Perilaku Asimetris Pemerintah Pusat Terh

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

PERILAKU ASIMETRIS PEMERINTAH DAERAH TERHADAP
TRANSFER PEMERINTAH PUSAT
Oleh :
Laras Wulan Ndadari1
Priyo Hari Adi2
Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana

ABSTRAK
Kebijakan otonomi memberikan respon yang beragam antar satu daerah dengan lainnya.
Tidak semua daerah mempunyai kesiapan yang sama, dikarenakan rendahnya kapasitas
fiskal. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah pusat
memberikan dana
perimbangan/transfer kepada pemerintah daerah. Namun demikian, dalam perjalanannya
transfer pemerintah pusat justru menjadi diinsentif bagi peningkatan kemandirian daerah.
Daerah menjadi lebih bergantung pada transfer pemerintah pusat daripada mengoptimalisasi
pendapatan sendiri (PAD). Terdapat indikasi perilaku asimetris daerah dalam merespon
transfer dari pemerintah pusat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada kecenderungan perilaku

asimetris pemerintah daerah kabupaten atau kota terhadap pemerintah pusat yang diwujudkan
dalam APBD. Pengujian hipotesis dilakukan melalui pengukuran Manipulasi Belanja
(Expenditure Manipulation)
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa transfer pemerintah pusat berpengaruh terhadap
besarnya pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten atau kota. Pada saat
pemerintah daerah menerima transfer dari pemerintah pusat dana itu digunakan tanpa adanya
upaya untuk meningkatkan PAD tiap-tiap daerah.
Keywords : transfer pemerintah pusat,manipulasi belanja, pendapatan asli daerah, perilaku
asimetris

1
2

ndadarizm@yahoo.co.id
priyohari@staff.uksw.edu

1

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008


LATAR BELAKANG
Otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia hingga saat ini merupakan wujud dari
diberlakukannya desentralisasi. Otonomi daerah ini selaras dengan diberlakukannya UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Otonomi daerah bertujuan untuk
mewujudkan kemandirian daerah sehingga daerah bebas untuk mengatur dirinya tanpa ada
campur tangan pemerintah pusat.
Hingga saat ini otonomi daerah memang sudah berjalan di tiap kabupaten dan kota di
Indonesia. Realitas menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum dapat sepenuhnya lepas dari
pemerintah pusat di dalam mengatur rumah tangga daerah. Hal ini tidak hanya terlihat dalam
konteks kerangka hubungan politis dan wewenang daerah, namun juga terlihat dalam hubungan
keuangan antara pusat dan daerah (Simanjuntak, 2001).
Implikasi langsung atas implementasi otonomi daerah adalah kebutuhan dana yang cukup
besar. Sumber dana utama pemerintah daerah berasal dari PAD, yang dipakai untuk membiayai
belanja modal dan pembangunan. Namun dalam beberapa tahun berjalan sumber pembiayaan
daerah tidak hanya berasal dari PAD saja. Pemerintah daerah juga mendapatkan bantuan transfer
dana dari pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004
Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Pemberian dana perimbangan ditujukan untuk mengurangi adanya

disparitas fiskal vertikal (antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah), dan juga untuk
membantu daerah dalam membiayai kewenangannya.

2

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Permasalahan yang terjadi saat ini adalah pemerintah daerah terlalu menggantungkan
alokasi DAU untuk membiayai belanja modal dan pembangunan tanpa mengoptimalkan potensi
yang dimiliki daerah. Disaat alokasi DAU yang diperoleh besar, maka pemerintah daerah akan
berusaha agar pada periode berikutnya DAU yang diperoleh tetap. Menurut Adi (2006) proporsi
DAU terhadap penerimaan daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan daerah
yang lain, termasuk PAD. Kuncoro (2007) juga menyebutkan bahwa PAD hanya mampu
membiayai belanja pemerintah daerah paling tinggi sebesar 20%. Kenyataan ini tidak sejalan
dengan tujuan otonomi daerah yaitu memandirikan daerah dengan potensi-potensi yang
dimilikinya. Hal inilah yang menimbulkan perilaku asimetris pada pemerintah daerah.
Menurut Alderete (2004) ketika pemerintah pusat memberikan bantuan melalui transfer
kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan belanja daerah, ada spekulasi bahwa pengeluaran
pemerintah daerah merespon perubahan transfer itu secara asimetris. Perilaku asimetris ini dapat

dilihat dengan adanya pengeluaran yang berasal dari bantuan (grants) yang memberikan
keuntungan pribadi, sedangkan di lain pihak anggaran juga berkurang. Maimunah (2006)
membuktikan adanya perilaku asimetris yang ditunjukkan oleh pengaruh DAU terhadap belanja
daerah dan PAD. Besarnya proporsi DAU berpengaruh positif terhadap belanja daerah, tetapi
besarnya proporsi PAD tidak berpengaruh secara signifikan terhadap belanja daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa transfer pemerintah khususnya DAU begitu dominan dalam membiayai
belanja pemerintah daerah.
Sedangkan Kuncoro (2007) juga menyebutkan bahwa peningkatan alokasi transfer diikuti
dengan pertumbuhan belanja yang lebih tinggi. Hal ini dapat menunjukkan adanya indikasi
bahwa peningkatan belanja yang tinggi tersebut dikarenakan inefisiensi belanja pemerintah,
3

