Batik Tutur Blitar - Transformasi Pesan Moral dari Dinding Candi Menjadi Sehelai Kain.

BATIK TUTUR BLITAR: TRANSFORMASI PESAN MORAL DARI
DINDING CANDI MENJADI SEHELAI KAIN
Rochtri Agung Bawono1) dan Zuraidah1)
Prodi Arkeologi, Fak. Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Jl. P. Nias 13 Denpasar Bali 80114
Telp/Fax: (0361) 224121, E-mail: rabawono@gmail.com

1

Abstrak
Batik tutur merupakan penamaan batik yang dikembangkan di Blitar berdasarkan koleksi batik asal Blitar di
Museum Leiden Belanda yang dibuat sekitar tahun 1902. Penamaan batik tutur karena motif-motifnya
merupakan pesan moral (pitutur) yang ingin disampaikan oleh perajin kepada pemakainya. Tujuan penelitian ini
yaitu mengetahui sumber ide penciptaan batik tutur Blitar yang berkembang pada Masa Kolonial Belanda.
Metode yang digunakan terdiri atas pengumpulan data dan pengolahan data. Pengumpulan data meliputi
observasi, wawancara, dan studi pustaka, sedangkan pengolahan datanya menggunakan analisis kualitatif,
estetik simbolik, dan komparatif.
Batik tutur yang berkembang sekarang telah memiliki beberapa motif antara lain Cinde Gading, Gambir Sepuh,
Simo Samaran, Winih Semi, Jalu Watu, Celeret Dubang, Tanjung Manila, Mupus Pupus, Galih Dempo, Mirong
Kampuh Jinggo, dan Gunung Menyan. Batik tutur saat ini memiliki perbedaan dengan batik tutur pada Masa
Kolonial Belanda terutama pada karakter motif, pewarnaan, dan isi pesan moralnya. Batik Blitar koleksi
Museum Leiden Belanda bermotifkan gambar tumbuhan dan binatang singa, burung, kuda terbang, dan kupukupu dengan pesan moral tentang sindiran terhadap kaum bangsawan bentukan Belanda. Berdasarkan data

arkeologi di sekitar Blitar diketahui bahwa pesan moral yang menggunakan simbol-simbol binatang (fabel)
terdapat di Kompleks Candi Panataran antara lain terpahat pada arca, Candi Pendopo Teras, Candi Naga,
Candi Induk, dan patirthan. Adanya bukti pesan moral pada relief di dinding candi maka menunjukkan bahwa
batik tutur Blitar 1902 sangat dipengaruhi oleh relief tersebut dan merupakan kesinambungan budaya masa lalu
hingga saat ini.
Kata Kunci: Batik tutur, Candi Panataran, fabel, dan pesan moral.

BATIK TUTUR BLITAR: THE MORAL MESSAGES TRANSFORMATION OF THE TEMPLE’S RELIEF
TO A CLOTH
Abstract
Batik tutur is a kind of batiks that developing in Blitar area, based on batiks collection at Leiden Museum
Netherland that made 1902. The reason of Batik tutur named because the motifs of the batiks implement the
creators moral messages (advice) to their customer. The purpose of the research is to find out the source of
batiks tutur creation idea that development at Colonial Era. The method used data’s collection and data’s
processing, for data’s collection included observations, interviews, and literature research, while data’s
processing used qualitative analysis, aesthetic symbolic, and comparative.
Now days, the motif of batiks tutur are varied such as Cinde Gading, Gambir Sepuh, Simo Samaran, Winih Semi,
Jalu Watu, Celeret Dubang, Tanjung Manila, Mupus Pupus, Galih Dempo, Mirong Kampuh Jinggo, and Gunung
Menyan. The recent batik tutur differ with batik tutur at Colonials Era, the difference are the motif character,
dying, and the moral message. The motif of batik tutur Leiden Museum mostly are flora and animal creation such

as lion, bird, flying horse, and butterfly with moral messages as a satirical to Colonial’s duke. Based on
archaeological data, moral messages with animal symbolism founded at Complex of Panataran Temples, such as
Candi Pendopo Teras, Candi Naga, Candi Induk, and patirthan. Proof of the moral messages at temple’s relief
indicated that the batik tutur Blitar has a lot of influence from that and it is a culture continuation from the past
to present.
Keywords: Batik Tutur, Panataran Temple, fable, and Moral Massages.

