BAB II Tinjauan Pustaka A. Pola Asuh - HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KEMANDIRIAN DALAM PHBS (POLA HIDUP BERSIH SEHAT) PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK PERTIWI DESA KALIKIDANG KEC.SOKARAJA KAB.BANYUMAS - repository perpustakaan

BAB II Tinjauan Pustaka A. Pola Asuh Pola asuh adalah segala bentuk interaksi antara orangtua dan anak yang

  mencakup ekspresi atau pernyataan orangtua akan sikap, nilai, minat dan harapan–harapan dalam mengasuh anak serta memenuhi kebutuhan anak (Yusuf, 2010). Gunarsa (2002) mengatakan bahwa pola asuh merupakan sikap oranng tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, dalam memberikan perhatian.

  Sedangkan Edwards (2006) mengatakan bahwa pola asuh merupakan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak.

1. Macam – Macam Pola Asuh

  Wong et al.(2008) mengategorikan pola asuh menjadi tiga jenis, yaitu: pola asuh permisif, otoriter dan otoritatif.

a. Pola Asuh Permisif ( Mengabaikan )

  Pola asuh permisif merupakan jenis pengasuhan orang tua yang tidak memberikan batasan kepada anak-anak mereka. Orang tua terlalu cuek terhadap anaknya. Sehingga segala yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan pergaulan bebas negatif dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).

  Jenis pola asuh permisif, orang tua bersikap longgar, tidak terlalu memberi bimbingan dan kontrol, perhatian pun terkesan kurang.

  Kendali anak sepenuhnya terdapat pada anak itu sendiri. Pola pengasuhan permisif diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan lain sehingga lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Akibatnya anak nantinya akan berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, tidak peduli dengan tanggung jawab, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai cara terburuk dalam mengasuh anak (Fathi, 2003).

  Pola asuh permisif cenderung memberi kebebasan terhadap anak untuk berbuat semaunya ternyata tidak sangat kondusif bagi pembentukan karakter anak. Secerdas dan sehebat apapun seorang anak, anak tetap memerlukan arahan dari orang tua untuk mengenal hal yang baik dan hal yang salah. Memberi kebebasan yang berlebihan, terkesan membiarkan, akan membuat anak bingung dan berpotensi salah arah (Fathi, 2003).

  Wong et al. (2008) menjelaskan bahwa dalam pola asuh permisif, orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik kadang-kadang bingung antara sikap permisif dan pemberi izin. Mereka menghindari untuk memaksakan standar prilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin.

  Yahaya & Latif (2006) menggambarkan pola asuh permisif dicirikan oleh corak komunikasi yang terbuka dan orang tua kurang menekankan tingkah laku yang baik pada anak. Sikap pola asuh orang tua yang permisif adalah:

  1) Tidak membuat peraturan kepada anak dan anak selalu diberi kebebasan yang penuh.

2) Tidak menggunakan kuasa secara terbuka dan langsung. 3)

  

Berkomunikasi secara terbuka dan tidak mencoba membentuk

4) Membiarkan anak mengatur aktivitas-aktivitas sendiri tanpa pengawasan orang tua.

  5) Mencoba menyediakan keadaan yang membimbing kearah

  perkembangan anak tetapi gagal membentuk hak-hak batasan yang tegas kepada anak atau pun menghendaki anak bertingkah laku matang. Sedangkan menurut Wong et al. (2008) orang tua yang menerapkan pola asuh permisif mempunyai ciri sebagai berikut:

  1) Kurang memberikan kontrol. 2) Mengizinkan anak untuk berbuat semaunya.

  3) Tidak ada aturan ketat dari orang tua, dan anak diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar.

  4) Reward ”tidak diberikan untuk perilaku yang baik, karena ada anggapan bahwa persetujuan sosial sebagai reward”.

  5) Punishment ”tidak diberikan karena memang tidak ada aturan yang mengikat”.

b. Pola Asuh Otoriter

  Pola asuh otoriter merupakan suatu bentuk perlakuan orang tua ketika berinteraksi dengan anaknya yang pada umumnya sangat ketat dan kaku dalam pengasuhan anak. Anak-anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan keputusan karena semua keputusan berada di terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak bertanya, tidak menjelaskan kepada anak-anak tentang latar belakang. Orang tua kadang-kadang menolak keputusan anak dan sering menerapkan hukuman semena-mena kepada anak (Widyarini, 2003).

