PEMBIAYAAN SYARIAH BAGI USAHA MIKRO KECI

PEMBIAYAAN SYARIAH BAGI USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
(UMKM) DI INDONESIA

Artikel
Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Manajemen Keuangan Syariah
Dosen Pengampu: Achmad Zaky., MSA., Ak.,SAS.,CMA.,CA

Varin Wilda Rahmadia
155020300111043

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

Pembiayaan Syariah bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia
Dewasa ini perbankan syariah sedang menjadi pilihan bagi para pelaku bisnis di
Indonesia. Adanya perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun merupakan sebuah perwujudan dari permintaan
masyarakat Indonesia yang membutuhkan suatu perbankan yang menyediakan jasa

keuangan yang sehat serta memenuhi prinsip-prinsip syariah. Di Indonesia telah berdiri
13 Bank Umum Syariah (Bank Aceh Syariah, Bank Muamalat Indonesia, Bank Victoria
Syariah, BRI Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, BNI Syariah, BSM, Bank Mega
Syariah, Bank Panin Syariah, Bank Syariah Bukopin, BCA Syariah, Maybank Syariah
Indonesia, dan Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah) dengan 474 kantor cabang,
21 Unit Usaha Syariah dengan 150 kantor cabang, dan 166 Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah [CITATION Keu17 \l 1033 ].
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia telah
berusaha merealisasikan ajaran-ajaran Islam di segala aspek kehidupan, termasuk dalam
sistem perekonomiannya dengan mendirikan berbagai Lembaga Keuangan berdasarkan
prinsip Syariah. Hal ini bertujuan agar para pelaku bisnis yang taat pada ajaran Islam
dapat menjalankan usahanya terhindar dari riba (bunga). Khususnya bagi pelaku usaha
UMKM yang membutuhkan modal, lembaga keuangan syariah di Indonesia mencoba
memperkenalkan Baitul Maal Wat Tamwil (lembaga keuangan mikro syariah) kepada
mereka. Ternyata hadirnya lembaga keuangan ini mampu meningkatkan usaha UMKM
secara signifikan melalui peningkatan pendapatan usaha, laba dan aset [CITATION Wid09
\l 1033 ]
Sebagaimama dimuat dalam artikel Tempo.Co, Ali Sakti selaku Direktur Eksekutif
Islamic Economic Forum for Indonesian Development (ISEFID), memprediksi bahwa
perkembangan perbankan syariah di tahun 2017 akan semakin membaik, dimana akan

terjadi peningkatan portofolio pembiayaan berbasis bagi hasil (PLS) sebesar 40% dan
rasio kredit macetnya (NPF) juga semakin rendah, di bawah 4%. Untuk itu, perbankan
syariah harus meningkatkan kerjasamanya dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah
(LMKS) yang memiliki fleksibilitas dan pengetahuan dalam memperkuat pembiayaan
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) [ CITATION Tem17 \l 1033 ].
UMKM ialah suatu unit usaha mikro, kecil, dan menengah yang sangat
berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan dibentuk berdasarkan asas
kekeluargaan, demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi
nasional [CITATION Ind08 \l 1033 ]. Usaha ini lebih potensial untuk dikembangkan dengan
suatu kebijakan dan dukungan dari lembaga-lembaga yang tepat.
Permasalahan utama dari UMKM ini ialah kesulitan mencari modal usahanya,
sehingga usaha tersebut sulit berkembang menjadi usaha yang besar. Hal ini mungkin
disebabkan karena kurangnya pemahaman pelaku UMKM dalam menyajikan sebuah
laporan keuangan usahanya yang digunakan untuk mengajukan kredit/pembiayaan.
Selain itu, umumnya pelaku UMKM, misalnya pedagang makanan, membeli bahan baku
produksinya secara tunai (tidak boleh mengutang) kepada pemasok. Sedangkan saat
mereka menjual produknya ke warung-warung atau toko-toko dengan sistem konsinyasi
(titipan), mereka tidak langsung menerima pendapatan secara tunai atas penjualan
barangnya. Apalagi jika produk yang mereka titipkan tidak laku, bisa jadi akan

