REKRUITMEN KARANG DENGAN PENYEBARAN PLANULA DI PANTAI SEGARA TUBAN DENPASAR.

(1)

1

KARYA ILMIAH

REKRUITMEN KARANG DENGAN PENYEBARAN PLANULA

DI PANTAI SEGARA TUBAN DENPASAR

OLEH:

Drs. JOB NICO SUBAGIO, MSI

NIP. 195711201986021001

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadlirat Tuhan Yang Esa atas Rahma Nya Laporan Penelitian Judul : REKRUITMEN KARANG DENGAN PENYEBARAN PLANULA DI PANTAI SEGARA TUBAN DENPASAR dapat terselesakan

Dalam kasempatan ini kami haturkan ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dekan Fakults Universit Fakultas MIPA Universitas Udayana , bapak Drs. I.B. Made Suaskara, Msi dan Kepala Jurusan Biologi ibuDwi Ariani Yulihastuti SSi., SSi yng selalu memotivasi untuk melakukan penelitian mandiri.

Semoga tulisan ini member manfaat terutama untuk pelestarian terumbu karang di Bali.


(3)

3 DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI... I. PENDAHULUAN ...

II. TINJAUAN PUSTAKA……… ...

2.1. Taksonomi Karang…….... ...

2.2. Pembentukkan larva……….

2.3. Pemencaran Planula ………...……….... 2.4. PENEMPELAN DAN METAMORFOSA PLANULA

III. METODOLOGI

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN...

4.1. Hasil………..

4.2 Pembahasan……….

DAFTAR PUSTAKA... i 1 4 6 6 5 10 11 13 14 14 14


(4)

4

BAB I

Pendahuluan

Terumbu karang berperan penting dalam aspek geologis dan ekologis. Terumbu karang terbentuk dari proses pengendapan kalsium karbonat sehingga berguna sebagai penahan atau peredam gelombang. Bentukan terumbu juga berfungsi sebagai habitat berbagai organism laut juga memiliki peran dalam proses biogeochemical yakni pada pengendapan kalsium karbonat, dan pada proses carbon sink atau penyerap karbon yang dapat memperkecil gas rumah kaca (Sunarto, 2008).

Peran terumbu sebagai peredam gelombang ini yang dimanfaatkan dalam proyek Penanganan Pantai bali, Bali Beach Conservation Project (BBCP) untuk area pantai Kuta.

Terumbu karang buatan ini dibentuk dengan cara melakukan transplantai potongan karang diatas batu kapur.. Kumpulan kubus batu kapur ini dibentangkan dalam area seluas satu hektar di dekat landasan pacu bandara Ngurah Rai, pantai Segara. (BBCP Report)

Transplantasi potongan karang adalah metoda cepat untuk merehabilitasi area terumbu yang mengalami kerusakan. Dalam waktu satu bulan area seluas satu hektar dapat ditanami potongan karang. Dalm waktu setahun beberapa karang, terutama jenis Acropora berbentuk cabang tumbuh dengan pesat dan memenuhi semua permukaan batu.

Pada sisi lain rehabilitasi dengan metoda ini relatif mahal karena memerlukan tenaga manusia berkualifikasi penyelam, dan juga kelengkapan transportasi air dan peralatan pendukung penyelaman. Disamping itu, secara ekologis,metoda ini kurang tepat. Metoda ini seolah


(5)

5 Karang sebagai hewan yang tergolong Coelenterata yang mampu bereproduksi secara aseksual dan seksual. Transplantasi potongan karang merupakan metoda yang diterapakan dibeberapa Negara berdasarkan salah satu kemampuan hewan ni untuk berkembang biak secara aseksual atau biasa sisebut dengan fragmentasi. Sedangkan secara seksual terjadi dari hasil fertilisai ovum oleh spermatozoa sehingga terbentuk zigot yang disebut planula. Planula ini yang berkemampuan untuk berenang dan menemukan tempat yang sesuai, yang selanjutnya

bertumbuh membentuk koloni karang. Bersama koloni yang lain yang sejenis ataupun tidak , yang kemudian membangun suatu terumbu karang.

Penelitian mandiri ini merupakan penelitian awal, pilot study, untuk mengetahui apakah terjadi pembentukan planula dengan melihat spat (koloni awal karang) yang terbentuk di dasar perairan pantai Segara Tuban Denpasar.


(6)

6 BAB II

Tinjauan Pustaka

Dalam pendahuluan disebutkan bahwa rehabilitasi terumbu dengan cara transplantasi

memerlukan usaha dan biaya tinggi. Secara alami karang mampu memulihkan tetrumbu dengan cara penyebaran planula sebagai anak karang. Untuk itu perlu diketahui beberapa hal berkaitan dengan planula, diawali dengan reproduksi karang dan polanya. Diketahui pola reproduksi karang bervariasi tergantung jenisnya. Oleh karena itu akan ditinjau beberapa hal seperti dibawah ini.