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

terutama belanja operasional. Selain itu pada saat transfer dana dari pemerintah pusat menurun
maka juga diikuti oleh penurunan belanja daerah yang melebihi penurunan PAD. Kecenderungan
ini menunjukkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat masih tinggi.
Dalam jangka panjang ketergantungan ini seharusnya dikurangi, karena akan berdampak negatif
pada kemandirian daerah.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pola perilaku pemerintah daerah kabupaten
atau kota terhadap perubahan besaran transfer dari pemerintah pusat. Rumusan persoalan untuk
penelitian ini adalah : Apakah terjadi kecenderungan perilaku asimetris pemerintah daerah
kabupaten atau kota terhadap perubahan besaran transfer yang diterima dari pemerintah pusat?

TELAAH TEORITIS
Transfer Pemerintah Pusat
Untuk melaksanakan kewenangan daerah, pemerintah pusat memberikan bantuan kepada
daerah dalam bentuk transfer. Gan Jun et all. (2005) mengartikan transfer pemerintah pusat
sebagai pengalihan dari pendapatan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
yang memainkan peranan penting dalam menentukan tingkat disparitas sosial sehingga dalam
jangka panjang dapat mengembangkan perekonomian negara.
Sebelum masa otonomi daerah, besaran transfer pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah diwujudkan dalam tiga bentuk (http://www.djpk.depkeu.go.id) yaitu : (1) Subsidi Daerah
Otonom (SDO), (2) Bantuan Inpres, dan (3) Daftar Isian Proyek (DIP), Sedangkan saat ini, pada
era otonomi daerah ketiga bentuk transfer ini dihilangkan. Sebagai gantinya pemerintah pusat
memberikan transfer kepada pemerintah daerah dalam bentuk Dana Perimbangan (DBH, DAU,
4

The 2nd National Conference UKWMS

Surabaya, 6 September 2008

dan DAK). Secara umum DBH dan DAU digolongkan ke dalam bentuk unconditional transfer
atau biasa disebut dengan transfer tak bersayarat. Sedangkan DAK digolongkan ke dalam bentuk
conditional transfer atau biasa disebut dengan transfer bersyarat (Azwardi, 2007).
Pada umumnya pemerintah pusat memberikan transfer dana dalam bentuk DAU. DAU
adalah dana yang bersumber dari APBN yang bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar
daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah (UU
No. 33 Tahun 2004). Basis utama perhitungan DAU adalah kesenjangan fiskal (fiscal gap) atau
perbedaan antara kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal di masing-masing daerah. Berdasarkan
UU No. 33 Tahun 2004 pengalokasian DAU ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal
gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi
daerah (fiscal capacity). Apabila suatu daerah memiliki potensi fiskal besar tetapi kebutuhan
fiskal kecil maka akan memperoleh alokasi DAU yang relatif kecil. Sebaliknya, untuk daerah
yang potensi fiskalnya kecil sedangkan kebutuhan fiskalnya besar maka akan memperoleh
alokasi DAU yang relatif besar.
Pendapatan Asli Daerah
Pemerintah daerah di dalam membiayai belanja daerahnya, selain dengan menggunakan
transfer dari pemerintah pusat, mereka juga menggunakan sumber dananya sendiri yaitu PAD.

Menurut UU No. 33 Tahun 2004, PAD adalah pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan
5

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai
perwujudan desentralisasi.
PAD memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian daerah. Daerah yang
memiliki tingkat pertumbuhan PAD yang positif mempunyai kemungkinan untuk memiliki
pendapatan per kapita yang lebih baik (Harianto dan Adi,2007). Apabila suatu daerah PAD-nya
meningkat maka dana yang dimiliki pemerintah akan meningkat pula. Peningkatan ini akan
menguntungkan pemerintah, karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan daerahnya.
Perilaku Asimetris
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana respon pemerintah daerah
terhadap transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat pada belanja daerahnya, Ekaristi (2007)
menunjukkan salah satu contoh perilaku asimetris terjadi karena pemerintah pusat tidak memiliki
informasi yang cukup mengenai kemampuan dan potensi daerah yang dimiliki


untuk

memaksimalkan pendapatannya. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk menggunakan
celah kesempatan yang ada dengan dengan tidak memaksimalkan PAD agar pemerintah pusat
bersedia untuk memberikan bantuan berupa DAU dalam jumlah yang besar. Hal inilah yang di
kemudian hari berdampak pada menurunnya kemandirian daerah.
Sedangkan Gramlich (1977) dalam Kuncoro (2006), menyatakan bahwa dalam kasus
keuangan daerah ada respon yang tidak simetri terhadap perubahan besarnya transfer.
Argumentasi ini didasarkan pada pemikiran bahwa transfer diberikan untuk suatu jangka waktu
tertentu. Selama periode tersebut, pihak-pihak yang memperoleh keuntungan dari penerimaan
transfer cenderung meningkat. Setelah transfer dikurangi, pihak-pihak tersebut mulai melakukan
6

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

lobi

untuk


mempertahankan

keuntungannya

7

melalui

kenaikan

pajak

lokal.

