BAB I - Alergi hipersensitif diktat1

CTL

Mekanisme IFNγ

IL94

efektor TH1

kemokin, sitokin,

sitotoksin,

sitotoksin

mediator inflamsi

Contoh reaksi Dermatitis Asma kronik, Penolakan hipersensitif

kontak, reaksi alergi rinitis transplan tuberkulin

kronik

. Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I9III dimediasi oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan antigen yang dikenali dan juga kelas dari antibodi yang terlibat pada peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang menginduksi aktivasi sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan reaksi komplemen dan juga sel9sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan fagosit tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang . Reaksi hipersensitif dimediasi oleh kerja sistem imun dan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Sejauh ini dikenal ada empat macam tipe hipersensitif. Tipe I9III dimediasi oleh antibodi dan dibedakan satu sama lain dengan perbedaan antigen yang dikenali dan juga kelas dari antibodi yang terlibat pada peristiwa tersebut. Hipersensitif tipe I dimediasi oleh IgE yang menginduksi aktivasi sel mast. Hipersensitif tipe II dan III dimediasi oleh IgG yang melibatkan reaksi komplemen dan juga sel9sel fagosit. Tingkat keterlibatan komplemen dan fagosit tergantung pada subklas IgG dan sifat antigen yang

IgE diproduksi oleh sel plasma yang terletak pada lymph node dan daerah yang mengalami reaksi alergi, yaitu pada germinal senter pada jaringan yang mengalami inflamasi. IgE berbeda dengan antibodi yang lain dalam hal lokasinya. IgE sebagian besar menempati jaringan dan berikatan dengan permukaan sel mast dengan reseptornya yang disebut FcεRI. Ikatan antigen dengan IgE menyebabkan terjadinya penggabungan silang antar reseptor yang berakibat tersekresinya mediator kimia dari sel mast. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya hipersensitif tipe I. Basofil dan eosinofil yang teraktivasi juga mengekspresikan FcεR sehingga dua macam sel tersebut juga dapat mengikat IgE dan berkontribusi pada munculnya reaksi hipersensitif tipe I. Agar IgE dapat terbentuk memerlukan antigen serta rute presentasi tertentu. TH2 yang merupakan subset CD4 dapat membelokkan sisntesis isotipe antibodi dari bentuk IgM menjadi IgE. Pada manusia TH2 dari subset CD4 dapat mengubah sintesis antibodi dari IgM menjadi IgG2 dan IgG4 dan pada mencit dari IgM menjadi IgG1 dan IgG3. Antigen yang secara khusus dapat mempengaruhi TH2 untuk membelokkan sintesis antibodi menjadi IgE disebut alergen.

Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh protein alergen kecil yang terhirup dan memicu produksi IgE pada individu yang peka. Kita sering menghirup berbagai macam protein namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE. Ada beberapa kriteria Secara umum manusia yang mengalami alergi disebabkan oleh protein alergen kecil yang terhirup dan memicu produksi IgE pada individu yang peka. Kita sering menghirup berbagai macam protein namun tidak menginduksi tersintesisnya IgE. Ada beberapa kriteria

merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai potensi menimbulkan alergi dari serbuk sarinya. Diperkirakan setiap tahun seseorang menerima paparan melalui inhalasi tidak melebihi 1?g. Namun demikian, paparan tersebut dapat menimbulkan iritasi dan bahkan mengancam hidup seseorang yang peka. Reaksi itu diperantarai oleh antibodi IgE yang sekresinya dipacu oleh TH2. Sangat penting untuk diketahui bahwa hanya orang9orang tertentu yang merespon substansi tersebut dan membuat antibodi IgE melawan substansi itu, namun tidak bagi yang lain.

Nampaknya kehadiran antigen transmukosa pada level yang sangat rendah merupakan cara yang sangat efisien menginduksi respon IgE yang dipacu oleh TH2. Produksi antibodi IgE memerlukan bantuan TH2 yang mensekresi IL94 dan IL913. Peran TH2 dapat dihambat oleh TH1 yang memproduksi interferon9γ (IFN9 γ). Presentasi antigen pada dosis yang sangat rendah akan memungkinkan terjadinya aktivasi TH2 dan tidak menyebabkan aktivasi TH1, dan banyak alergen yang masuk sistem respirasi dengan dosis yang sangat rendah. APC yang dominan pada sistem respirasi adalah sel dendritik. Sel dendritik memproses antigen yang berupa protein secara efisien dan sel tersebut mengalami aktivasi. Selanjutnya sel dendritik akan melakukan migrasi menuju lymph node dan Nampaknya kehadiran antigen transmukosa pada level yang sangat rendah merupakan cara yang sangat efisien menginduksi respon IgE yang dipacu oleh TH2. Produksi antibodi IgE memerlukan bantuan TH2 yang mensekresi IL94 dan IL913. Peran TH2 dapat dihambat oleh TH1 yang memproduksi interferon9γ (IFN9 γ). Presentasi antigen pada dosis yang sangat rendah akan memungkinkan terjadinya aktivasi TH2 dan tidak menyebabkan aktivasi TH1, dan banyak alergen yang masuk sistem respirasi dengan dosis yang sangat rendah. APC yang dominan pada sistem respirasi adalah sel dendritik. Sel dendritik memproses antigen yang berupa protein secara efisien dan sel tersebut mengalami aktivasi. Selanjutnya sel dendritik akan melakukan migrasi menuju lymph node dan

Banyak bukti yang memperkuat bahwa IgE mempunyai peran sebagai pertahanan terhadap parasit. Banyak parasit yang menginvasi host dengan mensekresi enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan konektif yang memungkinkan parasit menerobos jaringan pada host. Enzim ini diduga mempunyai peranan mengaktivasi TH2. Alergen utama pada feses Dermatophagoides pteronyssimus yang menimbulkan alergi pada 20% populasi di Amerika Utara berupa sistein protease yang mirip dengan enzim papain yang disebut Der p1. Der p1 merupakan suatu enzim yang dapat memecah okludin. Okludin adalah protein intraseluler komponen tight junction. Dengan rusaknya intergrasi tight junction di antara sel-sel epitel memungkinkan Der p1 menjangkau beberapa sel yang terletak pada subepitel misalnya APC, sel mast, dan eosinofil. Molekul alergen semakin kuat pengaruhnya karena daya proteolitik yang dimilikinya terhadap reseptor tertentu yang terletak pada sel B dan sel T. Der p1 mempunyai kemampuan memecah komponen IL- 2Rα, CD25, dari sel T. Hilangnya reseptor IL-2 dapat mengganggu survival dan aktivitas sel TH1 dan menyebabkan terjadinya aktivitas sel TH2. Protease papain dari buah pepaya yang digunakan untuk melunakkan daging dapat menyebabkan alergi bagi seseorang kontak dengan enzim tersebut. Alergi yang sama terdapat pada kasus asma yang disebabkan oleh inhalasi enzim subtilisin dari bakteri. Injeksi enzim papain aktif pada mencit menstimuli sintesis IgE. Kimopapain merupakan enzim yang mirip papain, digunakan pada medis untuk merusak intervertebrata discs pada pasien yang menderita linu punggung. Penggunaan kimopapain ini dapat menyebabkan anafilaksis, merupakan respon sistemik terhadap suatu alergen. Tidak semua alergen berupa enzim, bahkan ada alergen yang merupakan penghambat enzim, contohnya alergen yang berasal dari cacing filaria.

