan-perusahaan
besar
agar
mampu
menyingkirkan
petani
memuliakan
dalam
tanaman.
upaya
akhirnya juga membatasi akses petani.
Ini
pemuliaan
juga
berarti
tanaman
yang
9 | Page
UU tersebut juga menimbulkan kebijakan mengenai benih impor.
Masuknya benih impor melalui dua regulasi yaitu, Peraturan
Menteri Pertanian No. 38 Tahun 2006 Tentang Pemasukan dan
Pengeluaran Benih, impor benih hanya boleh dilakukan selama 2
tahun.
Kedua,
Peraturan
No.70/Permentan/OT.140/2007
dilakukan
hingga
3
Menteri
yang
tahun,
Pertanian
menyatakan
setelah
itu
impor
boleh
importir
wajib
membudidayakan benih di Indonesia. Padahal munculnya benih
impor ini merugikan petani pemulia tanaman. Sehingga muncul
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
a. Peraturan perundangan ini berkaitan dengan kebijakan mengenai
kontrol terhadap benih, justru menghambat kreativitas dan
produktivitas petani, bahkan melanggar hak-hak petani.
b. UU SBT mengontrol semua proses budidaya tanaman semua
tanaman, yang berpotensial melanggar hak-hak petani.
c. Aturan UU tidak mempertimbangkan dan menegasikan peran
petani pemulia, dengan secara langsung/tidak langsung yang bisa
melakukan
pemuliaan
adalah
perusahaan/laboratorium
dan
peneliti.
d. UU SBT ini menegasikan adanya benih yang dikembangkan oleh
petani secara turun menurun.
e. UU SBT ini berpotensi meletakkan peran petani hanya sebagai
pengguna
benih,
sehingga
benih
hanya
dimonopoli
oleh
perusahaan dan menyebabkan ketergantungan pada perusahaan
benih, benih menjadi mahal
f. UU SBT menutup kemungkinan bagi petani yang biasanya
membagi benihnya, bertukar benih dan menjual kepada sesama
petani, karena harus memenuhi persyaratan yang sangat susah
dipenuhi oleh petani.
g. Berpotensi meletakkan kontrol sumber daya pertanian, termasuk
benih, pengetahuan, pada beberapa perusahaan pertanian dan
perbenihan.
10 | P a g e
h. Dirancang untuk memberikan perlindungan kepada peneliti,
industri swasta yang bergerak dibidang pertanian dan atau
perbenihan, bukan petani.
i. Mendukung
pola
pertanian
monokultur
yang
justru
rawan
serangan hama dan tidak berkelanjutan.
2. Rendahnya
Responsivitas
Pemerintah
ditandai
dengan
Langkah petani untuk Judicial Riview UU SBT
Menyadari akan pentingnya perlindungan hak petani maka
beberapa
pihak
bersinergi
untuk
membagun
kekuatan
yang
merupakan modal sosial. Maka inisiatif dari para relawan sosial
yang tergabung dalam Farmer Initiatives for Ecological Livehood
and Democracy (FIELD) dan beberapa organisasi non-pemerintan
petani maupun pendamping petani kecil, akademisi, mendorong
petani kecil yang sudah menua untuk melawan secara hukum.
Kekuatan petani dibangun agar mampu memiliki bargaining position
dalam
dalam
upaya
menjaga
agrikultur.
Komunitas
tersebut
bersama petani melakukan Judicial Riview terhadap UU No. 12
Tahun 1992 tersebut pada Oktober 2012. JR tersebut diajukan oleh:
Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice (IHCS)
Farmer Initiatives for Ecological Livehoods and Democracy
(FIELD)
Aliansi Petani Indonesia (API)
Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Besa)
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)
Serikat Petani Kepala Sawit (SPKS)
Perkumpulan Sawit Watch
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)
Kunoto
Kinarsih
11 | P a g e
Kegiatan
awal adalah workshop
pada
22-24
Mei 2012
di
Yogyakarta dengan tajuk “Mewujudkan Hak Petani Atas Benih”,
bertujuan : memperkuat persepsi jaringan petani tentang hak petani
atas benih serta merumuskan langkah strategis dan taktis sebagai
upaya mewujudkan hak petani atas benih.
Workshop tersebut
merekomendasikan beberapa hal untuk ditindaklanjuti:
Memilih strategi advokasi dan fokus isu terkait regulasi benih:
Judicial Review UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman
Pengorganisasian jaringan petani pembenih
Menyusun modul panduan pengelolaan pembenihan
Menyusun desain community seed center
Mengusulkan konsep perlindungan benih lokal didalam peraturan
daerah (Perda) dan peraturan desa (perdes)
Kemudian
dilaksanakan
sosialisasi
uji
materiil
UU
SBT
di
komunitas petani organik pada 26-28 Juni 2012 di Sumatera Barat.
Selanjutnya dilakukan sarasehan di Bogor, Jawa barat. Pertemuan
pakar dilakukan dan konferensi pers dilakukan beberapa kali.
Hasil kajian menunjukkan bahwa UU ini diperuntukkan bagi
perusahaan-perusahaan asing, hak kekayaan intelektual, dan selalu
membuka
peluang
investasi
modal
raksasa.
