media kit penahanan prapersidangan dalam rancangan kuhap

Dipersiapkan dan disusun oleh:
Sufriadi Pinim, SH, MH
Researcher Associate
Institute for Criminal Justice Reform
sufriadi@icjr.or.id
Editor :
Anggara
Photo oleh:
Pista Simamora
Lisensi Hak Cipta

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice Reform
Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12530
Phone/Fax: 021 7810265
Email: infoicjr@icjr.or.id website: http://icjr.or.id/

2|Page


Latar Belakang
Penahanan prapersidangan atau penahanan dalam waktu tunggu sebelum sidang dimulai, sejak
lama telah mendapatkan kritik di tingkat internasional. Indonesia adalah salah satu negara yang
turut disorot karena pelaksanaan mekanisme ini dinilai bermasalah sehingga menimbulkan dampak
negatif yang meluas; mulai dari begitu mudahnya seseorang ditahan, lamanya masa penahanan,
minimnya kontrol terhadap penahanan, rentannya tahanan terhadap penyiksaan, serta kondisi
tempat penahanan dan tahanan yang memprihatinkan, dan lain sebagainya. Penahanan
prapersidangan juga ditengarai telah lama menjadi bagian dari praktek komodifikasi sehingga tujuan
penggunaan mekanisme ini justru tidak tercapai.
Atas segala hal negatif yang berpotensi dialami seorang tahanan, maka tindakan penahanan secara
prinsip sejak lama ditegaskan untuk dijadikan sebagai alternatif terakhir dilakukan penegak hukum.
Hanya saja, prinsip ini sering terabaikan sehingga berbagai problem di atas terus terjadi. Terlebih,
lembaga kontrol/komplain (praperadilan) yang disediakan juga tidak cukup mampu mengimbangi
kelemahan dalam menerapkan mekanisme ini. Ketidakefektifan lembaga komplain sendiri
disebabkan antara lain karena pengadilan lebih memperhatikan aspek administrasi dalam
pemeriksaannya, tidak pada substansi.
Untuk itu diperlukan upaya perbaikan terhadap penahanan pra persidangan dan juga lembaga atau
mekanisme kontrol/pengawasan. Melalui Rancangan KUHAP, diharapkan kelemahan-kelemahan
dalam KUHAP dapat diatasi. Hanya saja pengaturan norma yang terdapat di dalam Rancangan
KUHAP dianggap belum mampu menghadirkan kondisi yang lebih baik untuk mengatasi buruknya

penahanan pra persidangan di Indonesia.
Bagaimana Standar Internasional?
Norma-norma internasional hak asasi manusia yang mengatur mengenai penahanan prapersidangan
secara umum mengacu pada DUHAM yang meletakkan landasan bagi perlindungan HAM seseorang
yang dikekang kebebasannya karena alasan hukum. Norma tersebut, lebih lanjut diatur dalam Pasal
9 dan Pasal 10 International Covenant on Civil and Political Rights, yang secara umum mengatur
prinsip-prinsip dasar hak asasi bagi setiap orang yang menjadi tahanan dan yang terkait dengan
kebijakan penahanan.
Terkait penahanan, Pasal 9 dan Pasal 10 tersebut, antara lain menegaskan: (1) seseorang tidak dapat
ditahan secara sewenang-wenang dan wajib diperlakukan secara manusiawi dan menghormati
martabatnya; (2) seseorang yang ditahan wajib segera dihadapkan ke muka pengadilan dan memiliki
hak untuk mengajukan proses hukum untuk meninjau keabsahan keputusan aparat hukum yang
menjadi dasar penahanannya; (3) jika yang bersangkutan menjadi korban penahanan yang tidak sah,
berhak mendapatkan ganti kerugian; (4) seseorang yang menjadi tersangka dan ditahan harus
dipisahkan dengan tahanan orang-orang yang telah dipidana; (5) tersangka yang ditahan masih di
bawah umur, wajib dipisahkan dengan tahanan dewasa; (6) seseorang yang sedang menunggu untuk
diadili tidak mutlak harus ditahan.
Selain ICCPR, terdapat beberapa instrumen internasional yang spesifik mengatur mengenai
perlindungan terhadap para tahanan, yakni: Kumpulan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang
dalam Segala Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan, Peraturan Standar Minimum bagi Perlakuan

