Analisis Upaya Penyejahteraan Bangsa den
Analisis Upaya Penyejahteraan Bangsa dengan Studi Kasus Pembangunan
Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Utara
Lomba Karya Tulis Ilmiah ILMISPI 2017 di Bangka Belitung
Disusun oleh:
Ardya Tridwantoro Handjoko
M. Zamzam Firdaus
Putri Cahya Arimbi
Ciputat, 2017
Abstrak
Reforma Agraria merupakan salah satu program presiden Joko Widodo untuk
memeratakan ekonomi masyarakat. Reforma Agraria yang dicanangkan ialah memberikan
lahan (dengan secara formal memberikan sertifikat tanahnya pula) guna membantu buruh
tani, perkebunan dan lain-lain yang kekurangan lahan. Namun pada prakteknya, justru
kapitalis—dengan didukung birokrat di daerah-daerah—merampas lahan milik petani.
Selanjutnya, inilah yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Tulisan ini akan
menjelaskan bagaimana program Reforma Agraria diimplementasikan dan bagaimana
kapitalis merampas lahan demi melancarkan produksinya dengan mengangkat contoh kasus
konflik yang terjadi di Pegunungan Kendeng Utara. Selanjutnya bagaimana corak produksi
kapitalis ini sebagai titik awal proletarisasi yang merupakan bagian dari proses akumulasi
primitif. Akumulasi primitif sendiri menunjukkan bahwa perubahan sosial yaitu penetrasi
corak produksi kapitalis sedang berlangsung. Penciptaan kelas pekerja modern merupakan
prasyarat utama di samping komodifikasi tanah.
Kata kunci: reforma agraria, perampasan lahan, akumulasi primitif, proletarisasi, Kendeng.
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang cukup menjanjikan perkembangannya
dalam dunia neoliberal saat ini. Di erea globalisasi neoliberal, semua negara
berkembang di dunia berbondong-bondong mengupayakan kemajuan ekonomi dan
kesejahteraannya melalui berbagai bentuk industrialisasi dan berupaya menarik
penanam modal sebanyak-banyaknya guna meningkatkan GDP per kapitanya. Begitu
pun Indonesia yang merupakan negara bekas koloni, hingga kini masih di bawah ratarata dunia GDP per kapitanya. Namun Indonesia tetap bersaing ekonominya diantara
sesama negara berkembang, sebab Indonesia kini menjadi pasar baru yang cukup
menjanjikan bagi pemilik modal.1
Indonesia, sebagaimana negara-negara bekas jajahan lainnya merupakan negara
berbasis agraris dan maritim. Terlebih kondisi geografis Indonesia yang amat
mendukung kegiatan pertanian, peternakan, dan perikanan. Tetapi, dengan kondisi
ekonomi dunia yang kini sedemikian kapitalisnya, Indonesia tidak mampu menolak
tuntutan pasar untuk merubah fokus ekonomi dari agraria ke industri. Berbagai pabrik
dibangun dan akuisisi lahan terjadi secara besar-besaran untuk memenuhi tuntutan
pasar.
Pengakuisisian lahan atau land grab terjadi secara besar-besaran di dunia hari ini oleh
pemilik modal terhadap negara-negara ‘miskin’ dan ‘berkembang’. Hal ini terjadi sebab
pemilik modal tengah mengalami over-akumulasi. Yaitu ketika terlalu banyak kapital
yang tidak dapat tersalurkan dan diputar menjadi keuntungan. Akibatnya perekonomian
menjadi macet dan kapitalisme akan terseret krisis (Ananta, 2014). Untung mengatasi
over-akumulasi ini, satu-satunya cara ialah mencari lahan-lahan produksi baru.
Akhirnya perusahaan-perusahaan besar mengalihkan surplus kapitalnya dengan
melakukan perampasan tanah atau land grabbing terhadap lahan yang dianggap tidak
produktif untuk kemudian menghasilkan keuntungan bagi kapitalis (Renaldy, 2017).
Indonesia sebagai salah satu negara ‘berkembang’ kini delapan puluh persen telah
dikuasai swasta. Artinya, perusahaan swasta dan pemilik modal asing memiliki andil
paling besar dalam pembangunan dan ekonomi Indonesia hari ini. Oleh sebabnya,
Indonesia menjadi pasar baru yang amat menjanjikan bagi penanam modal. Dengan
posisi pemilik modal yang hari ini lebih kuat bargaining power-nya dibanding rakyat,
Indonesia semakin terindustrialisasi dan terkapitalisasi. 2 Salah satu bentuk nyata
1 "80 Persen Industri Indonesia Disebut Dikuasai Swasta". 3 Maret 2015. Diakses melalui
http://surabaya.tribunnews.com/2015/03/03/80-persen-industri-indonesia-disebutdikuasai-swasta
2 “What is the G-20”. Diakses melalui arsip online Wayback Machine
https://web.archive.org/web/20110504233459/http://www.g20.org/about_what_is_g20.as
penguasaan swasta adalah pengakuisisian lahan tani yang turut terjadi di berbagai
daerah Indonesia.
Dalam makalah ini penulis akan mengangkat studi kasus sengketa lahan di Pegunungan
Karst Kendeng Utara, Pati, Jawa Tengah. Wilayah pegunungan ini terbentang dari
Kabupaten Kudus hingga Kabupaten Tuban di Jawa Tengah. Dalam kasus ini, sengketa
terjadi antara PT Semen Indonesia Tbk. (dulunya PT Semen Gresik Tbk.) dan PT
Sahabat Mulia Sakti (SMS) yang merupakan anak perusahaan PT Indocement dengan
masyarakat di Rembang, Pati, Kendeng Utara.
Karst adalah suatu bentukan geologi dimana suatu area tersusun dari batuan gamping
atau kapur yang cukup berongga-rongga. Karst biasanya memiliki aliran air bawah
tanah yang lebih dominan dibanding air permukaan. (Sudarmadji, et al, 2012). Karst
sendiri terbentuk akibat peleburan batuan kapur, biasanya dapat ditemukan di kawasan
gunung berapi. Kandungan yang dimiliki karst menjadikan lanskap ini penting bagi
ekosistem, karena mempengaruhi pula tumbuhan-tumbuhan yang hidup di kawasan itu.
Dengan kondisi alam tersebut, wilayah ini amat kaya air tanah. Berdasarkan penelitian,
di Kabupaten Pati terdapat total 94 mata air yang aktif sepanjang tahun (Wacana, et al,
2008). Menurut Jaringan Masyarakat Peduli Kendeng (JMPK), terdapat 104 mata air
aktif, dan data lainnya menyebutkan mata air di wilayah tersebut mencapai 200 buah.
Bagi masyarakat Kendeng, alam Kendeng menjadi sumber penghidupan yang amat
penting. Mata air yang melimpah disana dapat menghidupi lebih dari 164.000 jiwa di
Kabupaten Pati. Tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, melainkan untuk mengairi
sawah dan ladang pertanian yang dimiliki masyarakat (Ismalina, 2013).