2.1. Taksonomi Karang

Karang termasuk Ordo Scleractinia, dikenal dengan karang batu karena karang jenis ini yang menyusun terumbu karang. Ordo ini termasuk phylum Cnidari karena mempunyai pnyengat, umum disebut dengan jelatang. Well (1954) membagi ordo ini menjadi 5 sub ordo yang terdiri dari 16 suku dan 72 marga. Penggolongan ini juga berkaitan dengan pola reproduksi termasuk cara penyebaran larva yang disebut planula (Richmond and Hunter 1990)

2.2. Pembentukan larva Planula

Planula dihasilkan oleh proses reproduksi seksual, dengan adanya pertemuan gamet jantan dan gamet betina. Gamet jantan dan betina dapat ditemukan dalam satu koloni atau punkoloni yang berbeda. Hal ini tergantung pada pola reproduksi seksualnya. Karang memiliki reproduksi seksual yang bervariasi. Sebanyak 210 spesies karang pernah diamati pola reproduksinya. Diketahui 143 spesies bersifat hermaprodit, yaitu terdapat gamet jantan dan betina dalam satu


(7)

7 koloni karang (Richmond and Hunter 1990). Walaupun kebanyakan karang adalah hewan

hermaprodit. Beberapa spesies seperti Astrangia danae, Heteropsammia cochlea, Porites porites, Porites cylindrica dan Turbinaria mesenterinan diketahui memiliki dua sifat, hermaprodi dan dijumpai gonokoristik (Harrison and Wallace 1990).

Para ahli menduga bahwa pembuahan terjadi secara internal. Namun setelah diketahui nya adanya pemijahan masal di Great Barrier Reff, dan dilakukan penelitian lebih intensif diketahui bahwa sebagian besar spesies melakukan pembuahan secara eksternal Harrisson (2011)* menyebut kan dari 444 spesies yang diteliti, sebanyak 354 spesies melepaskan gamet jantan dan betina secara masal, kemudian pembuahan terjadi dibadan perairan. Hanya 6 spesies yang diketahui melepaskan planula setelah pembuahan secara internal. Pemijahan masal dan fertilisasi eksternal ini memberi peluang pemencaran planula kearea yang jauh dari induknya berada. Planula yang dihasilkan dari hasil fertilisasi internal cenderung segera menempel di tempat sekitar induknya berada. Jenis Planula ini sudah matang sehingga dapat segera menempel dan bermetamorposa menjadi polip pertama . Diduga energi yang diperlukan untuk

membesarkan planula hasil fertilisasi internal relatif lebih besar, sehingga telur yang dihasilkan sedikit (Harrison and Wallace 1990).

Hasil pemantauan rutin sejak tahun 1981, di Great Barrier Reef.menunjukkan adanya kecenderungan bahwa pemijahan terjadi pada malam hari setelah purnama (Willis et al. 1985) Karang memijah di dalam keadaan gelap setelah matahari terbenam dan sebelum bulan muncul. Pemijahan terjadi selama seminggu setelah purnama Oktober atau Nopember. Goniastrea aspera, diketahui, memijah pada hari ke 2 hingga ke 4 setelah purnama (Babcock et al. 1986).


(8)

8

Beberapa laporan penelitian juga menunjukkan pola reproduksi mengikuti variasi posisi geografis. Di perairan Heron Island (23⁰ LS) karang Acropora palifera, bereproduksi setahun sekali . Berbeda dengan Lizard Island (14⁰ LS) dan Lae (7⁰ LS) yang terjadi sepanjang tahun (Kojis 1986). Hal ini menunjukkan bahwa variasi faktor-faktor lingkungan dari tempat-tempat ber beda menyebabkan terjadinya variasi pola-pola reproduksi Acropora palifera..

Beberapa ahli menduga bahwa ada empat faktor lingkungan yang diduga paling berperan dalam siklus reproduksi karang, yaitu : suhu air laut, panjang hari (fotoperiod), siklus bulan dan pasang surut (Oliver et al. 1988). Fotoperiod yang mempengaruhi siklus suhu air diduga sebagai faktor penyelaras jangka panjang yang menyelaraskan proses-proses gametogenesis. Sedangkan siklus bulan dan pasang surut dianggap sebagai faktor penyelaras peristiwa pemijahan.

Posisi lintang geografis juga sangat berpengaruh terhadap pola pemijahan (Oliver et al., 1988). Semakin ke arah utara the Great Barrier Reef, semakin kurang selaras pemijahan karang. Di Salamua (Papua New Guinea), misalnya, karang mempunyai masa memijah yang berbeda-beda atau memijah sepanjang tahun (Kojis, 1986). Di Hawaii dan Karibia, pemijahan karang juga tidak terjadi secara singkat dan masal, melainkan berlangsung selama beberapa bulan dengan puncak pemijahan pada bulan-bulan tertentu (Richmond and Hunter, 1990). Karena variasi jarak dari ekuator berhubungan dengan variasi siklus suhu air laut dan fotoperiod, maka diduga kuat bahwa kedua faktor tersebut sangat berperan di dalam penentuan reproduksi karang.

