PERAN NAZHIR WAKAF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

  

PERAN NAZHIR WAKAF DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Nurjidin

  Dosen FAI UCY

F. Setiawan Santoso

  Dosen FAI UCY fattah_ss@yahoo.com

  

abstract

  A further deep investigations of the role of nazhir within Indonesia’s legislation is undoubtedly important to become socialized among Muslim societies in order them be able to manage waqf properties sustainably without deviating from the rule of law applicable in both Islamic and Indonesian law. Although not formally organized in Islam, Nazhir has been arranged in such a way that it has a common ground with the prevailing regulations in Indonesia.

  Keywords: nazhir, law, waqf, Indonesia A.

   Pendahuluan

  Kondisi harta tanah wakaf di Indonesia masih belum termanfaatkan secara optimal. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam Kasdi terhadap 500 responden nadzir di 11 Propinsi menunjukkan, harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nadzir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, dari pada organisasi profesional (16%) dan berbadan hukum (18%). Kasdi kemudian menyimpulkan problem mendasar dalam stagnasi perkembangan wakaf adalah dua hal: aset wakaf yang tidak produktif dan

  1 kapasitas nadzir yang tidak profesional.

  Para Fuqaha mazhab tidak memasukkan nazhir sebagai salah satu dari rukun wakaf, tetapi peranannya diakui sangat penting untuk

  2

  pengelolaan harta wakaf. Dalam Fiqih Wakaf dijelaskan, walaupun para

NURJIDIN DAN F. SETIAWAN SANTOSO

  mujtahid tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazhir, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan. Pengangkatannya bertujuan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus, sehingga harta wakaf itu tidak sia-sia. Bagi Furqon, harta wakaf adalah benda mati, sehingga nilai dan produksinya bukan bergantung pada benda tersebut, akan tetapi bergantung kepada pengelolanya atau nazhir. Badan Wakaf Indonesia (BWI) menandaskan, tanpa nazhir, harta wakaf tidak dapat terjaga dalam kelestarian dan pengembangannya apalagi pengambilan manfaatnya. Kasdi menguatkan dengan penhjelasan dari Hasymi. Kunci pengelolaan wakaf terletak pada eksistensi pengelola wakaf, terutama nadzir dan tim kerja yang solid untuk memaksimalkan peran wakaf. Apabila dikelola secara profesional, maka wakaf akan menjadi lembaga Islam potensial yang berfungsi mendanai dan mengembangkan perekonomian umat. Nazhir hendaknya didorong semaksimal mungkin untuk mencapai level kinerja dan performa yang terbaik, sehingga dapat lebih signifikan dalam

  3 memainkan peran sosial untuk pengembangan wakaf.

  Keberhasilan pengelolaan Nazhir kemudian berdampak pada keberlanjutan fungsi harta bagi kesejahteraan masyarakat. Tuntutan pengelolaan yang berkelanjutan jelas muncul dalam hokum wakaf tanah di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 1 ayat (1), bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Ketemtuan itu diperjelas dalam aturan wakaf yang lebih umum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (UUWk) Pasal 1 ayat (1). Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

  Penumbuhan kepercayaan terhadap peran nazhir dalam harta wakaf di Indonesia ternyata masih perlu dikembangkan. Fathurahman dkk. menyimpulkan hasil penelitiannya di Bandung tentang kinerja nazhir dipengaruhi dengan kekurangan tersebut. Wakaf di kota tersebut masih bertumpu pada kepercayaan personal bukan kelembagaan yang berdampak buruk pada pengelolaan secara bekelanjutan dan bertanggung

  4

  jawab. Kasdi pun menyerukan senada. Pengelolaan wakaf lebih potensial diterapkan oleh nazhir lembaga, baik organisasi maupun badan hukum, dibandingkan dengan nazhir perseorangan yang berbasis manajemen tradisional. Selain itu, berdasarkan jumlah pengurus dan staf, nazhir

  PERAN NAZHIR WAKAF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

  organisasi dan badan hukum jumlahnya lebih besar dari pada nazhir perseorangan. Secara umum, pengelolaan wakaf dapat terarah dan terbina

  5

  secara optimal, apabila nazhirnya amanah dan profesional. Oleh karena itu, Furqon pun menyarankan ketika meneliti kompetensi nazhir berbasis

  

social entrepreneurship agar sosialisasi wakaf produktif yang lebih massif

  kepada nazhir-nazhir wakaf hingga terbentuk paradigma wakaf produktif

  6 di kalangan nazhir untuk menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat.

