ASPEK HUKUM FATWA MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) TENTANG ALIRAN SESAT

ASPEK HUKUM FATWA MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) TENTANG ALIRAN SESAT

Kurniawan

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Aceh E-mail: kurniawanfh@yahoo.com

Abstract

This study is aimed at describing constitutional and legal basis of MPU in Aceh, describing the history of existence of the Ulama’s roles in Aceh and also analyzing legal aspect and legal implication of deciding MPU Aceh concerning cult. The approaches used on this study are statute approach, cases approach, and historical approach. The result of analysis shows that fatwa issued by MPU Aceh concerning cult to several chairpersons of Islamic school (Pasantren/Dayah) in Aceh is against the law, especially Article 5 (b) Qanun Aceh No. 2 of 2009 on Aceh’s Ulama Consultative Assembly.

Keywords: fatwa, Aceh’s Ulama Consultative Assembly, cult

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan landasan hukum dan landaan konstitusional Majelis Permu- syawaratan Ulama (MPU) di Aceh, menjelaskan sejarah eksistensi peran Ulama di Aceh dan juga menganalisis aspek hukum dan implikasi hukum penetapan fatwa MPU Aceh tentang aliran se- sat.Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan Kasus (Cases Approach), dan dikombinasikan dengan pendekatan Se- jarah (Hsitorical Approach). Hasil kajian menunjukkan bahwa fatwa yang ditetapkan oleh MPU Aceh tentang aliran sesat kepada beberapa pimpinan dayah/pasantren di Provinsi Aceh bertentangan dengan hukum, tepatnya Pasal 5 huruf b Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusya- waratan Ulama.

Kata Kunci: fatwa, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, aliran sesat.

Pendahuluan

lira Bayu, Aceh Utara. MPU Aceh juga menge- Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh da-

luarkan fatwa sesat dan menyesatkan terhadap lam dua tahun terkahir yaitu tahun 2012 dan

ajaran yang dikembangkan oleh Pimpinan Yaya- 2013 telah mengeluarkan fatwa sesat dan me-

san Al-Mujahadah di Desa Ujong Kareung, Keca- nyesatkan kepada beberapa dayah/pasantren

matan Sawang, Kabupaten Aceh Selatan, Tgk yang terdapat di beberapa kabupaten/kota di

Ahmad Barmawi melalui Fatwa Majelis Permu- Aceh. Salah satu diantaranya fatwa sesat dan

syawaratan Ulama Aceh Nomor 1 Tahun 2013. 1 menyesatkan yang dikeluarkan oleh MPU terha-

Fatwa sesat dan menyesatkan terhadap Pimpin- dap ajaran yang dikembangkan oleh aliran La-

an Yayasan Al-Mujahadah tersebut dibacakan duni di Laduni di Kecamatan Kaway XVI, Aceh

oleh Kepala Sekretariat MPU Aceh, Saifuddin Barat di tahun 2012. Terkait dua aliran ini, utu-

Puteh, di Hotel Kuala Radja Banda Aceh yang san ulama dari kabupaten dan kota se-Aceh su-

disaksikan para ketua Majelis Permusyawartan dah bermusyawarah sejak 15-17 Oktober 2012.

Ulama (MPU) dari kabupaten/kota se-Aceh. 2 Fatwa sesat dan menyesatkan juga di- tetapkan oleh MPU Aceh kepada aliran yang di-

1 “MPU Fatwakan Ajaran Ahmad Barmawi Sesat”, kembangkan oleh pengelola beserta para santri

tersedia di Website http://aceh.tribunnews.com/2013/ Dayah Baitul Mu'arrif di Kecamatan Meurah Me-

03/01/mpu-fatwakan-ajaran-ahmad-barmawi-sesat, diakses tanggal 2 Januari 2014.

ulia, Balai Pengajian Mubtadi'ul Ulum, Syamta-

2 Ibid.

Aspek Hukum Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tentang Aliran Sesat 311

MPU Aceh selain mengluarkan fatwa, juga menyampaikan tausiah yang intinya meminta pemerintah mencabut izin operasional Yayasan Al-Mujahadah Desa Ujong Kareung, Kecamatan Sawang, Aceh Selatan, dan menutup pengajian dan penyebaran pemahaman, pemikiran, dan pengamalan yang dikembangkan Tgk Ahmad Barmawi dan seumpamanya serta mengawasi

perkembangannya. 3 MPU Aceh meminta peme- rintah menertibkan setiap aktivitas LSM dan pe- ngajian agama yang berkedok pengobatan alter- natif, aktivitas bela diri, dan lainnya, menertib- kan aktivitas pengajian dan membentuk tim ve- rifikasi bahan/kitab/buku kajian keagamaan bi- dang fikih, tauhid, akhlak, dan tasawuf yang muktabarah. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga meminta masyarakat untuk ti- dak mengikuti pengajian, ceramah, dan diskusi yang menyiampang dari ajaran Islam, seperti ajaran Tgk Ahmad Barmawi dan sejenisnya. Orang tua juga diimbau untuk tidak mengantar- kan anaknya ke lembaga pendidikan yang meng- ajarkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari Islam seperti ajaran Tgk Ahmad Barmawi dan sejenisnya. Selain itu MPU juga minta pada Tgk Ahmad Barmawi dan pengikutnya bertobat dan kembali kepada ajaran yangbenar.

Setelah dikeluarkannya fatwa sesat dan menyesatkan kepada ajaran yang dikembangkan oleh Tgk Ahmad Barmawi, Pimpinan Yayasan Al - Mujahadah tersebut, selasa malam tanggal 5 Maret 2013, ratusan massa mendatangi pasan-

tren tersebut. 4 Meskipun TNI akhirnya berhasil membubarkan massa pada jam 23.00 WIB, na- mun massa mengancam akan kembali besok Ra- bu, 06 Maret 2013 dengan jumlah lebih besar. 5 Keesokan harinya ratusan masyarakat mendata- ngi yayasan Al- Mujahadah bersamaan dengan rombongan Muspida dan Muspika setempat yang hendak menyegel dayah tersebut. Setiba di lo- kasi, perwakilan dari Muspida kemudian mem- bacakan fatwa MPU dan setelah itu massa lang-

3 Ibid. 4 “Korban Fatwa Sesat MPU Dikepung Masa, Negara Harus Jamin Keamanan”, tersedia di Website http://potret- online.com/index.php/news-flash/1262-korban-fatwa- sesat-mpu-dikepung-massa-negara-harus-jamin-keama- nan, diakses tanggal 2 Januari 2014. 5 Ibid.

sung merusak pagar dan juga papan nama da- yah. Ironisnya, Satuan Polisi Pamong Praja (Sat- pol PP) juga ikut merusak papan nama dayah tersebut. Bahkan di papan nama Dayah Al-Mu- hajadah itu pun ditempel tulisan “Ajaran Sesat dan Menyesatkan”.