terhadap Narapidana, Pengaturan Standar Minimum untuk Tindakan Non Penahanan/ Protokol
Tokyo, dan Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Aturan PBB untuk Perlindungan Anak Anak/ Orang
yang Belum Dewasa yang di Batasi Kemerdekaannya.
Ketentuan mengenai pelaksanaan teknis perawatan tahanan, merujuk pada Standart Minimum
Rules (SMR) untuk pembinaan narapidana yang disetujui oleh PBB di tahun 1955. Di dalam SMR,
penahanan prapersidangan diatur pada sub bagian prisoners under arrest or waiting trial, tepatnya
dalam aturan 84 sampai dengan aturan 93. Dalam beberapa aturan ini, penekanan penanganan
tahanan prapersidangan yang wajib diindahkan oleh lembaga-lembaga yang diberikan kewenangan
3|Page

menahan mencakup antara lain: (a) tahanan pra persidangan wajib dianggap tidak bersalah; (b)
tahanan prapersidangan hendaknya ditahan terpisah dari narapidana; (c) atas biaya sendiri berhak
memperoleh buku, alat tulis menulis, atau lainnya untuk mengisi waktu yang seiring dengan
kepentingan persidangan; (d) diijinkan untuk dikunjungi dokternya sendiri; (e) diberikan fasilitas
yang wajar untuk berhubungan dengan keluarga atau kerabat lainnya, dan (f) berhak mendapatkan
bantuan hukum dan pembicaraan antara tahanan dengan penasihat hukumnya diperbolehkan dalam
pengawasan mata, namun tidak boleh sampai terdengar.
Selanjutnya, PBB melalui Resolusi A/RES/43/173 pada 9 Desember 1988 juga telah menetapkan
Prinsip-prinsip bagi Perlindungan Semua Orang yang berada dalam semua Bentuk Penahanan atau
Pemenjaraan. Prinsip ini menjadi instrumen suplemen dari SMR. Secara umum prinisip-prinsip

dimaksudkan sebagai acuan dasar bagi perlindungan keamanan fisik tahanan yang mana dalam
prinsip-prinsip mencerminkan nilai-nilai yang harus diacu dimanapun tempat penahanan itu berada
agar memperlakukan secara manusiawi dan penuh penghormatan atas martabat manusia.
Protokol Tokyo yang disahkan melalui Resolusi Majelis Umum 45/110 tahun 1990 (Aturan Standar
Minimum untuk Tindakan Non Penahanan), memberikan landasan kebijakan untuk mengutamakan
penggunaan tindakan-tindakan non penahanan sebagai tindakan alternatif dari pemenjaraan.
Protokol Tokyo menekan untuk menghindari tindakan penahanan pra pengadilan, dan sebagliknya
menjadikannya sebagai sarana terakhir dalam tata kerja acara pidana.
Instrumen lain yang terkait dengan penahanan prapersidangan adalah pengaturan yang secara
spesifik ditujukan bagi orang di bawah umur/anak. PBB melalui Resolusi No 45/113 tahun 1990
menetapkan Aturan Dasar Perlindungan bagi Anak yang Dirampas Kemerdekaannya (UN Rules for
Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty). Aturan tersebut didasarkan atas prinsip-prinsip
utama untuk penanganan tahanan yang dikategorikan sebagai orang di bawah umur yakni;
perampasan kebebasan harus menjadi pilihan terakhir dan untuk jangka waktu minimum dan harus
dibatasi pada kasus-kasus luar biasa, perampasan kebebasannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan
prosedur hukum internasional khususnya The Beijing Rules (Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Juctice), dan peminimalan efek negatif dari perampasan kebebasan dan
efek ambahan lainnya.
Bagaimana Standar Nasional?
Norma-norma yang dikembangkan di tingkat nasional berdasar pada UUD NRI 1945. Di dalam

