Karakteristik Bio-surfaktan Dari Azotobacter Chroococcum.

KARAKTERISTIK BIO-SURFAKTAN DARI AZOTOBACTER CHROOCOCCUM
(BIO– SURFACTANT CHARACTERISTICS OF AZOTOBACTER CHROCOCCUM)
5

Pujawati Suryatmana1, Edwan Kardena2, Enny Ratnaningsih3 dan Wisjnuprapto2
1

Jurusan Ilmu Tanah Faperta UNPAD, 2Departemen Teknik Lingkungan ITB,
3
Departemen Kimia ITB

10

The bio-surfactant produced by Azotobacter chroococcum consisted of biomolecules which have
strong emulsification. The experiment was focused on determining the crude oil emulsification index
of biosurfactan. The production of biosurfactant by A. chroococcum was influenced by pH and glucose
concentration. The higher the glucose concentration, the larger the quantity of biosurfactant produced,
meanwhile it achieved the maximum emulsification index (E24) and dispersion capcity to crude oil

15


was achieved at a neutral pH. At a neutal conditions, the emulsification index (E24) was obtained at
95.6 %, and the dispersion capacity was 96.22 %. The component of biosurfactant produced using GCMS, showed substances such as eugenol, dodecanoic acid, decanoic acid methyl ester, 9-octadecanoic
acid, undec-10-ynoic acid, phthalic acid, cycloundecane carboxylic acid.

20

Key words: Azotobacter chroococcum, bio-surfactant, dispersion capcity, Emulsifikasi Index (E24),

25

30

___________________________________
*Penulis untuk Korespondensi, Tel.022-2504274.
E-mail: wparnadi @ bdg.centrin.net.id

1

PENDAHULUAN
Bio-surfaktan adalah kelompok molekul yang memiliki sifat aktif permukaan. Sifat ini disebabkan

biosurfaktan merupakan molekul kompleks yang memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik, sehingga
dapat menurunkan tegangan permukaan pada ruang antar air dan minyak (Bica et al., 1999; Vater et
5

al.,2002). Biosurfaktan dapat berperan dalam melarutkan senyawa hidrofobik seperti minyak bumi
dengan membentuk struktur micelle (Al-Tahhan et al., 2000). Hal ini menyebabkan tingkat dispersi dan
emulsifikasi minyak bumi meningkat dalam air. Beberapa peneliti mengklasifikasikan biosurfaktan
kedalam katagori berikut ini: (i) glikolipid, (ii) lipopeptida, (iii) asam lemak, lemak netral, fosfolipid
(iv) surfaktan polimerik dan (v) biosurfaktan partikulat (Vater et al., 2002). Kelompok senyawa ini

10

merupakan produk ekstraseluler yang disintesis oleh beberapa kelompok mikroorganisme (Bica et al.,
1999; Vater et al., 2002).
Salah satu genus yang mengeksresikan produk ekstrasel dalam kapasitas tinggi adalah Azotobacter.
Azotobacter merupakan bakteri rizosfir yang bersifat mucoid yang yang dapat memfiksasi nitrogen
(N2) udara. Pada umumnya bakteri ini dimanfaatkan sebagai penyumbang nitrogen dan hormon

15


pertumbuhan bagi tanaman (Suba Rao, 1987). Bakteri ini juga memiliki potensi lain yaitu dapat
mengekskresikan berbagai senyawa kelompok eksopolisakarida (EPS) dan asam organik (Vermani et
al.,1996). Hasil penelitian Suryatmana et al (2003) menunjukkan bahwa produk ekstrasel yang
dihasilkan Azotobacter chroococcum terdiri dari ekstrapolisakarida (EPS) dan asam lemak. Menurut
Iwabuchi et al (2002) EPS dapat berfungsi sebagai biosurfaktan yang dapat meningkatkan biodegradasi

20

limbah minyak bumi. Sedangkan Vater et al (2002) menyatakan bahwa asam lemak merupakan
kelompok senyawa yang efektif berfungsi sebagai biosurfaktan, karena merupakan senyawa
amphiphatic yaitu memiliki dua gugus sekaligus, antara lain Lyofobik dan lyofilik. Dan potensi
biomolekul yang dapat diproduksi oleh A. chroococcum sebagai bio-emulsifier belum banyak
diketahui.