Fatwa yang telah dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengenai aliran sesat dan menyesatkan tersebut kecen- derungannya selalu diikuti dengan tindakan ke- kerasan oleh masyarakat setempat baik berupa pengerusakan pagar dan papan nama dayah, pengusiran, pemukulan, tindakan kriminal beru- pa pembakaran hidup-hidup (seperti yang di- alami Tgk Aiyub di Plimbang, Kab. Bireuen), serta berbagai bentuk kekerasan lainnya. Kere- sahan pun selalu menghantui para pimpinan da- yah maupun para santri yang sedang menuntut ilmu agama di Dayah/Pasantran yang di fatwa- kan sesat dan menyesatkan tersebut. Aceh yang dikenal dengan sebutan “Negeri Serambi Mak- kah” yang masyarakatnya taat dan memegang teguh prinsip Islam dalam kehidupan kesehari- annya, justru menampilkan sisi kekerasan (yang justru ditentang oleh Islam) terhadap para pim- pinan pasantren maupun santri sebagai objek yang difatwakan sesat dan menyesatkan oleh Majelis Permusyawaratan (MPU) Aceh.

Berbagai fatwa tentang aliran sesat dan menyesatkan yang dikeluarkan oleh Majelis Per- musyawartan Ulama (MPU) Aceh tersebut telah menimbulkan sikap intoleransi dalam beragama serta menimbulkan instabilitas keharmonian di tengah masyarakat Aceh yang beragam. Situasi ini menimbulkan keperihatinan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Berbagai ka- langan aktifis di Aceh pun turut memberikan re- aksi dan kecamatan keras baik kepada masya- rakat setempat sebagai aktor maupun kepada MPU Aceh yang telah mengeluarkan fatwa sesat dan menyesatkan tersebut. Diantara beberapa aktifis tersebut adalah Jaringan Masyarakat Si- pil Peduli Syariat (JMSPS) yang meminta MPU tidak mengeluarkan fatwa sesat atau menjurus sesat terhadap komunitas tertentu karena akan menimbulkan kekerasan dalam masyarakat. Ma- syarakat butuh bimbingan ulama dalam meng-

312 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014

hadapi perbedaan-perbedaan pandangan aga-

yang bersifat khusus atau ma, bukan fatwa saling menyesatkan sebagai-

pemerintahan

bersifat istimewa tersebut, maka pemerintah mana pesan yang disampaikan oleh Juru Bicara

menge-sahkan beberapa daerah tertentu yang Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMS-

meme-nuhi syarat secara materil maupun PS), Affan Ramli melalui siaran persnya. Selain

secara histo-ris akan status tersebut. itu juga, Aceh Judicial Monitoring Insititute

Daerah-daerah di Indonesia yang menda- (AJMI) turut mengecam sikap yang dilakukan

patkan status otonomi khusus diberikan oleh oleh MPU Aceh. Berdasarkan latar belakang dia-

Pemerintah hanya kepada dua provinsi di Indo- tas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai

nesia yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Irian Ja- aspek dan implikasi yuridis keberadaan fatwa

ya. Status Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh

diberikan oleh Pemerintah dengan disahkannya tentang paham atau aliran sesat.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa

Pembahasan

Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussa-

Landasan Konstitusional MPU Aceh

lam sebagaimana telah dicabut dengan Undang- Keberadaan MPU di Aceh merupakan wu-

Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerin- jud daripada manifestasi komitmen negara yang

tahan Aceh. Adapun Otonomi Khusus bagi Pro- mengakui serta menghormati satuan-satuan pe-

vinsi Papua diberikan oleh Pemerintah dengan merintahan daerah tertentu yang bersifat khu-

disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun sus maupun bersifat istimewa. Hal tersebut se-

2001 tentang Otonomi Khusus Papua. cara tegas dijabarkan dalam UUD 1945 sebagai

Provinsi Aceh selain mendapatkan status konstitusi negara sebagaimana yang tercantum

Otonomi khusus secara bersamaan menyandang dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menyebut-

status istimewa. Status istimewa bagi Provinsi kan bahwa: “Negara mengakui dan menghorma-

Aceh disematkan oleh Pemerintah seiring de- ti satuan-satuan pemerintahan daerah yang ber-

ngan disahkannya Undang-Undang Nomor 44 Ta- sifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

hun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewa- dengan undang-undang”. Rumusan Pasal 18B

an Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Adapun hal- ayat (1) tersebut secara nyata menunjukkan

hal pokok yang ditetapkan dalam Undang-Un- bahwa para elit negara ini menyadari akan ke-

dang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, untuk me- ragaman budaya dan sejarah setiap daerah yang

nyelenggarakan keistimewaan Aceh dan tidak ada di Indonesia. 6 diberikan kepada daerah-daerah lainnya di In-

Keragaman budaya maupun sejarah terse- donesia. 8 Hal ini bermakna bahwa provinsi Aceh but telah membuka ruang adanya status daerah

merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang bersifat khusus maupun bersifat istimewa

yang satuan pemerintahan daerahnya menda- kepada satuan pemerintahan tertentu di Indo-

patkan dua buah status secara bersamaan seba- nesia. Perkataan “khusus” memiliki cakupan

gaimana yang diamanatkan dalam Pasal 18B luas, antara lain dimungkinkan untuk memben-

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik tuk pemerintahan daerah dengan otonomi khu-

Indoensia Tahun 1945, yaitu status Istimewa

dan status Otonomi Khusus. manifestasi daripada amanat Pasal 18B ayat (1) konstitusi tersebut menyangkut status satuan

sus seperti Aceh dan Irian Jaya. 7 Sebagai bentuk

Landasan Hukum MPU Aceh

Berdasarkan amanat konstitusi mengenai 6 Kurniawan, “Eksistensi Masyarakat Hukum Adat dan

status satuan pemerintahan yang bersifat khu- Lembaga-Lembaga Adat di Aceh dalam Penyelenggaraan

sus atau bersifat istimewa sebagaimana yang Keistimewaan dan Otonomi Khusus di Aceh”, Jurnal Hu-

kum YUSTISIA, Vol. 84 No. 22 September - Desember 7 2012,Surakarta: FH UNS, hlm. 49. Husni Jalil, dkk, “Implementasi Otonomi Khusus di Pro-

8 Mohammad Daud Yoesoef, “Qanun Sebagai Aturan Pe- vinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

laksana Peraturan Perundang-Undangan Atasan”, Jurnal 2006”,Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 51 Tahun XII

Ilmu Hukum KANUN, No. 47 Tahun IX Agustus 2009, Agustus 2010,Aceh: FH UNSIYAH,hlm. 206-207.