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah Terhadap Transfer Pemerintah Pusat
Transfer yang diberikan kepada pemerintah daerah memiliki kaitan yang erat dengan

pertumbuhan perekonomian. Transfer dapat meningkatkan belanja daerah yang kemudian akan
meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Holtz-Eakin et al (1994) dalam Harianto dan Adi
(2007) menyatakan ada keterkaitan yang sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan
belanja modal. Maimunah (2006) juga membuktikan bahwa besarnya nilai DAU berpengaruh
secara positif terhadap belanja daerah. Selain itu penelitian yang dilakukan Adi (2006)
membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah memberikan dampak yang positif
terhadap PAD. Hal ini membuktikan bahwa PAD dan transfer pemerintah dalam bentuk DAU
memiliki peran yang penting di dalam perekonomian suatu daerah.
Dalam APBD belanja daerah terdiri dari belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja
rutin merupakan belanja yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah seharihari, seperti belanja pegawai, belanja operasional dan pemeliharaan, serta belanja perjalanan
dinas. Sedangkan belanja pembangunan digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas
pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasarana publik.
Namun yang terjadi saat ini adalah bagi pemerintah pusat, DAU dijadikan sebagai
instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan atau untuk mengisi fiscal gap. Sedangkan
bagi pemerintah daerah DAU dijadikan sebagai sarana untuk mendukung kecukupan
(sufficiency). Dengan demikian dapat diartikan pemerintah daerah akan mengupayakan agar
pemerintah pusat tetap memberikan DAU sehingga belanja daerah tercukupi. Seperti dikatakan
Levaggi (1991), dalam Kuncoro (2006) hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
8


The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

daerah digambarkan sebagaimana layaknya prinsipal dengan agen. Pemerintah pusat (prinsipal)
akan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah (agen) untuk menyelenggarakan
penyediaan barang dan jasa publik di daerahnya. Permasalahan mulai timbul saat ada asimetri
informasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan berakibat pemerintah pusat
tidak memiliki kontrol terhadap penggunaan transfer. Namun hal inilah yang justru menjadi
tujuan dari bantuan tak bersyarat, yaitu pemerintah daerah mampu menentukan sendiri
penggunaan transfer yang paling efisien sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Perilaku asimetris juga dapat dilihat saat pemerintah daerah mendapatkan transfer berupa
DAU yang lebih kecil dari periode sebelumnya maka belanja pemerintah akan turun. Penurunan
belanja yang ada tidak sebanding dengan penurunan PAD, belanja pemerintah justru lebih
rendah dibanding dengan penurunan PAD. Kemudian pada saat pemerintah mendapatkan DAU
yang lebih tinggi, maka pemerintah meningkatkan belanjanya, namun tidak disertai dengan
peningkatan PAD yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiaji
dan Adi (2007). Mereka membuktikan bahwa setelah diberlakukannya desentralisasi di
Indonesia, peran PAD untuk mendanai belanja daerah mengalami penurunan yang signifikan.
Timbulnya perilaku asimetris pada umumnya dikarenakan pemerintah daerah
menginginkan agar besarnya DAU yang diterima tetap, atau dapat terus bertambah dari satu
periode ke periode selanjutnya. Terkait dengan hal ini, Koncoro (2007) menjelaskan dengan
menggunakan teori konsumsi, yaitu masyarakat dianggap berperilaku rasional yang
memaksimumkan utilitas dengan kendala pendapatannya. Hal ini dapat diartikan meskipun
pemerintah daerah memiliki keterbatasan pendapatan (PAD), akan tetapi pemerintah tetap
menanggarkan pengeluaran di luar batas pendapatan karena didesak oleh kebutuhan.
9