  Hal penting yang perlu disosialisasikan kepada para nazhir agar mampu mengelola harta wakaf secara berkelanjutan adalah hokum dan undang-undang di Indonesia yang berkaitan dengan peran, termasuk hak dan kewajibannya. Penelusuran lebih jauh tentang peran nazhir dalam perundang-undangan di Indonesia menjadi bermanfaat. Nazhir kemudian diharapkan mampu mengelola harta wakaf secara baik terhindar dari penyimpangan hukum Islam khususnya yang berlaku di Indonesia. Dampak buruk yang merugikan dari pengelolaan yang tidak sesuai dengan perundang-undangan juga dapat diminimalisir, baik bagi harta maupun diri nazhir sendiri, khususnya dalam perwakafan tanah.

B. Nazhir dalam Perundang-undangan Wakaf Indonesia

  Dalam Pasal 2 UUWk ditentukan bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syarat-syarat rukun yang ditentukan syariah. Selanjutnya dalam Pasal 6, wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur sebagai berikut; Wakif; Nazhir; Harta Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; peruntukan harta benda wakaf; dan jangka waktu wakaf.

  Wakif Pada Pasal 7 ditentukan dan meliputi; perseorangan; organisasi; badan hukum. Selanjutnya dijelaskan dalam pasal berikutnya bahwa wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan; dewasa; berakal; sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta benda wakaf. Sedangkan wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.

  Penjelasan tentang harta wakaf ada dalam Pasal 1 ayat (5). Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Disyaratkan pula dalam pasal 15 bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.

  Ikrar wakaf menurut pasal 1 ayat (3) adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Sedangkan dalam pasal 17 dikatakan

NURJIDIN DAN F. SETIAWAN SANTOSO

  bahwa, ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

  Nazhir dalam kemudian disebut sebagai pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1 angka 4). Pengertian itu tidak berbeda jauh dari pengertian bahasa. Furqon dari berbagai sumber mengartikan Nazhir secara bahasa berarti penjaga. Penjaga sawah dan kebun kurma dinamakan. Ulama Hanafiyah menyebut nazhir dengan sebutan Qayyim al-Waqf atau Mutawalli, dan mendefinisikannya sebagai orang yang mengatur dan mengawasi urusan wakaf. Meski demikian, istilah nazhir dalam wakaf lebih banyak dipakai pada kebanyakan kitab- kitab Fuqaha dan Muhaqiqin, seperti Imam Ibn Taimiyah dan Imam al-

7 Syaukani.

  Nazhir di Pasal 1 (4) dalam UU yang sama dibatasi dengan pihak yang menerima harta beda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya. Dengan dasar tersebut, Nazhir menjadi kunci dalam pencapaian tujuan wakaf sehingga penentuan Nazhir harus memenuhi syarat-syarat yang dapat mengembangkan dan mengelola harta wakaf agar terus produktif dan mencapai tujuan wakaf.

  Dalam Pasal 9 dan 10 dipastikan bahwa nazhir tidak hanya ada dua, tetapi terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

  1. perseorangan; kewajibannya memenuhi persyaratan sebagai berikut;

  Warga Negara Indonesia; beragama Islam; dewasa; amanah; mampu secara jasmani dan rohani; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

  2. organisasi; syarat yang harus dipenuhi adalah; pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan; organisai yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.

  3. badan hukum, lembaga ini menjadi nazhir apabila memenuhi persyaratan; pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan; badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan badan hukum yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Jadi, kewenangan nazhir tidak secara otomatis saat badan hokum mendapatkan benda wakaf. lembaga harus didaftarkan terlebih dahulu pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama.

  PERAN NAZHIR WAKAF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

  Aturan itu jelas tertulis pada Pasal 11 Di dalamnya disebutkan juga beberapa persyaratan lainnya, yaitu: 1.