konstitusi terdapat beberapa prinsip umum yang dapat dilekatkan pada perlindungan terhadap hakhak dasar seorang warga negara, yakni: hak atas pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D ayat (1)), hak untuk mendapat
kebebasan (Pasal )); hak untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 28G ayat (1)), dan hak untuk tidak disiksa
(Pasal 28I ayat (1)).
Sebelumnya, hal-hal ini juga ditegaskan dalam Tap MPR No. XVII tahun 1998, yang antara lain
memuat: hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil (Pasal 7), hak
atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan (Pasal 22); dan hak untuk bebas dari
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat (Pasal 25).
Beberapa prinsip yang terdapat dalam UUD NRI 1945 dan Tap MPR di atas terdapat pula dalam UU
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun di dalam UU ini, terdapat pula hal spesifik yang mengatur
dan dapat dijadikan sebagai rujukan praktis dalam memperlakukan seseorang yang dibatasi
kebebasan/kemerdekaannya melalui penahanan. Beberapa ketentuan dari pasal ini yang secara
prinsip dan praktis mengatur penahanan adalah: (1) tahanan wajib dianggap tidak bersalah sampai
dibuktikan kesalahannya di sidang pengadilan (Pasal 18 ayat 1)); (2) hak untuk bebas dari penyiksaan
(Pasal 33 ayat (1)); hak untuk bebas dari penahanan yang dilakuakn secara sewenang-wenang (Pasal
34). UU HAM juga secara spesifik mengatur perlindungan hukum terhadap seorang anak yang
4|Page

dirampas kemerdekaannya secara hukum, tepatnya pada Pasal 66. Di dalam pasal ini, beberapa hal

yang harus diindahkan ketika anak ditahan antara lain: (1) anak tidak boleh dijadikan sasaran
penganiayaan dan penyiksaan; (2) perampasan kemerdekaan tidak boleh dilakukan secara melawan
hukum; (3) penahanan hanya dilakukan sebagai opsi terakhir; (4) hak anak yang dirampas
kebebasannya untuk diperlakukan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai usianya; dan (5) tempat penahanannya dipisahkan dari orang dewasa.
Isu-Isu Penting Penahanan Prapersidangan dalam Rancangan KUHAP
1. Syarat Penahanan Prapersidangan
Syarat penahanan dalam Rancangan KUHAP diatur dalam Pasal 59, tepatnya pada ayat (1), ayat (2)
dan ayat (5). Jika dirinci, terdapat lima hal yang dijadikan dasar penahanan oleh penyidik yakni: (1)
Tersangka atau terdakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman di atas lima
tahun; atau (2) Tindak pidana tertentu; (3) Tersangka atau terdakwa tidak mempunyai tempat
tinggal tetap; (4) Seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan dasar bukti yang cukup;
dan (5) Ada kekuatiran akan: melarikan diri, merusak dan menghilangkan alat dan/atau barang bukti,
melakukan ulang tindak pidana, mempengaruhi saksi, terancam keselamatannya setelah ada
persetujuan atau permintaan dari tersangka atau terdakwa. Dibandingkan dengan KUHAP yang
berlaku saat ini, dalam RKUHAP terdapat beberapa perubahan dan penambahan redaksional yang
selanjutnya menimbulkan konsekuensi tertentu.
Sebagaimana KUHAP, Rancangan KUHAP juga tidak mengatur mengenai sifat keterpenuhan syaratsyarat tersebut. Namun, penjelasan Pasal 59 ayat 1 yang memuat dua syarat pertama menyatakan
bahwa 2 syarat di atas secara mandiri menyebabkan seseorang menjadi mutlak dapat ditahan.
Ketentuan ini pada dasarnya tidak akan menghadirkan kondisi yang lebih baik dari kondisi yang telah