dikembalikan dan kerugiannya ditanggung sendiri oleh mereka. Dengan kata lain, jangka
waktu pengembalian (balik) modalnya lama. Oleh sebab itu perlu adanya penyokong
dana modal bagi para pelaku usaha UMKM, yaitu bank.
Bank sebagai lembaga keuangan memiliki fungsi utama mempertemukan dua
pihak atau lebih antara pihak yang membutuhkan dana di satu sisi dan pihak yang
mempunyai kelebihan dana pada sisi lain. Dengan kata lain, core bisnis perbankan
adalah menjadi financial intermediary antara surplus unit dengan deficit unit, yaitu pihakpihak yang memerlukan dana berupa kredit atau pembiayaan. Melalui pinjaman kredit

atau pembiayaan, bank berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat (deficit unit) bagi
kelancaran usahanya [ CITATION Muh05 \l 1033 ].
Oleh karena itu, Lembaga Keuangan Syariah (LKS), baik Perbankan Syariah
maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Islamic Micro Finance Institution), selaku
lembaga intermediari sekaligus pemilik dana (shahibul maal) diharapkan mampu
mengatasi permasalahan pelaku UMKM di Indonesia dengan memberikan pembiayaan
kepada mereka untuk memulai dan memperkuat usaha mereka. Hal ini sejalan dengan
Peraturan Bank Indonesia yang menetapkan bahwa Bank Umum maupun Bank Umum
Syariah (BUS) wajib memberikan kredit atau pembiayaan ke UMKM sekurang-kurangnya
20% dari total kredit atau pembiayaan yang dilakukan [CITATION Ban12 \l 1033 ].
Terdapat beberapa jenis pembiayaan yang diberikan bank syariah kepada UMKM,
antara lain pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, istishna, salam dan

sebagainya. Pembiayaan mudharabah merupakan kontrak pembiayaan antara bank
selaku pemilik modal (shahibul maal) dengan nasabah selaku pengelola modal
(mudharib) yang mengelola usaha dan keuntungannya dibagi sesuai nisbah yang
disepakati. Pembiayaan musyarakah merupakan kerja sama dalam pembiayaan sebuah
proyek dimana bank dan nasabah sama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek tertentu, dan setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut
bersama bagi hasilnya yang telah disepakati dengan pihak bank. Pembiayaan
murabahah merupakan produk pembiayaan bank syariah untuk membiayai pembelian
barang-barang konsumer, kebutuhan modal kerja, dan kebuthan investasi [CITATION
Dja03 \l 1033 ].
Dari beberapa jenis pembiayaan di atas, ternyata penerapan pembiayaan
mudharabah dan musyarakah jauh lebih rendah dibandingkan pembiayaan murabahah.
Pada bulan Februari 2017, total pembiayaan mudharabah hanya 5,86% dan musyarakah
31,61%, sedangkan pembiayaan murabahah mencapai 56,58% dari total seluruh akad
pembiayaan yang dilakukan BUS dan UUS [CITATION Keu17 \l 1033 ]. Padahal
sebenarnya pembiayan mudharabah dan musyarakah dengan sistem bagi hasil lebih
menguntungkan. Kedua jenis pembiayaan ini dianggap sebagai cara yang efektif dalam
meningkatkan peran lembaga keuangan syariah untuk meningkatkan perekonomian.
Prinsip kemitraan memberikan kemampuan untuk memungkinkan transfer pengetahuan
dan teknologi yang mendukung UMKM [ CITATION Pra16 \l 1033 ]. Pembiayaan

