BUKU PANDUAN 4 MONUMEN PANCASILA SAKTI TAMBAH DAMI PASEBAN 1

MUSEUM DIORAMA PASEBAN
MONUMEN PANCASILA SAKTI
LUBANG BUAYA

TENTARA NASIONAL INDONESIA
PUSAT SEJARAH
MARKAS BESAR
2013
TENTARA NASIONAL INDONESIA
CILANGKAP - JAKARTA TIMUR
2013

TUJUH PAHLAWAN REVOLUSI

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ridho dan rahmatnya
Buku Katalog ini dapat diterbitkan dengan telah selesainya renovasi Gedung Paseban Monumen
Pancasila Sakti Lubang Buaya Pondok Gede, Jakarta Timur, Renovasi Gedung Paseban merupakan
satu bentuk nyata perhatian pimpinan negara dan pimpinan TNI terhadap pentingnya suatu tempat
bersejarah yang tidak saja setiap tahun digunakan sebagai tempat penyelenggaraan secara nasional
“Hari Peringatan Kesaktian (Hapsak) Pancasila pada 1 Oktober“ tetapi juga sebagai tempat bersejarah

terjadinya peristiwa tersebut.
Renovasi Gedung Paseban ini selain memberikan tampilan yang berbeda pada bentuk fisik
gedung tetapi juga memberikan visualisasi peristiwa pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965
yang lebih lengkap, mulai dari rapat-rapat persiapan pemberontakan, penculikan dan pembunuhan
secara keji pada tujuh Perwira TNI AD, penumpasannya oleh TNI/ABRI dan masyarakat, pengangkatan
jenazah dari Sumur Maut serta pemakaman jenazah tujuh pahlawan revolusi yang tertuang dalam 16 diorama.
Besar harapan kami dengan telah direnovasinya Gedung Paseban dan penyajian 16 diorama museum tersebut,
penyelenggaraan Hari Peringatan Kesaktian Pancasila dapat lebih lancar, dan bangsa Indonesia khususnya generasi muda
bangsa yang tidak menyaksikan peristiwa tersebut, dapat mengetahui dan memahami secara lengkap tragedi yang pernah
menimpa bangsa Indonesia tahun 1965, yaitu peristiwa Pemberontakan G 30 S/PKI. Sehingga kehadiran museum ini diharapkan
mampu membangkitkan kesadaran dan kewaspadaan bangsa Indonesia terhadap bahaya komunis yang bersifat laten.

Jakarta. 30 Agustus 2013
Kepala Pusat Sejarah TNI

M. Rusdi Zaini
Brigadir Jenderal

FOREWORD
Thank God we pray to the Almighty God, for the blessing and grace this Catalogue can be

published with the completion of Paseban building renovations on Pancasila Sakti Monument Lubang
Buaya Pondok Gede, East Jakarta. Renovation of Paseban Building is real attention from the state as
well as military leaders toward the importance of a historical place that is not just every year is used
as the venue for the national "Memorial Day Miracle (Hapsak) Pancasila on October 1," but also as a
heritage site of the incident.
This Renovation Besides providing a different look on the physical form of building but also
provide visualization of events uprising G 30 S / PKI 1965 is more complete, ranging from preparatory
meetings rebellion, kidnapping and brutally murder the seven Army officers, crushing by TNI / ABRI
and people, lifting the bodies of the Well of Death and funeral of seven heroes of the revolution set
forth in 16 dioramas.
We hope by this renovation and 16 dioramas presentation, the implementation of Pancasila Memorial Day Miracle
can be more smoothly, and the Indonesian people, especially the young generation who did not witness the incident, to
know and fully understand the tragedies that befall the nation of Indonesia in 1965, the event uprising G 30 S / PKI. So that
museum attendance is expected to raise the awareness and vigilance of Indonesia against latent danger of communism.

Jakarta. 30 August 2013
Head of Center for TNI History,

M. Rusdi Zaini
Brigadier General


DIORAMA 1

RAPAT-RAPAT PERSIAPAN PEMBERONTAKAN G 30 S/PKI
PREPARATORY MEETINGS OF THE SEPTEMBER 30 MOVEMENT/
INDONESIAN COMMUNIST PARTY (PKI) REBELLION

RAPAT-RAPAT PERSIAPAN PEMBERONTAKAN G 30 S/PKI
Dalam rangka melancarkan jalan bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk meraih kekuasaan, maka dibentuklah Biro Khusus PKI yang diketuai
oleh Syam Kamaruzaman dan beranggotakan Pono dan Waluyo. Mereka berada langsung di bawah Ketua PKI D.N. Aidit.
Pada pertengahan bulan Agustus 1965 sekembalinya D.N. Aidit dari RRC, ia memerintahkan Sjam Kamaruzaman menyusun sebuah konsep
gerakan militer untuk melakukan “pukulan” terhadap apa yang menamakan dirinya “Dewan Jenderal” seperi yang diisukan PKI. Pada ininya
D.N. Aidit meminta Biro Khusus untuk membuat suatu konsep gerakan terbatas sesuai dengan pola pemikiran PKI dalam bidang poliik, militer,
informasi dan observasi. Selain itu Sjam ditugaskan pula untuk menyusun konsep “Dewan Revolusi” yang berfungsi sebagai lembaga teringgi
Negara setelah kekuasaan berhasil direbut.
Konsep ini dapat diselesaikan oleh Sjam Kamaruzaman pada Agustus 1965, kemudian melaporkannya kepada DN. Aidit sebagai Ketua CC PKI
guna mendapatkan petunjuk lebih lanjut. Isi konsep gerakan itu yaitu: Pertama, gerakan terbatas yang merupakan gerakan militer. Kedua, sasaran
utama adalah para jenderal yang disebut Dewan Jenderal. Keiga, menguasai instalasi vital seperi: RRI, PTT (Telkom) dan PJKA. Keempat, ada iga
orang militer calon pimpinan gerakan yaitu Letkol Untung S., Kolonel Inf Laief dan Mayor (U) Suyono. Kelima, organisasi gerakan terbagi dalam iga
bagian yaitu militer, poliik dan observasi. Keenam, memanggil kepala Biro Khusus Daerah untuk menerima instruksi Sjam Kamaruzaman tentang