Pasien penderita penyakit Netherton mempunyai kecenderungan peningkatan IgE oleh pengaruh enzim protease. Pasien ini mempunyai karakteristik dengan keadaan IgE tinggi dan menderita berbagai macam alergi. Penderita penyakit Netherton awalnya diakibatkan oleh terhambatnya sintesis enzim SPINK5. SPINK5 merupakan enzim yang mempunyai peranan menghambat Pasien penderita penyakit Netherton mempunyai kecenderungan peningkatan IgE oleh pengaruh enzim protease. Pasien ini mempunyai karakteristik dengan keadaan IgE tinggi dan menderita berbagai macam alergi. Penderita penyakit Netherton awalnya diakibatkan oleh terhambatnya sintesis enzim SPINK5. SPINK5 merupakan enzim yang mempunyai peranan menghambat

. SPINK5 diperkirakan mempunyai arti penting sebagai agen terapi pada beberapa alergi. Pengetahuan mengenai protein yang terlibat pada reaksi alergi ini sangat penting pada masalah kesehatan, bahkan mempunyai arti yang penting pula pada masalah ekonomi. Pernah dilakukan suatu penelitian terhadap gen yang mengode protein pada kacang Brazil. Gen tersebut diketahui menyandi protein yang banyak mengandung metionin dan sistein. Gen tersebut selanjutnya ditransfer ke tanaman kedelai dengan rekayasa genetika untuk tujuan makanan ternak. Rekayasa ini dilakukan untuk memperkaya kandungan nutrisi kedelai yang sebelumnya kekurangan asam amino yang kaya sulfur. Selanjutnya diketahui ternyata protein albumin 2S merupakan alergen utama yang terdapat pada kacang Brazil. Injeksi ekstrak kedelai hasil rekayasa genetika pada epidermis akan menimbulkan respon alergi pada seseorang yang alergi terhadap kacang Brazil. Oleh karena tidak ada jaminan kedelai hasil rekayasa ini aman bagi kesehatan manusia sehingga saat ini dilarang penggunaannya.

Reaksi alergi yang dimediasi IgE

Sindroma Alergen

Respon Anafilaksis

Rute masuk

Obat Intravena baik Edema sistemik

Serum

Meningkatkan Bisa

langsung

permeabelitas Makanan

diinjeksikan

maupun

vaskuler terabsorpsi dari Edema laring usus

masuk Kolap pada

darah

sirkulasi Kematian

Biduran akut Rambut

Peningkatan (wheal9and9flare) binatang

Masuk kulit

aliran darah dan Gigitan

Sistemik

permeabilitas serangga

vaskuler secara Tes alergi

lokal Alergi

Edema pada bunga

serbuk Serbuk bunga

Inhalasi

Feses tungau mukosa nasal Bersin9bersin

Asma Bulu kucing

Kontriksi Serbuk sari

Inhalasi

bronkus

Feses tungau Peningkatan produksi mukus Inflamasi saluran pernafasan

Alergi makanan Kacang9

Muntah kacangan

Oral

Diare Kerang

Pruritis (gatal) Kacang tanah

Urticaria Susu

(biduran) Telur

Anafilaksis Ikan

(jarang terjadi) Kedelai Wheat

. Reaksi pada antigen ekstrinsik yang dimediasi oleh IgE. Semua respon yang dimediasi oleh IgE selalu melibatkan degranulasi sel mast, namun gejala yang dialami oleh pasien berbeda9beda tergantung dari rute antigen masuk pada pasien tersebut. Antigen dapat masuk melalui injeksi, terhirup atau termakan, dan pengaruhnya juga tergantung pada dosisnya.

Respon imun yang menyebabkan terbentuknya IgE disebabkan oleh dua signal utama. Pertama adalah signal yang memacu terjadinya diferensiasi sel T naive menjadi sel TH2. Kedua merupakan signal yang datang dari TH2 baik berupa produksi sitokin maupun signal ko9stimulator yang menstimuli sel B membentuk antibodi IgE. Sel T CD4 naive yang merespon peptida yang dipresentasikan oleh sel dendritik akan berdiferensiasi menjadi TH1 atau TH2 tergantung lingkungannya baik sebelum maupun selama terjadinya respon. Sifat antigen, dosis antigen, dan tempat dimana terjadinya respon juga menentukan diferensiasi akhir dari sel CD4 naive. Sel T CD4 naive yang terpapar oleh IL94, IL95, IL99, dan IL913 akan cenderung berkembang menjadi TH2, sedangkan paparan terhadap IL912, IL923, IL927, dan IFNγ akan mengarahkan sel T CD4 naive berkembang menjadi TH1. Sistem pertahanan dalam melawan parasit multiseluler umumnya ditemukan pada daerah tempat parasit itu masuk misalnya di bawah kulit atau pada jaringan limfoid yang berasosiasi dengan mukosa yang umumnya terdapat pada usus dan sepanjang saluran pernafasan. Sel9sel sitem imun yang Respon imun yang menyebabkan terbentuknya IgE disebabkan oleh dua signal utama. Pertama adalah signal yang memacu terjadinya diferensiasi sel T naive menjadi sel TH2. Kedua merupakan signal yang datang dari TH2 baik berupa produksi sitokin maupun signal ko9stimulator yang menstimuli sel B membentuk antibodi IgE. Sel T CD4 naive yang merespon peptida yang dipresentasikan oleh sel dendritik akan berdiferensiasi menjadi TH1 atau TH2 tergantung lingkungannya baik sebelum maupun selama terjadinya respon. Sifat antigen, dosis antigen, dan tempat dimana terjadinya respon juga menentukan diferensiasi akhir dari sel CD4 naive. Sel T CD4 naive yang terpapar oleh IL94, IL95, IL99, dan IL913 akan cenderung berkembang menjadi TH2, sedangkan paparan terhadap IL912, IL923, IL927, dan IFNγ akan mengarahkan sel T CD4 naive berkembang menjadi TH1. Sistem pertahanan dalam melawan parasit multiseluler umumnya ditemukan pada daerah tempat parasit itu masuk misalnya di bawah kulit atau pada jaringan limfoid yang berasosiasi dengan mukosa yang umumnya terdapat pada usus dan sepanjang saluran pernafasan. Sel9sel sitem imun yang

