Trauma Pada Tingkap Lonjong Akibat Ekstraksi Benda Asing Di Liang Telinga.

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakult as Kedokt eran Universit as Andalas
Padang

Tr auma Pada Tingkap Lonjong Akibat Ekstr aksi
Benda Asing Di Liang Telinga
Yan Edward, Hidayatul Fitr ia
Bagian Telinga Hidung Tenggor ok Bedah Kepala Leher
Fakult as Kedokt er an Univer sit as Andalas
Padang

Abstr ak
Benda asing di telinga mer upakan masalah yang banyak ditemukan. Keber hasilan dalam mengangkat benda asing
ter gantung pada banyak hal diantar anya kemampuan dokter , jenis benda asing, manipulasi sebelumnya, keter lihatan dan
kedalaman benda asing ser ta keter sediaan alat. Tr auma iatr ogenik dalam ekstraksi benda asing di telinga dapat ber upa
laser asi liang telinga, trauma tulang-tulang pendengar an dan ker usakan telinga dalam seper ti fistula perilimfe. Dilapor kan
satu kasus seorang per empuan umur 14 tahun dengan benda asing (kepala jar um pentul) di kavum timpani dengan trauma
iatr ogenik aur is dekstr a suspek fistula per ilimfe dan dislokasi tulang-tulang pendengaran.
Kata kunci : benda asing (kepala jar um pentul), trauma iatr ogenik, fistula perilimfe dan dislokasi tulang-tulang pendengaran

Abstract

For eign body is t he most common case t hat found in ot olar yngology.The succesfull r emoval for eign body depend on
exper ience of physician, a kind of for eign body, pr evious manipulat ion, impact ion of for eign body and available of inst r uments.
Iat r ogenic t r auma on ext r act ion for eign body can be ear canal laser at ion, dislocat ion of ossicle and inner ear demaged such as
per ilymph fist ula. For eign body in t he t ympanic cavit y (head of pin) wit h iat r ogenic t r auma of inner ear suspect ed per ilymph
fist ula and ossicle dislocat ion on female 14 year s old was r epor t ed
Key wor ds : for eign body (head of pin), iat r ogenic t r auma, per ilymph fist ula and ossicle dislocat ion

Korespondensi: dr . Hidayatul Fitria:[email protected]

PENDAHULUAN
Trauma pada struktur telinga tengah dapat
ter jadi kar ena trauma langsung pada liang telinga.
Trauma dapat berupa per forasi membran timpani atau
ker usakan
tulang-tulang
pendengaran.
Per forasi
membran timpani kar ena trauma biasanya bisa diobati
dengan konservatif dan pendekatan non bedah kar ena
tingginya penyembuhan luka di daerah ter sebut. Namun

bila ter dapat tuli konduktif, ver tigo yang ter us-mener us,
tuli sensorineural, atau diduga adanya ker usakan tulangtulang pendengaran atau ada kemungkinan ter jadi fistula
perilimfe, maka pembedahan mer upakan tindakan segera
yang harus diambil untuk melindungi telinga dalam dar i
degenerasi labirin membran yang irever sibel. Ker usakan
telinga dalam mer upakan kasus yang jarang ter jadi tapi
dapat menyebabkan ketulian permanen pada pasien
walaupun dengan pengobatan yang adekuat.1
Benda asing di telinga har us dikeluar kan.
Keber hasilan dalam mengangkat benda asing ter gantung
pada ker jasama pasien, kemampuan dokter , jenis benda
asing, manipulasi sebelumnya, keter lihatan dan
kedalaman benda asing serta keter sediaan alat.2
Benda asing berbentuk bulat tidak dapat
diangkat dengan for sep. Metode ini menimbulkan rasa
nyeri dan dapat mangakibatkan laser asi di liang telinga
dan benda asing masuk lebih dalam sehingga
membutuhkan bius umum untuk mengangkatnya. 3,4
Teknik ir igasi dapat dilakukan untuk benda
yang kecil dan dekat dengan membr an timpani.3,4


Pada trauma telinga ter jadinya fraktur tulangtulang pendengaran ter dapat pada 30% dari pasienpasien dengan r uptur membran timpani.5 Fraktur stapes
dilapor kan kir a-kira sepertiga dari tr auma tulang-tulang
pendengar an.1 Hakuba6 melapor kan 22 (16 laki-laki, 6
perempuan) kasus trauma tulang-tulang pendengaran
dari tahun 1998 sampai 2008 di Osaka Red Cr oss
Hospital Jepang dengan r ata-rata umur 30,3 tahun dan
didapatkan 1 kasus (4,5%) karena iatr ogenik. Sementara
itu di RSUP M. Djamil kasus trauma tingkap lonjong dan
ker usakan tulang-tulang pendengar an karena tr auma
iatr ogenik pada ekstraksi benda asing di telinga dar i
sampai Mei 2010 belum per nah dilapor kan.
Fistula perilimfe mer upakan hubungan yang
abnormal antara cair an telinga dalam dengan r uang
telinga tengah.7,8,9 Tr auma pada membran tingkap
lonjong, tingkap bundar atau keduanya menghasilkan
kebocor an cairan perilimfe disusul dengan gejala-gejala
koklea dan vestibuler seper ti tinnitus, dizziness atau
vertigo. Tidak ada kesepakatan teknik diagnostik untuk
fistula per ilimfe ini.7 Gejala gangguan vestibuler dengan

