KONTRIBUSI KONSUMSI MEDIA MASSA TERHADAP PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN TINGKAT MODERNITAS GENERASI MUDA KOTA.

(1)

vi DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Desain Penelitian ... 16

1. Asumsi Filosofis ... 16

2. Batasan Istilah ... 18

3. Strategi Inkuiri ... 20

4. Metode Penelitian ... 21

E. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 22

F. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 23

G. Manfaat Penelitian ... 24

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Modern dalamPerspektif Filosofis-Sosiologis ... 25

1. Perspektif Filosofis ... 25


(2)

vii

B. Postmodern dalam Perspektif Filosofis-Sosiologis ... 41

1. Perspektif Filosofis ... 41

2. Perspektif Sosiologis ... 46

C. Stratifikasi Sosial ... 57

D. Media Massa ... 58

E. Teknologi Informasi ... 64

F. Penelitian yang Relevan ... 71

G. Kerangka Pemikiran ... 74

H. Hipotesis ... 76

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode ... 78

B. Lokasi dan Subjek Penelitian ... 78

1. Lokasi Penelitian ... 78

2. Subjek Penelitian : Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 79

C. Definisi Operasional ... 82

D. Teknik Pengumpulan Data ... 84

E. Instrumentasi ... 86

F. Teknik Analisis Data ... 90

1. Teknik Deskriptif ... 90

2. Uji Chi Square dan Kruskall-Wallis ... 98

3. Korelasi Pearson Product Moment ... 98


(3)

viii

BAB IV. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Yogyakarta Sekilas Pandang ... 102

B. Analisis Data ... 112

1. Deskripsi Responden ... 112

2. Uji Korelasi ... 134

3. Uji Hipotesis ... 137

C. Rangkuman Hasil Analisis Data ... 155

D. Pembahasan ... 159

1. Pemanfaatan TI ... 160

2. Tingkat Modernitas ... 172

3. Pemanfaatan TI dan Tingkat Modernitas Berdasarkan Gender ... 184

4. Pemanfaatan TI dan Tingkat Modernitas Berdasarkan Usia dan Daerah Asal ... 191

5. Kontribusi Status Sosial Ekonomi, Pengetahuan tentang TI, dan Akses ke Media Massa Terhadap Pemanfaatan TI ... 192

6. Kontribusi Status Sosial Ekonomi, Pengetahuan tentang TI, dan Akses ke Media Massa Terhadap Tingkat Modernitas ... 203

E. Implikasi ... 220

BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 225

B. Rekomendasi ... 226


(4)

ix

DAFTAR TABEL

3.1. Sampel Penelitian ... 80

3.2. Kisi-kisi Kuesioner dan Tes ... 85

3.3. Rangkuman Statistik Deskriptif masing-masing Variabel ... 96

4.1. Jumlah Mahasiswa Perguruan Tinggi Yogyakarta ... 106

4.2. Persebaran Jumlah Mahasiswa menurut Jenis Perguruan Tinggi ... 108

4.3. Status Sosial ekonomi Orang Tua Responden ... 114

4.4. Kepemilikan Ponsel Responden ... 115

4.5. Kepemilikan Alamat E-mail ... 116

4.6. Pengetahuan Responden tentang TI ... 116

4.7. Konsumsi Media Massa ... 117

4.8. Pemanfaatan TI ... 119

4.9. Pemanfaatan TIK Berdasarkan Gender ... 120

4.10. Uji Chi-square ... 121

4.11. Perbedaan Frekuensi Penggunaan Internet berdasarkan Gender ... 122

4.12. Pemanfaatan TIK Berdasarkan Usia Responden ... 124

4.13. Ranks Kruskal-Wallis Test ... 124

4.14. Pemanfaatan TI Berdasarkan Daerah Asal Responden ... 126

4.15. Uji Chi-square ... 127

4.16. Tingkat modernitas Individual Responden ... 128

4.17. Tingkat Modernitas Berdasarkan Gender ... 129


(5)

x

4.19. Tingkat Modernitas Berdasarkan Usia ... 131

4.20. Ranks Kruskal-Wallis Test ... 132

4.21. Tingkat Modernitas Berdasarkan Daerah Asal ... 133

4.22. Uji Chi-Square ... 134

4.23. Korelasi antar Variabel X dan Y1 ... 135

4.24. Korelasi antar Variabel X dan Y2 ... 136

4.25. Statistik Kolinieritas ... 138

4.26. Diagnosis Kolinieritas ... 138

4.27. Uji Durbin-Watson Y1 ... 139

4.28. Uji Durbin-Watson Y2 ... 140

4.29. Model Summary ... 142

4.30. Anova ... 142

4.31. Coefficient ... 142

4.32. Koefisien Regresi Variabel X1, X2, X3 terhadap Y1 ... 144

4.33. Model Summary ... 147

4.34. Anova ... 149

4.35. Koefisien Regresi Variabel X1, X2, X3 terhadap Y2 ... 150

4.36. Model Summary ... 153


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

3.1. Instrumen :Try out ... 235

3.2. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas ... 259

3.3. Instrumen : Kuesioner ... 269

4.1. Tabel Deskripsi responden ... 289

4.2. Frekuensi Konsumsi Media Massa ... 291

4.3. Student Distribution ... 293

4.4. Distribution ... 295

4.5. Frekuensi Pemanfaatan Internet ... 298

4.6. Respon terhadap Beberapa Butir Pernyataan tentang Sikap Kritis dan Kultikulturalisme ... 300


(7)

BAB I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia bersama negara-negara lain yang sedang berkembang, bergerak dengan sebuah dorongan – meminjam istilah Edward Shils- kehendak untuk menjadi modern. Modernisasi menjadi proyek normatif di negara sedang berkembang dan modernitas menjadi tujuan yang didambakan termasuk di Indonesia. Melalui proyek-proyek pembangunan (nasional) yang pernah menjadi obsesi pemerintah Orde Baru, proses modernisasi di Indonesia dilaksanakan dengan gaya Rostowian, perencanaannya disusun menurut tahap-tahap pertumbuhan ekonomi secara nonmarxian lewat GBHN dan Pelita demi Pelita. Prosesnya dijalankan dengan utang luar negeri lewat mesin politik berupa militer dan birokrasi yang sarat dengan korupsi dan kolusi. Setelah kurang lebih 12 tahun era reformasi berjalan, semangat dan jejak langkah praksis pembangunan atau modernisasi masa Orde Baru masih nampak dan terasakan dengan berbagai patologinya.

Dalam perspektif filosofis, menjadi modern adalah menjadi rasional. Hegel, Marx, dan Teori Kritis bahkan mengemukakan penegasan yang radikal dan total : setiap masyarakat manusia terdiri atas mahkluk-mahkluk rasional dan sejarah umat manusia adalah sejarah menuju masyarakat yang semakin rasional (Hardiman, 2004).

Habermas (1987 ) menyatakan tiga premis nilai orang modern yakni : pertama, orang modern itu mengutamakan kesadaran diri sebagai subjek rasional, dalam arti orang modern memperhatikan soal hak, hak azasi, fungsi ilmu pengetahuan,


(8)

otonomi pribadi, dan demokrasi. Kedua, orang modern itu kritis, dalam arti orang modern cenderung mengeliminasi prasangka-prasangka dari tradisi, memiliki gairah untuk mengkaji penghayatan, dan mempersoalkan dimensi otoritas yang taken for granted. Ketiga, orang modern itu progresif, dalam arti mengadakan perubahan-perubahan yang secara kualitatif baru. Ketiga premis ini tidak bisa dipisah-pisahkan karena ketiganya berkorelasi secara inheren. Oleh sebab itu secara konseptual individu modern dapat dirumuskan sebagai individu yang memiliki daya kritis, karena daya kritis mengandaikan adanya kesadaran sebagai subjek rasional sekaligus progresif.

Akan tetapi modernitas individual tidak hanya sekadar mengandaikan daya kritis seperti yang dirumuskan di atas. Dalam masyarakat dewasa ini terdapat perubahan struktur yang lebih mengedepankan gaya hidup yang dikuasai oleh image atau citra. Benjamin R. Barber (2003: 115-116;123) dalam bukunya Jihad vs McWorld, mengambil Indonesia, sebagai contoh sebuah negeri yang ditaklukkan secara damai oleh budaya global (global culture), yang secara olok-olok disebut Barber sebagai McWorld. Istilah ini dipakai Barber sebagai plesetan gabungan retoris dari MTV, McDonald’s, dan Macintosh. Artinya kurang lebih

adalah dunia yang sudah dikuasai oleh image atau citra. Jalan pikiran Barber secara ringkas dan sederhana kurang lebih adalah sebagai

berikut. Kalau anak muda semula minum dari air sumur kemudian minum Coca Cola, hal itu merupakan persoalan ekonomi karena air sumur gratis, sementara Coca Cola harus membeli. Tetapi kalau orang Indonesia sudah menggantikan minum air atau teh dengan Cokes, dari bersandal jepit menjadi bersepatu Nike,


(9)

dari makan nasi timbel ke makan Big Mac’s, dari berkebaya kemudian memakai Zara, dari naik sado ke Volvo, dari kejawen ke konsumerisme, itu berarti orang sudah di ambang McWorld.

Siklusnya secara sederhana dapat dirumuskan demikian, kehidupan diubah menjadi konsumsi, konsumsi diubah menjadi makna, makna menjadi fantasi, fantasi menjadi realitas, realitas menjadi realitas semu (virtual reality), dan akhirnya realitas semu menjadi kehidupan. Dalam terminologi posmodernisme hal ini disebut sebagai hiperrealitas, yakni hilangnya batas-batas perbedaan antara dunia nyata (real) dan yang semu (virtual). Realitas semu dianggap nyata dan yang nyata dianggap semu. Artinya, Nike tidak menjual sepatu seperti McDonalds juga tidak menjual hamburger. Nike dan McDonalds menjual gaya hidup.

Pemikiran Habermas dan Barber di atas dapat dimaknai bahwa daya atau sikap kritis dan gaya hidup merupakan representasi modernitas individual. Sampai di titik ini dapat dikatakan bahwa elemen modernitas berupa kritik mengalir ke dalam konseptualisasi postmodernisme. Kritik, sebagai manifestasi sikap kritis telah menjadi pemantik yang menyalakan konseptualisasi pemikiran postmodernisme. Postmodernisme merupakan kritik tajam atas modernisme (pemikiran), realitas sosial budaya ekonomi (modernitas), maupun proses menjadi modern atau modernisasi (Roseneu, 1992; Hardiman, 1994; Sugiharto, 1996; Anderson, 2004; Hutcheon, 2006).

