KAJIAN PRAGMATIK LINGUISTIK UMUM docx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6),
studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan
sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan
logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam
linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan
manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan
semantik, yaitu makna, namun makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan
makna yang dikaji dalam semantik. Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi
dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan
fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut.
Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah
makna kata/kalimat yang diujarkan.
Thomas (1995: 2) menyebut kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua
bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik
dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut
pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance
interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa
pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan
pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial
yang mungkin dari sebuah ujaran, Ia mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang
mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Yule (1996: 3), menyebutkan
empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang
yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang
makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan
oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang
membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Dalam kajiannya
pragmatik memiliki topik pembahasan yang meliputi tindak tutur, teori implikatur, teori
relevansi dan kesantunan. Topik pembahasan ini kajian ini mencoba menjelaskan aspek-
1
aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab
nonbahasa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pragmatik?
2. Bagaimana perkembangan pragmatik?
3. Bagaimana kajian pragmatik?
4. Bagaimana hubungan pragmatik dengan linguistik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pragmatik.
2. Untuk mengetahui perkembangan pragmatik.
3. Untuk mengetahui kajian pragmatik.
4. Untuk mengetahui hubungan pragmatik dengan linguistik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pragmatik
Definisi pragmatik menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1. Crystal (1987: 120) menyatakan pragmatics studies the factors that govern our
choice of language in social interaction and the effect of our choice on others. In
theory, we can say anything we like. In practice, we follow a large number of social
rules (most of them unconsciously) that constrain the way we speak. Pragmatik
mengkaji faktor-faktor yang mendorong pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan
pengaruh pilihan tersebut pada mitra tutur. Di dalam teori, kita dapat mengatakan
sesuatu sesuka kita. Di dalam praktik, kita harus mengikuti sejumlah aturan sosial
(sebagian besarnya tidak disadari) yang harus kita ikuti.
2. Levinson (1983: 7) memberikan definisi pragmatik sebagai the study of language
from a functional perspective, that is, that it attempts to explain facets of linguistic
structure by reference to non-linguistic pressures and causes. Pragmatik adalah kajian
bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya, pragmatik berusaha menjelaskan
aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejalagejala non-linguistik.
3. Subroto (1999: 1) menjelaskan bahwa pragmatik adalah semantik maksud. Dalam
banyak hal pragmatik sejajar dengan semantik, karena keduanya mengkaji makna.
Perbedaannya adalah pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal
sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal.
4. Wijana (1996: 2) mengatakan bahwa semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang
ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik
mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara
eksternal.
5. Menurut Leech (1993: 1), pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin
dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam,
ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini
dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat
3
bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman
terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Leech
(1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
6. Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling
tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan,
(2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih
dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b)
pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’
(Purwo, 1990:2). Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah
mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks.
Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa
dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa
komunikasi (Purwo, 1990: 31).
7. Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang
membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara
penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal
“ekstralingual” yang dibicarakan.
8. Pragmatik diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya
pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks
luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993:
177).
9. Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatic merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang
menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. yang
dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu
penutur.
B.
Perkembangan Pragmatik
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa
pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1)
4
kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan
(4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan H. John
Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian
bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik
bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness)
bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan
dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan
semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan
Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan
terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi
bahasa semata-mata secara mandiri.
Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig
Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat.
Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya
dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan
bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam
pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi
yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi
dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan
berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta
interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa
dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa
(Gunarwan 2004: 6).
C. Kajian Pragmatik
1. Tindak Tutur
a. Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ (speech act, speech event):
pengujaran kalimat
untuk
menyatakan agar suatu maksud dari pembicara
diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154) Speech act: an utterance as a
5
functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di dalam
mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu
dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga
“menindakkan” sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Mau minum apa? si
pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu; ia juga
menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu rumah
pondokan putri, mengatakan Sudah pukul sepuluh. ia tidak semata-mata
memberi tahu keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu
memerintahkan si mitratutur supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup
banyak; antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran
(offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)
b.
Jenis Tindak Tutur
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan
analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
1)
Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa
mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan
tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia
membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi,
ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan
sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam
kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini
maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang
penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku serak” dalam tindak
lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’
(yaitu si P) dan “serak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’,
tanpa bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang
maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu
dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta
minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
6
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh
P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur
(selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air
minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi
tindak perlokusi.
2) TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis
TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa
yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan
menyebutkan.
TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar
atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya
menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu,
misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengeritik, dan mengeluh.
TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya
memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu
fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk
maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987)
dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.
Kalimat bermodus imperatif
: Meja ini mempersempit jalan laluan.
Performatif eksplisit
: Bisa minta tolong menggesarkan meja.
Performatif berpagar
: Bisa tidak kita pindahkan meja in?
Pernyataan keharusan
: Anda harus memindahkan meja ini.
Pernyataan keinginan
: Aku ingin memindahkan meja ini.
Rumusan saran
: Bagaimana ya kalau meja ini
dipindahkan.
Persiapan pertanyaan
: Anda bisa memindahkan meja ini
7
Isyarat kuat
: Meja ini harus dipindahkan karena
menghalangi jalan laluan.
Isyarat halus
: Jalan laluan ini kok sempit ya?
3) Tindak Tutur Langsung-Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang
berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud
‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur
langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat
kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi
( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat
pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran
makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran
tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa
isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam
ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat
menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur
harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam
mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan
ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
TT-LH: “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada
pasiennya.
TT-LTH
: “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang
jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
TT-TLH
: “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan
oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
TT-TLTH
: “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat
menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang
mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.
Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di
atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996:
36).
Tindak tutur langsung (TT-L)
Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
8
Tindak tutur harafiah (TT-H)
Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)
Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
2. Teori Implikatur
Dalam suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan (utterance) pada
dasamya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut adalah maksud atau
proposisi yang biasanya tersembunyi dibalik tutur yang diucapkan dan bukan
merupakan bagian langsung dari tutur tersebut. Pada gejala demikian apa yang
dituturkan berbeda dengan apa yang diimplikasikan. Meskipun implikasi tidak
dinyatakan secara nyata atau formal, tetapi keberadaannya justru berfungsi sebagai
pengikat komunikasi antar penutur.
Setiap bentuk tuturan biasanya diasumsikan memiliki atau dilandasi suatu
maksud tertentu. Maksud dari suatu ucapan seperti itulah yang disebut oleh Grice
sebagai implicatum (apa yang diimplikasikan), yang kemudian diformulasikan
dengan istilah meaning nonnatural (meaning nn). Sementara gejalanya disebut
sebagai implicature. Secara nominal istilah ini mempunyai relasi dengan kata
implication (implikasi) yang artinya maksud, pengertian, atau keterlibatan.