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Sedangkan menurut Kuncoro (2007) saat masyarakat (pemerintah daerah) menerima
transfer maka akan terjadi kenaikan penerimaan pajak daerah dan peningkatan konsumsi barang
publik. Hal ini menunjukkan bahwa transfer meningkatkan konsumsi akan barang publik namun
tidak menjadi substitut pajak daerah. Kejadian inilah yang di berbagai literatur disebut dengan
flypaper effect. Dougan dan Kenyon (1988) dalam Dewi (2006) menyebutkan flypaper effect
merupakan suatu keganjilan dimana kecenderungan dari dana bantuan (transfer) akan
meningkatkan belanja publik yang lebih besar dibandingkan dengan pertambahan pendapatan
yang diperoleh dari masyarakat. Dapat juga dikatakan bahwa flypaper effect muncul saat transfer
pemerintah pusat digunakan sepenuhnya untuk membiayai kegiatan belanja pemerintah daerah
tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD.
Dadan (2006) juga menuturkan bahwa masalah timbul karena belum maksimalnya
pengalokasian DAU karena dasar perhitungan fiscal needs yang tidak memadai. Ditambah lagi
pengeluaran anggaran (APBD) belum mencerminkan belanja yang sesungguhnya dan cenderung
tidak efisien. Seharusnya untuk membiayai pengeluaran dan belanja daerah, pemerintah perlu
untuk mempertimbangkan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang dimilikinya. Salah satu
cara yaitu dengan menggali dari sumber penerimaan pajak atau dari potensi SDA.
Davey (1988) menyatakan bahwa setiap transfer dari pusat pada dasarnya merupakan
sedekah yang tidak diperlukan pemerintah daerah, jika mereka tidak terlalu boros dalam
pengeluaran dan lebih tekun menarik pajak dari penduduknya. Transfer dana dari pusat justru
akan mudah mengundang munculnya intervensi pusat kepada daerah yang akhirnya justru
menimbulkan ketergantungan daerah kepada pusat itu sendiri.

10

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Dalam penelitian ini kecenderungan perilaku asimetris dihitung dengan menggunakan
perhitungan Manipulasi Belanja atau Expenditure Manipulation (Dollery, 1995). Cara ini
memperhitungkan besarnya Anggaran PAD yang dipengaruhi oleh empat variabel. Variabel itu
adalah : Rasio dari pendapatan nasional yang diberikan pemerintah pusat bagi pemerintah daerah
, Persepsi relatif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Kepentingan relatif dari DAU
terhadap belanja pemerintah, serta Tingkat Pengangguran Terbuka.
H1 :

Terjadi perilaku asimetris Pemerintah Daerah dalam Merespon Transfer
Pemerintah Pusat (DAU)

METODE PENELITIAN
Jenis data yang diperlukan di dalam penelitian ini adalah data kuantitatif mengenai
APBD dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 pada Kabupaten dan Kota se-Indonesia.
Sumber data di dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data anggaran dan realisasi
APBD dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 pada Kabupaten dan Kota se-Indonesia.
Populasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten dan Kota se-Indonesia dari tahun 2002
sampai dengan tahun 2006. Sedangkan pengambilan sampel menggunakan metode nonprobability sampling dari 461 Kabupaten dan Kota di Indonesia. Syarat daerah yang dijadikan
sampel adalah daerah yang memiliki data-data yang lengkap dan daerah yang tidak mengalami
pemekaran. Setelah dilakukan sampling dan menyesuaikan dengan kedua syarat di atas, maka
yang memenuhi syarat tersebut hanya sebanyak 41 Kabupaten dan Kota.

11

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Analisis data dilakukan melalui tiga tahap yaitu : (1) Analisis statistik deskriptif, (2) Uji
asumsi klasik (normalitas, heteroskedatisitas, autokorelasi, dan multikolinieritas), (3) Uji
hipotesis, meliputi uji statistik F dan uji korelasi.
Persamaan regresi di dalam pengukuran Manipulasi Belanja (Expenditure Manipulation)
dapat dirumuskan sebagai berikut :

ln Eg t  ln  0  ln  1 (1 / Pg ' )Yt  ln  2 (Pr' / Pg ' ) t  ln  3 (1 / Pg ' ) t  ln  4U  v t

Keterangan
Eg

= Anggaran PAD (periode t)

Pg’

= Anggaran DAU (periode t)

Y

= Penerimaan daerah (periode t)

Pr’

= Realisasi DAU (periode t)

Rr

= Realisasi PAD (periode t)

U

= Tingkat Pengangguran Terbuka

(1/Pg’)Y = Rasio dari pendapatan nasional yang diberikan pemerintah pusat begi
pemerintah daerah.
(Pr’/Pg’)= Persepsi relatif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah (periode t)
(1/Pg’) = Kepentingan relatif dari DAU terhadap belanja pemerintah (periode t)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Deskriptif Statistik
Dari data sebanyak 41 Kabupaten dan Kota, selama 5 tahun (2002-2006) diperoleh data
sebanyak 205 Kabupaten atau Kota. Melalui analisis deskriptif, dapat diketahui N (banyaknya
data yang diolah), nilai minimum data, nilai maksimum data, Rerata (nilai tengah), dan standar
deviasi data atas variabel penelitian.
12

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Tabel 1
Statistik Deskriptif
Variabel
Egt
(Anggaran PAD)

(1/Pg)Y
(Rasio pendapatan
nasional bagi
pemerintah
daerah)
(Pr/Pg)
(Persepsi relatif
pemerintah pusat,
pemerintah
daerah)
(1/Pg)
(Kepentingan
relatif dari DAU
terhadap belanja
pemerintah)
U
(Tingkat
Pengangguran
Terbuka)