Namun demikian dalam konteks ini postmodernitas tidak dipahami sebagai sebuah epos sejarah baru, melainkan fase sejarah yang berulang dalam


(10)

modernitas, “Postmodernisme adalah bagian dari modern” (Lyotard, 1993:12), yang menekankan partikularitas, pluralitas, dan keragaman (Lyotard, 1984). Oleh karena itu bersama dengan gaya hidup dan sikap kritis, multikulturalisme atau semangat multikulturalitas dijadikan elemen strategis dalam membentuk konsep modernitas individual.

Sisi lain dari modernitas adalah kemajuan teknologi informasi (TI) dan pemanfaatannya seperti yang nampak dalam kenyataan sekarang ini. Wujud TI yang paling populer dewasa ini adalah komputer, internet, dan telepon seluler. Penggunaan istilah TI lebih populer di Amerika Serikat, sedangkan negara-negara di Eropa menggunakan phrasa “information and communication technologies” yang sering disingkat dengan ICT atau TIK (Brynin dan Kraut, 2006: 3)

TI, langsung atau tidak langsung, telah melahirkan optimisme di masa depan dan semakin memanjakan masyarakat serta mengubah berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dengan memberikan berbagai kemudahan di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Kalau sebelumnya orang bersosialisasi dengan berkumpul bersama-sama teman di suatu tempat atau berkenalan dengan orang baru di sebuah acara, maka dengan TI khususnya internet, sekarang orang dapat bersosialisasi tanpa terikat dengan dimensi waktu dan tempat.

Begitu pula dengan pengertian bekerja dan belajar. Saat ini bekerja atau belajar tidak harus dipahami sebagai kegiatan yang dilakukan di dalam gedung perkantoran atau sekolah/kampus. Bekerja atau belajar dapat dilakukan di kafe, di ruang tunggu bandara, di mal, atau ketika menunggu anak keluar sekolah.


(11)

Semuanya menjadi mungkin dengan teknologi digital dengan pilihan konektivitas tanpa kabel (wireless).

Modernitas dan penetrasi TI di kalangan generasi muda secara masif berpotensi memunculkan kesadaran baru yang mengarah pada relativisasi identitas dari acuan individual dan nasional pada acuan umum dan supranasional/global. Dalam konteks ini pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menjadi relevan untuk mengantar generasi muda menuju kesadaran akan identitas diri atau nasional tanpa memutlakkannya atau “menguras habis” identitas supranasional/global dan sebaliknya. Ilmu Pengetahuan Sosial berpotensi menjadi penghubung antara, meminjam istilah Talcott Parson, nilai-nilai “partikularisme” dan “universalisme”.

Elizabeth Heilman mengetengahkan sebuah artikel yang mendalam tentang pendidikan global (global education) dan tantangan-tantangannya. Heilman menyatakan bahwa saat ini kita tidak bisa hidup hanya secara lokal saja. Kita dihubungkan dengan sesama di seluruh dunia dengan banyak cara. Akan tetapi apa yang harus kita lakukan menghadapi keterhubungan tersebut ? Menurutnya, “all models of global education are concerned with knowing (the other) and across cultures”. Ringkasnya, Heilman telah memperjelas bahwa seluk beluk atau keruwetan pendidikan global kemungkinan besar akan meyibukkan para pendidik IPS dalam dasawarsa terakhir ini (2006 : 189-208)

Menurut Fenton (1967) Social Studies atau IPS bukanlah studi yang tunggal seperti pelajaran Bahasa Indonesia atau Matematika, tetapi merupakan sekelompok bidang studi yang saling berhubungan yang meliputi Ilmu Politik, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Antropologi, Psikologi, dan Sejarah. Modernitas


(12)

generasi muda dan pemanfaatan TI terutama berada di wilayah bidang studi sosiologi, karena inti sosiologi adalah kajian tentang perubahan sosial (Sztompka, 2004: v).

Saat ini generasi muda berada dalam masa transisi dari modernitas yang secara cepat dan bertahap menjangkau ke seluruh dunia menuju ke bentuk kehidupan sosial baru, walaupun diragukan oleh sementara pihak untuk disebut postmodern. Pengaruh perubahan sosial ini menyentuh hampir semua aspek kehidupan seperti seni, ilmu, agama, moral, pendidikan, politik, ekonomi, kehidupan keluarga, dan sebagainya.

Para pemikir social studies/IPS pun menanggapinya ketika beberapa pemikir mengkaitkan pendidikan IPS dengan terminologi “post” atau “pasca” dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan budaya seperti postmodernism, poststructuralism, dan perspektif cultural studies. Cherryholmes, misalnya, mengetengahkan beberapa argumen pentingnya memahami dan mendekati pendidikan IPS dengan kacamata teori postmodern. Cherryholmes menyatakan bahwa pada saat ini kebenaran dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan sudah tidak dapat diterima lagi karena yang disebut kebenaran itu bersifat problematik. Maka salah satu konsekuensi yang sangat penting untuk pendidikan IPS adalah bahwa, “there is no one or set of undisputed, authoritative stories or theories or concepts or facts for social studies educators to adhere to teach” (2006: 6).

Social Studies mengemban misi menjadikan peserta didik sebagai warga negara yang baik seperti yang dirumuskan NCSS, sejauh yang dikutip Suyanto (2005), bahwa the primary purpose of social studies is to help young people


(13)

develop the ability to make informed and reasoned decisions of the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in interdependence world.

Dalam bahasa lain, pendidikan IPS atau lebih spesifik pembelajaran IPS bertujuan mengembangkan karakter yang berdimensi spiritual, personal, sosial, dan intelektual agar generasi muda (peserta didik) mampu memahami, menganalisis, dan ikut memecahkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan (Wiryohandoyo, 1994) atau dengan ringkas dapat dikatakan agar peserta didik memiliki sikap kritis.

Upaya pendidikan IPS untuk merealisasikan hakikat, misi, dan dinamikanya di atas mendapat tantangan besar yakni pertumbuhan pesat teknologi informasi dan media massa. Gambaran modernitas dan pemanfaatan TI seperti di atas merasuk ke tengah-tengah masyarakat tidak terkecuali generasi muda kota, bukan lewat indoktrinasi kaku, pamflet, propaganda, pidato, penataran, lokakarya, dan sebagainya, melainkan lewat gemerlap iklan, program-program televisi seperti berbagai macam kuis berhadiah jutaan rupiah, berbagai macam acara kontes, dan tawaran gaya hidup konsumtif lewat media massa.

Erat kaitannya dengan hal ini, Trenia Walker (2006) menulis tentang kebudayaan populer (pop culture) dalam IPS. Menurutnya, kita hidup di lingkungan yang sarat media. Walker berpendapat bahwa konstruk siswa atas pemahaman mereka tentang dunia sebagian besar berasal dari teks yang terdapat dalam kebudayaan popular termasuk media massa. Karena itu sangat mungkin bahwa kebudayaan populer merupakan “kurikulum pertama” bagi mereka. Oleh


(14)

sebab itu, menurutnya, students can be encouraged to use popular culture as an object of study, critically examining and deconstructing it (171-187).

Menurut Solvay Gerke (2000: 148) media massa, khususnya para jurnalis, telah berperan “.... as stylists and missionaries of modernity as well as trend-setters or a new way of life. They were the providers of symbolic goods of modernity”. Media massa mempengaruhi bahkan mengarahkan sikap, perilaku dan kebiasaan hidup masyarakat termasuk generasi muda di tengah kehidupan modern dewasa ini.

Indonesia, menurut Bank Dunia (Kompas, 8 Desember 2006), memiliki penduduk yang rentan miskin dan miskin hampir separuh jumlah penduduk. Ketimpangan sosial ekonomi masyarakat ini merupakan cerminan dari struktur sosial masyarakat Indonesia yang majemuk atau plural yang bersifat multidimensional, dalam arti struktur sosial yang terpecah-pecah secara vertikal (stratifikasi sosial) maupun horisontal (deferensiasi sosial). Posisi generasi muda dalam konteks modernitas masyarakat semacam ini sangat boleh jadi ditentukan oleh status sosial ekonomi orang tua atau keluarganya. Demikian juga kemampuan generasi muda untuk menangkap gambaran atau pesan-pesan modernitas dan pemanfaatan TI berbeda-beda, sesuai dengan derajad atau status sosial ekonomi orangtuanya.

Namun seiring dengan kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi, perangkat TI bukanlah benda asing bagi generasi muda. Kepemilikan perangkat TI hampir sudah menjadi keniscayaan bagi kaum muda, karena harga yang semakin terjangkau dengan kualitas dan fasilitas yang semakin bervariasi.


(15)

Pemahaman atau pengetahuan generasi muda tentang TI menjadi variabel yang cukup penting ketika sebagian besar kaum muda memiliki perangkat tersebut.

Sebuah penelitian tentang profil dan cara berpikir generasi muda masa kini pernah dilakukan oleh Ogilvy Public Relations Worldwide Jakarta, pada bulan Maret sampai Juli 2006 (Tempo, 22 Oktober 2006). Walaupun mungkin tidak menganut rancangan studi yang canggih dengan metodologi yang ketat secara akademik, namun hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran nyata tentang kecenderungan perilaku kaum muda masa kini.

Penelitian ini menggunakan sampel 385 pasang anak muda usia 15 - 24 tahun yang tinggal di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Yogyakarta, Medan, dan Makasar. Penelitian ini bermaksud menunjukkan bagaimana kaum muda sekarang merepresentasikan kehidupan modern. Hasil penelitian menyebutkan 83,3% responden memiliki telpon genggam, sementara 68,8% memiliki dan menggunakan komputer. Erat kaitannya dengan kepemilikan komputer, sebesar 25,4% memanfaatkannya untuk untuk kepentingan hiburan lewat internet (online) dan 40,7% responden memanfaatkan internet untuk berkomunikasi seperti akses e-mail dan chatting.

Sebesar 51,5% dari responen memiliki motor sebagai alat transportasi sehari-hari, sedangkan yang mengendarai mobil sebesar 31,3%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 61% di antara responden mengatakan - dalam istilah gaul kaum muda- kumaha aing, gue banget. Ungkapan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa mereka bisa membikin apa saja (kebutuhan mereka) seperti baju, aksesori, sepatu, musik, majalah yang mereka sukai. Sebesar itu pula (61%)


(16)

yang menyatakan mereka bisa memilih karier apa saja yang mereka kehendaki atau mereka sukai. 82% kaum muda itu bisa menerima prestasi dalam bidang-bidang yang tidak lazim. Erat kaitannya dengan hal itu 85% menyatakan tidak takut tampil beda dan tampil beda itu bagus.

Apa yang dipaparkan di atas adalah salah satu bentuk modernitas kaum muda dalam perspektif sosiokultural. Sedangkan modernitas kaum muda dalam perspektif sosioekonomi dapat ditilik dari pengalaman seorang mahasiswa sebuah universitas negeri di Bandung bernama Wangga Dharma Saputra, 22 tahun berikut ini. Mahasiswa ini mengelola sebuah tambang pasir di Pasir Kaler Sumedang dan mengelola usaha penyewaan truk yang berkantor di daerah Sindanglaya Bandung. Mahasiswa ini mengawali usahanya itu sejak kelas 2 SMA sebagai order taker di perusahaan bus milik ayahnya.

