Analisis Materi Muatan dalam Perda Kab.

Analisis Terhadap Materi Muatan dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun 2003 tentang Berpakaian
Muslim dan Muslimah Bagi Siswa, Mahasiswa dan Karyawan1
Ali Rido
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indoensia (PSHK FH UII),
Jl. Lawu No. 01, Kotabaru, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.

Pendahuluan
Seperti diketahui, sejumlah pemerintahan daerah di Sumatra Barat
banyak dipandang sebagai daerah yang banyak menerapkan Peraturan
Daerah (Perda) berlandaskan syariat Islam. salah satu diantara daerah
tersebut adalah Kabupaten Pasaman melalui Peraturan Daerah Kabupaten
Pasaman Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Berpakaian Muslim dan
Muslimah Bagi Siswa, Mahasiswa Dan Karyawan. Perda tersebut pada
akhirnya telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Tidak
sedikit yang kemudian memprtentangkan bahwa keberadaannya tidak
selaras dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Mmuatan materi yang terkandung di dalam perda tersebut, adalah
seputar kewajiban bagi pejara dan karyawan untuk mengenakan pakaian
muslimah. Adapun maksudnya adalah untuk menggambarkan keimanan
seseorang dan bertaqwa kepada Allah Subhanahu wata'ala serta taat

mengamalkan Agama Islam sekaligus melestarikan pakaian adat.
Sementara salah satu tujuannya adalah untuk sikap dan perilaku
sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang baik dan berakhlak mulia.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penulisan ini akan mencoba
menganalisa dari segi asas yang dimuat di dalam perda tersebut apakah
telah relevan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), asas-asas dan teori pembentukan
peraturan perundang-undangan.

1

1 Tulisan ini merupakan salah satu seri rangkaian penelitian terhadap Peraturan
Daerah Bias Agama di Indonesia Pasca Implementasi Otonomi Daerah.

PSHK FH UII | Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

Analisis Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 22
Tahun 2003 Tentang Berpakaian Muslim Dan Muslimah Bagi Siswa,
Mahasiswa Dan Karyawan
Beberapa ketetuan di dalam perda a quo yang kemudian menjadi

perdebatan adalah dimulai dari adanya Pasal 5 yang berbunyi:
Setiap siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Mahasiwa, dan Karyawan wajib
berpakaian muslim dan muslimah, sedangkan bagi warga masyarakat
umum adalah bersifat himbauan.
Ketentuan pasal tersebut yang kemudian menjadi trigger (pemacu)
terhadap munculnya pasal-pasal yang senafas bahwa dalam segala
aktivitas harus menggunakan pakaian muslim atau muslimah (vide Pasal
6, Pasal 7, dan Pasal 8).
Aspek yang lebih menhebohkan, bahwa bagi siapa yang melanggar
terhadap ketentuan perda a quo dapat dikenakan sanksi. Sungguhpun
sanksi yang dicantumkan hanyalah „sanksi administratif‟ (vide Pasal 11),
namun dalam segi hukum pengenaan sanksi yang berasal dari implikasi
pelanggaran terhadap ketentuan syariat menjadi hal menarik untuk
diperbincangkan. Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut dapat
diambil analisis sebagai berikut; pertama, dari segi konsideran menimbang
disebutkan dan dikonstruksikan sebagai berikut:
a. bahwa salah satu perwujudan dari pelaksanaan ajaran agama
Islam, terhadap muslim dan muslimah dapat dilihat dari bentuk
dan cara perpakaiannya dalam kehidupan sehari-hari;

b. bahwa menutup aurat didalam Islam hukumnya vvajib, baik
didalam ibadah yang bersifat mahda maupun yang ammah;
c. bahwa untuk terwujudnya suasana kehidupan masyarakat yang
mencerminkan kepribadian muslim dan muslimah serta dalam
upaya mewujudkan masyarakat Kabupaten Pasaman yang beriman
dan bertakwa, maka dipandang perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang berpakaian Muslim dan Muslimah.
Terhadap konstruksi konsideran tersebut, merupakan konstruksi
yang tidak lazim dan dapat dikatakan telah menyalahi ketentuan dalam
pembentukan

peraturan

perundang-undangan.

Seharusnya

bagian

konsideran, terlebih perda tersebut merupakan peraturan di tingkat

kabupaten maka idealnya langsung merujuk pada perintah pasal yang
mengamanatkan pembentukan perda yang dimaksud. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam Lampiran B.3 Nomor 27 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU

PSHK FH UII | Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

2

P3),

yaitu

konsiderans

pertimbangan

yang

Peraturan


berisi

uraian

Daerah
ringkas

cukup

memuat

mengenai

satu

perlunya

melaksanakan ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang
atau Peraturan Pemerintah yang memerintahkan pembentukan Peraturan

Daerah tersebut dengan menunjuk pasal atau beberapa pasal dari
Undang–Undang

atau

Peraturan

Pemerintah

yang

memerintahkan

pembentukannya.
Kedua, materi yang termuat di dalam batang tubuh perda yang lebih
memprioritaskan kepentingan kelompok agama tertentu dan cenderung
„memaksa‟ agama lain untuk tunduk terhadap aturan tersebut, maka
dilihat dari kacamata Pancasila bahwa perda tersebut bertentangan
dengan sila Ke-5 Pancasila. bahwa implementasi dari sila Ke-5 tersebut
diantaranaya yaitu; 1). Menghormati hak orang lain; 2). Mengembangkan

sikap adil terhadap sesame; dan 3). Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban. Berdasarkan hal itu, maka dapat dikatakan perda tersebut
tidak menjadikan Pancasila sebagai sumber hukum utama dalam
pembentukannya. Dengan demikian, perda a quo telah menyalahi amanat
dalam Pasal 2 UU P3.
Sejalan dengan hal di atas, maka perd a quo sesungguhnya
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dihadapan
hukum dan pemerintahan.....”. perda juga bertentangan dengan Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Pada intinya,
dengan adanya sejumlah pasal dalam perda yang tidak mengakomodir
kepentingan minoritas menandakan bahwa pemerintah daerah sebagai
alat perwakilan negara telah abai dan menyimpangi ketentuan dalam
konstitusi tersebut. dengan kata lain, kembali dapat dikatakan bahwa
pembentukan perda a quo tidak memperhatikan ketentuan Pasal 3 ayat (1)
UU P3 yang memerintahkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar
dan harus menjadi acuan dalam peraturan Perundang-undangan.
Kemudian, apabila dilihat dari segi asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan maka perda a quo setidaknya melanggar asas-asas
sebagai berikut:


PSHK FH UII | Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

3

1. asas pengayoman. Muatan materi dalam perda a quo seharusnya
berfungsi

memberikan

pelindungan

untuk

menciptakan

ketentraman masyarakat, tetapi justru memberikan ketidaknyaman
kelompok lain dalam menjalankan aktivitas kesehariannya.
2. asas kebangsaan. Materi muatan perda tidak mencerminkan sifat
dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena keseluruhan
materinya lebih responsif kepada kelompok atau golongan tertenu
yang ada di daerah tersebut dan meminggirkan kelompok lain yang
juga hidup bersama di Kabupaten Pasaman tersebut.
3. asas kenusantaraan. Materi muatan seharusnya mencerminkan
pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) serta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional. Akan tetapi, perda justru memilih materi yang
menegasikan penghormatan HAM serta harkat dan martabat
penduduk selain muslim.
4. asas bhinneka tunggal ika. Materi muatan perda seharusnya
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi

khusus

daerah

serta


budaya

dalam

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi di dalam
perda materi muatannya tidak memperhatikan kepentingan agama
lain yang juga eksis di daerah tersebut.
5. asas

keadilan.

setiap

Materi

muatan

perda


seharusnya

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara. Namun di dalam perda malah cenderung mengkerdilkan
keadilan rakyat minoritas di daerah tersebut.
Selain asas keempat di atas, dalam pembentukan (perubahan) peraturan
perundang-undangan juga perlu dilandasi oleh asas-asas hukum umum
(algemene rechts beginselen), yang didalamnya terdiri dari asas negara
berdasarkan atas hukum (rule of law), pemerintahan berdasarkan sistem
konstitusi, dan negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Dengan melihat
materi muatan perda a quo, maka juga dapat dikatakan tidak memenuhi
unsur-unsur sebagaimana yang kemukakan dalam teori tersebut.

PSHK FH UII | Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

4

Ketiga, dari sisi kewenangan. Apabila dibaca secara utuh, materi
muatan perda a quo adalah muatan materi yang mengatur agama.
Sementara, ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan agama merupakan
ranah absolute pemerintah pusat untuk melakukan pengaturan. Di
samping itu, Provinsi Sumatera Barat jika dilacak bukan lah daerah
istimewa atau khusus yang diberi mandat untuk memberlakukan syariat
Islam. Oleh karen aitu, dari segi kewenangan Kabupaten Pasaman tidak
memiliki wewenang untuk mengatur agama, sehingga keberadaan perda a
quo sesungguhnya cacat hukum dan pemerintah Kab. Pasaman telah
menyalahi kewenangan.
Atas uraian di atas, maka dari segi teori perda a quo yang merupakan
bentuk dari perda syariat memiliki makna sebagai berikut; Pertama, perda
syari‟at sangat diskriminatif, sebab perda hanya menjadikan ideologi
tertentu sebagai basis pedoman, yaitu Islam sebagai hukum publik.
Padahal, hukum di Indonesia harus menjamin terjaganya heterogenitas
yang ada di suatu daerah dan tidak menjadikan keyakinan entitas tertentu
sebagai basis penyelenggaraan pemerintah daerah. oleh karena itu, jika
hal itu diteruskan justru akan merusak tatanan hukum nasional yang
berbasis Pancasila. Sebuah hukum yang menjaga keutuhan bangsa dan
negara, baik teritori maupun secara ideologi.
Kedua, perda syari‟at juga tidak mendorong terciptanya keadilan
sosial. Dianutnya ideologi agama tertentu di dalam perda, sangat potensial
akan menyebabkan kecemburuan sosial bagi pemeluk agama lain yang
agamanya tidak ikut terakomodir di dalam perda syari‟at tersebut. Kondisi
ini sangat kontradiktif ruh Pancasila yang justru mendorong terciptanya
keadilan sosial. Ketiga, perda syari‟at telah menyimpang dari rambu
hukum yang lebih tinggi, yaitu tidak boleh ada hukum publik yang
didasarkan pada ajaran agama tertentu sebab negara hukum Pancasila
mengharuskan

tampilnya

hukum

yang

menjamin

toleransi

hidup

beragama yang beradab.
5
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil atas paparan di atas bahwa Perda
Kabupaten Pasaman Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Berpakaian Muslim
PSHK FH UII | Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

Dan Muslimah Bagi Siswa, Mahasiswa dan Karyawan, merupakan perda
yang konstruksi pembentukannya tidak sejalan dengan ketentuan di
dalam UU P3. Kemudian, materi muatan yang terkandung di dalamnya
sangat bertetangan dengan Pancasila, UUD 1945, asas-asas dan teori
pembentukan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, dari segi
kewenangan bahwa Kabupaten Pasaman sesungguhnya tidak memiliki
legitimasi

kewenangan

untuk

mengurus

urusan

agama.

Hal

itu

dikarenakan urusan agama telah menjadi domain pemerintah pusat.

6

PSHK FH UII | Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15