Minimum
Maksimum
Rerata
Deviasi std.
Minimum
Maksimum
Rerata

2002
22.1251
26.2662
23.5191
0.8667
0.1714
1.1750
0.4043

2003
22.5248
25.5406
23.7883
0.8051
0.1703
1.0066
0.3649

2004
22.3628
26.2159
23.8679
0.9127
0.1743
1.2387
0.3909

2005
22.5662
26.5195
24.0374
0.8850
0.2399
1.2029
0.4420

2006
22.9007
26.3207
24.1556
0.8496
-0.1948
1.3766
0.3667

Deviasi std.
Minimum
Maksimum
Rerata

0.2303
-0.1141
0.1141
-0.0025

0.1944
-0.1617
0.1862
-0.0081

0.2250
-0.2328
0.0676
-0.0111

0.2232
-0.0544
0.0000
-0.0013

0.2459
-0.4274
0.2572
-0.0016

Deviasi std.
Minimum
Maksimum
Rerata

0.0375
-26.4962
-25.1215
-25.8789

0.0565
-26.6685
-25.2677
-26.0165

0.0465
-26.7624
-25.0824
-26.0142

0.0085
-26.8298
-25.2110
-26.0482

0.0903
-27.1360
-25.8441
-26.4838

0.4167
0.6992
2.8467
1.9387
0.5333

0.4125
0.8750
3.0464
2.0742
0.5915

0.4740
1.2006
3.1693
2.2930
0.5289

0.4585
1.0576
3.2042
2.2368
0.5169

0.4204
0.8587
3.2056
2.2620
0.5049

Deviasi std.
Minimum
Maksimum
Rerata
Deviasi std.
sumber : data sekunder yang diolah

Dari tabel 1 diketahui bahwa rata-rata Anggaran PAD mengalami peningkatan dari
tahun 2002-2006. Namun di sisi lain nilai deviasi standar Anggaran PAD masih tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah sudah mulai menggali potensi-potensi daerahnya
sehingga meningkatkan PAD. Tingginya deviasi standar menunjukkan bahwa disparitas PAD
masih besar, yang berarti PAD pada tiap-tiap daerah berbeda. Ada kemungkinan suatu daerah
memiliki potensi daerah yang besar sehingga PAD-nya tinggi, sedangkan ada daerah lain yang
potensi daerahnya kecil sehingga PAD-nya rendah.
13

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Sedangkan variabel Kepentingan relatif dari DAU terhadap belanja pemerintah
mengalami penurunan. Hal ini berarti belanja pemerintah sudah mampu dibiayai dengan
menggunakan PAD, akan tetapi ketergantungan pemerintah daerah akan DAU belum dapat
dihilangkan. Ketergantungan ini juga dijelaskan dari variabel Rasio pendapatan nasional bagi
pemerintah daerah mengalami penurunan, yang berarti anggaran DAU dari pemerintah pusat
mengalami peningkatan.

Uji Asumsi Klasik
Pengujian ini terdiri dari empat macam : (1) Uji Normalitas, (2) Uji Heteroskedatisitas,
(3) Uji Autokorelasi, dan (4) Uji Multikolonieritas. Dari pengujian menggunakan Kolmogorov
Smirnov (Lampiran) yang dilakukan secara univariate, maka akan diperoleh dua variabel yang
tidak normal, yaitu variabel Persepsi relatif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan
variabel Kepentingan relatif DAU terhadap belanja pemerintah daerah. Namun setelah dilakukan
pengujian secara multivariate, akan didapatkan data terdistribusi normal, yang terlihat dari grafik
histogram maupun normal plot. Oleh karenanya semua pengujian dalam penelitian ini dilakukan
secara multivariate.
Hasil uji heteroskedatisitas dapat diketahui bahwa data bebas dari masalah
heteroskedatisitas. Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan grafik scatterplots (lampiran). Grafik
menunjukkan titik-titik menyebar secara acak dan tersebar baik di atas maupun di bawah angka 0
pada sumbu Y.
Pengujian menggunakan Durbin Watson dilakukan untuk mengetahui apakah data
terhindar dari gejala autokorelasi (lampiran). Dari pengujian ini diperoleh nilai DW sebesar
14

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

1,878. Karena nilai ini masih di bawah 2, maka dapat dikatakan tidak terjadi gejala outokorelasi
pada data-data ini.
Sedangkan pengujian multikolonieritas dapat dilakukan dengan melihat nilai tolerance
dan Variable Inflation Factor (VIF).

Hasil pengujian menunjukkan

tidak adanya

multikolonieritas antara variabel independen di dalam model regresi. Hal ini dapat diketahui dari
kolom tolerance, tidak ada variabel independen yang memiliki nilai tolerance kurang dari 0,10
yang berarti tidak ada korelasi antar variabel independen yang nilainya melebihi 95%. Hasil
perhitungan nilai VIF juga menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel independen yang
memiliki nilai VIF lebih dari 10 (lihat lampiran).
Pengujian Hipotesis
a. Uji Statistik F
Tabel 2
Uji Statistik
Model

Sum of
Squares

1 Regression
124.615
Residual
34.697
Total
159.312
sumber : data sekunder yang diolah

Df

F

Sig.