Aceh: FH UNSIYAH, hlm. 178.

Aspek Hukum Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tentang Aliran Sesat 313

diatur dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang sideran menimbang huruf a, huruf b dan huruf c Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut, maka untuk Aceh dikeluarkanlah Un-

tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi dang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Pe-

Daerah Istimewa Aceh. Pertama, bahwa sejarah nyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah

panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan Istimewa Aceh. Undang-Undang Nomor 44 Ta-

adanyaketahanan dan daya juang yang tinggi, hun 1999 tersebut hakikatnya telah mengama-

yang bersumber dari kehidupan yang religius, natkan kepada Aceh untuk menyelenggarakan

adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat keistimewaan yang salah satunya penyelengga-

dalam menghadapi kaum penjajah; kedua, bah- raan kehidupan beragama (syari’at Islam), se-

wa kehidupan religius rakyat Aceh yang telah bagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 3 ayat

membentuk sikap pantang menyerah dan sema- (2) menyebutkan bahwa:

ngat nasionalisme dalam menentang penjajah Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:

dan mempertahankan kemerdekaan merupakan

a. Penyelenggaraan kehidupan beragama; kontribusi yang besar dalam menegakkan Nega-

b. Penyelenggaraan kehidupan adat; ra Kesatuan Republik Indonesia meskipun rakyat

c. Penyelenggaraan pendidikan; dan

d. Peran ulama dalam penetapan kebija- Aceh kurang mendapat peluang untuk menata kan Daerah.

diri; ketiga, bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah

Keistimewaan yang dimaksud dalam Un- menempatkan ulama pada peran yang terhor- dang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut

mat dalam kehidupan bermasyarakat, berbang- adalah kewenangan khusus untuk menyelengga-

sa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikem- rakan kehidupan beragama, adat, pendidikan,

bangkan bersamaan dengan pengembangan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan

pendidikan. Ketiga dasar petimbangan sejarah Daerah sebagaimana yang dijelaskan dalam Pa-

tersebut yang menjadi pertimbangan pemerin- sal 1 angka 8. Istilah “Keistimewaan” sebagai-

tah sehingga menetapkan status keistimewaan mana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor

bagi Aceh sebagai manifestasi tuntutan kehen-

44 Tahun 1999 tersebut merupakan pengakuan dak para pemimpin Aceh di masa lalu yang be- dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada

lum terpenuhi secara utuh. daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki

Undang-undang No. 44 Tahun 1999 terse- masyarakat yang tetap dipelihara secara turun

but dijadikan sebagai landasan hukum atau alas temurun sebagai landasan spiritual, moral dan

hak bagi Pemerintah Aceh dalam memben-tuk kemanusiaan sebagaimana yang diamanatkan

beberapa lembaga keistimewaan dalam rangka dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun

manifestasi dari status istimewa yang telah di- 1999.

berikan dengan telah disahkannya Undang-Un- Diformalisasikannya syari’at Islam dalam

dang Nomor 44 Tahun 1999. Beberapa lembaga penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh

keistimewaan tersebut adalah sebagai berikut: sebagai bentuk keistimewaan yang diberikan

Dinas Syari’at Islam, Wilayatu Hisbah (WH) atau Pemerintah kepada Aceh tersebut bukan secara

Polisi Syari’ah, Mahkamah Syari’ah, Majelis Per- tiba-tiba(plotseling) dan tanpa sebab maupun

musyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Majelis Pen- pertimbangan (zonder rekening te houden),

didikan Daerah (MPD), Majelis Adat Aceh (MAA) melainkan secara fundamental karena ada fak-

dan Baitul Maal.

tor pertimbangan sejarah (historical cinsidera- Kelembagaan MPU Acehsebagaimana yang

disebutkan diatas dibentuk melalui Pera-turan pertimbangan sejarah tersebut yaitu karena ti-

tion)dimasa masa lalu yang panjang. 9 Dasar

Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 ten-

ga hal sebagaimana yang tercantum dalam kon- tang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi Dae-

9 Kurniawan, “Dinamika Formalisasi Syari’at Islam di In- donesia”, Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 58 Tahun XIV

rah Istimewa Aceh. Keberadaan Lembaga MPU Desember 2012,Aceh: FH UNSIYAH, hlm. 453.

314 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014

Aceh merupakan sebagai instrumen untuk me- mor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran laksanakan status keistimewaan Aceh dalam bi-

Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dang peran ulama dalam penetapan kebijakan

Nomor 4); ketiga, Qanun Aceh Nomor 11 Tahun daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam

2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Pasal 3 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor

Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam; keempat, Qa-

44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keisti- nun Aceh Nomor 12 Tahun 2003 tentang Lara- mewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. 10 ngan Khamar; kelima, Qanun Aceh Nomor 13

Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2003 tentang Maisir; keenam, Qanun Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi

Aceh Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat; dan Tata Kerja Mejelis Permusyawaratan Ulama

ketujuh, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2004 ten- Provinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut selan-

tang Pengelolaan Zakat; kedelapan, Qanun jutnya diubah dengan Peraturan Daerah Istime-

Aceh Nomor 11 Tahun 2004 tentang Fungsional wa Aceh Nomor 43 Tahun 2001 tentang Peruba-

Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam; han Atas Peraturan Daerah Provinsi Daerah Isti-

kesembilan, Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 mewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pem-

tentang Majelis Permusyawaratan Ulama. bentukan Organisasi dan Tata Kerja Mejelis Per-

Undang-undang No. 44 Tahun 1999 ten- musyawaratan Ulama Provinsi Daerah Istimewa

tang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh. Pada Tahun 2009, kedua Peraturan Dae-

Daerah Istimewa Aceh telah menempatkan Pro- rah tersebut dicabut dan dinyatakan tidak ber-

vinsiAceh sebagai satu-satunya daerah di wila- laku lagi seiringdengan telah disahkannya Qa-

yah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang nun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis

secara hukum mendapat pengakuan formal (Le- Permusyawaratan Ulama.