  Yahya & Latif (2006) mengartikan pola asuh otoriter sebagai suatu cara orang tua menggunakan pengawasan yang ketat pada tingkah laku anak dengan membuat peraturan, memastikan nilai-nilai dipatuhi oleh anak dan tidak membenarkan anak mengikuti peraturan-peraturan dan nilai-nilai yang diterapkan oleh orang tua tersebut.

  Cara pengasuhan otoriter sangat tegas, ketat, dan melibatkan beberapa bentuk aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh anak-anak tanpa mau tahu perasaan anak. Orang tua akan emosi jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tua. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid atau selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orang tua dan sebagainya (Prayitno & Basa, 2004).

  Sikap otoriter yang digunakan orang tua dalam pola asuh anak, akan menimbulkan gangguan psikologis yang sangat berarti dalam tumbuh kembang maka kemungkinan pencapaian kematangan anak akan terhambat. (Hidayat, 2005).

  Pola asuh otoriter cenderung membatasi perilaku kasih sayang, sentuhan, dan kelekatan emosi orang tua dengan anak, sehingga antara orang tua dan anak seakan memiliki dinding pembatas (Fathi, 2003).

  Wong et al. (2008) menjelaskan bahwa pola asuh otoriter, orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh di bantah. Mereka menetapkan aturan yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan.

  Sifat-sifat pola asuh otoriter dapat digambarkan sebagi berikut (Yahya & Latif, 2006): 1)

  Mengkontrol tingkah laku anak dengan menggunakan peraturan- peraturan yang ketat, menilai tinggi ketaatan dan keakuran.

  2) Tidak mengamalkan toleransi secara lisan dan anak-anak harus mengikuti perintah tanpa pengecualian.

  3) Keputusan orang tua tidak boleh dibantah. 4)

  Semua yang dikatakan oleh orang tua itu menjadi undang-undang yang harus dipatuhi oleh anak.

  Sedangkan Wong et al. (2008) mengkategorikan ciri-ciri orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter sebagai berikut: Kaku. 2) Tegas. 3) Membatasi keputusan dari anak. 4)

  Mengabaikan alasan-alasan yang masuk akal dan anak tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan.

  5) Reward ”penghargaan jarang diberikan pada perbuatan anak yang benar, baik dan berprestasi”.

  6) Punishment “hukuman selalu diberikan pada perbuatan anak yang salah dan melanggar aturan”.

  7) Suka menghukum anak secara fisik.

  Menurut Middlebrook (1993), dalam Fathi (2003) hukuman fisik yang biasanya diterapkan dalam pola asuh otoriter kurang efektif untuk membentuk tingkah laku anak. Hal itu dapat menyebabkan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut: 1)

  Menyebabkan anak marah dan frustasi. Secara psikologis tentu sangat mengganggu pribadi anak sendiri sehingga anak juga tidak akan bisa belajar dengan optimal. 2)

  Timbulnya perasaan-perasaan menyakitkan atau sakit hati pada diri anak yang mendorong tingkah laku agresif.

  3) Akibat hukuman-hukuman itu dapat meluas sasarannya dan lebih membawa efek negatif. Misalnya, anak menahan diri untuk memukul atau merusak hanya ketika orang tua ada didekatnya, tetapi akan segera melakukan tindakan merusak setelah orang tua

  4) Tingkah laku agresif orang tua akan menjadi contoh bagi anak sehingga anak akan menirunya.

  Pola asuh otoriter yang diterapakan orang tua kepada anak cenderung bersifat tidak puas dengan diri anak, tidak boleh dipercaya, cemas, ganas secara pasif, mudah tersinggung, bersikap negatif dalam berhubungan dengan kawan-kawan sebaya dan menarik diri secara sosial.

c. Pola Asuh Otoritatif

  Pola asuh otoritatif merupakan sikap orang tua yang mengizinkan dan mendorong anak untuk membicarakan masalah mereka, memberi penjelasan yang rasional tentang peran anak di rumah dan menghormati peran serta orang tua dalam pengambilan keputusan meskipun orang tua pemegang tanggung jawab yang tinggi dalam keluarga (Prayitno & Basa, 2004).