Berdasarkan konsep yang terjabar tersebut, implikatur (percakapan) dapat
diidentifikasi dengan ciri-ciri: (1) implikasi tidak dinyatakan secara eksplisit, (2)
Tidak memiliki hubungan mutlak dengan tuturan yang merealisasikannya (apa yang
diucapkan berbeda dengan apa yang dimaksudkan), (3) Termasuk unsur luar wacana,
(4) Implikatur dapat dibatalkan, (5) Bersifat terbuka penafsiran atau banyak makna
(multi interpretable), dan (6) Terjadi karena mematuhi atau tidak mematuhi prinsip
kerja sama dalam percakapan.
Grice, seperti diungkap oleh Thomas, menyebut dua macam implikatur, yaitu
implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional
merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang
mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan, dapat
dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan
implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu.
9
Grice (sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1983 : 101) berpendapat bahwa
pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh seperangkat asumsi. Asumsi itu didasarkan
atas pertimbangan rasional dan dapat di rumuskan sebagai panduan untuk
menggunakan bahasa secara efektif dan efisien dalam percakapan. Panduan itu
disebut Grice sebagai maksim percakapan (maxims of conversation) atau prinsipprinsip umum yang mendasari penggunaan bahasa yang dilandasi kerja sama secara
efisien. Kesatuan seluruh maksim percakapan yang berjumlah empat itu disebut
prinsip kerja sama (co-operative principle). Keempat maksim tersebut sebagai
tersebut:
a. Maksim Kualitas
1) Buatlah sumbangan anda sumbangan yang benar
2) Jangan mengatakan apa yang anda anggap salah.
3) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung dengan bukti yang cukup
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan
sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus
didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan berikut dapat
dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
“Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
“Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”
Tuturan (1) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur
dengan mitra tutur. Tuturan (2) dikatakan melanggar maksim kualitas karena
penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang
seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di
dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para
mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
b. Maksim Kuantitas
1) Buatlah sumbangan anda seinformatif mungkin seperti yang diperlukan dalam
percakapan itu.
2) Jangan memberikan sumbangan lebih informatif daripada yang diperlukan.
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharap dapat memberikan informasi
yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungki. Informasi demikian itu
tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur.
Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan
10
mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip Kerja
Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi
yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Untuk
memperjelas pembahasan di atas, berikut beberapa contoh:
“Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasihan!”
“Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan penuh
nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan!”
Tuturan (1) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat
informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambahi
dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik
dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti contoh (2) justru akan
menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan
yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (2) di atas tidak mendukung atau
bahkan melanggar maksim kuantitas.
c. Maksim Relevansi
1) Buatlah perkataan yang relevan
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik
antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan
kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur
dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi
dan melanggar prinsip kerja sama Grice. Sebagai ilustrasi atas penjelasan di atas
perlu dicermati tuturan berikut:
Sang Hyang Tunggal
ini
: “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku
dalam hati!”
Semar
: “Hamba bersedia, Ya Dewa.”
Cuplikan pertuturan di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim
relevansi. Apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh
Semar, yakni “Hamba bersedia, Ya Dewa”, benar-benar merupakan tanggapan
atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni “Namun
sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”. Dari penjelasan di
11
atas, kita dapat simpulkan bahwa tuturan itu patuh dengan maksim relevansi
dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Dan berikut contoh tuturan antara seorang dierktur dengan sekretarisnya yang
melanggar maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Direktur : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”
Sekretaris : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”
Dituturkan pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja
Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang
Sekretaris, yakni, “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki
relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni “Bawa sini semua
berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”. Dengan demikian tuturan di atas
dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip
kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan
sesungguhnya.
d. Maksim Cara
Bicaralah dengan jelas, dan khususnya:
1) Hindari kekaburan
2) Hindari ketaksaan
3) Berbicaralah singkat
4) Berbicaralah secara teratur
Maksim cara ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas,
dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu
dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi
maksim cara. Berkenaan dengan itu, berikut beberapa contoh tuturan.
Kakak
: “Ayo, cepat dibuka!”
Adik
: “Sebentar dulu, masih dingin.”
Cuplikan tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar
kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi.
Tuturan si Kakak yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak
12
memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur.
Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan
yang tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Demikian pula
tuturan yang disampaikan si Adik, yakni “Sebentar dulu, masih dingin”
mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi . kata dingin pada tuturan itu dapat
mendatangkan banyak kemungkinan presepsi penafsiran karena di dalam tuturan
itu tidak jelas apa sebenarnya yang dingin itu. Tuturan demikian dapat dikatakan
melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim cara dalam Prinsip
Kerja Sama Grice.
Implikatur-implikatur yang dihasilkan dengan cara sekedar mematuhi maksimmaksim terhadap maksim-maksim tersebut dalam ujaran yang dipakai oleh Loise
Cummings sebagai berikut:
(Dia membersihkan debu pada rak-rak itu dam membersihkan dindingdindingnya dengan air.)
(Para siswa telah lulus semua ujian mereka.)
Kepatuhan terhadap maksim cara dalam contoh yang pertama di atas
menghasilkan implikatur bahwa dia membersihkan debu pada rak-rak itu dan
kemudian mulai membersihkan dinding-dindingnya dengan air – penutur ‘sedang
bersikap teratur’ dalam menyajikan peristiwa-peristiwa dalam suatu rangkaian
terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Dalam contoh kedua, dengan mematuhi
maksim kualitas, penutur menghasilkan implikatur standar bahwa dia yakin para
siswa telah lulus semua ujian – penutur sedang mengatakan apa yang dia yakini
benar.