  Nazhir badan hukum wajib didaftarkan pada Menteri dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat. Jika tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat, pendaftaran nazhir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau perwakilan BWI di provinsi/ kabupaten/kota.

  2. Nazhir badan hukum yang melaksanakan pendaftaran harus memenuhi persyaratan: a. badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam; b. pengurus badan hukum harus memenuhi persyaratan nazhir perseorangan; c. salah seorang pengurus badan hukum harus berdomisili di kabupaten/kota benda wakaf berada; d. memiliki:

  1) salinan akta notaris tentang pendirian dan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi berwenang;

  2) daftar susunan pengurus; 3) anggaran rumah tangga; 4) program kerja dalam pengembangan wakaf; 5) daftar terpisah kekayaan yang berasal dari harta benda wakaf atau yang merupakan kekayaan badan hukum; dan

  6) surat pernyataan bersedia untuk diaudit. Persyaratan di atas harus dilampirkan saat mengajukan permohonan pendaftaran sebagai nazhir badan hukum.

  Selain persyaratan teknis, Fathurrahman Djamil menjelasakan masih ada persyaratan umum lain bagi nazhir. Pertama, nazhir adalah pemimpin umum dalam wakaf. karenanya, nazhir harus berakhlak mulia, amanah, berpengalaman, menguasai ilmu administrasi dan keuangan yang dianggap perlu untuk melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan jenis wakaf dan tujuannya. Kedua, nazhir bisa bekerja selama masa kerjanya dalam batasan undang-undang wakaf sesuai dengan keputusan organisasi sosial dan dewan pengurus. Nazhir mengerjakan tugas harian yang menurutnya baik dan menentukan petugas-petugasnya, serta punya komitmen untuk menjaga keutuhan harta wakaf, meningkatkan pendapatannya, menyalurkan manfaatnya. Nazhir juga menjadi utusan atas nama wakaf terhadap pihak lain ataupun di depan mahkamah

NURJIDIN DAN F. SETIAWAN SANTOSO

  (pengadilan). Ketiga, nazhir harus tunduk kepada pengawasan Kementerian Agama dan BWI, dan memberikan laporan keuangan dan administrasi setiap seperempat tahun minimal, tentang wakaf dan kegiatannya. Keempat, nazhir bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian atau hutang yang timbul dan bertentangan dengan undang-

  8 undang wakaf.

B. Kewajiban dan Hak Nazhir

  Nazhir, baik perorangan, organisasi maupun badan hukum merupakan orang yang diberi amanat oleh wakif untuk memelihara, mengurus dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan ikrar wakaf. Sebagai pemegang amanah tersebut, ia tentu mempunyai berbagai kewajiban dan hak tertentu. Kewajiban adalah menyangkut hal-hal yang harus dikerjakan dan diselesaikan demi tercapainya tujuan wakaf sebagaimana yang dikehendaki oleh ikrar wakaf, sedangkan hak adalah timbal balik dari pelaksanaan kewajiban dalam pengelolaan harta wakaf.

  Karena pemegang amanah, nazhir tidak dibebani resiko apapun atas kerusakan-kerusakan yang menimpa terhadap harta wakaf, selagi kerusakan-kerusakan dimaksud bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya. Hanya saja, untuk menghindari kerusakan terhadap harta benda wakaf, nazhir dibebankan pengeolaan yang meliputi pemeliharaan, pengurusan dan pengawasan harta serta hasil-hasilnya. Selain itu juga menyangkut laporan tentang semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf, mulai dari keadaan, perkembangan harta wakaf sampai kepada

  9 pemanfaatan hasil-hasilnya.

  Dalam perwakafan tanah, Kewajiban nazhir diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 10 secara lebih rinci. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1.

  Nazhir berkewajiban melaporkan, mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi: a.

  Menyimpan Lembaran Salinan Akta Ikrar Wakaf; b.

  Memelihara tanah wakaf; c. Memanfaatkan tanah wakaf; d.

  Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf; e. Meyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi: 1. buku catatan tentang keadaan tanah wakaf; 2. buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf; 3. buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf 2. Nazhir berkewajiban melaporkan: a.

  Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan

  PERAN NAZHIR WAKAF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

  sertifikatnya kepada Kepala KUA; b. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya;

3. Pelaksanaan kewajiban yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada

  Kepala KUA tiap satu tahun sekali yaitu pada tiap akhir bulan Desember.

  4. Nazhir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya salah seorang anggota nazhir yang berhenti dari jabatannya sesuai aturan yang berlaku dalam peraturan tersebut.

  5. Bilamana jumlah anggota nazhir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau lebih berakibat tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (1) peraturan tersebut, anggota nazhir lainnya berkewajiban mengusulkan penggantiannya untuk disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

  Peraturan Menteri Agama di atas kemudian disederhanakan dalam UUWk pasal 11. Kewajiban nazhir adalah sebagai berikut: a.

  Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf; b.

  Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya; c.

  Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; d.

  Melaporkan pelaksanaan tugas kepada BWI.

  Karena melaksanakan kewajiban, nazhir berhak atas berbagai hal. Salah satunya yang diatur dalam UUWk adalah peruntukan harta wakaf.

  pasal 22 menjelaskan penetapan peruntukan harta benda wakaf dilakukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf. Pada kondisi tertentu dimana wakif tidak menetapkan peruntukkan harta benda wakaf, nazhir berhak menetapkan peruntukkan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Pada pasal 13 disebutkan pula bahwa nazhir berhak mendapat pembinaan dari Menteri dan BWI. Haknya dalam penerimaan imbalan kemudian diatur dalam pasal 12. Ia dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen).

  Imbalan bagi nazhir sebenarnya telah dipraktikkan sejak masa pemerintahan sahabat Umar Ibn Khattab, Ali ibn Abi Talib, dan sahabat- sahabat lainnya. Besaran upah yang diterima nazhir, sesuai dengan

  10 ketentuan yang telah ditetapkan wakif atau hakim.

  Sejarah tersebut kemudian dijabarkan dalam fiqih mazhab dalam berbagai pendapat. Hanafiyyah berpendapat bahwa hak gaji diterima selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf itu

NURJIDIN DAN F. SETIAWAN SANTOSO

  terjadi. Besarannya bisa sepersepuluh atau seperdelapan sesuai kehendak wakif. Apabila tidak ditetapkan, maka hakimlah yang menetapkan imbalannya dengan pertimbangan berat-ringannya tugas-tugas yang diberikan.

  Ulama Malikiyyah memiliki kesamaan dengan Hanafiyyah, meski tidak semuanya. Sebagian memfatwakan, jika wakif tidak menentukan upah nazhir, maka hakim dapat mengambil upah itu dari bait al-mal. Adapun Syafi’iyyah memutuskan yang menetapkan gaji nazhir itu wakif. Jika tak ada, nazhir tidak berhak atas gaji. Untuk mendapatkannya, nazhir harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk mendapatkan gaji yang seimbang. sebagian mazhab itu menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak berhak memohon gaji, kecuali keadaannya sangat membutuhkan. Pandangan lain dari Hanabilah yang mengeluarkan dua pendapat. Pendapat pertama, nazhir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan sepatutnya. Pendapat kedua, nazhir wajib mendapatkan

  11 upah sesuai dengan pekerjaannya.

  Dari uraian perundangan-ungangan dan fikih mazhab bisa ditegaskan bahwa nazhir berhak atas imbalan, baik diambil dari harta wakaf maupun dari sumber lain. Jumlah dan besarannya bisa diatur berdasarkan pada kehendak wakif atau hakim dan perundangan. Selain itu, pertimbangan terhadap situasi dan kondisi kesejahteraan masyarakat lokal harta wakaf tidak bisa diabaikan.

C. Nazhir dalam Pencatatan Ikrar Wakaf Tanah

  Jenis harta benda wakaf dalam UUWk terdiri dari: benda tidak bergerak; benda bergerak selain uang; dan benda bergerak berupa uang. Jenis benda tidak bergerak antara lain : 1. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

  2. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah; 3. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; 4. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

  5. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan .

  Macam hak atas tanah yang dapat diwakafkan kemudian dibagi menjadi sebagai berikut:

  1. hak milik atas tanah baik yang sudah atau belum terdaftar; 2. hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  3. hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai yang berada di atas tanah negara;

  PERAN NAZHIR WAKAF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

  4. hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah hak pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.