Bukan
untuk
kesejahteraan petani. UU ini juga sama sekali tidak menyinggung
soal participatory plan breeding, UU ini menegasikan dan
memarjinalkan
Pemerintah
kebudayaan
hanya
mengejar
bercocok
aspek
tanam
petani.
produksi,
padahal
pendekatan petani lebih holistik dan sustainable.
Kemudian
juga
dilakukan
identifkasi
pihak-pihak
berkepentingan terhadap UU SBT tersebut, diantaranya:
Petani
Petani
pemulia
benih
Petani penangkar
Petani penggarap
Perusahaan
Perusahaan benih
Distributor
Pengecer
Petani
mitra
Pemerintah
Kementerian
pertanian
Kementerian
perdagangan
yang
12 | P a g e
dan pemilik
perusahaan
Kementerian BUMN
DPR
Polisi
BPSP (Balai Pengawas
dan Sertifkasi Benih)
BP (Balai Penelitian)
Hal tersebut menunjukkkan bahwa kebijakan pemerintah belum
pro pada petani, belum mampu menjadi solusi atas permasalahan
petani
dan
pertanian
memarjinalkan
Indonesia.
kebudayaan
UU
bercocok
ini
menegasikan
tanam
petani.
dan
Hal
ini
menunjukkan masih rendahnya responsivitas pemerintah terhadap
kebutuhan petani.
Responsivitas (Dunn, 2003:437) berkenaan dengan seberapa jauh
suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai
kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi
terhadap
harapan,
keinginan
dan
aspirasi,
serta
tuntutan
masyarakat (Tangkilisan, 2005:177). Dengan demikian responsivitas
merupakan langkah pemerintah dalam meyediakan tuntutan warga
masyarakat.
memenuhi
Kemauan
kebutuhan
ini
diwujudkan
masyarakat.
dalam
Sistem
kebijakan
budidaya
untuk
tanaman
merupakan sistem pengembangan dan pemanfaatan sumber daya
alam nabati melalui upaya manusia dengan modal, teknologi dan
sumberdaya
lainnya
menghasilkan
barang
guna
memenuhi
kebutuhan manusia secara lebih baik. Sistem budidaya diciptakan
untuk menjaga ketersediaan tanaman pangan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia yang selalu meningkat.
Kebijakan tersebut seharusnya merupakan bentuk responsivitas
terhadap kebutuhan dan kepentingan petani. Namun permasalahan
yang terjadi
justru mengidikasikan kebijakan tersebut belum
menjadi jawaban atas permasalahan petani, selain itu responsivitas
terhadap kebutuhan petani masih lemah. Padahal responsivitas
dalam kebijakan pertanian merupakan faktor penting, mengingat
13 | P a g e
sebagian besar masyarakat Indonesia bermata pencaharian sebagai
petani.
Disisi lain petani yang merasa pemerintah tidak responsif
terhadap kepentingan dan kebutuhan petani membangun kekuatan
untuk
melakukan
perlawan.
Masyarakat
petani
membangun
kekuatan dengan Modal Sosial. Burt
(1992) dalam Agus dkk
mendefnsikan, modal
kemampuan
untuk
melakukan
sosial
adalah
asosiasi (berhubungan)
satu
masyarakat
sama lain dan
selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi
kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial
yang lain. Solow (1999) mendefnisikan, modal sosial sebagai
serangkaian
dalam
nilai-nilai
perilaku
kapabilitas
menghasilkan
yang
untuk
atau
norma-norma
dapat mendorong
bekerjasama
kontribusi
dan
besar
yang
diwujudkan
kemampuan
berkoordinasi
terhadap
dan
untuk
keberlanjutan
produktivitas.
Petani dengan berbagai komunitasnya kemudian membentuk
Assosiasi Bank Benih Indonesia guna mempertahankan benih lokal.
Peristiwa ini telah membawa peristiwa sosial menjadi peristiwa
politik. Petani yang merasa ditindas telah melakukan upaya untuk
mempengaruhi kebijakan dengan membangun modal sosial.
3. Permasalahan Konstitusional
Ada beberapa pasal dalam UU SBT yang bertentangan dengan UUD
1945, yaitu:
a. Sistem budidaya tanaman yang dipaksakan oleh pemerintah
kepada petani sebagaimana termaktub dalam pasal 5 Ayat 1 huruf
a, huruf b dan huruf c bertentangan dengan pasal 28 A UUD 1945
yang menyatakan bahwa “ setiap orang berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.
Bagi petani bercocok tanam atau membeudidayakan tanaman
merupakan hidup dan penghidupannya.
b. Jika pasal 5 tersebut dihubungkan dengan Pasal 6 Ayat 2 yang
menyatakan bahwa petani wajib ikut serta dalam mewujudkan
14 | P a g e
rencana pengembangan dan produksi budidaya tanaman, maka ini
mengakibatkan pertentangan antara kewenangan pemerintah
dengan hak petani. Petani harus tunduk pada perencanaan
pemerintah yang mengakibatkan ketidakpastian hukum antara
hak dan kewajiban petani.