Terlepas dari lagak mengadakan atau mengeksplotasi maksim-maksim dan
kepatuhan sederhana terhadap maksim, sebuah maksim bisa dilanggar dengan
sengaja
atau berbenturan dengan maksim selanjutnya. Para penutur yang tidak
sengaja melanggar sebuah maksim tidak melakukannya dengan maksud untuk
mengomunikasikan tataran makna tambahan. Meskipun mungkin mereka berniat
melanggar sebuah maksim, namun mereka tidak berusaha untuk membuat niatnya
diketahui oleh pendengar dan, dalam melakukanhal ini, mereka berusaha
mencapai suatu efek komunikasi tertentu. Memang, dalam hal berbohong –
pelanggaran tak sengaja terhadap maksim kualitas – penutur harus berusaha keras
13
tidak mengungkapkan maksud mereka untuk melanggar maksim kepada
pendengarnya. Kadang-kadang masalahnya adalah bahwa agar penutur dapat
mematuhi satu maksim, dia harus melanggar maksim kedua. Dalam hal ini mari
kita perhatian pertukaran percakapan berikut:
A. Apakah tukang pos belum datang?
B. Aku dengar anjing menggonggong beberapa menit yang lalu.
Jawaban B bisa dianggap melanggar maksim kuantitas – karena tidak
memberikan informasi yang di perlukan oleh A. Namun demikian, agar B bisa
memberikan informasi kepada A akan mengharuskan B untuk mengemukakan
sesuatu yang bukti-buktinya yang memadai tidak dia miliki. Halini merupakan
pelanggaran terhadap maksim kualitas. Dalam perbenturan semacam ini, maksim
kualitas menang atas maksim kuantitas. B memilih menghasilkan ujaran yang
memiliki kandungan informasi yang minimal, tapi merupakan isi informasi yang
memberikan landasan pertama jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan A
tentang suatu ujaran yang lengkap namun pada hakekatnya tidak dijamin
keakuratannya. Berbagai macam implikatur yang dikemukakan Grice dapat
dibedakan atas dasar sifat-sifat berikut: daya batal (cancelability), daya
kemustahilan
(defeasibility),
daya
pisah
(detachability),
daya
hitung
(calculability), dan konvensionalitas.
3. Teori Relevansi
Dalam pendekatan teori relevansi pada komunikasi, seluruh kerangka
maksim Grice sepenuhnya digantikan oleh prinsip relevansi. Prinsip ini, menurut
Sperber dan Wilson, mencapai penyederhanaan yang diperlukan terhadap kerangka
Grice, meskipun sekaligus tidak kehilangan kekuatan kerangka tersebut dalam
memberikan penjelasan.
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan
kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice.
Menurut Sperber dan Wilson, maksim yang terpenting dalam teori Grice adalah
maksim relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui maksim
ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami
oleh penerimanya. Sperber dan Wilson menyebutkan bahwa bahasa dalam
penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang
14
disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima
pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa
yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks
komunikasi tertentu. Contoh:
Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan
meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali
meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini
berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee
dalam konteks komunikasi.
Ciri-ciri relevansi Sperber dan Wilson yang patut dicacat adalah daya
terapannya tidak hanya pada komunikasi, tetapi juga pada bidang kognisi pada
umumnya. Tujuan universal dalam kognisi adalah untuk memperoleh informasi yang
relevan, dan semakin relevan informasinya maka akan semakin baik jadinya. Prinsip
relevansi Sperber dan Wilson pertama-tama merupakan prinsip kognitif dan prinsip
komunikasi hanya di peroleh melalui ketergantungan komunikasi pada kognisi. Ciri
kedua relevansi Sperber dan Wilson yakni perwujudan karekteristik ekonomisnya
adalah konsekuensi langsung asal usul kognitif prinsip ini. Ciri ketiga prinsip
relevansi Sperber dan Wilson adalah kapasitanya baik dalam membentuk ujaranujaran yang disumbangkan oleh penutur terhadap komunikasi maupun dalam
mempengaruhi bagaimana pendengar ujaran-ujaran tersebut molai memprosesnya.
Contoh yang ditulis Renkema di bawah ini memberikan gambaran yang
cukup jelas.
A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to
go?
(Ada layanan antar-jemput € 60 sekali jalan, kapan Anda ingin pergi?)
B: At the weekend.
(Pada akhir pekan)
A: What weekend?
(Akhir pekan kapan?)
B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle
service?
15
(Akhir pekan berikutnya. Bagaimana cara kerjanya? Anda hanya datang
untuk layanan antar-jemput?)
A: That might be cheaper. Then that's fifty.
(Itu mungkin lebih murah. Bisa jadi lima puluh.)
Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang
hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam
percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next
weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian
tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper
dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60
euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at
the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang
relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar,
sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik;
karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan
processing effort.
4. Kesantunan
Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan atau kesantunan sebagai
konsep yang tegas, seperti gagasan ‘tingkah laku social yang sopan’, atau etika,
terhadap budaya. Juga dimungkinkan menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum
yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi social dalam suatu budaya
khusus. Sebagian dari prinsip-prinsip umum itu termasuk sifat bijaksana, pemurah,
rendah hati, dan sipatik terhadap orang lain. Partisipan dalam suatu interaksi
umumnya sadar bahwa norma-norma dan prinsip-prinsip yang demikian ada dalam
masyarakat luas.
Sebagai istilah teknis, wajah merupakan wujud pribadi seseorang dalam
masyarakat. Wajah mengacu kepada makna social emosional itu sendiri yang setiap
orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk mengetahui. Menurut Goffman,
yang dikutip oleh Jaszczolt, "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut
sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan,
harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut
Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema, setiap partisipan memiliki dua
kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan
16
kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive
face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang
digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam
pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan
kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika
orang itu tampak jauh secara sosial sering didekripsikan dalam kaitannya dengan
keakraban, persahabatan, atau kesetiakawanan. Tipe pertama mungkin ditemukan
dalam pertanyaan siswa kepada gurunya, dan tipe kedua ditemukan dalam
pertanyaan siswa kepada individu yang sama, seperti contoh berikut:
A
: Maaf Pak Budi, dapatkah saya bicara dengan bapak sebentar?
A’
: Hey, Andi, ada waktu sebentar?
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech. Pakar ini membahas teori
kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini, Leech
menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu:
a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
1) Kurangi kerugian orang lain.
2) Tambahi keuntungan orang lain.
Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan
akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalambertutur orang
berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap
dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur.
Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak
menguntungkan
pihak
lain
akan
dapat
diminimalkan
apabila
maksim
kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.
Menurut maksim ini , kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila
maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Sebagai pemerjelas atas
pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya
dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah
: “Silahkan makan dulu, nak.
Tadi kami semua sudah mendahuluinya.”
Tamu
: “Wah, saya jadi tidak enak, Bu”
17
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang
bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus menginap karena hujan
yang lebat dan tidak kunjung reda.
Di dalam tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang
dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu.
Lazimnya, tuturan semacam itu dapat di temukan dalam keluarga-keluarga pada
masyarakat tutur desa.
b. Maksim Kedermawanan
1) Kurangi keuntungan diri sendiri.
2) Tambahi pengorbanan diri sendiri.
Dengan maksim kedermawaan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormatu orang lain. Penghormatan terhadap
orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.tuturan pada contoh
berikut dapat menjelaskan pernyataan di atas.
