Penguatan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Chapter III IV

BAB III
IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN OLEH
LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

A. Perlindungan Saksi dan Korban di Beberapa Negara
1. Inggris
Kedudukan saksi dalam sistem peradilan pidana di Inggris dapat dilihat
dari perlakuan saksi dalam sistem peradilan pidana Inggris. ketentuan mengenai
saksi, hak dan kewajibannya di depan pengadilan pidana diatur di dalam Witness
Charter.

Witness charter telah dikembangkan untuk memberitahu saksi

bagaimana mereka dapat mengharapkan untuk diperlakukan oleh penegak hukum
(polisi) jika mereka adalah berkapasitas sebagai saksi kejahatan atau saksi fakta.
Dalam charter ini juga diatur saksi perlakuan terhadap saksi oleh badan-badan
peradilan pidana dan pengacara jika saksi diminta untuk memberikan bukti untuk
penuntutan atau pertahanan di pengadilan pidana.
Charter itu memberikan pedoman

yang membantu dan mendukung


setiap saksi mengetahui haknya pada setiap tahap proses dari semua lembaga
peradilan pidana. Kepada setiap saksi dijelaskan terlebih dahulu layanan apa yang
dapat diberikan serta yang dapat mereka minta ketika menjadi saksi. Penegak
hukum juga diwajibakan untuk menjelaskan apa yang diperlukan kepada saksi dan
karenanya ia akan memberikan perlakuan tertentu. Ketentuan ini diharapkan
menggugah kepada saksi untuk memberikan kesaksian dan membantu proses
peradilan pidana.

48

Universitas Sumatera Utara

49

Pelayanan saksi yang ditetapkan dalam witness charter berlaku untuk
semua saksi, baik saksi fakta terlepas dari apakah mereka juga menjadi korban
kejahatan. Jika saksi juga korban, dalam kapasitas sebagai korban mereka
memiliki hak yang diatur dalam Kode Perlindungan terhadap korban kejahatan.
Penting untuk diingat bahwa tidak seperti kode, sifat witness charter tidak wajib,

karena itu tidak diatur dalam hukum. Sebagaimana dijelaskan dalam pengantar
witness charter menyatakan bahwa mungkin ada kendala yang

dengan

mempengaruhi kemampuan dari berbagai instansi untuk menyediakan layanan
sebagaimana diatur dalam charter tersebut. Sehingga layanan yang diberikan
kepada saksi tergantung pada kesiapan dan kemampuan lembaga penegak hukum
dan pengacara, tetapi tetap diyakini bahwa mereka

akan berusaha untuk

mematuhi saksi, dan sejauh ini praktis dilakukan dan aturan profesional mereka
memungkinkan.
Pelayanan dan perlindungan bagi saksi dilakukan oleh witness care unit
(WCU) Perlindungan saksi yang diberikan kepada saksi sesuai witness charter
tersebut yaitu: 40
a. Perlakuan yang adil.
Saksi akan diperlakukan secara adil dan dengan hormat, sesuai dengan
kebutuhan saksi, terlepas dari ras, agama, latar belakang, gender, seksualitas

usia, atau cacat apapun.
b. Kemudahan pelaporan kejahatan.
Saksi diberi kemudahan untuk melaporkan kejahatan dan kecepatan
menindaklanjuti.
40

http://www.cps.gov.uk/legal/v /witness_charter_cps_guidance/diakses tanggal 16 Mei
2017 Pukul 1600 wib.

Universitas Sumatera Utara

50

c. Pelaporan
Atas laporan yang disampaikan telah dapat diidentifikasi apakah seorang saksi
yang rentan atau terintimidasi dan bertanya apakah saksi memerlukan
perlindungan khusus. Dan mengestimasi kebutuhan perlindungan dan
mempertanyakan perlindungan apa yang diperlukan. Jika saksi memerlukan
memberikan keterangan dalam waktu tertentu dapat menentukan, dan
selanjutnya akan diberitahukan perkembangan kasusnya.

d. Penyelidikan.
Jika laporan saksi dianggap sebagai dugaan tindak pidana, maka diharapkan
pelapor selanjutnya bersedia untuk memberikan keterangan di pengadilan, dan
selama proses penyidikan pelapor akan diberitahukan perkembangan kasusnya
setiap bulan. Jika pelapor merasa terintimidasi apapun, maka dipertimbangkan
tambahan perlindungan dan akan berusaha untuk menyediakannya.
e. Mempersiapkan diri di depan pengadilan;
Lembaga perlindungan akan mengatur kehadiran saksi sesuai kebutuhan
pribadi saksi termasuk untuk dilindungi oleh organisasi tertentu. Menjadwal
ketersediaan waktu saksi untuk dimintai keterangan di pengadilan. Percepatan
penanganan kasus yang melibatkan saksi yang terintimidasi terlebih dahulu.
f. Pemenuhan kebutuhan khusus saksi;
Setiap saksi akan diberikan layanan sesuai kebutuhan khusus saksi agar dapat
memberikan kesaksian di muka peradilan. Termasuk jika saksi yang:
1) Adalah saksi di bawah usia 17;
2) Menderita gangguan mental atau fisik;

Universitas Sumatera Utara

51


3) Memiliki kebutuhan komunikasi; atau
4) Adalah korban pelanggaran seksual.
g. Menentukan waktu sesuai ketersediaan waktu saksi
Dalam menetapkan tanggal persidangan, WCU atau pengacara akan meminta
pengadilan untuk mencari waktu sesuai ketersediaan waktu saksi. Ini akan
mencakup berusaha untuk memastikan bahwa saksi tidak diharuskan untuk
hadir di pengadilan pada tanggal di mana saksi memiliki komitmen penting
(misalnya janji rumah sakit, pra-dipesan libur), kecuali ada yang luar biasa
keadaan. Saksi diharapkan memberitahukan terlebih dahulu ketersediaan
waktunya untuk dipertimbangkan pengambilan keterangannya di sidang
pengadilan.
h. Memberikan prioritas pada kasus-kasus yang melibatkan saksi

rentan,

termasuk saksi anak;
Jika saksi yang rentan terhadap intimidasi, juga saksi anak, penuntutan atau
pengacara pembela akan meminta pengadilan untuk memberikan prioritas
pemeriksaan. Yang berhak meminta prioritas adalah pihak penuntut atau

pengacara yang mengajukan saksi yang rentan tersebut. Pemberitahuan
tanggal persidangan dan meminimalkan kehadiran

yang tidak perlu.