Ada bukti bahwa percampuran sitokin dan kemokin pada suatu lingkungan akan mempengaruhi baik sel dendritik maupun sel T untuk mendukung perkembangan sel T menjadi sel TH2. Kemokin CCL2, CCL7, dan CCL13 bekerja pada sel monosit untuk menghentikan produksi IL-12, sehingga sel T CD4 naive pada daerah tersebut akan berkembang menjadi TH2. Secara umum interaksi APC khususnya sel dendritik dengan sel T naive tanpa adanya inflamasi akibat infeksi bakteri maupun virus akan menyebabkan sel T berdiferensiasi menjadi TH2. Sebaliknya jika sel dendritik mempresentasikan antigen asing dan terdapat inflamsi pada suatu individu maka sel dendritik cenderung mensekresikan sitokin IL-12, IL-23, dan IL-27 yang akan mengarahkan diferensiasi sel T CD4 menjadi TH1. Sitokin dan kemokin yang dihasilkan sel TH2 dapat menyebabkan TH2 semakin responsif di samping mempengaruhi sel B untuk membentuk IgE. IL-4 dan IL-

13 menghasilkan signal pertama yang mempengaruhi sel B membentuk IgE. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang dapat mengaktifkan Janus-family tyrosine kinase Jak1 dan Jak3. Jak1 dan Jak3 pada akhirnya dapat memfosforilasi STAT6 pada sel B dan sel T. STAT6 sendiri merupakan protein regulator yang bekerja pada transkripsi. Mencit yang kehilangan IL-4, IL-13, atau STAT6 menyebabkan sel TH2 tidak dapat merespon lingkungannya dan sel B tidak dapat memproduksi IgE. Model mencit knockout pada gen-gen tersebut memberikan gambaran pentingnya sitokin dan protein tersebut dalam memberikan signal untuk menjaga homeostasis yang normal. Signal kedua yang mempengaruhi sel B membentuk IgE adalah interaksi antara ligan CD40 pada permukaan sel T dengan CD40 pada permukaan sel B. Interaksi kedua molekul tersebut merupakan signal ko-stimulator yang penting untuk perubahan struktur antibodi dari suatu kelas ke 13 menghasilkan signal pertama yang mempengaruhi sel B membentuk IgE. IL-4 dan IL-13 merupakan sitokin yang dapat mengaktifkan Janus-family tyrosine kinase Jak1 dan Jak3. Jak1 dan Jak3 pada akhirnya dapat memfosforilasi STAT6 pada sel B dan sel T. STAT6 sendiri merupakan protein regulator yang bekerja pada transkripsi. Mencit yang kehilangan IL-4, IL-13, atau STAT6 menyebabkan sel TH2 tidak dapat merespon lingkungannya dan sel B tidak dapat memproduksi IgE. Model mencit knockout pada gen-gen tersebut memberikan gambaran pentingnya sitokin dan protein tersebut dalam memberikan signal untuk menjaga homeostasis yang normal. Signal kedua yang mempengaruhi sel B membentuk IgE adalah interaksi antara ligan CD40 pada permukaan sel T dengan CD40 pada permukaan sel B. Interaksi kedua molekul tersebut merupakan signal ko-stimulator yang penting untuk perubahan struktur antibodi dari suatu kelas ke

IgE

Fc ε RI

IgE yang disekresi oleh sel B, berikatan dengan reseptor Fc εRI pada sel mast

CD40

CD40L

IL-4 Sel mast yang teraktivasi melakukan kontak dan memberi signal pada sel B agar memproduksi IgE

. Ikatan antigen dengan IgE yang berada pada sel mast menyebabkan sel plasma memproduksi IgE lebih besar. IgE yang diproduksi sel plasma akan berikatan dengan reseptornya yang berada pada sel mast dan basofil. Ketika IgE yang ada pada permukaan sel mast mengadakan ikatan silang yang dihubungkan oleh antigen, sel mast teraktivasi dan mengekspresikan ligan CD40 dan mensekresi IL94. IL94 pada akhirnya berikatan dengan reseptornya yang berada pada sel B yang teraktivasi. Ikatan IL94 dengan reseptor yang ada pada sel B menimbulkan class switching yang mengarah pada pembentukan antibodi IgE lebih banyak. Mekanisme ini terjadi in vivo pada daerah yang mengalami inflamasi akibat adanya alergen.

Jika IgE telah diproduksi, imunoglobulin tersebut akan mengadakan ikatan dengan sel mast maupun basofil. Ikatan Jika IgE telah diproduksi, imunoglobulin tersebut akan mengadakan ikatan dengan sel mast maupun basofil. Ikatan

Dalam studi yang dilakukan oleh para oleh ilmuwan telah diketahui bahwa masyarakat pada negara-negara maju mempunyai kecenderungan memproduksi IgE dalam jumlah besar terhadap paparan bahan alergen. Kondisi demikian ini disebut atopi, yang sangat dipengaruhi oleh kekerabatan dan dipengaruhi oleh banyak lokus gen. Individu atopi mempunyai jumlah IgE yang lebih banyak pada sirkulasi darah demikian juga level eosinofilnya jika dibandingkan orang normal. Individu atopi mempunyai kerentanan terhadap penyakit alergi seperti halnya asma dan alergi serbuk bunga. Faktor genetik dan lingkungan masing-masing berkontribusi 50% pada kejadian penyakit alergi seperti asma. Pada penelitian genom manusia telah ditemukan sejumlah gen kerentanan yang berbeda pada penyakit alergi dermatitis atopi dan asma meskipun terdapat tumpang tindih gen yang menyandi penyakit tersebut. Umumnya setiap etnik mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap suatu penyakit. Beberapa bagian kromosom yang berasosiasi dengan alergi atau asma juga berasosiasi dengan penyakit inflamsi psoriasis dan penyakit autoimun.