Yudi
: “Mari saya belikan nasi! Saya mau ke warung samping.
Nanang
: “Tidak usah, Yud. Nanti saja saya makan, saya masih
kenyang.
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak yang mempunyai
hubungan erat dalam persahabatan. Dari tuturan yang disampaikan Yudi di atas,
dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak
lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan
dengan cara menawarkan bantuan untuk membelikan nasi Nanang.
c. Maksim Penghargaan
1) Kurangi cacian pada orang lain.
2) Tambah pujian pada orang lain.
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat
dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan
kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan
tidak saling mengejek, salng mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.
Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur
akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena
18
tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang. Untuk
memperjelas hal itu, tuturan pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Bahasa Arab.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Arabmu jelas sekali dari
sini.”
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen
dalam ruangan kerja dosen.
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B
pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian
dan penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di
dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A. Hal itu
berbeda dengan contoh percakapan pada tuturan berikut.
Santi
: “Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya.
Aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.”
Nani
: “Tolol… Ini, cepet kembalikan!”
Dituturkan oleh mahasiswa kepada temannya ketika mereka baru saja
sampai di kampus.
d. Maksim Kesederhanaan
1) Kurangi pujian pada diri sendiri.
2) Tambah cacian pada diri sendiri.
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta
tutur di harapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati
apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya
sendiri. Contoh tuturan berikut dapat mempertimbangkan pernyataan di atas.
Sekretaris A
: “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu ya, ya!”
Sekretaris B
: “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek lho.”
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih
junior pada saat berada di kantor kerjanya.
e. Maksim Permufakatan,
1) Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
2) Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
19
Di dalam maksim pemufakatan ini, ditekankan bahwa para peserta tutur
dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.
Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan
bersikap santun. Di dalam kegiatan bertutur orang tidak boleh memenggal atau
bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal
demikian tampak jelas, terutama apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur
berbeda dengan si mitra tutur.
Guru A
: “Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B
: “He…em! Saklarnya mana, ya?”
f. Maksim Simpati
1) Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
2) Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Di dalam maksim simpati, diharapkan agar para peserta tutur dapat
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya.
Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai
tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipasti terhadap orang lain, apalagi
sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang
tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatian terhadap pihak lain
serin ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan
sebagainya. Contoh tuturan berikut bisa dijadikan pertimbangan untuk
memperjelas pernyataan ini.
Ani
: ”Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ikut berduka cita ya.”
D. Hubungan Pragmatik dengan Linguistik
Seperti telah diuraikan sedikit dalam di atas, salah satu kecenderungan yang
melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross.
Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana
hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam
kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara
gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya
maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman,
20
meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara
sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan
atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar
komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan
dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta
interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat
dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan
meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi
kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan
mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam
analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara
sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam
linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu
tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic
forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth
conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat
diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing
menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak
dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun
demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih
mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat
berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun
bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang
pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata
lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis
dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang
yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang
dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam
sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana
strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami
21
implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah
tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya
akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6)
perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna
(sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan
antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada
kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed).
Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang
berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga
makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan
pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan.
Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat
deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah
lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat
bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan
prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan
(2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis,
patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang
penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia,
misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat
menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa
yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang
prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan
komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa
kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif
yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical
competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang
berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana
(discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan
secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan
22
kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam
setiap bahasa.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa pragmatik penting dipelajari dalam
program studi linguistik. Pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua
hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji
bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan
ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan
bahasa sehari-hari, kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling
melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam
pengembangan kompetensi komunikatif.
B. Saran
Sebagai salah satu bagian dari linguistik, pragmatik mempunyai peran penting
dalam tata cara berbahasa lisan agar dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur.
Kajiannya yang meliputi tindak tutur, teori implikatur, teori relevansi dan kesantunan
mengajarkan kita bagaimana cara bersikap, bertindak dan berbahasa dengan baik. Untuk
penting bagi kita mempelajari pragmatik lebih lanjut.
23
DAFTAR PUSTAKA
Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga
Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya: Airlangga University
Press
J.W.M. Verhaar, 2001, Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Prees
George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kunjana Rahardi, 2002, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, Jakarta:
Erlangga
Geoffrey Leech, 1993, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Jakarta: UI-Prees
Louise Cummings, 2010, Pragmatik Klinis Kajian Tentang Penggunaan dan Gangguan
Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harimurti Kridalaksana, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Abdul Chaer, 2007, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta
http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik
24
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam jangka waktu yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6),
studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan
sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan
logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam
linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan
manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan
semantik, yaitu makna, namun makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan
makna yang dikaji dalam semantik. Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi
dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan
fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut.
Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah
makna kata/kalimat yang diujarkan.
Thomas (1995: 2) menyebut kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua
bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik
dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut
pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance
interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa
pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan
pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial
yang mungkin dari sebuah ujaran, Ia mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang
mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Yule (1996: 3), menyebutkan
empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang
yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang
makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan
oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang
membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Dalam kajiannya
pragmatik memiliki topik pembahasan yang meliputi tindak tutur, teori implikatur, teori
relevansi dan kesantunan. Topik pembahasan ini kajian ini mencoba menjelaskan aspek-
1
aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab
nonbahasa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian pragmatik?
2. Bagaimana perkembangan pragmatik?
3. Bagaimana kajian pragmatik?
4. Bagaimana hubungan pragmatik dengan linguistik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pragmatik.
2. Untuk mengetahui perkembangan pragmatik.
3. Untuk mengetahui kajian pragmatik.
4. Untuk mengetahui hubungan pragmatik dengan linguistik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pragmatik
Definisi pragmatik menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1. Crystal (1987: 120) menyatakan pragmatics studies the factors that govern our
choice of language in social interaction and the effect of our choice on others. In
theory, we can say anything we like. In practice, we follow a large number of social
rules (most of them unconsciously) that constrain the way we speak. Pragmatik
mengkaji faktor-faktor yang mendorong pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan
pengaruh pilihan tersebut pada mitra tutur. Di dalam teori, kita dapat mengatakan
sesuatu sesuka kita. Di dalam praktik, kita harus mengikuti sejumlah aturan sosial
(sebagian besarnya tidak disadari) yang harus kita ikuti.
2. Levinson (1983: 7) memberikan definisi pragmatik sebagai the study of language
from a functional perspective, that is, that it attempts to explain facets of linguistic
structure by reference to non-linguistic pressures and causes. Pragmatik adalah kajian
bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya, pragmatik berusaha menjelaskan
aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejalagejala non-linguistik.