Selepas SMA, yang bersangkutan belajar kewirausahaan di Entrepreneurship University Primagama selama enam bulan. Selesai studi, ayahnya memberi modal kepadanya untuk usaha isi ulang air mineral. (Media Indonesia, 6 Maret 2007). Pada rubrik yang sama juga diungkapkan kisah sukses beberapa mahasiswa yang berwiraswasta dengan pola yang tidak jauh berbeda.

Para mahasiwa di atas masuk dalam arus utama bisnis dengan nilai-nilai dan sikap mental yang dalam perspektif modernitas disebut entrepreneurship atau kewiraswastaan. Sebuah konsep dan sikap mental modern kapitalistik yang kini dimasukkan dalam kurikulum di berbagai universitas di Indonesia hanya karena banyak lulusan perguruan tinggi menjadi penganggur.


(17)

Tentang pengangguran di kalangan kaum muda terdidik ini, Agus Suwignya (2003) menengarai bahwa tingginya sarjana penganggur merupakan salah satu indikator rendahnya mutu intelektualitas mahasiswa perguruan tinggi yang mencakup logika, daya kritis, kedalaman kemampuan analisis, dan disposisi sikap.

Indikator di atas dapat dipotret dari kenyataan-kenyataan yang menunjukkan inkonsistensi antara tindakan dengan pengetahuan yang mendasari tindakan. Misalnya, sebuah seminar yang diselenggarakan oleh mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Seminar bertajuk ’Kedirian’ (Selfness) ini intinya membicarakan perlunya seseorang memiliki prinsip teguh, mampu memilih, otentik, dan tidak terombang-ambing oleh imaji-imaji iklan kaum kapitalis. Padahal kegiatan seminar ini disponsori oleh sebuah perusahaan soft drink yang dikritik mahasiswa sebagai salah satu simbol kapitalisme global. Namun patut disayangkan karena iklan soft drink tersebut dicantumkan sebagai judul seminar. Contoh lain, dalam harian Kompas 27 Agustus 2002, Prasetyantoko menulis, di tengah demonstrasi anti Amerika seorang mahasiswa berteriak ”Kita lawan kapitalisme Amerika!” sambil memegang secangkir café latte yang sering dianggap salah satu simbol kapitalisme.

Inkonsistensi antara tindakan dan pengetahuan pada diri kaum muda juga dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya perilaku berlalu lintas. Tidak sedikit kaum muda yang naik atau turun dari kendaraan umum di tempat-tempat yang tidak semestinya, membuang sampah atau menggunakan ponsel ketika sedang mengendarai mobil di jalan, menerobos lampu merah, menikung tanpa


(18)

menyalakan lampu sign dan sebagainya. Demikian juga perilaku tidak mau antri saat membeli tiket, asyik menggunakan ponsel dalam peristiwa dan suasana yang tidak tepat, misalnya dalam rapat atau di tempat ibadat.

Semua yang dipaparkan di atas memperlihatkan sebuah paradoks modernitas di kalangan generasi muda. Di satu pihak nampak adanya kreativitas, cara pikir progresif, rasa percaya diri yang besar, seperti nampak dalam hasil penelitian Ogilvy Public Relations Worldwide Jakarta dan kisah sukses mahasiswa wirausahawan, namun di lain pihak terdapat bentuk-bentuk kelatahan sosial, kekonyolan, gagap teknologi, atau satu bentuk ketidaksiapan mental-sosial generasi muda dalam menghadapi modernitas seperti yang tercermin dalam inkonsistensi antara tindakan dan pengetahuan pada diri kaum muda.

Berangkat dari paparan konseptual teoretik maupun kenyataan empirik di atas muncul permasalahan, sejauh mana tingkat modernitas generasi muda kota dan pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi muda. Benarkah media massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan tentang teknologi informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat modernitas generasi muda dan pemanfaatan teknologi informasi?

Dalam masyarakat yang sarat media (media-saturated society) seperti saat ini, kajian tentang keberadaan dan posisi generasi muda dalam perspektif modernitas menjadi penting untuk diketahui. Mengetahui tingkat modernitas generasi muda dalam realitas kekinian dan bagaimana mereka memanfaatkan TI merupakan sebuah langkah awal untuk mengajak generasi muda agar tidak mudah


(19)

dipermainkan oleh logika kapitalisme, yang berujung pada gaya hidup konsumtif dan budaya instan di kalangan generasi muda pada umumnya

Hal yang kurang lebih sama berlaku pula dalam hal bagaimana generasi muda memanfaatkan TI terutama internet dan telpon seluler. Dalam pandangan tradisionalis-intrumentalis yang dominan di tengah masyarakat, teknologi diperlakukan sebagai alat atau sarana yang netral, dalam arti dapat digunakan untuk tujuan baik atau buruk. Namun demikian teknologi juga berpotensi mendominasi kehidupan, dalam arti mengarahkan kegiatan seseorang. Maka, pemahaman akan pemanfaatan TI oleh kaum muda dapat menjadi bahan refleksi mengenai bagaimana seharusnya generasi muda memanfaatkan TI secara bertanggung jawab demi kemaslahatan masyarakat.

Kajian tentang posisi generasi muda masa kini juga menjadi penting bagi dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan pendidikan IPS khususnya, karena aktivitas pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah proses yang tidak pernah selesai. Realitas kekinian menunjukkan bahwa proses pendidikan berlangsung di tengah arus deras perubahan sosial yang dipicu oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi. Dengan memahami sikap dan perilaku generasi muda di tengah masyarakat informasional seperti saat ini, diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi dunia pedidikan untuk menentukan ke mana proses pendidikan mesti di arahkan, agar tidak tergelincir ke arah pragmatisme yang berorientasi pada investasi dan dunia kerja semata-mata.

Yogyakarta dipilih sebagai “locus” penelitian ini dengan pertimbangan pertama-tama dan utama karena keunikannya, yakni berbagai predikat atau citra


(20)

yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota budaya”, “kota pendidikan”, “kota perjuangan” “kota wisata”, dan “the city of tolerance”. Meskipun “praktek hidup berkota” yang modern dengan berbagai simbol dan ekspresinya nampak nyata, namun budaya Jawa yang mengedepankan harmoni masih mampu hidup berdampingan dengan suasana modern sebuah kota masa kini. Masyarakat kota Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan kemajuan peradaban justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata” maupun “tidak kasat mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya.

B.Rumusan Masalah

Permasalahan umum penelitian ini adalah sejauh mana tingkat modernitas generasi muda kota dan pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi muda. Benarkah media massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan tentang teknologi informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat modernitas generasi muda dan pemanfaatan teknologi informasi. Atas dasar permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyan penelitian sebagai berikut : 1. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang

tua terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda ?

2. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi pengetahuan tentang TIK terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda?

3. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi media massa terhadap pemanfaatan TI yang dimilikinya?

4. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang tua, pengetahuan tentang TI, dan media massa terhadap pemanfaatan TI?


(21)

5. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi orang tua terhadap modernitas individual kaum muda?

6. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi pengetahuan tentang TI terhadap modernitas individual kaum muda?

7. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi media massa terhadap modernitas individual kaum muda?

8. Seberapa besar dan signifikan, jika ada, kontribusi status sosial ekonomi, pemanfaatan TI, dan media massa terhadap modernitas individual kaum muda? C.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat modernitas generasi muda kota dan pemanfaatan teknologi informasi di kalangan generasi muda. Benarkah media massa, status sosial ekonomi keluarga, dan pengetahuan tentang teknologi informasi, berpengaruh atau berkontribusi terhadap tingkat modernitas generasi muda dan pemanfaatan teknologi informasi Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dan signifikan :

1. Kontribusi status sosial ekonomi orang tua terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda.

2. Kontibusi pengetahuan tentang TI pada kaum muda terhadap pemanfaatan TI yang dimilikinya.

3. Kontribusi konsumsi media massa terhadap pemanfaatan TI yang dimiliki kaum muda.


(22)

4. Kontribusi status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa secara bersama-sama terhadap pemanfaatan TI.

5. Kontribusi status sosial ekonomi orang tua terhadap modernitas individual kaum muda.

6. Kontribusi pengetahuan tentang TI terhadap modernitas individual kaum muda. 7. Kontribusi sases ke media massa terhadap modernitas individual kaum muda. 8. Kontribusi status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media

massa secara bersama-sama terhadap modernitas individual kaum muda. D.Desain Penelitian

Creswell (2003: 3-16)) menyarankan tiga elemen kerangka kerja untuk mendesain sebuah penelitian, baik kuantitatif, kualitatif, maupun campuran dari keduanya (mix methods). Ketiga elemen tersebut adalah asumsi filosofis pengetahuan, strategi inkuiri, dan metode. Mengikuti Creswell, berikut ini dipaparkan ketiga elemen tersebut sejauh berkaitan dengan penelitian ini.

1. Asumsi Filosofis

Penelitian ini berada di atas ranah sosiologi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Asumsi epistemologis postpositivisme diletakkan sebagai dasar pijakan. Postpositivisme bersifat deterministik, reduksionistik, dan berpijak pada pengukuran dan pengamatan empirik (Creswel, 2003: 6).

Asumsi dasar yang dijadikan titik pangkal mengacu pada pemikiran Anthony Giddens (1984) bahwa antara pelaku dan struktur dipandang sebagai relasi dualitas, bukan dualisme, dalam arti bahwa relasi keduanya saling mengandaikan. Oleh karena itu fokus penelitian ini adalah pelaku (aktor), juga karena sosiologi


(23)

lebih menekankan hubungan antar manusia, baik secara individual maupun kelompok. Pelaku atau aktor dalam penelitian ini adalah generasi muda dalam konteks gejala modernitas yang secara diskursif tidak bisa dilepaskan dari pemikiran postmodernitas.

Kendati modernitas dan postmodernitas secara historis sering dipandang sebagai dua zaman atau epos, namun dalam penelitian ini keduanya tidak diperlakukan sebagai dua entitas atau periode (epos) yang berbeda melainkan satu kontinum modernitas karena postmodernitas sendiri pada dasarnya adalah modernitas. Kalau pun keduanya dipandang berbeda, maka perbedaannya lebih bersifat gradual dan bukan dikotomis-kontradiktoris, melainkan saling melengapi dan saling memberikan kritik.

Pendekatan postpositivisme bersifat deterministik. Sifat deterministik dari penelitian ini nampak pada permasalahan penelitian, yang mempertanyakan pengaruh atau kontribusi beberapa variabel bebas terhadap dua variabel terikat. Tiga variabel bebas yakni status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa ditetapkan secara subjektif sebagai hasil pembacaan terhadap teori dan hasil-hasil penelitian empiris serta kenyataan sehari-hari. Demikian juga dalam menetapkan variabel terikatnya yakni pemanfaatan TI dan tingkat modernitas generasi muda.