  Keharusan untuk pendaftaran tanah wakaf sebenarnya telah ada sejak tahun 1950. Tanah wakaf harus didaftarkan di tiap-tiap kabupaten. Dengan adanya ketentuan itu diharapkan pengelolaan dan pemeliharaan serta pelaksanaan di masa yang akan datang lebih baik dan tertib dalam

  

12

  administrasi serta manajemennya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN 1960 Nomor 104) atau UUPA, telah memberikan pengaturan khusus akan masalah ini di dalam pasal mengenai kewajiban pembentuk undang undang untuk

  13 mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

  Untuk melaksanakan perundangan wakaf tanah telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendafataran Tanah (LN 1961 Nomor 28), yang memuat pengaturan secara teknis

  

14

  penyelenggaraan pendaftaran tanah. Ketentuan itu kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, telah menentukan prosedur perwakafan tanah milik, termasuk di dalamnya kewajiban untuk mendaftarkannya.

  Praktik wakaf tanah ternyata dirasa belum berjalan tertib dan efisien. Sejumlah tanah wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hokum telah menggejala dalam masyarakat. Keadaan demikian itu bukan semata kelalaian atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf. Pemerintah perlu memperhatikan dan masyarakat harus sadar terhadap status harta tanah wakaf yang seharusnya dilindungi demi kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf turut berpengaruh.

  Berdasarkan pertimbangan di atas serta memenuhi kebutuhan hukum perwakafan yang menyeluruh tak terbatas pertanahan dan dalam rangka pembangunan hukum nasional untuk menciptakan tertib hukum dan administrasi sehingga melindungi harta benda wakaf diterbitkanlah UUWk. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan, bahwa perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam ikrar wakaf dan didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

  15 mengatur mengenai wakaf dan harus dilaksanakan.

  UUWk Pasal 32 dan 33 menentukan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) atas nama nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak

NURJIDIN DAN F. SETIAWAN SANTOSO

  akta ikrar wakaf ditandatangani. Menteri dan BWI selanjutnya mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf dan mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar (Pasal 37-38).

  Dalam hal harta benda wakaf termasuk tanah yang ditukar atau diubah peruntukannya, nazhir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada instansi yang berwenang dan BWI atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf. Nama nazhir juga sicantumkan saat pendaftaran harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani (Pasal 35-36). Untuk itu, pendaftaran tanah wakaf oleh PPAIW disyaratkan untuk menyerahkan: a.

  Salinan akta ikrar wakaf; b. Surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya c.

  Bukti pendaftaran harta benda wakaf disampaikan oleh PPAIW kepada nazhir.

D. Penutup

  Nazhir wakaf merupakan salah satu jabatan dimana wakaf telah mendapat peraturan secara khusus diantara perangkat undang-undang yang berlaku di Indonesia dalam hal ini berbentuk undang-undang. Artinya berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Nazhir tidak bisa dipilih dengan mengabaikan undang-undang yang berlaku. Fungsi, hak dan kewajiban telah diatur dalam hokum wakaf. para ulama juga telah bersepakat bahwa wewenang nazhir secara umum hanya terbatas pada pengelolaan wakaf untuk dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf yang dikehendaki wakif. Kewajibannya, mengerjakan segala sesuatu yang layak untuk menjaga dan mengelola harta. Ia dapat dapat mempekerjakan beberapa wakil atau pembantu untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Nazhir kemudian bisa terdiri dari perseorangan, organisasi maupun badan hukum. Nazhir sebagai pihak yang berkewajiban mengawasi dan memelihara wakaf tidak boleh menjual, menggadaikan atau menyewakan harta wakaf kecuali diijinkan oleh pengadilan. nazhir juga tidak bisa mendayagunakan tanah wakaf untuk kegiatan-kegiatan yang tidak diperbolehkan menurut peraturan dan perundangan yang berlaku. Nazhir wakaf dalam hukum Islam juga diatur sedemikian rupa sehingga memiliki titik temu dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Ia kemudian berkewajiban menjaga dan mengurusnya, serta mewakili harta wakaf yang dikelolanya di dalam dan luar hukum. Ia berkewajiban memberi laporan berkala kepada pejabat yang berwenang atau mempertahankan atau membelanya apabila di suatu saat harta disengketakan di Pengadilan.

