Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakutas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh : Said Agung Sedayu NIM : 1112048000045

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

i

EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN

KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI

INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Said Agung Sedayu NIM: 1112048000045

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Alfitra, S.H., M.Hum. Fitria, S.H., M.R. NIP. 197220203200701034 NIP. 197908222011012007

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI

DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA”

telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu Hukum dengan Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara.

Jakarta, 6 Oktober 2016 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. NIP: 196912161996031001

PANITIA UJIAN:

1. Ketua : Drs. H. Asep Syarifudin Hidayat, S.H.,M.H. (……….) NIP: 196911211994031001

2. Sekretaris : Nur Rohim Yunus, LLM (……….)

NIP: 197904182011011004

3. Pembimbing I : Dr. Alfitra, S.H.,M.Hum (……….)

NIP: 197220203200701034

4. Pembimbing II: Fitria, S.H.,M.R (……….)

NIP: 19790822201101200

5. Penguji I : Dr.H. M. Ali Hanafiyah, S.H.,M.H (……….)

NIP: 196702032014111001

6. Penguji II : Dedy Nursamsi, S.H.,M.Hum (……….)


(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 29 September 2016


(5)

ABSTRAK

SAID AGUNG SEDAYU, NIM 1112048000045. EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/ 2016 M. x + 71 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka.

Skripsi ini bertujuan untuk memahami bagaimana eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk untuk mengimplementasikan UU No. 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang ditujukan untuk memastikan terakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana. Namun sebagai lembaga yang masih terbilang baru ada beberapa kendala yang dirasakan LPSK baik dari segi kelembagaan maupun undang-undang yang mengaturnya sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan normatif empiris. pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Bahan hukum yang digunakan penulis ada tiga yaitu bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum. Dalam penelitian ini dapat ditemukan kendala-kendala yang dirasakan LPSK antara lain kurangnya dukungan anggaran maupun SDM sehingga pemberian layanan bagi saksi dan korban belum optimal. Kemudian mengenai kedudukannya dalam sistem peradilan pidana. Meskipun LPSK sebagai lembaga yang secara nyata sudah mempunyai mandat untuk melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban dan menjalankan peranannya dalam keseluruhan proses peradilan pidana namun kedudukannya belum diatur dalam KUHAP.

Kata Kunci : LPSK, Sistem Peradilan Pidana, Saksi, Korban, UU No 31 Tahun 2014, Perlindungan Saksi dan Korban.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA” dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkankan kepada manusia teristimewa yang diistimewakan oleh Allah Yang Maha Istimewa yaitu Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat.

Dan tidak lupa ucapan terima kasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua tercinta Mamah Murni dan Papah Rodi Saroyo, serta nenek tercinta Emak Dinih. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materil maupun immateril. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(7)

3. Dr. Alfitra, SH, M. Hum dan Fitria, SH, MR selaku Dosen Pembimbing I dan II yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini. Segenap staff Perpustakaan FSH dan staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memfasilitasi untuk mengadakan studi kepustakaan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Andreas selaku Humas LPSK dan Bapak Syahrial Martanto selaku Tenaga Ahli Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban yang telah meluangkan waktu dalam memberikan informasi dan data terkait skripsi penulis.

6. Al Habib Segaf Bin Umar Bin Abdurrahman Assegaf (Pimpinan Majelis Ta’lim Walmudzakaroh Mahabbatussholihin) Guru teristimewa yang telah mendoakan dan membimbing penulis. Semoga Allah SWT panjangkan umur beliau, sehatkan badan beliau dan diberkahi setiap langkah perjuang beliau. 7. Adik tercinta Maulana Sidiq Sedayu yang telah banyak membantu dikala

printer eror, dan M Ridho Bhogowonto Sedayu yang banyak menghibur penulis dengan celotehannya.

8. Keluarga besar yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil, Mbah Kung dan Mbah Putri, Budhe Peni, Om Peri & Tante Nining, Tante Ita & Om Izal, serta Om Umang & Tante Anti.


(8)

vii

9. Sahabat-sahabat tercinta dari Ilmu Hukum Angkatan 2012 M Yusuf, Renaldi Hendryan, Sigit Ganda, Dimas Anggri, Agie Zaky, Ade Kurniawan, Agasti Prior, Farid Muhajir, Farhan Naziri, Maulana Malik, Rifky Razaqi, Muhammad Ansyori, Deni Fernandez, Bagdhady Zanjani, Murtadlo dan teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaannya selama ini.

10.Kelompok KKN Syakir, Agus, Aqil, Ijal, Vedra, Satrio, Aras, Imam, Salma, Suci, Yayang, Rini, Devi, Luxy, dan Asri yang telah memberikan kesan mendalam kepada penulis.

11.Keluarga Besar Variant Owner Riders Club (VORC) Jakarta, Bang Chandra (Pembina VORC), Rendi Agung (WakaVORC), Dendy Apriansyah (SekBen VORC), Tri Arianto (Kabid Humas VORC), Bowo (Humas VORC), Yudha Eka, Bunaya, Putra (Member VORC) yang telah memacu semangat penulis, salam RBC. Dan seluruh pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga mendapat keberkahan dari Allah SWT.

Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 29 September 2016 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 11

E. Kerangka Konseptual ... 13

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II LANDASAN TEORI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana ... 20

B. Komponen Sistem Peradilan Pidana ... 22


(10)

ix

2. Kejaksaan ... 26

3. Pengadilan ... 27

4. Lembaga Pemasyarakatan ... 29

5. Advokad ... 32

C. Model Sistem Peradilan Pidana ... 36

1. Crime Control Model………36

2. Due Process Model………...37

D. Kedudukan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana………...39

BAB III TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) A. Sejarah Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban……...41

B. Visi, Misi, Serta Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban...43

C. Keangotaan dan Struktur Organisasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ...47

D. Tugas dan Fungsi Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ………...48

E. Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ….………50

F. Hubungan Kerjasama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Lembaga Lain …………,,………..55


(11)

BAB IV EKSISTENSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

A. Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana …...60 B. Tantangan dan Kendala Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ....67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.………...74 B. Saran…...……...75

DAFTAR PUSTAKA…...……...76

LAMPIRAN :

1. Lampiran surat permohonan wawancara kepada pihak LPSK 2. Lampiran surat keterangan telah melakukan penelitian di LPSK

3. Lampiran hasil wawancara bersama Bapak Syahrial Martanto Wiryawan SH. selaku Tenaga Ahli Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban.


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hingga saat ini negara Indonesia telah mengalami empat kali perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),1 dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) dirumuskan dengan tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat)”.

Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law yang diartikan sama dengan negara hukum.2

Namun negara hukum Indonesia agak berbeda dengan rechtsstaat

atau the rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid (tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang), yang kemudian menjadi

rechtsmatigheid (jaminan atas tindakan pemerintah), sedangkan The rule of law mengutamakan prinsip equality before the law. Adapun negara hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip ini terlihat pula adanya elemen lain dari negara hukum Pancasila yakni terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah, dan peradilan

1

Jimy AsshidiqieStruktur Ketatanegaraan Indonesia Seteah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, (Makalah di sampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan tema Penegakkan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14-18 Juli 2003), h.1.

2 Muhammad Tahir Azhary,

Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-Unsurnya (Jakarta :Universitas Indonesia Press,1995), h. 69.


(13)

merupakan sarana terakhir. Sejauh menyangkut HAM, yang ditekankan bukan hanya hak atau kewajiban, melainkan juga jalinan yang seimbang antara keduanya.3

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan makna terdalam dari Negara berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum”. Konsep negara hukum tentu saja sekaligus memadukan paham kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum sebagai satu kesatuan.4

Era reformasi, pasca perubahan atas UUD 1945, strategi pembangunan hukum nasional berpedoman pada apa yang dikenal sebagai Visi dan Misi Pembangunan Hukum Nasional. Visi Pembangunan Hukum Nasional adalah terwujudnya negara hukum5 yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa didalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

3

Hadjon, Philipus M, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 72.

4

Mochtar Kusumaatmaja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan. (Bandung: PT. Alumni, 2002), h. 12.

5

Menurut Mahfud MD yang mengutip hasil dari Konferensi International

Commission of Jurists di Bangkok disebutkan bahwa ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut : 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh atas hak-hak yang dijamin (due process of law); 2. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Adanya pemilu yang bebas; 4. Adanya kebebasan menyatakan pendapat; 5. Adanya kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; 6. Adanya pendidikan kewarganegaraan.


(14)

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi tersebut kemudian diimplementasikan dalam Misi Pembangunan Hukum Nasional dengan:

1. Mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap peraturan perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan, dan kebenaran, dengan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat;

2. Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum; 3. Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, professional, bermoral,

dan berintegritas tinggi; serta Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi, dan berwibawa.6

Dari keseluruhan hukum yang berlaku di Indonesia, berlaku pula hukum pidana, yaitu semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan yang memakai sanksi (ancaman) hukuman bagi mereka yang melanggarnya.7 Sedangkan menurut Hazewinkel Suringa, hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.8

6 Aziz Syamsudin,

Tindak Pidana Khusus, Cet. II (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.1.

7

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 114.

8


(15)

Dengan demikian, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tanpa tawar-menawar. Seseorang dikenakan pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apa pun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apakah dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.9

Konsep hukum pidana Indonesia dari tahun ke tahun telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam konsepsi dasar pandangan hukum pidana yang dialirkan melalui penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal hukum pidana maupun nilai-nilai budaya atau budaya hukum yang bersumber pada perubahan dalam pembangunan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan manusia ternyata sendi kebenaran dan keadilan itu meliputi segala macam segi kehidupan dalam masyarakat, baik di bidang hukum maupun di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemasyarakatan lainnya.10

Pada umumnya tindak pidana yang terjadi menimbulkan korban. Dapat dikatakan korban mempunyai peran fungsional dalam terjadinya tindak pidana. Tindak pidana (kejahatan) dapat terjadi karena ada pihak yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki atau tidak oleh

9

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cet. I (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), h.23.

10


(16)

korban.11 Selain itu terdapat juga saksi, yaitu orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang sesuatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri.

Dalam hukum pidana terdapat sebuah sistem peradilan, atau istilah yang mulai populer di Indonesia, yaitu criminal justice system yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi sistem peradilan pidana.12 Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.13

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga

11

1G. Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), h. 26.

12

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996), h.2.

13

Romli Atmasasmita (1), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 2.


(17)

menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.14

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.15

Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak pidana. Hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak pidana, tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa.

Tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai pihak yang dapat memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal

14Abdussalam dan DPM Sitompul

, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), h. 4.

15Muladi,

Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), h. 13.


(18)

ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus, karena mengingat keterangan yang disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi.16

Mengingat bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki peranan penting dalam proses peradilan pidana. Sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana. Serta belum terdapatnya mekanisme perlindungan saksi dan korban yang baik dari lembaga-lembaga penegak hukum yang ada.

Maka dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Yang diundangkan pada 11 Agustus 2006. Kemudian dalam rangka penyempurnaan UU perlindungan saksi dan korban. Pada tahun 2014 dibuatlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.

16

Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin,Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, h.182


(19)

Meski Kedudukan LPSK sangat penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, lembaga ini tidak termasuk dalam komponen sistem peradilan pidana di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan oleh Romli Atmasasmita, bahwa komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui baik dalam pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Permasyarakatan.17 Jadi selama ini sistem peradilan pidana Indonesia hanya memfokuskan bagaimana memproses pelaku tindak pidananya saja sedangkan saksi dan korban cukup menjadi pelengkap dalam proses peradilan tersebut.

Karena LPSK tidak termasuk dalam komponen sistem peradilan pidana maka kedudukannya tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maka dari itu mantan Wakil Menteri hukum dan HAM, Denny Indrayana menyatakan bahwa rumusan dalam RUU KUHAP perlu meletakkan LPSK sebagai lembaga yang paling berwenang dalam melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban.18

Bahkan didalam UU Nomor 31 Tahun 2014 pun masih terdapat beberapa kelemahan. Salah satunya pada pasal 5 ayat 2 yang menyebutkan bahwa perlindungan terhadap saksi dan korban hanya dapat diberikan pada

17

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, (Bandung: Bina Cipta, 1996), h. 16.

18

M. Zulfikar, Denny : Ada Tiga Kelemahan RUU KUHAP, http://www.tribunnews.com/2013/04/10/denny-ada- tiga-kelemahan-ruu-kuhap, diakses pada 5 April 2016, jam 20.30 WIB.


(20)

tindak pidana dalam kasus tertentu saja.19 Tidak hanya itu kendala lain yang sangat dirasakan LPSK ialah minimnya anggaran dan jumlah SDM yang ada sehingga membuat kinerja LPSK belum optimal. Ini menunjukkan masih terdapat kelemahan terkait LPSK, baik dari kedudukan, kinerja, maupun Undang-Undang yang mengaturnya. Sehingga penulis merasa perlu adanya pembenahan dan penguatan terhadap LPSK agar eksistensinya semakin kuat dan jelas dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Melihat permasalahan tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan melakukan penelitian secara nyata tentang permasalahan yang telah disebutkan. Karena itu penulis bermaksud ingin menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul :

”Eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian skripsi ini sudah seharusnya didalamnya memuat batasan masalah, hal ini diperlukan agar penelitian lebih terarah dan fokus. Untuk itu penulis membatasi permasalahan dalam

19

Pasal 5 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perli du ga “aaksi Da Kor a , Ya g di aksud de ga ti dak pida a dala kasus terte tu a tara lai , ti dak pida a pela ggara hak asasi a usia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan/atau Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.