Tiga variabel bebas dikonstruksi memberi kontribusi atau mempengaruhi dua variabel terikat. Hal ini sekaligus menampakkan sifat reduksionistik dari penelitian ini. Konsep-konsep filosofis dan sosiologis dari modernitas (variabel terikat) direduksi, disederhanakan, dan dimampatkan menjadi dua variabel dengan


(24)

sejumlah indikator yang dapat diukur dan dianalisis secara kuantitatif. Secara visual, keterkaitan antar variabel di atas dapat digambarkan dalam model sebagai berikut

X1

X2

X3

Y1

Y2

Keterangan :

X1 = Status sosial ekonomi keluarga X2 = Pengetahuan tentang TI

X3 = Konsumsi media massa Y1 = Pemanfaatan TI

Y2 = Tingkat modernitas

2. Batasan Istilah

Adapun batasan istilah dari variabel-variabel bebas (independent variables) maupun variabel terikat (dependent variabel) pada model di atas, adalah sebagai berikut :

a. Variabel bebas


(25)

Status sosial ekonomi orang tua responden adalah posisi sosial ekonomi relatif sebuah keluarga atau individu berdasarkan penghasilan (atau pengeluaran), tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Dalam penelitian ini, tiga faktor tersebut menjadi indikator standar ditambah dengan faktor kepemilikan tempat tinggal sebagai salah satu paramater kesejahteraan keluarga.

2) Pengetahuan tentang TI

Pengetahuan tentang TI adalah tingkat pengetahuan kaum muda akan berbagai fitur yang terdapat dalam piranti (gadget) TI terutama pada ponsel, komputer, dan internet. Indikatornya adalah seberapa banyak kaum muda mengetahui seluk beluk piranti TI yang digunakan.

3) Konsumsi media massa.

Media massa dalam penelitian ini dibatasi pada surat kabar, tabloid, majalah, radio, dan internet. Maka konsumsi media massa merupakan kegiatan responden membaca, mendengarkan, atau menonton jenis-jenis media massa yang sudah disebutkan di atas. Indikatornya adalah frekuensi konsumsi surat kabar, majalah, tabloid, radio, dan televisi, serta isi informasi media massa yang dikonsumsi. b. Variabel Tergantung

Ada dua variabel tergantung di dalam penelitian ini yakni pemanfaatan TI dan tingkat modernitas kaum muda.

1) Pemanfaatan TI.

Pemanfaatan TI adalah aktivitas penggunaan berbagai fitur yang ada pada piranti TI yang terdiri atas telepon seluler, komputer, dan internet untuk menunjang kegiatan sehari-hari. Adapun yang diukur adalah seberapa optimal


(26)

pemanfaatan fitur-fitur yang ada pada gadget tersebut. Indikatornya adalah jenis kegiatan yang dilakukan, frekuensi penggunaan, lamanya waktu penggunaan tiap-tiap jenis TI.

2) Modernitas individual

Modernitas individual kaum muda adalah budaya atau nilai-nilai, pandangan, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai struktur masyarakat modern sejauh tercermin dalam gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas dalam kehidupan sehari-hari.

Gaya hidup adalah cara (moda) dan pilihan hidup yang mengikuti atau tidak mengikuti simbol-simbol budaya modern dalam hal berkomunikasi, berpakaian, makanan dan minuman, kebiasaan belanja, dan pilihan hiburan. Sedangkan yang dimaksud dengan sikap kritis adalah kemampuan berpikir yang melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah atau cara berpikir yang menekankan pada fenomena dimensi historis, rasional, dan normatif. Sementara yang dimaksud eksplisitasi prinsip-prinsip multukulturalitas adalah sikap dan perilaku nyata interaksi sosial generasi muda dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari yang menjunjung tinggi keragaman etnik, agama, budaya (kultur), dan subkultur. 3. Strategi Inkuiri

Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif maka strategi inkuiri yang digunakan adalah survey yang menggunakan seperangkat kuesioner sebagai teknik pengumpulan data, dengan maksud untuk membuat generalisasi berdasarkan sampel yang diteliti tentang karakteristik dan kecenderungan perilaku responden. Salah satu pertimbangan menggunakan strategi survey adalah


(27)

kecepatannya dalam hal proses pengumpulan data di samping lebih ekonomis dibandingkan dengan strategi lain dalam lingkup pendekatan kuantitatif seperti eksperimen atau eksperimental semu (quasi experimental).

4. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksplanatif. Menurut Creswell, secara lebih spesifik metode penelitian pada dasarnya berisikan teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. Secara ringkas keduanya dapat dipaparkan sebagai berikut : a. Teknik pengumpulan data

Seperti sudah disebutkan di atas, data dikumpulkan dengan menggunakan seperangkat kuesioner. Sebagian besar pertanyaan dan pernyataan disusun secara tertutup (close-ended questioning).

Data tentang status sosial ekonomi orang tua responden, konsumsi media massa, dipetik dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner atau angket yang dikembangkan oleh Pusat Litbang Harian “KOMPAS” dan “Koran Tempo”, dengan modifikasi seperlunya. Sedangkan data mengenai pengetahuan tentang TI menggunakan seperangkat tes yang dikembangkan oleh peneliti. Demikian juga data pemanfaatan TI dan tingkat modernitas berupa sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi nilai-nilai multikulturalitas. Kuesioner yang dikembangkan oleh peneliti sendiri disusun dengan menggunakan teknik Summated Rating Scale model Likert yang terdiri atas lima skala nilai.

b. Teknik Analisis Data

Pertama, analisis statistika deskriptif. Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik demografik dan semua variabel dalam penelitian.


(28)

Kedua, analisis statistika korelasi Pearson Product Moment dan regresi berganda. Korelasi Product Moment digunakan untuk melihat kesaling-hubungan antar variabel independen yakni SSE orang tua responden, pengetahuan tentang TI, konsumsi media massa, dan dua variabel dependen yakni pemanfaatan TI serta tingkat modernitas responden. Sedangkan analisis regresi berganda digunakan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkan estimator garis regresi yang memiliki sifat BLUE (best linier unbiased estimation) diuji pula asumsi-asumsi klasik analisis regresi yakni, non multi-collinierity, non autocorrelation, dan non heteroscedasticity (Gujarati 2004 : 341–348; Algifari, 2000 : 83). Semua analisis di atas dilakukan dengan bantuan program aplikasi SPPS versi 17.

E. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Yogyakarta dijadikan locus penelitian dengan pertimbangan cukup mewakili sebuah kota besar yang kurang lebih memiliki ciri-ciri yang sama dengan kota-kota lain di Indonesia. Namun demikian, Yogyakarta memiliki keunikan yakni berbagai predikat atau citra yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota budaya”, “kota pendidikan”, “kota perjuangan” “kota wisata”, dan “the city of tolerance”.

Yogyakarta juga merupakan sebuah kota yang paradoksal. Meskipun “praktek hidup berkota” yang modern dengan berbagai symbol dan ekspresinya nampak nyata ada di setiap sudut kota, namun tradisi dan budaya Jawa yang mengedepankan harmoni masih mampu menjiwai suasana sebuah kota masa kini.


(29)

Masyarakat kota Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan kemajuan peradaban justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata” maupun “tidak kasat mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya.

2. Subjek Penelitian

Adapun subjek penelitian atau populasi yang terjangkau adalah kaum muda berusia 17 - 25 tahun khususnya mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Populasi ini dipilih dengan pertimbangan utama kelompok ini merupakan kelompok yang cukup sensitif dan adaptif terhadap perubahan sosial sekaligus relatif otonom dalam arti mampu bertindak dan membuat keputusan sesuai dengan pilihan-pilihan hidup.

F. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Jumlah sampel ditetapkan kurang lebih 400 responden mahasiswa dengan pertimbangan bahwa model estimasi yang menggunakan Maximum Likelihood Estimation (MLE) paling sedikit diperlukan 100 sampel. Semakin besar jumlah sampel akan semakin meningkatkan sensitivitas metode MLE.

Sampel diambil dengan teknik cluster sampling dengan cara bertingkat (multi stage sampling). Masing-masing tingkat ditentukan secara acak dengan undian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan sampling frame untuk semua unit target populasi sulit didapatkan atau diadakan. Pertimbangan lain yang lebih subjektif adalah bahwa teknik ini relatif lebih mudah dan sederhana prosedurnya jika dibandingkan dengan teknik acak sederhana (simple random sampling) dan acak atas dasar strata (stratified random sampling).


(30)

G. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini, sejauh dipercaya, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

1. Pemahaman yang lebih lengkap bagi masyarakat pada umumnya tentang cara berpikir, cara bertindak, dan cara merasa kaum muda kota dalam konteks modernitas saat ini.

2. Pemahaman teoretik yang berkaitan dengan pengaruh status sosial ekonomi, pengetahuan tentang TI, dan konsumsi media massa terhadap pemanfaatan TI dan tingkat modernitas generasi muda kota

3. Masukan bagi kaum muda sendiri agar mampu mempersiapkan diri secara tepat untuk memainkan peran yang konstruktif di tengah-tengah masyarakat yang sarat dengan media.

4. Masukan bagi dunia pendidikan untuk menentukan pendekatan dan merumuskan strategi pendidikan yang cocok dengan perkembangan karakteristik anak muda zaman sekarang, baik di dalam maupun di luar sekolah.

5. Masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun program dan strategi kebudayaan bagi pembinaan kaum muda di era globalisasi saat ini.


(31)

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena modernitas individual di kalangan generasi muda dengan menggunakan pendekatan atau metode survei. Objek yang ditelaah adalah hubungan antar variabel yang dirumuskan dalam hipotesis yakni variabel status sosial ekonomi keluarga, pengetahuan tentang TI, konsumsi media massa, pemanfaatan TI, dan tingkat modernitas individual generasi muda.

B. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi

Lokasi penelitian ditetapkan di kota Yogyakarta dengan pertimbangan, pertimbangan pertama-tama dan utama karena keunikannya, yakni berbagai predikat atau citra yang melekat pada kota Yogyakarta seperti “kota budaya”, “the city of tolerance”, “kota pendidikan”, dan “kota wisata”. Di Yogyakarta, segala sesuatu yang bertentangan dapat hidup berdampingan secara damai.

Meskipun “praktek hidup berkota” yang modern dengan berbagai simbol dan ekspresinya nampak nyata, namun budaya Jawa yang mengedepankan harmoni masih mampu hidup berdampingan dengan suasana modern sebuah kota masa kini. Masyarakat kota Yogyakarta yang multikultural mampu bernegosiasi dengan kemajuan peradaban justru karena suasana budaya Jawa, baik yang “kasat mata” maupun “tidak kasat mata”, masih tetap hidup dan dihidupi oleh warganya. Unsur main-main atau plesetan, menjadi ciri khas Yogyakarta. Unsur plesetan ini


(32)

rupanya bersumber pada iklim masyarakat Yogyakarta yang terkesan kuat ”penuh kompromi” demi memelihara harmoni.