1. PENDAHULUAN
Batik Blitar merupakan penamaan material kain batik yang dibuat di Blitar dengan corak dan ragam
yang khas. Saat ini batik Blitar sangat dicirikan dengan motif ikan koi (Cyprinus carpio) yang
merupakan produk budidaya andalan perikanannya yang sebenarnya jenis ikan koi berasal dari Jepang.
Ikan asli dari Blitar yang telah menyebar ke penjuru tanah air sebenarnya yaitu Mujair (Oreochromis
mossambicus) yang merupakan domestikasi ikan laut yang dipindahkan ke air tawar oleh Bapak Mujair
pada tahun 1936 (www.wikipedia.org, 2015) tetapi ikan mujair tidak dijadikan ikon utama dalam batik
Blitar.
Asal usul budaya batik di Blitar hingga saat ini masih menjadi perdebatan panjang. Kemungkinan batik
Blitar berkembang karena mendapat pengaruh dari Keraton Yogyakarta ataupun Surakarta sebagai
akibat adanya komunikasi dagang atau kewilayahan pada masa lalu. Pendapat lain mengatakan bahwa
kemungkinan saat invasi Sultan Agung Hanyokrokusumo pada tahun 1633 ke wilayah timur Pulau
Jawa (termasuk Blitar) hingga Blambangan, maka batik kraton Mataram Islam mempengaruhi juga

kesenian Blitar sehingga lahirlah batik Blitar pada masa lalu (Gardjito, 2015:237). Klasifikasi batik
berdasarkan wilayahnya maka batik Blitar dikelompokkan dalam batik pedalaman yaitu batik yang
berkembang di wilayah pedalaman dan mendapatkan pengaruh dari keraton atau saudagar yang tinggal
jauh dari kraton atau abdi-abdi dalem yang bersentuhan langsung dengan kraton berusaha membuka
industri batik skala kecil. Pola atau motif batik pedalaman menyerupai motif kratonan tetapi memiliki
kualitas yang kasar, serta pewarnaan mengikuti tren yang berkembang di kraton (Bawono dan
Zuraidah, 2014: 16-19).
Hingga saat ini, batik yang berasal dari Blitar dan sekitarnya yang berumur tua hanya ditemukan di
Museum Leiden Belanda dengan penamaan Batik Afkomstig Uit Blitar tahun 1902 yang corak dan
ragamnya berbeda dengan batik pada umumnya di sentra-sentra budaya batik di Nusantara. Batik
tersebut berhiaskan ragam tumbuhan dan binatang singa, burung, ayam, kuda terbang, serta kupu-kupu
yang kemungkinan memiliki pesan moral yang tersembunyi. Keberadaan batik Blitar di Museum
Laiden tersebut baru disadari oleh masyarakat di Blitar pada tahun 2007 sehingga diberikan nama batik
tutur oleh Wima Brahmantya sebagai orang pertama yang menggunakan istilah tersebut. Kata tutur
berasal dari istilah pitutur yang berarti pesan atau nasehat, sehingga batik tutur memiliki pengertian
suatu batik yang mengandung pesan moral (nasehat) berdasarkan motif yang di-tutur-kan (dibaca dan
diucapkan).
Batik Blitar yang menjadi koleksi Museum Leiden hingga saat ini tidak ada keterangan yang
menjelaskan lebih detail terkait pesan moral yang digambarkan dalam motif-motif tersebut. Menurut
budayawan di Blitar penggambaran motif binatang dan tumbuhan tersebut merupakan sindiran kepada

bangsawan-bangsawan bentukan Belanda yang tidak membela masyarakat miskin. Terbentuknya batik
Blitar tersebut diperkirakan merupakan hasil ekspoitasi pengetahuan dan pemahaman sebelumnya
tentang kekayaan budaya yang dimiliki. Tujuan tulisan ini yaitu ingin mengungkapkan sumber ide
penciptaan batik tutur Blitar yang berkembang pada masa Kolonial Belanda tersebut.