gal Formal Recognation) akan berlakunya pelak- Pemerintah Aceh telah mengeluarkan be-

sanaan syari’at Islam dalam rangka manifestasi berapa peraturan daerah atau Qanun Aceh se-

daripada jaminan pengakuan negara terhadap bagai peraturan lanjutan atau peraturan orga-

satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersi- nik yang ditujukan untuk melaksanakan secara

fat khusus dan istimewa sebagaimana yang di- teknis alam penyelenggaraan keistimewaan ter-

amanatkan dalam Pasal 18B ayat (1) UUD sebut yang salah satunya menyangkut dengan

1945. 12 Guna memperkuat keberadaan penye- penyelenggaraan kehidupan beragama dan juga

lenggaraan keistimewaan Aceh dibawah rezim menyangkut adanya peran ulama dalam pe-

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut

sekaligus guna memberi kewenangan yang luas ran lanjutan atau peraturan organik tersebut

netapan kebijakan daerah. 11 Beberapa peratu-

dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi sebagai pijakan dasar dalam penerapan syari’at

Daerah Istimewa Aceh, sesuai dengan amanat Islam secara menyeluruh adalah sebagai beri-

TAP MPR No. IV/MPR/1999 maka disahkan Un- kut. Pertama, Peraturan Daerah Provinsi Daerah

dang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pe-

Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa laksanaan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Pro-

Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darus- vinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor

salam. 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 30); kedua, Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe

pada prinsipnya mengatur kewenangan yang Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang

bersifat khusus kepada Pemerintah Provinsi Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Pro-

Nanggroe Aceh Darussalam yang berbeda dari vinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 No-

kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana 10 Zainal Abidin, “Pemberlakuan Syari’at Islam sebagai Hu-

kum Positif di Provinsi Aceh”, Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Sosial dan Kemasyarakatan MONDIAL, Vol. 12 No. 21

12 Kurniawan, “Demokrasi dan Konstitusionalisme Hukum Januari - Juni 2010, Aceh: UPT Perpustakaan UNSIYAH,

Islam di Indonesia”,Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 55 11 hlm. 134. Danial dkk, “Pelaksanaan Syari’at Islam dan Kekerasan

13 Tahun XIII Desember 2011,Aceh: FH UNSIYAH, hlm. 380. Hasan Basri, “Kedudukan Syari’at Islam di Aceh Dalam di Aceh”, Jurnal Kajian Aceh Seumike’, Vol. 3 No. 1

Sistem Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum KANUN, November 2007,Aceh: Aceh Institute Press, hlm. 62.

No. 55 Tahun XIII Desember 2011, hlm. 319.

Aspek Hukum Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tentang Aliran Sesat 315

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 kan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik In- Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 14 donesia pada masa revolusi fisik. Perjuangan

Keberadaan status keistimewaan bagi dan pengorbanan rakyat Aceh dalam memper- Aceh semakin menghujam kedalam sistem hu-

tahankan kemerdekaan RI melalui peran ulama kum nasional dengan lahirnya Undang-Undang

yang sangat dominan dan masif, telah menem- Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

patkan Aceh sebagai salah satu daerah yang Aceh menggantikan Undang-Undang Nomor 18

memiliki kedudukan tersendiri. Tahun 2001 tersebut.Undang-Undang Nomor 11

Penghayatan terhadap ajaran Islam yang Tahun 2006 merupakan hasil kesadaran yang

telahmelekat tersebut melahirkan budaya Aceh kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Mer-

yang tercermin dalam kehidupan adat sehingga deka (GAM) untuk menyelesaikan konflik secara

tergambarkan dalam hadis majah (kata-kata bi- damai, menyeluruh, berkelanjutan serta ber-

jak) yaitu: “Adat bak poteumeureuhom, hukom martabat yang permanen dalam kerangka NK-

bak Syiah Kuala, Qanun bak putroe Phang, reu- RI. 15 Namun, materi muatan yang terkandung

sam bak laksamana”. Kalimat tersebut bermak- dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

na bahwa: ”hukum adat ditangan pemerintah, tersebut mempunyai beberapa perbedaan sig-

dan hukum syari’at ditangan ulama”. 17 Untaian nifikan dengan materi muatan yang terkandung

kata-kata sebagai-mana yang terdapat dalam dalam Memorendum of Understanding (MoU)

hadis maja tersebut merupakan pencerminan yang ditandatangani oleh para pihak (Peme-

dan perwujudan syari’at Islam dalam praktik rintah dan Wakil GAM). 16 kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Aceh. 18 Selanjutya oleh karena letaknya di wilayah pa-

Keistimewaan Aceh dalam Lintasan Sejarah

ling barat, maka Aceh dikenal sebagai Daerah Perjalanan sejarah praktek ketatanegara-

Serambi Makkah dimana kaum muslimin dari an di Indonesia telah menempatkan Aceh seba-

berbagai wilayah di Nusantara berangkat ke Ta- gai pemerintahan yang bersifat istimewa dan

nah Suci Makkah untuk menunaikan rukun Islam khusus. Pemberian kedua status tersebut ter-

yang ke-lima.

kait dengan katakter khas sejarah perjuangan Semenjak Islam lahir pada abad VI, Aceh masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan

merupakan tempat pertama yang menerima Is- daya juang tinggi bersumber dari pandangan

lam di Asia Tenggara. Menurut catatan pengem- hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang

bara barat, Aceh menjadi sebuah kerajaan Is- melahirkan budaya Islam yang kuat.

lam pada abad XIII Masehi, yang selanjutnya Kehidupan rakyat Aceh yang religius telah

berkembang menjadi sebuah kerajaan yang ma- membentuk sikap pantang menyerah dan me-

ju pada abad XIV Masehi yang selanjutnya ber- miliki semangat nasionalisme yang kuat dalam

kembang ke seluruh Asia Tenggara. 19 Pada seki- mempertahankan kemerdekaan, sehingga me-

tar abad XV Masehi ketika bangsa barat memu- nempatkan Aceh menjadi daerah modal bagi

lai petualangannya di wilayah timur, hampir se- perjuangan dalam merebut dan mempertahan-

bagian besar wilayah nusantara berhasil dikua- sai, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah

14 Eddy Purnama, “Refleksi Otonomi Khusus Berdasarkan

kerajaan yang berdaulat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006“, Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Sosial dan Kemasyarakatan MONDIAL, Vol. 12 No. 21 Januari - Juni 2010, Aceh: UPT Perpustaan UNSI-

15 YAH, hlm. 3. Taqwaddin, “Kewenangan Mukim dalam Pengelolaan Sulaiman, “Keadilan Bagi Korban Pelanggaran Berat

Sumber Daya Alam”,Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 48 HAM Masa Lalu di Aceh”, Jurnal Hukum dan Keadilan

18 MEDIASI, Vol. 1 No. 3 September 2011, Aceh: UNMUHA, Tahun 9 Desember 2009, Aceh: FH UNSIYAH, hlm. 328. Malik Musa, “Kewenangan, Peran, dan Tugas Lembaga hlm. 33.