3. Subroto (1999: 1) menjelaskan bahwa pragmatik adalah semantik maksud. Dalam
banyak hal pragmatik sejajar dengan semantik, karena keduanya mengkaji makna.
Perbedaannya adalah pragmatik mengkaji makna satuan lingual secara eksternal
sedangkan semantik mengkaji makna satuan lingual secara internal.
4. Wijana (1996: 2) mengatakan bahwa semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang
ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik
mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara
eksternal.
5. Menurut Leech (1993: 1), pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin
dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam,
ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini
dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat
3
bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman
terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Leech
(1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam
hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
6. Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling
tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan,
(2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih
dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b)
pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’
(Purwo, 1990:2). Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah
mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks.
Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa
dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa
komunikasi (Purwo, 1990: 31).
7. Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang
membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara
penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal
“ekstralingual” yang dibicarakan.
8. Pragmatik diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya
pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks
luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993:
177).
9. Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatic merupakan disiplin ilmu yang
mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang
menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. yang
dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu
penutur.
B.
Perkembangan Pragmatik
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa
pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1)
4
kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan
(4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan H. John
Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian
bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik
bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness)
bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan
dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan
semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan
Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan
terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi
bahasa semata-mata secara mandiri.
Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig
Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat.
Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya
dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan
bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam
pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi
yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi
dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan
berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta
interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa
dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa
(Gunarwan 2004: 6).
C. Kajian Pragmatik
1. Tindak Tutur
a. Pengertian Tindak Tutur
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ (speech act, speech event):
pengujaran kalimat
untuk
menyatakan agar suatu maksud dari pembicara
diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154) Speech act: an utterance as a
5
functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di dalam
mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu
dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga
“menindakkan” sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Mau minum apa? si
pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu; ia juga
menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu rumah
pondokan putri, mengatakan Sudah pukul sepuluh. ia tidak semata-mata
memberi tahu keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu
memerintahkan si mitratutur supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup
banyak; antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran
(offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)
b.
Jenis Tindak Tutur
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai
kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan
analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
1)
Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa
mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan
tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia
membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi,
ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan
sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam
kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini
maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang
penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku serak” dalam tindak
lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’
(yaitu si P) dan “serak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’,
tanpa bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang
maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu
dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta
minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
6
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh
P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur
(selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air
minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi
tindak perlokusi.
2) TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis
TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa
yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan
menyebutkan.
TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar
atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya
menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya
diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu,
misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengeritik, dan mengeluh.
TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang
disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk
menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya
memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu
fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk
maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987)
dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.
Kalimat bermodus imperatif
: Meja ini mempersempit jalan laluan.
Performatif eksplisit
: Bisa minta tolong menggesarkan meja.
Performatif berpagar
: Bisa tidak kita pindahkan meja in?
Pernyataan keharusan
: Anda harus memindahkan meja ini.
Pernyataan keinginan
: Aku ingin memindahkan meja ini.
Rumusan saran
: Bagaimana ya kalau meja ini
dipindahkan.
Persiapan pertanyaan
: Anda bisa memindahkan meja ini
7
Isyarat kuat
: Meja ini harus dipindahkan karena
menghalangi jalan laluan.
Isyarat halus
: Jalan laluan ini kok sempit ya?
3) Tindak Tutur Langsung-Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang
berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud
‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur
langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat
kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi
( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat
pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran
makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran
tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa
isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam
ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat
menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur
harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam
mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan
ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
TT-LH: “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada
pasiennya.
TT-LTH
: “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang
jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
TT-TLH
: “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan
oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
TT-TLTH
: “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat
menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang
mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.
Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di
atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996:
36).
Tindak tutur langsung (TT-L)
Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
8
Tindak tutur harafiah (TT-H)
Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)
Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
2. Teori Implikatur
Dalam suatu tindak percakapan, setiap bentuk tuturan (utterance) pada
dasamya mengimplikasikan sesuatu. Implikasi tersebut adalah maksud atau
proposisi yang biasanya tersembunyi dibalik tutur yang diucapkan dan bukan
merupakan bagian langsung dari tutur tersebut. Pada gejala demikian apa yang
dituturkan berbeda dengan apa yang diimplikasikan. Meskipun implikasi tidak
dinyatakan secara nyata atau formal, tetapi keberadaannya justru berfungsi sebagai
pengikat komunikasi antar penutur.
Setiap bentuk tuturan biasanya diasumsikan memiliki atau dilandasi suatu
maksud tertentu. Maksud dari suatu ucapan seperti itulah yang disebut oleh Grice
sebagai implicatum (apa yang diimplikasikan), yang kemudian diformulasikan
dengan istilah meaning nonnatural (meaning nn). Sementara gejalanya disebut
sebagai implicature. Secara nominal istilah ini mempunyai relasi dengan kata
implication (implikasi) yang artinya maksud, pengertian, atau keterlibatan.
Berdasarkan konsep yang terjabar tersebut, implikatur (percakapan) dapat
diidentifikasi dengan ciri-ciri: (1) implikasi tidak dinyatakan secara eksplisit, (2)
Tidak memiliki hubungan mutlak dengan tuturan yang merealisasikannya (apa yang
diucapkan berbeda dengan apa yang dimaksudkan), (3) Termasuk unsur luar wacana,
(4) Implikatur dapat dibatalkan, (5) Bersifat terbuka penafsiran atau banyak makna
(multi interpretable), dan (6) Terjadi karena mematuhi atau tidak mematuhi prinsip
kerja sama dalam percakapan.
Grice, seperti diungkap oleh Thomas, menyebut dua macam implikatur, yaitu
implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional
merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang
mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan, dapat
dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan
implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu.
9
Grice (sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1983 : 101) berpendapat bahwa
pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh seperangkat asumsi. Asumsi itu didasarkan
atas pertimbangan rasional dan dapat di rumuskan sebagai panduan untuk
menggunakan bahasa secara efektif dan efisien dalam percakapan. Panduan itu
disebut Grice sebagai maksim percakapan (maxims of conversation) atau prinsipprinsip umum yang mendasari penggunaan bahasa yang dilandasi kerja sama secara
efisien. Kesatuan seluruh maksim percakapan yang berjumlah empat itu disebut
prinsip kerja sama (co-operative principle). Keempat maksim tersebut sebagai
tersebut:
a. Maksim Kualitas
1) Buatlah sumbangan anda sumbangan yang benar
2) Jangan mengatakan apa yang anda anggap salah.