2. METODE
Metode penelitian terdiri atas dua metode yaitu pengumpulan data dan pengolahan (analisis) data.
Pengumpulan data meliputi observasi, wawancara, dan studi pustaka. Observasi dilakukan terhadap
objek-objek yang memiliki relief berpesan moral pada beberapa bangunan maupun benda cagar budaya
yang memiliki umur yang lebih tua dari batik tutur koleksi Museum Leiden Belanda. Benda cagar
budaya yang menjadi objek pengamatan penelitian ini yaitu Kompleks Candi Penataran yang terdiri
atas beberapa candi, arca, kolam suci (patirthan), dan fragmen-fragmen bangunan. Teknik wawancara
dilakukan untuk mendapatkan data kekinian khususnya inspirasi batik tutur yang direproduksi ulang
oleh seniman-seniman Blitar serta pitutur yang terkandung pada kain batik. Teknik wawancara bebas

menjadi pilihan karena tidak terikat pada permasalahan saja, tetapi dapat mendapatkan data lain untuk
mendukung informasi lain yang sekiranya dapat digunakan dalam penulisan ini. Studi pustaka
dilakukan terhadap artikel ilmiah, buku, jurnal, dan tulisan populer yang bertujuan untuk mendapatkan
data terkait teori, penelitian terdahulu dan informasi umum seputar batik atau tinggalan masa lalu.
Metode pengolahan (analisis) pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, estetik simbolik, dan

komparatif. Analisis kualitatif merupakan proses analisis berdasarkan kualitas data yang ditampilkan
dalam bahasa verbal. Analisis estetik simbolik dilaksanakan untuk mengungkap pesan-pesan (nasehat)
ataupun makna yang disembunyikan oleh perancangnya dalam bentuk motif atau ragam hias dalam
kain batik maupun relief candi ataupun benda cagar budaya. Setiap motif yang digambarkan pada kain
batik khususnya batik tutur memiliki arti dan makna yang berbeda sesuai konteks cerita dan pesan, hal
ini perlu diungkap melalui estetik simbolik tersebut. Analisis ketiga yang digunakan yaitu analisis
komparatif yaitu membandingkan ragam dan pesan moral pada kain batik dengan ragam dan pesan
moral yang terdapat pada relief di candi atau benda cagar budaya.

3. HASIL
Batik tutur menjadi penyebutan untuk batik Blitar yang memiliki motif-motif binatang yang
digambarkan tersamar (distilir) dan memiliki kisah tertentu yang dibahasakan sebagai pesan moral
kepada pengguna atau masyarakat pendukungnya. Batik tutur tertua yang ditemukan merupakan batik
yang dihasilkan oleh perajin pada tahun 1902 dan sekarang menjadi koleksi Museum Leiden.
Kemunculannya kemungkinan akibat dari rancang motif bebas yang dilakukan oleh pengusaha
(saudagar) karena keluar dari pola yang teratur dalam sehelai kain batik yang telah dikembangkan pada
batik keraton. Gambar binatang yang disamarkan tersebut memiliki keletakan yang acak dan tidak
selalu berurutan sehingga memiliki pola yang berbeda setiap kainnya.
Gambar atau motif yang terdapat pada batik tutur koleksi Museum Leiden antara lain tumbuhan dan
binatang singa, burung, ayam, kuda terbang, serta kupu-kupu. Motif tumbuh-tumbuhan atau sulur