Pemijahan masal sangat di pengaruhi oleh variasi suhu air laut (Harrison et al. 1984; Babcock et al. 1986). Pemijahan masal terjadi pada daerah dengan variasi suhu tahunan tinggi. Terlihat karang cenderungan karang memijah secara bersamaan (Richmond and Hunter 1990).


(9)

9 Penelitian di laboratorium suhu tidak menunjukkan perkembangan telur . Di dalam di air yang lebih hangat, proporsi karang yang memijah bulan Nopemiber lebih tinggi daripada karang yang dipelihara di suhu air ambang (Bachtiar 1994).

Reproduksi juga di pengaruhi lamanya matahari bersinar secara harian., yang dikenal dengan istilah fotoperiodik. Variasi suhu air laut sangat dipengaruhi fotoperiodik suatu area. Area yang berbeda fotoperiodikna dipengaruhi oleh latitude. Hal yang menari adalah karang yang dipelihara selama tiga bulan sebelum musim pemijahan pada tiga macam perlakuan fotoperiod dengan cahaya buatan, tetap memijah pada bulan yang sama (Bachtiar 1994). Dapat disimpulkan, lamanya sinar matahari bersinar tidak merupakan penentu waktu pemijahan karang di the Great Barrier Reef.

Karang di Indonesia yang terletak di daerah tropis, tidak menunjukkan adanya pemijahan masal. Bisa jadi karena belum banyak penelitian di Indonesia tentang hal ini (Bachtiar, 1994). Posisi geografis ini menyebabkan panjang siang selalu sama dengan panjang malam, dengan kata lain fotoperiodik nya dpat dikatakan konstan. Berbeda dengan Great Barrier Reef maupun Okinawa, maka diduga bahwa reproduksi karang terjadi sepanjang tahun.( Bachtiar ,2001) melaporkan bahwa Diperairan Lombok Barat , tiga jenis karang yang dominan yaitu Acropora nobilis, A. cytherea dan Hydnophora rigida mempunyai musim reproduksi yang tidak serentak dan terentang panjang. Pemijahan puncak A. nobilis terjadi setelah purnama bulan Pebruari, dan pemijahan A. cytherea terjadi setelah purnama bulan Januari. Hydnophora rigida puncak

pemijahannya terjadi dua kali setahun, yaitu setelah purnama bulan Nopember dan sekitar bulan April. (Bachtiar, 2001) Munasik dan Azhari (2002) melaporkan waktu pemijahan yang berbeda di perairan Laut Jawa. Di Pulau Panjang, Jepara, karang A. aspera memijah setelah purnama bulan April (Munasik dan Azhari, 2002).Di Pulau Karimunjawa, karang A. hyacinthus dan A.


(10)

10 humilis dilaporkan memijah pada bulan Oktober (reviewed in Munasik, 2002). Di dalam catatan Munasik (2002), ada 19 jenis karang lainnya di Karimunjawa (Agariciidae, Faviidae,

Merulinidae, Pectinida, Poritidae) yang mempunyai musim pemijahan setelah purnama di bulan Oktober dan Nopember.

2.3. Pemencaran Planula

Reproduksi karang di seluruh dunia sebelumnya dianggap sama Adanya penemuan pemijahan massal di the Great Barrier Reef merubah asumsi ini. Dianggap semua karang bersifat pengeram, yaitu melakukan fertilisai internal kemudian planula setelah matang di lepaskan, sebagi mana yng ditemukan di di terumbu karang Karibia. Larva yang sudah matang cenderung segera menempel di sekitar induknya karena cukup matang. (Walace, 1985)

Karang kemudian diketahui bersifat pemijah gamet. Karenanya baru siap untukmenempel setelah 3 hari atau lebih (Richmond 1988). Penemuan ini merubah asumsi bahwa ternya larva karang dapat disebarkan dalam jarak yang jauh. Pengamatan di the Great Barrier Reef

menunjukkan bahwa larva yang bersifat planktonik hanyut oleh arus sehingga dapat menyebar secra luas.. (Willis and Oliver 1988). menemukan bahwa setelah pemijahan 30 jam kemudian, planula karang berada di lokasi kurang lebih 6.5 km dari terumbu asalnya. Larva Acroporidae (Acropora tenuis) baru dapat menempel setelah berusia 3 hari bahakan sampai hingga 20 hari. Larva Pocilloporidae (Pocillopora damicornis) bisa sampai 100 hari (Richmond 1988). Arus air laut dapat membawa larva sejauh ratusan kilometer dari induknya.


(11)

11 Planula pada awalnya berada di permukaanair laut. Kemudian akan kehilangan kemampuan mengapung sehingga cenderung tenngelam dan berada di bawa permukaan laut. Pada hari kelima Willis dan Oliver (1988).