persiapan dan kesiapan terakhir kekuatan yang akan digunakan.
Pada bulan September 1965 Ketua CC PKI D.N. Aidit memerintahkan Syam Kamaruzaman untuk menyusun suatu rencana pemberontakan.
Diputuskan bahwa gerakan perebutan kekuasaan akan dipimpin langsung oleh DN. Aidit, sedangkan Sjam Kamaruzaman ditetapkan sebagai
pimpinan pelaksana gerakan, Pono sebagai wakil pimpinan gerakan dan Bono sebagai pimpinan bagian observasi. Selanjutnya DN. Aidit
memerintahkan Sjam Kamaruzaman untuk mengadakan persiapan-persiapan terakhir menjelang pelaksanaan gerakan. Syam mengadakan rapat
sebanyak 16 kali dengan Pono dan Waluyo, anggota Pimpinan Biro Khusus Pusat, Kepala Biro Khusus Daerah, dan oknum-oknum ABRI yang sudah
dibina PKI. Kesimpulan rapat tersebut adalah gerakan ini harus dibantu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dalam suatu rapat dengan oknum ABRI dibahas masalah pelaksanaan yang melipui personel, logisik, pembagian tugas, pembagian sektor,
dan sasaran gerakan serta konsep “Dewan Revolusi”. Rapat terakhir yang diadakan pada tanggal 29 September 1965 memutuskan gerakan diberi
nama “Gerakan 30 September”, hari H dan jam J, Jumat 1 Oktober 1965 dini hari. Sasaran pertama menculik tujuh Perwira Tinggi TNI AD.

PREPARATORY MEETINGS OF THE SEPTEMBER 30 MOVEMENT/
INDONESIAN COMMUNIST PARTY (PKI) REBELLION
In order to smooth the way for seizing power, Indonesian Communist party (PKI) formed a special bureau, which its members: Syam
Kamaruzaman, Pono and Waluyo. They were directly under PKI’s leader D.N. Aidit.
In mid-August 1965 after returning Aidit from RRC, he ordered Sjam Kamaruzaman to develop a concept of military movement to do
“a blow” to what was calling it’s self the general Council as issued by PKI. In essence, D.N. Aidit asked the special bureau to create a concept
of restricted movement accordance with the pattern of PKI in politics, Military, information and observation. Beside, Sjam also assigned to
make a concept of “Revolution Council” which functioned as a high state institution after power had been won.
This concept succeeded to be completed by Sjam in August 1965, and then handed it over to Aidit as the leader of CC PKI for further

instructions. Contents of the concept were: the first, limited movement which was a military movement. Second, the main targets were
the generals called Generals Council. Third, to control vital installations like Indonesian Republic Radio (RRI) Telecommunication (PTT), and
Train services company (PJKA). Fourth, there were three military candidates of the movement leaders like; Lieutenant Colonel Untung S.,
Colonel Infantry Latief and Major Air Force Suyono. Fifth, movement organization was divided into three parts namely military, politics, and
observation. Sixth, called a special bureau chief regional to accept the instruction of Sjam about final preparation and readiness to use force.
In September 1965 the leader of CC PKI D.N. Aidit ordered Syam Kamaruzaman as the leader of the bureau to draw up a plan of rebellion.
For this purpose, Syam convened 16 times with Pono, Waluyo, members of leadership of central special bureau, chief of regional special
bureau, and TNI members who had been fostered by PKI. The conclusion of the meeting was the movement needed to be supported by troops
from central Java and west Java.
In a meeting with the TNI members had been discussed about the implementation issues of the movement, included personnel, logistic,
sharing of tasks and sectors, target, and concept “Dewan Revolusi (Revolution Council)”. In the last meeting on September 29, 1965 decided
that the movement called “September 30 Movement”. D-Day and H-Hour was friday on October 1, 1965 at predawn. The first target was to
kidnap 7 army high-ranking officers.

DIORAMA 2

LATIHAN SUKARELAWAN PKI DI LUBANG BUAYA
PKI’S VOLUNTEERS TRAINING IN LUBANG BUAYA

LATIHAN SUKARELAWAN PKI DI LUBANG BUAYA

Dalam upaya menumbangkan pemerintah Republik Indonesia yang sah, PKI mempersiapkan diri dengan mengadakan laihan
kemiliteran bagi para anggotanya. Dalih yang digunakan ialah melaih para sukarelawan dalam rangka konfrontasi terhadap Malaysia.
PKI juga menuntut agar pemerintah membentuk Angkatan ke-5 dengan cara mempersenjatai buruh dan tani. Konsepsi
tentang “Angkatan ke V” yang dicetuskan oleh D.N. Aidit ini meniru konsep dari pemimpin-pemimpin Republik Rakyat Cina yakni
mempersenjatai buruh dan tani.
Agar idak menimbulkan kecurigaan, dalih yang digunakan dalam melaih para sukarelawan adalah untuk mengganyang
Neo Kolonialisme (Nekolim). Sehingga dengan diam-diam sejumlah anggota yang mereka sebut Sukarelawan Kita (Sukta) dilaih
di Desa Lubang Buaya, Jakarta. Mereka terdiri dari pemuda dan pemudi PKI, buruh dan tani, serta kelompok lain dalam partai
komunis. Laihan para sukarelawan PKI tersebut diadakan dari tanggal 5 Juli sampai 30 September 1965. Dalam laihan kemiliteran
ini diajarkan mulai dari laihan baris berbaris, bongkar pasang senjata, dan teknik bertempur.
Mereka berjumlah 3.700 anggota yang dibagi menjadi tujuh gelombang. Selain di Desa Lubang Buaya, laihan juga diadakan
di Rawa Binong, lebih kurang 2 kilometer sebelah selatan Desa Lubang Buaya. Di tempat ini hanya 26 anggota yang dilaih
untuk
kader-kader khusus PKI. Laihan ini mendapat dukungan dari Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Udara
(Dan Men P3U) Mayor Udara Sudjono, berupa peralatan, makanan dan pakaian.