terdapat pada bagian badan, sedangkan pada bagian kepala terdapat sulur tanaman dan bentuk serupa
burung. Pada batik tradisional biasanya terdapat tumpal pada bagian kepala, tetapi batik Blitar ini tidak
memiliki tumpal dan digantikan dengan sulur-sulur bunga seruni yang mekar. Pada bagian papan di
sisi luar kepala terdapat motif garis-garis bunga yang mekar.
Berdasarkan bentuk dan motif batik Blitar yang disimpan di Museum Leiden tersebut kemungkinan
pembuatnya dipengaruhi oleh dua tradisi batik yang berkembang saat itu yaitu pola batik tradisi
pesisiran dan gaya batik Belanda. Pola batik pesisiran terlihat pada hiasan binatangnya yang
digambarkan dalam bentuk-bentuk meruncing, seperti halnya motif lock can atau genggongan. Motifmotif tersebut banyak berkembang di Pekalongan, Lasem, dan Tuban. Pengaruh batik Belanda terlihat
pada bagian kepala yang menggunakan motif sulur-sulur bunga seruni bertengger tiga serupa burung
bahkan didukung tanpa adanya tumpal. Hiasan kepala tersebut menyerupai batik karya J. Toorop yang
dibuat sekitar tahun 1880 di Pekalongan. Penggunaan motif tanpa membentuk pola pada bagian badan
kain juga merupakan ciri pengaruh batik Belanda sehingga gambarnya didasarkan pada cerita rakyat
atau sekedar hiasan untuk keindahan tanpa makna. Pada batik Blitar terdapat beraneka ragam bentuk
binatang yang distilir. Batik dengan hiasan beraneka binatang yang paling tua diperkirakan merupakan
batik karya van Oosterom pada tahun 1860 di Banyumas yang menampilkan antara lain binatang singa,
monyet, kuda, kijang, kancil, ayam jago, burung merak, dan burung tekukur (Veldhuisen, 2007: 51-68;
Gardjito, 2015:205).
Tradisi batik Jawa juga mengenal motif binatang yang distilir antara lain dalam motif alas-alasan.
Motif alas-alasan menampilkan binatang-binatang hutan yang hidup di hutan yang memiliki makna
menuju kemakmuran, ketentraman, walaupun mendapatkan banyak halangan dan tantangan. Bahkan


motif alas-alasan telah menjadi batik larangan oleh Raja Pakubuwana IV pada 1790 M sehingga
penciptaannya jauh sebelum tahun tersebut motif tersebut dianggap memiliki makna perlindungan atas
hutan dan gunung dalam masyarakat Jawa, sehingga penggunaan batiknya pada saat upacara khusus
saja misalnya bedhoyo ketawang.
4. PEMBAHASAN
Penciptaan ulang batik tutur Blitar saat ini dipengaruhi oleh keberadaan koleksi batik Blitar koleksi
Museum Leiden yang diciptakan pada tahun 1902 yang tidak diketahui kisahnya karena hanya
menampilkan gambar-gambar binatang yang bentuknya distilir tetapi masih menampakkan bentuknya.
Bentuk binatang yang digambarkan paling besar yaitu kuda dengan bentuk gemuk dan pendek, pada
bagian lehernya terdapat bentuk bulan sabit layaknya sayap yang terentang dan digambarka tanpa
kepala. Pada bagian kepala kuda digantikan binatang sejenis ayam tanpa kaki dengan mulut terbuka ke
atas dan ekor mendongkak melebihi tinggi kepalanya. Binatang lainnya yaitu burung dengan posisi
diam, memperlihatkan badan yang menyudut pada bagian belakang dan ekor berbentuk kotak
menjuntai ke bawah. Seluruh badan burung diberikan garis-garis keluar seolah-olah bulu. Bagian
kepala burung ini juga terpisah seperti kuda terbang tersebut dan berbentuk menyerupai segitiga dan
garis-garis pada bagian atas. Bentuk binatang lainnya yaitu singa dengan bentuk kepala yang berbeda
seperti bentuk kupu-kupu. Bentuk ketiga binatang tersebut digambarkan lebih besar dan jelas
dibandingkan motif hiasa lainnya.
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti makna penggambaran binatang-binatang tersebut.

