Pengaruh terapi n-asetil sistein terhadap ekspresi transforming growth factor-ß1 dan matrix metalloproteinase-9 pada mencit induksi siklosporin JURNAL indraji

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

β

Indraji Dwi Mulyawan, Bambang Purwanto, Sugiarto

Sub Bagian Ginjal Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta

Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki
penyakit ginjal stadium akhir. Siklosporin A (CsA) sebagai agen imunosupresan secara luas
memberikan manfaat klinis dalam pengelolaan transplantasi organ, namun penggunaan klinis
terbatas akibat efek samping. TGF-β terlibat dalam patogenesis penolakan kronis transplantasi
(MMP)
ginjal dan sebagai target utama untuk terapi penolakan kronis.
terlibat dalam inisiasi dan perkembangan fibrosis ginjal. N-Asetil Sistein (NAS) mempunyai efek
anti oksidan dan anti inflamasi. Efek anti oksidan N-Asetil Sistein dapat terjadi secara langsung
melalui interaksi dengan ROS elektrofilik maupun sebagai prekusor glutation
Membuktikan, mengetahui dan membandingkan pengaruh pemberian N-asetil sistein

terhadap ekspresi TGF-β1 dan MMP-9 pada mencit induksi siklosporin.
Penelitian eksperimental dengan randomisasi, terhadap mencit sebagai hewan coba,
sampel 30 ekor mencit dibagi menjadi 10 ekor kelompok kontrol, 10 ekor kelompok perlakuan
(CsA 20mg/kgBB/hari/po), dan 10 ekor kelompok terapi (CsA 20mg/kgBB/hari/po + NAS 4,7
mg/hari/po) selama 8 minggu. Penilaian positifitas ekspresi TGF-β1 & MMP9 menggunakan
pemeriksaan imunohistokimia. Cara ukur dinilai secara kuantitatif, terhadap 100 sel makrofag
sebagai sel yang mengekspresikan TGF-β1 & MMP9. Skala data berupa rasio. Analisis statistik
menggunakan SPSS 22
Rata-rata ekspresi TGF-β1 pada ketiga kelompok yaitu kontrol 16,90±3,84/100 sel
makrofag; CsA 26,10±7,46/100 sel makrofag; CsA+NAS 17,90±3,60/100 sel makrofag, dengan
kemaknaan p=0,001. Terdapat perbedaan bermakna ekspresi TGF-β1 antara kelompok CsA vs
CsA+NAS (-8,20±3,86; p=0,005). Rata-rata ekspresi MMP9 pada ketiga kelompok yaitu kontrol
6,40±0,52/100 sel makrofag; CsA 14,00±0,67/100 sel makrofag; CsA+NAS 20,10±2,47/100 sel
makrofag, dengan kemaknaan p=0,001. Terdapat perbedaan bermakna ekspresi MMP9 antara
kelompok CsA vs CsA+NAS (6,10±1,80; p=0,001)
Pemberian NAS menurunkan ekspresi TGF-β1 dan meningkatkan ekspresi MMP9 secara
bermakna pada mencit induksi Siklosporin
β

commit to user


1

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

2

tubulus ginjal dan infiltrasi limfosit telah
Transplantasi
ginjal
merupakan
dikaitkan dengan penolakan kronis dalam
pilihan pengobatan untuk pasien yang
hewan coba dan pasien. Selain itu, banyak
faktor
penginduksi
TGF-β,
seperti

memiliki penyakit ginjal stadium akhir,
pasien
dengan
transplantasi
ginjal
angiotensin II, endotelin-1, iskemia, dan
mempunyai harapan hidup lebih lama
CsA, juga berkaitan dengan pengembangan
dengan kualitas hidup yang lebih baik
penolakan kronis pada transplantasi ginjal.
TGF-β menginduksi produksi ECM dan/atau
dibandingkan
dengan
pasien
dialisis.
Namun,
penolakan
kronis
membatasi
menghambat degradasi ECM, hal ini

kelangsungan hidup jangka panjang dari
merupakan faktor kunci untuk epiteltransplantasi ginjal, hal ini ditunjukkan oleh
mesenchymal
transition
(EMT)
dalam
fakta bahwa 50-80% dari kegagalan
transformasi sel epitel tubulus ginjal
transplantasi
ginjal
tahap
akhir
menjadi
miofibroblas.
Bukti-bukti
ini
menunjukkan bahwa TGF-β berkontribusi
berhubungan dengan penolakan kronis.
Dengan
demikian

pengembangan
terhadap penolakan kronis dan sebagai
pengobatan yang efektif untuk mengurangi
target utama untuk terapi penolakan kronis
penolakan
kronis
diperlukan
untuk
(Guan et al, 2013).
meningkatkan kelangsungan hidup jangka
Hasil kultur menunjukkan CsA
panjang dari transplantasi ginjal pada
menginduksi apoptosis sel epitel tubulus
pasien (Tantravahi et al, 2007; Guan et al,
ginjal, sel endotel pembuluh darah dan sel
2013). Penurunan yang signifikan tehadap
mesangial yang tergantung waktu dan dosis.
penolakan akut telah dicapai di banyak
Temuan ini menunjukkan bahwa apoptosis
pusat