r iwayat trauma sebelumnya dapat digunakan sebagai
diagnosis fistula per ilimfe.7,10 Fistula labir in dapat ter jadi
tanpa gejala meskipun fistula itu sendiri telah ter jadi.11,12
Suzuki 1 dkk dikutip oleh Ishida dkk
merekomendasikan eksplorasi seger a kavum timpani bila
ada kemungkian ker usakan telinga dalam untuk menilai
adanya kebocoran labirin.

1

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakult as Kedokt eran Universit as Andalas
Padang

LAPORAN KASUS
Seor ang pasien wanita umur 14 tahun masuk
IGD RSUP M Jamil tanggal 6 Mei 2010 dengan MR
691754 dengan keluhan kemasukan kepala jar um pentul
ke telinga kanan sejak 6 hari sebelum masuk r umah sakit.
Sebelumnya pasien mencongkel telinga kanannya dengan

jarum pentul, tiba-tiba kepala jarum pentul lepas dan
ter tinggal di telinganya. Saat itu nyeri pada telinga tidak
ada, keluar darah dari telinga tidak ada. Pasien datang
ber obat ke dokter spesialis THT-KL dan dicoba
dikeluar kan tapi tidak ber hasil. Tiga har i kemudian
spesialis THT-KL menyarankan mengeluar kan benda
asing dengan cara oper asi dan tidak berhasil. Setelah
menjalani oper asi pasien mengalami pusing ber putar
diser tai mual-muntah, nyer i di telinga dan pendengaran
ber kur ang pada telinga kanan. Riwayat telinga berair
sebelumnya tidak ada, demam tidak ada. Pasien dir ujuk
ke RSUP M Jamil.
Pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit
ber at (hanya dapat berbar ing), kesadaran komposmentis
kooperatif, suhu tidak demam.
Status lokalis THT auris dekstra ter dapat nyer i
tekan tragus, nyeri tar ik heliks, liang telinga edema,
ter dapat clot t ing, membr an timpani sukar dinilai. Tes
fistula didapatkan pusing ber putar semakin meningkat.
Auris sinistra liang telinga lapang, membran timpani

utuh, didapatkan reflek cahaya normal. Pemer iksaan
hidung dan tenggor ok dalam batas normal. Pemer iksaan
tes penala 512 Hz didapatkan tes Rinne ADS negatif,
Weber lateralisasi ke kanan dan Swabach telinga kanan
memanjang dan telinga kiri sama dengan pemeriksa.
Pemeriksaan audiometri tidak dilakukan kar ena kondisi
pasien tidak memungkinkan. Pemeriksaan keseimbangan
seder hana sukar dilakukan. Diagnosis saat itu benda
asing (kepala jarum pentul) di telinga kanan dan tr auma
iatr ogenik aurikula dekstra suspek per ilimfe fistula dan
dislokasi tulang-tulang pendengaran. Direncanakan
eksplorasi dan ekstraksi benda asing di dalam bius
umum. Pemeriksaan laboratorium dar ah hemoglobin
13,3g%, leukosit 10.600/ mm, hematokr it 40%, PT/ APTT
11,4ā€/ 29,7ā€. Pemeriksaan tomogr afi komputer mastoid
didapatkan kesan adanya benda asing di kavum timpani
dekstra tidak jelas, tidak tampak tanda-tanda tr auma
osikel dan fistula perilimfe.
Terapi yang diber ikan saat itu adalah suntikan
seftriakson 2x1 gram, tr amadol 2x100 mg dalam r inger

laktat drip, suntikan metilkobalt 2x1 ampul, tetes telinga
ofloksasin 2x5 tetes pada telinga kanan, suntikan
deksametason 3x5 mg, betahistin mesilat 2x6 mg
Pada tanggal 7 Mei 2010 dilakukan eksplorasi
dan timpani-ossikuloplasti dalam nar kose umum. Operasi
dimulai dengan pasien tidur ter lentang di meja operasi
dalam nar kose umum dengan kepala menghadap ke kiri.
Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis di lapangan
operasi dan dipasang duk steril. Dilakukan evaluasi
telinga dekstra dengan mikroskop, clot t ing diangkat,
tampak membran timpani ruptur sub total selanjutnya
ter lihat benda asing bulat, war na kekuningan di kavum
timpani. Dir encanakan pengangkatan benda asing
melalui retr oaurikuler. Dibuat penandaan pada 2 mm
dari sulkus retr oaurikuler dekstra dan dilakukan
infiltr asi pada daerah penandaan dengan menggunakan
pehakain dan silokain dengan per bandingan 2:1.
Dilakukan insisi pada daer ah penandaan, tegak lur us
ter hadap kulit dan tangensial ter hadap liang telinga