Padahal jaminan kepastian hukum yang adil merupakan hak
konstitusional yang diatur dalam pasal 28 D Ayat 1 UUD 1945,
yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Disisi lain pengaturan wilayah dan produksi oleh pemerintah
menyebabkan petani kehilangan hak untuk menentukan jenis dan
pola budidaya tanamandi tanahnya sendiri. Hal ini bertentangan
dengan Pasal 28 H Ayat 4 yang menyatakan bahwa:” Setiap orang
berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”
c. Pasal 6 Ayat 1 menyatakan petani memiliki “kebebasan”, tetapi
kebebasan tersebut dibatasi oleh Ayat 2 dengan mewujudkan
rencana pemerintah. Padahal petani tidak dilibatkan dalam
perencanaan. Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 A,
Pasal 28D Ayat 1, Pasal 28H Ayat 4, dan Pasal 28 I Ayat 3 UUD
1945.
Pasal 28 I Ayat 3 berisi tentang penghromatan terhadap identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional.
d. Pasal 9 Ayat 3 , sepanjang kata “ Perorangan” bertentangan
dengan Pasal 28A, Pasal 28 C, Pasal 28 D Ayat 1, Pasal 28 I Ayat 2
dan 3, serta Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945.
UU SBT membedakan antara pemulia tanaman dengan petani.
Padahal kegiatan pemuliaan tanaman tiak bisa dipisahkan dari
petani dan diantara petani ada pemulia tanaman.
e. Pasal 10 UU SBT menyatakan introduksi benih dapat dilakukan
untuk pemuliaan tanaman yang dapat dilakukan oleh perorangan
dan badan hukum. Selanjutnya pasal 11 menyatakan setiap orang
15 | P a g e
atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk
menemukan varietas unggul. Dalam frasa setiap orang terdapat
kominitas petani yang telah melakukan pemuliaan tanaman secara
turun-menurun, sedangkan dalam frasa badan hukum terdapat
perusahaan-perusahaan
yang
melakukan
privatisasi
dan
komersialisasi benih. Ini juga merupakan tindakan diskriminatif
f. Pasal 12 UU SBT, menyatakan bahwa “varietas hasil pemuliaan
atau introduksi dari luar negeri” dilepas oleh pemerintah sebelum
diedarkan. Ini berarti ada peraturan atau ketentuan tertentu
untuk melepaskan benih, padahal dalam frasa varistas hasil
pemuliaan
ada
yang
dilakukan
oleh
petani
kecil.
Hal
ini
bertentangan dengan pasal 28 A, Pasal 28 C, Pasal 28I Ayat 3 dan
Pasal 33 Ayat 2 dan 3 UUD 1945. UU Sistem Budidaya Tanaman
tersebut melanggar hak petani dan tidak bisa digunakan untuk
kemakmuran rakyat.
g. Sedangkan
pasal
60
UU
SBT
tentang
ketentuan
pidana
bertentangan dengan Pasal 28 G Ayat 1 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa:” Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang
dibawah
kekuasannya,
serta
berhak
atas
rasa
aman
dan
perlindungan dari ancaman kekuatan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
4. Tidak
adanya
pelibatan
masyarakat
dalam
perencanaan
Sistem Budidaya Tanaman.
Pemerintah
menginginkan
petani
mengikuti
program
yang
dirancang oleh pemerintah, namun petani tidak terlibat dalam
perencanaannya. Tidak adanya akses dan ruang partisipasi yang
terbuka bagi petani inilah yang membuat kebijakan Sistem Budidaya
Tanaman selama ini tidak memihak pada petani. Sehingga kebijakan
maupun program yang dibuat tidak mampu memenuhi kebutuhan
dan kepentingan petani yang sebenarnya. Tidak ada manajemen
partisipatif dalam pembuatan kebijakan, sehingga petani hanya
16 | P a g e
bertindak sebagai obyek yang harus melaksanakan kebijakan yang
telah dibuat oleh pemerintah.
Petani tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, pengembangan
dan pengaturan produksi serta penetapan wilayah. Selama ini yang
ada hanyalah forum sosialisasi mengenai imbauan pemerintah.
Petani
yang
tidak
menjalankan
imbauan
pemerintah
dapat
dikrimminalisasi, diskriminasi dan diintimidasi.
Penelitian bidang pertanian yang dilakukan dibiayai oleh negara
dan pangusaha, perencanaan yang dibuat oleh pemerintah tidak
didasarkan atas kebutuhan petani. Tidak melibatkan petani secara
aktif dan partisipatif, serta mengabaikan ketangguhan ekosistem.
Pemerintah hanya mengejar kepentingan angka produksi yang
tinggi,
mengabaikan
tujuan-tujuan
lain
dibidang
kelestarian
lingkungan, ketangguhan ekosistem, kesejahteraan petani dan
rendahnya etika lingkungan.
Hal ini bisa dilihat dari sudut pandang pembuatan kebijakan,
dimana pembuatan kebijakan ini adalah pada masa orde baru.