Pemberitahuan sebelum tanggal persidangan dan memastikan kehadiran saksi
pada jadwal yang tepat untuk dimintai keterangan. memberikan informasi
tentang apa yang terjadi di pengadilan dan akan membantu saksi untuk
memberikan bukti di pengadilan. WCU akan memberikan rincian praktis
tentang pengadilan mana saksi akan memberikan bukti. WCU akan

Universitas Sumatera Utara

52

menawarkan saksi kesempatan untuk mengunjungi gedung pengadilan di
depan sidang. Saksi tidak akan diminta untuk hadir di pengadilan untuk
mendengar setiap sidang. Saksi hanya diminta kehadirannya pada waktu saksi
dimintai keterangannya di sidang.
2. Amerika Serikat

Proses pemberian perlindungan terhadap saksi dalam unit khusus
perlindungan saksi di Amerika dapat dipelajari melalui buku petunjuk bagi para
jaksa dari Departemen Kehakiman (Department of Justice) AS mengenai UndangUndang tentang Reformasi Keamanan Saksi tahun 1984 41, bagian F, Bab XII dari
Undang-Undang tentang Kontrol yang Komprehensif atas Kejahatan (Pub. L. No.
98-473).
Peraturan-peraturan ini memberikan informasi umum dan penting
mengenai Program Keamanan Saksi (disebut juga dengan Program) dan
menetapkan langkah-langkah maupun cara bagaimana jaksa pemerintah bisa
mendapatkan layanan dari Program tersebut untuk melindungi seorang saksi dari
bahaya yang mungkin ada terkait dengan kesaksian yang diberikannya. Di
samping itu peraturan tersebut juga memiliki informasi tentang orang-orang yang

41
Undang-Undang tentang Reformasi KeamananSaksi tahun 1984 (disebut juga dengan
UU) memperluas kewenangan Jaksa Agung. Kewenangan ini diberikan sebagai bagian dari UU
tahun 1970 tentang Kontrol atas Kejahatan Terorganisir yang dimaksudkan menyediakan
perlindungan dan jaminan keamanan dengan cara memindahkan (relocation). Yang diberi
perlindungan atau jaminan ini adalah orang-orang yang bersaksi dalam pengadilan atas orangorang yang terlibat dalam kegiatan kriminal yang terorganisir atau kejahatan serius lainnya dimana
dilihat kemungkinan bahwa saksi tersebut akan mengalami kejahatan seperti terdapat dalam judul
18 Kitab Pidana AS bab 73 (tentang menghalangi proses keadilan) atau kejahatan sejenis yang

mengandung kekerasan. Undang-Undang tersebut juga menetapkan wewenang yang bisa dipakai
oleh Jaksa Agung untuk menyediakan bantuan perlindungan bagi famili dan kerabat dari saksi
yang dilindungi. Untuk hal ini, judul 28 Kitab Pidana AS bab 524 membenarkan penggunaan dana
simpanan Departemen Kehakiman untuk membayar biaya kompensasi dan biaya-biaya bagi para
saksi sejumlah yang dibenarkan oleh disetujui oleh Asisten Jaksa Umum untuk Administrasi.

Universitas Sumatera Utara

53

berada di bawah perlindungan Kantor United States Marshals Serviceat, Biro
Tahanan (Bureau of Prison) atau yang ada di bawah pengawasan Biro Tahanan
dapat dilibatkan dalam investigasi (menjadi orang yang diinvestigasi).
Prosedur (langkah-langkah) yang akan dijelaskan dalam tulisan berikut ini
berlaku bagi semua organisasi yang bernaung dibawah Departemen Kehakiman
dan semua organisasi yang memanfaatkan Program Keamanan Saksi atau
berkepentingan dengan orang-orang yang berada di bawah perlindungan Kantor
US Marshals Service atau Bureau of Prison. Divisi Kriminal dari Kantor Operasi
Penegakan bertugas mengawasi program-program ini.
3. Afrika Selatan

Di Afrika Selatan, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Saksi Tahun
1998, Jawatan Perlindungan Saksi berada di bawah naungan Departemen
Kehakiman yang dipimpin dengan nama lembaga yakni: Jawatan Perlindungan
Saksi. 42 Dalam pelaksanaan kegiatannya, jawatan perlindungan saksi ini memiliki
hubungan Khusus dengan institusi lainnya yakni: Komisi Khusus, Direktorat
Pengaduan Independen, Penuntut umum, Departemen Lembaga Pemasyarakatan,
organisasi publik lainnya dan pejabat-pejabat keamanan (dalam hal ini adalah:
Sekretaris bidang pertahanan, Komisioner Nasional Kepolisian Afrika Selatan,
Badan intelijen Nasional, Badan Rahasia Afrika Selatan, Komisioner Pelayanan
Masyarakat) Undang-Undang Perlindungan Saksi 1998 ini mengatur hubungan
kerja antara unit khusus perlindungan saksi tersebut dengan institusi lainnya
adalah dengan pola memberikan fungsi pengawasan program/fungsi kontrol oleh
42

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net,
diakses tanggal 16 Mei 2917 pukul 16.00 wib.