2

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik biomolekul yang dihasilkan A.
chroococcum sebagai bioemulsifier minyak bumi asal lapangan kilang minyak Duri – Riau.
Parameter pengujian yang dilakukan antara lain: kapasitas dispersi sejalan dengan pembentukan
biosurfaktan selama 7 hari inkubasi; tingkat emulsifikasi dengan mengukur Indeks Emulsifikasi (E24)

5

terhadap minyak bumi dan penentuan komposisi senyawa penyusun biosurfaktan dari fraksi asam
lemak penyusun yang dihasilkan Azotobacter chroococcum.

BAHAN DAN METODE
Mikroorganisme dan Minyak mentah
10

Galur Azotobacter chroococcum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium
Biologi Tanah Jurusan Ilmu Tanah FAPERTA UNPAD. Minyak mentah yang digunakan untuk
pengujian tingkat kapasitas emulsifikasi dan kapasitas dispersi diperoleh dari lapangan Duri – Riau
yang diekploitasi oleh PT.Pertamina.

15

Komposisi Media
Media yang digunakan dalam penelitian untuk produksi biosurfaktan adalah media basal glukosa
1% (10 g/l), dengan komposisi nutrisi dalam satu liter akuades sebagai berikut: K2HPO4 (1,5 g/l));
KH2PO4 (0.5 g/l); MgSO4 (0.5 g/l). Media disterilkan dalam otoklaf pada 121o C selama 15 menit pada

tekanan 15 psi.

20
Pertumbuhan dan Kondisi Produksi biosurfaktan
Eksperimen dilakukan dalam batch culture dengan pH yang divariasikan pada 4; 7; dan 9.
Glukosa digunakan sebagai satu-satunya sumber karbon, dan konsentrasinya divariasikan pada 0,5%;
1%; 2 %. Inokulan bakteri A.chroococcum yang digunakan untuk produksi berasal dari kultur umur 3
25

hari yaitu saat fase eksponensial. Volume kultur yang diinokulasikan 10 % dari volume media produksi
3

dengan kepadatan sel 105 CFU/ ml. Proses produksi biosurfaktan dilakukan pada suhu 28o C selama 9
hari pada kondisi aerob dengan pengocokan pada 100 rpm. Analisis produksi dan biomassa bakteri
dilakukan dalam interval 24 jam. Untuk analisis pertumbuhan sel digunakan metode total plate count
(TPC).
5
Isolasi Bio-surfaktan dari kultur Azotobacter chrococcum
Bio-surfaktan dipisahkan dari kultur A. chroococcum dengan sentrifugasi pada kecapatan 13.000 g
selama 30 menit sehingga diperoleh supernatan. Untuk memperoleh biosurfaktan fraksi asam lemak

dilakukan sebagai berikut: (i) Supernatan diasamkan dengan menambahkan 2 N HCl sampai diperoleh
10

pH 2, (ii) selanjutnya diendapkan selama satu malam pada suhu 4oC dan dinetralkan dengan
menambahkan

larutan KOH. (iii) Endapan biosurfaktan diekstraksi dengan kloroform (1:1 v/v)

dikocok dengan vorteks pada kecepatan 9 rpm hingga diperoleh fraksi asam lemak yang terlarut dalam
kloroform. (iv) Fraksi asam lemak dipisahkan dan diukur secara gravimetrik (metode Vater et al.,
2002dan Al Thahan et al., 2002). Sementara untuk memperoleh fraksi kelompok senyawa
15

eksopolisakarida dilakukan sebagai berikut: (a) supernatan diendapkan dengan aseton dingin dengan
volume 1 : 1 (v/v), menghasilkan endapan eksopolisakarida. (b) Endapan eksopolisakarida dikeringkan
pada temperatur 40oC, selanjutnya diukur secara gravimetrik (Vermani et all, 1997).