Gen yang mengkode kerentanan terhadap asma dan atopi dermatitis berada pada kromosom 11q12-13. Gen tersebut mengkode pembentukan reseptor subunit β IgE (FcεRI). Gen lain yang terlibat pada asma dan dermatitis atopi terletak pada kromosom 5q31-33. Kromosom 5q31-33 paling tidak membawa Gen yang mengkode kerentanan terhadap asma dan atopi dermatitis berada pada kromosom 11q12-13. Gen tersebut mengkode pembentukan reseptor subunit β IgE (FcεRI). Gen lain yang terlibat pada asma dan dermatitis atopi terletak pada kromosom 5q31-33. Kromosom 5q31-33 paling tidak membawa

Gen set kedua pada kromosom 5 adalah famili TIM (pada sel T, domain imunoglobulin dan domain mucin) yang mengode protein permukaan pada sel T. Pada mencit protein Tim-3 secara spesifik diekspresikan pada sel TH1 dan mengurangi respon TH1, sedangkan Tim-2 dan juga Tim-1 lebih cenderung diekspresikan TH2 dan berfungsi mengurangi respon TH2. Mencit yang mempunyai perbedaan varian gen TIM mempunyai perbedaan dalam hal kepekaan terhadap reaksi alergen maupun produksi IL-4 dan IL-13 oleh sel T. Pada manusia variasi gen TIM berhubungan dengan kepekaan respon saluran pernafasan terhadap bahan-bahan irritant . Dalam hal ini otot polos bronkus dari individu tertentu akan mengalami kontraksi sebagaimana yang terlihat pada asma. Gen ketiga yang ditengarai terkait dengan kerentanan terhadap reaksi alergi adalah gen penyandi p40. Protein p40 merupakan salah satu subunit dari dua subunit IL-12. IL-12 mempunyai peran meningkatkan respon TH1. Variasi gen penyandi p40 terkadang dapat menurunkan produksi IL-12, kondisi tersebut terjadi pada penderita asma yang parah. Gen keempat yang diduga menyebabkan kerentanan terhadap asma dan dermatitis adalah gen penyandi reseptor β-adrenergic. Variasi reseptor β-adrenergic dengan perubahan respon otot polos terhadap ligan endogen maupun ligan dari obat-obatan.

Kekomplekan di atas menggambarkan tantangan secara umum dalam mengidentifikasi sifat penyakit berdasarkan gen.

Bagian kecil genom yang diketahui dapat mengubah kepekaan terhadap suatu penyakit akan mempunyai arti yang sangat penting jika telah diketahui efek fisiologinya. Untuk mengidentifiaksi gen penyebab penyakit memerlukan pelaksanaan studi pada pasien dengan popolasi dan kontrol yang besar. Sebagai contoh adalah pengetahuan pada kromosom 5q31-33. Sejauh perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, terlalu awal untuk menarik kesimpulan terhadap pentingnya perbedaan polimorfisme pada kompleksitas gen pada atopi. Perbedaan kepekaan seseorang pada IgE terkait dengan region HLA kelas II (MHC kelas II manusia) dan mempengaruhi respon individu tersebut terhadap alergen yang spesifik dan tidak terhadap kepekaan pada semua atopi. Produksi IgE ketika terjadi respon terhadap alergen tertentu terkait dengan allela HLA kelas II, hal ini menjadi bukti bahwa komplek peptida:MHC dapat meningkatkan dengan kuat respon TH2. Sebagai contoh IgE dapat merespon bahan alergen dari serbuk sari ragweed , dalam hal ini ada kaitannya dengan allela HLA kelas II yang berupa DRB1*1501 haplotipe. Oleh karena itu tidak sedikit orang yang merespon alergen dengan TH2 dan secara khusus cenderung untuk merespon beberapa alergen lebih dari yang lain. Namun demikian alergi terhadap obat misalnya penisilin tidak ada kaitannya dengan HLA kelas II maupun ada tidaknya atopi.

Para ilmuwan menduga ada gen-gen yang secara khusus hanya berhubungan dengan masalah alergi. Sebagai contoh adalah penyakit asma. Pada penyakit ini telah ditemukan bukti ada beberapa gen bekerja minimal pada tiga aspek yakni, produksi IgE, respon inflmasi, dan respon terhadap perlakuan klinik tertentu. Polimorfisme gen pada kromosom 20 yang menyandi ADAM33, suatu metalloproteinase, yang diekspresikan oleh sel-sel otot polos dari bronkus dan juga diekspresikan oleh fibroblas paru mempunyai kaitan erat dengan asma dan hiperreaktif bronkus. Hal ini merupakan contoh variasi gen pada kasus inflamasi paru dan perubahan anatomi-patologi pada saluran pernafasan, sehingga menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap asma.

Prevalensi alergi terutama asma umumnya meningkat pada negara-negara yang telah mapan secara ekonomi. Lingkungan dianggap sebagai faktor yang menyebabkan meningkatnya

prevalensi itu. Ada empat faktor yang terkait dengan hal tersebut yaitu: berubahnya paparan agen-agen penyakit infeksi pada saat usia anak-anak, polusi lingkungan, banyaknya bahan alergen, dan pola makan yang tidak sehat. Polusi juga ditengarai sebagai penyebab bronkitis kronik yang merupakan penyakit kardiopulmonari non-alergi. Namun demikian semakin banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara alergen dan polusi, terutama pada individu yang sensitif. Sisa pembakaran mesin diesel merupakan contoh mudah yang dapat dipelajari. Polutan dari mesin diesel ini dapat meningkatkan level IgE pada suatu individu 20-50 kali jika dikombinasi dengan bahan alergen. Individu yang terpapar alergen dan berada di wilayah polusi akan menunjukkan peningkatan produksi sitokin yang berasal dari TH2. Tubuh pada dasarnya menghasilkan bahan kimia oksidan reaktif dan umumnya individu tidak mampu menghadapi serangan oksidan reaktif tersebut. Kondisi di atas diduga akan meningkatkan resiko terjadinya alergi. Gen yang diduga menyebabkan kerentanan alergi akibat bahan-bahan oksidan adalah GSTPI dan GSTM. GSTPI dan GSTM merupakan anggota superfamili glutathionine- S-transferase. Manusia yang mempunyai varian gen GSTPI dan GSTM mempunyai saluran pernafasan yang hiperreaktif terhadap alergen. Faktor genetik dapat menjelaskan hubungan antara polusi dan alergi secara moderat, karena hanya berlaku bagi individu dengan genotip yang sensitif.

Sedikitnya paparan mikrobia patogen telah dianggap menjadi faktor meningkatnya kejadian alergi. Sampai saat ini hal tersebut menjadi perhatian khusus sejak ide itu diperdebatkan mulai tahun 1989. Dalam kaitan ini ada bukti bahwa anak-anak yang hidup pada lingkungan kurang higien mempunyai proteksi yang lebih baik terhadap atopi dan asma. Hal ini menjadi petunjuk bahwa respon dan perkembangan TH2 lebih besar daripada respon dan perkembangan TH1 pada awal perkembangan anak jika mereka tidak banyak mengalami infeksi. Sebaliknya, sistem imun diprogram menjadi TH1 lebih dominan pada awal infeksi. Banyak bukti yang mendukung hipotesis di atas, namun beberapa hasil penelitian tidak mendukung kebenaran hipotesis itu. Telah ditemukan bukti adanya kecenderungan dominasi respon TH2 pada bayi, dimana sel dendritik menghasilkan sedikit IL-2 dan sel T