2.4. Penempelan dan Metamorfosa Planula

Planula yang telah kehilangan keterapungan akan cenderung segera menempel, Jika tersedia substrat yang sesuai Planula mempunyai kemampuan untuk memeilih substrat yang sesuai. Planula berenang-renang di sekitar substrat untuk mencari dan menguji lokasi tempat yang pantas untu menenpel.Planula diduga mempunyai sensor untuk mencari tempat. Planula kemudian melakukan metamorphosis menjadi polip pertama. (Harrison and Wallace 1990).

Penempelan larva dapat secara permanen atau sementara. Planula dapat melepaskan diri dan berenang lagi mencari tempat baru. Pada penempelan permanen akan segera diikuti oleh pelekatan dan metamorfosis (Harrison and Wallace 1990).. Pelekatan larva planula terjadi dengan dikeluarkannya nematocyst dan mucus dari bagian epidermis aboral. Begitu pelekatan selesai, maka planula mengalami metamorfosis dengan terjadinya kontraksi dari arah oral ke aboral, sehingga bagian dasar lebih pipih dari bagian oralnya. Selesainya proses metamorfosis akan segera diikuti oleh proses kalsifikasi, pembentukan sekat-sekat rongga (mesentery) di dalam tubuh, dan pembentukan bakal tentakel. Metamorfosis pada hewan invertebrata biasanya dianggap sebagai proses yang tidak dapat kembali. Metamorfosis larva planula dapat terjadi jika ada perangsang yang berasal dari alga krustosa berkapur, pecahan karang atau kerangka karang (Heyward and Negri 1999).


(12)

12 Sedimentasi pada substra akan menghambat penempelan palnula Ditemukan bahwa Pocillopora damicornis mengalami hambatan penempelan substrat yangPada kondisi tutupan sedimen sebanyak 95% tertutup (Hodgson 1990).. Babcock dan Davies (1991) melaporkan sedimentasi setinggi 3.1 mg cm-2 hari-1 menghambat penempelan planula karang Acropora millepora.


(13)

13 BAB III

Metodologi

Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang bersifat kualitatif. Tujuan yang ingin dicapai hanyalah mengetahui ada atau tidak ada nya penyebaran planula serta apa saja jenis yang

diperoleh Menangkap planula dengan jaring pada saat tidak adanya pemijahan masal sangat sulit. Oleh karena itu diharapkan ditemukan spat yang menempel pada substrat dan bermetamorfosa menjadi polip pertama yang dapat ditentukan dengan adanya endapan kalsium karbonat awal yang disebut dengan spat.

Untuk mendapatkan spat, maka di tentukan 50 titik secara acak. Kemudian pada titik-titik tersebutditentukan substratyang berupa potongan kerangka terumbu, atau batu kapur yang mempunyai luas permukaan sekitar 100 cm persegi. Permukaan substrat di bersihkan dengan sikat kawat lalu dibiarkan selama dua bulan. Penetuan titik sampel dilakukan pada tanggal 6 Agustus 2015.

Setelah dua bulan substrat diambil dan diamati dengan kaca pembesar. Bila di temukan noda yang diduga spat karang kemudian di amati dengan mikroskop untuk lebih meyakinkan dan penentuan jenis karang


(14)

14 BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Dari 50 substrat yang diamati, tidak dijumpai satu pun spat yang mengindikasikan adanya penempelan planula

4.2.Pembahasan

Keberhasilan penempelan planula ditentukan oleh banyak faktor. Dimulai dari induk koloni. Perairan kuta menyediakan cukup banyak keberagaman spesies sebagai sumber calon anakan , sehingga seharusnya populasi dan keberagaman karang di perairan Kuta tetap tesjaga. Namun penelitian pendahuluan ini tidak menunjukkan apa yang diharapkan. Belum ada penelitian yang penulis dapati tentang persentase koloni karang yang siap matang gonad serta masa terjadinya masa pemijahan di perairan Kuta. Apakah pemijahan terjadi bersamaan dalam kelompok taksa tertentu atau seluruh spesies yang ada. Apakah pemijahan terjadi secara periodik atau sepanjang tahun. Penulis belum pernah mendengar adanya informasi pemijahan masal dari masyarakat sekitar termasuk para nelayan. Pemijahan masal pada waktu malam hari sebelum munculnya bulan, berupa butiran halus yang bergerombol terlihat berupa buih didalam perairan (Harrison et al. 1984, Willis et al. 1985), Fenomena ini akan dapat mudah terlihat mengingat beberapa nelayan sering menangkap ikan atau mencari organism laut lainnya pada malam hari. Tidak adanya informasi tersebut, kemungkinan besar karena memang tidak pernah terjadi pemijahan masal. Hal inilah yang menyebabkan penulis melakukan pengambilan sampel penelitian tidak pada masa pola pemijahan masal di Great Barrier Reef.

Tidak adanya pemijahan dapat pula disebabkan memang tidak ada koloni yang matang gonadnya. Kematangan gonad dapat dipengaruhi beberapa hal. Terutama kesehatan karang.