transplantasi
ginjal
dengan
pada sel ginjal adalah penyebab penting
menggunakan imunosupresif kontemporer,
terjadinya nefrotoksik CsA kronik (Xiao
seperti agen induksi, inhibitor kalsineurin,
dkk.,
2013).
Meskipun
mekanisme
agen antiproliferatif dengan atau tanpa
molekuler yang mendasari efek samping ini
kortikosteroid. Meskipun rejimen tersebut
tidak dipahami dengan jelas, ada beberapa
memberikan perbaikan, cedera allograft
bukti yang menunjukkan keterlibatan
kronis dan efek samping masih tetap ada
reactive oxygen species (ROS) (Lee, 2010).
(Hardinger dan Brennan, 2013).

Studi terbaru menunjukkan bahwa
Siklosporin A (CsA) sebagai agen
matrix metalloproteinase (MMP) terlibat
imunosupresan secara luas memberikan
dalam inisiasi dan perkembangan fibrosis
manfaat
klinis
dalam
pengelolaan
ginjal melalui EMT sel tubulus serta aktivasi
transplantasi organ. CsA meningkatkan
fibroblas,
endothelial-mesenchymal
kelangsungan hidup dan kualitas hidup
transition (EndoMT) dan transdiferensiasi
pada transplantasi organ padat. Namun,
pericyte-myofibroblast. Infiltrasi makrofag
penggunaan klinis CsA sering terbatas
interstitial terbukti berkorelasi dengan
akibat efek samping yang ditimbulkannya

keparahan fibrosis ginjal pada berbagai
yaitu nefropati akut atau kronis, yang
penyakit ginjal kronis. MMP disekresikan
merupakan penyebab penting dari disfungsi
oleh makrofag, terutama MMP-9, sebagai
ginjal kronis sebagai penyebab utama
faktor profibrotik dengan menginduksi EMT
kegagalan transplantasi (Yoon dan Yang,
sel tubulus ginjal. EMT terutama disebabkan
oleh TGF-β. MMP-9 ditingkatkan oleh TGF-β1
2009; Lee, 2010; Martin-Martin et al, 2011).
Nefrotoksisitas CsA ditandai oleh akumulasi
di sel epitel tubulus ginjal dan disekresi
protein extracellular matrix (ECM), nekrosis
oleh makrofag teraktivasi, sehingga terjadi
tubular, mikroangiopati, fibrosis interstisial,
EMT dan akhirnya fibrosis ginjal. Oleh
dan disfungsi ginjal progresif. Transforming
karena itu, MMP-9 dapat berfungsi sebagai
growth factor (TGF)-β telah terlibat sebagai

target
terapi
yang
potensial
untuk
faktor
utama
dalam
pengembangan
mencegah fibrosis ginjal pada penyakit
toksisitas CsA kronis. Peningkatan kadar
ginjal kronis (Singh et al, 2010; Zhao et al,
TGF-β telah diamati pada sel ginjal yang
2013).
terkena CsA (Martin-Martin et al, 2011).
N-Asetil Sistein (NAS) merupakan
TGF-β terlibat dalam patogenesiscommit to
suatu
user senyawa yang mengandung tiol
penolakan kronis transplantasi ginjal.

dengan efek antioksidan dan antiinflamasi.
Peningkatan regulasi TGF-β pada sel epitel
Efek antioksidan N-Asetil Sistein dapat

perpustakaan.uns.ac.id
terjadi secara langsung melalui interaksi
dengan ROS elektrofilik maupun sebagai
prekusor glutation, suatu antioksidan yang
dapat melindungi sel dari stres oksidatif (De
Backer et al, 2013). NAS mengisi ulang
simpanan glutation, meningkatkan aktivitas
superoxide dismutase (SOD), scavenges
hidroksil radikal bebas dan mengganggu
autokatalitik peroksidasi lipid. NAS telah
terbukti memiliki aktivitas renoprotektif
dalam model eksperimental dari gagal ginjal
akut iskemik dan toksik. Uji klinis terbaru
menunjukkan bahwa NAS mungkin efektif
dalam
mencegah

nefropati
kontras
(Takhtfooladi et al, 2012).
Penggunaan CsA sebagai agen
imunosupresif pada transplantasi ginjal
terhambat oleh efek nefrotoksiknya. Efek
samping ini dikaitkan dengan peningkatan
produksi ROS dan penurunan antioksidan
oleh CsA. Terapi CSA akan menghambat
ekspresi dan aktivitas enzim antioksidan
seperti SOD, katalase dan glutation
peroksidase. Dengan demikian, suplemen
antioksidan (NAS) pada pengobatan CSA
mungkin dapat mencegah/mengurangi efek
nefrotoksik pada transplantasi ginjal.
Tujuan penelitian ini adalah Membuktikan,
mengetahui dan membandingkan pengaruh
pemberian N-asetil sistein terhadap ekspresi
TGF-β1 dan MMP-9 pada mencit nefrotoksik
induksi siklosporin.