memproduksi sedikit IFNγ dibandingkan anak yang lebih besar dan orang dewasa. Ada bukti bahwa anak-anak yang terpapar agen penginfeksi terutama infeksi saluran pernafasan umumnya terhindar dari penyakit alergi atopi. Anak-anak yang mempunyai kakak kandung tiga atau lebih dan juga anak-anak umur kurang enam bulan yang ditipkan pada penitipan anak mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi. Anak-anak tersebut umumnya terhindar dari atopi dan asma. Sekarang telah diketahui bahwa anak-anak yang pada awal perkembangannya telah terpapar oleh bakteri komensal seperti lactobacilli dan bifidobacteria atau terinfeksi patogen seperti Toxoplasma gondii atau Helicobacter pylory umumnya mempunyai prevalensi penyakit alergi yang lebih rendah. Secara khusus Toxoplasma gondii memicu perkembangan TH1. Seseorang dengan riwayat pernah menderita campak atau hepatitis A, atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis mempunyai daya tahan yang baik terhadap penyakit atopi. Protein Tim-1 yang terdapat baik pada manusia maupun mencit merupakan faktor penting yang menentukan terjadinya hiperreaktif pada saluran pernafasan. Protein tersebut memegang kunci penting untuk sintesis IL-4 dan IL-13 oleh sel T. Selanjutnya diketahui bahwa protein Tim-1 merupakan reseptor pada sel bagi virus hepatitis A. Sel T yang terinfeksi virus hepatitis A akan melakukan diferensiasi dan memproduksi sitokin yang akhirnya menurunkan respon TH2. Berlawanan dengan beberapa infeksi sebelumnya yang diterangkan dapat melindungi individu dari atopi dan asma, ada bukti bahwa anak-anak yang pernah menderita penyakit bronchiolitis akibat serangan RSV (respiratory syncytial virus) akan cenderung menderita asma pada kehidupan berikutnya. Efek dari RSV sangat tergantung dengan umur kapan individu tersebut terinfeksi. Infeksi pada mencit neonatal oleh RSV akan menyebabkan rendahnya respon IFNγ dibandingkan dengan mencit yang dipapar virus tersebut pada umur 4 atau 8 minggu. Jika mencit yang telah terinfeksi ini selanjutnya dipapar kembali dengan RSV pada umur 12 minggu, binatang yang sebelumnya telah diinfeksi, misalnya diinfeksi saat neonatal, binatang tersebut akan mengalami inflamasi paru yang jauh lebih parah daripada yang pernah diinfeksi pada umur 4 atau 8 minggu. Hal yang sama terjadi pada anak-anak yang pernah dinyatakan terinfeksi RSV memproduksi sedikit IFNγ dibandingkan anak yang lebih besar dan orang dewasa. Ada bukti bahwa anak-anak yang terpapar agen penginfeksi terutama infeksi saluran pernafasan umumnya terhindar dari penyakit alergi atopi. Anak-anak yang mempunyai kakak kandung tiga atau lebih dan juga anak-anak umur kurang enam bulan yang ditipkan pada penitipan anak mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi. Anak-anak tersebut umumnya terhindar dari atopi dan asma. Sekarang telah diketahui bahwa anak-anak yang pada awal perkembangannya telah terpapar oleh bakteri komensal seperti lactobacilli dan bifidobacteria atau terinfeksi patogen seperti Toxoplasma gondii atau Helicobacter pylory umumnya mempunyai prevalensi penyakit alergi yang lebih rendah. Secara khusus Toxoplasma gondii memicu perkembangan TH1. Seseorang dengan riwayat pernah menderita campak atau hepatitis A, atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis mempunyai daya tahan yang baik terhadap penyakit atopi. Protein Tim-1 yang terdapat baik pada manusia maupun mencit merupakan faktor penting yang menentukan terjadinya hiperreaktif pada saluran pernafasan. Protein tersebut memegang kunci penting untuk sintesis IL-4 dan IL-13 oleh sel T. Selanjutnya diketahui bahwa protein Tim-1 merupakan reseptor pada sel bagi virus hepatitis A. Sel T yang terinfeksi virus hepatitis A akan melakukan diferensiasi dan memproduksi sitokin yang akhirnya menurunkan respon TH2. Berlawanan dengan beberapa infeksi sebelumnya yang diterangkan dapat melindungi individu dari atopi dan asma, ada bukti bahwa anak-anak yang pernah menderita penyakit bronchiolitis akibat serangan RSV (respiratory syncytial virus) akan cenderung menderita asma pada kehidupan berikutnya. Efek dari RSV sangat tergantung dengan umur kapan individu tersebut terinfeksi. Infeksi pada mencit neonatal oleh RSV akan menyebabkan rendahnya respon IFNγ dibandingkan dengan mencit yang dipapar virus tersebut pada umur 4 atau 8 minggu. Jika mencit yang telah terinfeksi ini selanjutnya dipapar kembali dengan RSV pada umur 12 minggu, binatang yang sebelumnya telah diinfeksi, misalnya diinfeksi saat neonatal, binatang tersebut akan mengalami inflamasi paru yang jauh lebih parah daripada yang pernah diinfeksi pada umur 4 atau 8 minggu. Hal yang sama terjadi pada anak-anak yang pernah dinyatakan terinfeksi RSV

FiAktivitas enzimatis beberapa alergen memungkinkan substansi tersebut melakukan penetrasi menembus epitel yang berlaku sebagai penghalang. Saluran pernafasan dilindungi oleh sel epitel yang berfungsi sebagai penghalang masuknya substansi yang tidak diinginkan. Sel epitel tersebut berkaitan satu sama lain dengan ikatan yang sangat kuat (tight junction). Kotoran dari tungau, Dermatophagoides pteronyssimus mengandung enzim proteolitik, Der p1, yang dapat bersifat sebagai alergen. Der p1 dapat memotong protein occludin yang fungsi normalnya untuk memperkuat dan menjaga tight junction. Dengan rusaknya protein occludin maka rusak pula fungsi sel epitelium sebagai barrier. Feses yang berasal dari Dermatophagoides pteronyssimus dapat berperan sebagai antigen yang dapat menembus sel epitelium dan selanjutnya ditangkap oleh sel dendritik pada jaringan subepitelium. Der p1 ditangkap oleh sel dendritik dan sel dendritik tersebut teraktivasi yang selanjutnya bermigrasi menuju lymph node. Sel dendritik berperan sebagai APC yang menginduksi TH2 untuk memproduksi sitokin. Pada kasus ini hanya TH2 spesifik untuk Der p1 yang dapat melakukan aktivasi dan membantu sel B memproduksi IgE yang spesifik untuk Der p1. Der p1 dapat secara langsung berikatan dengan IgE yang berada pada sel mast dan sel mast mengalami aktivasi dengan melakukan degranulasi.