  Pola asuh otoritatif adalah pola pengasuhan yang cocok dan baik untuk diterapkan para orang tua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orang tua, menghargai dan menghormati orang tua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat lainnya (Prayitno & Basa, 2004).

  Pada pola asuh otoritatif, orang tua berusaha mengarahkan anaknya komunikasi yang saling memberi dan menerima, menjelaskan alasan yang rasional yang mendasari tiap-tiap permintaan tetapi juga menggunakan kekuasaan bila perlu,mengharapkan anak untuk mematuhi orang dewasa dan kemandirian, saling menghargai antara anak dan orang tua.Orang tua tidak mengambil posisi mutlak dan tidak juga mendasari pada kebutuhan anak semata (Widyarini, 2003).

  Menurut Wong et al. (2008) pola asuh otoritatif ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Kontrol yang kuat disertai dukungan, pengertian dan keamanan. 2) Semua keputusan merupakan keputusan anak dan orang tua.

  3) Mengizinkan anak untuk mengeksplorasi bakat dan kemampuannya.

  4) Dalam bertindak, orang tua selalu memberikan alasan yang masuk akal kepada anak.

  5) Anak diberi kesempatan untuk menjelaskan pelanggaran peraturan sebelum hukuman dijatuhkan.

  6) Punishment ”diberikan kepada perilaku yang salah dan melanggar peraturan”.

  7) Reward ”yang berupa pujian dan penghargaan diberikan kepada perilaku yang benar dan berprestasi”.

  8) Orang tua selalu memilih pendidikan yang terbaik untuk anaknya. dalam otoritatif sebagai berikut: 1) Orang tua lebih fleksibel dan rasional dalam mendidik anak. 2)

  Menggunakan kontrol tegas tetapi membenarkan kebebasan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak.

  3) Menjelaskan nilai-nilai mereka dan menaruh harapan yang tinggi supaya anak mematuhinya.

  4) Peramah dan tidak melihat diri sebagai manusia yang tidak membuat kelalaian dalam tanggung jawab mereka sebagai orang tua.

  5) Responsive, memberi kesempatan dan menghormati kepentingan anak, mesra tapi tegas.

  Menurut Arkoff (1993), dalam Fathi (2003) anak yang dididik dengan cara otoritatif umumnya cenderung mengungkapkan agresifitasnya dalam tindakan yang konstruktif atau dalam bentuk kebencian yang bersifat sementara. Artinya, jika marah, kemarahannya tidak akan berlarut-larut sampai mendendam disisi lain, anak yang dididik secara otoriter atau ditolak akan memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan agresifitasnya dalam bentuk tindakan-tindakan yang merugikan. Sementara itu, anak yang dididik secara permisif cenderung mengembangkan tingkah laku agresif secara terbuka atau terang-terangan.

  Berdasarkan ciri-ciri pola asuh diatas, dapat disimpulkan bahwa menerapkan kontrol yang kuat. Berbeda dengan pola asuh otoritatif yang bersifat demokratis, tetapi juga menerapkan kontrol. Berbeda juga dengan pola asuh permisif yang bersifat demokratis, tetapi tanpa memberi kontrol kepada anak. Dengan pendekatan yang tidak demokratis dan pemberian kontrol yang ketat dalam pola asuh otoriter, tidak mengherankan bila pola asuh otoriter yang akan mengakibatkan atau berdampak negatif terhadap anak.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

  Wong (2001) dalam Supartini (2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua sebagai berikut :

a. Pendidikan Orang Tua

  Pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Edwards (2006) menyimpulkan bahwa pendidikan orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak- anak, menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak b.