Adjusted R
Square

4
200
204

179.576

0.000

0.778

Std. Error
of the
Estimate
0.417

Berdasarkan uji statistik F diperoleh nilai F hitung sebesar 179,576 dengan probabilitas
0,000. karena probabilitas lebih kecil dari 0,05 maka model regresi ini dapat dipakai untuk
memprediksi Anggaran PAD. Selain itu dapat dikatakan bahwa Rasio pendapatan nasional yang
diberikan pemerintah pusat untuk pemerintah daerah, Persepsi relatif dari pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, Kepentingan relatif dari DAU terhadap belanja pemerintah daerah, dan

15

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Tingkat Pengangguran Terbuka secara bersama-sama berpengaruh terhadap besarnya Anggaran
PAD.
Adjusted R Square sebesar 0,778 menunjukkan bahwa sebesar 77,8% variasi anggaran
PAD dijelaskan oleh keempat variasi variabel di atas. Sedangkan 22,2% sisanya dipengaruhi
oleh variabel lainnya.
Dari kedua hal di atas dapat diketahui bahwa besarnya PAD suatu daerah dipengaruhi
oleh besarnya alokasi DAU. Bisa jadi, ada kecenderungan pemerintah daerah enggan untuk
menggali potensi-potensi daerahnya karena mereka merasa belanja daerah sudah cukup dibiayai
dengan DAU saja.
b. Uji Korelasi
Tabel 3
Coefficients
Model
T
1 (Constant)
-4.5849
Ln(1/Pg)Y
21.8616
Ln(Pr/Pg)
-5.0898
Ln(1/Pg)
-18.5879
LnU
-0.0634
sumber : data sekunder yang diolah

Sig.
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.9495

Keterangan
tidak terjadi fiscal illusion
terjadi fiscal illusion
tidak terjadi fiscal illusion
tidak terjadi fiscal illusion
tidak terjadi fiscal illusion

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hanya Rasio dari pendapatan nasional yang
diberikan pemerintah pusat bagi pemerintah daerah saja yang memiliki hubungan positif dengan
anggaran PAD. Hal ini menunjukkan variabel tersebut memiliki korelasi dengan Anggaran PAD.
Sedangkan Persepsi Relatif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Kepentingan relatif
DAU terhadap belanja pemerintah, dan Tingkat Pengangguran Terbuka memiliki hubungan
negatif dengan Anggaran PAD. Hal ini menunjukkan ketiga variabel tersebut tidak memiliki

16

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

korelasi dengan Anggaran PAD, meskipun untuk Tingkat Pengangguran Terbuka sebenarnya
tidak berpengaruh terhadap besarnya Anggaran PAD karena nilai signifikansinya > 0,05.
Berdasarkan tabel 3 di atas, fiscal illusion terjadi pada variabel Rasio dari pendapatan
nasional yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Fiscal illusion ditunjukkan
dengan adanya korelasi yang positif antara variabel tersebut dengan Anggaran PAD. Hal ini
berarti terjadi manipulasi belanja di dalam belanja pemerintah daerah dimana saat pemerintah
daerah memiliki PAD yang tinggi, di sisi lain ketergantungan akan DAU juga masih tinggi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ekaristi (2007) ataupun Dollery dan
Worthington (1995). Dalam penelitian Dollery dan Worthington disebutkan apabila terdapat
variabel transfer pemerintah pusat yang memiliki hubungan positif dengan Anggaran PAD maka
ada inidikasi terjadi ilusi fiskal (fiscal illusion).
Ilusi fiskal merupakan salah satu bentuk dari perilaku asimetris, sehingga apabila terjadi
ilusi fiskal, maka terjadi pula perilaku asimetris. Dari pernyataan ini dapat disimpulkan hipotesis
yang menyatakan terjadi perilaku asimetris pemerintah daerah dalam merespon transfer
pemerintah pusat diterima. Kesimpulan menunjukkan pemerintah daerah masih sangat
bergantung pada besarnya alokasi DAU. Dapat dikatakan pula, meskipun di satu sisi pemerintah
daerah berusaha untuk memaksimalkan PAD, namun ketergantungan pemerintah daerah akan
DAU masih tetap tinggi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kuncoro (2007) yang menyatakan
pemerintah daerah bertindak sangat reaktif terhadap transfer yang diterima dari pusat. Kuncoro
(2007) mengindikasikan terjadi kecenderungan ketergantungan yang semakin tinggi terhadap
pemerintah pusat. Upaya-upaya peningkatan pendapatan sendiri menjadi semakin rendah,
17

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

akibatnya bila dikemudian hari pemerintah pusat memberikan transfer yang lebih rendah, maka
daerah akan lebih memilih mencari alternatif pembiayaan lain seperti pinjaman.