Sindrom Netherton menggambarkan adanya hubungan antara enzim protease dengan alergi dan tingginya konsentrasi IgE. Penyakit ini disebabkan oleh defisiensi inhibitor protease, SPINK5. Penderita

eritroderma yang berkepanjangan, infeksi kulit yang sering kambuh, dan alergi pada berbagai macam makanan dengan serum yang mempunyai kadar IgE tinggi. Identifikasi lokus gen yang membawa kerentanan asma, dermatitis atopi, dan penyakit imun yang lain. Pengelompokan gen yang menimbulkan kerentanan penyakit ditemukan pada pengkode

penyakit

ini mengalami

MHC pada kromosom 6p21, dan juga pada beberapa bagian lain. Ada sedikit tumpang tindih antara gen penyandi asma dan penyandi dermatitis atopi, hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik yang spesifik berperan pada dua penyakit tersebut. Terdapat pula overlap antara gen pembawa asma dan penyakit autoimun., dan juga antara penyakit psoriasis yang derupa inflamasi kulit dan dermatitis atopi.

Gen

Mekanisme IL-4

Polimorfisme

Variasi ekspresi IL-4 IL-4Rα

Variasi promoter

Variasi struktur

Peningkatan signal dalam merespon IL-

4 Afinitas reseptor β Variasi struktur

Efek yang berbeda- IgE yang tinggi

beda atas ligasi IgE:antigen

Gen MHC kelas II

Variasi struktur

Peningkatan presentasi

peptida yang berasal dari partikel alergen

Lokus TCR-α

pengenalan sel T terhadap peptida dari alergen

ADAM33

Variasi struktur

Variasi remodeling saluran pernafasan

Reseptor adrenegic- Variasi struktur Peningkatan β-2

hiperreaktif bronkus 5-Lipoxygenase

Variasi promoter

Variasi produksi leukotrin

Famili gen TIM

Variasi

promoter Keseimbangan

dan struktur

regulasi rasio TH1:TH2

Gambar 4 . Gen yang berpotensi sebagai penyebab kerentanan terhadap asma. Gen ini juga berpengaruh pada terapi bronkodilator dengan menggunakan agonist β29adrenergic. Pasien yang mempunyai kelemahan dalam Gambar 4 . Gen yang berpotensi sebagai penyebab kerentanan terhadap asma. Gen ini juga berpengaruh pada terapi bronkodilator dengan menggunakan agonist β29adrenergic. Pasien yang mempunyai kelemahan dalam

Gen, lingkungan, dan penyakit alergi atopi. Faktor genetik dan faktor lingkungan merupakan dua faktor yang sama pentingnya sebagai sebagai penentu perkembangan penyakit alergi atopi. Postulat hygiene hypothesis menyatakan bahwa paparan agen penginfeksi pada anak-anak akan menyebabkan sistem imun akan cenderung mengarah pada respon TH1 dan non-atopi. Sebaliknya, anak-anak yang mempunyai kerentanan genetik pada atopi dan anak-anak yang hidup pada lingkungan yang agen penginfeksinya minimum, sistem imun akan cenderung mengembangkan respon TH2, yang secara alami TH2 dominan saat neonatal. Anak-anak yang disebut terakhir ini dianggap paling rentan terhadap penyakit alergi atopi.

Respon mencit pada paparan RSV (respiratory syncytial virus) tergantung pada umur mencit. Respon mencit terhadap RSV sangat tergantung pada umur mencit pada pelaksanaan infeksi pertama. Produksi IFN-γ yang dihasilkan oleh mencit neonatal dan mencit yang telah mencapai umur 4-8 minggu sangat berbeda ketika dua kelompok tersebut dipapar dengan RSV. Pada mencit neonatal tidak menunjukkan adanya peningkatan produksi IFN-γ dengan pemaparan RSV. Setelah mencit-mencit tersebut mencapai umur tertentu dan dipapar ulang dengan RSV akan terjadi respon yang berbeda pula. Mencit yang awalnya diinfeksi pada neonatal pada infeksi yang kedua menunjukkan penurunan berat badan dan inflamasi yang berat. Pada mencit ini eosinofil dan neutrofil melakukan infiltrasi pada paru dan diikuti oleh produksi IL-4 dari sel TH2. Sebaliknya pada mencit yang memperoleh paparan pertama pada umur 4-8 minggu, paparan kedua RSV tidak menunjukkan pengurangan berat badan, hanya sedikit neutrofil yang melakukan infiltrasi pada paru, dan respon imun mengarah pada produksi sitokin IFN-γ oleh TH1. Aktivasi sel mast mempunyai efek yang berbeda pada jaringan yang berbeda.

Jenis Protein Contoh Pengaruh Enzim

Triptase, kimase, Remodeling matrik katepsin,

jaringan ikat karboksipeptidase Mediator toksik

Histamin, heparin Toksik pada parasit Meningkatkan permeabilitas vaskuler Menyebabkan kontraksi sel otot polos

IL94, IL913 Menstimuli dan meningkatkan respon sel TH2

IL93, IL95, GM9CSF Meningkatkan produksi dan aktivasi eosinofil

Sitokin TNF9α

Meningkatkan inflamasi, menstimuli

produksi sitokin

dari berbagai macam sel, mengaktivasi endotelium

Kemokin CCL3 Menarik monosit, makrofag, dan neutrofil Prostaglandin D2, E2

Menyebabkan kontraksi Leukotrin B4, C4

otot polos Meningkatkan permeabilitas vaskuler Menstimuli sekresi mukus

Mediator lipid PAF

(platelet9 Menarik leukosit activating factor)

Meningkatkan produksimediaotor lipid Mengaktivasi

neutrofil, eosinofil, dan platelet

. Sel mast memproduksi bermacam9macam molekul selama aktivasi. Sel mast memproduksi berbagai macam protein yang secara langsung mempunyai aktivitas biologi dan juga memproduksi substansi kimia yang berperan sebagai mediator. Enzim dan mediator toksik dilepaskan oleh granula yang telah terbentuk sebelum aktivasi sedangkan sitokin, kemokin, dan mediator lipid disintesis setelah aktivasi.