(15)

15 Kesehatan karang sangat di pengaruhi kondisi lingkungan diantaranya adanya pencemaran limbah. Penelitian pendahuluan ini dilanjutkan dengan penelitian rekrutmen lebih mendalam. Diawali dengan penelitin kesehatan karang. Salah satu metode yang dipakai untuk menentukan kesehatan karang adalah kandungan kandungan zooxanthelae.

Algae yang bersimbiose dengan karang ini memberi warna bagi kenampakkan koloni karang. Oleh karena itu warna karang dapat dipakai sebagai cara termudah untuk mengetahui apakah karang dalam kondisi atau tidak. Salah satu metoda sederhana tapiu sangat bermanfaat dengan memakai kartu warna yang diusulkan oleh Coral Watch (Klein dan Dean, 2012). Dengan membandingkan warna karang dengn warna pada kartu danmenghitung proporsinya terhadap kolonidapat ditentukan kesehatan karang. Dengan demikian pengamatan kesehatan karang dapat melibatkan masyarakat awam. Karang yang sehat akan dapat menghasilkan gamet yang sehat dan pemijahan dapat terjadi (Wallace, 1985).

Ada tidaknya gamet baik jantan atau betina dapat dilihat ada nya kematangan gonad pada ujung koloni (bagi yang berbentung batang atau menjari, meja, kecuali yang masif). Baird et al (2009) mengusulkan tiga kriteria kematangan gonad sebagai berikut. Kondisi matang gonad telur karang akan mempunyai pigmen yang berwarna (oranye, hijau, merah), Kondisi tidak matang, telur karang akan berwarna putih. Keadaan yang tidak mereproduksi telur (kosong). Kondisi tersebut dijadikan acuan untuk menentukan tingkat kematangan telur karang. Dengan demikian perlu juga dilakukan pengambilan beberapa cuplikan koloni untuk melihat berapa persen dari koloni yang terbentang di area perairan pantai Kuta.

Keberhasilan rekruitmen juga ditentukan oleh adanya pemijahan Pemijahan tentunya diawali dengan adanya pematangan gonad. Di daerah sub tropis pemijahan secara masal di


(16)

16 pengaruhi oleh faktor lingkungan, foto periodik, variasi suhu tahunan tinggi (Richmond and Hunter 1990). Di Indonesia kemungkinan pemijahan terjadi sepanjang tahun. Hal ini disebakan karena suhu tahunan daerah ekuator relatif tinggi dan variasi suhu cukup rendah (McGuire 1998). Dalamkondisi seperti ini, seharusnya proses rekrutmen karang di perairan Kuta cukup bagus karena planula akan tersedia sepanjang tahun.

Ketahanan hidup planula juga sangat kecil. Hal ini karena mush alaminya cukup banyak, walaupunbeberapa ahli mengatakan pemijahan pada malam hari adalah strategi menghindari predator. (Wallace 1985, Glynn et al. 1991, McGuire 1998) terjadi pada bulan terang atau gelap karena saat tersebut merupakan momen dimana pesediaan makanan akan melimpah dan

menyediakan untuk pelepasan telur karang. Dan saat itu dimana ikan nokurnal tidak akan mencari makanan. Keberhasilan rekruitmen sangan ditentukan juga oleh peluang untuk menempel dan melakukan metamorfosa menjadi polip Polip akan dimasuki zooxanthele yang memberi makan pada sat ini. Sehing dapat terbentuknya kerangka awal sangat ditentukanoleh adanya simbion algae ini (Sammarco, 1991).

Dari pembahasan ini dapat disimpulkan masih bnyak hal yang harus diteliti. Dengan ditemukannya masalh pernyebab ketidak berhasilan penempelan maka dapat di cari jalan keluar sehingga keberhasilan perekrutan karang dapat menjadi lebih baik. Rehabilitasi alami pada akhirnya akan tercapai.


(17)

17 Daftar Pustaka

Atrigenio, M.P. and Alino, P.M. (1996). The effects of soft coral Xenia puertogalerae on the recruitment of scleractinian corals. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 203(2):179 189.

Babcock, R. (1988) Fine-scale spatial and temporal patterns in coral recruitment. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2::635-639.

Babcock, R. and Davies, P. (1991). Effects of sedimentation on settlement of Acropora millepora. Coral Reefs 9:205 208.

Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1986). Synchronous spawnings of 105 scleractinian coral species on the Great Barrier Reef. Mar. Biol. 90:379-394. Bachtiar, I. (1994). The Effect of Temperature, Photoperiod and Fragmentation on the

Reproduction of Mass Spawning Corals. Thesis. James Cook University of North Queensland. pp.121.

Bachtiar, I. (2001). Reproduction of three scleractinian corals (acropora cytherea, A. nobilis and Hydnophora rigidai) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Majalah Ilmu Kelautan (Journal of Indonesian Marine Sciences) 21:18-27.

