Pendidikan Perempuan.

Pikiran Rakyat
o Selasa
4

5

6

@

20

o Mar

.Apr

.

0

Rabu


7

22

o

0

Kam;s

8

9

10

o Sabtu 0 M;nggu

Jumat


11

23
24
25
26
Me; OJun OJul 0 Ags

12

13
27

o Sep

14
28

0


15
29

Okt

0

16
30

Nov

0

31
Des

Pendidikan Perempuan
Oleh BUm RAjAB


AAT
usia
Kartini
menginjak 12 tahun
(1881) dan telah menyelesaikan ELS (Europeesche
Lagere School, Sekolah Dasar
Belanda), dia memohon pada
ayahnya, waktu itu Bupati Jepara, agar diizinkan pergi ke Semarang untuk meneruskan sekolah. "Ia berlutut di hadapan
Ayahnya... Ia menantijawaban
Ayahnya... Dan perlahan-Iahan
tetapi pasti keluar dari mulutnya: 'tidak!' Oihat "Kartini, Surat-surat Kepada Ny. R. M.
Abenclanon-Mandri clan Suaminya", Penerbit Djambatan, Jakarta, 1987, halaman 14). Pupuslah keinginan Kartini untuk
melanjutkan sekolah.
Kartini meyakini, sekolah adalah salah satu lembaga untuk
emansipasi perempuan. Melalui
clandi dalam sekolah, intelektual
perempuan terasah, dapat berpikir rasional, bisa mewujudkan
potensi dan kreativitasnya, memiliki motivasi untuk maju clan
berprestasi, berkarier, serta

memperoleh martabat layaknya
laki-Iaki.Sekolah adalah pembukajalan yang memungkinkan pe-

S

rempuan berkiprah di dunia
yang luas dan mengikuti perubahan yang terus berlangsung.
Mungkin pemikiran Kartini
ini sedikit mirip dengan konsepsi John Dewey, filsuf pendidikan
Amerika, meskipun arah pemikiran Dewey tidak dikhususkan
untuk perempuan, yang menyatakan pendidikan berfungsi sebagai alat transformasi sosial.
Bagi Dewey, sifat transformasi
itu dimungkinkan karena melalui pengajaran di sekolah yang
terorganisasikan manusia akan
bisa mengenali kemampuan dirinya clanterdorong mencari kebenaran. Bagi Dewey, setiap
warga negara harus mempunyai
akses untuk memperoleh pendidikan dasar dalam rangka pengembangan intelektual dan
menanamkan pengetahuan yang
diperlukan untuk memperkuat
kesejajaran semua kelompok dalam mendapatkan kebebasan.

Pencapaian dan kendala
Sampai awal abad ke-21 ini,
lebih seabad setehlh Kartini
meyakini betapa pentingnya sekolah bagi perempuan, ditemukan fakta yang mengesankan.
Politik negara mengenai peningkatan peran perempuan
tampaknya meletakkan pendidikan sekolah sebagai sarana
yang diprioritaskan. Demikian
pula bila melihat pada anggapan masyarakat umum mengenai emansipasi perempuan,
mereka juga banyak memercayakan pada pendidikan sekolah. Implementasinya menunjUkkanadanya perubahan, umpamanya jumlah perempuan
yang bersekolah kian bertambah dan jenjang pendidikan
yang dialami perempuan juga

semakin tinggi. Namun, ditemukan pula fakta sebaliknya, di
beberapa wilayah nusantara tetap teIjadi kesenjangan gender
pada pendidikan ini, bahkan
sebagian besar penduduk yang
buta huruf adalah perempuan.
Kiranya ada beberapa alasan
mengapa perbedaan dalam
kuantitas clanjenjang pendidikan ini masih tetap ada.

Pertama, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin terbatas jumlah sekolahyang tersedia. Sekolah dasar terdapat di
hampir semua desa di Indonesia, maka murid SD tidak perlu
keluar desa untuk sekolah. Akan
tetapi seseorang harns menempuh peIjalanan lebih jauh bila
bersekolah di SMP, apalagi untuk tingkat SMA dan perguruan
tinggi yang umumnya terkonsentrasi di kota-kota. Banyak
orang tua yang enggan bila anak
perempuan bersekolah yangjauh karena akan kehilangan bantuan di rumah tangga.
Kedua, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal
biaya yang harus dikeluarkan.
Pada keluarga miskin, orang
tua lebih memilih menyekolahkan anak laki-Iaki, tenaga perempuan lebih banyak dibutuhkan di rumah tangga.
Bukan perkembangan
Hingga kini stereotipe gender
pada pendidikan sekolah itu
sendiri tidak hilang. Kurikulum
pendidikan masih cukup kental
memisahkan peran perempuan
dan laki-Iaki, perempuan tetap
digambarkan dengan kegiatankegiatan kerumahtanggaannya

clan prasangka kerendahdiriannya. Demikian pula dengan pilihan jurusan dan spesialisasi
keilmuan, kurikulum, clanpraktik pendidikan sekolah tetap
mendorong perempuan supaya
memilih jurusan dan ilmu yang
.

dianggap sesuai dengan karakter keperempuanannya.
Oleh karena itu, peran pendidikan tidak sepenuhnya mendorong pada percepatan emansipasi perempuan. M~ki dalam perjalanan waktu tampak ada peningkatan jumlah perempuan
bersekolah dan jenjangnya semakin tinggi, perbandingannya
dengan laki-Iaki masihjauh dari
Setara. Di samping itu, pendidikan sekolah itu belum dapat
mengeliminasi stereotipe gender, malah kecencenderungnya
mempertahankan clanmemperkuatnya, karena ia dimasUkkan
ke dalam kurikulum pendidikan
itu sendiri. Dalam konteks inilah,
pendidikan sekolah itu bahkan
turut membantuimenyebarluaskan ideologi yang bias gender,
bukannya rriengubahnya. Sudah
tentu implikasinya menjadi jauh,
sistem dan nilai patriarki, yang

menempatkan laki-Iaki lebih superior daripada perempuan, tetap bercokol karena saluran sosialisasinya bertambah, yaitu Iewat pendidikan~kolah, di samping tetap ditanamkan dalam
keluarga clanlingkungan pergaulan sehari-hari.
penambahanjumlah, peningkatan jenjang pendidikan, dan
perluasan pekeljaan perempuan
di sektor publik katakanlah merupakan indikator teljadinya
perubahan peran' perempuan.
Akan tetapi perubahan itu tampaknya masih tetap berada di
bawah bayang-bayang sistem
dan nilai patriarki, belum menunjukkan teIjadinya transformasi struktural atas dasar gender. Perubahan'peran perempuan tersebut boleh dikatakan hanya pada tataran kuantitas, bukan pada tingkatan kualitas.
Suatu perubahan yang memang
menunjUkkan pertumbuhan, tetapi bukan
perkembangan
(growth without development),

-- -"'"'atauSekadarperubahanbentuk,
bukan perubahan substansial.
Perlu diperhatikan, agar posisi perempuan terlihat berubah
secara substansial, bukan hanya
bagaimana pendidikan sekolah
mesti membuka,diri untuk menerima perempuan, tetapi yang

tak kalah penting adalah mengubah kurikulum pendidikan pada berbagai tingkatan agar tidak
bias gender, tidak menempatkan perempuan sebagai kelompok yang inferior.
I

Kliping Humas Unpad 2010
----

Penulis, sta/ pengajar Jurusan Antropologi FISIP Unpad.