dengan menggunakan mata pisau no 15 sampai ter lihat
fasia muskulus temporalis. Dipasang retr aktor. Diambil
fasia muskulus temporalis pr ofunda sebagai gr aft.
Selanjutnya, secara tumpul kulit liang telinga
dilepaskan dar i dinding tulang ke anter ior , dilanjutkan
dengan insisi melingkar pada kulit liang telinga bagian
poster ior untuk memapar kan liang telinga dari arah
poster ior . Tampak kulit liang telinga r obek dan ter lihat
hemotimpanum. Daer ah sekitar nya dibebaskan. Benda
asing
tidak langsung diangkat. Setelah jaringan
sekitar nya dibebaskan tampak cairan bening sekitar
benda asing. Kemudian benda asing diangkat, tampak
clot t ing, lalu diangkat.
Selanjutnya eksplorasi diteruskan tampak
inkudost apedial junct ion lepas. Inkus ter pisah dan
pr osesus lentikular is inkus patah. Tampak cairan bening
keluar dari tinkap lonjong. Kr ura anterior stapes patah.
Stapes diangkat. Cairan perilimfe diker ingkan dengan
spongostan. Tingkap lonjong r obek. Diletakkan inkus

diatas tingkap lonjong. Sebelum inkus dipasang, pr osesus
brevis inkus dibor. Stapes tidak bisa digunakan lagi
kar ena inkudost apedial junct ion sudah putus sehingga
fungsi penggetar sudah tidak ada lagi dan muskulus
stapedius juga tidak ada. Diambil kulit retr oaur ikuler
dilakukan ossikuloplasti. Inkus dipasang transposisi,
dipasang spongostan. Dipasang gr aft secar a under lay
untuk memperbaiki membran timpani yang perfor asi,
difiksasi dengan spongostan. Dipasang tampon sofr atul.
Luka insisi dijahit lapis demi lapis. Dipasang ver ban
tekan. Operasi selesai.
Pasien dirawat, dan diberi terapi seftriakson 2x1
gram, tramadol 2x100 mg dalam r inger laktat drip,
suntikan deksametason 3x5 mg, ondansentr on 3x1
ampul, dimenhidr inat 2x1 tablet.

Gambar 1. Benda asing ( kepala jarum pentul) yang
telah ber hasil dikeluar kan
Hari pertama pasca operasi demam tidak ada,
pusing ber putar ber kur ang, tidak ada gangguan

pengecapan. Pada pemeriksaan fisik keadaan umum baik,
kesadaran komposmentis kooperatif, tidak ditemukan
tanda-tanda pendarahan, tidak ter lihat kelumpuhan pada
wajah. Hari ketiga operasi tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi dar i luka operasi. Obat-obat injeksi dihentikan
kecuali seftr iakson injeksi 2x1 gr dilanjutkan.
Dimenhydrinat 2x1 tablet dihentikan, dilanjutkan dengan
betahistin mesilat tablet 2x6 mg dan pseudoefedrin HCl
120 mg dan lor atadin 5 mg 2x1 kapsul.
Pada hari kelima jahitan di belakang telinga dicabut,
luka operasi ker ing dan tidak ada pus ser ta tanda r adang.
Tampon dalam dipertahankan. Pasien dipulangkan dan
diberi terapi
sefiksim 2x100mg,
dekongestan
psudoefedrin 120 mg dan loratadin 5 mg 2x1 kapsul.

2

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)