Selain itu, batuan gamping yang melimpah di Kendeng juga memiliki nilai ekonomi
yang tinggi. Wilayah Kendeng telah lama menjadi lirikan perusahaan-perusahaan untuk
ditambang kandungan gampingnya. Batuan gamping sendiri merupakan bahan dasar
yang utama dalam produksi semen. Sejak 2006 sudah banyak perusahaan semen yang
hendak berinvestasi di Kendeng, namun mendapat penolakan tegas dari warga. PT
Semen Gresik sempat hendak mendirikan pabriknya di Kendeng, namun akhirnya
angkat kaki di tahun 2011 sebab tidak memiliki izin yang lengkap. Selain PT Semen
Gresik, ada pula PT Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT Indocement yang sejak
2006 masih melakukan upaya investasi di sana hingga kini meski masih terus mendapat
penolakan oleh masyarakat.
Masyarakat Kendeng khawatir akan dampak yang muncul akibat pembangunan pabrik
oleh korporat besar seperti Semen Gresik dan Indocement. Mereka takut kehilangan
sumber penghidupan mereka jika alam disana dikuasai oleh raksasa pemilik modal.
px
Lingkungan Kendeng terancam rusak dan rakyat Kendeng terancam harus beralih
profesi. Dikhawatirkan pula seluruh alam Kendeng yang dikapitalisasi akan menggeser
rakyat secara total jika dibiarkan dikuasai oleh raksasa-raksasa ini.
Secara hukum, karst memang merupakan kawasan yang dikuasai negara. Berdasarkan
UU No. 7 Tahun 2004 jo. Keppres No. 26 Tahun 2011, daerah tersebut ditetapkan
menjadi Cekungan Air Tanah (CAT) Karst Watuputih. Menurut Peraturan Menteri
ESDM No. 17 Tahun 2012, kawasan tersebut merupakan Kawasan Lindung Nasional.
Artinya, kawasan tersebut merupakan wilayah alam yang harus dilindungi oleh negara
dan dijaga kelestariannya.
Seperti disebutkan sebelumnya,
PT
Semen
Gresik
telah
menarik
upaya
pembangunannya di kawasan itu. Namun perusahaan tersebut kini berganti nama
menjadi PT Semen Indonesia, dan sekarang kembali melakukan pembangunan pabrik
di Kendeng. PT SMS pun setelah ditolak izin pembangunannya masih melakukan
berbagai upaya melalui pejabat daerah dan elit lokal disana untuk tetap mendapatkan
izin usaha. Dari keadaan ini kita dapat melihat adanya konflik kepentingan yang terjadi
antara pemilik modal, rakyat, dan pemerintah. Oleh karenanya, konflik kepentingan di
Kendeng
penting
untuk
dikaji
lebih
dalam
guna
mengetahui
bagaimana
memaksimalkan pemanfaatan lahan untuk proses pemerataan pembangunan.
Di masa pemerintahan presiden Joko Widodo, dicanangkan program Reforma Agraria
sebagai bentuk upaya pemerintah mewujudkan pemerataan pembangunan. Kebijakan
yang dicanangkan berupa redistribusi lahan seluas 9 juta hektar untuk buruh tani,
perkebunan dan lainnya. Maksudnya, buruh yang kekurangan lahan akan diberikan hak
milik lahan sesuai yang diberikan oleh pemerintah. Harapannya adalah redistribusi ini
akan mampu mensejahterakan para buruh tani supaya mereka tetap memiliki alat
produksi.
Akan tetapi pada realitanya, perencanaan dan implementasi kebijakan ini belum
berjalan sebagai mana mestinya. Pemerintah secara garis besar hanya mengulang
wacana Reforma Agraria milik presiden sebelumnya, dimana redistribusi dilakukan atas
lahan-lahan bebas konflik saja, dan tidak ada upaya resolusi atau penyelesaian yang
jelas atas lahan yang masih berkonflik. Metode yang digunakan untuk redistribusi di
Jawa adalah transmigrasi, yang seperti pada periode sebelumnya tidak efektif dan justru
menimbulkan banyak kendala. Tidak ada pula keterlibatan organisasi tani atau buruh
terkait dalam merencanakan program ini.
Melihat keadaan ini, kita juga perlu membahas bagaimana Reforma Agraria seharusnya
diimplementasikan demi mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat.
B. Rumusan Masalah
Konflik yang terjadi di Kendeng hari ini masih belum terselesaikan antara rakyat dan
para pemilik modal. Saat ini terdapat beberapa perusahaan besar yang hendak
melakukan pertambangan batuan gamping di sana, diantaranya yang paling prominen
adalah PT Semen Indonesia (sebelumnya PT Semen Gresik) dan PT SMS yang berada
di bawah PT Indocement. Kedua perusahaan ini telah diprotes bahkan digugat oleh
rakyat dan dikabulkan gugatannya oleh Mahkamah Agung sehingga izinnya dicabut..
Namun yang terjadi di lapangan adalah berbagai upaya intimidasi dilakukan dan
bahkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengeluarkan izin lingkungan baru
yang melanggar keputusan Mahkamah Agung.
Menurut putusan MA, PT Semen Indonesia yang telah menyelesaikan uji AMDAL-nya
dalam dua tahun itu masih harus melalui uji berikutnya, yakni uji Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Belum lagi lolos uji, Ganjar Pranowo mengeluarkan izin baru
Februari 2017 lalu yang kembali menyebabkan protes keras dari masyarakat.
Sikap Pemprov yang tidak memihak rakyat ini membuat kita mempertanyakan peran
pemerintah sebagai institusi bentukan masyarakat yang seharusnya mengutamakan
kepentingan rakyat. Namun tentu kita tidak dapat langsung menyimpulkan bahwa
pemerintah timpang dan semena-mena begitu saja. Karena nyatanya hingga kini belum
ada satu pun perusahaan semen yang bisa beroperasi berkat protes masyarakat,
menunjukkan bahwa rakyat sebenarnya masih cukup memiliki bargaining power atas
pemilik modal. Selain itu, pertimbangan utama pemerintah terkait pembangunan pabrik
ini ialah potensi peningkatan pendapatan daerah akibat masuknya modal ke daerah
tersebut.
Ditambah
lagi,
pemerintah
juga
menunjukkan
itikad
baik
untuk
mensejahterakan rakyat dengan diusungnya program Reforma Agraria serta kebijakan
presiden Jokowi yang menetapkan kewajiban lolos uji KLHI untuk pendirian
pertambangan karst. Kemudian yang menjadi pertanyaan ialah, apa sebenarnya yang
terjadi dalam konflik kepentingan ini jika dikaji dengan teori-teori sosial? Serta apa saja
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memastikan Reforma Agraria bekerja dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemerataan pembangunan?
C. Analisis
Melihat apa yang terjadi di Kendeng, kita perlu mengidentifikasi apa penyebab
terjadinya konflik di wilayah tersebut. Ada beberapa faktor penyebab konflik agraria:
1. Pemberian izin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri Kehutanan, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pertanahan Nasional,
Gubernur, dan Bupati) yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan
sekelompok rakyat ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang
produksi, ekstrasi, maupun konservasi.
2. Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah skala
besar untuk proyek-proyek pembangunan, perusahaan-perusahaan raksasa, dan
pemegang konsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
3. Eksklusi sekelompok rakyat pedesaan dari tanah/wilayah kelola/SDA yang
dimasukkan dalam konsesi badan usaha raksasa tersebut.
4. Perlawanan langsung dari rakyat sehubungan eksklusi tersebut. (Rachman,
2013)
Faktor-faktor ini yang sering kali menyebabkan konflik agraria terjadi, terutama antara
pemerintah, pemilik modal dan rakyat.
Selain itu, ada beberapa tipe konflik:
1. Tanpa konflik, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai itu lebih
baik, jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup
bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta
mengelola konflik secara kreatif.
2. Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga
dapat ditangani secara efektif.
3. Konflik terbuka, adalah yang berakar dari semangat nyata, dan memerlukan
berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4. Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan
muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi. (Kartikasari, 2001)
Berdasarkan keterangan diatas, kita dapat mengidentifikasikan seperti apa konflik yang
terjadi di Kendeng saat ini. Dilihat dari realita yang ada, maka kecuali faktor pertama
semua faktornya merupakan penyebab konflik yang muncul. Karena wilayah yang
dipermasalahkan memang milik negara, namun berstatus Bentang Alam Karst CAT
Watuputih yang dilindungi negara. Faktor kedua, ketiga dan keempat semuanya dialami
oleh petani Kendeng. Kemudian berdasarkan tipe konfliknya, yang terjadi adalah
konflik terbuka. Konflik yang muncul memang berdasarkan hal yang nyata, dimana
rakyat dengan tegas menolak penambangan berdasarkan kekhawatiran akan dampakdampak negatif yang akan muncul terhadap lingkungan mereka, serta aktor-aktor yang
berkonflik juga jelas terlihat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Komnas Perempuan, beberapa dampak yang
dimunculkan pembangunan semen dan penambangan batu gamping di Rembang, Pati,
adalah:
1. Terjadinya kerusakan lingkungan dan alam yang masif dengan penambangan
batu kapur. Penambangan dilakukan dengan menggali hingga mencapai
permukaan laut.
2. Polusi yang amat sangat ekstrim. Debu putih memenuhi seluruh permukaan
tanaman sehingga tidak dapat dikonsumsi hewan ternak. Debu tebal ini juga
mengganggu kesehatan pernapasan, mata dan kulit yang dapat memengaruhi
kesehatan warga dalam jangka panjang.
3. Terjadi konflik horisontal antara warga yang pro semen dan kontra semen.
4. Rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati
5. Terganggunya wilayah sakral dan hak budaya masyarakat, karena kehadiran
pabrik semen di dekat lokus yang disakralkan dan dijadikan lokus spiritual,
salah satunya adalah makam tokoh spiritual perempuan, yang dihormati warga,
termasuk makam yang dipercaya warga sebagai keturunan wali. Padahal lokus
tersebut bagian dari situs sejarah penting bagi bangsa.
Selain dampak-dampak diatas, masih ada dampak laten yang terjadi akibat
pembangunan pabrik semen ini. Dampak yang paling terlihat adalah bergesernya tanah
adat menjadi tanah komersil di kawasan tersebut. Petani yang kehilangan air untuk
irigasi kemudian akan mati mata pencahariannya, peternak yang pakannya tertutup
debu putih akan mati peliharaannya. Oleh karena itu, dampak yang terjadi akibat
dibangunnya pabrik semen di Kendeng utara akan berdampak besar di aspek ekologi,
ekonomi, dan sosial.
Dalam buku Das Kapital Jilid 2, Karl Marx mengajukan teori akumulasi primitif. Teori
ini menanggapi teori Sir Adam Smith dan teori ekonom borjuis. Ekonom Michael
Perelman saat itu menyimpulkan bahwa “akumulasi primitif memotong cara hidup
tradisional ibarat gunting” (Perelman, 2000). Mata gunting pertama mematikan
kesanggupan orang-orang kebanyakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
dan mata gunting kedua menghalangi orang-orang kebanyakan menemukan alternatif
lain di luar sistem kerja upahan untuk tetap bertahan hidup. Kedua mata gunting
akumulasi primitif inilah yang hingga kini memungkinkan kelas kapitalis menghisap
kerja dan hasil kerja kelas proletariat3. Artinya, akumulasi primitif ini akan memisahkan
3 Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No. 2, Juli 2008: 97
produsen independen, dalam kasus ini petani, dari alat produksinya yakni lahan tani
tadi. Wilayah karst Kendeng yang menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitarnya,
akan dijadikan sebagai pabrik semen yang merusak ekosistem yang ada disana. Rakyat
Kendeng terancam kekurangan suplai air, yang berentet pada matinya pertanian dan
hilang pula alat produksi bagi petani Kendeng.
Artinya terjadi proletarisasi terhadap rakyat Kendeng jika pemilik modal ini tetap
bersikukuh beroperasi di wilayah tersebut. Maksudnya, rakyat Kendeng yang tadinya
merupakan unit-unit produksi independen, setelah dirampas tanah penghidupannya
akan perlahan dijadikan buruh oleh para pemilik modal untuk menjalankan produksi
semennya.
Proletarisasi ini terjadi akibat kondisi pasar saat ini. Terjadi over-akumulasi kapital
secara global, yang kemudian berimbas langsung pada rakyat kecil seperti para petani
Kendeng. Upaya pemilik modal yang sedemikian rupa untuk tetap menguasai lahan
muncul akibat prinsip kapitalis yang harus menghasilkan produk secara efektif dan
menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, rakyat yang harus tergeser
dan tergusur dari tanah adat yang telah beratus tahun secara turun temurun mereka
kuasai.
Yang dilakukan presiden Joko Widodo hari ini disebut sebagai bentuk komitmen
pemerintahannya untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat.
Namun kebijakan ini mendapat banyak kritik terutama dari Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) yang menilai bahwa kebijakan ini semakin jauh dari cita-cita reforma
agraria yang dicanangkan founding father kita, Soekarno. Kebijakan reforma agraria
yang diusung Jokowi justru lebih banyak dimonopoli oleh swasta, BUMN dan
Perhutani dibanding untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam UU Pokok Agraria tahun 1960, nilai-niai yang terkandung adalah nilai yang
berpihak kepada rakyat. Bahwa bumi, air dan langit harus menjadi milik rakyat, tidak
lagi menjadi nilai yang diusung Reforma Agraria hari ini. Sumber kesejahteraan rakyat
tidak boleh dimonopoli, dan hukum yang berlaku adalah hukum adat sesuai Pasal 5
UUPA tersebut. Namun nyatanya, meski disebut Reforma Agraria, kebijakannya
tidaklah mensejahterakan rakyat.