Tuha Peut di Aceh”, Jurnal Hukum dan Keadilan ME- 16 Galuh Wandita, Patrick Burgess, “Minum Kopi Pahit Asli

DIASI, Vol. 1 No. 3 Mei 2011. Aceh: FH UNMUHA, hlm. 3. Aceh: Membuka Jendela-jendela Pertanggungjawaban

19 Teuku Muttaqin Mansur, Faridah jalil, “Aspek Hukum Atas Kekerasan Masa Lalu”, Jurnal Kajian Aceh Seumi-

Peradilan Adat di Indonesia Periode 1602-2009”, Jurnal ke’, Vol. 4 No. 21 Februari 2009,Aceh: Aceh institute

Ilmu Hukum KANUN, No. 59 Tahun XIV April 2013, Aceh: Press, hlm. 29.

FH UNSIYAH, hlm. 65.

316 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014

Hubungan Kerajaan Aceh Darussalam de- sebut yaitu: Tgk. H. Jakfar Lamjabat, Tgk. H. ngan Kerajaan Belanda tercatat dalam percatu-

Muhammad Hasan Krueng Kalee, Tgk. H. Ahmad ran internasional cukup baik, namun pada abad

Hasballah Indera Puri, dan Tgk. H. Muhammad

XVI hubungan diantara kedua kerajaan tersebut

Daud Beureueh. 25

mengalami krisis. 20 Meski demikian dalam Trak- Seluruh wilayah Republik Indonesia, pada tat London 17 Maret 1824, Pemerintah Belanda

akhir tahun 1948 telah berhasil diduduki oleh berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap

Kerajaan Belanda ketika dilancarkannya agresi

Militer Belanda Kedua, kecuali daerah Aceh. pat puluh tujuh tahun kemudian, dengan berba-

menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. 21 Em-

Oleh karena itu, maka Soekarno menem-patkan gai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk

Aceh sebagai “Daerah Modal” untuk memperta- tidak menghalangi menguasai Aceh melalui

hankan kemerdekaan Negara Indonesia yang te-

lah diproklamasikan pada tahun 1945. Presiden kemudian (1873) Kerajaan Belanda menyerang

Traktat Sumatra 1 November 1871. 22 Dua tahun

Soekarno dalam beberapa waktu berkunjung ke Aceh dan berkobarlah peperangan yang ber-

Aceh dalam upaya merebut simpati rakyat Aceh langsung puluhan tahun dengan menalan korban

untuk terus mengobarkan semangat melawan

yang banyak diantara kedua belah pihak. 23 Se-

kolonialisme Belanda.

jak saat itu hingga perang dunia kedua, Keraja- Presiden Soekarno dalam sebuah pidato- an Belanda telah kehilangan enam jenderal dan

nya di Lapangan Blang Padang, Kuta Raja (saat ribuan perwiran dan para prajurit.

ini bernama kota Banda Aceh) tanggal 17 Juni Komitmen kebangsaan rakyat Aceh ter-

1948, di depan lebih dari 100 ribu rakyat Aceh hadap Republik Indoneisa tidak pernah surut

yang datang telah membakar semangat perjua- dalam perjalanan sejarah kemerdekaan Indone-

ngan rakyat Aceh dalam kobaran garangnya ora- sia. Setelah Proklamasi kemerdekaan, para pe-

si heroik patriotik dengan kutipan kata sebagai muda Aceh umumnya ikut dalam perjuangan

berikut: 26

untuk membela negara dengan turut bergabung “Dari ribuan kilometer aku datang ke sini dalam Tentara keamanan Rakyat (TKR) yang se-

spesial untuk bertemu dengan rakyat lanjutnya berubah menjadi Tentara Rakyat In-

Aceh yang terkenal sebagai satu rakyat yang selalu berjuang untuk kemerdekaan,

donesia(TRI) selanjutnya berubah menjadi ten- yang selalu menjadi kampiun dan pelopor tara Nasional Indonesia (TNI). Dua bulan setelah

perjuangan kemerdekaan rakyat Indone- Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17

sia. Segenap rakyat Indonesia di Tanah Agustus 1945, tepatnya tanggal 7 Oktober 1945,

Jawa, Sumatra, Sunda Kecil, Kalimantan, empat orang ulama besar Aceh mengeluarkan

Sulawesi, dan pulau-pulau lainnya menga- rahkan matanya kepada saudara-saudara.

fatwa yang menegaskan bahwa: Pokoknya, saudara punya perjuangan se- “bagi kaum Muslimin yang berperang un-

karang ini ialah perjuangan menyelamat- tuk mempertahankan cita-cita proklama-

kan Republik Indonesia, republik yang se- si yang apabila ia meninggal dalam pe-

karang menjadi kecil sesudah terjadi-nya rang tersebut akan mendapatkan pahala

perang kolonial pada Juli 1947 tahun lalu, syahid”. 24 tetapi dengan Aceh menjadi Daerah Mo-

dal seluruh wilayah Republik Indonesia Keempat ulama besar tersebut juga mengan-

akan kita rebut kembali.Terus saudara- jurkan rakyat berdiri teguh di belakang pemim-

saudara tidak salah sangka aku, semangat pin bangsa Indonesia yang sedang berjuang. Ada

Aceh memang bergelora, menjadi modal pun keempat ulama Aceh yang melegenda ter-

bagi perjuangan bangsa Indonesia”. Pada tanggal 16 Juli 1948, Presiden Soe-

20 Kaoy Syah, 2004, Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan karno mengunjungi Aceh dan mengumpulkan Sejarah, Jakarta: Pengurus Besar Al-Jami’iyatul Washli-

para tokoh dan pedagang Aceh untuk mengga- 21 yah, hlm. 2. 22 Ibid. Ibid.

Ibid., hlm. 64.

Ibid., hlm. 63 - 64.

