media kit penyadapan dalam kuhap
Dipersiapkan dan disusun oleh:
Erasmus Napitupulu, SH
Researcher Associate
Institute for Criminal Justice Reform
[email protected]
Editor :
Anggara
Lisensi Hak Cipta
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice Reform
Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12530
Phone/Fax: 021 7810265
Email: [email protected] website: http://icjr.or.id/
2|Page
Latar Belakang
Penyadapan menjadi sorotan publik ketika mekanisme ini di klaim oleh aparatur penegak hukum sebagai salah
satu kunci untuk membongkar kasus-kasus besar yang sulit terpecahkan. Kehadiran penyadapan pun disambut
dengan pro kontra dari penggiat hukum di Indonesia, ada yang memaknainya sebagai senjata ada pula yang
mencoba membuka tabir potensinya menjadi petaka, terkhusus kajian mengenai simpang siur pengaturan
penyadapan di tata hukum tanah air.
Secara hukum positif dapat dijumpai pengaturan tentang penyadapan yang dimutilasi ke 16 aturan berbeda,
dari mulai Undang-Undang sampai dengan peraturan mentri. Menyadari penting adanya payung hukum yang
satu mengenai penyadapan, pada Rancangan KUHAP (RKUHAP) terbaru yang diserahkan pemerintah kepada
DPR RI, pengaturan penyadapan pun disebut.
Penyadapan diukir di dua pasal dalam RKUHAP, apabila putusan no 5/PUU-VIII/ 2010 milik MK yang menjadi
putusan terakhir mengenai penyadapan dijadikan sebagai pembanding, maka keberadaan kedua pasal di
RKUHAP untuk menjawab tanda tanya publik seputar pengaturan mengenai penyadapan tersebut perlu untuk
disoroti, terlebih untuk menjawab isu-isu utama dalam mekanisme penyadapan.
Isu Hukum
Setelah dilakukannya Uji Materil UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD 1945, dalam Perkara
Nomor 5/PUU-VIII/2010, MK mengeluarkan putusan yang kemudian pertimbangannya diambil berdasarkan
pendapat ahli Ifdal Khasim dan Fajrul Falaakh yang pada intinya, MK mengamanahkan bahwa dalam
membentuk aturan menganai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat penyadapan yakni ; (i) adanya
otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang- Undang untuk memberikan izin penyadapan, (ii) adanya jaminan
jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil
penyadapan, (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Serta unsur-unsur yang
harus ada dalam pengaturan penyadapan yaitu (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun
meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi
wewenang untuk melakukan penyadapan, (iv) adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan
penyadapan, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil
penyadapan, dan (ix) mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas
dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan
mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak
ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lain nya.
Seyogyanya, setelah ada putusan dari MK yang bersinggungan langsung mengenai pengaturan penyadapan ke
depan, maka penting untuk melihat apakah aturan yang akan atau telah dibentuk sudah mengandung titipan
dari putsan MK tersebut, dalam hal ini pengaturan penyadapan di RKUHAP tentunya.
Pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP).
Tata cara penyadapan dalam Rancangan KUHAP hanya diatur dalam Bagian Kelima tentang Penyadapan pada
Pasal 83 dan 84. Pada prinsipnya Rancangan KUHAP melarang penyadapan komunikasi terhadap seseorang.
Tindakan penyadapan hanya dapat dibenarkan apabila komunikasi tersebut terkait dengan tindak pidana
1
serius ataupun diduga keras akan terjadi tindak pidana serius.
Secara khusus Rancangan KUHAP memberikan klasifikasi jenis tindak pidana dimana penyadapan dapat
2
dilakukan. Setidaknya ada 20 jenis tindak pidana dimana penyadapan sah digunakan.
Penyadapan dalam Rancangan KUHAP mensyaratkan adanya ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan dengan
kondisi bahwa Penyidik bersama – sama dengan Penuntut Umum menyampaikan permohonan tertulis yang
1
2
Lihat Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP
Lihat Pasal 83 ayat (2) Rancangan KUHAP
3|Page
didalamnya termuat alasan – alasan untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
4
Setelah mendapatkan ijin, maka atasan Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penyadapan.
3
Namun, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu namun disertai
kewajiban untuk memberitahukan penyadapan tersebut kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui
5
penuntut umum. Rancangan KUHAP sendiri mendefinisikan keadaan mendesak dalam 3 kategori yaitu
a.bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak; b.permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau c.permufakatan jahat yang merupakan karakteristik
6
tindak pidana terorganisasi.