terjadi selama ini hingga sekarang, dimana seseorang dapat dilakukan penahan dengan begitu
mudah sementara kondisi tempat tahanan (Rutan) terjadi overcrowded.1 Hal ini berbanding lurus
dengan tren peningkatan ancaman hukuman pidana menjadi di atas lima tahun dalam berbagai
peraturan perundang-undangan,2 termasuk Rancangan KUHP yang sedang dibahas di DPR.
Potensi terjadinya kembali kondisi di atas juga didukung oleh syarat ketiga, dimana penahanan
dapat dilakukan terhadap seseorang terduga pelaku tindak pidana namun tidak memiliki tempat
tinggal yang tetap. KUHAP yang masih berlaku, tidak menjadikannya sebagai syarat untuk menahan
seseorang. Pada dasarnya, syarat ini tidaklah memiliki landasan yang kuat untuk dijadikan sebagai
bagian dari syarat penahanan. Bahkan, ini menimbulkan kecenderungan diskriminatif dan potensial
melanggar HAM. Sebagai bagian dari penegakan hukum, maka penahanan seharusnya disandarkan
pada kejahatan yang dilakukan seseorang, bukan karena ketiadaan tempat tinggal. Jika ingin
dikaitkan dengan penahanan, maka syarat ini seharusnya cukup dijadikan sebagai bagian dari
pengembangan indikator keadaan yang berpotensi mempersulit pemeriksaan, yang selama ini justru
tidak dilakukan oleh pengadilan.
Bukti ya g ukup adalah dasar u ul ya dugaa keras pe yidik terhadap seseorang sebagai
pelaku tindak pidana. Untuk dapat menahan seseorang, seperti ditentukan dalam pasal 59 ayat (5)
RKUHAP, dugaan keras ini berlaku secara kumulatif dengan adanya bentuk-bentuk kekhawatiran
tersebut. Ada dua hal yang menjadi catatan penting dari ketentuan ini. Pertama, sebagaimana
KUHAP, RKUHAP juga menentukan bahwa penyidik adalah pihak yang diberi kewenangan penuh
1


2

Data DirjenPas menunjukkan terdapat lonjakan jumlah tahanan prapersidangan yang signifikan setiap tahunnya pada
periode 2001-2007, yakni rata-rata tiga ribu orang. Melihat data yang dirilis oleh Dirjen Pemasyarakatan Kementerian
Hukum dan HAM, dapat disimpulkan kenaikan peningkatan tahanan pra-persidangan dari tahun 2001 ke tahun 2007
melebihi 100%, 20.474 orang di tahun 2001, menjadi 51.949 orang di tahun 2007. Refleksi Kinerja Pemasyarakatan Tahun
2009 dan rencana Strategis tahun 2010, Dirjenpas, hand out.
Selain ancaman di KUHP yang berlaku sejak tahun 1946, sampai dengan tahun 2007 terdapat 443 tindak pidana yang
memiliki ancaman pidana di atas 5 tahun. Lihat, Supriyadi W. Eddyono, dkk., Potret Penahanan Prapersidangan di
Indonesia, Jakarta: ICJR, 2012, hlm. 165

5|Page

dalam menentukan terpenuhinya bukti yang cukup untuk menahan seseorang. Absolutnya
kewenangan yang dimiliki penyidik secara mendasar telah menyebabkan kewenangan penyidik
untuk menetapkan telah terpenuhinya bukti yang cukup, tidak dapat dikontrol atas perlu tidaknya
dilakukan penahanan, karena telah dilabeli sebagai diskresinya penyidik. Dalam prakteknya, selain
problem overgrowded di atas, aparat penegak hukum juga kerap melakukan kesalahan dalam
menangkap dan menahan seseorang. Dengan pertimbangan itu, maka kewenangan absolut penyidik