Bachtiar, I. (2002). Promoting recruitment of scleractinian corals using artificial substrate in the Gili Indah, Lombok Barat, Indonesia. Proc. 9th Int. Coral Reef Symp. Bali 2000. In perss. Baird AH, Marshall PA, Wolstenholme J.2002. Latitudinal variation in the reproduction of Acropora in the Coral Sea. Proc 9th Int Coral Reef Symp 1: 385-389

Baird, Andrew. 2009. H. Predicting Patterns of Coral Spawning at Multiple Scales: The Closer You Look The Harder It gets. Senior Research Associate: ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies

Clark, S. and Edwards, A.J. (1995). Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation: evaluation of a case study in the Maldives Islands. Coral Reef 14(4):201-213.

Fisk, D.A. and Harriot, V.J. (1990). Spatial and temporal variation in coral recruitment on the Great Barrier reef: implications for dispersal hypotheses. Mar. Biol. 107:485 490.

Harrison, P.L. and Wallace, C.C. (1990). Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. In : Dubinzky, Z. (ed.) Coral Reefs. Elsevier Science Publishers. Amsterdam. pp. 133-207.


(18)

18 Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1987). A comparison of settlement plate types for experiments on the recruitment of scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 37:201 208.

Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1988). Recruitment patterns of scleractinian corals: astudy of three reefs. Aust. J. Mar. Freshwater Res. 46:409-416.

Harrison, P.L. 2011

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ve d=_

rKAhUCjo4KHYAsAIkQFggmMAE&url=http%3A%2F%2Fwww.reefrelieffounders.com%2Fs cience%

2Fwp-content%2Fuploads%2F2011%2F02%2FHarrison-2011-Coral-Reproduction- .pdf&usg=AFQjCNH3eBGb0mdN_56CLWCuTTlNIi0MWw (Kojis 1986)

Harrison, P.L., Babcock, R.C., Bull, G.D., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1984). Mass spawning in tropical reef corals. Science 223(1):186-189.

Hatcher, B.G. (1980). Grazing in coral reef ecosystem. In: Barnes, P.J. (ed.) “Perspective on

Coral Reefs”. AIMS. Townsville, pp. 164-175.

Heyward, A.J. and Negri, A.P. (1999). Natural inducers for coral larval metamorphosis. Coral Reefs 18:273-279.

Hodgson, G. (1990). Sediment and the settlement of larvae of the reef coral Pocillopora damicornis. Coral Reefs 9:41 43.

Klein, D dan Dean, A (2012) Reef Education Package Indonesia. Jakarta. Coral Watch. The University if Queensland.

Kojis, B.L. (1986). Sexual reproduction of in Acropora (Isopora) (Coelenterata: Scleractinia) II. Latitudinal variation in Acropora palifera from the Great Barrier Reef and Papua New Guinea. Mar. Biol. 91:311-318.

Munasik. 2002. Reproduksi karang di Indonesia: suatu kajian. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.

Munasik and Azhari, A. 2002. Masa reproduksi dan struktur gonad karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jepara. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.

Oliver, J.K., Babcock, R.C., Harrison, P.L. and Willis, B.L. (1988). Geographic extent of mass coral spawning: Clues to ultimate causal factors. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. Australia 2:803-810.


(19)

19 Richmond, R.B. (1988). Competency and dispersal of planullae larvae of a spawning versus a brooding coral. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:827-831.

Richmond, H.R. and Hunter, C.L. (1990). Reproduction and recruitment of corals: comparison among the Carribean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog. Ser. 60:185-203. Sammarco, P.W. (1991). Geographically specific recruitment and postsettlement mortality as influences on coral communities: The cross-continental shelf transplant experiment. Limnol. Oceanogr. 36(3):496-514.

Sunarto. 2008. Penyediaan Energi Karbon dalam Simbiosis Koral dan Alga. Universitas Padjajaran : Bandung.

Wallace, C.C. (1985). Seasonal peak and annual fluctuations in recruitment of juvenile scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:280-298.

Willis, B. L. and Oliver, J.K. (1988). Inter-reef dispersal of coral larvae following the annual mass-spawning of the Great Barrier Reef. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:853-859.

Willis, B.L., Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K. and Wallace, C.C. (1985). Patterns in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to 1984. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:343-348


(1)

14 BAB IV

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Dari 50 substrat yang diamati, tidak dijumpai satu pun spat yang mengindikasikan adanya penempelan planula

4.2.Pembahasan

Keberhasilan penempelan planula ditentukan oleh banyak faktor. Dimulai dari induk koloni. Perairan kuta menyediakan cukup banyak keberagaman spesies sebagai sumber calon anakan , sehingga seharusnya populasi dan keberagaman karang di perairan Kuta tetap tesjaga. Namun penelitian pendahuluan ini tidak menunjukkan apa yang diharapkan. Belum ada penelitian yang penulis dapati tentang persentase koloni karang yang siap matang gonad serta masa terjadinya masa pemijahan di perairan Kuta. Apakah pemijahan terjadi bersamaan dalam kelompok taksa tertentu atau seluruh spesies yang ada. Apakah pemijahan terjadi secara periodik atau sepanjang tahun. Penulis belum pernah mendengar adanya informasi pemijahan masal dari masyarakat sekitar termasuk para nelayan. Pemijahan masal pada waktu malam hari sebelum munculnya bulan, berupa butiran halus yang bergerombol terlihat berupa buih didalam perairan (Harrison et al. 1984, Willis et al. 1985), Fenomena ini akan dapat mudah terlihat mengingat beberapa nelayan sering menangkap ikan atau mencari organism laut lainnya pada malam hari. Tidak adanya informasi tersebut, kemungkinan besar karena memang tidak pernah terjadi pemijahan masal. Hal inilah yang menyebabkan penulis melakukan pengambilan sampel penelitian tidak pada masa pola pemijahan masal di Great Barrier Reef.