Sebagai kota yang menyandang predikat “kota pelajar” atau “kota pendidikan”, Yogyakarta sibuk dengan ilmu pengetahuan dan wacana. Kampus-kampus dengan berbagai predikat dan kualitas bertebaran di setiap sudut kota. Lusinan diskusi diadakan setiap bulan. Di kota ini juga terdapat banyak ilmuwan, cendekiawan, berbagai lembaga kajian, komunitas budaya, seniman, penerbitan, percetakan, toko buku, dan perpustakaan.

Namun demikian sebagaimana layaknya sebuah kota di mana pun, kota ini juga menyimpan tempat untuk bersenang-senang seperti mall, kafe, dan resto dari yang berkelas mahasiswa, merakyat, sampai dengan yang berkelas mahal, dari yang tradisional-etnik, sampai dengan yang modern-kosmopolitan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Yogyakarta merupakan kota yang penuh dengan paradoks. 2. Subjek Penelitian : Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel a. Populasi

Subjek penelitian ini adalah kaum muda berusia 17 - 25 tahun khususnya mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Populasi ini dipilih dengan pertimbangan :

1)Mahasiswa sudah dapat menentukan dan mengarahkan pilihan-pilihan hidupnya dan mampu bertindak relatif otonom.

2)Mereka merupakan kelompok yang relatif cepat mengadopsi dan beradaptasi atas perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.


(33)

3)Mereka merupakan generasi yang akan melanjutkan jalannya modernitas yang lebih kompleks dan penuh resiko.

4)Secara ekonomis mereka adalah konsumen potensial atas produk-produk simbol modernitas.

5)Secara praktis mereka mudah dijangkau oleh peneliti b. Sampel

Jumlah sampel sebesar 400 responden dengan pertimbangan bahwa model estimasi dengan menggunakan Maximum Likelihood (ML). Semakin besar jumlah sampel semakin meningkatkan sensitivitas metode ML.

c. Teknik Pengambilan Sampel

Di Yogyakarta terdapat 19 universitas, 5 institut, 34 sekolah tinggi, 61 akademi, dan 8 politeknik. Dari jumlah itu ada 4 perguruan tinggi negeri yakni tiga universitas (UGM, UNY, dan UIN), dan satu institut, yakni Institut Seni Indonesia (ISI). Hampir semua jenis perguruan tinggi, terutama swasta, mempunyai variasi yang cukup lengkap. Mulai dari yang berkualitas baik sekaligus favorit sampai dengan yang berkualitas pas-pasan.

Sampel diambil dengan teknik random sampling dengan cara bertingkat (multi stage sampling). Tingkat pertama adalah menentukan perguruan tinggi, dalam hal ini akan dibatasi pada universitas sebagai unit penyampelan primer (primary sampling unit), baik negeri maupun swasta karena universitas dipandang cukup memadai untuk mewakili jenis perguruan tinggi yang lain. Tingkat kedua memilih fakultas, tingkat ketiga menentukan jurusan atau program studi, dan terakhir mahasiswa yang dijadikan sampel. Masing-masing tingkat akan ditentukan secara


(34)

acak dengan undian. Teknik ini dipilih dengan pertimbangan sampling frame untuk semua unit target populasi sulit didapatkan atau diadakan di samping teknik ini relatif lebih sederhana prosedurnya jika dibandingkan dengan teknik acak sederhana (simple random sampling) dan acak atas dasar strata (stratified random sampling).

Pada tingkat pertama, universitas negeri yang menjadi sampel adalah Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sedangkan universitas swasta diwakili oleh Universitas Islam Indonesia, (UII), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Universitas-universitas swasta ini diambil sebagai sampel karena termasuk sebagai universitas besar dan atau terkemuka di Yogyakarta, dibandingkan dengan universitas-universitas lainnya.

Pada tingkat kedua yakni memilih fakultas, untuk universitas negeri, UGM (18 fakultas) diambil dua fakultas, sementara UNY (6 fakultas) dan UIN (7 fakultas) masing-masing 1 fakultas. Demikian pula untuk universitas swasta, Universitas Sanata Dharma (8 fakultas) diambil dua fakultas sementara Universitas Isalam Indonesia (8 fakultas) , UAJY (6 fakultas), dan UKDW (4 fakultas) masing-masing 1 fakultas.

Hasil undian menunjukkan dua fakultas di UGM yakni fakultas MIPA dan Fakultas Hukum, sementara dari UIN Fakultas Tarbiyah, sedangkan dari UNY Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi (FISE). Dari USD muncul dua fakultas yakni Fakultas Ekonomi dan FKIP, sementara UII diwakili Fakultas Teknik, UAJY


(35)

diwakili oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL), UKDW diwakili oleh Fakultas Teknik. Hasil undian selengkapnya diringkas dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.1. Sampel penelitian

No Univ. Fakultas Jrsn/Prodi Jumlah

Mhsw

Jumlah Resp

1 UGM Hukum

MIPA Hukum Ilmu Komputer 60 60 47 45

2 UNY Ilmu Sos. dan

Ek.

Pend. Akuntansi 80 52

3 UIN Tarbiyyah PAI 54 42

4 UII Fakultas Teknik Teknik Sipil 50 44

5 USD Fak. Ekonomi

FKIP

Akuntansi Pend. Bhs. Ingg

80 80

54 48

6 UAJY FISIPOL Komunikasi 86 54

7 UKDW Teknik T. Informatika 60 38

JUMLAH 610 424

Dari jumlah tersebut terdapat 19 mahasiswa responden yang tidak mengembalikan kuesioner tepat waktu dan 5 kuesioner yang tidak diisi secara lengkap oleh responden sehingga tidak memenuhi syarat untuk diikutsertakan sebagai responden. Penyebaran kuesioner sebagian dilakukan oleh field worker baik mahasiswa maupun bantuan dosen, dan dilakukan sendiri oleh peneliti terutama di USD dan UAJY

C. Definisi Operasional

Berikut ini adalah istilah-istilah yang berkenaan dengan variabel dan indikatornya. Terdapat dua variabel bebas dalam penelitian ini yakni pemanfaatan TI dan tingkat modernitas individual generasi muda. Adapun batasan tiap-tiap variabel adalah sebagai berikut :

1. Modernitas individual :

Modernitas individual kaum muda adalah budaya atau nilai-nilai, pandangan, sikap, dan perilaku kaum muda dalam bingkai struktur masyarakat modern sejauh


(36)

tercermin dalam gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas dalam kehidupan sehari-hari.

a. Gaya hidup

Yang dimaksud adalah cara (moda) dan pilihan hidup yang mengikuti atau tidak mengikuti simbol-simbol budaya modern dalam hal berkomunikasi, berpakaian, makanan dan minuman, kebiasaan belanja, dan pilihan hiburan. b. Sikap atau Daya Kritis

Yang dimaksud adalah kemampuan berpikir yang melihat sistem dan struktur sebagai sumber masalah atau cara berpikir yang menekankan pada fenomena dimensi historis, rasional, dan normatif dalam konteks interaksi antara individu dan masyarakat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

c. Eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas.

Eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas merupakan sikap dan perilaku nyata interaksi sosial generasi muda dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yang beragam secara etnik, agama, budaya (kultur), dan subkultur.

2. Pemanfaatan TI

Pemanfaatan TI adalah aktivitas penggunaan berbagai fitur yang ada pada piranti TI yang terdiri atas telepon seluler, komputer, dan internet untuk menunjang kegiatan sehari-hari. Adapun yang akan diukur adalah seberapa optimal pemanfaatan fitur-fitur yang ada pada gadget tersebut. Indikatornya adalah jenis kegiatan yang dilakukan, frekuensi penggunaan, lamanya waktu penggunaan tiap-tiap jenis TI.


(37)

3. Status sosial ekonomi orang tua

Status sosial ekonomi orang tua adalah posisi sosial ekonomi relatif sebuah keluarga atau individu berdasarkan penghasilan (atau pengeluaran), tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Dalam penelitian ini, tiga faktor tersebut menjadi indikator standar ditambah dengan faktor kepemilikan tempat tinggal sebagai salah satu paramater kesejahteraan keluarga.

4. Pengetahuan tentang TI

Pengetahuan tentang TI adalah tingkat pengetahuan kaum muda akan berbagai fitur yang terdapat dalam piranti (gadget) TI terutama pada ponsel, komputer, dan internet. Indikatornya adalah seberapa banyak kaum muda mengetahui seluk beluk piranti TI yang dimiliki termasuk di dalamnya adalah tentang internet. 5. Konsumsi media massa

Konsumsi media massa adalah jenis media massa yang diakses yang dalam hal ini adalah surat kabar (harian), tabloid, majalah, radio, dan televisi. Indikatornya adalah frekuensi akses masing-masing jenis media.

D. Teknik Pengumpulan Data 1. Kuesioner :

Teknik ini untuk mengungkap data tentang status sosial ekonomi keluarga responden, konsumsi media massa, pemanfaatan TI, dan tingkat modernitas. Status sosial ekonomi keluarga responden terdiri atas empat indikator yakni tingkat pendidikan orang tua responden, pekerjaannya, tingkat pengeluaran perbulan, dan status kepemilikan tempat tinggal atau rumah. Konsumsi media massa terdiri atas dua indikator yakni jenis media dan frekuensi mengaksesnya.


(38)

Jenis media terdiri atas surat kabar, tabloid, majalah, radio, dan televisi. Sedangkan tingkat modernitas terdiri atas tiga indikator yakni gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas.

Data tentang ketiga variabel di atas beserta indikatornya dipetik dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Harian “KOMPAS” dan “Koran Tempo” dengan modifikasi seperlunya. Sedangkan variabel lain instrumen yang dikembangkan oleh peneliti.

2. Tes

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data pengetahuan responden tentang TI. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar tentang software, hardware, manfaat, dan perkembangan telpon seluler, komputer, dan internet yang berjumlah 30 dengan sebaran yang tidak sama untuk masing-masing piranti. Bentuk pertanyaan adalah memilih salah satu jawaban yang benar dan pilihan benar salah. Cara penskoran mengikuti pola umum, jawaban yang benar diberi skor satu dan yang salah nol.

3. Observasi

Teknik ini dilakukan untuk memperoleh gambaran perilaku dan kebiasaan kaum muda yang lebih konkrit dan lebih realistik. Di samping di kampus-kampus, pengamatan dilakukan pula di tempat-tempat yang biasa digunakan kaum muda untuk hang-out seperti di mall, kafe, angkringan, toko-toko buku, dan pusat-pusat jual beli telpon seluler, baik yang berpusat di satu gedung maupun yang berada di sepanjang jalan-jalan tertentu. Objek yang diamati terutama penampilan dan


(39)

perilaku kaum muda yang datang di tempat-tempat tersebut. Waktu pengamatan bervariasi antara hari-hari yang bisa dipastikan ramai dan hari-hari biasa pada jam-jam tertentu.