Pengukuran Indeks Emulsifikasi (E24)
20


Dua puluh ml crude oil dalam labu ukur dicampurkan dengan 20 ml supernatant produk
bioemulsifier dari kultur Azotobacter chroococcum hasil sentrifugasi selama 30 menit dengan
kecepatan 13.000 g. Larutan campuran minyak bumi dengan biosurfaktan dikocok selama 5 menit
selanjutnya dibiarkan selama 24 jam. Indeks Emulsifikasi (E24) diukur setelah 24 jam dengan
mengukur ketinggian lapisan larutan minyak teremulsi dibagi tinggi kolom total larutan (Bica et

25

al,1999; Chang et al, 2005).
4

Pengukuran Kapasitas Dispersi Biosurfaktan terhadap Minyak bumi.
Kapasitas dispersi dilakukan dengan metode yang dilakukan Barkay (1999) yaitu mengukur
kemampuan biosurfaktan dalam meningkatkan pembentukan micelle oil dalam interval waktu 24 jam.
Satu gram minyak mentah ditambahkan kedalam 10 ml biosurfaktan. Selanjutnya dilakukan
5

pengocokan 7 rpm dengan menggunakan vorteks selama 5 menit, dan dibiarkan selama 5 menit.
Terbentuk lapisan micelle oil yang terdispersi terbentuk di bawah permukaan larutan. Minyak
terdispersi dialiran melalui slang (foto 1), dan ditampung dalam botol ektraksi untuk selanjutnya

diekstraksi dengan n-heksan (1:1 v/v) dan dianlisis secara gravimetrik. Persentase minyak terdispersi
diukur dari berat oil terdispersi/berat minyak awal X 100 %.

10
Penentuan Senyawa Penyusun Biosurfaktan fraksi asam lemak.
Supernatan biosurfaktan diasamkan dengan menambahkan 1 N HCl sampai diperoleh pH 2,
diendapkan selama satu malam pada suhu 4oC selanjutnya dinetralkan. Larutan yang mengandung
endapan fraksi organik diekstraksi dengan Kloroform, hingga diperoleh fase asam lemak terlarut
15

dalam kloroform (seperti yang telah dijelaskan pada proses isolasi biosurfaktan). Penentuan senyawa
penyusun biosurfaktan dianalisis dengan alat GC/MS untuk mengetahui komposisi senyawa
ekstraseluler secara kualitatif.

HASIL
20

Pengaruh pH terhadap Produksi biosurfaktan
Produksi biosurfaktan dianalisis dengan metode sesuai Vater et al (2002) sehingga diperoleh
biosurfaktan fraksi asam lemak dan dengan metode Vermani et al (2002) untuk memperoleh fraksi

kelompok eksopolisakarida (EPS).
Pada konsentrasi glukosa 1%, pengaruh pH terhadap produksi biosurfaktan ditunjukkan pada

25

gambar 1. Produksi bisurfaktan pada pH asam dan basa relatif tidak berbeda, tetapi pada kondisi pH
5

netral menunjukkan produksi yang lebih tinggi. Pembentukan biosurfaktan pada ketiga kondisi pH
secara umum menunjukkan peningkatan yang tajam sampai hari ke empat, dan selanjutnya tidak
terjadi peningkatan produksi. Pada kondisi pH netral hari ke 4 produksi biosurfaktan sebesar 7,64 g/l,
sementara pada pH 4 dan pH 9 masing-masing sebesar 5,52 dan 5,55. Dengan demikian produksi
5

biosurfaktan pada pH netral lebih tinggi dari pada pH asam dan basa.

Kapasitas Dispersi Selama Pembentukan Biosurfaktan pada Variasi pH.
Kapasitas dispersi selama pembentukan biosurfaktan ditampilkan pada Gambar 2. Kapasitas
dispersi diukur melalui kemampuan biosurfaktan yang dihasilkan dalam mendispersikan large doplet
10


oil atau kemampuan biosurfaktan dalam membentuk micelle oil dalam larutan sesuai metode
modifikasi Barkay et al. (1999))
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

kondisi pH menentukan kualitas biosurfaktan yang

dihasilkan. Pada pH netral aktifitas biosurfaktan menunjukkan tingkat kapasitas dispersi yang paling
tinggi dibandingkan dengan kapasitas pada pH asam dan basa. Puncak aktifitas dispersi biosurfaktan
15

sebesar 96.22 % terjadi pada hari ke 4. Sementara puncak aktifitas pada kondisi pH 4 sebesar 50.13 %
terjadi pada hari ke 7 dan 49.34 % (kondisi pH 9) juga terjadi pada hari ke 7.