(21)

penelitian skripsi ini mengenai eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka rumusan masalah disusun dengan pertanyaan penelitian (research question), yaitu:

a. Bagaimanakah peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurut UU Nomor 31 Tahun 2014?

b. Bagaimana tantangan dan kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitain

1. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan :

a. Untuk mengetahui peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menurut UU Nomor 31 Tahun 2014.

b. Untuk mengetahui tantangan dan kendala Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.


(22)

1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan menuangkan hasil-hasil penulisan tersebut dalam tulisan; 2) Menerapkan teori-teori yang telah diperoleh dari bangku kuliah

untuk diaplikasikan dalam praktik di lapangan;

3) Untuk memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya, maupun dalam bidang ketatanegaraan khususnya yakni dengan mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum yang timbul dalam masyarakat.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis tulisan ini bertujuan menggali lebih dalam, serta sebagai bahan rujukan di masa yang akan datang tentang eksistensi LPSK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Berbicara mengenai studi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tentunya sudah ada buku dan skripsi yang membahasnya. Untuk menghindari kesamaan objek dalam penelitian dengan penelitian atau hasil karya yang telah ada, penulis mengadakan studi awal terhadap studi-studi terdahulu.

Kemudian penulis menemukan adanya pembahasan yang sama terkait Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun dari segi substansi dan urgensinya cukup jauh berbeda dengan pokok-pokok permasalahan karya ilmiah lain.


(23)

Adapun buku dan skripsi yang terkait dengan judul diatas sebagai berikut:

1. Skripsi Ponda Rahadyan Harimurti Winarno pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 2011, dengan judul “Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia”. Dalam skripsinya Ponda Rahadyan lebih menekankan kedudukan LPSK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dan implikasi dari kedudukan LPSK terhadap fungsi, tugas, serta wewenang LPSK dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia sedangkan penulis membahas eksistensi LPSK dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Skripsi Bill C.P Simanjorang pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2014, dengan judul “Realisasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Saksi dan Korban di Daerah”. Dalam skripsi ini penulis sama-sama membahas peran LPSK namun berbeda dalam penekanannya. Dalam skripsinya Bill Simanjorang lebih memfokuskan penelitiannya pada realisasi LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban didaerah, sedangkan penulis membahas peran LPSK menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia. 3. Jurnal Andi Rahman, dosen kopertis wilayah IX Provinsi Sulawesi


(24)

Proses Peradilan Pidana”. Dalam jurnal tersebut Andi Rahman lebih fokus membahas perlindungan terhadap saksi dalam proses peradilan pidana terkhusus lagi yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan dan juga dalam jurnalnya tidak fokus membahas LPSK, sedangkan penulis fokus membahas perlindungan saksi dan korban yang dilakukan oleh LPSK dalam kaitannya sebagai penguat sistem peradilan pidana di Indonesia.

4. Buku Supriyadi Widodo Eddyono dengan judul “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia: Sebuah Pemetaan Awal” yang diterbitkan oleh Indonesia Corruption Watch tahun 2007. Dalam buku tersebut Supriyadi Widodo membahas mengenai LPSK secara umum terkait kedudukan, tugas, kewenangan, kelembagaan dan sebagainya. Sedangkan penulis lebih fokus membahas peran LPSK menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban serta tantangan dan kendala LPSK dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia.

E. Kerangka Konseptual

Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa konsep terkait beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Saksi

adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang


(25)

pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.

2. Korban

adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

3. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 31 Tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

4. Sistem Peradilan Pidana

Sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga lembaga kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Tipe Penelitian

Studi ini menggunakan studi penelitian yuridis normatif dengan judul Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.Dalam kaitan nya, penulis mengacu pada peraturan perundang-undangan, gejala hukum serta norma-norma yang ada dalam masyarakat.


(26)

Dalam hal ini penulis melakukan pendekatan normatif empiris, pendekatan ini pada dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.20

3. Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan antara lain: a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundang-undangan, catataan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan atau putusan-putusan hukum.21Bahan hukum yang terdapat di tulisan ini antara lain UU No. 31 Tahun 2014 dan UUD NRI Tahun 1945. b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan ini terdiri dari buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara, Lembaga Independen, Sistem Peradilan Pidana,

20

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat) (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 14-15.

21


(27)

Skripsi tentang Hukum Tata Negara, Jurnal-Jurnal atau materi hukum lain nya yang mendukung penulisan ini.

c. Bahan Non Hukum

Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder.Seperti kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data dengan teknik dokumenter22, yaitu dengan mencari data sekunder yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer yang mencakup norma atau kaidah dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, beberapa undang-undang yang berkaiatan dengan lembaga negara dan wawancara langsung. b. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan-bahan

pustaka yang berisikan tentang bahan primer. Data sekunder ini diperoleh dari buku-buku, internet dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan lembaga negara.

c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara

22

Soerjono Soekanto, Pengantar penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), h. 16.


(28)

lain kamus umum bahasa Indonesia, dictionary, majalah, Koran dan lainnya.23

5. Analisa Data

Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang penulis ambil. Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut.

Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah: pertama, semua bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi, yakni diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan

23

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 33.


(29)

dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat sistematika penulisan dengan membagi pada lima (5) bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub dengan rincian sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan bab pendahuluan, dalam bab ini dijelasakan latar belakang masalah, perumusan masalah dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, manfaat penulisan, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, sistematika penulisan, dan daftar pustaka sementara.

Bab Kedua Gambaran umum tentang sistem peradilan pidana di Indonesia, pada tahap ini penulis akan mencoba menjelaskan tentang : (1) Pengertian sistem peradilan pidana, (2) Model sistem peradilan pidana, (3) Komponen sistem peradilan pidana.

Bab Ketiga Penjelasan tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia yang meliputi: (1) Landasan hukum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), (2) Tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), (3) Tugas pokok Sekretariat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), (4) Hubungan


(30)

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan lembaga lain.

Bab keempat Analisis yang memaparkan mengenai bagaimana eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.


(31)

20 BAB II

LANDASAN TEORI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Dalam hukum pidana terdapat sebuah sistem peradilan, atau istilah yang mulai populer di Indonesia, yaitu criminal justice system yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi sistem peradilan pidana.24 Istilah Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system kini telah menjadi suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem.25

Sistem Peradilan Pidana ialah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.26

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi

24

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Sapta Artha Jaya, 1996), h.2.