Fakult as Kedokt eran Universit as Andalas
Padang

Pada tanggal 21 Mei 2010 pasien datang kontr ol,
keluhan pusing ber putar masih ada. Batuk dan pilek juga
tidak ditemukan. Tidak ada gangguan pengecapan.
Dilakukan pengankatan tampon dalam, tampak graft
tumbuh, tidak ada sekr et. Telinga kir i liang telinga
lapang, membran timpani utuh reflek cahaya positif.
Pemeriksaan penala 512 Hz menunjukan Rinne ADS
negatif, Weber lateralisasi ke kanan, Schwabach ADS
sesuai pemeriksa. Kesan yang didapat adalah tuli
konduktif telinga kanan. Pemeriksaan tes keseimbangan
seder hana dalam batas normal. Pada saat itu pasien
diberi ter api sefiksim syr up 2x100 mg, dekongestan
psudoefedrin 120 mg dan loratadin 5 mg 2x1 kapsul,
ofloksasin tetes telinga 2x5 tetes sehar i ser ta betahistin
mesilat 2x6 mg.
Pada tanggal 4 Juni 2010 pasien datang kontr ol,
keluhan pusing ber putar masih ada tapi pasien dapat
melakukan aktifitas sehari-hari, tidak ada keluar cairan
dari telinga. Batuk dan pilek juga tidak ditemukan. Tidak
ada gangguan pengecapan. Pemeriksaan fisik telinga
kanan lapang, gr aft tumbuh baik, epitelisasi sempur na,
sekret tidak ada. Telinga kir i liang telinga lapang,
membran timpani
utuh r eflek
cahaya positif.
Pemeriksaan penala 512 Hz menunjukan Rinne ADS
positif, Weber lateralisasi ke kanan, Schwabach ADS
sesuai pemer iksa. Kesan yang didapat adalah gangguan
konduktif telinga kanan. Pemeriksaan tes keseimbangan
seder hana dalam batas normal. Pada saat itu pasien
diberi terapi ofloksasin tetes telinga 2x5 tetes sehari dan
betahistin mesilat 2x6mg.
Pada tanggal 21 Juni 2010 pasien datang kontr ol
keluhan pusing berputar tidak ada, tidak ada keluar
cairan dar i telinga. Batuk dan pilek juga tidak ditemukan.
Pemeriksaan fisik telinga kanan lapang, gr aft tumbuh
baik, epitelisasi sempur na, sekret tidak ada. Telinga kir i
liang telinga lapang, membran timpani utuh reflek cahaya
positif. Pemeriksaan penala 512 Hz menunjukan Rinne
ADS positif, Weber lateralisasi ke kanan, Schwabach ADS
sesuai pemer iksa. Kesan yang didapat adalah gangguan
konduktif telinga kanan. Pemeriksaan tes keseimbangan
seder hana dalam batas normal dan manuver Dix-Hallpike
tidak
ditemukan pusing ber putar . Pemer iksaan
audiometri didapatkan hasil tuli konduktif derajat ringan
dengan ambang dengar 27,5 dB pada telinga kanan dan
telinga kir i didapatkan hasil normal dengan ambang
dengar 11,25 dB.

Gambar 2. Audiogr am tanggal 21 Juni 2010
Pada tanggal 4 Febr uar i 2011 pasien datang
kontr ol. Pasien mengeluh pusing berputar ketika tidur
ber baring kearah kanan dan tidak ada keluhan
pendengar an. Pada pemeriksaan fisik telinga kanan
lapang, gr aft tumbuh baik, sekret tidak ada. Liang telinga
kiri lapang, membran timpani utuh r eflek cahaya positif.
Pemeriksaan penala 512 Hz dan pemer iksaan tes
keseimbangan seder hana dalam batas normal. Pada
pemer iksaan manuver Dix- Hallpike didapatkan kesan
BPPV ( Benign Par oxysmal Pot it ional Ver t igo) kanalis
poster ior kanan. Pasien diberi ter api dengan CRT
( Canalit h Reposit ioning Tr eat ment ). Setelah dilakukan
CRT pusing ber putar terasa lebih ringan dari sebelumnya.
Pasien disarankan untuk tidur mir ing ke sisi kiri dengan
kepala ditinggikan 30 0.
Hasil audiometri didapatkan normal dengan
ambang dengar telinga kanan 21,25 dB dan telinga kir i
8,75 dB.

3

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakult as Kedokt eran Universit as Andalas
Padang