ini perlu diimbangi atau diintervensi oleh pengadilan melalui judicial scrunity (pengujian pengadilan).
Pengujian pengadilan ini nantinya yang akan menilai terpenuhi atau tidaknya bukti yang cukup
sehingga seseorang bisa ditahan. Pengujian pengadilan yang dimaksud mencakup pula layak
tidaknya suatu perkara dilanjutkan ke proses pengadilan.
Kedua, pe gu aha frasa ...ada ya keadaa ya g e i ulka kekhawatira .. dala KUHAP
menjadi ...da ada kekhawatira .. , sa gat erpote si e uyarka o yek ya g aka diuji. Bahwa
se ara logika, ya g dapat di ilai/di uktika adalah ada ya keadaa ya g e gkhawatirkan bagi
penyidik sehingga dilakukan penahanan, karena keadaan inilah yang dapat ditentukan indikatornya.
Namun dengan menghilangkan kata ini, maka akan menjadi problem tersendiri dalam membuktikan
atau menentukan indikator kekhawatiran, terutama ketika adanya pengujian melalui praperadilan
(dalam Rancangan KUHAP: Hakim Pemeriksa Pendahuluan).
2. Jangka Waktu Penahanan Prapersidangan
Jangka waktu penahanan prapersidangan di dalam RKUHAP diatur pada Pasal 60. Selain jangka
waktu, pasal ini sekaligus juga memuat tata cara penahanan serta perpanjangannya. Terkait jangka
waktu penahanan, KUHAP Indonesia telah lama mendapat kritik karena terlalu lama menyediakan
waktu seseorang dapat ditahan. Jika diakumulasi secara keseluruhan, kemungkinan seseorang
ditahan berdasarkan ketentuan KUHAP adalah 700 hari, atau 400 hari dalam jangka waktu normal
dengan perpanjangan. Untuk penahanan prapersidangan sendiri, KUHAP menentukan jangka
waktunya selama 110 hari.
Dalam RKUHAP sendiri, pengurangan jangka waktu penahanan secara akumulatif memang jauh

mengalami penurunan, yakni 390 hari. Penahanan pengecualian sebagaimana dianut KUHAP tidak
dianut lagi di dalam RKUHAP. Hanya saja, jangka waktu penahanan prapersidangan dalam RKUHAP
justru lebih lama dibanding KUHAP, yakni 140 hari. Bahwa meskipun secara teoritis jangka waktu
pe aha a
e ggu aka kata sa pai... a u dala praktek ya i sta si ya g e aha selalu
menggunakan waktu maksimal yang diperkenankan dalam UU.
3. Jenis Penahanan dan Pengelola Tempat Penahanan
KUHAP yang saat ini masih berlaku membagi jenis penahanan kepada tiga, yakni penahanan rumah
tahanan negara, penahanan kota dan penahanan rumah (Pasal 22). Namun dalam Rancangan
KUHAP, dua jenis penahanan sudah tidak lagi dikenal. Rancangan KUHAP hanya mengenal jenis
pe aha a ru ah taha a
egara saja. Pasal 64 ayat
‘KUHAP e yataka : Penahanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 berupa penahanan dalam Rumah Tahanan Negara .
Pe ghila ga dua je is pe aha a i i pe ti g diperta yaka , e gi gat ko disi kritis ‘uta ya g
mengalami kelebihan muatan (over kapasitas). Data Kemenkum HAM yang dirilis pada akhir tahun
2012 menyebutkan saat ini jumlah Rutan dan Lapas adalah 439 dengan kapasitas 102.466 orang,
namun dihuni oleh oleh 152.071 orang. Ini belum termasuk data yang terdapat di Kepolisian yang
faktanya juga mengelola Rutan.
Kondisi ini menimbulkan konsekuensi praktis yang harus ditanggung, baik oleh negara maupun

tahanan itu sendiri. Bagi negara, kondisi ini akan berimbas pada besaran anggaran yang harus
disediakan. Faktanya, anggaran yang disediakan tidak memenuhi besaran jumlah tahanan untuk