Teknik ini juga dilakukan untuk mencermati berbagai situs blog di internet yang nyata-nyata dikembangkan dan dikunjungi oleh kaum muda, komentar-komentar terhadap berbagai berita dan tulisan atau artikel-artikel tentang hobby sampai dengan bahan kuliah, serta kegiatan unduh (download) dan unggah (upload) bahan-bahan atau isi (misalnya software,games, dan sebagainya). 4. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap anak muda yang hadir di tempat observasi. Pertanyaan yang diajukan seputar kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang dan perilaku membeli perangkat digital yang dimiliki.

E.Instrumentasi

Bagian ini berisi tentang langkah-langkah penyusunan kuesioner dan tes sampai dengan uji validitas dan realibilitasnya. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

1. Menyusun kisi-kisi kuesioner dan tes yang secara ringkas hal ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(40)

Tabel 3.2. Kisi-kisi Kuesioner dan Tes

VARIABEL DAN INDIKATOR BUTIR

PERTANYAAN

A Tentang Responden 7 (I. 1-7)

1. Jenis Kelamin 1

2. Usia 1

3. Univeritas/Fakultas/Jurusan/Semester 1

4. Daerah asal 1

5. Tempat tinggal 1

6. Alamat 1

B SSE KELUARGA 5 (I. 8-12)

1. Rata-rata Pengeluaran rutin keluarga per bulan 1

2. Pendidikan terakhir orang tua (KK) 1

3. Pekerjaan orang tua (KK) 1

4 Status rumah yang ditempati 1

5. Jumlah tanggungan orang tua 1

C PENGETAHUAN TENTANG TI 30 (II. 1-30)

1. Telpon seluler 10

2. Komputer 7

3. Internet 13

D PEMANFAATAN TI 3 (II. 31-33)

1. Frekuensi 1

2. Lamanya waktu tiap penggunaan 1

3. Jenis fitur/aplikasi yang digunakan 1

E KONSUMSI MEDIA MASSA 5 (II. 34-38) 1. Jenis dan frekuensi media yang dikonsumsi 5

F MODERNITAS 77

1. Gaya hidup 25 (III. 1-25)

2. Sikap kritis 26 (III. 1-26)

3. Ekspresi nilai-nilai multikulturalitas 26 (III. 1-26) TOTAL 132

2. Merumuskan butir-butir pertanyaan maupun pernyataan yang diturunkan dari tiap-tiap variabel dan indikatornya. Khusus untuk variabel tingkat modernitas yakni gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas, dirumuskan dengan menggunakan teknik Summated Rating Scale model Likert yang terdiri atas lima skala nilai yakni sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (RR), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS), masing-masing diberi skor 5, 4, 3, 2, dan 1 untuk indikator-indikator positif dan sebaliknya untuk yang negatif. Pernyataan positif untuk indikator gaya hidup


(41)

berjumlah 17 butir dan yang negatif delapan butir. Untuk indikator sikap atau daya kritis, butir positif berjumlah 12 butir dan yang negatif 14 butir. Sedangkan indikator eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas, butir positif berjumlah 16 dan yang negatif 10 butir. Dengan demikian variabel tingkat modernitas memiliki 45 butir pernyataan positif dan 32 butir pernyataan negatif.

3. Draft butir-butir pernyataan didiskusikan dengan ahli sosiologi dan ahli bahasa dengan maksud untuk menjamin validasi konsep maupun untuk memastikan kejelasan rumusan pernyataan. Hasil akhirnya adalah seperangkat instrumen untuk kepentingan try-out (lihat Lampiran 3.1. Kuesioner Individual Modernity: A Try Out, halaman 228).

4. Dalam rangka validasi empirik, instrumen yang sudah disusun, khususnya instrumen yang mengungkap variabel tingkat modernitas yang disusun dengan teknik Summated Rating Scale model Likert diujicobakan kepada 50 responden. Responden yang dijadikan uji coba intrumen adalah mahasiswa Universitas Sanata Dharma Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Tingkat validitas diuji dengan teknik Total Butir Correlation. Butir-butir yang dipakai adalah butir yang memiliki korelasi positif dengan koefisien korelasi minimal 0,300. Sedangkan reliabilitasnya akan dihitung dengan perbandingan angka koefisien hasil perhitungan koefisien reliabilitas Guttman Split Half dengan koefisien korelasi yang tertera dalam tabel. Jika hasil perhitungan koefisien realibilitas Guttman lebih besar daripada r tabel dengan taraf signifikansi 0,01 sebesar 0,350 maka butir pernyataan dinyatakan reliabel.


(42)

Baik validitas maupun reliabilitas akan dihitung dengan menggunakan program aplikasi SPSS v.17.

Dengan kriteria di atas, dari 25 butir pernyataan tentang tingkat modernitas pada indikator gaya hidup terdapat 7 butir yang digugurkan karena tidak valid kendati reliabel, yakni butir nomor 1, 3, 4, 5, 6, 20, dan 24. Setelah butir-butir tersebut digugurkan maka koefisien reliabilitas untuk indikator ini meningkat menjadi 0,80. Sedangkan indikator sikap kritis yang semula terdiri atas 26 butir menjadi 18 butir pernyataan karena 8 butir tidak valid yakni butir pernyataan nomor 7, 9, 12, 13, 15, 17, 19, dan 24. Dengan cara yang sama nampak bahwa koefisien reliabilitasnya menjadi 0,69. Sementara itu untuk indikator eksplisitasi nilai multikulturalitas yang terdiri atas 26 butir pernyataan, dengan alasan yang sama harus digugurkan 9 butir yakni butir nomor 1, 2, 3, 8, 10, 15, 16, 24, dan 25, dan koefisien reliabilitasnya menjadi 0,58 (hasil perhitungan selengkapnya, lihat Lampiran 3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas, halaman 251). Dengan demikian semua butir dalam ketiga indikator terbukti reliabel karena koefisien realibilitas hasil perhitungan lebih besar daripada r tabel sebesar 0,354. Jadi indikator untuk variabel tingkat modernitas berjumlah 52 butir pernyataan, yang terdiri atas indikator gaya hidup 17 butir, sikap atau daya kritis 18 butir, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas sebesar 17 butir. Kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran (Lampiran 3.3. Individual Modernity : A Self Report, halaman 261)


(43)

F. Teknik Analisis Data 1. Analisis deskriptif.

Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik demografik dan beberapa data yang menggambarkan status sosial ekonomi orang tua, pengetahuan tentang TI, penggunaan TI, konsumsi media massa, dan seberapa jauh tingkat modernitas responden sejauh tercermin dari gaya hidup, cara berpikir, dan eksplisitasi prinsip-prinsip multikulturalitas. Berikut adalah kriteria penetapan deskripsi masing-masing variabel.

a. Status sosial ekonomi orang tua responden diukur dengan 4 indikator yakni pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah pengeluaran atau belanja keluarga per bulan, dan status kepemilikan tempat tinggal. Untuk mendeskripsikan status sosial ekonomi responden, masing-masing indikator diberi skor 1 sampai dengan 5. Pengkategorian jenis pekerjaan adalah sebagai berikut :

1)Golongan A (skor 1) - Buruh serabutan - Tukang parkir - Buruh nelayan - Buruh tani - Petani kecil - Penebang kayu - Penarik becak - Tukang cuci


(44)

- Penjual keliling

- Pembantu rumah tangga - Petani penyewa

- Pensiunan PNS - Buruh tetap - Tukang kayu - Tukang listrik - Sopir angkot - Satpam

3)Golongan C (skor 3) - Montir/mekanik - Sopir bus/taksi - Penjahit - Mandor

- Karyawan swasta

- TNI/POLRI (tamtama – bintara atau golongan I-II) - PNS (golongan I dan II)

- Guru SD

4)Golongan D (Skor 4) - Guru SMP/SMA/SMK - PNS golongan III - IV - Petani pemilik tanah - Pegawai kantor


(45)

- Pemilik toko

5)Golongan E (skor 5) - Ahli hukum/lawyer - Manajer perusahaan - Ahli ilmu tanah - Apoteker - Arsitek - Dokter

- Dosen/guru besar - Insinyur bangunan - Kontraktor

- TNI/POLRI (perwira)

Sedangkan tingkat pendidikan orang tua responden digolongkan menjadi 5 yakni lulus pendidikan dasar (skor 1), lulus SMA/SMK (skor 2), lulus diploma atau sarjana muda (skor 3), lulus sarjana S1 (skor 4), dan lulus pascasarjana (skor 5).

Tingkat pengeluaran rumah tangga responden per bulan digolongkan menjadi 5 kategori. Dasar penggolongannya adalah Upah Minimum Propinsi (UMP) Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2007-2008 sebesar Rp 586.000,- yang dibulatkan menjadi Rp 600.000,- Skor untuk masing-masing golongan adalah sebagai berikut : Pengeluaran Rp 600.000 atau kurang diberi skor 1; Rp 600.001,- sampai Rp 1.800.000,- diberi skor 2 ; Rp 1.800.001 sampai Rp 2.400.000,- diberi skor 3


(46)

; Rp 2.400.001 sampai Rp 3.600.000,- diberi skor 4 ; Lebih besar daripada Rp 3.600.000,- diberi skor 5.

Indikator status kepemilikan tempat tinggal orang tua dibedakan seperti berikut :

Rumah dinas diberi skor 1, rumah saudara/kerabat diberi skor 2, rumah kontrak atau kos diberi skor 3, rumah orang tua skor 4, dan rumah milik sendiri diberi skor 5.

Adapun status sosial ekonomi orang tua responden dibedakan menjadi 3 kelompok atau golongan dengan kriteria sebagai berikut : Kelompok atas adalah skor di atas Mean + 2 Standard Deviation skor antara M + 1 SD dan M + 2SD ; Kelompok menengah adalah skor antara M – 1SD dan M + 1SD – 1 ; Kelompok bawah adalah skor antara M – 2SD dan M – 1SD – 1

skor di bawah M – 2SD

b. Pengetahuan tentang teknologi informasi (TI). Indikator untuk variabel ini adalah pemahaman atau pengetahuan responden tentang telepon seluler, komputer, dan intermet. Untuk setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar diberi skor 1. Jika responden menjawab tidak tahu atau salah, diberi skor 0. Pengetahuan tentang TI responden pun dibedakan menjadi 3 kategori yakni tinggi, cukup, dan rendah dengan menggunakan kriteria yang sama dengan kriteria penetapan kategori status sosial ekonomi responden.

c. Konsumsi media massa diukur dengan indikator frekuensi atau seberapa sering responden membaca, menonton, atau mendengar setiap jenis media massa yakni surat kabar, tabloid, majalah, televisi, dan radio. Frekuensi tersebut


(47)

dinyatakan dengan skor 1 – 5, dengan rincian : Skor 1 = responden tidak pernah mengkonsumsi ; Skor 2 = responden mengkonsumsi 1 – 2 kali dalam sebulan ; Skor 3 = responden mengkonsumsi 1 kali dalam seminggu ; Skor 4 = responden mengkonsumsi 2 – 3 kali dalam seminggu ; Skor 5 = responden mengkonsumsi setiap hari.