digilib.uns.ac.id

3

(diberikan CsA 20 mg/kgBB/hari/p.o), dan
terapi (diberikan CsA 20 mg/kgBB/hari/p.o
+ NAS 4,7 mg/hari) selama 8 minggu.
Penilaian positifitas ekspresi TGF-β1
menggunakan
pemeriksaan
imunohistokimia
dengan
antibodi
monoklonal terhadap TGF-β1. Cara ukur
dinilai secara kuantitatif, visual dengan
mikroskop
cahaya
pembesaran
400x
terhadap 100 sel makrofag sebagai sel yang
mengekspresikan
TGF-β1.
Kemudian
dihitung jumlah sel-sel tersebut yang
imunoreaktif tercat coklat perak, pada
membran
sel.
Jumlah
semua
sel
immunoreaktif yang ditemukan kemudian
dijumlahkan dan selanjutnya dimasukkan
sebagai data. Skala data berupa rasio
(Susilo, 2006).
Penilaian positifitas ekspresi MMP-9
menggunakan
pemeriksaan
imunohistokimia
dengan
antibodi
monoklonal terhadap MMP-9. Cara ukur
dinilai secara kuantitatif, visual dengan
mikroskop
cahaya
pembesaran
400x
terhadap 100 sel, yang terlihat di PMN
sebagai yang mengekspresikan MMP-9.
Kemudian dihitung jumlah sel-sel tersebut
yang imunoreaktif tercat coklat perak, pada
membran
sel.
Jumlah
semua
sel
immunoreaktif yang ditemukan kemudian
dijumlahkan dan dimasukkan sebagai data.
Skala data berupa rasio (Susilo, 2006).

Penelitian ini merupakan penelitian
Teknik pewarnaan imunohistokimia
eksperimental, terhadap mencit sebagai
adalah
pewarnaan
imuno-peroksidase
hewan coba. Subjek penelitian adalah
indirek dengan metode avidin biotin
mencit jantan sub spesies Mus musculus
complex (ABC) tiga fase dengan tahapan
galur Balb/C umur 3-4 bulan, berat badan
sebagai berikut:
20–30 gram, diperoleh dari Fakultas
a. Dilakukan
deparafinisasi
sayatan
Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada.
jaringan untuk menghilangkan parafin
Bahan makanan mencit digunakan pakan
dari jaringan. Deparafinisasi dilakukan
mencit standar BR I. Tempat penelitian:
dengan cara standar baku laboratorium,
Tempat pemeliharaan dan induksi hewan
yaitu secara bertahap dengan waktu
tertentu memasukkan preparat kedalam
dilakukan di kandang hewan percobaan
Laboratorium
Histologis
Fakultas
cairan aseton, xylol, alkohol 100%,
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
alkohol 90%, alkohol 80%, alkohol 70%
Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas
dan air.
Kedokteran Universitas Sebelas Maret untuk
b. Cuci jaringan dengan PBS pH 7,4.
pemeriksaan dan pembuatan preparat
c. Inkubasi jaringan dengan tripsin 0,125 %
imunohistokimia. Waktu yang diperlukan
pada temperatur 370 C selama 5-10
menit,
untuk
membuka
masking
dalam penelitian ini selama 5 bulan. Dalam
penelitian ini digunakan 10 ekor mencitcommit to user
antigen.
untuk setiap kelompok observasinya dibagi
d. Jaringan diinkubasikan dengan H202
menjadi kelompok kontrol, perlakuan
0,5% dalam metanol selama 30 menit

perpustakaan.uns.ac.id
untuk
menghilangkan
pewarnaan
endogen, dibiarkan pada temperatur
ruangan.
e. Cuci dengan air mengalir selama 1
menit,
diikuti
pencucian
dengan
akuadestilata.
f. Tandai jaringan dan cuci dengan PBS pH
7,4 selama 5 menit.
g. Inkubasi dengan 3% serum yang
dilarutkan dalam BSA 1% selama 20
menit.
h. Cuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak dua
kali, masing-masing selama 3 menit.
i. Jaringan diinkubasi dengan monoklonal
antibodi
primer
yaitu
murine
monoclonal antibody terhadap molekul
-9) dari mice (Santa Cruz,
(TGFUS). Monoklonal antibodi dilarutkan
dengan TRIS-PBS 1:200. Untuk jaringan

j.
k.

l.
m.

n.
o.

p.
q.
r.
s.
t.

u.

digilib.uns.ac.id

4

Data disajikan dalam bentuk
kemudian dianalisis menggunakan
dengan nilai p