Jangka waktu penyadapan sendiri diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat
7
diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Namun demikian, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan ijin untuk melakukan tindakan
8
penyadapan . Namun tidak diperoleh kejelasan apakah Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapa menolak untuk
memberikan persetujuan atas tindakan penyadapan yang telah dilakukan oleh penyidik atas dasar keadaan
9
mendesak .
Selama ini izin penyadapan merupakan salah satu instrument yang disorot. Pro kontra HPP sebagai pemberi
izin penyadapan menjadi meruncing dikarenakan fokus terhadapan penyadapan lebih dititik beratkan pada
sudut pandang lembaga, bukan skema besar pengawasan dan pembagian kekuasaan. Apabila fokus pemberian
izin dititik beratkan pada skema pengawasan maka seharusnya kepada lembaga manapun penyadapan
dimintakan izin, dalam hal ini tidak mutlak pada HPP, bukan menjadi inti permasalahan, melainkan harus ada
lembaga yang nantinya dapat melakukan pengawasan dan dimintakan pertanggungjawaban. Terkait hal
tersebut, maka seharusnya sorotan lebih tajam pada persoalan validitas alat bukti yang memang murni ada
ditangan pengadilan.
Inisiatif pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP harus diapresiasi, namun sayangnya Rancangan
KUHAP justru tidak mengatur hal – hal lain yang justru menjadi kunci atas validitas penyadapan diantaranya
adalah (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan
secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, (iv) adanya izin dari atasan, atau
izin hakim sebelum menyadap, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii)
penggunaan hasil penyadapan, dan (ix) mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak
ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan
mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak
ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lainnya.
Rekomendasi
1.
Pengaturan penyadapan dalam Rancangan KUHAP yang tersedia saat ini tidak cukup mengakomodir
amanah putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang mengandung
sembilan persoalan penting yang seharusnya diatur secara rinci dan tegas serta pengaturan lain yang
harus diperhatikan. Memperhatikan potensi kesewenang-wenangan dari negara serta ancaman
pelanggaran HAM akibat penyadapan tersebut, maka merujuk pada amanah yang di berikan oleh
Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya Penyadapan diatur secara lebih baik dan ketat.
3
Lihat Pasal 83 ayat (4) Rancangan KUHAP
Lihat Pasal 83 ayat (3) Rancangan KUHAP
5
Lihat Pasal 84 ayat (1) Rancangan KUHAP
6
Lihat Pasal 84 ayat (2) Rancangan KUHAP
7
Lihat Pasal 83 ayat (6) Rancangan KUHAP
8
Lihat Pasal 83 ayat (7) Rancangan KUHAP
9
Lihat Pasal 84 ayat (3) Rancangan KUHAP
4
4|Page
2.
Secara rinci, KUHAP harus mengatur mengenai bentuk-bentuk dari penyadapan, secara lebih luas tidak
terpaku pada penyadapan pembicaraan namun semua bentuk intersepsi informasi dan komunikasi, baik
dalam bentuk rekaman, penyadapan dan tehknis intersepsi lain yang berlaku secara umum dan universal.
3. Pada dasarnya KUHAP dapat memuat pengaturan mengenai penyadapan, namun merujuk pada amanah
dari Mahkamah Konstitusi, pengaturan menyeluruh di dalam KUHAP memang sulit untuk direalisasikan,
sehingga akan lebih tepat bila KUHAP fokus mengatur mengenai Prinsip-prinsip, lembaga-lembaga yang
diberikan kewenangan menyadap, pemberian izin serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktian hasil
penyadapan. Terkait dengan pemberian Izin, maka seharusnya tidak menjadi pokok perdebatan apakah
izin harus dikeluarkan oleh HPP atau lembaga lain, namun titik sorotnya adalah validasi alat bukti harus
berada di tangan pengadilan.
4. Apabila KUHAP sebagai dasar dari hukum acara pidana di Indonesia telah mengatur terkait prinsip-prinsip
penyadapan, maka akan lebih tepat apabila prinsip-prinsip dasar tersebut dielaborasikan lebih lanjut di
tataran Undang-Undang yang harus memuat seluruh amanah yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan
pengaturan penting lainnya. Undang-Undang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya pengaturan
penyadapan yang sesuai dengan penghormatan terhadapan hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi
negara Republik Indonesia.