Pemerintahan Orde Baru memasuki wilayah politik baru, yaitu
Negara-Birokrat-Otoriter
(NBO), yang memang tidak dapat
dipisahkan dengan model pembangunan ekonomi “Trickle Down
Efect”. Model pembangunan yang diharapkan mampu memberikan
‘tetesen’ kesejahteraan pada masyarakat. Masyarakat Indonesia
pada masa pemerintahan Orde Baru dijauhkan dari segala macam
aktivitas politik maupun ekonomi. Dimana pada masa tersebut
banyak kebijakan publik yang dibuat dengan cara Top-Down, hal ini
membuat
kebijakan
yang
dihasilkan
dalam
sisitem
budidaya
tanaman ini tidak mempertimbangkan partisipasi masyarakat.
Menurut Adi (2003), Sebagian besar kebijakan Pemerintah (Orde
baru) bernuansa “top-down”, dominasi Pemerintah sangat tinggi,
akibatnya antara lain banyak terjadi pembangunan yang tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat, tidak sesuai dengan potensi dan
keunggulan desa, dan tidak banyak mempertimbangkan keunggulan
dan kebutuhan lokal. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil
17 | P a g e
dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang
tidak bisa ditolak. Masyarakat hanya sekedar objek pembangunan
yang harus memenuhi keinginan Pemerintah, belum menjadi subyek
pembangunan, atau masyarakat belum ditempatkan pada posisi
inisiator (sumber bertindak).
Lebih jauh Adi menyampaikan bahwa kegagalan penerapan
program-program pembangunan perdesaan di masa lalu adalah
karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program
pembangunan tidak melibatkan masyarakat. Proses perencanaan
pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralisasi
dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan
bermasyarakat. Partisipasi saat itu lebih diartikan pada bagimana
upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada
awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah.
Karenanyalah perekonomian secara umum meningkat namun
upaya-upaya untuk menyejahteraan masyarakat tidak tercapai. Kini
dengan munculnya orde reformasi yang
membawa amandeman
UUD 1945 maka prinsip partisipasi menjadi sangat penting dalam
menunjang
Democratic
Governance
.Tidak
adanya
partsisipasi
petani dalam tahapan rencana pembangunan dan perencanaan
budidaya tanaman ini bertentangan dengan Pasal 28C ayat 2 karena
telah menghalangi petani dalam memperjuangkan haknya secara
kolektif, partisipati untuk membangun masyarakat bangsa dan
negara. Juga bertentangan dengan pasl 28 I ayat 2 tentang
perlindungan terhadap diskriminiasi, karena merupakan praktek
diskriminasi terhadap petani.
5. Globalisasi Benih dan Neo-Liberalisme
Benih merupakan salah satu faktor keberhasilan pertanian.
Namun kini benih sudah banyak yang dikuasai oleh perusahaan
asing. Perusahaan-perusahaan benih raksasa yang menguasai pasar
benih dunia telah mengakses ratusan ribu jenis benih kemudian
diproduksi sebagai bibit unggul, hibrida dan transgenik. Selama
18 | P a g e
1996-2007 varietas tanaman yang telah dipatenkan untuk tanaman
pangan sebanyak 27 %, sayuran 10% dan buah-buahan sebanyak 4
%. Hak paten ini menambah kemenangan perusahaan atas petani
kecil terkait akses terhadap benih di dunia.
Saat ini sekitar 90% pasar benih dan input pertanian dikuasai
perusahaan-perusahaan
perusahaan
benih
multinasional
raksasa.
(MNC),
Setidaknya
antara
lain
terdapat
6
Monsanto,
Syngenta, Bayer, Dow Agro Science, BASF dan Dupon. Pada
1996, sekitar 10 perusahaan menguasai 37 % benih didunia, pada
2004: 49 %, 2005: 51%, dan 2006: 57% dengan nilai total 13 Miliar
Dollar AS. (Utomo, 2012)
Fakta
tersebut
menunjukkan
bahwa
perusahaan-perusahaan
multinasional menguasai pasar benih lokal. Stidaknya ada sekitar 51
perusahaan benih yang menguasai benih lokal. Benih-benih hibrida
menggantikan
benih-benih
lokal.
Padahal
benih-benih
hibrida
memiliki kelemahan:
a. Tidak tahan terhadap serangan hama
b. Harga benihnya mahal
c. Petani harus membeli benih baru setiap tanam, karena benih hasil
panen
sebelumnya
tidak
dapat
dipakai
untuk
pertanaman
berikutnya
Sebenarnya sumbangan petani terhadap diversitas sumberdaya
genetika lebih besar. Sejak
1990 petani telah menanam 1,9 juta
jenis tanaman, sebaliknya sektor industri hanya menanam 72.500
saja. Petani telah memuliakan 5000 tanaman pangan, sementara
perusahaan
termasuk
yang
multinasional
hanya
mampu
menghasilkan 150 jenis.
Masuknya benih asing tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya
perusahaan multinasonal yang kini sudah menguasai pasar input
pertanian di Indonesia. Hal ini sudah dimulai pada masa orde baru
dimana
pembuat
kebijakan
begitu
dekat
dengan
penguasa.