3) Jangan mengatakan sesuatu yang tidak didukung dengan bukti yang cukup
Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan
sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus
didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan berikut dapat
dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
“Silahkan menyontek saja biar nanti saya mudah menilainya!”
“Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti!”
Tuturan (1) jelas lebih memungkinkan terjadinya kerja sama antara penutur
dengan mitra tutur. Tuturan (2) dikatakan melanggar maksim kualitas karena
penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang
seharusnya dilakukan seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di
dalam dunia pendidikan terdapat seorang dosen yang mempersilahkan para
mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung.
b. Maksim Kuantitas
1) Buatlah sumbangan anda seinformatif mungkin seperti yang diperlukan dalam
percakapan itu.
2) Jangan memberikan sumbangan lebih informatif daripada yang diperlukan.
Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharap dapat memberikan informasi
yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungki. Informasi demikian itu
tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur.
Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan
10
mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip Kerja
Sama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi
yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Untuk
memperjelas pembahasan di atas, berikut beberapa contoh:
“Biarlah kedua pemuas nafsu itu habis berkasih-kasihan!”
“Biarlah kedua pemuas nafsu yang sedang sama-sama mabuk cinta dan penuh
nafsu birahi itu habis berkasih-kasihan!”
Tuturan (1) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat
informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambahi
dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik
dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti contoh (2) justru akan
menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan
yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada (2) di atas tidak mendukung atau
bahkan melanggar maksim kuantitas.
c. Maksim Relevansi
1) Buatlah perkataan yang relevan
Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik
antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan
kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur
dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi
dan melanggar prinsip kerja sama Grice. Sebagai ilustrasi atas penjelasan di atas
perlu dicermati tuturan berikut:
Sang Hyang Tunggal
ini
: “Namun sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku
dalam hati!”
Semar
: “Hamba bersedia, Ya Dewa.”
Cuplikan pertuturan di atas dapat dikatakan mematuhi dan menepati maksim
relevansi. Apabila dicermati secara mendalam, tuturan yang disampaikan tokoh
Semar, yakni “Hamba bersedia, Ya Dewa”, benar-benar merupakan tanggapan
atas perintah Sang Hyang Tunggal yang dituturkan sebelumnya, yakni “Namun
sebelum kau pergi, letakkanlah kata-kataku ini dalam hati!”. Dari penjelasan di
11
atas, kita dapat simpulkan bahwa tuturan itu patuh dengan maksim relevansi
dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Dan berikut contoh tuturan antara seorang dierktur dengan sekretarisnya yang
melanggar maksim relevansi dalam Prinsip Kerja Sama Grice.
Direktur : “Bawa sini semua berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”
Sekretaris : “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu.”
Dituturkan pada saat mereka bersama-sama bekerja di sebuah ruang kerja
Direktur. Pada saat itu, ada seorang nenek tua yang sudah menunggu lama.
Di dalam cuplikan percakapan di atas, tampak dengan jelas bahwa tuturan sang
Sekretaris, yakni, “Maaf Bu, kasihan sekali nenek tua itu” tidak memiliki
relevansi dengan apa yang diperintahkan sang Direktur, yakni “Bawa sini semua
berkasnya akan saya tanda tangani dulu!”. Dengan demikian tuturan di atas
dapat dipakai sebagai salah satu bukti bahwa maksim relevansi dalam prinsip
kerja sama tidak selalu harus dipenuhi dan dipatuhi dalam pertuturan
sesungguhnya.
d. Maksim Cara
Bicaralah dengan jelas, dan khususnya:
1) Hindari kekaburan
2) Hindari ketaksaan
3) Berbicaralah singkat
4) Berbicaralah secara teratur
Maksim cara ini mengharuskan peserta pertuturan bertutur secara langsung, jelas,
dan tidak kabur. Orang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal itu
dapat dikatakan melanggar Prinsip Kerja Sama Grice karena tidak mematuhi
maksim cara. Berkenaan dengan itu, berikut beberapa contoh tuturan.
Kakak
: “Ayo, cepat dibuka!”
Adik
: “Sebentar dulu, masih dingin.”
Cuplikan tuturan di atas memiliki kadar kejelasan yang rendah. Karena berkadar
kejelasan rendah dengan sendirinya kadar kekaburannya menjadi sangat tinggi.
Tuturan si Kakak yang berbunyi “Ayo, cepat dibuka!” sama sekali tidak
12
memberikan kejelasan tentang apa yang sebenarnya diminta oleh si mitra tutur.
Kata dibuka dalam tuturan di atas mengandung kadar ketaksaan dan kekaburan
yang tinggi. Oleh karenanya, maknanya pun menjadi sangat kabur. Demikian pula
tuturan yang disampaikan si Adik, yakni “Sebentar dulu, masih dingin”
mengandung kadar ketaksaan cukup tinggi . kata dingin pada tuturan itu dapat
mendatangkan banyak kemungkinan presepsi penafsiran karena di dalam tuturan
itu tidak jelas apa sebenarnya yang dingin itu. Tuturan demikian dapat dikatakan
melanggar prinsip kerja sama karena tidak mematuhi maksim cara dalam Prinsip
Kerja Sama Grice.
Implikatur-implikatur yang dihasilkan dengan cara sekedar mematuhi maksimmaksim terhadap maksim-maksim tersebut dalam ujaran yang dipakai oleh Loise
Cummings sebagai berikut:
(Dia membersihkan debu pada rak-rak itu dam membersihkan dindingdindingnya dengan air.)
(Para siswa telah lulus semua ujian mereka.)
Kepatuhan terhadap maksim cara dalam contoh yang pertama di atas
menghasilkan implikatur bahwa dia membersihkan debu pada rak-rak itu dan
kemudian mulai membersihkan dinding-dindingnya dengan air – penutur ‘sedang
bersikap teratur’ dalam menyajikan peristiwa-peristiwa dalam suatu rangkaian
terjadinya peristiwa-peristiwa itu. Dalam contoh kedua, dengan mematuhi
maksim kualitas, penutur menghasilkan implikatur standar bahwa dia yakin para
siswa telah lulus semua ujian – penutur sedang mengatakan apa yang dia yakini
benar.