6|Page

mendapatkan hidup yang layak di tahanan.3 Implikasi lainnya adalah bercampurnya antara tahanan
dengan narapidana, tahanan anak-anak dengan orang dewasa.4
Dari pemaparan ini dapat disimpulkan bahwa penghilangan dua jenis penahanan di dalam RKUHAP
tidaklah memiliki dasar yang kuat, terutama dari data-data lapangan. Dari data-data lapangan itu,
hal yang seharusnya dilakukan adalah memperkuat posisi dua jenis penahanan yang dihilangkan
tersebut untuk dimaksimalkan penggunaannya oleh aparat penegak hukum, dan bukan justru
menghilangkannya.
Di samping itu, dualisme pengelolaan Rutan yang terjadi saat ini tidaklah memiliki dasar hukum.
KUHAP pada dasarnya memisahkan antara pengelola tempat penahanan dan pejabat yang menahan.
Pejabat yang berwenang menahan adalah petugas di setiap tingkatan peradilan, dan yang diberi
tugas untuk mengelola tempat penahanan adalah Departemen atau Kementerian terkait. Penegasan
ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang
menyatakan bahwa pengelolaan Rutan berada di bawah Departemen Kehakiman (dalam konteks
sekarang: KemenkumHAM). Namun dalam praktiknya, pengelolaan tempat penahanan di Indonesia
juga dilakukan oleh kepolisian bahkan hingga tingkat sektoral (Polsek).
Pemisahan tempat penahanan dengan kantor insitusi yang menahan, pada dasarnya memiliki
korelasi untuk menghindari praktek-praktek kekerasan atau penyiksaan terhadap tahanan. Di
Indonesia, praktek-praktek kekerasan terhadap tahanan ini terus berulang setiap tahunnya, dengan
pelaku didominasi oleh kepolisian. Data Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [Elsam]
menyebutkan dalam kurun waktu empat bulan, Januari-April 2012, sedikitnya ada 22 kasus
penyiksaan, penganiayaan, perlakukan yang kejam dan tidak manusiawi, yang terjadi di tempattempat penahanan.5 Anggota polisi masih menduduki peringkat pertama pelaku penyiksaan. Dari 22
kasus penyiksaan, 12 kasus diantaranya diduga kuat pelakunya adalah polisi. Petugas Rutan/Lapas
menduduki peringkat kedua pelaku dengan 5 kasus, dan 4 kasus dilakukan oleh tahanan lain.6
4. Lembaga/Mekanisme Kontrol
Lembaga kontrol terhadap penahanan prapersidangan, termasuk upaya paksa lainnya, di dalam
RKUHAP dinamai dengan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP). Selain yang secara langsung terkait
dengan penahanan sebagai bagian dari upaya paksa, RKUHAP juga diberi kewenangan untuk
memproses penyimpangan oleh petugas yang terjadi ketika penahanan, seperti dalam hal
memperoleh keterangan dan alat bukti, serta pemeriksaan tanpa didampingi pengacara.7 Hal ini
antara lain yang membedakan pengaturan dalam KUHAP dan RKUHAP.