Reaksi alergi dibagi menjadi dua fase yaitu fase cepat dan fase lambat. Respon terhadap alergi yang terhirup dapat dibagi menjadi dua step yaitu respon fase cepat dan lambat. Respon asma pada paru dengan ciri penyempitan saluran pernafasan akibat kontriksi otot polos bronkus dapat diukur dengan melihat turunnya PEFR (peak expiratory flow rate). Respon cepat terjadi grafik puncak hanya beberapa menit setelah antigen terhirup dan grafiknya segera turun. Enam sampai delapan jam kemudian setelah paparan antigen juga terdapat respon seperti yang terjadi pada fase cepat. Respon fase cepat disebabkan oleh efek langsung histamin dan lipid yang terjadi pada pembuluh darah dan otot polos. Kedua mediator tersebut dilepaskan oleh sel mast dalam waktu yang relatif cepat setelah paparan alergen. Respon fase lambat disebabkan oleh adanya pemasukan leukosit secara besar- besaran yang dirangsang oleh kemokin dan mediator lain dari sel mast selama dan sesudah respon fase cepat. Reaksi wheal and flare, yaitu pembengkaan dan warna merah terjadi satu hingga dua menit setelah injeksi antigen pada epidermis dan berakhir setelah

30 menit. Dosis dan rute alergen yang diberikan menentukan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Sek mast menempati dua penyebaran utama. Pertama, sel mast yang bertempat pada jaringan ikat yang bervaskular. Sel-sel ini disebut sel mast jaringan ikat. Kedua, sel mast yang menempati lapisan submukosa usus dan saluran pernafasan, sel-sel ini disebut sel mast mukosa. Pada seseorang yang mempunyai alergi semua sel mast yang ada akan memproduksi IgE dalam jumlah yang besar untuk melawan alergen yang masuk. Tanggapan keseluruhan terhadap alergen tergantung pada sel mast mana yang teraktivasi. Alergen yang ikut aliran darah akan mengaktifkan sel mast jaringan ikat pada seluruh tubuh, sehingga terjadi pelepasan histamin dan mediator lain secara sistemik. Pemberian alergen secara subkutan hanya mengaktifkan sel mast jaringan ikat secara lokal sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Alergen yang terhirup akan melakukan penetrasi dan menembus epitel sehingga mengaktivasi sel mast mukosa dan menyebabkan kontraksi otot polos pada saluran pernafasan bawah. Peristiwa ini menyebabkan kontriksi bronkus sehingga udara yang terhirup sulit untuk dihembuskan keluar. Aktivasi sel mast mukosa juga meningkatkan sekresi mukus oleh selepitel secara lokal yang 30 menit. Dosis dan rute alergen yang diberikan menentukan reaksi alergi yang dimediasi IgE. Sek mast menempati dua penyebaran utama. Pertama, sel mast yang bertempat pada jaringan ikat yang bervaskular. Sel-sel ini disebut sel mast jaringan ikat. Kedua, sel mast yang menempati lapisan submukosa usus dan saluran pernafasan, sel-sel ini disebut sel mast mukosa. Pada seseorang yang mempunyai alergi semua sel mast yang ada akan memproduksi IgE dalam jumlah yang besar untuk melawan alergen yang masuk. Tanggapan keseluruhan terhadap alergen tergantung pada sel mast mana yang teraktivasi. Alergen yang ikut aliran darah akan mengaktifkan sel mast jaringan ikat pada seluruh tubuh, sehingga terjadi pelepasan histamin dan mediator lain secara sistemik. Pemberian alergen secara subkutan hanya mengaktifkan sel mast jaringan ikat secara lokal sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Alergen yang terhirup akan melakukan penetrasi dan menembus epitel sehingga mengaktivasi sel mast mukosa dan menyebabkan kontraksi otot polos pada saluran pernafasan bawah. Peristiwa ini menyebabkan kontriksi bronkus sehingga udara yang terhirup sulit untuk dihembuskan keluar. Aktivasi sel mast mukosa juga meningkatkan sekresi mukus oleh selepitel secara lokal yang

Respon akut pada alergi asma menyebabkan inflamasi kronik saluran pernafasan yang dimediasi oleh TH2. Pada individu yang peka, ikatan silang pada permukaan sel mast antara IgE spesifik dengan alergen yang terhirup akan memicu sel mast untuk mensekresi mediator inflamasi yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos bronkus, dan meningkatkan sekresi mukus. Dalam kaitan ini juga terjadi penetrasi sel-sel penyumbang terjadinya inflamasi termasuk eosinofil dan TH2 dari darah. Sel mast dan TH2 yang teraktivasi mensekresi sitokin yang meningkatkan aktivasi dan degranulasi eosinofil yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih parah dan semakin banyak pula sel-sel penyumbang inflamasi yang masuk ke daerah tersebut. Akibat serangkaian peristiwa di atas adalah terjadinya inflamasi kronik, yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada saluran pernafasan.

Preparat histologi yang diambil dari inflamasi kronik pada saluran pernafasan pasien asma. Gambar di atas berasal dari bronkus pasien asma yang telah mati akibat asma. Pada gambar menunjukkan adanya kemacetan total saluran pernafasan akibat tumpukan mukus dan juga kerusakan epitel pada bronkus yang diikuti oleh infiltrasi eosinofil, neutrofil, dan limfosit. Mencit yang tidak memiliki faktor transkripsi T-bet menderita asma dan sel T cenderung berkembang menjadi TH2. T-bet mengikat promoter gen yang menyandi IL-2 yang berada pada TH1 bukan pada TH2.

Mencit yang mengalami knockout gene pada T-bet (T-bet -/- ) akan berkembang menjadi mencit penderita asma. Pada penderita asma

mempunyai karakteristik terjadinya inflamasi dan infiltrasi limfosit dan eosinofil pada daerah di sekitar pembuluh darah dan saluran pernafasan. Disampin itu akan terjadi remodeling/ perubahan struktur histologi dengan penumpukan kolagen pada daerah disekitar saluran pernafasan.

Jenis Protein Contoh Pengaruh Eosinofil peroksidase

Toksik pada target dengan katalitik halogenesi Memicu

pelepasan histamin dari sel mast

Enzim Eosinofil kolagenase

Remodeling matrik jaringan ikat Matrik

Degradasi protein matrik metaloproteinase99 Major basic protein

Toksik pada parasit dan sel mamalia Memicu

pelepasan histamin dari sel mast

Protein toksik Protein kation eosinofil Toksit pada parasit

Neurotoksin Neurotoksin

dari Neurotoksin eosinofil IL93, IL95, GM9CSF

Meningkatkan produksi eosinofil dari sumsum tulang Menyebabkan

aktivasi Sitokin eosinofil

TGF9α, TGF9β Proliferasi epitel, pembentukan miofibroblas

Kemokin CXCL8 (IL98) Meningkatkan masuknya leukosit

Leukotrin C4, D4, E4 Menyebabkan kontraksi otot polos Meningkatkan permeabilitas vaskuler Meningkatkan

sekresi Mediator lipid

mukus PAF (platelet9activating Menarik leukosit factor)

Meningkatkan produksimediaotor lipid Mengaktivasi

neutrofil, eosinofil, dan platelet

Eosinofil mensekresi protein yang bersifat toksit dari granula dan mediator inflamasi