Gambar 3. Audiogr am tanggal 4 Febr uar i 2011
DISKUSI
Telah dilapor kan satu kasus pasien seorang
wanita berusia 14 tahun dengan diagnosis benda asing
(kepala jar um pentul) di telinga kanan dan tr auma
iatr ogenik dengan kecurigaan fistula per ilimfe dan
tr auma tulang-tulang pendengaran.
Benda asing di
telinga merupakan masalah yang banyak ditemukan.13
Berbeda dengan yang dilaporkan Ngo14 bahwa
benda asing di telinga lebih banyak ter jadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 2:1, dengan
usia terbanyak antara 4-8 tahun. Sementara pada kasus
ini pasien ber umur 14 tahun. Berdasarkan lokasi benda
asing di telinga, Ribeiro melaporkan inser si benda asing
lebih banyak ter jadi di telinga kanan dibanding telinga
kiri.2 Pada kasus ini benda asing ber ada pada telinga
kanan.
Keber hasilan dalam mengangkat benda asing
ter gantung pada ker jasama pasien, kemampuan dokter ,
jenis benda asing, manipulasi sebelumnya, keter lihatan
dan kedalaman benda asing ser ta keter sediaan alat.1
Ker jasama pasien sangat diper lukan dalam
mengangakat benda asing di telinga. Pasien dewasa yang
tidak koperatif dan anak-anak yang masih kecil prosedur
pengangkatan benda asing sebaiknya dilakukan dalan
bius umum. Benda asing ber bentuk padat diangkat
dengan menggunakan hook tumpul. Tekniknya dengan
menyusupkan hook ke bagian superior benda asing
sampai melewatinya kemudian ditarik keluar . Benda
asing yang berasal dar i sayuran dapat dikeluar kan
dengan memakai teknik ir igasi. Apabila teknik irigasi
gagal suct ion dapat digunakan. Benda asing ter buat dar i
besi dikeluar kan dengan menempatkan elektr omagnet
pada liang telinga. Namun teknik ini tidak lazim
dilakukan dalam praktek sehar i-hari.13 Benda asing
ber bentuk bulat tidak dapat diangkat dengan for sep.
Metode ini menimbulkan rasa nyer i dan dapat
mangakibatkan laser asi di
liang telinga ser ta
menyebabkan benda asing tertanam lebih dalam. Teknik
irigasi dapat dilakukan untuk benda yang kecil dan dekat
dengan membran timpani.3,4
Banyak faktor yang mempengaruhi ter jadinya
komplikasi seper ti kemampuan mengeluar kan benda
asing, pengalaman, keter sediaan alat dan keadaan benda
asing. Rata-rata 11% kasus gawat dar ur at THT adalah
benda asing dengan angka komplikasi 22%. Komplikasi
yang ter jadi dapat ringan atau ber at seperti per forasi

membran timpani. Sedangkan ker usakan telinga dalam
mer upakan kasus yang jarang ter jadi.1
Figueiredo15 melapor kan 753 kasus benda asing
di telinga, 98 kasus dengan komplikasi iatr ogenik di
Souza Aguiar Hospital Brazil pada tahun 1992-2000.
Penanganan yang tidak tepat akan dapat
menimbulkan pendar ahan, trauma pada liang telinga,
tr auma pada membr an timpani dan tulang-tulang
pendengar an. Hal ini akan menambah angka kesakitan
pada pasien, sehingga akan memer lukan tindakan
eksplorasi dalam bius umum untuk mengangkat benda
asing ter sebut.14 Marques seper ti dikutip Figueiredo
menyatakan kurangnya pengalaman dalam manajemen
benda asing di telinga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan ter jadinya komplikasi iatr ogenik.16 Pada
pasien ini tindakan per tama mengeluarkan benda asing
dilakukan tanpa bius, ter nyata gagal. Pada tindakan
kedua dilakukan dalam bius umum. Setelah itu pasien
mengalami pusing ber putar dan nyer i pada telinga.
Trauma telinga tengah biasanya menimbulkan
tuli konduktif. Perfor asi membr an timpani, hemotimpani
dan ker usakan tulang-tulang pendengaran mer upakan
penyebab ter banyak tuli konduktif pada trauma telinga
tengah. Sembilan puluh per sen perfor asi membran
timpani dapat menutup secara spontan. Miringoplasti
dilakukan apabila penutupan spontan tidak ter jadi dalam
3 bulan. Pembedahan dilakukan bila ter dapat ker usakan
yang serius di telinga, benda asing di telinga dalam atau
ada gejala ker usakan di telinga tengah.12
Perforasi membran timpani tanpa kelainan di
telinga tengah akan menyebabkan dua efek ber beda pada
pendengar an. Per tama adalah pengurangan luas
membran timpani yang mer upakan pusat pengerahan
tenaga ke telinga tengah sehingga mengurangi gerakan
tulang pendengaran. Makin besar perforasi makin
ber kur ang permukaan membran sebagai pengumpul
tenaga suara, akhirnya suar a hanya ditampung di
kuadran posterior sisa membran timpani tempat tulangtulang pendengaran atau sisa tulang-tulang pendengaran
ber ada. Efek kedua terhadap pendengaran oleh per forasi
adalah akibat ener gi suar a yang lansung ke tingkap bulat
tanpa dihambat oleh membran timpani. Efek itu akan
semakin besar sebanding dengan besar nya perforasi.17
Istilah timpanoplasti per tama kali dikenalkan
oleh Wullstein 1953 untuk menggambar kan teknik
pembedahan untuk rekonstr uksi telinga tengah yang
r usak karena penyakit kr onik pada telinga. Pada tahun
1965 Amer ican Academy of Opht almology and
Ot olar yngology Subcommit ee on Conser vat ion of Hear ing
menyatakan timpanoplasti merupakan pr osedur untuk
meer adikasi penyakit telinga tengah dan merekonstr uksi
mekanisme pendengar an dengan atau tanpa memasang
gr aft pada membr an timpani.19 Perforasi membran
timpani yang luas ditutup dengan menggunakan fasia
atau per ikondrium. Fasia yang ser ing digunakan adalah
fasia muskulus temporalis.19 Pada umumnya per forasi
membran timpani ditutup dengan menggunakan teknik
under lay atau over lay ter gantung pada ukuran dan lokasi
perfor asi.
Pada
teknik
under lay,
gr aft
ditempatkan medial dar i sisa membran timpani dan
lateral dar i manubr ium maleus. Hough dikutip dar i
Monshel melapor kan under lay teknik pada 208 kasus.
Perforasi menutup lebih dari 99% kasus dengan
perbaikan air bone gap 81% sampai mencapai ambang
dengar 10 dB. Penyebab per forasi dan patologi telinga
tengah tidak mempengar uhi hasil.20