   Usia Orang Tua

  Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan kuat dalam kaitannya untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.

c. Keterlibatan Ayah

  Peran ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari generasi lalu jika dibandungkan dengan generasi orang-orang tua dahulu. Perubahan tersebut biasanya menyenangkan bagi para ibu dan juga para ayah itu sendiri. (Rimm, 2003)

  Pendekatan mutakhir yang digunakan dalam hubungan ayah dan bayi baru lahir, sama pentingnya hubungan antara ibu dan anank bayi sehingga dalam proses persalinan, ibu dianjurkan ditemui suami dan begitu bayi lahir, suami diperbolehkan untuk mengendongnya langsung setelah ibunya mendekap dan meyusukannya (bonding and attachment). Dengan demikian, ayah dan anak, walaupun secara kodrati akan ada perbedaan, tetapi tidak mengurangi makna penting hubungan tersebut. Pada beberapa ayah tidak terlihat secara langsyng pada bayi baru dilahirkan. Maka beberapa hari atau minggu kemudian dapat melibatkan dalam perawatan bayi, seperti mengganti popok, bermain dan berinteraksi sebagai upaya untuk terlibat dalam perawatan anak (Supartini, 2004) d.

   Pengalaman Sebelumnya dalam Mengasuh Anak

  Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

  Menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan lebih nyaman atau relak. Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal.

  Pertumbuhan merupakan bertambah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh anak yang secara kuantitatif dapat ditulis.

  Sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh anak yang dapat dicapai melalui tumbuh

e. Stres Orang Tua

  Stres yang dialami oleh ayah maupun ibu atau keduanya akan mempengaruhi kemampuan orang tua dalam menjalankan peran sebagai pengasuh, terutama dalam kaitannya dengan strategi koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak.

  Walaupun, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang tua, misalnya anak dengan temperamen yang sulit atau anak dengan masalah keterbelakangan mental.

  Stres merupakan suatu perasaan tertekan yang disertai dengan meningkatkan emosi tidak menyenangkan yang dirasakan oleh orang tua, seperti marah yang berlansung lama, gelisah, cemas dan takut. Orang tua mengatasi stres dengan cara yang berbeda- beda. Orang tua yang mengalami stres, akan mencari kenyamanan atas kegelisahan jiwanya dengan cara berbicara kepada anak (Prayitno & Basa, 2004)

  Sedangkan menurut Wong et al. (2008) ada empat faktor yang mempengaruhi pola asuh yaitu : 1)

  Orang tua yang telah memiliki pengalaman, seperti pengalaman dengan anak lain, tampaknya lebih santai dan memiliki lebih sedikit konflik dalam hubungan displin, dan mereka lebih mengetahui perkiraan pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Jumlah stres yang dialami oleh salah satu dari kedua orang tua dapat mengganggu kemampuan mereka untuk menunjukkan kesabaran dan pengertian atau dalam menghadapi perilaku anak mereka.

  3) Karakteristik, seperti memiliki temperamen yang sulit, dapat menyebabkan orang tua kehilangan keprcayaan diri dan meragukan kemampuan mereka dalam mengasuh anak.

  4) Hubungan perkawinan orang tua yang dapat memberi efek nugatif terhadap pola asuh, karena tekanan atau ketegangan pernikahan dapat mengganggu rutinitas pemberian perawatan dan mengganggu kesenangan bersama dengan anak.

  Sebaliknya, orang tua yang saling mendukung dan mendorong dapat memberi pengaruh positif pada terciptanya peran menjadi orang tua yang memuaskan (Wong et al, 2008).

B. PHBS 1. Pengertian

  Perilaku hidup bersih dan sehat adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan individu/kelompok dapat menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat (Dinkes Jabar, 2010).

  2. Tujuan PHBS

  Menurut Depkes RI (1997), Tujuan dari PHBS adalah untuk masyaraka tuntuk hidup bersih dan sehat, serta meningkatkan peran serta aktif masyarakat termasuk dunia usaha dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.

  3. PHBS di Tatanan Sekolah

  Sekolah adalah lembaga dengan organisasi yang tersusun rapih dengan segala aktifitasnya direncanakan dengan sengaja disusun yang disebut kurikulum. Sekolah adalah tempat diselenggarakkannya proses belajar mengajar secara formal, dimana terjadi transformasi ilmu pengetahuan dari para guru atau pengajar kepada anak didiknya. Sekolah memegang peran penting dalam pendidikkan karena pengaruhnya besar sekali pada jiwa anak, maka disamping keluarga sebagai pusat pendidikan, sekolah juga mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan pribadi anak (Ahmadi,2013).