26 Ibid., hlm. 64 - 65.

Aspek Hukum Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tentang Aliran Sesat 317

lang kekuatan dan bantuan untuk mendukung untuk memberikan kebebasan kepada rakyat perjuangan dalam mempertahankan kemerde-

Aceh melaksanakan unsur-unsur syari’at Islam kaan Indonesia. Presiden Soekarno memberikan

dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan. 29 Be- pidato politiknya di Pendopo Residen Aceh ber-

rikut dialog antara Presiden Soekarno dengan kata: 27

Tgk. Abu Daud Beureu’eh yang dikutip dari bu- “hanya jikalau negara Indonesia telah

ku Referendum Aceh dalam Pantauan Hukum berdiri dengna isinya, jikalau sang merah

Karya Sofyan Ibrahim Tiba S.H. sebagai beri- putih telah berkibar di seluruh kepulauan

kut: 30

Indonesia, barulah kita boleh berkata bahwa revolusi nasional kita telah selesai.

Presiden Soekarno (PS): “Saya meminta Saya tahu rakyat Aceh adalah pahlawan.

bantuan Kakak (Daud Beureu’eh), agar Aceh selalu menjadi contoh teladan bagi

rakyat Aceh turut mengambil bagian da- perang kemerdekaan, contoh perang ke-

lam perjuangan bersenjata yang sekarang merdekaan seluruh rakyat Indonesia. Se-

sedang berkobar antara Indonesia dengan luruh rakyat Indonesia melihat ke Aceh,

Belanda untuk mempertahankan kemer- mencari kekuatan batin dari Aceh, dan

dekaan yang telah kita proklamirkan pada Aceh menjadi obor perjuangan rakyat

tanggal 17 agustus 1945.” Indonesia”.

Daud Beureu’eh (DB): “Saudara Presi- den! Kami rakyat Aceh dengan segala se- nang hati dapat memenuhi permintaan

Rapat raksasa tangal 18 Juli 1948 di Bi- Presiden, asal saja perang yang akan kami reuen, Presiden soekarno sekali lagi berpidato

kobarkan itu, berupa perang sabil atau di depan lebih seratus ribu rakyat Aceh berka-

perang fii sabilillah, perang untuk mene- ta: 28

gakkan agama Allah, sehingga kalau ada “Aku ingin bertemu muka dengan rakyat

di antara kami yang terbunuh dalam pe- Aceh yang selalu menjadi kenanganku,

perangan tersebut berarti mati syahid”. rakyat yang tidak mau dijajah Belanda....

PS: “Kakak! Memang yang saya maksud Rakyat yang telah mengalahkan tentara

itu adalah perang seperti yang telah Belanda.... yang telah mengadakan per-

dikobarkan oleh para pahlawan Aceh yang juangan mati-matian, bertempur, meno-

terkenal seperti Tengku Chikditiro dan lak dan menahan imperialisme Belanda

lain-lain, yaitu pe-rang yang tidak kenal masuk ke Daerah Aceh, sehingga karena-

mundur, perang yang bersemboyan ‘mer- nya Aceh menjadi Daerah Modal Re-

deka atau syahid”.

publik Indonesia......”. DB: “kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada

Paska kunjungan Presiden Soekarno ke Saudara Presiden, bahwa apabila perang Aceh tersebut berdasarkan himbaun Soekarno

telah usai nanti, kepada rakyat Aceh di- dengan ditopang oleh pengaruh kharismatik

beri kebebasan untuk menjalankan sya- Tgk. Abu Daud Ber’euh (sebagai ulama sekaligus

ri’at Islam dalam daerahnya”. pimpinan militer), akhirnya semua anggota ma-

PS: “Mengenai itu Kakak tidak usah kha- watir, sebab 90% rakyat Indonesia beraga-

syarakat terutama para pedagang mengumpul-

ma Islam”.

kan dana dan emas untuk membeli sebuah ka- DB: Maafkan saya Saudara Presiden, kalau pal terbang sebagai sarana bagi pemimpin Indo-

saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu nesia untuk melakukan lobi-lobi secara masif di

tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami- tingkat internasional dalam upaya mendapatkan

kami menginginkan satu kata ketentuan dari Saudara Presiden”.

simpatik dari berbagai peimimpin dunia. PS: “Kalau demikian baiklah saya setuju Tokoh Aceh yang menjadi Gubernur Mili-

permintaan Kakakku”. ter ketika itu Tgk. M. Daud Beureu’eh sebelum

DB: “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Soekarno kembali Ke Ibu Kota Jakarta,meminta

Aceh saya mengucapkan terimakasih ba- jaminan dari Presiden RI pertama Ir. Soekarno

nyak atas kebaikan hati Saudara Presiden.

29 Ibid., hlm.98.

27 Ibid., hlm.64. 30 Sofyan Ibrahim Tiba dalam Kaoy Syah, Ibid., hlm. 98 - 28 Ibid., hlm.65.

318 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014

Kami mohon (sambil menyodorkan secer- tiap pertempuran melawan imperialisme Belan- cik kertas kepada Presiden Soekarno), su-

da bahkan Kerajaan Belanda kehilangan Jen- di kiranya Saudara presiden menulis sedi-

deral Kohler pada pertempuran di seputar loka- kit di atas kertas ini”. si Masjid Raya Baiturrahman (Masjid Bersejarah

Mendengar ucapan Beureu’eh tersebut, lang- di Aceh yang terletak di Kuta Raja yang seka- sung Soekarno menangis terisak-isak. Air mata-

rang bernama Kota banda Aceh). nya yang mengalir di pipinya membasahi baju-

Aceh merupakan satu-satunya daerah di nya. Dalam keadaan terisak-isak tersebut, Soe-

Indonesia yang bebas dari pendudukan Belanda karno berkata:

di masa revolusi fisik (1945–1949). Situasi terse- “Kakak, kalau begitu tak ada gunanya aku

but menyebabkan Aceh dapat dengan leluasa jadi Presiden. Apa gunanya jadi Presiden

membantu wilayah Sumatara Timur pada front jika tidak dipercaya”. Langsung saja Daud

Medan Area. Situasi tersebut juga dimanfaatkan Beureu’eh menjawab “Bukan kami tidak

oleh Duta Besar L.N Palar di Perserikatan Bang- percaya Saudara Presiden, akan tetapi

hanya sekedar menjadi tanda yang akan sa Bangsa (PBB) atau DR. Sudarsono sebagai kami perlihatkan kepada rakyat Aceh