Universitas Sumatera Utara

54


unit perlindungan saksi dengan mengintegrasikannya dengan tugas dan fungsi
institusi lainnya yang telah ada.
Jawatan perlindungan saksi di Afrika ini selain berkantor pusat di ibukota
negara, dapat juga mendirikan sebuah kantor jawatan di daerah manapun dalam
rangka melaksanakan Undang-Undang Perlindungan Saksi. Selain itu Jawatan
juga berhak untuk menutup kantor atau menggabungkan suatu kantor cabang
dengan kantor cabang lainnya dan sekaligus penataan adminsitratif sejauh
dianggapnya perlu.
4. Jerman
Perlindungan Saksi merupakan masalah yang menjadi perhatian di seluruh
dunia, oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Untuk mencapai
keadilan tersebut, pelaku tindak pidana harus diadili. Namun bukan rahasia umum
lagi, bahwa keadilan seringkali tidak tercapai. Pelaku tindak pidana harus
dibebaskan karena dalam proses persidangan tidak terdapat cukup alat bukti
dalam proses pembuktian dipersidangan untuk menyeret pelaku ke penjara. Salah
satu kontribusi ketidakcukupan alat bukti tersebut adalah tidak bersedianya saksi
untuk memberikan kesaksiaannya di muka pengadilan. Ketidakbersediaannya itu
pada umumnya memiliki alasan yang sama di negara manapun, yaitu tidak adanya
jaminan perlindungan baik yang dituangkan melalui instrumen hukum maupun

tindakan yang dapat diberikan oleh negara untuk keselamatan mereka apabila
mereka bersedia untuk bersaksi.
Kesadaran negara-negara di dunia untuk memberikan fokus perlindungan
saksi pada umumnya baru muncul di akhir abad ke 20. Salah satunya adalah

Universitas Sumatera Utara

55

negara Jerman. Tulisan berikut ini menguraikan pengaturan Perlindungan Saksi di
Jerman berdasarkan Undang-undang mereka.
Masalah Perlindungan Saksi di Jerman diatur dalam dua Undang-undang,
yaitu dalam KUHAP Jerman (Strafprozessordnung/StPO), yang pada tahun 1998
diadakan perubahan khusus untuk masalah perlindungan Saksi melalui UU
Perlindungan Saksi Dalam Proses Pemeriksaan Pidana dan Perlindungan
Terhadap Korban (Zeugenschutzgesetz/ZschG). 43Undang-undang ini menekankan
pada Hak-hak dalam proses pemeriksaan.

Namun

ZschG

ini kurang

mengakomodir hak-hak saksi secara khusus, seperti halnya Hak-hak Saksi dalam
Ancarnan, yang seringkali merupakan saksi kunci atas Tindak Pidana Berat.
Selain itu, pelaksanaan pemberian perlindungan saksi tunduk pada
wewenang masing-masing negara bagian Jerman. Tentunya setiap negara bagian
memiliki kebjiakan yang berbeda. Perbedaan itu dirasakan akan merepotkan
apabila saksi berdasarkan suatu peraturan Negara bagian dapat dilindungi, namun
ketika dia harus pergi ke negara bagian lain besar kemungkinan dia tidak bisa
dilindungi. Oleh karena itu perlu diterbitkan suatu peraturan yang merupakan
harmonisasi dari masing-masing perundang-undangan perlindungan saksi dari
setiap Negara Bagian Jerman. Sehubungan dengan itu pada tahun 2001
pemerintah Jerman mengesahkan UU Harmonisasi Perlindungan Saksi Dalam
(Zeugenschutzharmonisierungsgesetz/ZshG).44

Bahaya
mengatur

harmonisasi dari perundang-undangan

Undang-undang

negara

bagian

ini

tentang

43

Naskah asli Undang-undang Perlindungan Saksi Zeugenschutzgesetz tahun 1998 dapat
dilihat di http://www.datenschutz-berlin.de/recht/de/ggebung/zeugen.htm. diakses tanggal 16 Mei
2917 pukul 16.00 wib
44
Naskah
asli
Undang-undang
Harmonisasi
Perlindungan
Saksi
Zeugenschutzharmonisierungsgesetz tahun 1998 dapat dilihat di http://www.lrz-muenchen.de/ rgerling/gesetze/zshg.html. diakses tanggal 16 Mei 2917 pukul 16.00 wib.

Universitas Sumatera Utara

56

perlindungan terhadap Saksi. UU ini hanya mengatur Perlindungan Saksi secara
umum. Dalam Undang-undang ini tidak dibedakan antara Saksi dengan Saksi
Korban. Selanjutnya UU ini tidak mengatur tentang perlindungan saksi yang
merupakan Saksi Pelapor (whistle blower).
UU federal ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 2002. UU harmonisasi ini
ada, karena Jerman itu negara federalis dan setiap negara bagian (ada 16 negara
bagian) mempunyai aparat kepolisian sendiri yang terpisah satu sama lainnya dari
setiap negara bagian. Perlindungan saksi itu langsung dilakukan oleh aparat polisi
sendiri atau otoritas lain.
Undang-undang ZshG ini dibuat dengan salah satu tujuan agar saksi yang
menjadi kunci penting dari suatu tindak pidana yang bersifat ekstrim seperti
Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime), Terrorisme bersedia untuk
memberikan kesaksiaannya, mengingat apabila jaminan keselamatan tidak
diberikan, maka Saksi akan enggan untuk memberikan kesaksiannya. Meskipun
demikian, saksi dari tindak pidana yang lain juga tidak tertutup kemungkinan
untuk dimasukkan dalam program perlindungan saksi yang diatur secara khusus
dalam UU tersebut. Untuk itu, para saksi dan orang-orang terdekatnya harus
diberikan perlindungan yang efektif dan memadai. Pemberian perlindungan itu
tidak saja hanya pada saat pemberian kesaksian di pengadilan, namun juga
mengikutsertakan Saksi dan Orang-orang terdekatnya pada Program perlindungan
Saksi pada kasus-kasus yang bersifat ekstrim, yang dapat berlangsung selama dan
setelah proses persidangan usai.
Program Perlindungan Saksi meliputi usaha merealokasi Saksi dan orangorang terdekatnya, memberikan terapi kesehatan mental, penyediaan lapangan

Universitas Sumatera Utara

57

kerja sementara ditempat baru tersebut, pemberian tunjangan hidup, dan lain-lain.
Agar Saksi dapat diikutkan dalam program perlindungan saksi ini, persyaratan
utamanya adalah bahwa tindak pidana yang dilakukan termasuk tindak pidana
berat, yang mana tanpa adanya perlindungan bagi saksi terkait, sulit mengadili
perkara tersebut.