Kebijakan ekonomi awal orde baru membuka lebar-lebar modal
asing dengan dibuatnya Undang Undang Penanaman Modal Asing
19 | P a g e
pada Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal dalam
Negeri pada Tahun 1968. Pemerintahan Orde Baru memutuskan
untuk menerapkan tiga langkah pembangunan ekonomi berikut pada
masa
awal
pelunasan
pemerintahannya.
utang
mengembalikan
luar
negeri
kepercayaan
Pertama,
menjadwalkan
sebagai
pihak
langkah
luar
awal
negeri.
kembali
untuk
Kedua,
mengendalikan infasi yang tak terkontrol melalui program impor
komoditi besar-besaran yang di biayai oleh pinjaman-pinjaman hasil
re-negoisasi.
Ketiga,
mengundang
investasi
sebesar-besarnya,
terutama investasi asing, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
(Analisa-kebijakan-ekonomi-post-orde, 2009)
Pembangunan pada masa itu , dengan suntikan modal dan
teknologi diharapkan mampu membawa “Trickle Down Efect” dan
“Spillover”. Dibuka peluang sebesar-besarnya untuk modal asing
dan dalam negeri, untuk mendukung konstruktif pembangunan
ekonomi tersebut, pemerintahan Orde Baru meminta dukungan IMF
(International Monetary Fund). Poin-poin penting yang disarankan
untuk diterapkan oleh IMF adalah, pertama, kekuatan pasar adalah
kekuatan yang vital dalam stabilisasi ekonomi. Kedua, untuk itu,
maka keberadaan perusahaan negara tidak akan mendistorsi pasar
dengan tidak lagi menikmati fasilitas kredit dan alokasi devisa dari
negara, tidak melakukan monopoli dan menjual dengan harga
subsidi. Ketiga, sebagai insentif bagi sektor swasta maka lisensi
impor terhadap bahan baku dan perlengkapan tidak lagi di batasi.
Terakhir adalah fasilitas insentif berupa keringanan pajak dan lainlain bagi penanaman modal baru yang di jamin oleh UndangUndang. Hubungan baru antara IMF dengan pemerintahan Orde
Baru ini menjadi momentum awal dari ketergantungan (dependen)
pembangunan ekonomi Indonesia terhadap pihak eksternal atau luar
negeri.
Menurut Mander, et all (2003) Seluruh kebijakan lembagalembaga Bretton Woods (Bank Dunia, IMF, WTO dan lainnya) tidak
dirancang untuk memberikan keuntungan kepada negara-negara
20 | P a g e
miskin, melainkan kepada negara-negara indusri kaya dan berbagai
korporasi global. Sebagai akibatnya banyak kebijakan yang dibuat
pemerintah dikendalikan oleh kepentingan korporasi global.
Lebih jauh Mander, et all menyatakan bahwa dampak yang paling
traumatis kebijakan globalisasi- baik dalam penciptaan kemiskinan
maupun penghancuran lingkungan hidup-
telah terjadi perubahan
perekonomian lokal yang sangat dipaksakan yaitu perubahan model
pertanian yang terdiversifkasi dalam skala kecil menuju ekspor
industrial, dan perubahan itu digerakkan oleh korporasi-korporasi
global.
Sistem ini justu telah menghilangkan keswasembadaan dan
kemandirian petani menjadi ketergantungan dan kelaparan. Karena
petani-petani yang dulu mengembangkan tanaman pangan untuk
mereka dan komunitas mereka, terganti atau tergantung pada
korporasi-korporasi raksasa dengan pola pengembangan ekspor
global. Campur tangan lembaga-lembaga tersebut menurut Mander,
et all (2003) telah menggeser kesejahteraan masyarakat petani.
Petani yang dulu telah menanam bermacam-macam benih varietas
lokal, membuat pupuk sendiri, melakukan sistem tanam bergilir, dan
pengelolaan pstisida, pengelolaan benih, air dan tenaga kerja
menjadi diliputi dengan kemiskinan.
Sehingga tidak heran kebijakan yang dibuat pada masa (Orde
Baru) tersebut lebih memihak pada keuntungan pengusaha. Ini juga
yang terjadi pada kebijakan sistem budidaya tanaman yang dibuat
pada masa orde baru ini. Dengan demikian, kebijakan yang
dihasilkan merupakan kepentingan penguasa dan pengusaha yang
begitu
dekat
pada
masa
tersebut.
Kebijakan
tersebut
juga
merupakan alat “tools” bagi korporasi-korporasi global dalam
menjalankan neo-liberalisasi.
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan
yang
diungkapkan
diatas maka diperlukan re-formulasi kebijakan baru untuk menjamin
kebijakan yang benar-benar memihak pada kepentingan masyarakat.
Untuk itulah dirumuskan peta masalah dalam memformulasikan
21 | P a g e
kebijakan baru. Dunn (2003), menyampaikan beberapa tahap dalam
perumusan masalah yaitu:
a. Situasi Masalah, merupakan upaya pengenalan masalah
b. Meta Masalah, merupakan upaya pencarian masalah
c. Masalah Subtantif, merupakan upaya pendefnisian masalah
d. Masalah Formal, merupakan spesifkasi masalah
Berdasarkan
fakta-fakta
yang
diungkapkan
diatas
maka
peta
masalah dalam kebijakan sistem budidaya tanaman tersebut adalah
sebagai berikut:
C. Tujuan Analisis
22 | P a g e
-
Mengevaluasi
kebijakan
pemerintah
dalam
sistem
budidaya
tanaman
-
Menyusun rekomendasi alternatif kebijakan dalam me-Reformulasi
kebijakan sistem budidaya tanaman
D. Kebijakan yang dianalisis
-
Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya
Tanaman
E. Evaluasi Kebijakan
Beberapa permasalahan yang dikemukakan tersebut menggirirng
pada
harus
Budidaya
dilakukannya
Tanaman.
evaluasi
Fakta-fakta
terhadap
tersebut
kebijakan
Sistem
menunjukkan
bahwa
pemerintah belum responsif terhadap kepentingan petani.