Bentuk program yang dibawa Jokowi adalah redistribusi lahan bagi buruh tani sebesar
9 juta hektar. Penerapannya adalah dengan melakukan trasnmigrasi untuk redistribusi
lahan di Jawa. Padahal, banyak studi yang menunjukkan bahwa program transmigrasi
gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian Jokowi juga memberi hakhak atas tanah kepada BUMN, Perhutani dan PTPTN atau bahkan perusahaan swasta
yang menjadikan negara sebagai monopoli utama lahan saat ini. Padahal UUPA
menyatakan bahwa lahan sudah seharusnya menjadi milik rakyat dan tidak dapat
dimonopoli. Perencanaan dan implementasi kebijakan redistribusi lahan ini pun masih
belum jelas arahnya, sebab tidak adanya keterlibatan organisasi tani atau bahkan lintas
kementerian sekalipun dalam pelaksanaannya. Panitia ad hoc untuk menjalankan
program ini juga masih belum terbentuk.
KPA telah mencatat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menjadikan
kebijakan redistribusi lahan ini tidak terlalu melenceng dari cita-cita UUPA 1960.
Diantaranya adalah pematangan rencana redistribusi, termasuk didalamnya pembahasan
terkait konflik, bank tanah hingga sertifikasi. Kemudian, evaluasi hak-hak atas tanah di
Jawa, sekaligus meminimalisir penguasaan tanah dari PTPN, Perhutani dan swasta,
mengingat jumlah penduduk di Jawa sangat padat.4
Selain itu, melihat kembali yang terjadi di Kendeng saat ini, meski rakyat Kendeng
kembali mendapat bargaining power dengan pengajuan PK oleh PT Semen Indonesia
yang ditolak Mahkamah Agung, kita tetap menyadari adanya ketimpangan luar biasa
ketika Pemprov sendiri melakukan penipuan hukum. Pemerintah yang seharusnya
mewujudkan cita-cita UUPA 1960 dengan melindungi sumber kesejahteraan rakyat,
terlebih Bentang Alam Karst yang memang dilindungi secara hukum sebagai wilayah
yang perlu dilestarikan, justru bertindak sebaliknya.
Pemerintah Joko Widodo seharusnya kembali menghidupkan cita-cita Reforma Agraria
yang sesungguhnya, dimana rakyat menjadi produsen utama produk agraris dan bukan
melalui monopoli dari pihak mana pun. Jokowi dapat melakukan maksimalisasi
pertanian sehingga swasembada pangan dapat terwujud dan negeri tidak perlu lagi
mengimpor beras dari negara tetangga. Perwujudan Reforma Agraria yang menjadikan
pertanian sebagai sumber pemasukan negara yang utama tentu akan menguntungkan
rakyat serta memenuhi kepentingan negara untuk mensejahterakan bangsa. Jika lahanlahan pertanian tidak lagi dialihkan untuk industri dan profesi sebagai petani tidak lagi
berstatus ‘buruh’ melainkan profesi, perekonomian Indonesia akan tumbuh semakin
pesat pula. Tentu ini bukan berarti menghapuskan industri dari negeri kita, tetapi
pembangunan pabrik dapat memilih lokasi-lokasi yang tidak membahayakan ekosistem
dan tidak merugikan rakyat, dan terutama tidak ditempatkan di lahan pertanian milik
rakyat. Pembentukan mitra yang adil dengan petani maupun pekerja perkebunan juga
4 “Menyoal Reforma Agraria Jokowi-JK”. Diakses melalui
http://www.kpa.or.id/news/blog/menyoal-reforma-agraria-jokowi-jk/
akan menjadi win-win solution untuk rakyat dan pemerintah dibanding memonopoli
lahan tani dan kebun melalui Perhutani dan PTPN.
Selain itu, dengan bangkitnya pertanian sebagai suatu ‘profesi’, Indonesia tidak akan
kebingungan menghadapi bonus demografi yang semakin dekat. Membangun wacana
dan stigma positif terhadap pekerjaan di sektor pertanian akan membuka lebih banyak
lapangan pekerjaan untuk pemuda produktif di Indonesia, sehingga tidak melulu
menjadi buruh modern kapitalis yang harus berebut kursi di perusahaan-perusahaan
asing.
D. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai sumber daya alam yang
melimpah. Pembangunan industri secara masif berakibat kepada terjadinya kerusakan
alam. Fokus pembangunan kepada basis agraris menjadi poin penting dalam proses
pemerataan pembangunan, terlebih dalam menghadapi fase bonus demografi, yang
dimana dibutuhkan banyak ketersediaan lahan sebagai lapangan pekerjaan.
Berkaca dari kasus Kendeng Utara, pemanfaatan lahan secara maksimal bukan berarti
pembangunan industri secara besar-besaran. Terlebih dengan mengesampingkan
dampak
negatif
berkepanjangan,
demi
keuntungan
sementara.
Pemerataan
pembangunan dikatakan berhasil apabila seluruh lapisan masyarakat mendapatkan
dampak positif. Serta tidak ada eksploitasi lahan maupun kerusakan alam yang
berimplikasi kepada pembangunan masa mendatang. Makalah ini masih jauh dari kata
baik, namun semoga dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan untuk mahasiswa yang
membutuhkan.
Daftar Pustaka
Ananta, Dicky Dwi, “Perjuangan Kelas Melalui Reklaiming Hak Atas Kota!”
IndoPROGRESS, Maret 2014
Akbar, Renaldy, “Kuasa Kapital Atas Tanah”. Maret 2017 dapat diakses melalui
https://renaldyakbar.wordpress.com/2017/03/31/kuasa-kapital-atastanah/&ei=4Y2TN2B5&lc=idID&s=1&m=788&host=www.google.co.id&ts=150470
3513&sig=ANTY_L162kbbq54r5kcxlFuo1JD40NuxBQ
Ismalina Poppy. 2013. Valuasi Ekonomi Kawasan Pegunungan Kendeng. Fakultas
Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, siap terbit.
Kartikasari SN. 2001. Mengelola Konflik. Jakarta [ID]: SMK Grafika Desa Putra.
Rachman NF. 2013. Rantai penjelas konflik-konflik agraria yang kronis, sistemik dan meluas
di
Indonesia.
Jurnal
Bhumi
(1):
1-14.
Dapat
diunduh
dari:
http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal%20Bhumi%20No
%2037%20Tahun%2012-203.pdf.
Sudarmadji, et al. 2010. Variasi spasial temporal hidrogeokimia dan sifat aliran untuk
karakterisasi sistem kaerst dinamis di sungai bawah tanah Bribin Kabupaten Gunung
Kidul DIY. Universitas Gajah Mada.