Diplomat yang menghubungi India untuk menun- yang nantinya akan berjuang”. Lantas

jukkan kepada dunia internasional bahwa Repu- Soekarno sambil menyeka air matanya,

blik Indonesia dapat bertahan bahkan masih berkata: “Wallah Billah, kepada daerah

memiliki Aceh yang tetap tegak kokoh tanpa ja- Aceh nanti akan diberikan hak untuk me-

nyusun rumah tangganya sendiri sesuai mahan Kerajaan Belanda sedikitpun yang secara

de facto dan de jure memiliki luas dan lebih pergunakan pengaruh saya agar rakyat

dengan Syariat Islam. 31 Wallah, saya akan

besar daripada negeri Belanda. 35 Aceh benar-benar nanti dapat melak-

32 sanakan syari’at Islam dalam daerahnya. Berkat kontribusi Aceh dalam memper- tahankan kemerdekaan sekaligus guna meme-

Nah, apakah kakak masih ragu-ragu? dan dijawab oleh Daud Beureu’eh; “Saya

nuhi janji presiden Soekarno, maka pada tahun

1949atas nama Presiden, Wakil Perdana Menteri lagi atas nama rakyat Aceh saya mengu-

tidak ragu lagi Saudara Presiden. 33 Sekali

menetapkan Peraturan Wakil Perdana Menteri capkan terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden”. 34

Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 8/Des/ WKPM/1949 tertanggal 17 Desember 1949 ten-

Cuplikan potongan pembicaraan antara Presi- tang Pembentukan Provinsi Aceh, yang dengan den Soekarno dan Daud Beureu’eh selaku Ulama

itu dinyatakan Aceh sebagai satu provinsi yang Karismatik Aceh yang juga sebagai Gubernur Mi-

berdiri sendiri yang lepas dari Provinsi Suma- tera Utara. liter Aceh pada masa itu memperlihatkan bah- 36 Namun akhirnya, setelah Republik

wa eksistensi serta peran startegis Ulama di Indonesia kembali ke negara kesatuan, melalui Aceh memiliki dominasi yang sangat kuat dalam

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-un- setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh

dang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Pembentuk- masa itu maupun jauh hari sebelumnya. Setelah

an Provinsi SumateraUtara sebagai daerah oto- pertemuan di antara kedua tokoh tersebut, de-

nom yang mulai berlaku 15 Agustus 1950, status ngan segenap pengaruh dan kharismatik yang

daerah Aceh kembali ditetapkan menjadi salah dimiliki oleh Daud Beureu’eh telah menyakin-

satu karesidenan dalam Provinsi Sumatera Uta- kan seluruh rayat Aceh bahwa perang yang se-

ra, selain Sumatera Timur dan Tapanuli. 37 dang dan yang terus dilakukan kedepan oleh

Ketetapan ini menimbulkan kekecewaan rakyat Aceh adalah perang Fii Sabilillah (perang

yang mendalam di kalangan pemimpin dan rak- dalam membela agama Allah), maka seluruh

yat Aceh, yang pada akhirnya menimbulkan ge- rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam se-

jolak perlawanan pada bulan September 1953

36 Hardi dalam Kaoy Syah, Ibid., hlm. 66. 32 Ibid., hlm. 99.

Husni Jalil, 2005, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Ibid.

Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan RI

34 Ibid. Berdasarkan UUD 1945, Bandung: CV. Utomo, hlm. 179. Ibid.

37 Ibid., hlm. 186.

Aspek Hukum Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tentang Aliran Sesat 319

yang melibatkan hampir seluruh rakyat Aceh dengan label Darul Islam/Tentara Islam Indo- nesia (DI/TII) yang langsung dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureu’eh.Pada saat dideklarasikan, Aceh disebut sebagai Negara Bagian Aceh dari Negara Islam Indoensia (NBA-NII). Adapun DI/TII dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwir- yo.

Berdasarkan Status nama pemberontakan Aceh memiliki makna bahwa pemberontakan yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureu’eh bu- kan menjadikan Aceh sebagai negara sendiri terpisah dari Indonesia, melainkan masih se- bagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Hal ini bermakna bahwa pemberontakan di Aceh masa itu bukan merupakan pemberontakan da- lam artian separatis, melainkan bentuk perla- wanan terhadap kekuasaan negara yang sah yang telah mengecewakan rakyat Aceh. Dalam situasi tersebut para elit Partai Komunis Indo- nesia (PKI) turut bermain dalam menyulut keke- cewaan rakyat Aceh guna memperlemah rezim Soekarno sebagai upaya percepatan transforma- si ideologi komunis ke Republik Indonesia mela- lui perebutan kekuasaan secara tidak sah (kude- ta).

Empat tahun dalam pertikaian antara Pe- merintah dengan rakyat Aceh akhirnya mem- buat Pemerintah menyadari bahwa pemberon- takkan Aceh melawan Pemerintah Indonesia memang sia-sia karena harus perang saudara, perang dengan saudar-saudara seiman dan sau- dara-saudara yang telah memilik andil besar dalam upaya mempertahankan kemerdekaan In- donesia dari imperialisme Belanda ketika masa revolusi fisik. Dalam upaya menampung aspirasi dan tuntutan rakyat Aceh tersebut, Pemerintah menetapkan kembali status Karesidenan Aceh menjadi daerah otonom Provinsi Aceh melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatra Utara, dimana Ali Hasymy diangkat se- bagai Gubernur/Kepala Daerah Aceh berdasar- kan ketetapan Presiden No. 615/M/1957 tang- gal 5 januari 1957. 38

38 Husni Jalil, op.cit., hlm. 194.

Perjalanan ketatanegaraan Indonesia me- miliki aneka ragam ideologi dan kepentingan telah mendorong Presiden Soekarno mengena- bangkan Manifesto politik dengan poros Nasio- nal-Agama dan Komunis (NASAKOM). Melalui konsep NASAKOM inilah selanjutnya memberi ruang kepada ideologi Komunis untuk memben- tuk Partai dengan nama Partai Komunis Indo- nesia (PKI) dan turut terlibat dalam penyeleng- garaan pemerintahan negara.

Kebijakan politik tersebut menimbulkan penolakan dan reaksi keras dari sebagian besar rakyat di seluruh Indonesia, terutama dari me- reka di daerah-daerah yang memiliki basis Islam yang kuat seperti di Sumatra Barat dengan na- ma Dewan Banteng dipimpin oleh Kolonel Ah- mad Husein, di Sumatra Selatan dengan nama Dewan Gajah, di Sulawesi dengan nama Per-

juangan Semesta (Permesta). 39 Pemberontakan semakin meluas melebihi pemberontakan DI/TII di Aceh, yaitu pemberontakan Pemerintah Re- volusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Per- juangan Semesta (Permesta) yang dipimpin oleh para Panglima Militer di daerah-daerah. Di Su- matra Barat dipimpim oleh Ahmad Husein, di Sumatra dipimpin oleh Sombolon, di Sumatra Selatan dipimpin oleh Barlian dan di Sulawesi dipimpin oleh Kawilarang.