  PERAN NAZHIR WAKAF DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

  , h 256-257 16 Fathurahman dkk., “Analisis Deskriptif …”

  Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian

  Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Bimbingan Wakaf Tahun 2012

  Undangan Tentang Wakaf. Jakarta : Direktorat Jenderal

  Pembinaan Badan Peradilan Agama tahun 2000 Kementerian Agama RI. Himpunan Peraturan Perundangan –

  Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.IV. Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Direktorat

  Daftar Pustaka

  Kencana, 2008), h.258 13 Abd. Shomad, Hukum Islam , h.398 14 Ibid., h.399. 15 M anan, Aneka Masalah

  Meski demikian, Nazhir juga berhak atas berbagai fasilitas sesuai peraturan.

  “Peran Nadzir …” 9 Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang HampirTerlupakan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.167. 10 Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, ( Jakarta: Permadani, 2004), h.159 11 Ibid., h.160-161 12 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:

  Profesional, ” 8 Kasdi,

  ”, Peran Nadzir …” 4 Tata Fathurahman, Ayi Sobarna, dan A. Mujahid Rasyid, “Analisis Deskriptif tentang Kinerja Nadzir Wakaf, ” Mimbar, Vol. 30 No. 2 (desember 2014), h. 233-242 5 Kasdi ”, Peran Nadzir …” 6 Furqon, “Kompetensi Nazhir…,” 7 Ibid.; Kemenag Agama RI, Fiqh Wakaf … h. 63; BWI, “Menggagas Nazhir Wakaf

  h. 63; Ahmad Furqon, “Kompetensi Nazhir Wakaf Berbasis Social Entrepreneur; (Studi Kasus Nazhir Wakaf Bisnis Center Pekalongan), ” Laporan Penelitian Individual, IAIN Walisongo Semarang 2014, h. 13. 3 Kasdi

  Jurnal Zakat dan Wakaf Vol. 1, No. 2, Desember 2014, h. 213-216 2 Kementerian Agama RI, Fiqh Wakaf, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2006),

  16 Catatan Kaki 1 Abdurrahman Kasdi ”, Peran Nadzir Dalam Pengembangan Wakaf Ziswaf,”

  Sosialisasi peran nazhir dalam pengelolaan wakaf juga perlu diketahu oleh masyarakat guna meningkatkan kesadaran wakaf yang berdampak pada kepercayaan dan kredibilitas mereka. Nazhir bisa berinisiatif seperti yang disaranakan oleh Fathurrahman dkk. perkembangan teknologi informasi yang cepat sangat mendukung penggunaan media social yang murah meriah untuk melakukan sosialisasi, edukasi dan persuasi kepada umat untuk lebih peduli dengan wakaf.

  Kontemporer Pertamadan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. NURJIDIN DAN F. SETIAWAN SANTOSO Jakarta: IIMaN Press, 2004.

  Kementerian Agama RI. Fiqh Wakaf. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2006. Furqon, Ahmad. “Kompetensi Nazhir Wakaf Berbasis Social Entrepreneur;

  (Studi Kasus Nazhir Wakaf Bisnis Center Pekalongan).” Laporan Penelitian Individual, IAIN Walisongo Semarang 2014. Fathurahman, Tata, Ayi Sobarna, dan A. Mujahid Rasyid. “Analisis

  Deskriptif tentang Kiner ja Nadzir Wakaf,” Mimbar, Vol. 30 No. 2

  (desember 2014), h. 233-242

  Kasdi, Abdurrahman.”, Peran Nadzir Dalam Pengembangan Wakaf Ziswaf.” Jurnal Zakat dan Wakaf Vol. 1, No. 2, Desember 2014, h.

  213-216

  BWI. “Menggagas Nazhir Wakaf Profesional.”

  

  Wadjdy, Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi

  Islam yang HampirTerlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

  Al-Munawar, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial.

  Jakarta: Permadani, 2004. Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.

  Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam. Jakarta : Prenada Media Grup, 2010.