PKI’S VOLUNTEERS TRAINING IN LUBANG BUAYA
In an effort to overthrow the legitimate government of the Republic of Indonesia. For the preparation of the rebellion, PKI
held a military training for their members. The pretext to be used was to train volunteers in order to make a confrontation
against Malaysia.

PKI demanded government to form a 5th force by arming the workers and peasants. The concept of a 5th force which
initiated by Aidit actually imitated from the RRC leaders concept.
So as not to arouse suspicion, the pretext to be used was to train volunteers to crush Neo-Colonialism (Nekolim) so quietly
some members that they called our volunteers were trained in Lubang Buaya, Jakarta. They consisted of PKI’s young men
and women, workers and peasants, and also other groups within the communist party. The training was held on 5 July to 30
September 1965. In the military training they were trained of drill regulations, disassembly of weapons, and combat techniques.
A number of 3.700 members who divided into 7 phases, were trained here. Besides in Lubang Buaya Village, training also
conducted in Rawa Binong, about 2 miles south of Lubang Buaya Village. Only 26 PKI’s members trained here for specialized
cadres. For the equipment, food, and clothing of the training were supported by Regiment Commander of the Airbase Defense
Troop Major Air Force Sudjono.

DIORAMA 3

JENAZAH PARA PERWIRA ANGKATAN DARAT
DIMASUKKAN KE DALAM SUMUR MAUT
THE CORPSES OF ARMY OFFICERS GOT INTO A WELL OF DEATH

JENAZAH PARA PERWIRA ANGKATAN DARAT
DIMASUKKAN KE DALAM SUMUR MAUT
Dini hari 1 Oktober 1965, tujuh Perwira TNI AD diculik dan dibunuh oleh G 30 S/PKI yang kemudian dibawa ke desa Lubang

Buaya Jakarta. Tiga diantaranya dibunuh di kediamannya, yaitu Letjen Ahmad Yani, Mayjen M.T. Harjono, dan Brigjen D.I. Pandjaitan.
Sedangkan empat orang lainnya diculik dari rumahnya dan dibawa dalam keadaan masih hidup dengan kondisi mata ditutup kain
berwarna merah dan tangan diikat ke belakang dengan tali. Keempatnya kemudian disiksa dan dibunuh secara kejam di dalam
sebuah rumah. Mereka itu adalah Mayjen R. Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen Soetojo S., dan Letu P.A. Tendean.
Selanjutnya semua jenazah diseret dan dimasukkan ke sebuah sumur berdiameter 75 cm dan kedalaman 12 m dengan posisi
kepala di bawah. Jenazah Mayjen R. Soeprapto bersama Mayjen S. Parman diikat menjadi satu. Setelah semua jenazah dimasukkan
ke dalam sumur, kemudian ditembaki secara beruntun. Selanjutnya untuk menghilangkan jejak, sumur diimbun dengan tanah dan
sampah.

THE CORPSES OF ARMY OFFICERS GOT INTO A WELL OF DEATH
Predawn, October 1, 1965, 7 army officers were kidnapped and killed by September 30 Movement/PKI and to be brought
to Lubang Buaya village East Jakarta. Three of the officers were killed at their homes, they were: Lieutenant General Ahmad
Yani, Major General M.T. Harjono, and Brigadier General D.I. Panjaitan. While the other four officers were kidnapped and
brought alive with eyes covered by red cloth and hands tied with rope backward. Those who still alive were tortured and brutally
murdered in a house. They were: Major General R. Soeprapto, Major General S. Parman, Brigadier General Soetojo S., and First
Lieutenant P.A. Tendean.
The kidnappers then dragged all the dead bodies and dumped them into an old well in diameter of 75 centimeters and
12 meters deep with head under. Major general R. Soeprapto's body and Major general S. Parman tied together. After all
the bodies got into the well, the kidnappers pointed their guns and shot several times into the well. To eliminate traces, the
kidnappers filled the well with soil and rubbish


DIORAMA 4

PENGAMANAN LANUMA HALIM PERDANAKUSUMA
SECURING HALIM PERDANA KUSUMA MAIN AIRBASE

PENGAMANAN LANUMA HALIM PERDANAKUSUMA
Pengamanan Pangkalan Utama (Lanuma) Halim Perdanakusuma merupakan bagian dari operasi penumpasan pemberontakan
G 30 S/PKI yang telah menculik dan membunuh 6 orang perwira inggi dan 1 orang perwira pertama TNI AD serta menguasai
beberapa obyek vital. Dalam keadaan gening Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayjen TNI
Soeharto mengambil langkah memimpin operasi penumpasan G 30 S/PKI. Sasaran utamanya adalah merebut kembali obyek
vital yang sudah dikuasai pemberontak. Salah satu diantaranya adalah Lanuma Halim Perdanakusuma. Operasi pengamanan ini
bertujuan idak hanya membebaskan pangkalan dari kekuasaan pemberontak, tetapi juga untuk mencari lokasi disembunyikannya
para perwira TNI AD yang diculik.
Pukul 01.00 tanggal 2 Oktober 1965 Pangkostrad mengeluarkan perintah untuk segera mengamankan Lanuma Halim PK karena
diduga kekuatan G 30 S/PKI Batalyon 454/Diponegoro, 1 kompi Batalyon 530/Brawijaya dan kesatuan Brigif I Kodam V/Jaya berpusat
di pangkalan tersebut. Pasukan yang diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut adalah pasukan Resimen Para Komando
Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhi Wibowo, yang bermarkas di Cijantung. Pasukan ini diperkuat oleh
1 batalyon 328/Siliwangi, 1 kompi tank dan 1 kompi panser Batalyon Kavaleri I. Dalam melaksanakan tugas operasi, diperintahkan
untuk menghindarkan pertumpahan darah, pengrusakan pesawat dan aset negara lainnya yang berada di sekitar pangkalan udara.