Terlepas dari lagak mengadakan atau mengeksplotasi maksim-maksim dan
kepatuhan sederhana terhadap maksim, sebuah maksim bisa dilanggar dengan
sengaja
atau berbenturan dengan maksim selanjutnya. Para penutur yang tidak
sengaja melanggar sebuah maksim tidak melakukannya dengan maksud untuk
mengomunikasikan tataran makna tambahan. Meskipun mungkin mereka berniat
melanggar sebuah maksim, namun mereka tidak berusaha untuk membuat niatnya
diketahui oleh pendengar dan, dalam melakukanhal ini, mereka berusaha
mencapai suatu efek komunikasi tertentu. Memang, dalam hal berbohong –
pelanggaran tak sengaja terhadap maksim kualitas – penutur harus berusaha keras
13
tidak mengungkapkan maksud mereka untuk melanggar maksim kepada
pendengarnya. Kadang-kadang masalahnya adalah bahwa agar penutur dapat
mematuhi satu maksim, dia harus melanggar maksim kedua. Dalam hal ini mari
kita perhatian pertukaran percakapan berikut:
A. Apakah tukang pos belum datang?
B. Aku dengar anjing menggonggong beberapa menit yang lalu.
Jawaban B bisa dianggap melanggar maksim kuantitas – karena tidak
memberikan informasi yang di perlukan oleh A. Namun demikian, agar B bisa
memberikan informasi kepada A akan mengharuskan B untuk mengemukakan
sesuatu yang bukti-buktinya yang memadai tidak dia miliki. Halini merupakan
pelanggaran terhadap maksim kualitas. Dalam perbenturan semacam ini, maksim
kualitas menang atas maksim kuantitas. B memilih menghasilkan ujaran yang
memiliki kandungan informasi yang minimal, tapi merupakan isi informasi yang
memberikan landasan pertama jawaban yang masuk akal terhadap pertanyaan A
tentang suatu ujaran yang lengkap namun pada hakekatnya tidak dijamin
keakuratannya. Berbagai macam implikatur yang dikemukakan Grice dapat
dibedakan atas dasar sifat-sifat berikut: daya batal (cancelability), daya
kemustahilan
(defeasibility),
daya
pisah
(detachability),
daya
hitung
(calculability), dan konvensionalitas.
3. Teori Relevansi
Dalam pendekatan teori relevansi pada komunikasi, seluruh kerangka
maksim Grice sepenuhnya digantikan oleh prinsip relevansi. Prinsip ini, menurut
Sperber dan Wilson, mencapai penyederhanaan yang diperlukan terhadap kerangka
Grice, meskipun sekaligus tidak kehilangan kekuatan kerangka tersebut dalam
memberikan penjelasan.
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan
kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice.
Menurut Sperber dan Wilson, maksim yang terpenting dalam teori Grice adalah
maksim relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui maksim
ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami
oleh penerimanya. Sperber dan Wilson menyebutkan bahwa bahasa dalam
penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang
14
disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima
pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa
yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks
komunikasi tertentu. Contoh:
Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan
meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali
meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini
berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee
dalam konteks komunikasi.
Ciri-ciri relevansi Sperber dan Wilson yang patut dicacat adalah daya
terapannya tidak hanya pada komunikasi, tetapi juga pada bidang kognisi pada
umumnya. Tujuan universal dalam kognisi adalah untuk memperoleh informasi yang
relevan, dan semakin relevan informasinya maka akan semakin baik jadinya. Prinsip
relevansi Sperber dan Wilson pertama-tama merupakan prinsip kognitif dan prinsip
komunikasi hanya di peroleh melalui ketergantungan komunikasi pada kognisi. Ciri
kedua relevansi Sperber dan Wilson yakni perwujudan karekteristik ekonomisnya
adalah konsekuensi langsung asal usul kognitif prinsip ini. Ciri ketiga prinsip
relevansi Sperber dan Wilson adalah kapasitanya baik dalam membentuk ujaranujaran yang disumbangkan oleh penutur terhadap komunikasi maupun dalam
mempengaruhi bagaimana pendengar ujaran-ujaran tersebut molai memprosesnya.
Contoh yang ditulis Renkema di bawah ini memberikan gambaran yang
cukup jelas.
A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to
go?
(Ada layanan antar-jemput € 60 sekali jalan, kapan Anda ingin pergi?)
B: At the weekend.
(Pada akhir pekan)
A: What weekend?
(Akhir pekan kapan?)
B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle
service?
15
(Akhir pekan berikutnya. Bagaimana cara kerjanya? Anda hanya datang
untuk layanan antar-jemput?)
A: That might be cheaper. Then that's fifty.
(Itu mungkin lebih murah. Bisa jadi lima puluh.)
Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang
hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam
percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next
weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian
tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper
dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60
euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at
the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang
relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar,
sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik;
karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan
processing effort.
4. Kesantunan
Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan atau kesantunan sebagai
konsep yang tegas, seperti gagasan ‘tingkah laku social yang sopan’, atau etika,
terhadap budaya. Juga dimungkinkan menentukan sejumlah prinsip-prinsip umum
yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi social dalam suatu budaya
khusus. Sebagian dari prinsip-prinsip umum itu termasuk sifat bijaksana, pemurah,
rendah hati, dan sipatik terhadap orang lain. Partisipan dalam suatu interaksi
umumnya sadar bahwa norma-norma dan prinsip-prinsip yang demikian ada dalam
masyarakat luas.
Sebagai istilah teknis, wajah merupakan wujud pribadi seseorang dalam
masyarakat. Wajah mengacu kepada makna social emosional itu sendiri yang setiap
orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk mengetahui. Menurut Goffman,
yang dikutip oleh Jaszczolt, "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut
sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan,
harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut
Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema, setiap partisipan memiliki dua
kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan
16
kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive
face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Kesopanan dalam suatu interaksi dapat didefinisikan sebagai alat yang
digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam
pengertian ini, kesopanan dapat disempurnakan dalam situasi kejauhan dan
kedekatan sosial. Dengan menunjukkan kesadaran untuk wajah orang lain ketika
orang itu tampak jauh secara sosial sering didekripsikan dalam kaitannya dengan
keakraban, persahabatan, atau kesetiakawanan. Tipe pertama mungkin ditemukan
dalam pertanyaan siswa kepada gurunya, dan tipe kedua ditemukan dalam
pertanyaan siswa kepada individu yang sama, seperti contoh berikut:
A
: Maaf Pak Budi, dapatkah saya bicara dengan bapak sebentar?
A’
: Hey, Andi, ada waktu sebentar?
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech. Pakar ini membahas teori
kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal. Dalam hal ini, Leech
menyebutkan enam maksim kesantunan, yaitu:
a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
1) Kurangi kerugian orang lain.
2) Tambahi keuntungan orang lain.
Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan
akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalambertutur orang
berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap
dengki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap si mitra tutur.
Demikian pula perasaan sakit hati sebagai akibat dari perlakuan yang tidak
menguntungkan
pihak
lain
akan
dapat
diminimalkan
apabila
maksim
kebijaksanaan ini dipegang teguh dan dilaksanakan dalam kegiatan bertutur.