4

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakult as Kedokt eran Universit as Andalas
Padang

Glasscock dikutip dari Monshel melaporkan 180
telinga dengan teknik under lay dan 57 telinga dengan
teknik over lay. Angka keber hasilan pada teknik under lay
96% dan teknik over lay 91%.20
Rizer dikutip Monshell menjelaskan dar i 551
pr osedur dengan teknik under lay dan 158 telinga dengan
teknik over lay. Rizer menyimpulkan angka kesuksesan
dengan teknik over lay 95,6% dan teknik under lay 88,8%.
Pada pasien ini pemasangan gr aft dilakukan dengan
teknik under lay.20
Membran timpani normal memiliki struktur
yang ter dir i dari epitel gepeng pada permukaan lateral,
epitel torak pada permukaan medial dan dua jaringan
ikat yang ter susun secar a radial dan longitudinal diantara
dua lapisan epitel. Lapisan jaringan ikat mempunyai
elemen vaskuler . Suksesnya perbaikan fungsi membran
timpani tergantung pada r ekonstitusi lapisan epitel dan
cukupnya lapisan jaringan ikat sebagai penunjang. Bila
membran timpani menutup secar a spontan tanpa gr aft ,
perfor asi ditutup oleh lapisan epitel sebelum jaringan
ikat tumbuh. Jaringan ikat mungkin tipis atau bahkan
tidak ada sama sekali. Akibatnya membran timpani
dengan kondisi seper ti ini akan memiliki daya r egang
yang rendah, dan mudah ter jadi per forasi kembali.
Selama pr oses penyembuhan, fasia sebagai jembatan
untuk ter jadinya epitelisasi.20
Penggunaan fasia tempor alis mer upakan
material yang paling banyak digunakan. Fasia temporalis
memiliki keuntungan karena cepat per tumbuhannya,
tepat dipakai sebagai penutup per forasi membran
timpani dan diper oleh pada lapangan oper asi yang sama
ser ta daerah insisi untuk mendapatkannya mer upakan
akses untuk masuk ke telinga .20
Pengambilan gr aft dilakukan pada awal
pr osedur oper asi karena dengan demikian ada waktu
untuk gr aft mengering. Pada kasus ini pengambilan gr aft
dilakukan pada tahap awal pr osedur oper asi.
Fasia yang lebih baik diambil adalah fasia
tempor alis pr ofunda dibanding dengan fasia temporalis
super fisialis.20 Pada pasien ini fasia temporalis yang
digunakan adalah fasia temporalis pr ofunda.
Monshel
melapor kan
setelah
operasi
pemasangan gr aft selesai, diber ikan analgetik dan
antibiotik. Telinga dijaga tetap kering sampai pr oses
penyembuhan ter jadi biasanya setelah 4-8 minggu
ter gantung besarnya perforasi. Antibiotik tetes telinga
diberikan tiga kali sehar i sampai ter jadinya pr oses
penyembuhan.20 Pada pasien ini diberikan obat tetes
telinga dua kali sehar i sampai gr aft tumbuh dengan baik.
Trauma tulang-tulang pendengaran disebabkan
oleh komplikasi iatr ogenik jarang ter jadi. Pada pasien ini
ceder a tulang-tulang pendengaran disebabkan tr auma
iatr ogenik pada ekstraksi benda asing di liang telinga.
Tuli konduktif yang disebabkan oleh cedera
tulang-tulang pendengar an mengalami per baikan setelah
operasi rekonstruksi walaupun operasi ter sebut
dilakukan jauh setelah trauma.6 Pada pasien ini sebelum
operasi, tes gar putala 512 Hz menunjukan hasil tuli
konduktif dan setelah satu setengah bulan operasi
didapatkan kesan gangguan konduktif. Setelah sembilan
bulan didapatkan hasil normal.
Sedangkan hasil
audiometri tidak dapat kita bandingkan, karena hasil
audiometri sebelum oper asi tidak didapatkan kar ena
kondisi pasien yang tidak memungkinkan. Namun bila
dilihat dar i temuan operasi dengan fraktur pr osesus
lentikularis inkus dan fr aktur kr ura anterior stapes