Defisiensi IL-18 mencegah terjadinya dermatitis atopi pada mencit yang rentan. Mencit transgenik KCASP1 (KCASP1Tg) mengekspresikan enzim caspase-1 yang berlebihan pada keratinositnya dan berkembang mirip dengan manusia yang menderita dermatitis atopi. Daerah yang mengalami luka mempunyai karakteristik hiperkeratinosis dan terjadi infiltrasi leukosit dan limfosit. Pada pewarnaan dengan toluidine blue menunjukkan adanya akumulasi sel mast. Mencit transgenik KCASP1 yang mengalami defisiensi STAT6 mempunyai level IgE yang sangat rendah dan tidak cukup untuk dideteksi, namun tetap saja menderita dermatitis atopi, sedangkan mencit transgenik KCASP1 yang mengalami defisiensi IL-18 bebas dari dermatitis. Kejadian ini menjadi semacam kesimpulan bahwa sitokin dari TH2 tidak penting pada model ini. KIL-18 Tg merupakan mencit transgenik yang mengekspresikan IL-18 secara berlebihan pada keratinosit menunjukkan gejala yang sama dengan mencit KCASP1Tg. Hanya saja datangnya penyakit dermatitis sedikit tertunda.

Gambaran histologi-patologi pada penyakit celiac. Dalam keadaan normal tekstur permukaan usus halus menunjukkan lipatan-lipatan membentuk jari-jari yang berfungsi sebagai perluasan permukaan yang penting untuk absorsi makanan. Pada penyakit celiac terjadi remodeling. Penyakit celiac ini dapat terjadi ketika sistem imun pada daerah usus halus ini ini mengenali protein α-gliadin yang terdapat pada makanan dan menyebabkan pengrusakan villi. Pada kasus ini juga terjadi peningkatan aktivitas mitosis pada dasar crypts tempat dimana terjadi pembentukan sel epitel. Pada penyakit ini juga terdapat tanda-tanda inflamasi seperti infiltrasi limfosit pada lapisan epitel dan akumulasi sel T CD4, sel plasma, dan makrofag pada lapisan yang lebih dalam pada lamina propria. Karena villi berisi sel-sel epitel yang berfungsi sebagai digesti dan absorbsi sari makanan, maka hilangnya komponen itu akan membahayakan kehidupan.

Mekanisme molekuler yang mendasari pengenalan gluten oleh sistem imun pada penyakit celiac. Setelah terjadi digesti gluten oleh enzim yang ada pada usus, maka akan terjadi deamidasi epitop oleh transglutaminase. Mekanisme itu menyebabkan gluten menjadi termodifikasi lebih sederhana dan

dapat berikatan dengan nmolekul HLA-DQ dan menginisiasi aktivasi sistem imun. Hipotesis untuk menerangkan produksi antibodi yang muncul akibat adanya tTG (tissue transglutaminase) ketika tidak terdapat sel T yang spesifik untuk tTG pada pasien celiac. Sel B spesifik melakukan endositosis gluten:tTG dan mempresentasikan peptida dari gluten pada sel T spesifik. Sel T yang terstimuli dapat dapat membantu aktibasi sel B yang memproduksi autoantibodi yang melawan tTG. Aktivasi sel T sitotoksik oleh sistem imunitas innate pada penyakit celiac. Peptida gluten dapat menginduksi terekspresinya MHC kelas 1b yaitu MIC-A dan MIC-B pada sel-sel epitel usus. IELs (intraepithelial lymphocytes) yang kebanyakan berupa sel T sitotoksik CD8 mengenali protein itu melalui reseptor NKG2D, yang mengaktivasi IELs agar membunuh sel yang membawa molekul MIC, sehingga terjadi kerusakan epitelium pada usus. Strategi pada penanganan alergi. Hal-hal yang mungkin dilakukan untuk mencegah reaksi nalergi ditunjukkan pada gambar ini. Pertama, dengan menggunakan inhibitor spesifik yang dapat mengeblok sintesis molekul yang memediasi inflamasi pada sel mast. Kedua, menginjeksikan antigen spesifik in desensitization regimes, yang diyakini menyebabkan toleran pada alergen. Agen ini diduga dapat memacu produksi sel T regulator.

Target

Strategi Sel mast yang Menghambat

Mekanisme

Bloking pada reseptor teraktivasi

terjadinya

ikatan IgE

IgE pada sel mast

Kerja mediator Menghambat efek Antihistamin mediator

pada

reseptor spesifik

sintesis mediator spesifik

Inflamasi akibat Melakukan bloking Menghambat sintesis eosinofil

reseptor sitokin dan dan kerja IL-5 kemokin

yang

memediasi

Bloking CCR3 Bloking CCR3

dan

aktivasi eosinofil

Aktivasi TH2

Menginduksi

Injeksi antigen atau perkembangan sel peptida spesifik T regulator

Pemberian sitokin misal: IFN-γ, IL-10, IL-12, TGF-β

Penggunaan adjuvant seperti

CpG oligodeoksinukleotid untuk

menstimuli respon TH1. Aktivasi sel B Melakukan bloking Menghambat CD40 yang memproduksi molekul

Menghambat IL-4 atau

Menghambat

IL-13

sitokin TH2

. Strategi pada penanganan alergi. Hal9hal yang mungkin dilakukan untuk mencegah reaksi nalergi ditunjukkan pada gambar ini. Pertama, dengan menggunakan inhibitor spesifik yang dapat mengeblok sintesis molekul yang memediasi inflamasi pada sel mast. Kedua, menginjeksikan antigen spesifik in desensitization regimes, yang diyakini menyebabkan toleran pada alergen. Agen ini diduga dapat memacu produksi sel T regulator.

Karakteristik alergen terhirup yang dapat menstimulasi sel TH2 sehingga menyebabkan respon IgE

Protein, sering membawa rantai Hanya protein yang dapat karbohidrat

menginduksi respon sel T Enzim aktif

Alergen sering berupa protease Dosis rendah

Cenderung mengaktifkan sel T CD4 yang mampu memproduksi IL-4

Mempunyai berat molekul yang Alergen dapat berdifusi masuk rendah

mukus

Mempunyai daya larut yang Alergen dapat dengan mudah tinggi

Dokumen yang terkait

ANALISIS DANA PIHAK KETIGA PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERIODE TRIWULAN I 2002 – TRIWULAN IV 2007

40 502 17

IMPROVING CLASS VIII C STUDENTS’ LISTENING COMPREHENSION ACHIEVEMENT BY USING STORYTELLING AT SMPN I MLANDINGAN SITUBONDO IN THE 2010/2011 ACADEMIC YEAR

8 135 12

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

MENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN TEMATIK DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA REALIA DI KELAS III SD NEGERI I MATARAM KECAMATAN GADINGREJO KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN PELAJARAN 2011/2012

21 126 83

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26