B. Implementasi Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia
Hak-hak yang dimiliki oleh seorang tersangka atau terdakwa pelaku
kejahatan diantaranya yaitu, hak untuk segera diperiksa, hak untuk didampingi
penasihat hukum, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan dokter,
agamawan, penasihat huumnya, hak untuk diberitahukan sangkaan atau dakwaan
yang dituduhkan kepadanya dan lain-lain.
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti
keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar
kepada pemeriksaan

keterangan

saksi.

Sekurang-kurangnya di samping

pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan alat
bukti keterangan saksi. 45 Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau
“degree of evidence”, keterangan saksi agar keterangan saksi atau kesaksian
memiliki nilai serta kekuatan pembuktian. 46
Berlakunya undang-undang RI No. 13 Tahun 2006 tentunya diprediksikan
akan mengalami hambatan-hambatan secara normatif dalam hal pemberlakuan
konsep protection of cooperating person maupun asas atau prinsip immunitas
45

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hal. 265
46
Ibid, hal.266.

Universitas Sumatera Utara

58

(kekebalan) yakni untuk tidak dituntut secara pidana dan perdata bagi para
pengungap fakta (whistleblower).
Criminal Justice System sebagai suatu sistem dan masyarakat dalam
proses menentukan konsep sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang
diikat bersama dalam hubungan antara sub sistem polisi, pengadilan dan lembaga
(penjara). 47 Sedangkan Muladi, mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana
sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat fisik dalam arti
sinkronisasi struktural (structural synchronization), dapat pula bersifat substansial
(substancial synchronization), dan dapat pula bersifat cultural (cultural
synchronization). Dalam hal sinkronisasi substansial, maka hal ini mengandung
makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif
yang berlaku, sedangkan sinkronisasi cultural mengandung usaha untuk selalu
serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang
secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 48
Setelah diuraikan mengenai peranan korban diatas, selanjutnya pihak lain
yang juga berpengaruh terhadap lahirnya si korban dan si pembuat korban adalah
pihak yang menyaksikan akan timbulnya suatu deviasi, lahirnya si orban dan si
pembuat korban, ialah si saksi, si penonton/pengamat (by stander).

49

Berikut beberapa diantaranya permasalahan saksi di Indonesia. Pertama,
masalah kesediaan untuk masuk program perlindungan. Ketika seseorang
menyatakan diri masuk program perlindungan, ia harus menyepakati beberapa

47

R. Abdussalam, DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, PTIK Press, Jakarta, 2005,

hal.60
48

Muladi, Op.Cit, hal.13-14
Arif Gosita, hal.72

49

Universitas Sumatera Utara

59

persyaratan standar yang telah ditetapkan undang-undang. Salah satunya adalah
bersedia untuk memutuskan hubungan dengan setiap orang yang dikenal jika
keadaan mengkehendaki. Hal yang sama dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c UU No.
13 Tahun 2006 diartikan juga bahwa saksi/korban yang berada dalam program
perlindungan akan dipindahkan ke tempat persembunyian yang benar-benar
memutus hubungan dengan siapapun dan tidak ada orang yang mengenalnya,
meski keluarga inti (suami/istri dan anak) dimungkinkan untu diikutsertakan
dalam persembunyian.
Pemutusan hubungan dengan orang lain ini termasuk kemungkinan untuk
memberi saksi/orban beserta keluarga intinya kehidupan baru dengan mengubah
identitas dan tempat tinggal baru setelah bersaksi di depan sidang pengadilan agar
pelaku kehilangan jejak dan tidak dapat melacak dan mencelakai saksi/korban
setelah ia bebas dari hukumannya.
Konsekuensi ini sangat besar dampaknya. Begitu seorang saksi/orban
menyatakan bersedia masuk program perlindungan, mengingat besarnya
konsekuensi yang diterima jika bersedia memberikan kesaksian, meskipun masuk
program perlindungan, belum tentu setiap saksi/korban bersedia untuk
mengorbankan kehidupannya sebesar itu.
Masalah lain yang akan dihadapai LPSK adalah tekanan psikologis yang
dirasakan saksi/orban dalam program perlindungan, terutama saksi/korban yang
diputus hubungannya dengan pihak lain, termasuk keluarga. Meskipun
kemungkinan untuk turut menyertakan keluarga inti dalam program perlindungan,

Universitas Sumatera Utara

60

rasa kehilangan pasti tetap akan besar pada diri saksi/korban, begitupun pada
keluarga intinya.
Berbeda dengan masyarakat Amerika, hubungan kekeluargaan yang akrab
dan kuat hanya ada pada keluarga inti. Sehingga, ketika keluarga inti saksi/korban
diikutsertakan dalam program perlindungan, tidak ada masalah berarti secara
psikologis.
Masalah ketiga yang berpotensi mempersulit proses perlindungan
saksi/korban adalah ketersediaan biaya pelaksanaan. Dalam undang-undang
perlindungan saksi dan korban disebutkan bahwa anggaran LPSK dibebankan
pada APBN. Secara normatif sebenarnya tidak ada masalah. LPSK telah punya
sumber pendanaan tetap dalam melaksanakan tugasnya. Namun, secara praktis
jika kita belajar dari pengalaman lembaga-lembaga penegak hukum saat ini, dana
yang dianggarkan pemerintah untu LPSK bukan tidak mungkin juga masuk dalam
hitungan taraf minim. Apalagi, proses perlindungan saksi/korban yang akan
dijalankan LPSK menharuskan banyak kebutuhan untuk dipenuhi, terutama jika
ternyata keadaan mengkehendaki saksi. 50

C. Penguatan Kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
1. Hak Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
Beberapa pokok penting mekanisme menurut Pasal 2 PP No. 44 Tahun
2008, yaitu :

50

http://varenotarnes.wordpress.com//lembaga-perlindungan-saksi-dan-korban-dilemakebutuhan-dan-kemampuan. diakses tanggal 16 Mei 2017 pukul 16.00 wib.