Wacana et al. 2008. Kajian Potensi Kawasan Kars Kendeng Utara Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Pati. DREaM (edisi) 21.08.2008 oleh LPPM UPN Yogyakarta. Lembaga
Peneliti dan Pengembangan Masyarakat UPN (Veteran). Dapat diunduh dari:
http://psmbupn.org/article/kajian-potensi-kawasan-kars-kendeng-utara-kabupatengrobogan-dan-kabupaten-pati.html
Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Utara
Lomba Karya Tulis Ilmiah ILMISPI 2017 di Bangka Belitung
Disusun oleh:
Ardya Tridwantoro Handjoko
M. Zamzam Firdaus
Putri Cahya Arimbi
Ciputat, 2017
Abstrak
Reforma Agraria merupakan salah satu program presiden Joko Widodo untuk
memeratakan ekonomi masyarakat. Reforma Agraria yang dicanangkan ialah memberikan
lahan (dengan secara formal memberikan sertifikat tanahnya pula) guna membantu buruh
tani, perkebunan dan lain-lain yang kekurangan lahan. Namun pada prakteknya, justru
kapitalis—dengan didukung birokrat di daerah-daerah—merampas lahan milik petani.
Selanjutnya, inilah yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif. Tulisan ini akan
menjelaskan bagaimana program Reforma Agraria diimplementasikan dan bagaimana
kapitalis merampas lahan demi melancarkan produksinya dengan mengangkat contoh kasus
konflik yang terjadi di Pegunungan Kendeng Utara. Selanjutnya bagaimana corak produksi
kapitalis ini sebagai titik awal proletarisasi yang merupakan bagian dari proses akumulasi
primitif. Akumulasi primitif sendiri menunjukkan bahwa perubahan sosial yaitu penetrasi
corak produksi kapitalis sedang berlangsung. Penciptaan kelas pekerja modern merupakan
prasyarat utama di samping komodifikasi tanah.
Kata kunci: reforma agraria, perampasan lahan, akumulasi primitif, proletarisasi, Kendeng.
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara Asia Tenggara yang cukup menjanjikan perkembangannya
dalam dunia neoliberal saat ini. Di erea globalisasi neoliberal, semua negara
berkembang di dunia berbondong-bondong mengupayakan kemajuan ekonomi dan
kesejahteraannya melalui berbagai bentuk industrialisasi dan berupaya menarik
penanam modal sebanyak-banyaknya guna meningkatkan GDP per kapitanya. Begitu
pun Indonesia yang merupakan negara bekas koloni, hingga kini masih di bawah ratarata dunia GDP per kapitanya. Namun Indonesia tetap bersaing ekonominya diantara
sesama negara berkembang, sebab Indonesia kini menjadi pasar baru yang cukup
menjanjikan bagi pemilik modal.1
Indonesia, sebagaimana negara-negara bekas jajahan lainnya merupakan negara
berbasis agraris dan maritim. Terlebih kondisi geografis Indonesia yang amat
mendukung kegiatan pertanian, peternakan, dan perikanan. Tetapi, dengan kondisi
ekonomi dunia yang kini sedemikian kapitalisnya, Indonesia tidak mampu menolak
tuntutan pasar untuk merubah fokus ekonomi dari agraria ke industri. Berbagai pabrik
dibangun dan akuisisi lahan terjadi secara besar-besaran untuk memenuhi tuntutan
pasar.
Pengakuisisian lahan atau land grab terjadi secara besar-besaran di dunia hari ini oleh
pemilik modal terhadap negara-negara ‘miskin’ dan ‘berkembang’. Hal ini terjadi sebab
pemilik modal tengah mengalami over-akumulasi. Yaitu ketika terlalu banyak kapital
yang tidak dapat tersalurkan dan diputar menjadi keuntungan. Akibatnya perekonomian
menjadi macet dan kapitalisme akan terseret krisis (Ananta, 2014). Untung mengatasi
over-akumulasi ini, satu-satunya cara ialah mencari lahan-lahan produksi baru.
Akhirnya perusahaan-perusahaan besar mengalihkan surplus kapitalnya dengan
melakukan perampasan tanah atau land grabbing terhadap lahan yang dianggap tidak
produktif untuk kemudian menghasilkan keuntungan bagi kapitalis (Renaldy, 2017).
Indonesia sebagai salah satu negara ‘berkembang’ kini delapan puluh persen telah
dikuasai swasta. Artinya, perusahaan swasta dan pemilik modal asing memiliki andil
paling besar dalam pembangunan dan ekonomi Indonesia hari ini. Oleh sebabnya,
Indonesia menjadi pasar baru yang amat menjanjikan bagi penanam modal. Dengan
posisi pemilik modal yang hari ini lebih kuat bargaining power-nya dibanding rakyat,
Indonesia semakin terindustrialisasi dan terkapitalisasi. 2 Salah satu bentuk nyata
1 "80 Persen Industri Indonesia Disebut Dikuasai Swasta". 3 Maret 2015. Diakses melalui
http://surabaya.tribunnews.com/2015/03/03/80-persen-industri-indonesia-disebutdikuasai-swasta
2 “What is the G-20”. Diakses melalui arsip online Wayback Machine
https://web.archive.org/web/20110504233459/http://www.g20.org/about_what_is_g20.as
penguasaan swasta adalah pengakuisisian lahan tani yang turut terjadi di berbagai
daerah Indonesia.
Dalam makalah ini penulis akan mengangkat studi kasus sengketa lahan di Pegunungan
Karst Kendeng Utara, Pati, Jawa Tengah. Wilayah pegunungan ini terbentang dari
Kabupaten Kudus hingga Kabupaten Tuban di Jawa Tengah. Dalam kasus ini, sengketa
terjadi antara PT Semen Indonesia Tbk. (dulunya PT Semen Gresik Tbk.) dan PT
Sahabat Mulia Sakti (SMS) yang merupakan anak perusahaan PT Indocement dengan
masyarakat di Rembang, Pati, Kendeng Utara.
Karst adalah suatu bentukan geologi dimana suatu area tersusun dari batuan gamping
atau kapur yang cukup berongga-rongga. Karst biasanya memiliki aliran air bawah
tanah yang lebih dominan dibanding air permukaan. (Sudarmadji, et al, 2012). Karst
sendiri terbentuk akibat peleburan batuan kapur, biasanya dapat ditemukan di kawasan
gunung berapi. Kandungan yang dimiliki karst menjadikan lanskap ini penting bagi
ekosistem, karena mempengaruhi pula tumbuhan-tumbuhan yang hidup di kawasan itu.
Dengan kondisi alam tersebut, wilayah ini amat kaya air tanah. Berdasarkan penelitian,
di Kabupaten Pati terdapat total 94 mata air yang aktif sepanjang tahun (Wacana, et al,
2008). Menurut Jaringan Masyarakat Peduli Kendeng (JMPK), terdapat 104 mata air
aktif, dan data lainnya menyebutkan mata air di wilayah tersebut mencapai 200 buah.
Bagi masyarakat Kendeng, alam Kendeng menjadi sumber penghidupan yang amat
penting. Mata air yang melimpah disana dapat menghidupi lebih dari 164.000 jiwa di
Kabupaten Pati. Tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, melainkan untuk mengairi
sawah dan ladang pertanian yang dimiliki masyarakat (Ismalina, 2013).