Pengaruh Konsentrasi Glukosa Terhadap Produksi Biosurfaktan selama Pertumbuhan
Gambar 3 a, b dan c. memperlihatkan pengaruh konsentrasi glukosa terhadap produksi
20

biosurfaktan pada pH 7. Semakin tinggi konsentrasi glukosa yang dipergunakan semakin tinggi
produksi biosurfaktan yang dihasilkan. Dengan demikian dalam penelitian ini, glukosa merupakan

sumber karbon satu-satunya dalam proses metabolisme dan pembentukan senyawa biosurfaktan. Dari
kurva produksi biosurfaktan tampak bahwa biosurfaktan diproduksi sejalan dengan pertumbuhan sel.
Kinetika produksi biosurfaktan menunjukkan pola yang sama, yaitu produksi biosurfaktan sejalan

25

dengan pertumbuhan sel untuk setiap konsentrasi substrat (glukosa)
6

Produksi biosurfaktan hari ke 4 pada konsentrasi glukosa 0,5 dan 1 dan 2% masing-masing sebesar
4,94 , 7,64 dan 11,54 g/l. Produksi biosurfaktan setelah hari ke 4 pada konsentrasi glukosa 0,5 dan 1
tidak mengalami peningkatan, akan tetapi pada konsentrasi glukosa 2%, setelah hari ke 4 produksi
biosurfaktan masih mengalami peningkatan, dan pada akhir produksi (hari ke 7) diperoleh hasil
5

sebesar 13,77 g/l.

Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa sebagai sumber karbon

menentukan jumlah biosurfaktan.

Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan pada Variasi Pengenceran
10

Kualitas biosurfaktan yang dihasilkan juga dapat diukur dari indeks emulsifikasi (E24) pada variasi
tingkat pengenceran biosurfaktan (Gambar 4). Indeks emulsifikasi biosurfaktan diukur dengan mengukur
kemampuan biosurfaktan dalam mengemulsikan minyak bumi yang memiliki tingkat dispersi yang rendah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan pada kondisi dengan aktifitas
dispersi tertinggi (pH netral) diperoleh derajat emulsifikasi (E24) sebesar 95.6 % dengan kuantitas

15

produk biosurfaktan sebesar 7,72 g/l. Pada Indeks emulsifikasi (E24) berturut-turut sesuai pengenceran
adalah sebagai berikut dengan kuantitas 3,84, diperoleh E24 sebesar 1,83 dan 0,39 g/l biosurfaktan
diperoleh derajat emulsifikasi 74,66; 66,2 dan 49.13 %.

PEMBAHASAN
20

Pengaruh Variasi Konsentrasi Glukosa dan pH terhadap Produksi Biosurfaktan.
Dari hasil analisis menunjukkan bahwa glukosa sebagai sumber karbon mempengaruhi kuantitas
pembentukan biosurfaktan seperti yang terlihat pada Gambar 2. Pada fermentasi dengan konsentrasi
glukosa 2% tampak kuantitas biosurfaktan yang diproduksi hampir 2 kali lebih tinggi dari pada pada
produksi dengan konsentrasi glukosa 1 %. Hal ini menunjukkan bahwa glukosa selain sebagai sumber

25

karbon bagi pertumbuhan sel Azotobacter, juga berperan dalam proses anabolisme senyawa produk
7

ekstrasel. Ekstrasel yang dihasilkan A. chroococcum terdiri dari kelompok Eksopolisakarida (EPS)
dan asam organik fraksi asam lemak. Glukosa merupakan satu-satunya sumber karbon bagi A.
chroococum. Menurut konsep yang dikemukakan Shuler & Kargi (1992), bahwa substrat seperti
glukosa akan digunakan oleh bakteri sebagai sumber karbon dan energi untuk empat kelompok proses
5

metabolismenya, antara lain: (i) assimilasi sintesis biomassa, (ii) asimilasi sintesis produk
ekstarseluler, (iii) energi untuk pertumbuhan, dan (iv) energi untuk pemeliharaan. Produksi
biosurfaktan termasuk pada katagori proses asimilasi sintesis produk ekstraseluler. Ekstraseluler yang
dihasilkan merupkan kelompok asam lemak. Sintesis asam lemak berlangsung melalui tahap tahap
glikolisis membentuk acetyl-CoA, dan selanjutnya untuk sintesis asam lemak diperlukan CO2 yang