Transfer

pemerintah pusat disatu sisi bermanfaat bagi peningkatan kapasitas fiskal daerah, namun disisi
lain bisa berdampak negatif terhadap optimalisasi berbagai potensi lokal yang dimiliki

PENUTUP
Kesimpulan dan Implikasi
Berdasarkan perhitungan, keempat variabel yang dihitung, yaitu : rasio dari pendapatan
nasional yang diberikan pemerintah pusat bagi pemerintah daerah, persepsi relatif dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kepentingan relatif dari DAU terhadap belanja
pemerintah daerah, dan tingkat pengangguran terbuka berpengaruh terhadap Anggaran PAD
sebesar 77,8%.
Hasil penelitian memberikan bukti adanya perilaku asimetris daerah dalam merespon
transfer pemerintah pusat. Perhitungan dengan manipulasi belanja (Expenditure Manipulation)
menunjukkan bahwa rasio dari pendapatan nasional Y ang diberikan pemerintah pusat bagi
pemerintah daerah memiliki korelasi yang positif dengan Anggaran PAD. Hal ini memberikan
indikasi bahwa pemerintah daerah akan terus mengupayakan untuk tetap memperoleh DAU di
periode-periode yang akan datang. Pemerintah daerah memperlihatkan adanya perilaku asimetris
dengan cara memanipulasi pengeluaran pemerintah setinggi mungkin dengan tidak
mengupayakan maksimalisasi PAD agar nantinya dapat dapat memperoleh bantuan berupa
transfer dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah merasa lebih mudah untuk memaksimalkan
belanja daerah daripada menempuh cara untuk memaksimalkan PAD. Tingkat ketergantungan
18

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat menjadi semakin tinggi; upaya-upaya peningkatan
kapasitas fiskal justru mengalami hambatan dikarenakan kebijakan pemberian transfer ini, justru
menimbulkan kemalasan fiskal daerah (Nanga, 2005)
Berdasarkan hasil penelitian, pemerintah pusat hendaknya melakukan pengendalian yang
lebih ketat yaitu dengan selalu melakukan verifikasi atas segala informasi yang diperoleh dari
pemerintah daerah terkait dengan APBD. Informasi yang perlu diperhatikan khususnya adalah
yang terkait dengan pengalokasian DAU dikarenakan DAU memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap besarnya anggaran PAD. Disisi lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap
pemerintah pusat, pemerintah daerah seharusnya mulai untuk mengupayakan untuk mencari cara
memaksimalkan potensi daerahnya yang akan berdampak pada meningkatnya PAD. Cara ini
harus dilakukan karena tidak mungkin selamanya pemerintah daerah akan selalu bergantung
pada transfer pemerintah pusat.
Keterbatasan dan Saran Penelitian Mendatang
Beberapa keterbatasan yang diharapkan dapat disempurnakan dalam penelitian-penelitian
mendatang, antara lain :
a. Variabel-variabel yang digunakan untuk menghitung besarnya pengeluaran pemerintah
terhadap anggaran PAD dalam penelitian ini masih terbatas. Penelitian mendatang
diharapkan menggunakan variabel-variabel lain untuk melihat secara lebih luas adanya
perilaku asimetris pemerintah dalam merespon transfer pemerintah pusat.
b. Penelitian ini hanya menggunakan perhitungan Manipulasi Belanja (Expenditure
Manipulation) untuk mengetahui ada tidaknya perilaku asimetris. Hal ini ini disebabkan
19

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

terbatasnya akses data. Akses data yang lebih luas untuk penelitian mendatang
memberikan peluang digunakannya

perhitungan lain seperti Perhitungan Pendapatan

(Revenue Enhancement) untuk memperoleh gambaran yang lebih nyata terjadinya
perilaku asimetris pemerintah daerah.

DAFTAR PUSTAKA
Adi, Priyo
Hari, 2006, Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja
Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah (Studi Pada Kabupaten dan Kota Se JawaBali). Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang
Alderete, J. C., 2004, Assymmetric Responses of Local Expenditures to Changes in Intergovernmental Grants, discussion paper, Department of Economics, Stanford University,
January.
Dadan, bersama Tim JPIP harian Jawa Pos, 2006, Desentralisasi Fiskal dan Pertarungan
KewenanganPusat-Daerah,
http://www.goodgovernancebappenas.go.id/archive_wacana/kliping_wawasan/Klipwsn_
2006/wawasan. 1 Februari 2008
Davey, Kenneth, 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Praktek-praktek Internasional dan
relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Penerjemah Amanullah dkk., UI-Press, Jakarta
Dollery, Brian dan Andrew Worthington, 1995, Federal Expenditure and Fiscal Illusion : an
Australian Test for The Flypaper Hypotesis. Publius : Journal of Federalism.
Ekaristi, Puspa Dewi, 2007, Kecenderungan Adanya Fiskal Illusion dalam Anggaran
Pendepatan dan Belanja Daerah (APBD): Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa
Tengah. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (tidak
dipublikasikan)
Gan, Jun ; Hongfei Wang, dan Gang Chen, 2005, Intergovernmental Fiscal Transfer System-A
New Model From A Comparison Between Sweden and China, Kristianstad University,
Mei.
Harianto, David dan Priyo Hari Adi, 2007, Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Pendapatan
Asli Daerah, Belanja Modal, dan Pendapatan Perkapita, Simposium Nasional Akuntansi
X, Makasar.
20