Selain itu, batuan gamping yang melimpah di Kendeng juga memiliki nilai ekonomi
yang tinggi. Wilayah Kendeng telah lama menjadi lirikan perusahaan-perusahaan untuk
ditambang kandungan gampingnya. Batuan gamping sendiri merupakan bahan dasar
yang utama dalam produksi semen. Sejak 2006 sudah banyak perusahaan semen yang
hendak berinvestasi di Kendeng, namun mendapat penolakan tegas dari warga. PT
Semen Gresik sempat hendak mendirikan pabriknya di Kendeng, namun akhirnya
angkat kaki di tahun 2011 sebab tidak memiliki izin yang lengkap. Selain PT Semen
Gresik, ada pula PT Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT Indocement yang sejak
2006 masih melakukan upaya investasi di sana hingga kini meski masih terus mendapat
penolakan oleh masyarakat.
Masyarakat Kendeng khawatir akan dampak yang muncul akibat pembangunan pabrik
oleh korporat besar seperti Semen Gresik dan Indocement. Mereka takut kehilangan
sumber penghidupan mereka jika alam disana dikuasai oleh raksasa pemilik modal.
px
Lingkungan Kendeng terancam rusak dan rakyat Kendeng terancam harus beralih
profesi. Dikhawatirkan pula seluruh alam Kendeng yang dikapitalisasi akan menggeser
rakyat secara total jika dibiarkan dikuasai oleh raksasa-raksasa ini.
Secara hukum, karst memang merupakan kawasan yang dikuasai negara. Berdasarkan
UU No. 7 Tahun 2004 jo. Keppres No. 26 Tahun 2011, daerah tersebut ditetapkan
menjadi Cekungan Air Tanah (CAT) Karst Watuputih. Menurut Peraturan Menteri
ESDM No. 17 Tahun 2012, kawasan tersebut merupakan Kawasan Lindung Nasional.
Artinya, kawasan tersebut merupakan wilayah alam yang harus dilindungi oleh negara
dan dijaga kelestariannya.
Seperti disebutkan sebelumnya,
PT
Semen
Gresik
telah
menarik
upaya
pembangunannya di kawasan itu. Namun perusahaan tersebut kini berganti nama
menjadi PT Semen Indonesia, dan sekarang kembali melakukan pembangunan pabrik
di Kendeng. PT SMS pun setelah ditolak izin pembangunannya masih melakukan
berbagai upaya melalui pejabat daerah dan elit lokal disana untuk tetap mendapatkan
izin usaha. Dari keadaan ini kita dapat melihat adanya konflik kepentingan yang terjadi
antara pemilik modal, rakyat, dan pemerintah. Oleh karenanya, konflik kepentingan di
Kendeng
penting
untuk
dikaji
lebih
dalam
guna
mengetahui
bagaimana
memaksimalkan pemanfaatan lahan untuk proses pemerataan pembangunan.
Di masa pemerintahan presiden Joko Widodo, dicanangkan program Reforma Agraria
sebagai bentuk upaya pemerintah mewujudkan pemerataan pembangunan. Kebijakan
yang dicanangkan berupa redistribusi lahan seluas 9 juta hektar untuk buruh tani,
perkebunan dan lainnya. Maksudnya, buruh yang kekurangan lahan akan diberikan hak
milik lahan sesuai yang diberikan oleh pemerintah. Harapannya adalah redistribusi ini
akan mampu mensejahterakan para buruh tani supaya mereka tetap memiliki alat
produksi.
Akan tetapi pada realitanya, perencanaan dan implementasi kebijakan ini belum
berjalan sebagai mana mestinya. Pemerintah secara garis besar hanya mengulang
wacana Reforma Agraria milik presiden sebelumnya, dimana redistribusi dilakukan atas
lahan-lahan bebas konflik saja, dan tidak ada upaya resolusi atau penyelesaian yang
jelas atas lahan yang masih berkonflik. Metode yang digunakan untuk redistribusi di
Jawa adalah transmigrasi, yang seperti pada periode sebelumnya tidak efektif dan justru
menimbulkan banyak kendala. Tidak ada pula keterlibatan organisasi tani atau buruh
terkait dalam merencanakan program ini.
Melihat keadaan ini, kita juga perlu membahas bagaimana Reforma Agraria seharusnya
diimplementasikan demi mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat.
B. Rumusan Masalah
Konflik yang terjadi di Kendeng hari ini masih belum terselesaikan antara rakyat dan
para pemilik modal. Saat ini terdapat beberapa perusahaan besar yang hendak
melakukan pertambangan batuan gamping di sana, diantaranya yang paling prominen
adalah PT Semen Indonesia (sebelumnya PT Semen Gresik) dan PT SMS yang berada
di bawah PT Indocement. Kedua perusahaan ini telah diprotes bahkan digugat oleh
rakyat dan dikabulkan gugatannya oleh Mahkamah Agung sehingga izinnya dicabut..
Namun yang terjadi di lapangan adalah berbagai upaya intimidasi dilakukan dan
bahkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengeluarkan izin lingkungan baru
yang melanggar keputusan Mahkamah Agung.
Menurut putusan MA, PT Semen Indonesia yang telah menyelesaikan uji AMDAL-nya
dalam dua tahun itu masih harus melalui uji berikutnya, yakni uji Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Belum lagi lolos uji, Ganjar Pranowo mengeluarkan izin baru
Februari 2017 lalu yang kembali menyebabkan protes keras dari masyarakat.
Sikap Pemprov yang tidak memihak rakyat ini membuat kita mempertanyakan peran
pemerintah sebagai institusi bentukan masyarakat yang seharusnya mengutamakan
kepentingan rakyat. Namun tentu kita tidak dapat langsung menyimpulkan bahwa
pemerintah timpang dan semena-mena begitu saja. Karena nyatanya hingga kini belum
ada satu pun perusahaan semen yang bisa beroperasi berkat protes masyarakat,
menunjukkan bahwa rakyat sebenarnya masih cukup memiliki bargaining power atas
pemilik modal. Selain itu, pertimbangan utama pemerintah terkait pembangunan pabrik
ini ialah potensi peningkatan pendapatan daerah akibat masuknya modal ke daerah
tersebut.
Ditambah
lagi,
pemerintah
juga
menunjukkan
itikad
baik
untuk
mensejahterakan rakyat dengan diusungnya program Reforma Agraria serta kebijakan
presiden Jokowi yang menetapkan kewajiban lolos uji KLHI untuk pendirian
pertambangan karst. Kemudian yang menjadi pertanyaan ialah, apa sebenarnya yang
terjadi dalam konflik kepentingan ini jika dikaji dengan teori-teori sosial? Serta apa saja
upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memastikan Reforma Agraria bekerja dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemerataan pembangunan?
C. Analisis
Melihat apa yang terjadi di Kendeng, kita perlu mengidentifikasi apa penyebab
terjadinya konflik di wilayah tersebut. Ada beberapa faktor penyebab konflik agraria:
1. Pemberian izin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri Kehutanan, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pertanahan Nasional,
Gubernur, dan Bupati) yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan
sekelompok rakyat ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang
produksi, ekstrasi, maupun konservasi.
2. Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah skala
besar untuk proyek-proyek pembangunan, perusahaan-perusahaan raksasa, dan
pemegang konsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
3. Eksklusi sekelompok rakyat pedesaan dari tanah/wilayah kelola/SDA yang
dimasukkan dalam konsesi badan usaha raksasa tersebut.
4. Perlawanan langsung dari rakyat sehubungan eksklusi tersebut. (Rachman,
2013)
Faktor-faktor ini yang sering kali menyebabkan konflik agraria terjadi, terutama antara
pemerintah, pemilik modal dan rakyat.
Selain itu, ada beberapa tipe konflik:
1. Tanpa konflik, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai itu lebih
baik, jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup
bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta
mengelola konflik secara kreatif.
2. Konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga
dapat ditangani secara efektif.
3. Konflik terbuka, adalah yang berakar dari semangat nyata, dan memerlukan
berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.
4. Konflik di permukaan, memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan
muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi. (Kartikasari, 2001)
Berdasarkan keterangan diatas, kita dapat mengidentifikasikan seperti apa konflik yang
terjadi di Kendeng saat ini. Dilihat dari realita yang ada, maka kecuali faktor pertama
semua faktornya merupakan penyebab konflik yang muncul. Karena wilayah yang
dipermasalahkan memang milik negara, namun berstatus Bentang Alam Karst CAT
Watuputih yang dilindungi negara. Faktor kedua, ketiga dan keempat semuanya dialami
oleh petani Kendeng. Kemudian berdasarkan tipe konfliknya, yang terjadi adalah
konflik terbuka. Konflik yang muncul memang berdasarkan hal yang nyata, dimana
rakyat dengan tegas menolak penambangan berdasarkan kekhawatiran akan dampakdampak negatif yang akan muncul terhadap lingkungan mereka, serta aktor-aktor yang
berkonflik juga jelas terlihat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Komnas Perempuan, beberapa dampak yang
dimunculkan pembangunan semen dan penambangan batu gamping di Rembang, Pati,
adalah:
1. Terjadinya kerusakan lingkungan dan alam yang masif dengan penambangan
batu kapur. Penambangan dilakukan dengan menggali hingga mencapai
permukaan laut.
2. Polusi yang amat sangat ekstrim. Debu putih memenuhi seluruh permukaan
tanaman sehingga tidak dapat dikonsumsi hewan ternak. Debu tebal ini juga
mengganggu kesehatan pernapasan, mata dan kulit yang dapat memengaruhi
kesehatan warga dalam jangka panjang.
3. Terjadi konflik horisontal antara warga yang pro semen dan kontra semen.
4. Rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati
5. Terganggunya wilayah sakral dan hak budaya masyarakat, karena kehadiran
pabrik semen di dekat lokus yang disakralkan dan dijadikan lokus spiritual,
salah satunya adalah makam tokoh spiritual perempuan, yang dihormati warga,
termasuk makam yang dipercaya warga sebagai keturunan wali. Padahal lokus
tersebut bagian dari situs sejarah penting bagi bangsa.
Selain dampak-dampak diatas, masih ada dampak laten yang terjadi akibat
pembangunan pabrik semen ini. Dampak yang paling terlihat adalah bergesernya tanah
adat menjadi tanah komersil di kawasan tersebut. Petani yang kehilangan air untuk
irigasi kemudian akan mati mata pencahariannya, peternak yang pakannya tertutup
debu putih akan mati peliharaannya. Oleh karena itu, dampak yang terjadi akibat
dibangunnya pabrik semen di Kendeng utara akan berdampak besar di aspek ekologi,
ekonomi, dan sosial.
Dalam buku Das Kapital Jilid 2, Karl Marx mengajukan teori akumulasi primitif. Teori
ini menanggapi teori Sir Adam Smith dan teori ekonom borjuis. Ekonom Michael
Perelman saat itu menyimpulkan bahwa “akumulasi primitif memotong cara hidup
tradisional ibarat gunting” (Perelman, 2000). Mata gunting pertama mematikan
kesanggupan orang-orang kebanyakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
dan mata gunting kedua menghalangi orang-orang kebanyakan menemukan alternatif
lain di luar sistem kerja upahan untuk tetap bertahan hidup. Kedua mata gunting
akumulasi primitif inilah yang hingga kini memungkinkan kelas kapitalis menghisap
kerja dan hasil kerja kelas proletariat3. Artinya, akumulasi primitif ini akan memisahkan
3 Jurnal Kependudukan Padjadjaran, Vol. 10, No. 2, Juli 2008: 97
produsen independen, dalam kasus ini petani, dari alat produksinya yakni lahan tani
tadi. Wilayah karst Kendeng yang menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitarnya,
akan dijadikan sebagai pabrik semen yang merusak ekosistem yang ada disana. Rakyat
Kendeng terancam kekurangan suplai air, yang berentet pada matinya pertanian dan
hilang pula alat produksi bagi petani Kendeng.
Artinya terjadi proletarisasi terhadap rakyat Kendeng jika pemilik modal ini tetap
bersikukuh beroperasi di wilayah tersebut. Maksudnya, rakyat Kendeng yang tadinya
merupakan unit-unit produksi independen, setelah dirampas tanah penghidupannya
akan perlahan dijadikan buruh oleh para pemilik modal untuk menjalankan produksi
semennya.
Proletarisasi ini terjadi akibat kondisi pasar saat ini. Terjadi over-akumulasi kapital
secara global, yang kemudian berimbas langsung pada rakyat kecil seperti para petani
Kendeng. Upaya pemilik modal yang sedemikian rupa untuk tetap menguasai lahan
muncul akibat prinsip kapitalis yang harus menghasilkan produk secara efektif dan
menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Akibatnya, rakyat yang harus tergeser
dan tergusur dari tanah adat yang telah beratus tahun secara turun temurun mereka
kuasai.
Yang dilakukan presiden Joko Widodo hari ini disebut sebagai bentuk komitmen
pemerintahannya untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat.
Namun kebijakan ini mendapat banyak kritik terutama dari Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA) yang menilai bahwa kebijakan ini semakin jauh dari cita-cita reforma
agraria yang dicanangkan founding father kita, Soekarno. Kebijakan reforma agraria
yang diusung Jokowi justru lebih banyak dimonopoli oleh swasta, BUMN dan
Perhutani dibanding untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam UU Pokok Agraria tahun 1960, nilai-niai yang terkandung adalah nilai yang
berpihak kepada rakyat. Bahwa bumi, air dan langit harus menjadi milik rakyat, tidak
lagi menjadi nilai yang diusung Reforma Agraria hari ini. Sumber kesejahteraan rakyat
tidak boleh dimonopoli, dan hukum yang berlaku adalah hukum adat sesuai Pasal 5
UUPA tersebut. Namun nyatanya, meski disebut Reforma Agraria, kebijakannya
tidaklah mensejahterakan rakyat.