25Romli Atmasasmita (1),

Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 2.

26 Abdussalam dan DPM Sitompul

, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), h. 4.


(32)

struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.27

Suatu definisi yang sedikit berbeda diberikan oleh Barda Nawawi Arief, dimana beliau menjelaskan bahwa Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP). Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakan hukum ini dapat diidentikan pula dengan istilah “kekuasaan kehakiman”. Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana atau Sistem Penegakan Hukum Pidana (SPHP) hakikatnya juga identik dengan Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana (SKK-HP).28

Perbedaan pandangan oleh para ahli hukum tersebut terhadap istilah criminal justice system yang telah disebutkan di atas bukanlah menunjukan adanya ketidakseragaman. Namun perbedaan tersebut muncul dikarenakan adanya perbedaan sudut pandang dalam menterjemahkan suatu istilah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh LJ. Van

27

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Undip, 1995), h. 13.

28 Barda Nawawi Arief ,

Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), (Semarang: UNDIP, 2011), h. 34-35.


(33)

Apeldorn, yang menjelaskan tentang perbedaan-perbedaan dalam melakukan pendefinisian, yaitu:29

“Hampir semua ahli hukum yang memberikan definisi tentang hukum, memberikannya berlainan. Ini setidak-tidaknya untuk sebagian, dapat diterangkan oleh banyaknya segi dan bentuk, serta kebesaran hukum. Hukum banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan.”

Dari beberapa pengertian sistem peradilan pidana yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sebuah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah kejahatan dengan memberikan sanksi bagi pelaku kejahatan sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Komponen Sistem Peradilan Pidana

Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sistem peradilan pidana Indonesia mempunyai 4 (empat) komponen atau 4 (empat) sub sistem, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), Kejaksaan dibawah Kejaksaan Agung (KEJAGUNG) dan Pengadilan dibawah Mahkamah Agung (MA) serta Lembaga Pemasyarakatan (LP) dibawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (DEPKUMHAM).

Mardjono Reksodiputro menjelaskan bahwa untuk mencapai tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut maka komponen-komponen di

29

LJ. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1993), h. 1.


(34)

dalamnya wajib untuk bekerja sama, terutama instansi-instansi (badan-badan) dikenal dengan:30

1. Kepolisian; 2. Kejaksaan; 3. Pengadilan; dan

4. Lembaga Permasyarakatan.

Demikian pula diungkapkan oleh Rusli Muhammad, bahwa dalam pandangan Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil peran dalam melakukan proses peradilan pidana diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.31

1. Kepolisian

Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara memiliki ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi dengan sebutan “politeia”, di Inggris “police” juga dikenal adanya istilah

constable”, di Jerman “polizei, di Amerika dikenal dengan “sheriff”, di Belanda “politie”, di Jepang dengan istilah “koban” dan “chuzaisho

walaupun sebenarnya istilah koban adalah merupakan suatu nama pos polisi di wilayah kota, dan chuzaisho adalah pos polisi di wilayah pedesaan.

30

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007), h. 141.

31 Rusli Muhammad,

Sistem Peradilan Pidana Indoensia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 61.


(35)

Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah dikenal dalam bahasa Yunani, yakni “politeia”. Kata “politeia

digunakan sebagai title buku pertama Plato, yakni “Politeia” yang

mengandung makna suatu negara yang ideal sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi.32

Secara filosofis, bahwa eksistensi fungsi kepolisian telah ada sebelum dibentuknya organ kepolisian, karena fungsi kepolisian melekat pada kehidupan manusia, yakni menciptakan rasa aman, tenteram dan tertib dalam kehidupan sehari-harinya.33

Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepolisian sebagai lembaga penegakan hukum melakukan fungsinya pada tahap Penyelidikan dan penyidikan seperti yang tercantum dalam ketentuan pasal 4 KUHAP yang berbunyi :“Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik

Indonesia”. Selain itu yang dimaksud penyidik diatur dalam pasal 6 ayat 1 KUHAP sebagai berikut:

“Penyidik adalah:

a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

32

Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-unsurnya, (Jakarta: UIPress, 1995), h. 19.

33 Sadjijono,

Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governance, edisi-ke satu, (Yogyakarta: Laksbang, 2005), h. 323-324.


(36)

b. Pejabat Pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang.”

Tujuan mencantumkan kedua pasal tersebut diatas adalah adalah agar dapat mengukur dan memahami hal ikhwal proses penegakan hukum dari awal dengan benar, yaitu dimulai dengan penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.34

Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan bahwa kepolisian mempunyai tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Kepolisian bahwa polisi berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Dengan demikian, polisi adalah penyidik dan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyelidik.35

Berdasarkan kewernangan tersebut, apabila ada laporan dan pengaduan dari masyarakat telah terjadi tindak pidana, maka proses pertama untuk pemeriksaan agar terpenuhi unsur-unsur pidana

34

Hartono, penyidikan dan penegakan hukum pidana melalui pendekatan hukum progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 17.

35 H. Pudi Rahardi,

Hukum Kepolisian:Profesionalisme dan Reformasi Polri, Ctk. I, (Bandung: Laksabang Mediatama, 2007), h. 27.


(37)

dilakukan oleh polisi dengan melakukan proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Tindakan penyelidikan dan penyidikan terdapat beberapa rangkaian kegiatan, akan tetapi setiap tindakan yang dilakukan itu masing-masing harus dibuatkan berita acara. Berita acara yang dimaksud, berita acara mengenai pemeriksaan tersangka, berita acara penangkapan, berita acara penahanan, berita acara penggeledahan/penyitaan dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu akan dihimpun ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan kemudian setelah itu dilimpahkan kepada kejaksaan.36

2. Kejaksaan

Pengertian “Jaksa” dan “Penuntut Umum” menurut Pasal 1 Butir 6a dan 6b KUHAP, sebagai berikut.

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim”.

Dengan perkatan lain jaksa yang menangani perkara dalam tahap penuntutan disebut “Penuntut Umum”. Penuntut umumlah yang dapat melaksanakan penetapan hakim. Dengan demikian jaksa lain (yang bukan Penuntut Umum) tidak dapat melaksanakan penetapan

36

Anggun Malinda, Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana (Tersangka, Terdakwa, Terpidana, Saksi dan Korban), (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016) h. 108.