Menurut maksim ini , kesantunan dalam bertutur dapat dilakukan apabila
maksim kebijaksanaan dilaksanakan dengan baik. Sebagai pemerjelas atas
pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya
dapat dilihat pada contoh tuturan berikut ini.
Tuan rumah
: “Silahkan makan dulu, nak.
Tadi kami semua sudah mendahuluinya.”
Tamu
: “Wah, saya jadi tidak enak, Bu”
17
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang
bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus menginap karena hujan
yang lebat dan tidak kunjung reda.
Di dalam tuturan di atas tampak dengan sangat jelas bahwa apa yang
dituturkan si Tuan Rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang Tamu.
Lazimnya, tuturan semacam itu dapat di temukan dalam keluarga-keluarga pada
masyarakat tutur desa.
b. Maksim Kedermawanan
1) Kurangi keuntungan diri sendiri.
2) Tambahi pengorbanan diri sendiri.
Dengan maksim kedermawaan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormatu orang lain. Penghormatan terhadap
orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.tuturan pada contoh
berikut dapat menjelaskan pernyataan di atas.
Yudi
: “Mari saya belikan nasi! Saya mau ke warung samping.
Nanang
: “Tidak usah, Yud. Nanti saja saya makan, saya masih
kenyang.
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak yang mempunyai
hubungan erat dalam persahabatan. Dari tuturan yang disampaikan Yudi di atas,
dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak
lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Hal ini dilakukan
dengan cara menawarkan bantuan untuk membelikan nasi Nanang.
c. Maksim Penghargaan
1) Kurangi cacian pada orang lain.
2) Tambah pujian pada orang lain.
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat
dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan
kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan
tidak saling mengejek, salng mencaci, atau saling merendahkan pihak yang lain.
Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur
akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian, karena
18
tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang. Untuk
memperjelas hal itu, tuturan pada contoh berikut dapat dipertimbangkan.
Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Bahasa Arab.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa Arabmu jelas sekali dari
sini.”
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen
dalam ruangan kerja dosen.
Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B
pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai dengan pujian
dan penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di
dalam pertuturan itu dosen B berperilaku santun terhadap dosen A. Hal itu
berbeda dengan contoh percakapan pada tuturan berikut.
Santi
: “Maaf, aku pinjam pekerjaan rumahnya.
Aku tidak bisa mengerjakan tugas itu sendiri.”
Nani
: “Tolol… Ini, cepet kembalikan!”
Dituturkan oleh mahasiswa kepada temannya ketika mereka baru saja
sampai di kampus.
d. Maksim Kesederhanaan
1) Kurangi pujian pada diri sendiri.
2) Tambah cacian pada diri sendiri.
Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta
tutur di harapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati
apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya
sendiri. Contoh tuturan berikut dapat mempertimbangkan pernyataan di atas.
Sekretaris A
: “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu ya, ya!”
Sekretaris B
: “Ya, Mbak. Tapi, saya jelek lho.”
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih
junior pada saat berada di kantor kerjanya.
e. Maksim Permufakatan,
1) Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
2) Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
19
Di dalam maksim pemufakatan ini, ditekankan bahwa para peserta tutur
dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur.
Apabila terdapat kecocokan atau kemufakatan antara diri penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan
bersikap santun. Di dalam kegiatan bertutur orang tidak boleh memenggal atau
bahkan membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal
demikian tampak jelas, terutama apabila umur, jabatan, dan status sosial penutur
berbeda dengan si mitra tutur.
Guru A
: “Ruangannya gelap ya, Bu!”
Guru B
: “He…em! Saklarnya mana, ya?”
f. Maksim Simpati
1) Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
2) Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Di dalam maksim simpati, diharapkan agar para peserta tutur dapat
memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya.
Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai
tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipasti terhadap orang lain, apalagi
sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang
tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Kesimpatian terhadap pihak lain
serin ditunjukkan dengan senyuman, anggukan, gandengan tangan, dan
sebagainya. Contoh tuturan berikut bisa dijadikan pertimbangan untuk
memperjelas pernyataan ini.
Ani
: ”Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Ikut berduka cita ya.”
D. Hubungan Pragmatik dengan Linguistik
Seperti telah diuraikan sedikit dalam di atas, salah satu kecenderungan yang
melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross.
Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana
hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam
kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara
gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya
maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman,
20
meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara
sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan
atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar
komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan
dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta
interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat
dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan
meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi
kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan
mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam
analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara
sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam
linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu
tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic
forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth
conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat
diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing
menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak
dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun
demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih
mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat
berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun
bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang
pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata
lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis
dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang
yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang
dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam
sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana
strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami
21
implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah
tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya
akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6)
perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna
(sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan
antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada
kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed).
Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang
berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga
makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan
pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan.
Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat
deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah
lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat
bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan
prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan
(2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis,
patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang
penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia,
misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat
menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa
yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang
prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan
komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa
kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif
yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical
competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang
berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana
(discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan
secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan
22
kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam
setiap bahasa.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa pragmatik penting dipelajari dalam
program studi linguistik. Pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua
hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji
bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan
ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan
bahasa sehari-hari, kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling
melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam
pengembangan kompetensi komunikatif.
B. Saran
Sebagai salah satu bagian dari linguistik, pragmatik mempunyai peran penting
dalam tata cara berbahasa lisan agar dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur.
Kajiannya yang meliputi tindak tutur, teori implikatur, teori relevansi dan kesantunan
mengajarkan kita bagaimana cara bersikap, bertindak dan berbahasa dengan baik. Untuk
penting bagi kita mempelajari pragmatik lebih lanjut.
23
DAFTAR PUSTAKA
Louise Cummings, 2007, Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
J.D Parera, 2004, Teori Semantik Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga
Yudi Cahyono Bambang, 1995, Kristal-Kristal Ilmu Bahasa, Surabaya: Airlangga University
Press
J.W.M. Verhaar, 2001, Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Prees
George Yule, 2006, Pragmatik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kunjana Rahardi, 2002, Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia, Jakarta:
Erlangga
Geoffrey Leech, 1993, Prinsip-Prinsip Pragmatik, Jakarta: UI-Prees
Louise Cummings, 2010, Pragmatik Klinis Kajian Tentang Penggunaan dan Gangguan
Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Harimurti Kridalaksana, 2008, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Abdul Chaer, 2007, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta
http://tulisanmakyun.blogspot.com/2007/07/linguistik-pragmatik
24