10

membentuk malomyl-CoA sebagai senyawa intermediate sintesis asam lemak. Pembentukan
ekstraseluler kelompok asam lemak dari A.chroococcum yaitu dodecanoic acid, decanoic acid methyl
ester, octadecanoic acid, phthalic acid, dan undec-10-ynoic acid belum diketahui secar pasti.
Diperlukan penelitian lanjut untuk mengetahui biosinresis pathway-nya melalui teknik pelacakan
dengan menggunakan isotop karbon dalam substrat yang digunakan.

15

Kondisi pH yang paling mendukung untuk produksi biosurfaktan adalah pH netral. Hal ini
berkaitan erat dengan rangkaian reaksi yang melibatkan kerja enzim dalam proses metabolisme.
Kondisi pH netral merukan pH yang paling optimum untuk sintesis asimilasi sintesis produk
ekstarseluler A.chroococcum. Produksi biosurfaktan A.chroococcum berasosiasi dengan pertumbuhan,
dimana apabila laju pertumbuhan tinggi maka laju produksi biosurfaktanpun meningkat, dan laju

20

pertumbuhan sangat tergantung kondisi pH. Laju pertumbuhan tertinggi A.chrococcum terjadi pada pH
netral (Suryatmana et al, 2004). Dari pola kinetika produksi biosurfaktan, maka tipe metabolisme
biosurfaktan A.chrococcum termasuk tipe kinetia dengan pola ”Pembentukan Produk ekstarasel
secara simultan sejalan dengan pertumbuhan” yang berarti bahwa laju spesifik produk biosurfaktan
proporsional terhadap laju pertumbuhan, sesuai konsep yang dikemukakan Shuler & Kargi, 1992.
8

Komposisi Senyawa Dominan Penyusun Biosurfaktan
Kapasitas dispersi biosurfaktan yang dihasilkan dipengaruhi pH. Secara kuantitas biosurfaktan
yang dihasilkan pada ketiga variasi pH relatif tidak berbeda nyata (Gambar1). Akan tetapi secara
5

kualitas yang ditunjukkan dengan kapasitas dispersi pada pH netral (pH 7) menunjukkan perbedaan
dibandingkan pada pH 4 dan pH 9 (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa pH menentukan
pembentukan komposisi biosurfaktan yang dihasilkan. Komposisi senyawa penyusun biosurfaktan A.
chroococcum dapat dilihat pada Gamba 5.
Dengan metode ekstarksi fraksi asam lemak (Vater et al., 2002), menunjukkan bahwa biosurfaktan

10

tersusun dari kelompok asam lemak antara lain: asam dodekanoat, asam dekanoat metal ester, asam 9oktadekanoat, asam undek-10-inoat, asam ftalat dan asam sikloundekan karboksilat. Apabila dilihat
dari prosentase kelimpahan senyawa penyusun (Tabel 1) tampak bahwa senyawa biosurfaktan
didominasi oleh asam dodekanoat dan dan asam9-oktadekanoat, dengan prosentase kelimpahan
masing-masing sebesar 24.1 % dan 38.5 % dari total senyawa penyusun yang dihasilkan.

15

Mengacu pada nilai aktifitas dispersi dan indeks emulsifikasi (E24) yang cukup tinggi pada pH 7
yaitu sebesar 96.2 % dan 95.6 % maka hal ini menunjukkan bahwa senyawa penyusun biosurfaktan
yang diproduksi A.chroococcum merupakan kelompok asam lemak yang memiliki karakteristik
sebagai bioemulsifier kuat, mekanisme yang terjadi dibahas pada kapasitas Indeks Emulsifikasi
dibawah ini.