(38)

hakim tetapi penuntut umum, dapat melakukan eksekusi karena dia adalah jaksa (bukan sebagai Penuntut Umum).37

Tugas pokok kejaksaan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 adalah mengadakan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim. Disamping itu, kalau perlu kejaksaan mengadakan penyelidikan tambahan atau lanjutan (nasporing). Jaksa sebagai penuntut umum ditugaskan merumuskan perkara yang diterima dari kepolisian atau instansi yang bertugas sebagai penyidik untuk menyelesaikan perkara menurut hukum. Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, bahwa jaksa sebagai Penuntut Umum, berwenang untuk menerima dan memeriksa berkas perkara, membuat surat dakwaan, melimpahkan berkas perkara ke pengadilan, memberikan perpanjangan pembantu Presiden yang menempatkan posisinya sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan.38

3. Pengadilan

Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara peradilan.39 Peradilan juga dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan disuatu lembaga.40 Dalam kamus

37 Leden Marpaung,

Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.189.

38

Ledeng Marpaung, Proses Penanganan Pidana, Ctk Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 191.

39

Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 2.

40 Mohammad Daud Ali,

Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), h. 278.


(39)

Bahasa Arab disebut dengan istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan, menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum.41

Berkaitan dengan tujuan peradilan pidana ini, Harry C. Bredmeire memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang akan mencegah konflik dan gangguan, terciptanya suatu kerjasama. dalam hal ini untuk mewujudkan tugasnya itu pengadilan membutuhkan tiga masukan (input), yaitu : 1. Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab

akibat antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan diderita akibat dari putusan tersebut. 2. Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling

bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan. 3. Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk

menggunakan pengadilan untuk penyelesaian konflik.42

41

Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.

42 Achmad Ali,

Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta : BP Iblam, 2004), h. 12-14.


(40)

Lembaga pengadilan merupakan pelaksanaan atau penerapan hukum terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang bersifat melihat, putusan mana dapat berupa pemidanaan, pembebasan maupun pelepasan dari hukuman terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga pengadilan sangat penting, dikarenakan pada hakikatnya pengadilan merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara hukum, merupakan barometer dari pada kemampuan bangsa melaksanakan norma-norma hukum dalam negara, sehingga tanpa pandang bulu siapa yang melanggar hukum akan menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya, dan semua kewajiban yang berdasarkan hukum akan terpenuhi.43

4. Lembaga Permasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.44 Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).45

43

Djoko Prakoso, Penyidikan, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987).

44

Lihat Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

45 http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada hari


(41)

Lembaga Pemasyarakatan berasal dari istilah asing “social -institution” atau pranata-sosial , yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivits-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam suatu masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.46

Lembaga permasyarakatan merupakan bagian paling akhir dalam sistem peradilan pidana. Pengelolaan dari lembaga pemasyarakatan di bawah wewenang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia/Dephukham. Sebagai suatu tahapan pemidanaan yang terakhir, sudah semestinya dalam tingkatan ini harus terdapat bermacam harapan dan tujuan dari sistem peradilan pidana yang ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan dari mulai kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek pembinaan dari penghuni Lembaga Permasyarakatan (LAPAS) yang disebut sebagai narapidana (NAPI).47 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan

46

Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana, (jakarta: Sarwoko, 1986), h. 61.

47 Sidik Sunaryo,

Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Press, 2005), h. 236.


(42)

berdasarkan sistem, kelembagan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.48

Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal empat tahap proses pembinaan, yaitu :49

a. Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di dalam lembaga

pemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari bekas majikan atau atasan mereka, dari teman sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas instansi lain yang menangani perkara mereka.

b. Tahap kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, antara lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan, maka kepadanya diberikan lebih banyak

48

Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

49 P.A.F. Lamintang,

Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1994), h. 191.


(43)

kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium security.

c. Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama setengah dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan baik secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan memperbolehkan narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan masyarakat di luar lembaga pemasyarakatan.

d. Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama dua per tiga dari masa pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat, yang penetapan tentang pengusulannya ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan.

5. Advokat / Penasehat Hukum

Kata advokat secara etimologi berasal dari bahasa Latin advocare, yang berarti to defend, to cell to one, is aid to voch or warrant. Sedangkan dalam bahasa Inggris advocate berarti: to speak in


(44)

favour of or depend by argument, to support, indicate, or recommended publicly.50

Secara terminilogi terdapat beberapa pengertian advokat yang didefinisikan oleh para ahli hukum, peraturan dan perundang-undangan :

a. Menurut Harlcn Sinaga, advokat adalah mereka yang memberikan bantuan hukum baik dengan bergabung atau tidak dalam satu persekutuan advokat baik sebagai mata pencaharian atau tidak, yang disebut sebagai pengacara atau penasehat hukum dan pengacara praktek.51

b. Menurut Yudha Pandu, Advokat adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan dipengadilan atau beracara di pengadilan.52

c. Sedangkan menurut KUHAP, advokat adalah seseorang yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.53

Dari beberapa pengertian advokat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

50

Frans Hendra Winarta, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme, dan Keperhatinan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), 19.

51

V. Harlen Sinaga, Dasar-Dasar Profesi Advokat, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 20.

52

Yudha Pandu, Klien dan Penasehat Hukum dalam Persepektif Masa Kini , (Jakarta: PT Abadi Jaya, 2001) h.11

53


(45)

advokat adalah seseorang yang memenuhi syarat berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum bagi kliennya baik di dalam maupun di luar persidangan.

Advokat berprofesi memberi jasa hukum dan bertugas menyelesaikan persoalan hukum kliennya baik secara litigasi maupun nonlitigasi, Menurut Frans Hendra Winata, tugas advokat adalah mengabdikan dirinya pada masyarakat sehingga dia dituntut untuk selalu turut serta dalam penegakan Hak Asasi Manusia, dan dalam menjalankan profesinya ia bebas untuk membela siapapun, tidak terikat pada perintah (order) klien dan tidak pandang bulu siapa lawan kliennya, apakah dia dari golongan kuat, penguasa, pejabat bahkan rakyat miskin sekalipun.54

Yang menjadi menarik untuk dicermati adalah posisi dari seorang advokat / lawyer / penasehat hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana. Mengutip pendapat dari Deborah M. Hussey Freeland, bahwa:55

“Di dalam diskusi Sejarah Hukum dan Common Law terkait fungsi dari seorang pengacara, Saya menemukan hipotesis yang mendukung pentingnya posisi pengacara sebagai pejabat pengadilan (officer of court). Untuk menilai sejauh mana diskusi ini menunjukkan

54

Hendra Winata, Frans, Advokat Indonesia, Citra, Idealisme dan Kepribadian. (Jakarta: Sinar Harapan,1995), h. 14.

55

Deborah M. Hussey Freeland, What is a Lawyer? A Reconstruction of the Lawyer As An Officer of The Court, Saint Louis University, Public Law Review, Vol. XXXI, 2012. h. 427. Yang sudah diterjemahkan oleh Rocky Marbun SH. MH.