Pemberontakan yang berkepanjangan dan meluas tersebut akhirnya menimbulkan krisis nasional dan instabilitas keamanan nasional. Situasi tersebut yang kemudian membuat Pre- siden Soekarno menyatakan negara dalam ke- adaan bahaya (SOB). Dalam upaya mengantisi- pasi situasi krisis dan pemeliharaan keamanan pada tingkat pusat di bentuk Penguasa Perang Daerah (Peperda) yang dipimpin oleh para Panglima KODAM dengan Gubernur sebagai wa- kilnya. Upaya lain yang dilakukan oleh Peme- rintah menuju penyelesaian masalah keamanan salah satunya di Aceh secara menyeluruh adalah dengan mengirimkan satu misi khusus di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri yang mem-berikan status Daerah Istimewa melalui Keputu-san Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 yang mulai berlaku tanggal

39 Kaoy Syah, op. cit., hlm. 64 - 65.

320 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014

26 Mai 1959, yang isinya tentang Keistimewaan Provin-si Aceh yang meliputi bidang agama, keistime-waan

bidang

peradatan,

dan keistimewaan bi-dang pendidikan. 40 Ditinjau

dari aspek sejarah, Surat Keputusan Perdana Menteri Republik In-donesia Nomor I/Missi/1959 tersebut merupa-kan tonggak sejarah bagi eksistensi Ulama be-serta dengan perlembagaan ulama di Aceh pas-ka kemerdekaan sekaligus sebagai

cikal bakal

lahirnya

Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam mengisi keistimewaan Aceh dalam bidang agama dan peran ulama dalam penetapan ke-bijakan daerah.

Status keistimewaan Aceh selanjutnya se- makin diperkuat dengan hadirnya Undang-Un- dang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyeleng- garaan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang meliputi: penyelenggaraan kehidup- an beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Secara filo- sofis, lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tersebut dalam rangka memberikan lan- dasan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh da- lam mengatur urusan-urusan yang telah men- jadi keistimewaannya melalui kebijakan Dae- rah.

Untuk memperkuat keberadaan penye- lenggaraan keistimewaan Aceh dibawah rezim Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh sekaligus guna memberi kewena- ngan yang luas dalam menjalankan pemerintah- an bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, maka disusun kelembagaan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh melalui Peraturan Daerah Is- timewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pem- bentukan Organisasi dan Tata Kerja Mejelis Per- musyawaratan Ulama Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Seiring dengan perjalanan waktu yang menghendaki adanya penyesuaian perkembang- an dan kebutuhan di lapangan, selanjutnya Per- aturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 3 Tahun 2000 tersebut dicabut dengan telah disahkan-

40 Darmawan, “Kedudukan Hukum Adat dalam Otonomi Khusus”, Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 51 Tahun XII

Agustus 2010, Aceh: FH UNSIYAH, hlm. 332.

nya Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama.

Keberadaan kelembagaan MPU Aceh ter- sebut merupakan instrument untuk melaksana- kan status keistimewaan Aceh dalam bidang pe- ran ulama dalam penetapan kebijakan daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 44 Ta- hun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewa- an Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam upaya menyempurnakan pelaksanaan keistimewaan Aceh tersebut maka pada tahun 2001 disahkan- nya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ten- tang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Is- timewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian bermakna bahwa Provinsi Aceh selain melekat status istimewa secara bersamaan juga melekat daerah dengan status Otonomi Khusus (Otsus).

Berdasarkan kewenangan otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh melalui Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2001, maka pluralisme penerapan hukum di Aceh pun mulai diakui dan

diberlakukan kembali. 41 Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2001 tersebut akhirnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi seiring dengan te- lah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Ta- hun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kelahir- an Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 meru- pakan bahagian upaya dari kedua pihak (Peme- rintah dan Gerakan Aceh Merdeka) untuk pe- nyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh. 42

Aspek dan Implikasi Yuridis Keberadaan Fat- wa MPU Aceh tentang paham atau aliran sesat

Pasal 5 Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama, me- ngamanatkan bahwa:

Wewenang Majelis Permusyawaratan Ula- ma (MPU) Aceh ada dua: (a) menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan; dan (b) memberi-

41 Bakti Siahaan, “Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh Berhadapan Hukum Nasional di Indonesia”,Jurnal Ilmu

Hukum KANUN,No. 47 Tahun IX Agustus 2009, Aceh: FH 42 UNSIYAH, hlm. 245. Sulaiman Tripa, “Membentuk Hukum Bagi Perdamaian Aceh”, Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 56 Tahun XIV April 2012, Aceh: FH UNSIYAH, hlm. 159.

Aspek Hukum Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) tentang Aliran Sesat 321

kan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama lainnya.

Berdasarkan rumusan isi Qanun Aceh tersebut sangat jelas bahwa, wewenang menetapkan fat- wa bagi(PM) Aceh adalah hanya dalam hal ma- salah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan kemasyarakatan. Adapun ter- kait adanya perbedaan pendapat dalam masa- lah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama, MPU hanya diberikan we- wenang untuk memberikan arahan.

Secara yuridis dapat disimpulkan bahwa berdasarkan rumusan Pasal 5 huruf b Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Per- musyawaratan Ulama Aceh, menunjukkan bah- wa Fatwa yang telah dikeluarkan oleh MPU Aceh tentang Paham atau Aliran Sesat dan Me- nyesatkan dalam hal adanya perbedaan pen- dapat dalam masalah keagamaan diantara para ulama (pimpinan dayah) sebagaimana yang ter- jadi beberapa kali di Aceh bukan merupakan kewenangan atau otoritas MPU Aceh. Hal ini mengingat, bahwa kewenangan mengeluarkan fatwa dimiliki MPU Aceh hanya dalam hal masa- lah pemerintahan, pembangunan, ekonomi, so- sial budaya dan kemasyarakatan sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5 huruf a Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009. Menyikapi situasi per- bedaan pendapat masalah keagamaan diantara ulama (pimpinan dayah/pasantren) di Aceh ter- sebut, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sepatutnya memberikan arahan sebagai- mana yang diamanatkan dalam Pasal 5 huruf b Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009, bukannya menetapkan/mengeluarkan fatwa.