Tanggal 2 Oktober 1965 pasukan operasi pengamanan mulai bergerak pukul 03.00 dari Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur
melalui Patung Pak Tani, ke arah Senen, Jainegara, Klender, selanjutnya menuju Halim PK. Mereka iba di lokasi sasaran sekitar
pukul 06.00. Tembak menembak pun tak dapat dielakkan. Gugur 2 orang anggota TNI Angkatan Udara yaitu Sertu Supardi dan
Pratu Toegimin di Depo Perminyakan. Pertempuran yang lebih besar dapat diredam setelah terjadinya komunikasi antara pimpinan
RPKAD, Lanuma Halim PK, dan Batalyon 454/Diponegoro. Tembak menembak berhasil dihenikan atas jasa Komodor Dewanto
dan Kapten Udara Kundimang. Pasukan RPKAD akhirnya dapat menguasai hanggar Skuadron 31/Angkut Berat, hanggar Skuadron
3/Angkut Sedang, hanggar Skuadron 17/VIP, Menara dan fasilitas pangkalan lainnya. Pasukan pemberontak akhirnya dibubarkan
oleh komandan masing-masing dan melarikan diri keluar dari lokasi Lanuma Halim PK. Pukul 06.10 Lanuma Halim PK berhasil
diamankan oleh RPKAD dan pasukan pendukung lainnya dari kekuasaan pasukan G 30 S/PKI.
.

SECURING HALIM PERDANA KUSUMA MAIN AIRBASE
Securing main airbase (Halim Perdanakusuma) was part of the TNI operation to crush PKI that had kidnapped and killed
6 army high rank officers, one firts officer and also controlled the vital objects. In a precarious state, Commander of the Army
Strategic Reserve Command (Pangkostrad) Major General Soeharto led the crushing operation. The main Targets were to take
over the vital objects which had controlled by the rebellion. One of it was Halim Perdanakusuma main airbase (Lanuma Halim
Perdanakusuma). This operation was aimed not only to free Halim but also to find out the location where the generals were
hidden and kidnapped by the PKI.
At 01:00 AM. On October 2, 1965, Commander of the Army Strategic Reserve Command (Kostrad) Major General Soeharto
issued an order to secure Halim Perdana Kusuma main airbase considering that the PKI forces concentrated there. RPKAD

(Regiment of the Army Para Command) which based in Cijantung was ordered to carry out the task, who led by Colonel Sarwo
Edhi Wibowo. This troop was reinforced by one battalion Para Kujang/Siliwangi and one company of cavalry Panzer. In the
operation was ordered to avoid bloodshed, destruction of aircraft and other state assets around Halim.
The securing operation of the Halim Perdanakusuma main airbase was held on October 2, 1965 at 3:00 AM. The troops
departed from Kostrad headquarters on Merdeka Timur Street passed the statue of the farmer to Senen, Jatinegara, Klender,
then went to Halim PK and arrived at about 6:00 AM. Shootouts between troops were inevitable.Two Soldiers from Air force
were killed they were Fist Sergeant Soepardi and private Toegimin at depo perminyakan. Bigger battles can be muted after
having communication among RPKAD leaders, Halim forces, and battalion 454th/Diponegoro. Shooting able to be stopped for
services of Komodor Dewanto Captain air force Kundimang. RPKAD troops finally able to control squadron hangar 31/ heavy
haul squadron hangar 3/ medium haul, squadron hangar 17/VIP, tower and other base facilities. The rebellion troops finally
be dissolved by the commanding officer of each and escaped out of Halim PK. At 06:10 AM Halim main airbase succeed to be
secured by RPKAD and other supported troops.

DIORAMA 5

PENGANGKATAN JENAZAH DARI SUMUR MAUT
THE REMOVAL OF THE CORPSES FROM THE WELL OF DEATH

PENGANGKATAN JENAZAH DARI SUMUR MAUT
Proses pencarian tujuh perwira TNI-AD yang diculik dan dibunuh oleh G 30 S/PKI pada dini hari 1 Oktober 1965 berhasil ditemukan
di Desa Lubang Buaya. Penemuan lokasi penculikan ini atas informasi dari Agen Polisi Tingkat II Sukitman, yang ikut diculik G 30 S/
PKI namun berhasil meloloskan diri. Pasukan RPKAD dibawah pimpinan Danyon I Mayor C.I. Santosa menemukan lokasi sumur tua
pada 3 Oktober 1965 sekitar pukul 16.00.
Selanjutnya dengan dibantu warga sekitar dilaksanakan penggalian. Setelah dipasikan bahwa di dalamnya terdapat jenazah,
penggalian kemudian dihenikan, mengingat hari sudah larut malam.
Proses pengangkatan jenazah tujuh perwira TNI-AD dari dalam sumur tua dengan diameter 75 Cm dan kedalaman 12 meter
dilaksanakan tanggal 4 Oktober 1965 oleh pasukan RPKAD dan KIPAM (Kesatuan Intai Para Amphibi) KKO AL pimpinan Kapten
KKO Winanto. Pengangkatan jenazah dari dalam sumur melibatkan pasukan KIPAM karena sumur cukup dalam dan berbau busuk.
Peralatan utama yang dipakai untuk mengangkat jenazah dari dalam sumur tua berupa peralatan selam (masker dan tabung gas)
dan tali tambang. Pangkostrad Mayjen Soeharto memimpin langsung pengangkatan jenazah dari dalam sumur tua di Desa Lubang
Buaya. Jenazah yang berhasil diangkat pertama kali yaitu jenazah Letu P.A. Tendean pada pukul 12.05 WIB. Pukul 12.30 dua
jenazah berhasil diangkat sekaligus karena dalam keadaan terikat menjadi satu yaitu jenazah Mayjen S. Parman dan jenazah Mayjen
R. Soeprapto. Selanjutnya berturut-turut berhasil diangkat jenazah Mayjen M.T. Haryono, jenazah Brigjen Soetojo S. Jenazah Letjen
A. Yani berhasil diangkat pukul 13.20 WIB dan yang paling terakhir diangkat yaitu jenazah Brigjen TNI D.I. Pandjaitan pada pukul
13.40 WIB. Selanjutnya, satu persatu jenazah dimasukkan ke dalam pei untuk dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD)
Gatot Soebroto untuk divisum.