(46)

baik hanya aspiratif atau menyadari sepenuhnya untuk peran pengacara, saya mempertimbangkan bagaimana seseorang menjadi seorang pengacara dan bagaimana pengacara berhubungan dengan pengadilan. Untuk melengkapi analisis hukum dan struktural, saya menarik dari teori-teori pembentukan identitas, dialektika Hegel, dan dari sangat langkanya upaya untuk mengeksplorasi apa pengacara tersebut. Saya menemukan bahwa pengacara memanifestasikan, melakukan dan tetap sebagai petugas pengadilan. Jika pengacara belum ditunjuk oleh pengadilan untuk membantu dalam administrasi keadilan, dia tidak akan menjadi pengacara, dan dia tidak akan hadir untuk mewakili kliennya sebagai pihak tindakan hukum. Tugas mewakili dari pengacara dijalankan untuk pengadilan dan kepada klien, dan yang terakhir tergantung dari mantan klien. Identitas profesional pengacara sebagai petugas pengadilan penting bagi pengacara pribadi yang mungkin terganggu dengan mengamati dirinya secara sempit sebagai advokat yang penuh semangat, dan penting juga untuk upaya sistem peradilan kita dalam mempengaruhi supremasi hukum.”

Demikian pula ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menjelaskan sebagai berikut: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.”


(47)

Dengan melihat betapa pentingnya peran penasihat hukum atau advokat ini dalam membela dan melindungi kepentingan hak-hak kebebasan fundamental dari pencari keadilan dalam proses peradilan bidana.56 Serta keberadaannya tercantum di dalam KUHAP dan diatur pada undang-undang lainnya maka jelas advokad adalah sub sistem peradilan pidana.

C. Model Sistem Peradilan Pidana

Herbert L. Packer dalam bukunya The Limits of The Criminal Sanction, mengungkapkan ada dua model dalam proses peradilan pidana (Two Models of The criminal Process), yaitu crime control model (model pengendalian kejahatan) dan due process model (model perlindungan hak).57

1. Crime Control Model

Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa crime control model

merupakan tipe affirmative model, yaitu model yang selalu menekankan pada effisiensi dan penggunaan kekuasaan pada setiap sudut proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.58 Crime Control Model didasarkan pada sistem nilai yang mempresentasikan tindakan represif pada kejahatan

56

http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index.php/Berita-Harian/Kedudukan-dan-Fungsi-Advokat-Dalam-Sistem-Peradilan-Pidana.html diakses pada Kamis 22 September 2016 pukul 18.54 WIB.

57

Herbert L. Packer dalam Petrus Irawan P dan Pandapotan Simorangkir,

Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 56.

58 Romli Atmasasmita (1),

Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 11.


(48)

sebagai fungsi yang paling penting dalam suatu Sistem Peradilan Pidana.59

Tujuan dari Sistem Peradilan Pidana ialah untuk menekan tindak kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan sanksi pidana terhadap terdakwa. Untuk mencapai tujuannya tersebut, maka Crime Control Model menyatakan bahwa perhatian utama haruslah ditujukan pada efisiensi. Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai.60

2. Due Process Model

Menurut John Griffith, due process model tampak sangat berbeda dengan crime control model, sistem due process model

berkisar sekitar konsep penghormatan terhadap individual dan konsep pembatasan kekuasaan resmi.61 Menurut Due Process Model, tujuan

59

Keith A. Findley, Toward A New Paradigm of Criminal Justice: How the Innocence Movement Merges Crime Control and Due Process, Sumber: http://www.law.wisc.edu/m/dfknm/findley_new_paradigm-10-10-08.pdf, diunduh pada tanggal 5 April 2016, h. 8.

60

Rusli Muhammad,Sistem Peradilan Pidana Indoensia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 43.

61

John Griffith, Ideology i Cri i al Procedure or a Third Model of Cri i al

Process, Faculty Scholarship Series, The Yale Law Journal, Paper 3994, 1970, h. 363. Teks Asli: The Due Process Model seems radically different. Its system of values revolves

arou d the co cept of the pri acy of the i dividual a d the co ple e tary co cept of


(49)

dari sistem peradilan pidana adalah untuk menangani terdakwa pidana secara adil dan sesuai dengan standar konstitusi.62

Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang mendasari Due Proses Model adalah:63

1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi (human error) menyebabkan model ini menolak “informal fact finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara definitive “factual guild” seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal adjudicative and adversary fact finding”. Hal ini berarti dalam

setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak penuh untuk mengajukan pembelaannya.

2. Model ini menekankan pada pencegahan (preventive measures) dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan. 3. Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang

sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan martabat manusia.

4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan.

5. Adanya gagasan persamaan di muka hukum.

62

Raul Soares da Viega dan Andre Ventura, Analysis of Different Models of Criminal Justice System-A New Scientific Perspektive, Revista de Ciências Jurídicas e Econômicas, Vol. 2, No. 2, 2010, h. 204.

63

Romli Atmasasmita (1), Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2011) , h. 9-10.


(50)

6. Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.

D. Kedudukan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana

Selama ini dalam proses peradilan pidana keberadaan saksi dan korban hanya diposisikan sebagai pihak yang dapat memberikan keterangan yang dapat digunakan sebagai alat bukti dalam mengungkap sebuah tindak pidana. Hal ini yang menjadi dasar bagi aparat penegak hukum yang menempatkan saksi dan korban hanya sebagai pelengkap dalam mengungkap suatu tindak pidana dan memiliki hak-hak yang tidak banyak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), padahal untuk menjadi seorang saksi dalam sebuah tindak pidana, tentunya keterangan yang disampaikan tersebut dapat memberatkan atau meringankan seorang terdakwa.

Tentunya bagi terdakwa apabila keterangan seorang saksi dan korban tersebut memberatkan tersangka/terdakwa, maka ada kecenderungan terdakwa menjadikan saksi dan korban tersebut sebagai pihak yang dapat memberatkannya dalam proses penanganan perkara, hal ini tentunya dapat mengancam keberadaan saksi dan korban. Berdasarkan hal tersebut, maka tentunya seorang saksi dan korban perlu mendapatkan perlakuan dan hak-hak khusus, karena mengingat keterangan yang


(51)

disampaikan dapat mengancam keselamatan dirinya sebagai seorang saksi.64

Pasal 1 angka 27 KUHAP menjelaskan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dari penjelasan pasal tersebut jelas keberadaan saksi sangat penting bahkan dapat menjadi salah satu alat bukti. Namun sayangnya perlindungan maupun pemenuhan terhadap hak-hak saksi belum diatur dengan baik dalam KUHAP.

Begitupun tentang korban, sistem peradilan pidana sekarang ini berlaku terlalu difokuskan pada pelaku dan kurang memperhatikan korban. Hal yang sering terjadi adalah terlibatnya korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah trauma dan meningkatkan rasa ketidak berdayaannya serta frustasi karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup. Sehingga mengharuskan kita untuk memperbaiki posisi korban dalam sistem ini agar apa yang diperolehnya tidak hanya

kepuasan simbolik.65

64

Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin,Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, h.182.