Seniman Blitar berpendapat bahwa gambar tersebut melambangkan sindiran terhadap bangsawan
bentukan Belanda. Menurut penulis makna gambar pada batik Blitar tersebut menunjukkan bahwa
kuda terbang disimbolkan dengan golongan ulama/bangsawan muslim pribumi sedangkan burung
disimbolkan golongan terpelajar kaum pribumi dan singa merupakan simbol pemerintahan Belanda.
Penggambaran kuda dan burung terlihat lebih dominan dibandingkan singa kemungkinan untuk
meunjukkan bahwa kekuatan Belanda di tanah air semakin berkurang atau mengecil kalah oleh suara
golongan ulama/bangsawan ataupun kaum terpelajar. Hal tersebut didasarkan pada munculnya politik
etis yang diutarakan oleh Ratu Belanda Wihelmina pada 17 September 1901 yang berisikan program
politik balas jasa untuk kesejahteraan kaum pribumi melalui program irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Jika melihat pada tahun perkiraan pembuatan batik tersebut yaitu 1902 maka besar kemungkinan
sangat berhubungan dengan kebijakan politik tersebut yang seolah-olah memperlihatkan kaum pribumi
memiliki kedudukan yang lebih besar dan kekuasaan pemerintah Belanda semakin melemah.
Batik Blitar koleksi Museum Leiden tersebut mampu memberikan inspirasi seniman Blitar untuk
menciptakan dan mengembangkan kembali motif-motif tersebut. Gerakan tersebut dilakukan oleh
seniman Wima Brahmatyo bersama Eddy Dewa pada tahun 1997 yang tergabung dalam Dewan
Kesenian Blitar untuk menciptakan motif baru antara lain batik motif Cinde Gading, Gambir Sepuh, Simo
Samaran, Winih Semi, Jalu Watu, Celeret Dubang, Tanjung Manila, Mupus Pupus, Galih Dempo, Mirong
Kampuh Jinggo, dan Gunung Menyan. Motif hias batik tutur Cinde Gading memiliki kemiripan dengan motif
batik Blitar koleksi Museum Leiden 1902, tetapi memiliki sedikit perbedaan yaitu pewarnaan yang lebih cerah
pada batik sekarang, pemilihan motif binatang baru antara lain ular, gajah, dan penambahan suluran daun. Pada

bagian kepala batik juga terdapat perbedaan, batik tutur Cinde Gading yaitu tebaran bunga yang bermekaran baik
besar maupun kecil dan papannya hanya garis berliuk-liuk dengan latar belakang titik-titik saja. Munculnya
binatang-binatang baru yang tidak terdapat pada batik Blitar koleksi Museum Laiden menunjukkan adanya
perubahan simbol dan makna dari batik tersebut. Motif-motif lain yang sudah dikembangkan memiliki

konsep dan pemaknaan yang berbeda-beda juga tergantung dari ide cerita dan pesan yang ingin
disampaikan.
Pemilihan motif hias berupa binatang menjadi menarik karena batik tradisional Jawa dan batik India
(patola) lebih sering menampilkan pola geometris atau flora. Ada beberapa motif yang menampilkan
binatang (fauna) dalam batik tradisional Jawa antara lain motif alas-alasan yang lebih menampilkan

fauna di dalam hutan terutama burung (ayam hutan), harimau, dan gajah terkadang lebih dari itu.
Demikian juga masuknya pengaruh budaya Cina dalam batik Jawa memberikan kontribusi motif-motif
fauna dalam penggambarannya antara lain barong (singa), burung hong/phoenix, kilin, kupu-kupu,
bangau, burung merak dan masih banyak lagi. Batik-batik pengaruh Cina tersebut dapat dijumpai di
wilayah Lasem, Tuban dan Pekalongan.
Batik-batik bermotif fauna (binatang) tersebut sebagian besar tidak menceritakan suatu proses tertentu
karena motifnya berdiri sendiri atau dua binatang yanag saling berhadapan. Batik Cirebonan hanya
menampilkan singa tunggal atau berhadapan bahkan berdiri tegak di atas batu karang tetapi tidak
memiliki cerita dan hanya menunjukkan makna tertentu misalnya kewibawaan, ketegasan, atau

kekuasaan. Berbeda pada batik Blitar koleksi Museum Leiden yang seolah-olah binatang-binatang
yang terdapat dalam bidang badan memiliki pesan tertentu dan seolah-olah bercerita. Kekuatan
pengambilan motif tersebutlah sebenarnya yang membuat batik Blitar koleksi Museum Leiden tersebut
berbeda.
Penyampaian pesan moral melalui media cerita tentang binatang yang lebih tua dapat pula dijumpai
pada dinding-dinding candi Hindu-Budha di Jawa. Cerita yang dipahatkan tersebut sering disebut fabel
yang dimuat dalam Kitab Tantri Kamandaka yaitu cerita tentang binatang yang memiliki makna
pengajaran dan ajaran kebaikan yang biasanya dipahatkan di dinding-dinding candi atau petirthaan.
Studi kasus pemahatan relief cerita binatang atau fabel di Blitar terdapat pada Kompleks Candi
Penataran antara lain terdapat pada arca dwarapala menuju pelataran Candi Induk. Relief tersebut yaitu
seekor burung terbang di bawahnya terdapat kadal (bunglon), seekor angsa membawa dua ekor kurakura, di bawahya ada 2 ekor anjing, seekor sapi sedang menggendong buaya, dan seseorang memikul
kura-kura tampak mengejar kijang. Cerita fabel juga terdapat pada dinding kolam patirthan Candi
Penataran yang dibuat pada masa pemerintahan Suhita dari Kerajaan Majapahit tahun 1337 Saka (1415
M). Salah satu relief fabel di dinding patirthan tersebut yaitu pahatan gambar sapi (Nandaka) yang
berjumpa dengan singa (Candapinggala) memiliki persahabatan yang erat antara Nandaka dan
Candapinggala sehingga membuat cemburu Srigala-Sang Patih Candapinggala (Sambada). Akhirnya
Sambada berbuat licik dengan cara menghasut kedua sahabat tersebut sehingga terjadi adu seruduk dan
terkam dan akhirnya mati bersama menuju kahyangan Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, sedangkan
Sambada mati kekenyangan karena memakan jasad Nandaka dan Candapinggala, nyawa Sambada
diletakkan pada kerak neraka Yamaniloka untuk mendapatkan siksaan (Rasiyo, dkk, 2003: 61-71).