THE REMOVAL OF THE CORPSES FROM THE WELL OF DEATH
Searching process of the seven army officers which kidnapped and murdered by PKI finally succeeded to be found in the
Lubang Buaya Village. Based on the information from Police Agent II Sukitman, who was also kidnapped by PKI but managed
to escape. RPKAD troop led by battalion commander I Major C.I. Santoso found the location of the old well, on October 3, 1965
at around 16:00 PM.
The excavation started which helped by local people until evening. After it was sure that inside the well there were bodies,
excavation was stopped.
Process of removing seven army officers from inside of the old well with a diameter of 75 centimeters and a depth of
12 meters was executed on October 4, 1965 by RPKAD and The amphibious reconnaissance unit (KKO) from Indonesian navy
who led by Captain Winanto. KKO was involved because of the well was to deep and stink. The equipment used to remove
the bodies such as mask and gas tube and ropes. Commander of the Army Strategic Command (Pangkostrad) Major General
Soeharto directly led the lifting of the seven dead bodies. It started at 12:05 PM and the first body lifted was First Lieutenant
P.A.Tendean. At 12:30 PM two bodies, Major General S. Parman and Major General R. Soeprapto were lifted who tied together,
and then successively Major General M.T. Harjono, Brigadier General Soetojo S, Lieutenant General A. Yani and the last body
was Brigadier General D.I. Panjaitan at 13:40 PM. Next, all the corpses were brought to Army Hospital Center (RSPAD) Gatot
Subroto for vise.

DIORAMA 6

UPACARA PEMBERANGKATAN JENAZAH KE TMP KALIBATA JAKARTA
DEPARTURE CEREMONY OF 7 CORPSES
TO KALIBATA HEROES CEMETERY

UPACARA PEMBERANGKATAN JENAZAH KE TMP KALIBATA JAKARTA
Setelah tujuh jenazah Perwira TNI AD selesai divisum dan dimandikan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot
Soebroto, Jakarta, pada malam hari 4 Oktober 1965 ketujuh jenazah disemayamkan di ruang bawah sebelah kanan Markas Besar
Angkatan Darat (MBAD)
Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1965 diadakan upacara pemberangkatan tujuh jenazah perwira TNI AD di MBAD dengan
inspektur upacara Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasuion. Atas jasa-jasanya pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan
revolusi dan menaikan pangkatnya satu ingkat lebih inggi dari pangkat semula
Masing-masing jenazah pahlawan revolusi diletakkan di atas panser Saraceen dan dijaga oleh seorang perwira TNI-AD. Tepat pukul
10.00 WIB, dengan diringi tembakan salvo dan suara genderang ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi, diberangkatkan menuju TMP
Kalibata. Konvoi iring-iringan ini didahului dengan barisan kendaraan pengawal kehormatan, kemudian panser pertama membawa
Jenazah Letjen A. Yani yang dijaga Letjen Djaikusumo, kemudian diikui jenazah Pahlawan Revolusi lainnya.
Iring iringan kendaraan jenazah berangkat dari MBAD di jalan Merdeka Utara, dengan rute jalan Merdeka Timur, Cikini Raya,
Salemba Raya, Matraman Raya, Jainegara, Cawang, Pancoran dan TMP Kalibata yang ditempuh selama lebih kurang dua jam.
Masyarakat Jakarta yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Pahlawan Revolusi memenuhi sepanjang jalan yang dilalui
iring-iringan jenazah tersebut. Keika memasuki pintu gerbang TMP Kalibata, jenazah Pahlawan Revolusi mendapat pengawalan
kehormatan yang dilakukan kavaleri TNI-AD dan taruna AKABRI
Pemakaman pahlawan revolusi dilakukan dengan upacara kebesaran militer dan berindak sebagai inspektur upacara Pangkostrad
Mayjen Soeharto. Pemakaman diawali dengan tembakan salvo, kemudian secara perlahan-lahan satu persatu pei jenazah Pahlawan
Revolusi diturunkan ke liang lahat. Pei jenazah Jenderal A. Yani yang pertama dimasukkan, kemudian disusul dengan penurunan
pei jenazah Letjen R. Soeprapto, Letjen M.T. Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen D.I. Pandjaitan, Mayjen Soetojo S. dan Kapten
Czi P.A. Tendean

DEPARTURE CEREMONY OF 7 CORPSES TO KALIBATA HEROES CEMETERY
After seven army officers bodies were vised and bathed at RSPAD Gatot Soebroto. At night on October 1965 seven bodies
buried in the basement right next to Army Headquarters (MBAD).
On October 5, 1965 a departure ceremony of the seven army officers corpses were held at Army headquarters and as the
inspector of ceremony was Coordinator Minister of Defence Security/Chief of Staff of Armed Forces General A.H. Nasution. Of
their services, the government of Indonesia conferred honorary degrees upon them titles of Revolution Heroes and raised their
rank one level higher than before.
Each corpse was laid on the panzer saraceen which guarded by one army officer. At 10:00 AM, accompanied by a salvo firing
and sound of drums, the seven dead bodies started to go to the Kalibata Cemetery Heroes (TMP Kalibata). Convoy of hearses
preceded by honor guard vehicle. The first panzer brought Lieutenant General A. Yani's body and followed by other six panzers.
The hearse convoy departed from Army Headquarters at Merdeka Utara Street, with the route of Merdeka Timur Street,
Cikini Raya, Jatinegara, Cawang, Pancoran, and TMP Kalibata which took about two hours. Along the way, it was crowded by
the Jakarta people who wished to give their last respects to the revolution heroes.
The funeral of the revolution heroes conducted by a military ceremony and as the inspector of ceremony was Major General
Soeharto. Funeral began with a salvo firing, then slowly but sure, one by one of the coffins lowered into the grave. General A.
Yani's coffin took the first, followed by Lieut. Gen. R. Soeprapto, Lieut. Gen. M.T. Harjono, Lieut. Gen. S. Parman, Maj. Gen. D.I.
Panjaitan, Maj. Gen. Soetojo S, and First Lieut. P.A. Tendean.