20
Indeks Emulsifikasi Biosurfaktan pada Variasi Pengenceran
Derajat emulsifikasi menurun sejalan dengan pengenceran biosurfaktan. Walaupun demikian
tingkat Indeks Emulsifikasi tampak masih tinggi pada konsentrasi rendah (5%) yaitu sebesar 49.1 %.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kualitas biosurfaktan yang dihasilkan memiliki kualitas emulsifikasi
9

yang kuat. Komposisi senyawa penyusun biosurfaktan yang dihasilkan A. chroococcum terdiri dari
beberapa kelompok asam lemak, yang memiliki kerangka karbon alifatik dari derivat senyawa
penyusun minyak mentah. Hal ini menyebabkan senyawa-senyawa yang dikandung biosurfaktan
tersebut dapat berfungsi sebagai emulsifikasi kuat, terbukti pada konsentrasi produk biosurfaktan
5

sampai 25% masih menunjukkan karakteristik emulsifikasi lebih dari 50% yaitu sebesar 66,2 %.
Senyawa-senyawa penyusun yang dikandung biosurfaktan A.chroococcum didominasi oleh kelompok
asam lemak seperti : asam dodekanoat, n-dodekanoat, asam dekanoat metil ester dan asam
oktadekanoat (Gambar 5). Emulsifikasi minyak mentah oleh biosurfaktan tersebut terjadi karena
adanya pembentukan micelle oil akibat adanya ikatan antara gugus hidrofobik dari tetes minyak

10

dengan gugus hidrofil dari senyawa-senyawa asam lemak tersebut diatas, sehingga menyebabkan
terbentuk larutan emulsi antara biosurfaktan dengan minyak. Pembentukan micelle oil terjadi dengan
mekanisme yang mengacu pada karaktersitik asam lemak sebagai biosurfaktan yang memiliki sifat
amphiphatic. Ditinjau dari struktur kimia biosurfaktan A. chroococcum didomnasi oleh kelompok
asam lemak, molekul ini bersifat amphipatic karena memiliki 2 struktur sekaligus yaitu: Lyophobic

15

yaitu struktur yang memiliki ikatan yang sangat lemah dengan pelarut seperti air tetapi berikatan
dengan permukaan minyak yang hidrofobik. Sementara disisi lain berstruktur Lyofilik yang memiliki

.
20

25
Gambar 6. Mekanisme Emulsifikasi Senyawa Hidrokarbon dari Minyak
dan Air. (Mahro, 2000).
10

struktur yang dapat berikatan kuat dengan pelarutnya (air). Pada pelarut polar molekul lyofilik
biasanya berupa senyawa ionik, pada asam lemak merupakan gugus OH-. Mekanisme emulsifikasi
antara Hidrokarbon-Air dengan mediasi surfaktan di tunjukkan dalam Gambar 6.
5

Karena sifat lyofobiknya maka ketika surfaktan larut dalam pelarut, terjadi distorsi pada struktur
cairan pelarut sehingga surfaktan akan lebih mudah dibawa ke permukaan lapisan inter-face sehingga
surfaktan akan menurunkan tegangan pada area permukaan tersebut. Sifat lyofilik menyebabkan
surfaktan sebagian tertahan dalam larutan, sementara struktur hidrofobik berikatan dengan permukaan
large droplet oil membentuk struktur micelle yang berukuran mikron, dengan demikian terjadi

10

dispersi oil dalam larutan. Pada konsentrasi biosurfaktan diatas critical micelle consentration (CMC)
akan terjadi peningkatan kelarutan hidrokarbon sehingga terjadi emulsifikasi antara hidrokarbonbiosurfaktan dan air. Sifat ini merupakan karakteristik biosurfaktan yang banyak digunakan pada
aplikasi-aplikasi proses biologi karena kemampuannya dalam menurunkan tegangan permukaan,
meningkatkan kelembaban substrat serta meningkatkan laju penetrasi yang dilakukan oleh

15

mikroorganisme.
Dari hasil analisis menunjukkan dengan konsentrasi 1,83 g/l yaitu setara dengan pengenceran 25 %
biosurfaktan yang dihasilkan, masih menunjukkan tingkat emulsifikasi yang tinggi yaitu sebesar
66,17%. Nilai Indeks emulsifikasi ini lebih tinggi dari pada tingkat Emulsifikasi dari biosurfaktan
yang dihasilkan Rhodococcus rubber dan Rhodococcus erythropolis yang berkisar antara 45 – 66%.

20

(Bicca et al., 1999).
Dari pembahasan dan tabel diatas tampak bahwa A. Chrococcum dapat menghasilkan biourfaktan
yang potensial, karana senyawa yang dihasilkan merupakan kelompok asam lemak yang bersifat
amphiphatic dengan tingkat emulifikasi yang tinggi.