Universitas Sumatera Utara

61

(1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh

Kompensasi.
(2) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diajukan oleh Korban, Keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa
khusus.
(3) Permohonan untuk memperoleh Kompensasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas
bermeterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK.
Pasal 3: Pengajuan permohonan Kompensasi dapat dilakukan pada saat
dilakukan penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau sebelum
dibacakan tuntutan oleh penuntut umum.
Pasal 5:
(2) LPSK memeriksa kelengkapan permohonan Kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal permohonan Kompensasi diterima.
(3) Dalam hal terdapat kekuranglengkapan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), LPSK memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk
melengkapi permohonan.
(4) Pemohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
pemohon menerima pemberitahuan dari LPSK, wajib melengkapi berkas
permohonan.
(5) Dalam hal permohonan tidak dilengkapi dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), pemohon dianggap mencabut permohonannya.

Universitas Sumatera Utara

62

Pasal 6: Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif.
Pasal 7: Untuk keperluan pemeriksaan permohonan Kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, LPSK dapat meminta keterangan dari Korban, Keluarga,
atau kuasanya dan pihak lain yang terkait.
Pasal 9 ayat (1): Hasil pemeriksaan permohonan Kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai
dengan pertimbangannya; ayat (2): Dalam pertimbangan LPSK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan
atau menolak permohonan Kompensasi.
Pasal 10:
(1) LPSK menyampaikan permohonan Kompensasi beserta keputusan dan
pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 kepada pengadilan
hak asasi manusia.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi
permohonan Kompensasi yang dilakukan setelah putusan pengadilan hak
asasi manusia yang berat telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Dalam hal LPSK berpendapat bahwa pemeriksaan permohonan Kompensasi
perlu dilakukan bersama-sama dengan pokok perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Jaksa Agung.

Universitas Sumatera Utara

63

(4) Salinan surat pengantar penyampaian berkas permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) disampaikan kepada Korban,
Keluarga, atau kuasanya dan kepada instansi pemerintah terkait.
Pasal 11:
(1) Dalam hal LPSK mengajukan permohonan Kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), pengadilan hak asasi manusia
memeriksa dan menetapkan permohonan Kompensasi dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
diterima.
(2) Penetapan pengadilan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari
terhitung sejak tanggal penetapan.
(3) LPSK menyampaikan salinan penetapan pengadilan hak asasi manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
menerima penetapan.
Pasal 15:
(1) LPSK melaksanakan penetapan pengadilan hak asasi manusia mengenai
pemberian Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dengan
membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan hak asasi manusia
kepada instansi pemerintah terkait.

Universitas Sumatera Utara

64

(2) Instansi pemerintah terkait melaksanakan pemberian Kompensasi dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berita
acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima.
(3) Dalam hal Kompensasi menyangkut pembiayaan dan perhitungan keuangan
negara, pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan setelah
berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait lainnya.
Pasal 16:
(1) Pelaksanaan pemberian Kompensasi, dilaporkan oleh instansi pemerintah
terkait dan/atau Departemen Keuangan kepada ketua pengadilan hak asasi
manusia yang menetapkan permohonan Kompensasi.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian Kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Korban, Keluarga, atau
kuasanya, dengan tembusan kepada LPSK dan penuntut umum.
(3) Pengadilan hak asasi manusia setelah menerima tanda bukti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tersebut mengumumkan pelaksanaan pemberian
Kompensasi pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pengadilan yang dimaksud dalam pemberian

kompensasi adalah

pengadilan hak asasi manusia. Oleh karena hak atas kompensasi hanya dalam
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat. LPSK dalam menyampaikan
permohonan kompensasi beserta keputusan dan pertimbanga nnya diajukan
kepada pengadilan hak asasi manusia untuk mendapatkan penetapan. Ketentuan
tersebut berlaku juga bagi permohonan kompensasi yang dilakukan setelah
putusan pengadilan hak asasi manusia yang berat telah memperoleh kekuatan

Universitas Sumatera Utara

65

hukum tetap. Dalam hal LPSK berpendapat bahwa pemeriksaan permohonan
kompensasi perlu dilakukan bersama-sama dengan pokok perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat permohonan dimaksud disampaikan kepada Jaksa
Agung. Kemudian penuntut umum pelanggaran hak asasi manusia yang berat
dalam tuntutannya mencantumkan permohonan kompensasi beserta keputusan dan
pertimbangan LPSK untuk mendapatkan putusan pengadilan hak asasi manusia.
Pengaturan mengenai pemberian restitusi dilakukan dengan mengajukan
permohonan oleh korban, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan melalui
LPSK. Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan negeri yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana yang bersangkutan. Dalam hal
permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah,
LPSK

menyampaikan

permohonan

tersebut

beserta

keputusan

dan

pertimbangannya kepada pengadilan negeri untuk mendapatkan penetapan. Dalam
hal permohonan

restitusi diajukan

sebelum tuntutan

dibacakan,

LPSK

menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya
kepada penuntut umum. Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya
mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya
untuk mendapatkan putusan pengadilan.
Beberapa pokok penting mekanisme pemberian restitusi, Pasal 21:
Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku
dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.

Universitas Sumatera Utara

66

Pasal 24: Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif.
Pasal 25, ayat (1): Untuk keperluan pemeriksaan permohonan Restitusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, LPSK dapat memanggil Korban,
Keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk member keterangan;
ayat (2) Dalam hal pembayaran Restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku
tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut.
Pasal 27 ayat (1): Hasil pemeriksaan permohonan Restitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan dengan keputusan LPSK,
disertai dengan pertimbangannya; ayat (2): Dalam pertimbangan LPSK
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai rekomendasi untuk mengabulkan
permohonan atau menolak permohonan Restitusi.
Pasal 28:
(1) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana
dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta
keputusan dan pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
kepada pengadilan yang berwenang.
(2) Dalam hal permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK
menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya
kepada penuntut umum.