DIORAMA 7

PENCULIKAN JENDERAL A.H. NASUTION
THE KIDNAPPING OF GENERAL A.H. NASUTION

PENCULIKAN JENDERAL A.H. NASUTION
Sekitar pukul 03.00 WIB dini hari 1 Oktober 1965 pasukan yang bertugas menculik Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasuion berangkat dari Desa Lubang
Buaya pertama kali. Pasukan ini dipimpin oleh Pelda Djahurub dari Resimen Cakrabirawa, yang terdiri dari 1 peleton Brigif 1 Kodam V/Jaya, 1 regu Cakrabirawa,
1 peleton dari Yon 530/Brawijaya, 1 peleton dari Yon 454/Diponegoro, 1 peleton PGT dan 1 peleton sukarelawan. Mereka menggunakan 3 truk dan 2 jeep. Kekuatan
pasukan ini adalah yang terbesar sampai lebih kurang 100 orang, karena Jenderal A.H. Nasuion dianggap sasaran yang paling pening.
Sebelum memasuki rumah Jenderal A.H. Nasuion, gerombolan penculik melumpuhkan regu pengawal rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Leimena yang letaknya berdekatan dengan rumah Jenderal A.H. Nasuion. Dalam perisiwa itu seorang pengawal Aipda Karel Satsuit Tubun gugur karena ditembak
salah satu penculik.
Di depan kediaman Jenderal A.H. Nasuion di Jalan Teuku Umar No. 40 Jakarta, pasukan penculik bergerak menuju halaman. Pengawal rumah Jenderal A.H.
Nasuion yang berada di halaman idak curiga karena mereka memakai seragam Pasukan Pengawal Istana, Resimen Cakrabirawa. Sekitar 30 pasukan penculik
bergerak masuk pekarangan dan menyergap para pengawal yang berada di pekarangan. Sebagian pasukan penculik mengepung rumah dan memblokir jalan.
Sementara sekitar 15 penculik lainnya masuk ke dalam rumah.
Terbukanya pintu ruang tamu dan terdengarnya suara gaduh menyebabkan Istri Jenderal A.H. Nasuion membuka pintu kamar, dan melihat seorang anggota
Cakrabirawa siap untuk menembak. Merasa curiga, Istri Jenderal A.H. Nasuion segera menutup kembali pintu kamarnya. Kemudian memberitahu Jenderal A.H.
Nasuion. Keika Jenderal A.H. Nasuion membuka pintu, beberapa tembakan diarahkan kepadanya. Jenderal A.H. Nasuion menjatuhkan diri ke lantai untuk
menghindari tembakan. Kemudian Istri Jenderal A.H. Nasuion secara spontan segera menutup pintu kamar dan menguncinya. Mendengar suara gaduh tersebut, ibu
dan adik perempuan Jenderal A.H. Nasuion yang bernama Mardiyah masuk ke kamar idur Jenderal A.H. Nasuion melalui pintu kamar sebelah. Mardiyah kemudian
segera mengambil Ade Irma Suryani yang masih berumur 5 tahun untuk diselamatkan ke tempat lain. Namun, karena panik ia membuka pintu kamar utama. Keika
ia membuka pintu, anggota Cakrabirawa telah menunggu dan menembaknya sehingga mengenai Ade Irma Suryani.
Tembakan-tembakan yang dilepaskan dari luar pintu ternyata satu peluru menyerempet mengenai kepala Istri Jenderal A.H. Nasuion dan satu lagi mengenai
dada yang menyebabkan goresan di kulit. Dalam keadaan yang demikian, Istri Jenderal A.H. Nasuion kemudian menyarankan Jenderal A.H. Nasuion untuk segera
lari ke luar melalui pintu yang lain. Selanjutnya Jenderal A.H. Nasuion ke samping rumah dan naik ke tembok pagar yang berbatasan dengan Kedutaan Besar Irak.
Keika Jenderal A.H. Nasuion melompai tembok, penculik sempat melepaskan tembakan tetapi idak mengenainya. Keika berada di atas tembok dan melihat
anaknya, Ade Irma Suryani tertembak, ia bermaksud kembali, tetapi Istri Jenderal A.H. Nasuion memberi isyarat agar menyelamatkan diri. Jenderal A.H. Nasuion
kemudian melompat dan berhasil menyelamatkan diri.

THE KIDNAPPING OF GENERAL A.H. NASUTION
At around 3:00 AM, October 1, 1965, a troop assigned to kidnap the Coordinator Minister of Defense and Security (Menko Hankam)/Chief of Staff of
the Indonesian Armed Forces (Kasab) General A.H. Nasution departed from lubang Buaya firstly. This troops were led by Warant Officert Djahurub from
Cakrabirawa Regimen and comprised of some troops such as Infantry Brigade 1 Military Regional Command (Kodam) V/Jaya, Cakrabirawa troop, Battalion
530th/ Brawijaya, Battalion 454th/ Diponegoro, Fast Movement Troop (PGT) and volunteer troop. Each of them consisted of one platoon, except Cakrabirawa
was only one team. They drove 3 trucks and 2 jeeps. This was the most numerous troops for about a hundred people because General Nasution was the most
important target.
Before entering the General Nasution’s residence, the kidnappers demolished the home guard of Deputy Prime Minister II (Waperdam) Dr. Leimena which
was so close with General Nasution’s residence. On that incident, a guard named Aipda Karel Satsuit Tubun was shot and killed by the kidnapper.
In front of General A.H. Nasution’s residence at Teuku Umar Street No. 40 Jakarta, the kidnapper troops moved into the yard. The home guards at the yard
did not suspect anything because they wore Cakrabirawa uniform (the President Guard forces).
Around 30 soldiers moved into the yard and demolished the guards. Most kidnappers surrounded the house and blocked the road. Meanwhile 15 others
entered the house.
The opening of living room door and noisy sound had caused the wife of General A.H. Nasution opened the bedroom door. She saw a member of Cakrabirawa
who ready to shoot. In suspicious, General A.H. Nasution’s wife immediately closed the door and told her husband. When General A.H. Nasution opened the
door, several shots were fired him. He dropped himself to the floor in avoiding gunfire. Then the wife of General Nasution spontaneously closed and locked the
door. Because of the noise, the mother and sister of General Nasution named Mardiyah came into Nasution’s room through the next room door. Mardiyah then
immediately took Ade Irma Suryani, the Nasution’s daughter who was still 5 years old to be saved elsewhere. Unfortunately, she opened the main door because
of panic. When she opened the door, the Cakrabirawa soldier have waited and then shot which caused Ade Irma Suryani got shot.
The shots from outside the door apparently grazed the head and chest of Nasution’s wife which caused scratches on the skin. In that condition, Mrs.
Nasution suggested her husband to run through another door and he followed. Next, General Nasution tried to jump over the wall which borders with Iraqi
Ambassador's Residence. When General A.H. Nasution climbed the wall, the kidnappers had opened fire but did not hit him. While on the wall, General Nasution
saw his daughter, Ade Irma Suryani shot. He wanted to come back, but Nasution's wife gave a signal to run away. General A.H. Nasution then jumped and
escaped to avoid the kidnapping.