diper kir akan ambang dengar mencapai 60 dB. Setelah
satu setengah bulan didapatkan hasil audiometr i tuli
konduktif ringan dengan ambang dengar 27,5 dB dan
sembilan bulan didapatkan ambang dengar 21,25 dB.
Hakuba6 melapor kan trauma tulang-tulang
pendengar an yang ter banyak lepasnya inkus dan
incudoost apedial junct ion sebanyak 15 kasus (68,2%),
diikuti oleh dislokasi maleus 14 kasus ( 63,6%) dan
dilokasi inkus 12 kasus ( 54,5%). Sesuai dengan yang
dilapor kan Hakuba pada kasus ini didapatkan lepasnya
incudost apedial junct ion. Bagian inkus yang sering
mengalami ker usakan adalah prosesus longus inkus.
Said 5 menjelaskan lepasnya incudostapedial junct ion 82%
dari
trauma
tulang-tulang
pendengaran
yang
menyebabkan
tuli
konduktif. Sementara Simon
melapor kan diskontinuitas tulang-tulang pendengaran
sering ter jadi pada pr osesus lentikular is inkus dan
incudost apedial junct ion. Pada pasien ini pr osesus
lentikularis inkus patah. Defek ini akan menyebabkan air
bone gap 60 db.18 Dalam kondisi seper ti ini inkus dapat
digunakan lagi dengan cara membor bagian inkus yang
akan dibentuk sesuai dengan situasi anatomi yang
ditemukan. Pada kasus ini pr osesus brevis inkus yang
dibor , inkus dipasang transposisi.
Kartush mengklasifikasikan defek tulang-tulang
pendengar an pada beberapa tipe berikut :0, tulang-tulang
pendengar an intak (M+I+S); A, maleus dan stapes ada
(M+S+); B, maleus ada dan stapes tidak ada (M+ S-); C,
maleus tidak ada dan stapes ada (M-S+); D, maleus tidak
ada, stapes tidak ada (M-,S-); fiksasi kaput tulang-tulang
penengaran dan F, fiksasi stapes.18 Pada kasus ini
ber dasar kan klasifikasi Kar tush termasuk pada tipe B,
dimana
pr osesus lentikularis pada pr osesus longus
inkus patah, sementara maleus intak dan kr ura anterior
stapes patah.
Pembedahan untuk ker usakan stapes masih
menjadi per debatan. Ishida1 dkk mengutip dar i
Vander stock
menjelaskan
pembedahan
untuk
mengangkat stapedius saja dapat
mengakibatkan
ker usakan telinga dalam. Emmet dan Shea dikutip oleh
Ishida1 dkk merekomendasikan perbaikan kebocoran
labirin tanpa pengangkatan stapes yang telah r usak.
Ker usakan foot plat e stapes ditutup dengan gr aft dan
dilapor kan perbaikan pendengaran yang sangat baik.
Sementara itu, Ar rage dan Papar ella dikutip
oleh Ishida ber ar gumentasi stapes yang telah r usak har us
segera diangkat dari tingkap lonjong.1
Pada kasus yang dilaporkan oleh Ishida1
pengangkatan stapes yang telah patah dan penutupan
fistula perilimfe menghasilkan per baikan keseimbangan
yang seger a dan preser vasi fungsi telinga dalam. Pada
pasien ini dilakukan pengangkatan stapes karena kr ura
anterior sudah patah dan incudost apedial junct ion lepas
sehingga fungsinya sebagai penggetar sudah tak ada lagi.
Kar tush memper kenalkan middle ear risk index
(MERI) untuk menentukan pr ognosis dar i timpanoplasti.
Semakin r endah nilai MERI semakin tinggi keber hasilan
timpanoplasti. MERI dengan nilai 0-3 menggambar kan
penyakit r ingan, 4-6 sedang dan 7-12 berat. Pada pasien
ini didapatkan nilai MERI 3, ter golong pada MERI
r ingan.21
Ishida1 melaporkan fistula per ilimfe dikor eksi
dengan menggunakan gr aft dan difiksasi dengan fibr in
glue. Gangguan vestibular menghilang dalam tiga har i dan
pendengar an membaik dalam satu bulan setelah oper asi.
Pada pasien ini membran tingkap lonjong masih ada,

5

Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL)
Fakult as Kedokt eran Universit as Andalas
Padang

sehingga
cairan
per ilimfe
dikeringkan
dengan
spongostan.
Trauma telinga dalam salah satu penyebab
ter jadinya BPPV.22 Helminski melaporkan 78% BPPV
kanalis posterior sembuh diterapi dengan CRT.23
Kehati-hatian ahli THT dalam mengangkat
benda asing di telinga hendaklah ditingkatkan untuk
menghindari ter jadinya komplikasi iatogenik.16 Benda
asing dapat dilihat dengan jelas bila pencahayaan
optimal, bahkan penggunaan mikroskop lebih disarankan
untuk menghindari ter jadinya komplikasi.24

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.
12.