Universitas Sumatera Utara

67

(3) Penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam tuntutannya
mencantumkan permohonan

Restitusi beserta Keputusan

LPSK dan

pertimbangannya.
(4) Salinan surat pengantar penyampaian berkas permohonan dan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada
Korban, Keluarga atau kuasanya, dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau
pihak ketiga.
Pasal 29:
(1) Dalam hal LPSK mengajukan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1), pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan
Restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal permohonan diterima.
(2) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal penetapan.
(3) LPSK menyampaikan salinan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku
tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan.
Pasal 30:
(1) Dalam hal LPSK mengajukan permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (2), putusan pengadilan disampaikan kepada LPSK dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan.

Universitas Sumatera Utara

68

(2) LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Korban, Keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku
tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan.
Pasal 31:
(1) Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaksanakan penetapan atau
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30
dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
salinan penetapan pengadilan diterima.
(2) Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan Restitusi
kepada pengadilan dan LPSK.
(3) LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pengadilan mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman
pengadilan.
Pasal 32 ayat (1): Dalam hal pelaksanaan pemberian Restitusi kepada Korban
melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (1), Korban, Keluarga, atau kuasanya melaporkan hal tersebut kepada
Pengadilan yang menetapkan permohonan Restitusi dan LPSK; ayat (2):
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera memerintahkan kepada
pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian
Restitusi, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitu

Universitas Sumatera Utara

69

Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 juga mengatur mengenai
tata cara pemberian bantuan kepada saksi dan/atau korban. Bantuan tersebut dapat
berupa bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Pemberian Bantuan
dilakukan dengan mengajukan permohonan oleh Korban, Keluarga atau kuasanya
kepada LPSK untuk mendapatkan penetapan mengenai kelayakan, jangka waktu
serta besaran biaya yang diperlukan dalam pemberian Bantuan. Pemberian
Bantuan oleh LPSK ditetapkan dengan keputusan LPSK. Pemberian bantuan
tersebut diberikan berdasarkan keterangan dokter, psikiater, psikolog, rumah sakit,
dan/atau pusat kesehatan/rehabilitasi. Jangka waktu pemberian bBantuan tersebut
oleh LPSK dapat diperpanjang atau dihentikan setelah mendengar keterangan
dokter, psikiater, atau psikolog. Pemberhentian jangka waktu pemberian bantuan
tersebut juga dapat dilakukan atas permintaan korban.
2. Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah.
Permohonan perlindungan bagi saksi dan korban dari seluruh daerah di
Indonesia kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meningkat
signifikan
perwakilan

empat tahun
LPSK di

sejak

daerah

lahirnya LPSK. Karenanya,
menjadi

kebutuhan

pembentukan

mendesak dan

perlu

direalisasikan. 51
Permohonan perlindungan dari tahun ke tahun melonjak pesat. Sejak 2012,
tercatat lebih dari 1000 permohonan dari seluruh propinsi masuk ke LPSK. Pada

51

Abdul

Haris

Semendawai

http://lpsk.go.id/berita/berita_detail/147

Permohonan

Perlindungan dari Daerah Meningkat, Pembentukan LPSK Daerah Mendesak, diakses tanggal 16
Mei 2017 Pukul 16.00 wib.

Universitas Sumatera Utara

70

Agustus 2012-September 2013, LPSK menerima 84 permohonan dan 154
permohonan pada 2014. Pada 2015, LPSK menerima 340 permohonan dan 616
permohonan per 2016. Hingga Maret 2017, LPSK telah menerima 210
permohonan. 52
Bila tren ini berlanjut sementara penguatan kelembagaan dan daya dukung
SDM dan prasarana terhambat, kemampuan LPSK untuk melayani pemohon dan
layanan akan melambat. Sehingga, salah satu langkah akomodatif adalah
pembentuan LPSK daerah. 53
Ada dua hal yang menjadi alasan pembentukan perwakilan LPSK
daerah. Pertama, wilayah Indonesia yang luas dan permohonan yang sebagian
besar dari daerah sehingga LPSK daerah akan memberi akses yang cepat, mudah
dan murah bagi saksi, pelapor dan korban. Perwakilan LPSK di daerah juga
memudahkan koordinasi dengan penegak hukum dan pemerintah daerah. 54
Kalaupun sudah ada pembentukan perwakilan LPSK di daerah, prioritasnya di
tujuh daerah yang memiliki pengadilan tipikor. Sedangkan perlindungan LPSK
diprioritaskan pada saksi dan korban dalam tindak pidana tertentu, yaitu korupsi,
pelanggaran HAM berat. 55
Alasan kedua, UU 13 Tahun 2006 secara visioner membayangkan LPSK
tidak hanya di ibukota negara melainkan juga dibentuk di daerah. Hal ini sesuai
Pasal 11 ayat 3, yang berbunyi LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai
dengan keperluan. Selain kebutuhan yang mendesak, momentum revisi UU 13

52

Ibid
Ibid
54
Ibid
55
Ibid
53

Universitas Sumatera Utara

71

Tahun 2006 yang masuk prolegnas 2013 dapat dijadikan peluang pembentukan
perwakilan LPSK di daerah.
3. Mempertegas Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
dalam Sistem Peradilan Pidana.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban dalam ketentuan umumnya pasal 1,saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri,ia lihat sendiri,dan/atau ia alami sendiri.UU perlindungan saksi dan
korban ini masih tetap menggunakan konsep tentang pengertian saksi seperti yang
diatur oleh KUHAP.Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa status
saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
Dan Korban sudah dimulai di tahap penyelidikan,sedangkan dalam KUHAP status
saksi dimulai dari tahap penyidikan. Pengertian saksi dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban memang lebih
maju,krena berupaya mencoba memasukkan atau (memperluas) perlindungan
terhadap orang-orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang
berstatus pelapor atau pengadu.
Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan inipun
masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang
diintrodusir KUHAP,dimana saksinya haruslah orang yang keterangan perkara
pidana yang ia lihat sendiri,ia dengar sendiri,dan ia alami sendiri. Penggunaan
doktrin inilah yang kemudian akan membatasi perlindungan terhadap saksi yang