Relief-relief binatang di Kompleks Candi Penataran juga terdapat di Candi Teras/Pendopo pada bagian
atas pelipit relief, Candi Naga dan Candi Induk berupa medalion binatang yang mengelilingi candi.
Setiap medalion binatang tersebut memiliki makna dan pengertian yang berbeda.
Berdasarkan kedua data yaitu batik Blitar koleksi Museum Leiden dan relief fabel pada dinding Candi
Penataran maka terdapat benang merah persamaan bahwa pada masa lalu, manusia senang
menyampaikan pesan melalui dunia simbol menggunakan relief atau gambar binatang sehingga mudah
dipahami oleh generasi muda atau anak kecil. Penyampaian pesan ini menunjukkan adanya
kesinambungan budaya yang dahulunya menggunakan media dinding-dinding candi, tetapi pada masa
kemudian ketika masyarakatnya tidak membuat candi beralih kepada material yang lain, salah satunya
yaitu kain batik. Persamaan objek berupa penggambaran binatang merupakan pilihan yang tepat untuk
memperkenalkan suatu nasihat kepada generasi muda yang belum banyak memahami filosofi suatu
kebudayaan.

5. SIMPULAN
Budaya pesan melalui tutur dapat hilang karena tidak adanya perekaman data atau punahnya
masyarakat pendukungnya, tetapi jika menggunakan media tertentu misalnya candi maka dapat
dipahatkan pada dinding-dinding candi tersebut sehingga pesan yang disampaikan akan melintasi

beberapa generasi. Generasi selanjutnya akan menangkap pesan tersebut dengan pemahaman dan
bentuk yang berbeda sehingga terdapat perubahan media penyampaian pesan, dahulu menggunakan
dinding candi untuk menyampaikan pesan maka berubah menjadi kain batik karena pengaruh
perkembangan teknologi dan tren pada masyarakat.

UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Rektor Universitas Udayana dan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian (LPPM) Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dana berupa skim Penelitian
Hibah Bersaing tahun 2015. Terima kasih kami ucapkan juga kepada Kepala Balai Pelestarian Cagar
Budaya Mojokerto yang telah memberikan ijin penelitian di Kompleks Candi Penataran serta keluarga
Nugroho Harjolukito di Panataran-Blitar yang telah banyak membantu dalam pencarian data di
lapangan. Matur suksma.

DAFTAR PUSTAKA
Bawono, Rochtri Agung dan Zuraidah. 2014. “Identifikasi dan Modifikasi Motif Hias pada Benda
Cagar Budaya Periode Majapahit Sebagai Desain Pengembangan Usaha Batik”. Laporan
Penelitian. Universitas Udayana.
Gardjito, Murdijati. 2015. Batik Indonesia Mahakarya Penuh Pesona. Jakarta: Kakilangit Kencana.
Rasiyo, dkk. 2003. Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Candi Penataran. Surabaya: Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
Vandhuisen, Hermen C. 2007. Batik Belanda 1840-1940: Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa,
Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya. Jakarta: Gaya Favorit Press.
www.id.wikipedia.org/wiki/Mujair. Unduh 2 Oktober 2015.