Frekuensi konsumsi media massa pun dibedakan menjadi 3 kategori yakni tinggi, cukup, dan rendah dengan menggunakan kriteria yang sama dengan kriteria penetapan kategori status sosial ekonomi responden seperti yang sudah dipaparkan di atas. Konsumsi media massa dikatakan tinggi kalau responden mengkonsumsi setiap jenis media massa minimal 2-3 kali seminggu atau bahkan setiap hari. Sedangkan dikatakan sedang kalau hanya satu kali seminggu, dan dikatakan rendah kalau sebatas hanya satu atau dua kali dalam sebulan, bahkan tidak pernah mengkonsumsi media massa sama sekali.

d. Pemanfaatan TI oleh responden diukur dengan indikator frekuensi dan lamanya pemanfaatan atau penggunaan berbagai fasilitas atau fitur pada ponsel, komputer, dan internet. Frekuensi pemanfaatan dinyatakan dengan skor 1 – 5 dengan rincian sebagai berikut : Skor 1 = responden tidak pernah menggunakan atau memanfaatkan ; Skor 2 = responden menggunakan 1 – 2 kali dalam sebulan ; Skor 3 = responden menggunakan 1 kali dalam seminggu ; Skor 4 = responden menggunakan 2 – 3 kali dalam seminggu ; Skor 5 = responden menggunakannya setiap hari. Sedangkan lamanya menggunakan dinyatakan dalam skor 1, 3, 5, dan 7. ; Skor 1 = responden menggunakan 1 - <3 jam ; Skor 3 = responden


(48)

menggunakan 3 - <5 jam ; Skor 5 = responden menggunakan 5 - < 7 jam ; Skor 7 = responden menggunakan 7 jam atau lebih

Skor pemanfaatan TI oleh responden merupakan hasil perkalian antara skor frekuensi dan skor lamanya penggunaan atau pemanfaatan TI. Variabel ini juga dikelompokkan menjadi 3 kategori yakni optimal, cukup optimal, dan tidak optimal. Pemanfaatan TI dikatakan optimal kalau responden menggunakan TI 2 – 3 kali dalam seminggu atau bahkan setiap hari selama minimal 5 jam setiap kali menggunakan. Sedangkan pemanfaatan dikategorikan cukup optimal jika responden menggunakan TI sebatas satu kali dalam seminggu selama 3 – 5 jam, dan termasuk kategori kurang optimal apabila responden tidak pernah menggunakan atau menggunakan sebulan sekali dalam waktu 1 sampai dengan 7 jam.

e. Variabel terakhir adalah tingkat modernitas responden. Indikator variabel ini adalah gaya hidup, sikap atau daya kritis, dan eksplisitasi nilai-nilai multikultural. Masing-masing indikator diungkap dengan menggunakan skala Likert atau Summated rating Scale yang terdiri atas lima skala 1 – 5. Tingkat modernitas responden dibedakan menjadi tiga golongan yakni modern rendah, modern sedang, dan modern tinggi.

Modern rendah adalah sikap dan perilaku yang mengedepankan kepemilikan atau penggunaan simbol-simbol modernitas yang berupa produk-produk masa kini tetapi sekedar ikut-ikutan, dengan kesadaran kritis serta pemahaman dan penghayatan nilai-nilai multikultural yang rendah (modern latah/tiruan).


(49)

Modern sedang merupakan sikap dan perilaku yang menerima dan menggunakan simbol-simbol modernitas secara adaptif, cukup kritis, disertai dengan sikap dan perilaku yang menerima atau cukup toleran terhadap keragaman (pluralitas/multikulturalitas) yang menggejala dalam masyarakat di sekitarnya (modern adaptif).

Kategori ketiga adalah modern tinggi yakni, sikap atau perilaku yang menerima atau menggunakan simbol-simbol modernitas secara selektif dengan kesadaran kritis yang tinggi, dan menerima serta menilai positif keragaman masyarakat yang ada di sekitarnya (modern kritis).

Tabel di bawah ini menunjukkan rangkuman nilai minimum, maksimum, rerata, dan standar deviasi yang dijadikan kriteria penentuan batas kategori masing-masing variable di atas.

Tabel 3.3. Rangkuman Statistika Deskriptif masing-masing Variabel

Variabel N Min Maks Mean Std.

Deviat Status Sosial Ekonomi 400 5 20 13.25 3.605 Penget. Tentang TI 400 7 24 16.89 3.333 Konsumsi Media Massa 400 7 21 14.96 3.096 Pemanfaatan TI 400 74 195 128.44 21.396 Tingkat Modernitas 400 130 208 160.67 14.039

Mengacu pada tabel di atas, maka didapatkan rentang skor untuk penggolongan status sosial ekonomi sebagai berikut, status sosial ekonomi atas jika responden memiliki skor sama dengan atau lebih besar daripada 16, menengah jika


(50)

responden memiliki skor antara 10 sampai dengan 15, dan bawah jika skor responden sama dengan atau lebih kecil daripada 9.

Kolom variabel pengetahuan tentang TI menunjukkan mean 16,89 (dibulatkan menjadi 17) dan standar deviasi sebesar 3,33 (dibulatkan menjadi 3), maka dapat ditetapkan kriteria sebagai berikut : Pengetahuan tentang TI responden disebut tinggi jika total perolehan skornya lebih tinggi atau sama dengan 20, disebut sedang atau cukup kalau perolehan skornya antara 14 – 19, dan disebut rendah atau kurang jikalau total skornya kurang daripada atau sama dengan 13.

Mean variabel konsumsi media massa sebesar 14,96 (dibulatkan menjadi 15) dan standar deviasi 3,096 (dibulatkan menjadi 3). Berangkat dari kriteria pengkategorian seperti pada penetapan kategori status sosial ekonomi responden maka frekuensi konsumsi media massa dikategorikan tinggi apabila perolehan skor lebih besar daripada atau sama dengan 18, cukup apabila responden memperoleh skor 12 – 17, dan dikategorikan rendah apabila perolehan skornya lebih rendah daripada atau sama dengan 11.

Dalam kolom variabel pemanfaatan TI nampak nilai mean atau rerata sebesar 128, 44 (dibulatkan menjadi 128) dan standar deviasi sebesar 21,39 (21) di atas, maka pemanfaatan TI dikatakan optimal jikalau perolehan skor responden lebih besar daripada atau sama dengan 149, dikatakan cukup optimal jikalau peroleh skor antara 107 – 148, sedangkan pemanfaatan TI disebut tidak optimal jikalau perolehan skornya lebih kecil daripada atau sama dengan 106.

Penggolongan tingkat modernitas merujuk pada nilai rerata sebesar 160,67 (dibulatkan menjadi 161) dan standar deviasi sebesar 14,039 (dibulatkan menjadi


(51)

14). Atas dasar nilai-nilai tersebut maka responden disebut modern rendah atau ikut-ikutan apabila perolehan skor sama dengan atau lebih rendah daripada 146, modern sedang apabila perolehan skornya antara 147 – 174, dan disebut modern tinggi apabila perolehan skornya sama dengan atau lebih tinggi daripada 175. 2. Uji Chi-Square dan Uji Kruskal-Wallis

Masih dalam konteks analisis deskriptif, analisis tabulasi frekuensi di atas perlu dilengkapi dengan tabulasi silang (crosstab) dengan uji Chi-Square dan uji Kruskal-Wallis untuk mengungkap perbedaan pemanfaatan TI dan tingkat modernitas berdasarkan karakteristik demografik responden. Uji Chi-square untuk mengungkap perbedaan pemanfaatan TI dan tingkat modernitas berdasarkan perbedaan gender dan daerah asal responden, sedangkan uji Kruskal-Wallis untuk menemukan perbedaan pemanfaatan TI dan tingkat modernitas berdasarkan usia responden.

3. Korelasi Pearson Product Moment

Analisis korelasi atau asosiasi biasanya dibahas bersama-sama dengan analisis regresi. Analisis korelasi dimaksudkan untuk mengetahui sifat dan keeratan hubungan antar variabel independen yakni X1, X2, X3, dan Y1, maupun antara X1, X2, X3 dengan Y2. Jikalau koefisien korelasi hubungan antar variabel independen tinggi atau dengan kata lain mempunyai korelasi yang cukup kuat, maka analisis dilanjutkan dengan uji multikolinieritas sebagai salah satu uji persyaratan analisis regresi.


(52)

4. Uji Hipotesis

Sebelum uji hipotesis, diuji terlebih dahulu persyaratan atau asumsi-asumsi klasik analisis regresi yang penting yakni, nonmulticollinierity, nonautocorrelation, dan nonheteroscedasticity dengan maksud untuk mendapatkan estimator garis regresi yang memiliki sifat BLUE (best linier unbiased estimation) (Gujarati 2004 : 341–348; Algifari, 2000 : 83). Ketiga hal ini dianggap penting karena penyimpangan terhadap persyaratan tersebut sangat berpengaruh terhadap pola perubahan variabel dependen (Y1 dan Y2).

a. Asumsi non multikolinieritas

Masalah multikolinieritas muncul jika terdapat hubungan yang sempurna atau pasti di antara beberapa variabel atau semua variabel independen dalam model. Pada kasus terdapat multikolinieritas serius, koefisien regresi tidak lagi menunjukkan pengaruh murni dari variabel independen. Ada beberapa metode untuk menguji keberadaan multikolinieritas (Rawling, 1988 : 277 ; Gujarati, 2004 : 346-347). Karena semua data diolah dengan program SPSS, maka metode yang digunakan di sini adalah mengetahui besaran koefisien Variance Inflation Factor (VIF), eigenvalue, dan condition index pada tabel collinierity diagnostic. Masalah multikolinieritas terjadi jika besaran VIF lebih besar daripada 5, eigenvalue mendekati angka 0, dan condition index melebihi 15, dan benar-benar menjadi masalah serius jika lebih besar daripada 30 (Santoso, 2000: 282-283). b. Asumsi nonautokorelasi

Autokorelasi terjadi apabila nilai variabel masa lalu memiliki pengaruh terhadap nilai variabel masa kini atau masa dating. Konsekuensi keberadaan


(1)

Frisby, D., (1981), Sosiological Impressionism : A Reassesment of Georg Simmel’s Social Theory, London: Heinemann

Gardner, Carol Brooks, (2009), “Gender and The Internet”, Dalam, O’Brien, J., (Ed), The Encyclopedia of Gender and Society, London : Sage