3

Ditjen Pemasyarakatan menegaskan, biaya makan narapidana dan tahanan yang tersedia, tidak sebanding dengan jumlah
peningkatan penghuni. Sebagai contoh, biaya makan narapidana tahun anggaran 2004 terdapat kekurangan biaya makan
pada tahun ini sebesar Rp. 8.089.567.000. Hal ini telah berdampak buruk pula terhadap penurunan kondisi kesehatan
fisik dan psikis dari para tahanan. Belum lagi tiadanya anggaran kesehatan yang memadai bagi para tahanan, saat ini
biaya perawatan kesehatan tahanan dari Rp. 30 (tiga puluh rupiah) hingga Rp. 79 (tujuh puluh sembilan rupiah) perhari,
sebagaimana dirilis dalam laporan Dirjenpas Kemenkumham.
4
Lihat misalnya dalam, Manfred Nowak, Report of the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment, A/HRC/7/3/Add.7, 10 March 2008.
5 Laporan LBH Jakarta, yang dirilis pada April 2012, menyebutkan hampir semua tahanan anak mengalami kekerasan,
bahkan pelecehan seksual, sebelum sampai di persidangan. Sebanyak 98 persen anak mengaku disiksa saat menjalani
pemeriksaan, 97 persen mengaku dipukuli ketika penangkapan, dan 74 persen dihajar saat di dalam tahanan.
6
Elsam, [Me]lanjutkan untuk Melanggar: Laporan situasi hak asasi manusia di Indonesia caturwulan I 2012, Mei 2012.
7
Pasal 111 ayat (1): Hakim Pemeriksa Pendahuluan berwenang menetapkan atau memutuskan: a. sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;b. pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri
sendiri; d. alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti e. ganti kerugian
dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap
hak milik yang disita secara tidak sah; f. tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh
pengacara; g. bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; h. penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas; i. layak atau tidaknya suatu perkara

7|Page

Dari sisi acara pemeriksaannya, Pasal 112 berbunyi antara lain menentukan bahwa: (1) waktu untuk
memutus permohonan olehHPP adalah 2 hari terhitung sejak menerima permohonan; (2) keputusan
atas permohonan itu berdasar pada hasil penelitian terhadap salinan dari surat perintah-surat
perintah atau catatan lainnya yang relevan; (3) hakim dapat mendengar keterangan pihak tersangka,
penyidik atau penuntut umum, dan jika diperlukan hakim juga dapat meminta keterangan di bawah
sumpah dari saksi dan alat ukti yang relevan.
Ketentuan dalam Pasal 112 RKUHAP telah mengalami kemajuan dibanding KUHAP, namun di sisi lain
juga masih terdapat kelemahan. Pertama, kemajuan telah terlihat dalam hal penentuan sejak kapan
mulai dihitungnya batas waktu untuk pemeriksaan hingga keputusan hakim dijatuhkan, seperti
dinyatakan dalam ayat (1) Pasal 112 di atas. Namun begitu, penentuan waktu (hanya) 2 hari yang
diberikan bagi Hakim untuk memberi keputusan terhadap permohonan, sangat berpotensi
menjadikan pemeriksaan tidak maksimal. Faktanya, waktu 7 hari yang disediakan KUHAP bagi hakim
Praperadilan, ternyata tidak juga efektif (maksimal). Padahal, hakim cenderung menafsirkan 7 hari
tersebut dimulai sejak awal pemeriksaan persidangan dimulai, dan bahkan ada yang menafsirkannya
dimulai sejak sidang pertama yang dihadiri pemohon dan termohon.
Kedua, ketentuan pada ayat (2) Pasal 112 di atas sangat berpotensi menjadikan Hakim Pemeriksaan
Pendahuluan terjebak pada pemeriksaan dokumen formal. Dikaitkan dengan ayat (1) di atas, ayat (2)
dapat dikataka se agai i dikator e duku g keterje aka itu aka ke ali terjadi. Harapa
utama dalam pemeriksaan permohonan terhadap sah tidaknya penahanan prapersidangan
sesungguhnya diarahkan pada hal substansi dari pelaksanaan upaya tersebut, terutama terkait
dengan kepentingan seseorang ditahan atau tidak. Dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitsi
dalam Putusan Nomor 018/PUU-IV/
6, di yataka ahwa, Frasa ini dapat dijadikan dasar apakah
memang ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bagi penyidik atau penuntut untuk
melakukan penahanan, dan apabila keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersebut ternyata
sangat lemah maka hakim praperadilan dapat menyatakan bahwa penahanan tidak mempunyai
rasionalitas dan oleh karenanya dapat dinyatakan tidak sah;
Ketiga, ayat (3) dan ayat (4) Pasal 112 di atas menjadikan perbedaan antara rumusan KUHAP dengan
RKUHAP dalam hal pe uktia . Ber eda de ga KUHAP ta pa kata dapat , ketera ga ya g
terdapat di dalamnya ditafsirkan sebagai kewajiban bagi hakim, di dalam RKUHAP (menambahi kata
dapat di satu sisi erupaka tawara solusi atas kewaji a haki ya g sela a i i harus
menunggu kehadiran kedua belah pihak dalam persidangan, yang akhirnya menjadi bagian dari tidak
terpenuhinya waktu 7 hari dalam memutus permohonan praperadilan. Ketentuan RKUHAP di atas,
dengan begitu, mengandung arti bahwa hakim dapat saja tidak mendengar keterangan dari salah
satu pihak, terutama penyidik sebagai termohon, dalam memutuskan sah tidaknya penahanan.
Namun di sisi lain, jika ketentuan ini terkait dengan penguatan ketentuan ayat (2) yakni karena
hakim hanya memeriksa berkas-berkas formil saja, maka ketentuan ini juga hanya akan mendukung
ketentuan agar hakim tidak memeriksa hal-hal yang substansi dari penahanan seseorang.
Rekomendasi
1. Ketentuan mengenai syarat-syarat penahanan dalam RKUHAP memiliki semangat yang sama
dengan KUHAP, yang membuka peluang begitu mudahnya seseorang ditahan. Tren yang
seharusnya dikembangkan adalah agar penahanan dijadikan sebagai alternatif terakhir, sesuai
dengan instrumen-intrumen internasional yang juga telah diakui secara nasional. Hal itu dapat
ditempuh terhadap ketentuan dalam RKUHAP, yakni penghilangan ketentuan seseorang dapat
ditahan, penentuan adanya peninjauan yudisial terhadap terpenuhinya syarat-syarat
penahanan, serta penunjauan terhadap kekhawatiran agar dapat dijadikan sebagai substansi
materi yang diuji oleh lembaga kontrol.
untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. j. pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap penyidikan