Tidak adanya pemijahan dapat pula disebabkan memang tidak ada koloni yang matang gonadnya. Kematangan gonad dapat dipengaruhi beberapa hal. Terutama kesehatan karang.


(2)

15 Kesehatan karang sangat di pengaruhi kondisi lingkungan diantaranya adanya pencemaran limbah. Penelitian pendahuluan ini dilanjutkan dengan penelitian rekrutmen lebih mendalam. Diawali dengan penelitin kesehatan karang. Salah satu metode yang dipakai untuk menentukan kesehatan karang adalah kandungan kandungan zooxanthelae.

Algae yang bersimbiose dengan karang ini memberi warna bagi kenampakkan koloni karang. Oleh karena itu warna karang dapat dipakai sebagai cara termudah untuk mengetahui apakah karang dalam kondisi atau tidak. Salah satu metoda sederhana tapiu sangat bermanfaat dengan memakai kartu warna yang diusulkan oleh Coral Watch (Klein dan Dean, 2012). Dengan membandingkan warna karang dengn warna pada kartu danmenghitung proporsinya terhadap kolonidapat ditentukan kesehatan karang. Dengan demikian pengamatan kesehatan karang dapat melibatkan masyarakat awam. Karang yang sehat akan dapat menghasilkan gamet yang sehat dan pemijahan dapat terjadi (Wallace, 1985).

Ada tidaknya gamet baik jantan atau betina dapat dilihat ada nya kematangan gonad pada ujung koloni (bagi yang berbentung batang atau menjari, meja, kecuali yang masif). Baird et al (2009) mengusulkan tiga kriteria kematangan gonad sebagai berikut. Kondisi matang gonad telur karang akan mempunyai pigmen yang berwarna (oranye, hijau, merah), Kondisi tidak matang, telur karang akan berwarna putih. Keadaan yang tidak mereproduksi telur (kosong). Kondisi tersebut dijadikan acuan untuk menentukan tingkat kematangan telur karang. Dengan demikian perlu juga dilakukan pengambilan beberapa cuplikan koloni untuk melihat berapa persen dari koloni yang terbentang di area perairan pantai Kuta.

Keberhasilan rekruitmen juga ditentukan oleh adanya pemijahan Pemijahan tentunya diawali dengan adanya pematangan gonad. Di daerah sub tropis pemijahan secara masal di


(3)

16 pengaruhi oleh faktor lingkungan, foto periodik, variasi suhu tahunan tinggi (Richmond and Hunter 1990). Di Indonesia kemungkinan pemijahan terjadi sepanjang tahun. Hal ini disebakan karena suhu tahunan daerah ekuator relatif tinggi dan variasi suhu cukup rendah (McGuire 1998). Dalamkondisi seperti ini, seharusnya proses rekrutmen karang di perairan Kuta cukup bagus karena planula akan tersedia sepanjang tahun.

Ketahanan hidup planula juga sangat kecil. Hal ini karena mush alaminya cukup banyak, walaupunbeberapa ahli mengatakan pemijahan pada malam hari adalah strategi menghindari predator. (Wallace 1985, Glynn et al. 1991, McGuire 1998) terjadi pada bulan terang atau gelap karena saat tersebut merupakan momen dimana pesediaan makanan akan melimpah dan

menyediakan untuk pelepasan telur karang. Dan saat itu dimana ikan nokurnal tidak akan mencari makanan. Keberhasilan rekruitmen sangan ditentukan juga oleh peluang untuk menempel dan melakukan metamorfosa menjadi polip Polip akan dimasuki zooxanthele yang memberi makan pada sat ini. Sehing dapat terbentuknya kerangka awal sangat ditentukanoleh adanya simbion algae ini (Sammarco, 1991).

Dari pembahasan ini dapat disimpulkan masih bnyak hal yang harus diteliti. Dengan ditemukannya masalh pernyebab ketidak berhasilan penempelan maka dapat di cari jalan keluar sehingga keberhasilan perekrutan karang dapat menjadi lebih baik. Rehabilitasi alami pada akhirnya akan tercapai.


(4)

17 Daftar Pustaka

Atrigenio, M.P. and Alino, P.M. (1996). The effects of soft coral Xenia puertogalerae on the recruitment of scleractinian corals. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 203(2):179 189.

Babcock, R. (1988) Fine-scale spatial and temporal patterns in coral recruitment. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2::635-639.