Gerke, S., (2000), “Global Lifestyles under Local Conditions: the New Indonesian Middle Class”, Dalam Beng-Huat.C., (Eds), Consumption in Asia: Lifestiles and Identities, London & New York: Routlede

Giddens, A., (1984), The Constitution of Society, Cambridge : Polity Press

__________, (1990), The Consequences of Modernity, California: Stanford University Press

Giroux , H., A., & McLaren, P., (1991), “Radical Pedagogy as Cultural Politics: Beyond the Discourse of Critique and Anti-Utopianism”, Dalam Morton, D., & Zavarzadeh, M.< (Eds), Theory, Pedagogy, Politics, Urbana : University of Illinois Press

Gorski, Paul C., (Tt)., “The Challenge of Defining a Single Multicultural Education, [Online], tersedia di, http://www.edchange.org/ multicultural/initial.html [24 Oktober 2008]

Gujarati N. D., (2004), Basic Econometrics, New York : McGraw-Hill

Habermas J., (1984), The Theory of Communicative Action Vol II, Boston: Beacon Press

__________, (1987), The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, Cambridge: Polity Press

Hardiman, B.,F., (1994), ”Ilmu-ilmu Sosial dalam Diskursus Modernisme dan Pasca-Modernisme”, Suplemen Jurnal Ulumul Qur’an, 28, (5), 1-15

_______________, (2004), Filsafat Modern- Dari Machiavelli sampai Niertzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Hebdige, Dick, (1988), Hiding in the Light: On Images ang Things, London: Routledge

Heilman, E.,E., (2006), ”Critical, Liberal, and Poststructural Challenges for Global Education”, Dalam, Segall, A. Heilman, E.E. & Cherryholmes, C. H. (Eds.), Social Studies - The Next Generation: Re-searching in the Postmodern , Peter Lang Pub


(2)

Hidayah, A., (2006), “Yang Muda yang Bergaya”, Majalah Tempo, (22 Oktober 2006) Holmes, M., 2009, Gender and Everyday Life, London: Routledge

Hutcheon, L., (2006), “Postmodernism”, dalam, Malpas, S., & Wake, P., (Eds), The Routledge Companion to Critical Theory, New York: Routledge

Ibrahim, I. S., (Ed), (2000), Perlawanan dalam Kepatuhan: Esai-esai Budaya Ariel Heryanto, Bandung : Mizan

_________________, (2004), Sirnanya Komunikasi Empatik: Krisis Budaya Komunikasi dalam Masyarakat Kontemporer, Bandung: Pustaka Bani Quraisy

_________________, (2007), Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra

Inkeles, A., & Smith, D., (1974), Becoming Modern : Individual Change in Six Developing Countries, Harvard : Harvard University Press

Irawan, H., (2007), Karakter dan Perilaku Khas Konsumen Indonesia, [Online], tersedia di http://www.handiirawan.com/articles/archives/

2007/05/31/karakter_dan_perilaku_khas_konsumen_indonesia [26 Februari 2010] Iskandar, G. H., (2006), ”Fuck You! We’re From Bandung”, Dalam, Adlin, A.,

(Ed), Resistensi Gaya Hidup : Teori dan Realitas, Bandung & Yogyakarta : Jalasutra

Johnson, E. B., (2002), Contextual Teaching and Learning : What It is and Why It’s Here to Stay, Thousand Oaks, California : Corwin Press, Inc.

Joiner, R., et al., (2005), The Relationship Between Internet Identification, Internet Anxiety and Internet Use, [Online], tersedia di,

http://www.sciencedirect.com, (8 Mei 2010)

Katz, E. and Rice, R. E., (2002), Social Consequences of Internet Use: Access, Involvement, and Interaction, Massachusetts: The MIT Press

Katz, J., E., (2003), A Nation of Ghosts? Choreography of Mobile Communication in Public Spaces, Dalam, Nyiri, K., (Ed.), Mobile Democracy: Essays on Society, Self and Politics, London : Sage

Kellner, D., (1989), Critical Theory, Marxism, and Modernity, Baltimore : John Hopkins University Press


(3)

Lacey, A., R., (1990), A Dictionary of Philosophy, London : Routledge & Kegan Paul

Listyarti, R., (2008) “Metode Alternatif : Upaya Menerobos Kemandekan”, Majalah BASIS, 07-08 (55), 28-34

Lukmantoro, T., (2007), “Rating Televisi: Komodifikasi Estetika dan Standarisasi Selera”, Dalam, Sasangka, D., et al., (2007), Diskursus Relasi Masyarakat, Bisnis, dan Media, Yogyakarta: FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta Lyotard, J.F., (1984), “The Postmodern Condition: A Report of Knowledge” ,

Minneapolis: University of Minnesota Press

__________, (1993), The Postmodern Explained, Minneapolis: University of Minnesota Press

Malik, K., (2002), Against Multiculturalism, [Online], tersedia di Error!

Hyperlink reference not valid. (23 Maret 2008)

Marcuse, H., 1964, One-Dimensional Man, Boston : Beacon Press

McLuhan, M., (1964), Understanding Media: The Extensions of Man,London: Routledge & Kegan Paul

Noviani, R., (2007), “Matikan TV-mu : Agama vs Media?”, Jurnal Maarif , [Online], 2, (5), 2007, Jakarta: Maarif Institute for Culture and Humanity, tersedia di

http://www.scribd.com/doc/12394673/Jurnal-Maarif-Institute-Nov-2007

Nuryatno, A., (2008), Mazhab Pendidikan Kritis : Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan, Yogyakarta : Resist Book

Pakulski, J., (2006), “Social Stratification”, dalam Turner, B. S., The Cambridge Dictionary of Sociology, Cambridge : Cambridge University Press

Parekh, B., (2000), Rethinking Multiculturalism : Cultural Diversity and Political Theory, Cambridge, Massachuset :Harvard University Press

Perbawaningsih, Y., (2003), “Profil Budaya Teknologi Akademisi”, Jurnal ISIP 2 (13) 2003, 4-17, Yogyakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Petrozza, J., (Tt)., Critical Multicultural Education and the Media, [Online], tersedia di http://www.edchange.org/multicultural/papers/ media.html, [24 Oktober 2008] Piliang, Y. A., (1998), Sebuah Dunia yang Dilipat : Realitas Kebudayaan

Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme, Bandung : Mizan


(4)

________________, (2006), ”Imagologi dan Gaya Hidup : Membingkai Tanda dan Dunia”, Dalam, Adlin, A., (Ed), Resistensi Gaya Hidup : Teori dan Realitas, Bandung & Yogyakarta : Jalasutra

Poole, R., (1993), Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-bayang Nihilisme, Yogyakarta : Kanisius

Pritchard, A., & Woollard, J., (2010), Psychology for the Classroom: Constructivism and Social Learning, London & New York : Routledge

Putranto, Hendar, (Tt.), “Politik Budaya; Menguak Jejaring Industri Makanan Cepat Saji dan Citra Pariwara dalam Media Massa”, dalam Sutrisno, Mudji, et.al., (Eds), Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan, Depok : Koekoesan.

Rawlings, J. O., 1988, Applied Regression Analysis : A Research Tool, California : Wadswoorth & Brooks/Cole

Rex, J., (1995), “Ethnic Identity and the Nation State : The Political Sociology of

Multicultural Society”, Dalam William O. & Bottomore, T., The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thought, Oxford : Basic Blackwell

Rietveld dan Sunaryanto, L.T., (1994), 87 Masalah Pokok dalam Regresi Berganda, Yogyakarta : Andi Offset

Ritzer, G., (2003), Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta : Juxtapose dan Kreasi Wacana Rivers, W. L., Jay. W.J., dan Peterson, Th, (2004), Media Massa dan Masyarakat

Modern, Jakarta : Prenada

Rogers, M., (1996), “Introduction”, dalam, Marry R., (Ed), Multicultural Experiences, Multicultural Theories, New York : McGraw-Hill

Rosenau, P., M., (1992), Post-Modernism and the Sosial Science: Insights, Inroads, and Intrusions, Princeton: Princeton University Press

Santoso, S., (2000), SPSS: Mengolah Data Statistik Secara Profesional, Jakarta: Elex Media Komputindo

Sastrapratedja, M., (2001), Pendidikan sebagai Humanisasi, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma

Segall, A. Heilman, E.E. & Cherryholmes, C. H. (Eds.), (2006), Social Studies - The Next Generation: Re-searching in the Postmodern , Peter Lang Pub Sindhunata, (1982), Dilema Usaha Manusia Rasional : Kritik Masyarakat

Modern Oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta, Gramedia


(5)

Smoak, N., “Androginy”, Dalam, O’Brien, J.,, (Ed), (2009), The Encyclopedia of Gender and Society, London : Sage

Straubharr, J., and LaRose, R., (2002), Media Now : Communication Media in the Information Age, Belmont: Wardsworth/Thomson Learning

Sugiharto, B., (1996), Postmodernisme : Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta : Kanisius Suseno, F.,M. (1992a), Filsafat Kebudayaan Politik : Butir-butir Pemikiran Kritis,

Jakarta : Gramedia

___________, 1992b, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius

Sutadi, H., 2009, Jejaring Sosial=Pilar Kelima Demokrasi?, [Online], tersedia di,

http://hsutadi.blogspot.com/2009/12/jejaring-sosial-pilar-kelima-demokrasi.html (19 Juni 2010)

Suwignya, A., (2003), “Graduate Qualifications: Advertised, Perceived, Aplied : A Perspective of Indonesian Employers”, Jurnal Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma (LPUSD), 12, (2), 7-23

Suyanto, (2005), Tantangan Pendidikan IPS dalam Era Global, makalah pada Seminar Program Studi PIPS PPS UPI

Sztompka, P., (2004), Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada

Tapscott, D., (2009), Grown Up Digital : How the Net Generation is Changing Your World, New York : McGraw-Hill

Tn, (2010), ”Pengguna Internet Indonesia Meningkat Tajam”, Koran Tempo (10 Januari 2010)

Turow, J., (2009), Media Today: an Introduction to Mass Cammunication, London & New York : Routledge

Turner, B. S., (1992), Max Weber: From History to Modernity, London & New York : Routledge

Walker.T, (2006), “Adventure in Metropolis : Populer Culture in Social Studies”, dalam, Segall, A. Heilman, E.E. & Cherryholmes, C. H. (Eds.), Social Studies - The Next Generation: Re-searching in the Postmodern , Peter Lang Pub

Wibowo, K. A, S., ”Metroseksual: Sebuah Situs Resistensi”, Dalam Adlin A., (Ed), (2006), Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra


(6)

Wiryohandoyo, S. 1994, Pendidikan Ilmu Sosial, makalah pada Seminar PIPS, Semarang, FPIPS IKIP Semarang

Wyn, J. & White, R., (1997), Rethinking Youth, New South Wales : Allen & Unwin Pty.