25
11

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kepada:
1. Kementrian Riset dan Teknologi Indonesia yang telah mendukung pendanaan penelitian ini
5

melalui Proyek Riset Unggulan Terpadu XI (RUT XI) tahun anggaran 2004.
2. Reginawanti Hindersyah, Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNPAD, yang telah
mengizinkan isolatnya (Azotobacter chrococcum) untuk digunakan dalam penelitian ini.
3. Rhena Yasa (Kepala Laboratorium Pengembangan), PT PERTAMINA Indonesia Unit
Produksi Balongan – Indramayu, yang telah memberikan bantuan yang diperlukan selama

10

penelitian berlangsung

12

DAFTAR PUSTAKA

5

10

Allen, CCR, Boyd DR, Hempenstall F, Larkin MJ, and Sarma ND. 1998. Contrasting Effect of a
Nonionic Surfactant on the Biotransformation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons to cisDihydrodiols by Soil Bacterial. J. Appl. Environ. Microbiol. 65: 1335-1339.
Al-Tahhan RA, Sandrin TR, Badour AA, and. Maier RM. 2002. Rhamnolipid-Induced removal of
lipopolysccharide from Pseudomonas aeruginosa: Effect on cell surface Properties and Interaction
with Hydrophobic substrates. J. Appl. Environ. Microbiol 66: 3262-3268.
Barkay T, Venezi SN, Ron EZ, Rosenberg E. 1999. Enhancement of Solubilization and Biodegradation
Of Polyaromatic Hydrocarbons by the Bioemulsifier. J. Appl. Environ. Microbiol 65: 2697-2702.

15

20

Bicca FC, Fleck LC, and Marco AZA. 1999. Production of Biosurfactant By Hydrocarbon degrading
Rhodococcus rubber and Rhodococcus erythropolis.
Bodour, Adrian A, Drees KP and Maier RM. 2003. Distribution of biosurfactant- Producing Bacteria
in Undisterbed and contaminated Arid Southwestern Soils. J. Appl. Environ. Microbiol 69: 32803287.
Chang JS, Cheng LC, GuangHL, Shih YS, and Wen MC. 2005. Pseusodomonas kauhsiungensis, sp.
Nov., a novel bacterium isolated from oil-polluted site produceds axtracelluler surface activity. J.
Systemic and Applied Micrbiology 28: 137-144.

25
Iwabuchi N, Sunairi M, Urai M, Itoh C, Anza H, and Harayama S. 2002. Extra cellular Polysacharides
of Rhodococus rhodochrous S-2 stimulate the Degradation of Aromatic Components in Crude Oil
by Indigenous Marine Bacteria. J. Appl. Environ. Microbiol 68: 2337.
30

Mahro, B. 2000. Bioavailability of Contaminants. Dalam Rehm HJ and Reed G. 2000. Biotechnology
2nd Edition. Wiley-VCH. Weinheim
Shuler and Kargi. 1992. Bioprocess Engineering: Basic Consepts. Englewood Cliffs: New Jersey.
Prentice Hall PTR.

35
Suba Rao, N. S. 1982. Biofertilizers in Agriculture. Oxford & INH Publishing Co. New Delhi,
Bombay, Calcutta.

40

45

Suryatmana P, Edwan K, Enny R dan Wisjnuprapto. 2004. Optimasi Produksi Inokulan dan Koinokulasi Azotobacter chrococcum dalam Upaya meningkatkan Kinerja Bioremediasi Tanah yang
Tercemar Limbah Minyak Bumi. Di dalam Laporan akhir dan Seminar Evaluasi RUT XI.
Kementrian Riset dan Teknologi RI. Serpong.
Vater J, Kablitz B, Wilde C, Franke P, Mehta N, and Cameotra SS. 2002. Matrix assisted Laser
Desorption Ionization-time of Flihgt Mass Spectrometry of Lipopeptide biosurfactant in Whole
Cell and Culture Filtrates of Bacillus subtilis C-1 Isolated from Petroleum Slude. J. Appl. Environ.
Microbiol 68: 6210-6219.