8|Page

2. Seiring dengan pengurangan jangka waktu yang kemungkinan dapat dikenakan kepada
tersangka/terdakwa yang telah dianut dalam RKUHAP, pengurangan jangka waktu penahanan
prapersidangan juga perlu dikurangi. Pengurangan ini pada dasarnya, selain akan bermanfaat
bagi seseorang yang dikenakan tindakan tersebut, juga untuk memotivasi penegak hukum
(penyidik dan penuntut umum) dalam efektivitas kerjanya.
3. Peniadaan jenis penahanan rumah dan penahanan kota, tidaklah memiliki dasar kuat,
terutama dikaitkan dengan data lapangan. Melihat faktanya di lapangan, kedua jenis
penahanan ini adalah penguatan terhadanya, bukan justru menghilangkannya.
4. Dualisme pengelolaan tempat penahanan selain bertentangan dengan instrumen
internasional, juga berpotensi menimbulkan berbagai konsekuensi negatif lainnya. Melalui
perubahan KUHAP, kondisi ini yang sebenarnya merupakan keadaan transisi yang masih
berlangsung hingga kini, perlu dipertegas hanya di bawah satu pengelola saja, yakni
Kemenkumham.
5. Ketentuan mengenai lembaga kontrol terhadap penahanan prapersidangan (Hakim Pemeriksa
Pendahuluan) dalam RKUHAP telah mengalami beberapa kemajuan. Namun, masih perlu
diorientasikan kepada penyelesaian masalah yang terjadi selama ini, terutama terkait dengan
hukum acaranya, dan pemeriksaan terhadap substansi bagaimana dan apa kepentingan
seseorang ditahan. Lembaga kontrol harus diarahkan pada kewajiban pada pemeriksaan hal
substantif tersebut.

9|Page