mudharabah diharapkan lebih bisa menggerakkan usaha yang bersifat produktif,
sehingga tidak menutup kemungkinan untuk dapat menciptakan lapangan kerja yang
baru. Selain itu apabila jumlah pembiayaan tinggi, hal ini akan menarik nasabah untuk
lebih berani dalam menginvestasikan dana yang dimiliki ke dalam pembiayaan
mudharabah [ CITATION Gia13 \l 1033 ].
Terlepas dari jenis-jenis akad pembiayaan syariah di atas, penelitian yang
dilakukan Widiyanto dan Ismail (2010) cukup membuktikan bahwa secara umum
pembiayaan syariah terbukti efektif dalam mengembangkan UMKM di Indonesia.
Keefektifan ini dievaluasi dengan melihat kondisi rata-rata pendapatan bisnis dan laba
UMKM saat pertama kali bergabung dalam pembiayaan syariah dengan beberapa waktu
kemudian saat penelitian mereka dilakukan. Hasilnya terjadi peningkatan signifikan
setelah UMKM ikut pembiayaan syariah BMT. Pada awalnya, saat UMKM ikut
pembiayaan syariah, rata-rata pendapatan usaha, laba, dan aset mereka masing-masing
sebesar Rp3.434.120,10, Rp803.379,90, dan Rp10.002.598,04, namun beberapa waktu
kemudian saat penelitian dilakukan nilai tersebut telah meningkat masing-masing sebesar
Rp7.742.279,41, Rp1.877.972,79, dan Rp25.854.341,67 [CITATION Wid10 \l 1033 ].
Selain itu untuk mengukur keefektifan pembiayaan dengan melihat tingkat kredit
macet atau non-performing financing (NPF) yang terjadi. Tinggi rendahnya tingkat NPF
mengindikasikan pembiayaan tersebut efektif dalam mengembangkan UMKM. Sebab,
UMKM yang mampu mengembangkan usahanya akan memperoleh laba, sehingga ia

mampu mengembalikan pembiayaan dengan pembagian hasil keuntungannya kepada
LKS.

Pada sebuah kontrak bisnis, pihak yang terlibat kontrak masing-masing wajib
menjaga amanah/kepercayaan dan tanggung jawabnya. Sehingga diperlukan adanya
keterbukaan/transaparansi antara kedua belah pihak dalam hal untung dan rugi bisnis
yang dijalankan agar tidak terjadi aktivitas moral hazard dan adverse selection. Moral
hazard yaitu masalah yang dihadapi bank ketika pembiayaan sudah dijalankan, muncul
risiko bahwa nasabah kemungkinan menggunakan dana yang diberikan tidak untuk
semestinya dan kemungkinan nasabah melaporkan hasil yang didapatkan tidak sesuai
dengan aktualnya, sedangkan adverse selection yaitu masalah yang timbul dalam
menyeleksi nasabah yang akan diberikan pembiayaan karena bank sulit mengetahui
dengan pasti kriteria yang dimiliki calon nasabah sehingga terjadi kesalahan dalam menlai
nasabah [ CITATION Har16 \l 1033 ]. Wilson (2004:35) mengatakan bahwa kontrak
pembiayaan modal (mudharabah/musyarakah) mengandung konflik kepentingan dan
sangat mungkin terjadi masalah moral hazard, sehingga perlu kehatian-hatian bagi
pemilik modal untuk melakukan pembiyaan ke pengelola modal [CITATION Muh08 \l 1033
]
Dalam pembiayaan syariah kepada UMKM, LKS sebaiknya melakukan
penyeleksian terhadap kredibilitas (akhlaq/kejujuran), kemampuan menjalankan usaha,

pengalaman usaha, jaminan, dan kelayakan bisnis sebuah UMKM. Proses seleksi ini
mencakup seleksi administrasi, wawancara, maupun meneliti kelayakan usaha. Terlebih
lagi dalam pembiayaan mudharabah, penyeleksian tersebut sangat penting untuk
dilakukan agar kemungkinan terjadinya NPF atau kredit macet dapat berkurang.
Berikutnya, dalam hal pemakaian dana oleh UMKM sebaiknya LKS terus
melakukan pengawasan/kontrol agar modal tersebut tidak disalahgunakan untuk hal-hal
lain di luar tujuan usaha. Pembiayaan yang dapat mengurangi terjadinya penyelewengan
pemakaian dana ini salah satunya yaitu pembiayaan murabahah. Dimana, LKS
memberikan modal kepada pelaku UMKM bukan berupa uang melainkan berupa produk
barang yang diperlukan pelaku usaha. Selanjutnya pengendalian usaha dilakukan LKS
dengan mengawasi usaha tersebut secara periodik dapat melalui kunjungan secara
langsung ke lokasi usaha. LKS juga harus membangun hubungan baik dengan pelaku
UMKM agar mereka dapar memperoleh informasi bisnis dengan mudah dan akurat dari
para pelaku UMKM.
Hadinoto dan Retnadi (2007) berpendapat bahwa sebenarnya masyarakat
pedesaan (atau pelaku usaha UMKM) tidak hanya sekedar membutuhkan modal. Mereka
juga membutuhkan nasihat dan pengetahuan tentang pemberdayaan pasar, mengenai
kualitas dan kemasan produk, masalah manajerial dan teknologi informasi. Manajemen
bisnis dan keterampulan akuntansi dianggap penting bagi perkembangan bisnis/usaha
apapun untuk dapat bertahan dalam jangka panjang. Usaha miko yang memiliki kualitas