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

http://www.djpk.depkeu.go.id
_________________________, 2004, Kajian Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (Intergovernmental Fiscal Review)
Kuncoro, Haryo, 2007, Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Atas
Perubahan Besaran Transfer dari Pemerintah Pusat, The 1st Accounting Conference
Faculty of Economic Universitas Indonesia.
_ , 2006, Kajian Pengaruh Transfer Antar Pemerintah Pada Kinerja Keuangan
Pemerintah Daerah.
Maimunah, Mutiara. 2006. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten atau Kota di Pulau
Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang 23-26 Agustus 2006.
Nanga, Muana. 2005. Analisis Posisi Fiskal Kabupaten/Kota di NTT: Adakah Posisi Fiskal
Pasca Otda Lebih Baik? Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah.
___________________________________, Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Setiaji, Wirawan dan Priyo Hari Adi, 2007, Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah
Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran ? (Studi Pada Kabupaten dan Kota se
Jawa-Bali), Simposium Nasional Akuntansi X, Unhas Makasar.
Simanjuntak, Dr. Robert, 2001, Kebijakan Pungutan Daerah di Era Otonomi, Domestic Trade,
Decentralization and Globalizatio n: A One Day Conference, LPEM-UI, Jakarta.

21

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

LAMPIRAN – LAMPIRAN
Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parameters

Rerata
Deviasi Std
Absolute
Positive
Negative

Most Extreme
Differences

Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data

LnEgt
205
23.8737
0.8837
0.0755
0.0755
-0.0473
1.0814
0.1927

Ln(1/Pg)Y
205
0.3938
0.2240
0.1959
0.1959
-0.1495
2.8051
0.0000

Ln(Pr/Pg)
205
-0.0049
0.0543
0.3480
0.2883
-0.3480
4.9820
0.0000

Histogram
Dependent Variable: LNEGT
30

Frequency

20

10
Std. Dev = .99
Mean = 0.00
N = 205.00

0

75
2.
25
2.
75
1.
25
1.
5
.7

5
.2
25
-.
5
- .7
5
.2
-1
5
.7
-1
5
.2
-2
5
.7
-2
5
.2
-3
5
.7
-3
5
.2
-4
5
.7
-4

Regression Standardized Residual

22

Ln(1/Pg)
205
-26.0883
0.4796
0.0744
0.0744
-0.0588
1.0658
0.2060

LnU
205
2.1610
0.5475
0.0548
0.0428
-0.0548
0.7846
0.5694

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Normal P-P Plot of Regression Standa
Dependent Variable: LNEGT
1.00

Expected Cum Prob

.75

.50

.25

0.00
0.00

.25

.50

.75

1.00

Observed Cum Prob

Kesimpulan : Berdasarkan uji Kolmogorov Smirnov ada dua variabel yang tidak normal, yaitu variabel
(1/Pg)Y dan (Pr/Pg). Namun berdasarkan grafik histogram dan grafik Normal P-Plot, ternyata
secara multivariate data terdistribusi normal. Artinya model regresi pengujian hipotesis layak
untuk diujikan

Uji Heteroskedatisitas
Scatterplot
Dependent Variable: LNEGT
Regression Studentized Residual

4

2

0

-2

-4

-6
-2

-1

0

1

Regression Standardized Predicted Value

2

23

3

4

The 2nd National Conference UKWMS
Surabaya, 6 September 2008

Kesimpulan : Tidak terjadi masalah heteroskedatisitas karena titik-titik menyebar secara acak dan tersebar
baik di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y.

Uji Autokorelasi
Model
1
a
b

R
0.8844

R
Square
0.7822

Adjusted R
Square
0.7779

Std. Error of the
Estimate
0.4165

DurbinWatson
1.8784

Predictors: (Constant), LnU, Ln(Pr/Pg), Ln(1/Pg), Ln(1/Pg)Y
Dependent Variable: LnEgt

Kesimpulan : Tidak terjadi gejala autokorelasi karena nilai DW sebesar 1,8784 lebih kecil dari 2

Uji Multikolonieritas
Unstandardized
Coefficients
Std.
B
Error

Model
1

(Constant)

-7.5976

1.6571

Ln(1/Pg)Y
Ln(Pr/Pg)
Ln(1/Pg)

2.9388
-2.7779
-1.1617

0.1344
0.5458
0.0625

LnU

-0.0034

0.0540

Standardized Coefficients
Beta

t

Sig.

Collinearity Statistics
Tolerance

VIF

-4.5849

0.0000

0.7449
-0.1708
-0.6305

21.8616
-5.0898
-18.5879

0.0000
0.0000
0.0000

0.9379
0.9666
0.9464

1.0662
1.0346
1.0567

-0.0021

-0.0634

0.9495

0.9714

1.0295

a. Dependent Variable: LnEgt

Kesimpulan : Tidak terjadi gejala multikolonieritas karena tidak ada variabel yang memiliki nilai tolerance
kurang dari 0,10 dan nilai VIF juga menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel yang
memiliki nilai VIF lebih dari 10.

24