F. Penilaian Alternatif
Kriteria yang digunakan untuk pemilihan alternatif menggunakan
kriteria kelayakan alternatif kebijakan yang disampaikan oleh Patton
dan Sawicki dalam Subarsono (2008), ada 4 Kriteria:
1. Kelayakan teknis (Technical Feasibility), apakah alternatif yang
dipilh dapat mengatasi pokok persoalan yang muncul, mencakup
dua sub-kriteria:
a. Efektivitas (Efectiveness), apakah alternatif yang dipilih dapat
mencapai tujuan yang diinginkan
b. Kecukupan (Adequacy), seberapa jauh alternatif yang dipilih
mampu menyelesaikan persoalan
2. Kemungkinan ekonomik dan fnansial (Economic and Financial
Possibility),sub kriteria:
a. Economic eficiency (efsiensi ekonomi), apakah dengan resource
yang ada dapat memperoleh manfaat yang optimal
b. Profitability (Keuntungan), mempersoalkan perbandingan input
dan output kebijakan
c. Cost efectiveness (efsiensi biaya), mempersoalkan apakah
tujuan dapat dicapai dengan biaya yang minimal.
3. Kelayakan Politik (Political Viability), mencakup:
23 | P a g e
a. Acceptability (Tingkat Penerimaan), apakah alternatif kebijakan
yang bersangkutan dapat diterima oleh aktor politik (pembuat
keputusan) dan masyarakat (penerima Kebijakan)
b. Appropriateness (kepantasan), mempersoalkan apakah kebijakan
yang bersangkutan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat.
c. Responsivenees (daya tanggap), menanyakan apakah kebijakan
yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
d. Legal, apakah kebijakan yang bersangkutan tidak bertentangan
dengan peraturan yang ada
e. Equity (keadilan), menanyakan apakah kebijakan tersebut dapat
mempromosikan pemerataan dan keadilan dalam masyarakat
4. Kelayakan administratif (administrative operability), sub-kriteria:
a. Authority (otoritas), mempersoalkan apakah organisasi pelaksana
kebijakan cukup memiliki otoritas
b. Institutional
commitment
(komitmen
institusi),
menyangkut
komitmen dari para administrator dari tingkat atas dampai
tingkat bawah.
c. Capability (kapasitas), berkenaan dengan kemampuan aparatur
baik kemampuan konseptual maupun ketrampilan.
d. Organizational support (dukungan organisasi), ada tidaknya
dukungan dari organisasi pelaksana kebijakan.
G. Alternatif kebijakan
Alternatif
kebijakan
yang
direkomendasikan
berkaitan
dengan
Undang-Undang mengenai Kebijakan Sistem Budi Daya Tanaman
tersebut adalah:
1. Perubahan atau amandemen UU No. 12 Tahun 1992 Tentang
Sistem Budidaya Tanaman
Melihat banyaknaya pasal dan ketentuan dalam UU yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak petani maka alternatif
kebijakan yang diajukan adalah perubahan UU tersebut menuju UU
yang lebih responsif pada kebutuhan dan kepentingan petani.
24 | P a g e
Bukan hanya sekedar Uji materi, sebab UU tersebut tidak
melibatkan partisipasi masyarakat dan hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu.
Nugroho (2003: 224) mengkaitkan kebijakan publik dengan
Good Governance, baik dalam formulasi, implementasi, maupun
evaluasi kebijakan publik. Sehingga dalam setiap tahap-tahap
proses
kebijakan publik akan berdasarkan pada prinsip-prinsip
Good
Governance
yang
berupa
akuntanbilitas,
transparansi,
fairness dan katanggapan. Secara umum prinsip GG adalah
participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus
orientation, equity, efectiveness and eficiency, accountability dan
strategic vision.
Dengan demikian pengintegrasian GG dalam
proses kebijakan publik akan menjamin partisipasi, responsivitas,
keadilan, efektivitas dan efsiensi serta akuntabilitas. Sehingga
perlu dibuat kebijakan yang mampu menjamin dilaksankannya
prisnsip-prinsip
Good
pelaksanaannya
tetapi
Governance
juga
dalam
bukan
hanya
pembuatan
dan
dalam
evaluasi
kebijakan.
Reformulasi kebijakan dengan mengintegrasikan GG harus
mampu menciptakan Sistem Budidaya Tanaman yang mengandung:
Sistem
pertanian
yang
berwawasan
lingkungan
(Agroecosystem) dan memperhatikan etika lingkungan
Sistem
pertanian
yang
berkelanjutan
(Suistainable
Agriculture)
Mengembangkan potensi sosial dan ekonomi masyarakat
petani (Community Based Development)
Menjamin hak-hak petani
Reformulasi kebijakan tersebut diperlukan karena banyak pasal
yang
juga
bertentangan
dengan
UUD
1945
amandemen.