DIORAMA 8

PENCULIKAN LETNAN JENDERAL AHMAD YANI
THE KIDNAPPING OF LIEUTENANT GENERAL AHMAD YANI

PENCULIKAN LETNAN JENDERAL AHMAD YANI
Sikap tegasnya yang menentang usulan PKI tentang pembentukan Angkatan V, menjadikan Men/Pangad Letnan Jenderal
Ahmad Yani menjadi target utama penculikan gerombolan G 30 S/PKI. Pasukan yang menculik Letjen A. Yani berangkat dari Desa
Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 dipimpin oleh Peltu Mukidjan dengan kekuatan 1 peleton Brigif 1 Kodam V/Jaya, 1
regu Cakrabirawa, 1 peleton Batalyon 530/Brawijaya, 1 peleton Batalyon 454/Diponegoro, 1 regu Pasukan Gerak Tjepat, dan 2 regu
sukarelawan. Mereka berangkat dengan menggunakan 2 truk dan 2 bus.
Seiba ditempat kediaman Letjen A. Yani, di Jalan Lembang D 58 Jakarta, Peltu Mukidjan yang didampingi Sersan Raswad
serta beberapa anggota Cakrabirawa segera melucui regu pengawal yang idak curiga dengan kedatangan pasukan penculik.
Mereka kemudian mengetuk pintu yang dibukakan oleh putra Letjen A. Yani bernama Edi yang berumur tujuh tahun. Pimpinan
pasukan penculik kemudian menyuruh Edi untuk membangunkan ayahnya dan memberitahu bahwa ada utusan presiden yang
memerintahkan untuk datang ke Istana.
Letjen A. Yani yang masih mengenakan pakaian piyama biru kemudian menemui para penculik. Sersan Raswad mengatakan
bahwa Letjen A. Yani diperintahkan segera menghadap presiden. Letjen Ahmad Yani menyanggupi dan akan mandi terlebih dahulu.
Saat Letjen A. Yani membalikkan tubuhnya, salah seorang penculik, Praka Dokrin mengatakan idak perlu, sehingga menimbulkan
kemarahan Letjen A. Yani dan langsung menamparnya. Selanjutnya Letjen A. Yani kembali ke dalam rumah dan menutup pintu. Saat
itulah Sersan Raswad memerintahkan Kopda Gijadi yang berdiri disamping Praka Dokrin untuk menembak Letjen A. Yani dengan
senapan Thomson hingga tewas. Kemudian jenazah Letjen TNI A. Yani diseret oleh Praka Wagimin ke pekarangan dan dilemparkan
ke dalam salah satu truk selanjutnya dibawa ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF LIEUTENANT GENERAL AHMAD YANI
The firmly decision of Minister/ Army Commander in Chief, Lieutentant General Ahmad Yani to oppose the establishment of
5th Force had caused him as kidnapping main target of the September 30th Movement of Indonesian Communist Party (PKI).
The troop which tasked to kidnap The Minister/Commander in Chief of Army Lieutenant General A. Yani departed from Lubang
Buaya Village on October 1, 1965 led by Chief Warrant Officer Mukidjan with one platoon of 1st infantry Brigade Kodam V/
Jaya, one team of Cakrabirawa, one platoon of Battalion 530th/Brawijaya, one platoon of Battalion 454th/Diponegoro, one
team of PGT, and two teams of volunteers. They drove 2 trucks and 2 buses.
Upon arrival at the General A. Yani's home, at Lembang Street D58, Jakarta, the leader of the troop, accompanied by the
Second Sergeant Raswad and some of the troops immediately disarmed homeguards who were not suspicious of the troop’s
arrival. After that the kidnappers knocked on the door and Edi, General A. Yani’s son who was still seven years old opened the
door. The kidnapper's leader then asked the son to wake his father up and told that there was a President guard who wanted
the general to come to the palace.
General A. Yani, who was still wearing blue pajamas, then met the kidnappers. Sergeant Raswad told that the general was
ordered to meet president immediately. General A. Yani agreed but he needed to take a bath and got dressed. When he turned
over, one of the kidnappers, Praka Dokrin said no need. It made the general angry and directly slapped him. Next the general
went back to his room and as he was closing the door, Second Sergeant Raswad gave an order to Corporal Gijadi to shoot
General A. Yani with his Thompson automatic rifle to death. Then the body of General A. Yani was dragged out of the house by
Praka Wagimin and thrown into a truck and brought to Lubang Buaya Village.