5|Page
Erasmus Napitupulu, SH
Researcher Associate
Institute for Criminal Justice Reform
[email protected]
Editor :
Anggara
Lisensi Hak Cipta
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice Reform
Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12530
Phone/Fax: 021 7810265
Email: [email protected] website: http://icjr.or.id/
2|Page
Latar Belakang
Penyadapan menjadi sorotan publik ketika mekanisme ini di klaim oleh aparatur penegak hukum sebagai salah
satu kunci untuk membongkar kasus-kasus besar yang sulit terpecahkan. Kehadiran penyadapan pun disambut
dengan pro kontra dari penggiat hukum di Indonesia, ada yang memaknainya sebagai senjata ada pula yang
mencoba membuka tabir potensinya menjadi petaka, terkhusus kajian mengenai simpang siur pengaturan
penyadapan di tata hukum tanah air.
Secara hukum positif dapat dijumpai pengaturan tentang penyadapan yang dimutilasi ke 16 aturan berbeda,
dari mulai Undang-Undang sampai dengan peraturan mentri. Menyadari penting adanya payung hukum yang
satu mengenai penyadapan, pada Rancangan KUHAP (RKUHAP) terbaru yang diserahkan pemerintah kepada
DPR RI, pengaturan penyadapan pun disebut.
Penyadapan diukir di dua pasal dalam RKUHAP, apabila putusan no 5/PUU-VIII/ 2010 milik MK yang menjadi
putusan terakhir mengenai penyadapan dijadikan sebagai pembanding, maka keberadaan kedua pasal di
RKUHAP untuk menjawab tanda tanya publik seputar pengaturan mengenai penyadapan tersebut perlu untuk
disoroti, terlebih untuk menjawab isu-isu utama dalam mekanisme penyadapan.
Isu Hukum
Setelah dilakukannya Uji Materil UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD 1945, dalam Perkara
Nomor 5/PUU-VIII/2010, MK mengeluarkan putusan yang kemudian pertimbangannya diambil berdasarkan
pendapat ahli Ifdal Khasim dan Fajrul Falaakh yang pada intinya, MK mengamanahkan bahwa dalam
membentuk aturan menganai mekanisme penyadapan, perlu dilihat syarat penyadapan yakni ; (i) adanya
otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang- Undang untuk memberikan izin penyadapan, (ii) adanya jaminan
jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil
penyadapan, (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Serta unsur-unsur yang
harus ada dalam pengaturan penyadapan yaitu (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun
meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi
wewenang untuk melakukan penyadapan, (iv) adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan
penyadapan, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil
penyadapan, dan (ix) mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak ketiga atas
dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan
mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak
ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lain nya.
Seyogyanya, setelah ada putusan dari MK yang bersinggungan langsung mengenai pengaturan penyadapan ke
depan, maka penting untuk melihat apakah aturan yang akan atau telah dibentuk sudah mengandung titipan
dari putsan MK tersebut, dalam hal ini pengaturan penyadapan di RKUHAP tentunya.
Pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP).
Tata cara penyadapan dalam Rancangan KUHAP hanya diatur dalam Bagian Kelima tentang Penyadapan pada
Pasal 83 dan 84. Pada prinsipnya Rancangan KUHAP melarang penyadapan komunikasi terhadap seseorang.
Tindakan penyadapan hanya dapat dibenarkan apabila komunikasi tersebut terkait dengan tindak pidana
1
serius ataupun diduga keras akan terjadi tindak pidana serius.
Secara khusus Rancangan KUHAP memberikan klasifikasi jenis tindak pidana dimana penyadapan dapat
2
dilakukan. Setidaknya ada 20 jenis tindak pidana dimana penyadapan sah digunakan.
Penyadapan dalam Rancangan KUHAP mensyaratkan adanya ijin Hakim Pemeriksa Pendahuluan dengan
kondisi bahwa Penyidik bersama – sama dengan Penuntut Umum menyampaikan permohonan tertulis yang
1
2
Lihat Pasal 83 ayat (1) Rancangan KUHAP
Lihat Pasal 83 ayat (2) Rancangan KUHAP
3|Page
didalamnya termuat alasan – alasan untuk melakukan penyadapan kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
4
Setelah mendapatkan ijin, maka atasan Penyidik mengeluarkan Surat Perintah Penyadapan.
3
Namun, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu namun disertai
kewajiban untuk memberitahukan penyadapan tersebut kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan melalui
5
penuntut umum. Rancangan KUHAP sendiri mendefinisikan keadaan mendesak dalam 3 kategori yaitu
a.bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak; b.permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana terhadap keamanan negara; dan/atau c.permufakatan jahat yang merupakan karakteristik
6
tindak pidana terorganisasi.
Jangka waktu penyadapan sendiri diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat
7
diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Namun demikian, Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan ijin untuk melakukan tindakan
8
penyadapan . Namun tidak diperoleh kejelasan apakah Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapa menolak untuk
memberikan persetujuan atas tindakan penyadapan yang telah dilakukan oleh penyidik atas dasar keadaan
9
mendesak .