13

Vermani MV, Kelkar SM and Kramat MY. 1997. Studies in polysaccharide production and growth of
Azotobacter vielandii MTCC 2459, a plant rhizosphere isolate. The Society for Applied
Bacteriology, Letters in Applied Microbiology. 24: 379 – 383.
5

10

15

20

25

30

35

40

45

14

GRAFIK DAN TABEL HASIL PENELITIAN

5

10

15

Produksi Biosurfaktan (g/l)

10
8
6
4
= pH4
= pH7
= pH9

2
0
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Waktu (hari)

20

Gambar 1. Produksi Biosurfaktan oleh Azotobacter
chrococcum pada konsentrasi : glucose 1 %,
100 rpm suhu 28o C, dan pH bervariasi

30

35

Kapasitas Dispersi (%)

25
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

(a)= pH4
(b)= pH7
(c)= pH9

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Hari (hari)

Gambar 2. Kapasitas dispersi biosurfaktan A.chrococcum
, pada konsentrasi glucose 1 %, 100 rpm, suhu 28o C,
variasi pH : (a). pH 4 ; (b). pH 7 ; (c). pH 9

40

45

15

5

6
5

1.5x10

6

1.0x10

6

5.0x10

5

4
3
2
1

= Biosurfaktan

0.0

= Biomassa (CFU/ml)

0
-1

0

1

2

3

4

5

Biomassa (CFU/ml)

10

Produksi total biosurfaktan (g/l)

a). Kinetika Produksi biosurfaktan selama pertumbuhan Sel
pada Substrat glukosa 0.5%

6

7

Waktu (Hari)

15
b). Kinetika produk asm lemak total dan Pertumbuhan
pada substrat glukosa 1%
12

20

6

2.0x10

8
6

1.5x10

6
6

1.0x10

4

5

5.0x10

2
= Biosurfaktan

0.0

= Biomassa

0
-1

0

1

2

3

4

5

Biomassa (CFU/ml)

25

Produksi Total Biosurfaktan

6

2.5x10

10

6

7

Waktu (hari)

30
c). Kinetika Produk biosurfaktan asam lemak Total
dan Pertumbuhan pada substrat glukosa (2%)

40

6

16

2.5x10

14

6

2.0x10

12

6

10

1.5x10

8

6

1.0x10

6

5

4

5.0x10

Biomassa (CFU/ml)

35

Produksi biosurfaktan Total (g/l)

6

3.0x10

18

= bimassa

2

0.0

= Biosurfaktan

0
-1

0

1

2

3

4

5

6

7

Waktu (hari)

45

Gambar 3 a, b dan .Produksi Biosurfaktan selama
pertumbuhan A. chrococcum pada konsentrasi
glucose: 0.5 %, 1 %, dan 2 %; pada 100 rpm, suhu 28o C
dan pH= 7.

16

= E24(%)
= bioemulsifier (g/l)

95.6 %

100

5

74.66 %

E24 (%)

80

7.72

66.17 %

60 49.13 %

3.84
40

10

1.83

20

0.39
0

15

20

1
5%

2
25 %

50 3%

4
100
%

Konsentrasi Biosurfaktan (%)
Gambar 4. Index Emulsifikasi (E24) pada
variasi konsentrasi biosurfactant dari A.
chrococum yang diproduksi pada konsentrasi
glukosa 1%, pH7, 28O C, 100 rpm dan masa
inkubasi 7 hari.

25

30

35

40
Gambar 5. Kromatogram senyawa penyusun biosurfaktan dari A.chrococcum yang dihasilkan pada produksi
dengan kondisi pH 7, konsentarasi glukosa 1%, suhu 28o C dan agitasi 100 rpm

45

17

5

10

15

20

Tabel 1. Prosentase kelimpahan senyawa penyusun biosurfaktan dari A.chrococcum yang dihasilkan pada produksi
dengan kondisi pH 7, konsentrasi glukosa 1%, suhu 28o C dan agitasi 100 rpm

Oil dalam pelarut
polar (air)

Oil terdispersi
oleh larutanbiosurfaktan

Slang untuk mengalirkan oil fasa
terdispersi dan diukur kuantitatif
secara gravimetrik

Foto 1. Vial pengukur kapasitas disperse oil oleh Biosurfaktan
(Suryatmana et al., 2004)

18