4. Manfaat PHBS di Sekolah a.

  Terciptanya sekolah yang bersih dan sehat sehingga peserta didik,guru,dan masyarakat lingkungan sekolah terlindungi dari berbagai gangguan dan ancaman penyakit b. Meningkatnya semangat proses belajar mengajar yang berpak pada prestasi belajar peserta didik.

  c. citra sekolah sebagai institusi pendidik semakin meningkat sehingga mampu menarik minat orangtua (masyarakat) d.

  Meningkatnya citra pemerintah daerah di bidang pendidikan Menjadi percontohan sekolah sehat bagi sekolah atau daerah lain 5.

   Indikator PHBS

  Delapan indikator PHBS sekolah, yang dapat diterapkan pada anak usia 5-6tahun adalah: mencuci tangan dengan air yang mengalir dan memakai sabun, mengkonsumsi jajanan sehat dikantin sekolah, menggunakan jamban yang bersih dan sehat, olahraga yang teratur dan terukur, menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan, membuang sampah pada tempatnya (DepKes, 2009).

C. Kemandirian 1. Definisi Kemandirian Anak

  Kemandirian anak merupakan kemampuan anak untuk melakukan kegiatan dan tugas sehari-hari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahap perkembangan dan kemampuan anak (Prasasti & Lie, 2005). Menurut Familia (2006), Kemandirian anak adalah anak yang mampu berpikir dan berbuat untuk dirinya sendiri. Seorang anak yang mandiri biasanya aktif, kreatif, kompeten, tidak tergantung pada orang lain, dan tampak spontan. Kemandirian pada anak sangat penting karena salah satu life skil yang perlu dimiliki.

  Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara berhadap selama perkembangan, dimana anak akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi lingkungan, sehingga anak mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seorang anak dapat berkembang dengan baik (Lie, Anita & Prasati, 2004). dikembangkan oleh seorang anak untuk dapat menjalani kehidupan tanpa ketergantungan pada orang lain. Kemandirian tidak hanya berlaku bagi anak tetapi juga pada semua tingkatan usia. Setiap manusia perlu mengembangkan kemandirian dan melaksanakan tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan tahapan perkembangannya. Secara alamiah anak mempunyai dorongan untuk mandiri dan bertanggung jawab atas diri sendiri. Tanggung jawab merupakan perilaku anak yang menentukan anak bereaksi terhadap situasi setiap hari, yang memerlukan beberapa jenis keputusan yang bersifat moral di dalam membentuk kemandirian (Prasasti & Lie, 2005).

  Brammer & shostrom (1982), dalam Ali & Asrori (2010) mengatakan, bahwa pembahasan mengenai kemandirian tidak terlepas dari pembahasan mengenai perkembangan kemandirian anak itu sendiri. Soelaeman (1988) dalam Wong (2010) mengatakan bahwa perkembangan kemandirian merupakan proses yang menyangkut unsur-unsur normatif, yang mengandung makna bahwa kemandirian merupakan suatu proses yang terarah. Peran orang tua dalam pengasuhan anak usia prasekolah sangat penting karena orang tua adalah guru pertama dalam pendidikan anak untuk mengembangkan kemandiriannya.

  Kartadinata (1988) dalam Wong et al ( 2010) mengemukakan gejala-gejala tersebut sebagai berikut: Ketergantungan disiplin kepada kontrol luar dan bukan karena nilai sendiri yang ikhlas. Perilaku seperti ini akan mengarah kepada perilaku

  

formalistik dan ritualistik serta tidak konsisten. Situasi seperti ini akan

  menghambat pembentukan etos kerja dan etos kehidupan yang mapan sebagai salah satu ciri dari kualitas sumber daya dan kemandirian anak.

  b.

  Sikap tidak peduli terhadap lingkungan hidup. Anak mandiri bukanlah anak yang lepas dari keluarganya melainkan anak yang bertranseden terhadap keluarganya. Ketidakpedulian terhadap lingkungan hidup merupakan gejala perilaku impulsif yang menunjukkan bahwa kemandirian anak masih rendah.

  c.

  Sikap hidup kompromistik tanpa pemahaman dan kompromistik dengan mengorbankan prinsip. Gejala mitos bahwa segala sesuatunya dapat diatur yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat merupakan petunjuk ketidakjujuran berfikir dan bertindak serta kemandirian yang masih rendah.