Selama ini izin penyadapan merupakan salah satu instrument yang disorot. Pro kontra HPP sebagai pemberi
izin penyadapan menjadi meruncing dikarenakan fokus terhadapan penyadapan lebih dititik beratkan pada
sudut pandang lembaga, bukan skema besar pengawasan dan pembagian kekuasaan. Apabila fokus pemberian
izin dititik beratkan pada skema pengawasan maka seharusnya kepada lembaga manapun penyadapan
dimintakan izin, dalam hal ini tidak mutlak pada HPP, bukan menjadi inti permasalahan, melainkan harus ada
lembaga yang nantinya dapat melakukan pengawasan dan dimintakan pertanggungjawaban. Terkait hal
tersebut, maka seharusnya sorotan lebih tajam pada persoalan validitas alat bukti yang memang murni ada
ditangan pengadilan.
Inisiatif pengaturan Penyadapan dalam Rancangan KUHAP harus diapresiasi, namun sayangnya Rancangan
KUHAP justru tidak mengatur hal – hal lain yang justru menjadi kunci atas validitas penyadapan diantaranya
adalah (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan
secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang menyadap, (iv) adanya izin dari atasan, atau
izin hakim sebelum menyadap, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii)
penggunaan hasil penyadapan, dan (ix) mekanisme komplain apabila terjadi kerugian yang timbul dari pihak
ketiga atas dilakukannya tindakan penyadapan tersebut, serta pengaturan lain berupa sanksi pelanggaran, dan
mekanisme internal untuk menjamin HAM seperti penyadapan dalam keadaan mendesak, keikutsertaan pihak
ke-tiga dalam tehknis penyadapan dan hal lainnya.
Rekomendasi
1.
Pengaturan penyadapan dalam Rancangan KUHAP yang tersedia saat ini tidak cukup mengakomodir
amanah putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang mengandung
sembilan persoalan penting yang seharusnya diatur secara rinci dan tegas serta pengaturan lain yang
harus diperhatikan. Memperhatikan potensi kesewenang-wenangan dari negara serta ancaman
pelanggaran HAM akibat penyadapan tersebut, maka merujuk pada amanah yang di berikan oleh
Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya Penyadapan diatur secara lebih baik dan ketat.
3
Lihat Pasal 83 ayat (4) Rancangan KUHAP
Lihat Pasal 83 ayat (3) Rancangan KUHAP
5
Lihat Pasal 84 ayat (1) Rancangan KUHAP
6
Lihat Pasal 84 ayat (2) Rancangan KUHAP
7
Lihat Pasal 83 ayat (6) Rancangan KUHAP
8
Lihat Pasal 83 ayat (7) Rancangan KUHAP
9
Lihat Pasal 84 ayat (3) Rancangan KUHAP
4
4|Page
2.
Secara rinci, KUHAP harus mengatur mengenai bentuk-bentuk dari penyadapan, secara lebih luas tidak
terpaku pada penyadapan pembicaraan namun semua bentuk intersepsi informasi dan komunikasi, baik
dalam bentuk rekaman, penyadapan dan tehknis intersepsi lain yang berlaku secara umum dan universal.
3. Pada dasarnya KUHAP dapat memuat pengaturan mengenai penyadapan, namun merujuk pada amanah
dari Mahkamah Konstitusi, pengaturan menyeluruh di dalam KUHAP memang sulit untuk direalisasikan,
sehingga akan lebih tepat bila KUHAP fokus mengatur mengenai Prinsip-prinsip, lembaga-lembaga yang
diberikan kewenangan menyadap, pemberian izin serta pengaturan mengenai kekuatan pembuktian hasil
penyadapan. Terkait dengan pemberian Izin, maka seharusnya tidak menjadi pokok perdebatan apakah
izin harus dikeluarkan oleh HPP atau lembaga lain, namun titik sorotnya adalah validasi alat bukti harus
berada di tangan pengadilan.
4. Apabila KUHAP sebagai dasar dari hukum acara pidana di Indonesia telah mengatur terkait prinsip-prinsip
penyadapan, maka akan lebih tepat apabila prinsip-prinsip dasar tersebut dielaborasikan lebih lanjut di
tataran Undang-Undang yang harus memuat seluruh amanah yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan
pengaturan penting lainnya. Undang-Undang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya pengaturan
penyadapan yang sesuai dengan penghormatan terhadapan hak asasi manusia dan tunduk pada konstitusi
negara Republik Indonesia.
5|Page