Babcock, R. and Davies, P. (1991). Effects of sedimentation on settlement of Acropora millepora. Coral Reefs 9:205 208.

Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1986). Synchronous spawnings of 105 scleractinian coral species on the Great Barrier Reef. Mar. Biol. 90:379-394. Bachtiar, I. (1994). The Effect of Temperature, Photoperiod and Fragmentation on the

Reproduction of Mass Spawning Corals. Thesis. James Cook University of North Queensland. pp.121.

Bachtiar, I. (2001). Reproduction of three scleractinian corals (acropora cytherea, A. nobilis and Hydnophora rigidai) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Majalah Ilmu Kelautan (Journal of Indonesian Marine Sciences) 21:18-27.

Bachtiar, I. (2002). Promoting recruitment of scleractinian corals using artificial substrate in the Gili Indah, Lombok Barat, Indonesia. Proc. 9th Int. Coral Reef Symp. Bali 2000. In perss. Baird AH, Marshall PA, Wolstenholme J.2002. Latitudinal variation in the reproduction of Acropora in the Coral Sea. Proc 9th Int Coral Reef Symp 1: 385-389

Baird, Andrew. 2009. H. Predicting Patterns of Coral Spawning at Multiple Scales: The Closer You Look The Harder It gets. Senior Research Associate: ARC Centre of Excellence for Coral Reef Studies

Clark, S. and Edwards, A.J. (1995). Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation: evaluation of a case study in the Maldives Islands. Coral Reef 14(4):201-213.

Fisk, D.A. and Harriot, V.J. (1990). Spatial and temporal variation in coral recruitment on the Great Barrier reef: implications for dispersal hypotheses. Mar. Biol. 107:485 490.

Harrison, P.L. and Wallace, C.C. (1990). Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. In : Dubinzky, Z. (ed.) Coral Reefs. Elsevier Science Publishers. Amsterdam. pp. 133-207.


(5)

18 Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1987). A comparison of settlement plate types for experiments on the recruitment of scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 37:201 208.

Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1988). Recruitment patterns of scleractinian corals: astudy of three reefs. Aust. J. Mar. Freshwater Res. 46:409-416.

Harrison, P.L. 2011

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ve d=_

rKAhUCjo4KHYAsAIkQFggmMAE&url=http%3A%2F%2Fwww.reefrelieffounders.com%2Fs cience%

2Fwp-content%2Fuploads%2F2011%2F02%2FHarrison-2011-Coral-Reproduction- .pdf&usg=AFQjCNH3eBGb0mdN_56CLWCuTTlNIi0MWw (Kojis 1986)

Harrison, P.L., Babcock, R.C., Bull, G.D., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1984). Mass spawning in tropical reef corals. Science 223(1):186-189.

Hatcher, B.G. (1980). Grazing in coral reef ecosystem. In: Barnes, P.J. (ed.) “Perspective on

Coral Reefs”. AIMS. Townsville, pp. 164-175.

Heyward, A.J. and Negri, A.P. (1999). Natural inducers for coral larval metamorphosis. Coral Reefs 18:273-279.

Hodgson, G. (1990). Sediment and the settlement of larvae of the reef coral Pocillopora damicornis. Coral Reefs 9:41 43.

Klein, D dan Dean, A (2012) Reef Education Package Indonesia. Jakarta. Coral Watch. The University if Queensland.

Kojis, B.L. (1986). Sexual reproduction of in Acropora (Isopora) (Coelenterata: Scleractinia) II. Latitudinal variation in Acropora palifera from the Great Barrier Reef and Papua New Guinea. Mar. Biol. 91:311-318.

Munasik. 2002. Reproduksi karang di Indonesia: suatu kajian. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.

Munasik and Azhari, A. 2002. Masa reproduksi dan struktur gonad karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jepara. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.

Oliver, J.K., Babcock, R.C., Harrison, P.L. and Willis, B.L. (1988). Geographic extent of mass coral spawning: Clues to ultimate causal factors. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. Australia 2:803-810.


(6)

19 Richmond, R.B. (1988). Competency and dispersal of planullae larvae of a spawning versus a brooding coral. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:827-831.

Richmond, H.R. and Hunter, C.L. (1990). Reproduction and recruitment of corals: comparison among the Carribean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog. Ser. 60:185-203. Sammarco, P.W. (1991). Geographically specific recruitment and postsettlement mortality as influences on coral communities: The cross-continental shelf transplant experiment. Limnol. Oceanogr. 36(3):496-514.

Sunarto. 2008. Penyediaan Energi Karbon dalam Simbiosis Koral dan Alga. Universitas Padjajaran : Bandung.

Wallace, C.C. (1985). Seasonal peak and annual fluctuations in recruitment of juvenile scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:280-298.

Willis, B. L. and Oliver, J.K. (1988). Inter-reef dispersal of coral larvae following the annual mass-spawning of the Great Barrier Reef. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:853-859.

Willis, B.L., Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K. and Wallace, C.C. (1985). Patterns in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to 1984. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:343-348