Universitas Sumatera Utara

72

berstatus pelapor atau pengadu.Karena dalam banyak kasus ada orang yang
berstatus pelapor ini kadangkala bukanlah orang yang mendengar,melihat,atau
mengalami sendiri perkara tersebut. Oleh karena itu pula maka Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban sulit diterapkan
untuk bisa melindungi orang-orang berstatuswhistlebower. 56 Selain itu dalam
konteks “definisi saksi” yang terbatas tersebut, undang-undang ini juga (tidak ada
ditemukan/diatur) melupakan orang-orang yang memberikan bantuan kepada
aparat penegak hukum untuk keterangan dan membantu proses pemeriksaan
pidana yang berstatus ahli (orang yang memiliki keahlian khusus).
Perlu ditambahkan, undang-undang ini tidak jelas mengatur “status saksi”
berkaitan dengan saksi dari pihak manakah yang bisa dilindungi.Apakah saksi
yang membantu pihak tersangka atau terdakwa (a charge) ataukah saksi dari
pihak yang membantu aparat penegak hukum (a de charge). Tidak
dicantumkannya secara tegas hal ini nantinya akan menimbulkan masalah dan
membebani lembaga perlindungan saksi dan korban dalam pelaksanaannya.
Seharusnya undang-undang ini menegaskan bahwa saksi yang dilindungi dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
adalah saksi yang berstatus aparat penegak hukum.
Pada saat saksi (korban) akan memberikan keterangan, tentunya harus
disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada
saat dan setelah memberikan kesaksian.Jaminan ini penting untuk diberikan guna
memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan

56

Supriyadi Widodo Eddyono, Op.Cit,hal. 9

Universitas Sumatera Utara

73

hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu. Hal ini sejalan
dengan pengertian saksi itu sendiri,sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 butir
26 KUHAP.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban mengatur beberapa hak yang diberikan kepada
saksi dan korban,yang meliputi:
1.

Memperoleh

perlindungan

atas

keamanan

pribadi,keluarga,dan

harta

bendanya,serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan,sedang,atau telah diberikannya.
2.

Ikut serta dalam proses memilih&menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan.

3.

Memberikan keterangan tanpa tekanan

4.

Mendapat penerjemah

5.

Bebas dari pertanyaan yang menjerat

6.

Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus

7.

Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan

8.

Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan

9.

Mendapatkan identitas baru

10. Mendapatkan tempat kediaman baru
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
12. Mendapat nasihat hukum
13. Memperoleh

bantuan

biaya

hidup

sementara

sampai batas

waktu

perlindungan berakhir.

Universitas Sumatera Utara

74

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasuskasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi&Korban
(LPSK).
Jelaslah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, tidak setiap saksi atau
korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan
pidana,secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam
undang-undang ini.
Keberadaan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai
saksi dan korban tindak pidana,tetapi yang menjadi persoalan adalah dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
yang memberikan tugas dan kewenangan mengenai perlindungan hak-hak saksi
dan korban adalah kepala lembaga perlindungan saksi dan korban,padahal yang
melakukan penyidikan dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan bukan
lembaga perlindungan saksi,di mana lembaga perlindungan saksi ini berada di luar
lembaga penegak hukum,seperti kepolisian,kejaksaan,dan pengadilan. Sehingga
dalam memberikan perlindungan hak-hak dan kepentingan saksi dan korban akan
mengalami kendala dan hambatan. 57
Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban
hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan, di mana

57

Muhadar, Edi Abdullah, dan Husni Thamrin, Op.Cit, hal.180

Universitas Sumatera Utara

75

keterangannya dapat dijadikan alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak
pidana, sehingga dalam hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum
yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam
mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur
dalam KUHAP, padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak
pidana,tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat memberatkan atau
meringankan seorang terdakwa yang tentunya bagi terdakwa apabila keterangan
seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada
kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai musuh
yang telah memberatkannya dalam proses penanganan perkara,hal ini tentunya
dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan hal tersebut,maka
tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak
khusus,karena mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam
keselamatan dirinya sebagai seorang saksi. 58 Tanpa adanya pengaturan yang tegas
dan jaminan keamanan bagi seorang saksi,maka seseorang akan merasa takut
untuk menjadi seorang saksi. Kedepannya diharapkan supaya diberikan jaminan
keamanan dan keselamatan bagi seorang saksi,agar masyarakat dapat berperan
penting dalam mengungkap sebuah tindak pidana,seperti menjadi seorang
saksi,karena tanpa adanya jaminan keamanan dan keselamatan yang diberikan
kepada seorang saksi,maka masyarakat enggan atau bahkan tidak mau menjadi
seorang saksi,padahal keberadaan seorang saksi dalam mengungkap suatu tindak
pidana sangat penting.