  Gejala-gejala yang di atas merupakan sebagian kendala utama dalam mempersiapkan kemandirian anak dalam kehidupan dimasa mendatang yang penuh tantangan.Oleh sebab itu, perkembangan kemandirian anak menuju kearah kesempurnaan menjadi sangat penting untuk diikhtiarkan secara serius, sistematis dan terprogram. Perubahan tata nilai yang terjadi dalam generasi dan antargenerasi akan tetap memposisikan kemandirian sebagai isu aktual dalam perkembangan anak (Wong et al. 2010). merupakan suatu kemampuan untuk berfikir, merasakan, serta anak melakukan sesuatu atas dorongan diri sendiri dan mampu mengatur diri sendiri sesuai dengan kewajibannya dalam kehidupan sehari-hari tanpa dibantu oleh orang lain.

2. Ciri-Ciri Kemandirian Anak

  Adapun ciri khas kemandirian pada anak, diantaranya (Familia, 2006): a.

  Anak yang mandiri mempunyai kecenderungan memecahkan masalah dari pada berkutat dalam kekhawatiran bila terlibat masalah.

  b.

  Anak yang mandiri tidak takut dalam mengambil resiko karena sudah mempertimbangkan hasil sebelum berbuat. c.

  Anak percaya terhadap penilaian sendiri, sehingga tidak sedikit-sedikit bertanya atau meminta bantuan.

  d.

  Anak mempunyai kontrol yang lebih baik terhadap kehidupannya.

  Masrun, et.al (1986) membagi kemandirian ke dalam lima komponenyaitu sebagai berikut: a. bebas, artinya bertindak atas kehendaknya sendiri bukan karena orang lain dan tidak bergantung pada orang lain.

  b. progresif, artinya berusaha untuk mengejar prestasi, tekun dan terencana dalam mewujudkan harapannya.

  c.

  Inisiatif, yaitu mampu berpikir dan bertindak secara original, kreatif dan penuh inisiatif.

  Terkendali dari dalam, bahwa individu mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mampu mengendalikan tindakannya serta mampu mempengaruhi lingkungan, dan atas usahanya sendiri.

  e.

  Kemantapan diri (harga diri dan percaya diri), termasuk dalam hal ini mempunyai rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima dirinya dan memperoleh kepuasan dari usahanya.

3. Aspek-Aspek Kemandirian Anak

  Menurut Ara (1998). aspek-aspek kemandirian anak sebagai berikut: a. Kebebasan

  Kebebasan merupakan hak asasi bagi setiap manusia, begitu juga seorang anak. Anak cenderung akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan kemampuan dirinya dan mencapai tujuan hidupnya, bila tanpa kebebasan. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat dalam kebebasannya membuat keputusan.

  b.

  Inisiatif Inisiatif merupakan suatu ide yang diwujudkan ke dalam bentuk tingkah laku. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat dalamkemampuannya untuk mengemukakan ide, berpendapat, memenuhikebutuhan sendiri dan berani mempertahankan sikap.

  c.

  Percaya Diri Kepercayaan diri merupakan sikap individu yang menunjukkan keyakinan bahwa dirinya dapat mengembangkan rasa dihargai.

  Perwujudan kemandirian anak dapat dilihat dalam kemampuan untuk mengorganisasikan diri dan menghasilkan sesuatu yang baik.

  d.

  Tanggung Jawab Aspek tanggung jawab tidak hanya ditunjukkan pada diri anak itu sendiri tetapi juga kepada orang lain. Perwujudan kemandirian dapat dilihat dalam tanggung jawab seseorang untuk berani menanggung resiko atas konsekuensi dari keputusan yang telah diambil, menunjukkan loyalitas dan memiliki kemampuan untuk membedakan atau memisahkan antara kehidupan dirinya dengan orang lain dilingkungannya. e.

  Ketegasan Diri Ketegasan diri menunjukkan adanya suatu kemampuan untuk mengandalkan dirinya sendiri. Perwujudan kemandirian seseorang dapat dilihat dalam keberanian seseorang untuk mengambil resiko dan mempertahankan pendapat meskipun pendapatnya berbeda dengan orang lain.

  f.