13.

14.

15.

Ishida K, et al. Tr aumatic Fr acture of the Stapes and
Per ylimph Fistula: Repor t of a Case. Tokai J. Exp.
Clind Med 2006;31(3):133-35.
Ribeir o,
et.al.
Foreign
Bodies
in
Otorhinolaryngology: A Study of 128 Cases. Intl.
Arch Otor hinolar yngol. 2009;13 (4): 394-5
Davies PH, Benger JR. Foreign Bodies in the Nose
and Ear : a Review of Technique for Removal in the
Emergency Department. J Accid Emerg Med
2000;17: 91-4.
Laughlin RMc,et.al. Comparative Pr ospective Study
of Foreign Body Removal from Exter nal Auditor y
Canals of Cadaver s with Right Angle Hook or
Cyanoacr ylate Glue. Emerg Med J 2002.Vol.19: 43-5.
Said BM, Hughes GB. Surger y for Traumatic Middle
Ear Conditions. In: Haberman RS, editor s. Middle
Ear and Mastoid Sur gery. Thieme: New Yor k 2004.
p.142-50
Hakuba N, et al. Ear-pick Injur y as a Traumatic
Ossicular
Damage
in
Japan.
Eur
Arch
Otorhinolaryngol 2010; 267:1035–9
Herman P, et al.Traumatic Luxation of the Stapes
Evidenced by High-Resolution CT. AJNR 1996; 17:
1242-44
Hir sch BE. Perilymphatic Fistulas. In: Myer s EN.
Operative Otolar yngology Head and Neck
Surger y.2 nd
ed.
2008.
Available
fr om:
http/ www.exper tconsultbook.co m/ expertcconsul
t/ b/ book.
Shessel DA, et al. Menier e’s Desease and other
Per ipheral Vestibular Disor der . In: Cumminghs,
editor s. Otolar yngology Head and Neck Sur gery.
4 thed. Elsivier Mosby: USA; 2005. p.1990-2027
Sami EA. Oval window Perylimphatic fistula cause
by Accidental Stapedectomy During Ear Toilet.
Saudi Med J 2008; 29(6): 910-12
Suzuki JI, et al. Reconstuctive Surger y of the Middle
Ear . Elsivier Science B.V: Amster dam; 1999. p. 61-5
Henning H, Sudhoff H. Middle Ear Trauma. In:
Henning H, Sudhoff H. Middle Ear Sur gery.
Springer : Ger many; 2006. p. 134-5
Bingham BJ, Hawthor ne MR. Synopsis of Operative
ENT
Surger y.Butter worth-Heinemann
Ltd
:
Oxfor d;1992.p 48-50.
Nar ayana GK. Aid for Impacted Foreign Body.
Indian Jour nal of Otolar yngology and Head & Neck
Surger y 2003; 55:1
Fiqueiredo et al. Complications of Most Foreign
Bodies in Children: What can Wr ong and when to
Refer. BCMJ 2008;74:7-15

16. Ngo N, et al. Otorhinolaryngeal Foreign Bodies in
Children Presenting to the Emergency Department.
Singapore Med J 2005; 46 (4): 172-8
17. Helmi. Otitis Media Supuratif Kr onik. Balai Pener bit
Fakultas Kedokteran Univer sitas Indonesia: Jakar ta;
2005. 42-175
18. Sismanis A. Tympanoplasty. In: Shambaugh G, et al,
editor s. Sur ger y of the ear . 5 th ed. BC Decker Inc:
Hamilton; 2003. p.463-85
19. Sudhoff H. Tympanic Membrane Closur e. In:
Henning H, Sudhoff H. Middle ear surger y. Springer :
Germany; 2006. p.38-43
20. Monsell EM, Nguyen TQ. Under lay Tympanoplasty.
In: Haberman R, editor s. Middle Ear and Mastoid
Surger y. Thieme: New Yor k; 2004:p. 12-21
21. Pinar E et al. Evaluation of Pr ognostic Factor s and
Middle Ear Risk Index in Tympanoplasty.
Otolar ynglogy-Head and Neck Sur ger y 2008;139:
386-90.
22. Vitaliy et al. What to do about Ear : Investigating the
Common Concer n. The Candian Jour nal of diagnose
2000:111-16
23. Helminski et al. Strategies to Pr event Recurrence of
Benign Par oxysmal Positional Ver tigo. Arch OHNS
2005: 344-49
24. Dance et al. Ear Canal For eign Bodies in Children:
What can Wr ong and When to r efer . BCMJ
2009;51:20-24

6