Reformulasi kebijakan tersebut dilakukan oleh lembaga legislatif
dengan
berorientasi
memerlukan
waktu
pada
kepentingan
yang
panjang
petani,
untuk
namun
membuat
akan
sebuah
kebijakan. Pembuatan kebijakan ini harus juga menyertakan
25 | P a g e
aspirasi petani dalam komunitas petani, sehingga kebijakan akan
bersifat Buttom Up. Dengan prinsip partisipatori maka kebijakan
yang dibuat akan mampu menyelesaikan masalah yang selama ini
menjerat petani.
Penilaian terhadap kriteria ini
a. Technical Feasibility
Kriteria ini mencakup Efectiveness and adequacye Kebijakan
ini
akan
efektif
karena
adanya
prinsip
partisipasi
serta
memperhatikan hak-hak petani, sehingga masyarakat tidak
hanya menjadi obyek tetapi juga subyek kebijakan. Kebijakan ini
akan menjadi pedoman nasional dalam upaya menciptakan
sistem budidaya tanaman yang berwawasan lingkungan dan
berkesinambungan serta memperhatikan kesejahteraan petani.
Selain itu kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan
(adequacy), karena petani akan mendapatkan jaminan atas hakhak mereka. Dengan demikian petani tidak akan disamakan
dengan perusahaan-perusahaan ataupun laorataorium untuk
penelitian.
b. Economic and Financial Possibility
Kriteria ini berupa economic eficiency, profitability and cost
efectivenesse Pembuatan UU memang memerlukan biaya yang
tidak sedikit, apalagi ongkos politik yang harus dikeluarkan,
namun pembuatan kebijakan harus menggunakan sumber daya
yang ada untuk mencapainya. Kebijakan ini mampu menciptakan
economic eficiency, jika melalui proses-proses yang fair. Namun
disisi lain profitability akan berkurang karena mempersempit
kemungkinan masuknya modal asing tetapi lebih mengutamakan
pada kesejahteraan masyarakat.
Disisi lain, ketika kebijakan ini sudah jadi dan diimplementasikan
akan
mampu
mencapai
cost
efectiveness,
karena
membutuhkan biaya yang minimal untuk mencapai tujuan.
c. Political Viability
akan
26 | P a g e
Kriteria
ini
mencakup
responsiveness, legal dan
acceptability,
approppriateness,
equitye Kebijakan ini akan memiliki
acceptability yang berbeda antara masyarakat dengan aktor
politik, dari aktor politik akan ada dimensi politik yang berperan.
Padalah
kebijakan
ini
merupakan
tuntutan
masyarakat
(Responsiveness), sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada
(Legal) karena justru UU SBT yang sekarang banyak pasal yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945 amandemen.
Selain itu kebijakan ini akan memberikan Equity
dalam
masyarakat dengan perlakuan sesuai dengan yang dibutuhkan
petani.
Namun, Acceptability aktor politik akan berbeda dan bisa
bertentangan dengan korporasi global dengan bergagai alatnya.
d. Administrative Operability
Kriteria ini mencakup authority, institutional commitment,
capability,
and
organizational
supporte
Lembaga
legislatif
memiliki authority dalam melakukan perubahan UU tersebut dan
meformulasikan kebijakan baru yang lebih propetani. Kebijakan
dengan
bentuk
UU
akan
mampu
mengikat
institutonal
commitment aparat pelaksana kebijakan dari tingkat atas sampai
bawah. Namun, kebijakan ini belum didukung dengan capability
dan organizational support yang memadai. Karena selama ini
pemerintah telah cenderung melaksanakan kebijakan yang topdown.
2. Pembuatan Peraturan Daerah mengenai perlindungan bibit
lokal dan pertanian organik
Dengan adanya kebijakan desentraliasai dimana kewenangan
daerah lebih besar dalam penagturan diri maka Pemerintah Daerah
menjadi regulasi yang penting. Pembuatan peraturan daerah ini
diperlukan
dengan
memperhatikan
lokalitas
masing-masing
daerah. Perda ini akan menjamin kesejahteraan petani dan sistem
pertanian yang berbeda disetiap daerah. Badjuri dan Yuwono
27 | P a g e
(2002:181)
menyampaikan
bahwa
kebijakan
otonomi
daerah
menuntut daerah untuk mampu mandiri khususnya dalam konteks
kebijakan publik, spirit dan kebijakan otonomi daerah ini adalah
bahwa daerah diharapkan mampu menyusun perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan daerahnya
sendiri.
Maka diperlukan perda yang mandapat jaminan dengan UU.
Peraturan
daerah
yang
dibuat
harus
memuat
mengenai
perlindungan terhadap bibit lokal dan sistem pertanian organik.