65

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994), h. 81.


(52)

41 BAB III

TINJAUAN UMUM LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

A. Sejarah Lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Gagasan untuk menghadirkan undang-undang perlindungan saksi dan korban dimulai pada tahun 1999, di mana beberapa elemen masyarakat mulai mempersiapkan perancangan undang-undang perlindungan saksi. Hal ini kemudian disusul dengan adanya naskah akademis66 tentang undang-undang perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana. Naskah akademis ini kemudian menghasilkan RUU perlindungan saksi.67

Kemudian undang-undang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan (TAP) MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi. Berdasarkan amanat TAP MPR tersebut, maka Badan Legislasi DPR RI kemudian mengajukan sebuah RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada

66

Setelah dibentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Prundang-Undangan dalam proses pembentukan Undang-Undang harus ada naskah akademis.

67 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban: LPSK "http://www.lpsk.go.id/


(53)

tanggal 27 Juni 2002 dan ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai RUU usul inisiatif DPR.68

Februari 2005 Rapat Paripurna ke 13 DPR RI Peridoe 2004-2009 telah menyetujui Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Salah satu RUU yang diprioritaskan untuk segera dibahas adalah RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI memandang bahwa RUU Perlindungan Saksi yang juga memuat mengenai ketentuan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memiliki peran strategis dalam upaya penegakan hukum dan memciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, melalui Perlindungan Saksi dan Korban.69

Selanjutnya pada tanggal 30 Agustus 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan sebuah Surat Presiden mengenai kesiapan pemerintah untuk pembahasan RUU PSK serta sekaligus menunjuk Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan tersebut. Turunnya Surat Presiden tersebut sudah menunjukkan itikad baik dari pemerintah agar RUU PSK dapat segera di bahas di DPR.70

Hal tersebut kemudian di respon oleh Komisi III DPR RI yang menetapkan pembahasan RUU PSK dalam bentuk Panitia Kerja (Panja). Proses pembahasan RUU yang dibantu oleh wakil dari pemerintah dilakukan

68

Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h. 9.

69

Zakaria, Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Upaya Perlindungan Terhadap Whistleblower (Makassar: Universitas Hasanudin, 2015), h. 30.

70

Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h. 9.


(54)

secara marathon sejak tanggal 8 Februari 2006, hasil pembahasan tersebut di rumuskan oleh Tim Perumus (Timus) dan Penelitian Bahasa (Libas) yang diteruskan dalam Rapat Komisi III dan Pleno DPR. Pada tanggal 18 Juli 2006 akhirnya RUU ini disahkan menjadi UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).

Namun mengingat undang-undang tersebut masih terdapat beberapa kekurangan baik dalam lingkup konsep perlindungan, tata cara perlindungan, hak saksi maupun korban sampai dengan masalah kelembagaan.71 Maka kemudian dalam rangka penyempurnaan UU perlindungan saksi dan korban. Pada tahun 2014 dibuatlah UU No. 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 13 Tahun 2006. Lahirnya undang-undang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.

B. Visi, Misi, Serta Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

Visi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah terwujudnya perlindungan saksi dan korban yang ideal dalam sistem peradilan pidana. Dalam mewujudkan visi tersebut, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki misi sebagai berikut:72

71

Lihat UU perlindungan Saksi Belum Progresif, Supriyadi Widodo Eddyono, ELSAM-Koalisi Perlindungan Saksi, 2006.

72

VISI & MISI LPSK

http://www.lpsk.go.id/assets/uploads/files/7470d2304eef7ec20ca2e7c6489a79cb.pdf diakses pada Rabu 18 Mei 2016, Pukul 18:05 WIB.


(55)

1. Mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana.

2. Mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban.

3. Memperkuat landasan hukum dan kemampuan dalam pemenuhan hak-hak saksi dan korban.

4. Mewujudkan dan mengembangkan jejaring dengan para pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhan hak-hak saksi dan korban.

5. Mewujudkan kondisi yang kondusif serta partisipatif masyarakat dalam perlindungan saksi dan korban.

Untuk menjalankan visi dan misinya maka LPSK memiliki tugas dan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Koran (LPSK), adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam UndangUndang. Namun UU PSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih lanjut.73 Perumus UU kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan wewenang LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri dalam UU No 13 Tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebar di seluruh UU.74

73

Lihat Pasal 12 UU No 13 Tahun 2006.

74

Supriyadi Widodo Eddyono, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal, cet1 (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2007), h. 14.


(56)

Tugas dan kewenangan LPSK yang tersebar dalam UU No 13 Tahun 2006, yaitu:

1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29).

2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29).

3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1). 4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32). 5. Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak

atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7).

6. Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan 34).

7. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).

8. Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan (Pasal 39).

LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang


(57)

Perlindungan Saksi dan Korban.75 Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, LPSK melaksanakan:76

1. Merumuskan kebijakan di bidang Perlindungan Saksi dan Korban; 2. Melaksanakan perlindungan terhadap Saksi dan Korban;

3. Melaksanakan pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada Saksi dan atau Korban;

4. Melaksanakan diseminasi dan hubungan masyarakat;

5. Melaksanakan kerjasama dengan instansi dan pendidikan pelatihan; 6. Melaksanakan pengawasan, pelaporan, penelitian dan pengembangan; 7. Melaksanakan tugas lain berkaitan dengan pelindungan Saksi dan Korban.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, LPSK memiliki struktur yang terdiri dari pimpinan, anggota dan sekretaris. Anggota LPSK memiliki tanggung jawab atas tugas dan fungsi:

1. Perlindungan; 2. Bantuan; 3. Kerjasama;

4. Pendidikan dan Pelatihan; 5. Pengawasan:

6. Pelaporan;

7. Penelitian dan Pengembangan; 8. Pembentukan hukum; dan

75

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 2

76

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 3


(58)

9. Diseminasi dan humas.77

C. Keanggotaan dan Struktur Organisasi LPSK 1. Keanggotaan LPSK

Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, Kepolisian, Kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akademisi, Advokat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.78

Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK. Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil.79

2. Struktur Organisasi LPSK

Dalam menjalankan tugasnya LPSK terdiri atas unsur Pimpinan dan Anggota. Unsur pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK. Pelaksanaaan kegiatan LPSK dilakukan oleh beberapa anggota yang bertanggung jawab pada bidang-bidang yakni Bidang Perlindungan, Bidang Bantuan, Kompensasi, dan Restitusi, Bidang Kerjasama, Bidang Pengembangan Kelembagaan, dan Bidang Hukum Diseminasi dan Humas.