Bentuk program yang dibawa Jokowi adalah redistribusi lahan bagi buruh tani sebesar
9 juta hektar. Penerapannya adalah dengan melakukan trasnmigrasi untuk redistribusi
lahan di Jawa. Padahal, banyak studi yang menunjukkan bahwa program transmigrasi
gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian Jokowi juga memberi hakhak atas tanah kepada BUMN, Perhutani dan PTPTN atau bahkan perusahaan swasta
yang menjadikan negara sebagai monopoli utama lahan saat ini. Padahal UUPA
menyatakan bahwa lahan sudah seharusnya menjadi milik rakyat dan tidak dapat
dimonopoli. Perencanaan dan implementasi kebijakan redistribusi lahan ini pun masih
belum jelas arahnya, sebab tidak adanya keterlibatan organisasi tani atau bahkan lintas
kementerian sekalipun dalam pelaksanaannya. Panitia ad hoc untuk menjalankan
program ini juga masih belum terbentuk.
KPA telah mencatat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk menjadikan
kebijakan redistribusi lahan ini tidak terlalu melenceng dari cita-cita UUPA 1960.
Diantaranya adalah pematangan rencana redistribusi, termasuk didalamnya pembahasan
terkait konflik, bank tanah hingga sertifikasi. Kemudian, evaluasi hak-hak atas tanah di
Jawa, sekaligus meminimalisir penguasaan tanah dari PTPN, Perhutani dan swasta,
mengingat jumlah penduduk di Jawa sangat padat.4
Selain itu, melihat kembali yang terjadi di Kendeng saat ini, meski rakyat Kendeng
kembali mendapat bargaining power dengan pengajuan PK oleh PT Semen Indonesia
yang ditolak Mahkamah Agung, kita tetap menyadari adanya ketimpangan luar biasa
ketika Pemprov sendiri melakukan penipuan hukum. Pemerintah yang seharusnya
mewujudkan cita-cita UUPA 1960 dengan melindungi sumber kesejahteraan rakyat,
terlebih Bentang Alam Karst yang memang dilindungi secara hukum sebagai wilayah
yang perlu dilestarikan, justru bertindak sebaliknya.
Pemerintah Joko Widodo seharusnya kembali menghidupkan cita-cita Reforma Agraria
yang sesungguhnya, dimana rakyat menjadi produsen utama produk agraris dan bukan
melalui monopoli dari pihak mana pun. Jokowi dapat melakukan maksimalisasi
pertanian sehingga swasembada pangan dapat terwujud dan negeri tidak perlu lagi
mengimpor beras dari negara tetangga. Perwujudan Reforma Agraria yang menjadikan
pertanian sebagai sumber pemasukan negara yang utama tentu akan menguntungkan
rakyat serta memenuhi kepentingan negara untuk mensejahterakan bangsa. Jika lahanlahan pertanian tidak lagi dialihkan untuk industri dan profesi sebagai petani tidak lagi
berstatus ‘buruh’ melainkan profesi, perekonomian Indonesia akan tumbuh semakin
pesat pula. Tentu ini bukan berarti menghapuskan industri dari negeri kita, tetapi
pembangunan pabrik dapat memilih lokasi-lokasi yang tidak membahayakan ekosistem
dan tidak merugikan rakyat, dan terutama tidak ditempatkan di lahan pertanian milik
rakyat. Pembentukan mitra yang adil dengan petani maupun pekerja perkebunan juga
4 “Menyoal Reforma Agraria Jokowi-JK”. Diakses melalui
http://www.kpa.or.id/news/blog/menyoal-reforma-agraria-jokowi-jk/
akan menjadi win-win solution untuk rakyat dan pemerintah dibanding memonopoli
lahan tani dan kebun melalui Perhutani dan PTPN.
Selain itu, dengan bangkitnya pertanian sebagai suatu ‘profesi’, Indonesia tidak akan
kebingungan menghadapi bonus demografi yang semakin dekat. Membangun wacana
dan stigma positif terhadap pekerjaan di sektor pertanian akan membuka lebih banyak
lapangan pekerjaan untuk pemuda produktif di Indonesia, sehingga tidak melulu
menjadi buruh modern kapitalis yang harus berebut kursi di perusahaan-perusahaan
asing.
D. Kesimpulan
Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai sumber daya alam yang
melimpah. Pembangunan industri secara masif berakibat kepada terjadinya kerusakan
alam. Fokus pembangunan kepada basis agraris menjadi poin penting dalam proses
pemerataan pembangunan, terlebih dalam menghadapi fase bonus demografi, yang
dimana dibutuhkan banyak ketersediaan lahan sebagai lapangan pekerjaan.
Berkaca dari kasus Kendeng Utara, pemanfaatan lahan secara maksimal bukan berarti
pembangunan industri secara besar-besaran. Terlebih dengan mengesampingkan
dampak
negatif
berkepanjangan,
demi
keuntungan
sementara.
Pemerataan
pembangunan dikatakan berhasil apabila seluruh lapisan masyarakat mendapatkan
dampak positif. Serta tidak ada eksploitasi lahan maupun kerusakan alam yang
berimplikasi kepada pembangunan masa mendatang. Makalah ini masih jauh dari kata
baik, namun semoga dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan untuk mahasiswa yang
membutuhkan.
Daftar Pustaka
Ananta, Dicky Dwi, “Perjuangan Kelas Melalui Reklaiming Hak Atas Kota!”
IndoPROGRESS, Maret 2014
Akbar, Renaldy, “Kuasa Kapital Atas Tanah”. Maret 2017 dapat diakses melalui
https://renaldyakbar.wordpress.com/2017/03/31/kuasa-kapital-atastanah/&ei=4Y2TN2B5&lc=idID&s=1&m=788&host=www.google.co.id&ts=150470
3513&sig=ANTY_L162kbbq54r5kcxlFuo1JD40NuxBQ
Ismalina Poppy. 2013. Valuasi Ekonomi Kawasan Pegunungan Kendeng. Fakultas
Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, siap terbit.
Kartikasari SN. 2001. Mengelola Konflik. Jakarta [ID]: SMK Grafika Desa Putra.
Rachman NF. 2013. Rantai penjelas konflik-konflik agraria yang kronis, sistemik dan meluas
di
Indonesia.
Jurnal
Bhumi
(1):
1-14.
Dapat
diunduh
dari:
http://www.stpn.ac.id/images/Data/EJurnal/Jurnal%20Bhumi%20No
%2037%20Tahun%2012-203.pdf.
Sudarmadji, et al. 2010. Variasi spasial temporal hidrogeokimia dan sifat aliran untuk
karakterisasi sistem kaerst dinamis di sungai bawah tanah Bribin Kabupaten Gunung
Kidul DIY. Universitas Gajah Mada.
Wacana et al. 2008. Kajian Potensi Kawasan Kars Kendeng Utara Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Pati. DREaM (edisi) 21.08.2008 oleh LPPM UPN Yogyakarta. Lembaga
Peneliti dan Pengembangan Masyarakat UPN (Veteran). Dapat diunduh dari:
http://psmbupn.org/article/kajian-potensi-kawasan-kars-kendeng-utara-kabupatengrobogan-dan-kabupaten-pati.html