Hal ini didasari karena sistem pertanian konvensional yang
sekarang banyak menimbulkan kerusakan baik secara ekologi,
ekonomi maupun sosial. Dengan pertanian organik maka akan
membentuk sistem pertanian yang suistainable agriculture dan
agroecosysteme Mc Guinees (1993) menyatakan pertaian organik
merupakan sistem produksi yang menyeluruh dan terpadu yang
mengoptimalkan
produktivitas
agroekosistem
(ekosistem
pertanian). Pertanian yang berpijak pada kesuburan tanah sebagai
kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan
alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas
yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan. Pertanian yang
menghasilkan pangan yang sehat (bebas dari obat-obatan dan zat
kimia yang mematikan).
Menurut
International
Federation
of
Organic
Agriculture
Movement (IFOAM) salah satu tujuan sistem pertanian organik ini
mampu
mempertahankan
pelestarian
habitat
keanekaragaman
tanaman
dan
hewan.
hayati
termasuk
Dengan
demikian
pelaksanaan sistem pertanian ini mampu menjaga keanekaragaman
hayati termasuk bibit lokal.
Maka pemerintah daerah (legislatif
daerah), harus membuat perda ini dengan melibatkan pihak ketiga
seperti akademisi, NGO, komunitas masyarakat.
Penilaian terhadap alternatif ini adalah:
a. Technical Feasibility
28 | P a g e
Kebijakan akan lebih Efective karena mampu menjadi
payung
hukum
didaerah
dalam
mempertahankan
sistem
pertanian yang baik sesuai dengan lokalitas masing-masing
daerah. Kebijakan ini akan mampu menyelesaikan persoalan
(Adequacy) di daerah dengan adanya kebijakan desentralisasi.
b. Economic and Financial Possibility
Pembuatan perda juga memelukan biaya yang tidak sedikit,
namun mampu dilakukan (Economic eficiency). Kebijakan ini
mampu memperoleh manfaat optimal pada petani (Profitability)
dengan
sistem
konvensional.
pertanain
Selain
itu,
yang
efsien
sistem
dari
pertanian
pada
ini
sistem
juga
lebih
menguntungkan bagi ekologi, ekonomi dan sosial sehingga
memiliki cost efectiveness
c. Political Viability
Kebijakan
ini
merupakan
tuntutan
masyarakat
(Responsiveness) yang merupakan penguatan pada tingkat lokal.
Kebijakan
ini
sesuai
dengan
nilai-nilai
yang
ada
dalam
masyarakat Appropriateness, karena menjaga agrikultur bukan
hanya berorientasi pada agribisinis. Pembuatan Kebijakan ini
juga tidak bertentangan dengan peraturan yang ada (Legal) serta
memberikan
Equitye
Namun,
bisa
bertentangan
dengan
perusahaan benih/pemilik modal
d. Administrative Operability
Pemerintah
adanya
cukup memiliki
kebijakan
commitment
otoritas
desentralisasi.
(komitmen
institusi),
(Authority)
dengan
Namun,
nstitutional
Capability
(kapasitas),
Organizational support (dukungan organisasi) masih lemah.
3. Penguatan komunitas petani (Social Capital) yang mampu
menjamin akses dalam perencanaan kebijakan pertanian
Penguatan komunitas petani ini diperlukan untuk menciptakan
kekuatan bargaining position petani. Ini merupakan modal sosial
bagi petani dalam memperkuat organisasi dan jaringan tani, maka
29 | P a g e
sosial capital ini sangat penting. Putnam dalam Laren (2004)
menyatakan
“Social
capital
refers
to
features
of
social
organization, such as networks, norms, and trust, that facilitate
coordination
and
cooperation
for
mutual
Woolcock (1998) dalam Lubis dkk,
benefitt.
Menurut
Modal sosial didefnisikan
sebagai informasi, trust, dan norms of reciprocity yang melekat
pada jaringan sosial dengan tujuan untuk menciptakan tindakan
kolektif yang menguntungkan. Modal sosial didasarkan pada dua
nilai, yaitu primordiality dan civilitye
Zhang
(2011)
menyampaikan
bahwa
berbagai
penelitian
membuktikan bahwa sosial kapital memberikan manfaat yang
besar
pada
masyarakat,
salah
meningkatkan kehidupan ekonomi.
satu
yang
terpenting
adalah
Ada dua bentuk modal sosial
ini yaitu Bonding Social Capital dan Bridging Social Capitale
Menurut Larsen dkk (2004) Bonding social capital occurs within a
community of individuals, such as a neighborhood, but the
relationships and trust formed by bonding social capital may not
precipitate action in addressing a neighborhood probleme Bonding
social capital is a necessary antecedent for the development of the
more powerful form of bridging social capital . Sedangkan Bridging
social capital is what Paxton (1999) refers to as cross-cutting tiese
Bridging social capital occurs when members of one group connect
with members of other groups to seek access or support or to gain
informatione
Modal sosial terikat (Bonding Social Captal) adalah cenderung
bersifat
eksklusif
(Hasbullah,
2006).
Apa
yang
menjadi
karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus
sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian,
adalah lebih berorientasi ke dalam (inwardlooking) dibandingkan
dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat
yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenius
(cenderung homogen)
30 | P a g e
Mengikuti
Hasbullah
(2006),
bentuk
modal
sosial
yang
menjembatani ini in