77

Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 tahun 2010 tentang tugas dan fungsi LPSK. Pasal 4

78

Pasal 14 Undang-undang No 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan Korban.

79 Pasal 18 Undang-undang No 13 Tahun 2006 TentangPerlindungan Saksi dan


(1)

(2)

Hasil wawancara skripsi bersama Bapak Syahrial Martanto Wiryawan SH. selaku Tenaga Ahli Divisi Pemenuhan Hak Saksi dan Korban.

1. Bagaimana peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia…?

Peran LPSK dalam penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia, Kalau merujuk pada UU no 13 tahun 2006 melihat penjelasan umum, jelas disana bahwa UU perlindungan saksi dan korban ini dibuat sebagai pelengkap KUHAP. Karna sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat menitik beratkan kepada tersangka maupun terdakwa sementara untuk saksi maupun korban sangat minim sekali. Jadi kaitannya dengan penguatan sistem peradilan pidana tentunya kehadiran UU PSK ini sangat berarti. Karna UU ini merupakan bagian yang harus ada dalam sistem


(3)

peradilan pidana yang terus berkembang. Sebenarnya negara kita cukup tertinggal, karena perhatian terhadap saksi maupun korban diberbagai negara luar sudah mulai sejak akhir tahun 1960an. Kalau kita bicara tentang perlindungan saksi, program perlindungan saksi di Amerika sudah di awali sejak tahun 1960an. Kemudian gerakan tentang perlindungan korban, yang memandang bahwa korban itu sebagai bagian dari sistem peradilan pidana dan sebagai bagian penting dalam proses penegakan hukum sudah mulai dari tahun 1970an. Sementara negara kita merespon tahun 2006, meskipun telat tapi itu merupakan kemajuan dan berkontribusi bagi penguatan sistem peradilan pidana di Indonesia.

2. Bagaimana eksistensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di

dalam UU No 31 Tahun 2014…? Apakah menurut Bapak masih terdapat

kekurangan dalam UU tersebut…?

UU no 31 tahun 2014 ini memang bagian dari proses negosiasi dan loby terkait dengan praktek implementasi dari UU no 13 tahun 2006, yang di dalam UU tersebut masih terdapat bolong-bolong yang dirasakan oleh LPSK sehingga menghambat dalam pelaksanaan tugas fungsinya. Namun yang namanya proses politik pasti ada hal-hal yang mungkin lebih menjadi prioritas, sehingga target yang dipikirkan LPSK belum sepenuhnya bisa diakomodasi. Banyak hal-hal yang sangat mendasar, misalkan tentang definisi konvensasi yang belum berhasil diubah. Contohnya konvensasi yang sekarang ini digantungkan pada pelaku, padahal seharusnya mutlak pada korban kejahatan. Ya mungkin step berikutnya bisa diakukan


(4)

penyempurnaan kembali. Namun untuk saat ini dengan lahirnya UU No 31 sedikit banyak telah memberikan kemajuan untuk LPSK. Secara kelembagaan sudah semakin mapan meskipun belum maksimal, namun sudah terlihat dari konteks lembaga sudah ada kenaikan kelas. Seperti disebutkan dalam UU tersebut sekretariat sudah berupa sekretariat jendral sehingga sudah dapat berdiri sendiri. Sebelumnya secara administrasi keuangan dan kepegawaian masih di sekretariat negara. kemudian dari segi kewenangan saat ini sudah di eksplisitkan didalam pasal 12 a. kemudian dari segi perlindungan saksi, definisi saksi sudah diperluas bahwa saksi itu tidak harus yang mengalami, mengetahui dan mendengar sendiri namun selama dia tahu konteks permasalahannya dia sudah dapat dipanggil sebagai saksi. Adapun hal-hal yang belum diatur dalam UU tersebut LPSK menyiasatinya dengan membuat aturan-aturan tekhnis sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam UU tersebut. Contohnya PNS yang menjadi whistleblower, kita bisa terobos dengan melakukan MOU terhadap kementrian pemberdaya gunaan aparatur negara atau dengan komisi-komisi terkait lainnya misal seperti komisi ombutsmen.

3. Bagaimana hubungan kordinasi LPSK dengan lembaga lainnya…?

Adakah kendalanya…?

Kalau kita melihat UU LPSK ini habitatnya di proses peradilan pidana, bahwa tugas fungsi LPSK terkait perlindungan bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, itu kata kuncinya. Artinya LPSK ini dari


(5)

segi habitat dan karakter kelembagaan termasuk bagian dari sistem peradilan pidana. LPSK termasuk sub sistem disitu, namun terkadang ini tidak dipahami oleh khususnya penegak hukum. Karna bicara mengenai peradilan pidana, pasti lekat dengan penegak hukum namun disitu terkadang ada miss persepsi tentang LPSK. Namun seiring berjalannya waktu LPSK sudah membangun jejaring kerjasama dengan Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan lain-lain. Dari hubungan kerjasama itu membuat hubungan antara LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya semakin baik.

4. Apa yang menjadi kendala LPSK dalam menjalankan tugasnya…?

Kendala yang masih dirasakan LPSK sebagai organisasi yang masih baru antara lain kendala SDM dan dukungan anggaran. Seperti staf di LPSK perlu adanya peningkatan kapasitas karna jumlahnya masih kurang. Mengingat LPSK ini sebagai lembaga baru yang dibentuk tahun 2008 akhir, 2009 baru aktif. Undang-undangnya memang lahir dari 2006 namun anggota LPSK baru terpilih agustus 2008. Kita betul-betul membangun dari awal, mulai dari membentuk format dan lain sebagainya karna memang di Indonesia belum ada lembaga seperti ini sebelumnya.

5. Menurut Bapak/ Ibu, untuk lebih efektif terkait LPSK ini, langkah apa saja yang seharusnya dilakukan pemerintah…?

Untuk membuat LPSK semakin efektif, saat ini LPSK menunggu disahkannya dua prodak hukum yaitu KUHP dan KUHAP. Karena dua


(6)

UU tersebut sangat menentukan bagaimana LPSK kedepan. Saat ini masih dalam pembahasan di DPR, minimal LPSK disebut di dalam KUHAP, artinya dengan adanya penyebutan LPSK didalam KUHAP membuat eksistensi LPSK sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana semakin kuat. Meskipun saat ini LPSK sudah kuat karena UU PSK jelas melengkapi KUHAP, namun banyak penegak hukum yang sangat positifis dan normative yang hanya memandang KUHAP saja. Dengan adanya penyebutan LPSK dalam KUHAP tentunya semakin menguatkan eksistensi LPSK, sampai saat ini LPSK masih terus memberi masukan-masukan kepada DPR terkait topik-topik LPSK untuk kepentingan perlindungan saksi dan korban.