58

Ibid, hal.60

Universitas Sumatera Utara

76

Perlindungan terhadap saksi dan korban dalam proses peradilan khususnya
kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat juga diakui dalam dunia internasional.
Hal ini tercermin dalam Mahkamah Internasional ad hoc bekas Yugoslavia
(International Criminal Tribunal For Former Yugoslavia) danInternational
Criminal Tribunal For Rwanda yang secara eksplisit menyebutkan hal tersebut
pada statute dan aturan teknis prosedur pengadilan.
Belajar

dari

pengalaman

Mahkamah

Pidana

Internasional ad

hoctersebut,maka perlindungan terhadap saksi dan korban dimuat dalam Statuta
Roma Mahkamah Pidana Internasional yang permanen atau Rome Statute of
International Criminal Court (International Crime Court) yang diratifikasi oleh
lebih dari 60 negara.
Untuk lebih memberikan pengakuan dan memberikan jaminan yang lebih
baik kepada saksi dan korban atas hak-haknya dalam proses peradilan, maka
dalam Statuta Roma diatur 3 hal penting, yaitu: 59
a. Victim participation in the proceedings;
The statue mengakui bahwa korban dapat memberikan kontribusi dalam
proses persidangan dan yang terpenting bahwa saksi bukan ditempatkan pada
posisi yang pasif, akan tetapi bisa aktif terlibat dan memberikan keterangan
sebanyak mungkin yang bisa dijadikan bukti di dalam persidangan.
b. Protection of victim and witnesses;
c. Statuta Roma International Crime Court ini mengakui adanya jaminan
perlindungan keamanan terhadap saksi amupun korban baik perlindungan

59

Ibid, hal.62

Universitas Sumatera Utara

77

secara fisik dan mental juga perlindungan terhadap martabat dan privasi para
saksi dan korban. Adanya jaminan perlindungan saksi dan korban ini
dimaksudkan juga untuk memberikan kredibilitas dan dasar hukum
padaInternational Crime Court, sehingga mendapatkan dukungan yang baik
dari semua pihak termasuk saksi dan korban.
d. And the right to reparations.
Keinginan agar mendapatkan reparations ini didasari pada rasa penderitaan
baik fisik maupun mental yang diderita oleh korban, sehingga sudah
selayaknya mereka mendapatkan reparations guna memperbaiki nasibnya di
kemudian hari.
Seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadinya dari ancaman fisik maupun psikologis dari orang lain,
berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau lebih diberikannya atas suatu
tindak pidana. Disamping itu sejumlah hak diberikan kepada saksi dan korban
antara lain berupa hak untuk memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan, hak untuk mendapatkan nasihat hukum, hak untuk
memberikan keterangan tanpa tekanan, hak untuk mendapatkan identitas dan
tempat kediaman baru, serta hak untuk memperoleh penggantian biaya
transportasi sesuai dengan kebutuhan.
Pembahasan mengenai penerapan asas aquality before the law dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia merupakan hal yang sangat penting
mengingat asas tersebut merupakan asas fundamental dalam sistem peradilan

Universitas Sumatera Utara

78

pidana, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
hukum acara pidana harus mewujudkan asas aquality before the law.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban memberikan perlindungan dan bantuan terhadap saksi maupun korban.
Perlindungan yang dimaksud adalah dalam bentuk perbuatan yang memberikan
tempat bernaung atau perlindungan bagi seseorang yang membutuhkan,sehingga
merasa aman terhadap ancaman di sekitarnya.
Selanjutnya di kepolisian, penerapan perlindungan saksi terhadap
merupakan suatu kewajiban bagi pihak kepolisian dalam kedudukan sebagai
aparatur pelindung masyarakat, hal ini diatur dalam Pasal 13 huruf c UU
kepolisian. Dalam proses penyidikan karena polisi jadi penyidik, maka
perlindungan

tersebut

dilakukan

hanya

sebatas alamat rumah,kemudian

memonitor rumah dan menempatkan petugas untuk berjaga di luar rumah dalam
batas tertentu.Hal inilah yang dianggap kepolisian sebagai bentuk perlindungan.
Di Kejaksaan,perlindungan terhadap saksi bentuknya sangat sederhana
seperti mengantar saksi dari dan kepengadilan, meminta kepolisian menempatkan
anggotanya di rumah saksi, melindungi saksi dengan cara perlindungan hukum.
Seperti kompensasi tidak dijadikan tersangka.
Dalam KUHAP telah terdapat beberapa Pasal yang mengakomodir
sedikitnya perlindungan terhadap saksi antara lain: Pasal 108 ayat (1) yang
menentukan bahwa “setiap orang mengalami, melihat, dan menyaksikan dan atau
menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berkak untuk
mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tulisan”.

Universitas Sumatera Utara

79

Selanjutnya Pasal 117 ayat (1), selain itu dalam proses peradilan seorang saksi
memiliki hak untuk memberikan keterangan kepada penyidik tanpa tekanan dari
siapapun dan atau dalam bentuk apapun,serta pada pembuktian dimuka siding
pengadilan kepada seorang saksi tidak boleh diajukan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat menjerat yang terdapat pada Pasal 166 KUHAP.
Perlindungan lain juga diberikan kepada saksi atau korban dalam suatu
proses peradilan pidana, meliputi: 60
a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara
tersebut diperiksa,tentunya setelah ada izin dari hakim (Pasal 9 ayat 1);
b. Saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana
maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,sedang,atau telah
diberikannya.

60

Ibid, hal.68

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dikemukakan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Peraturan-peraturan

yang

berkaitan

dengan

kewenangan

lembaga

perlindungan saksi dan korban (LPSK) terdapat dalam UU No. 13 Tahun
2006, Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelayanan Permohonan Perlindungan
Pada Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban, dan Peraturan Pemerintah
Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan
Bantuan

Kepada

Saksi

dan

Korban.

Sebelum

LPSK

memberikan

perlindungannya, saksi dan/atau korban haruslah mengajukan permohonan
memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh LPSK, yang terkadang dirasakan
berat oleh saksi dan korban untuk melakukannya.
2. Penguatan kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK)
sangat penting, karena keterangan saksi sangat membantu mengungkap suatu
kasus. Dengan diberikannya jaminan keamanan dan keselamatan bagi saksi
dan/atau korban, dapat membuat rasa aman dan nyaman bagi mereka sehingga
mereka dapat bersaksi dan memberikan keterangan-keterangan yang dapat
membantu apgakum membongkar suatu tindak pidana kejahatan yang
terorganisir. Saksi dan/atau korban berhak mendapat perlindungan baik
pribadi, keluarga maupun harta bendanya. Saksi dan/atau korban juga berhak

Universitas Sumatera Utara

mendapat bantuan medis dan psikologis s