  Pengambilan Keputusan Dalam kehidupannya, anak selalu dihadapkan pada berbagai pilihan yang memaksanya mengambil keputusan untuk memilih.

  Perwujudan kemandirian seseorang anak dapat dilihat di dalam kemampuan untuk menemukan akar permasalahan, mengevaluasi tantangan serta kesulitan lainnya, tanpa harus mendapat bantuan atau bimbingan dari orang yang lebih dewasa.

  g.

  Kontrol Diri Kontrol diri memiliki pengertian yaitu suatu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, baik dengan mengubah tingkah laku atau menunda tingkah laku, tanpa peraturan atau bimbingan dari orang lain. Dengan kata lain, sebagai kemempuan untuk mengontrol diri dan perasannya, sehingga seseorang tidak merasa takut, tidak cemas, tidak ragu atau tidak marah yang berlebihan saat dirinya berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Anak

  Kemandirian bukanlah semata-mata merupakan pembawaan yang melekat pada diri individu sejak lahir, melainkan dipengaruhi oleh hal-hal lain. Sehubungan dengan hal ini Ali dan Asrori (2004) menyatakan bahwa kemandirian berkembang selain dipengruhi oleh fkator instrinsik (pertumbuhan dan kematangan individu itu sendiri) juga oleh faktor ekstrinsik (melalui proses sosialisasi di lingkungan tempat individu berada). Faktor instrinsik seperti kematangan individu, tingkat kecerdasan dan faktor ekstrinsik adalah hal-hal yang berasal dari luar diri anak seperti perlakukan orangtua, guru, dan masyarakat.

  Sedang menurut Basri (1995), berpendapat bahwa faktor-faktor berikut:

a. Faktor Internal

  Faktor internal merupakan semua pengaruh yang bersumber dari dalam diri anak itu sendiri, seperti keadaan keturunan dan konstitusi tubuhnya sejak lahir dengan segala perlengkapan yang melekat padanya.

  1) Faktor Peran Jenis Kelamin

  Secara fisik anak laki-laki dan wanita tampak jelas perbedaan dalam perkembangan kemandiriannya. Dalam perkembangan kemandirian anak perempuan biasanya lebih aktif dari pada anak laki-laki.

  2) Faktor Kecerdasan atau Intelegensi

  Anak yang memiliki intelegensi yang tinggi akan lebih cepat menangkap sesuatu yang membutuhkan kemampuan berfikir. Sehingga, anak yang cerdas cenderung cepat dalam membuat keputusan untuk bertindak, disamakan dengan kemampuan menganalisis yang baik terhadap resiko-resiko yang akan dihadapi. Intelegensi berhubungan dengan tingkat kemandirian anak. Artinya, semakin tinggi intelegensi seseorang anak maka semakin tinggi pula tingkat kemandiriannya.

  3) Faktor Perkembangan

  Kemandirian akan banyak memberikan dampak yang mengajarkan kemandirian sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak.

b. Faktor Eksternal

  Faktor eksternal merupakan pengaruh yang berasal dari luar anak, sering pula dinamakan faktor lingkungan. Lingkungan kehidupan yang dihadapi anak sangat mempengaruhi perkembangan keperibadian seseorang, baik dalam segi-segi positif maupun negatif. Biasanya lingkungan keluarga, sosial, dan masyarakat itu juga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Meskipun cenderung akan berdampak positif dalam hal kemandirian anak terutama dalam bidang nilai dan kebiasaan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan.

  1) Faktor Pola Asuh

  Guna dapat mandiri seseorang membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Pada saat ini orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. 2)

  Faktor Sosial Budaya Faktor sosial budaya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kemandirian anak, terutama di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang beragam.

   Kemandirian anak PHBS

  Istilah kemandirian pada anak PHBS biasanya dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Kemandirian yang diharapkan dapat dilakukan oleh anak meliputi: memakai baju sendiri, memakai sepatu dan menalikan sepatunya sendiri tanpa tergantung pada bantuan oranglain, mencuci tangan sesudah dan sebelum makan, membersihkan tangan dan kaki jika kotor (Berk,2004).