produk yang baik, produk dikemas dengan baik, manajemen yang baik, dan pengetahuan
pasar yang ringgi tentu dapat meningkatkan daya tawar perusahaan mikro di depan
perusahaan besar [ CITATION Had07 \l 1033 ].
Jadi, sebenarnya LKS tidak hanya memberikan fasilitas yang bersifat finansial
kepada pelaku UMKM, tetapi juga non-finansial berupa nasihat atau ilmu bisnis kepada
mereka. Apabila hal tersebut dilakukan, baik LKS maupun pelaku usaha UMKM akan
merasa diuntungkan satu sama lain. Dimana dengan berkembangnya usaha UMKM,
maka risiko pembiayaan bermasalah atau NPF-nya bagi LKS dapat berkurang. Di sisi
lain, pelaku usaha UMKM juga dapat mengembangkan usaha kecil mereka dengan baik
hingga bisa menjadi usaha besar dan mampu bersaing dengan usaha-usaha besar
lainnya. Dengan demikian, peningkatan pembiayaan Perbankan Syariah dan Lembaga
Keuangan Syariah lainnya kepada unit-unit UMKM tentunya dapat memberikan dampak
positif bagi perekonomian Indonesia. Sebab, adanya pembiayaan syariah ini diharapkan
mampu membantu pelaku UMKM untuk memulai dan mengembangkan usahanya dan
dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar secara global, sehingga akan
membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dan mengurangi tingkat kemiskinan
di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. (2012). Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI 2012 tentang Pemberian

Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Retrieved Mei 4, 2017, from
http://www.bi.go.id/id/peraturan/perbankan/Documents/ce573697043f40f4803cb8552c
6db8a1pbi_142212merge.PDF
Djamil, F. (2013). Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah.
Jakarta: Sinar Grafika.
Giannini, N. G. (2013). Accounting Analysis Journal. Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan
Mudharabah pada Bank Umum Syariah di Indonesia, 2(1). Retrieved Mei 1, 2017, from
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/aaj/article/view/1178
Hadinoto, S., & Retnadi, D. (2007). Micro Credit Challange. Jakarta: PT Elexmedia Komputindo.
Harahap, R. M. (2016). Resiko Moral Hazard pada Perbankan Syariah di Indonesia, 12(1). Retrieved
Mei 7, 2017, from
http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/Almaslahah/article/download/347/284
Muhammad. (2005). Bank Syari'ah: Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Muhammad. (2008). Manajemen Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada.
Otoritas Jasa Keuangan. (2017, April). Statistik Perbankan Syariah, Februari 2017. Retrieved Mei 4,
2017, from Web site Otoritas Jasa Keuangan: http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/datadan-statistik/statistik-perbankan-syariah/Documents/Pages/Statistik-Perbankan-Syariah--Februari-2017/SPS%20Februari%202017.pdf
Pratiwi, A. (2016). Islamic Banking Contribution in Sustainable Socioeconomic Development in

Indonesia, 32(2), 98-120. doi:10.1108/H-12-2015-0085
Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah. Retrieved Mei 7, 2017, from http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/uubi/Documents/UU20Tahun2008UMKM.pdf
Tempo. (2017, Januari 18). Pembiayaan Bank Syariah Diprediksi Tumbuh 40 Persen. (A. Malik,
Editor) Retrieved Mei 4, 2017, from Tempo.Co:
https://m.tempo.co/read/news/2017/01/18/087837206/2017-pembiayaan-bank-syariahdiprediksi-tumbuh-40-persen
Widiyanto , M. C., & Ismail, A. G. (2007). Sustainability of BMT financing for Developing Microenterprises. Retrieved Mei 1, 2017, from https://mpra.ub.unimuenchen.de/13746/1/MPRA_paper_13746.pdf
Widiyanto, M. C., & Ismail, A. G. (2010). Improving the Effectiveness of Islamic micro-financing,
26(1), 65-75. doi:10.1108/08288661011025002