  Kemandirian anak PHBS harus dibina sejak usia dini,seandainya kemandirian anak diusahakan setelah anak besar, kemandirian itu akan menjadi tidak utuh. Secara alamiah anak sudah mempunyai dorongan untuk mandiri atas dirinya sendiri. Mereka terkadang lebih senang untuk bisa mengurus dirinya sendiri dari pada dilayani. Sayangnya orangtua sering menghambat keinginan anak untuk mandiri. Kemandirian yang diajarkan sejak dini akan membuat anak dapat mengatur waktu kegiatannya sendiri dan terbiasa menolong oranglain serta lebih bisa menghargai oranglain(Sidharto & Izzaty,2004

D. Kerangka Teori

  Faktor yang mempengaruhi pola E.

  Pola Asuh orangtua : asuh orangtua : F.

  Kemandirian pada 1.

  Permisif 1. Pendidikan

  anak PHBS 2.

  Otoriter

  G. orangtua 3.

  Otoritatif 2. Usia orangtua H.

  3. Keterlibatan ayah

  I. Faktor yang mempengatuhi : 1.

  Faktor Internal : 2.

  Faktor Eksternal 1. Jenis kelamin 2. Kecerdasan 3. Perkembangan

  Faktor Eksternal : 1.

  Pola asuh orangtua 2. Lingkungan masyarakat

Gambar 2.1 Kerangka Teori (Hogg & Blau, 2004; Hufad, 2000; Shochib, 2000; Ubaedy, 2009)

  E . Kerangka Konsep

  Karakteristik Responden :

  1. Umum

  2. Pendidikan

  3. Pekerjaan Kemandirian PHBS

  Pola Asuh orangtua:

  • Permisif • Otoriter • Otoritatif

Gambar 2.2 Kerangka Konsep (bagan kerangka konsep dari penelitian pola asuh orangtua)

F. Hipotesa Penelitian

  Menurut Sugiyono (2009), hipotesa merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Hipotesis yang diangkat dalam penelitian ini penulis, yaitu :

  1. Ada hubungan antara karakteristik reponden (Umur, pendidikan, dan pekerjaan) dengan kemandirian PHBS

Dokumen yang terkait

PENYULUHAN DAN PRAKTIK PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH SEHAT) DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT DESA PEDULI SEHAT

0 1 6

PERANAN GURU DALAM PENANAMAN KEMANDIRIAN ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK MAZMUR 21 PONTIANAK SELATAN

0 0 12

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DAN HARGA DIRI ANAK JALANAN USIA REMAJA

0 0 10

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-3 TAHUN DI DESA NOGOTIRTO GAMPING SLEMAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-3 TAHUN DI DESA NOGOTIRTO GAMPING SLEMAN YOGYAKARTA - DIGILIB UNISAYOGYA

0 1 9

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KEMANDIRIAN ANAK PADA ANAK PRASEKOLAH DI TK ABA AL JIHAD KLAJURAN GODEAN SLEMAN YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kemandirian Anak pada Anak Prasekolah di TK ABA Al Jihad Klajuran Godean

0 1 16

HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN PERKEMBANGAN ANAK USIA PRA SEKOLAH DI TK IT AL-MUHAJIRIN SAWANGAN MAGELANG NASKAH PUBLIKASI - HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN PERKEMBANGAN ANAK USIA PRA SEKOLAH DI TK IT AL-MUHAJIRIN SAWANGAN MAGELANG - DIGILIB UNISAY

0 0 11

HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANAK USIA PRASEKOLAH DENGAN KECERDASAN EMOSI DI PAUD KECAMATAN SIGALUH KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 14

HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANAK USIA PRASEKOLAH DENGAN KECERDASAN EMOSI DI PAUD KECAMATAN SIGALUH KABUPATEN BANJARNEGARA - repository perpustakaan

0 0 16

HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KEMANDIRIAN DALAM PHBS (POLA HIDUP BERSIH SEHAT) PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK PERTIWI DESA KALIKIDANG KEC.SOKARAJA KAB.BANYUMAS

0 0 17

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN KEMANDIRIAN DALAM PHBS (POLA HIDUP BERSIH SEHAT) PADA ANAK USIA 5-6 TAHUN DI TK PERTIWI DESA KALIKIDANG KEC.SOKARAJA KAB.BANYUMAS - repository perpustakaan

0 1 8