DIORAMA 9

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL R. SOEPRAPTO
THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL R. SOEPRAPTO

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL R. SOEPRAPTO
Penculikan Depui II Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Mayjen R. Soeprapto dilakukan dini hari
1 Oktober 1965 di kediaman Jalan Besuki No. 19, Jakarta Pusat. Pasukan penculik berkekuatan 2 regu. Regu 1 dipimpin
Serka Sulaiman dan regu 2 dipimpin Serda Sukiman. Pasukan ini merupakan bagian dari Pasukan Pasopai yang bertugas
menculik para Jenderal Angkatan Darat di bawah pimpinan Letu Dul Arief. Pimpinan pasukan Pasopai ini ikut dalam
pasukan penculik Mayjen R. Soeprapto ini.
Keika terdengar seorang penculik membuka pintu pagar, saat itu Mayjen R. Soeprapto belum idur karena sedang
sakit gigi. Kemudian Mayjen R. Soeprapto menanyakan siapa di luar dan dijawab bahwa mereka anggota Cakrabirawa.
Mayjen R. Soeprapto dan istrinya idak menaruh rasa curiga dan keluar dari kamarnya. Keika Mayjen R. Soeprapto
membuka pintu rumah, beberapa orang anggota Cakrabirawa sudah menunggu di teras. Serka Sulaiman mengatakan
bahwa Mayjen R. Soeprapto diperintahkan segera menghadap presiden. Mayjen R. Soeprapto menyanggupi, tetapi
akan menggani pakaian terlebih dahulu. Namun, para penculik idak mengijinkan. Mayjen R. Soeprapto ditodong dan
dipaksa ke luar. Beberapa orang memegang tangan Mayjen R. Soeprapto dan memaksanya naik ke salah satu truk yang
tersedia. Kemudian pasukan penculik membawa Mayjen R. Soeprapto ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL R. SOEPRAPTO
The kidnapping of Major General R. Soeprapto, the Second Deputy of Minister/ Commander in Chief of Army, was
executed at dawn on October 1, 1965 at Basuki street number 19, Central Jakarta. The kidnapper’s troop consisted
of two teams, the first team led by Chief Sergeant Sulaiman and the second team led by Sergeant Sukiman. First
Lieutenant Dul Arief, a leader of the whole kidnapper’s troop of the army generals, called Pasopati troop, involved
in the kidnapping of Major General R. Soeprapto.
When the sound of kidnapper opened the gate could be heard, Major General R. Soeprapto could not sleep
because of toothache. The general asked anyone outside and replied that they were Cakrabirawa troop. General
R. Soeprapto and his wife were not suspecious and went out of their room. When he opened the house’s door,
some of the Cakrabirawa were waiting on the porch. Chief Sergeant Sulaiman said that Major General Soeprapto
was summoned by president immediately. The general agreed, but he wanted to change his clothes first. But the
kidnappers did not allow and even he was mugged and forced out. Some kidnappers hold his hands and forced him
up to one of the truck, then brought him to Lubang Buaya Village.

DIORAMA 10

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL M.T. HARJONO
THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL M.T. HARJONO

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL M.T. HARJONO
Keika G 30 S/PKI melancarkan aksinya Mayjen M.T. Harjono menjabat sebagai Depui III Men/Pangad. Ia sangat keras menentang
rencana PKI untuk menasakomkan ABRI dan rencana PKI untuk membentuk angkatan ke V. Oleh sebab itu ia masuk dalam datar
musuh PKI yang harus dilenyapkan.
Operasi penculikan Mayjen M.T. Harjono dilaksanakan dini hari 1 Oktober 1965, dipimpin oleh Serka Bungkus dari Resimen
Cakrabirawa dengan kekuatan 3 regu dari Yon 530/Brawijaya. Para penculik berangkat dari Lubang Buaya pukul 03.30 WIB menuju
kediaman Mayjen M.T. Harjono di jalan Prambanan No. 8 Jakarta. Seibanya di kediaman, para penculik kemudian berpencar menjadi
iga kelompok sesuai tugas yang sudah ditentukan.
Pemimpin penculik mengetuk pintu rumah dan Istri Mayjen M.T. Harjono yang membukakannya. Serka Bungkus menyampaikan
bahwa Mayjen M.T. Harjono diperintahkan segera untuk menghadap presiden. Keika pesan tersebut disampaikan, Mayjen M.T.
Harjono menolak dan menyuruh mereka agar kembali lagi pada pukul 08.00 WIB. Namun, pesan yang disampaikan Istri Mayjen M.T.
Harjono itu ditolak dan pimpinan penculik tetap memaksa. Setelah mendengar jawaban penculik dari istrinya, Mayjen M.T. Harjono
merasa ada sesuatu yang mencurigakan, sehingga menyuruh istri dan anak-anaknya untuk berpindah ke kamar sebelah.
Para penculik marah dan berteriak agar Mayjen M.T. Harjono segera ke luar. Karena permintaannya idak dipenuhi, para penculik
mendobrak dan menembaki pintu kamar, sehingga pintu terbuka dan kamar dalam keadaan gelap. Para penculik selanjutnya masuk
dengan senjata siap tembak dan salah seorang diantaranya membakar surat kabar untuk menerangi ruangan. Pada deik-deik yang
menegangkan tersebut Mayjen M.T. Harjono berusaha merebut senjata dari salah seorang penculik, namun idak berhasil, bahkan ia
diikam dengan sangkur oleh penculik lainnya. Tembakan Serka Bungkus akhirnya menyebabkan Mayjen M.T. Harjono tewas sekeika.
Selanjutnya jenazah Mayjen M.T. Harjono diseret ke luar dan dilemparkan ke atas truk untuk dibawa ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL M.T. HARJONO
Mayor General M.T. Harjono was Deputy III of Minister/ Commander in Chief of Army when the tragedy of September 30th
Movement of Indonesian Communist Party (PKI). He really opposed PKI planning in conducting Nasakom (Nationalist Religion
Communist) to Indonesian Republic Armed Forces (ABRI) and forming of the 5th Force. Therefore he became the PKI’s enemy and
listed as a target to be killed.
The kidnapping of Major General M.T. Harjono was conducted at dawn on October 1, 1965 and led by Chief Sergeant Bungkus
from Cakrabirawa Regimen who supported by three teams of Battalion 530th/Brawijaya. They departed from Lubang Buaya
village at 3.30 A.M. to Major General M.T. Harjono's residence at Prambanan street number 8, Jakarta. After arrived, they were
spread out into three teams according to the planned task.
The kidnappers’ leader knocked on the door and it was opened by Mrs. Harjono. Sergeant Bungkus told her that Major General
M.T. Harjono was called by president. When the message was delivered to her husband, the general refused and ordered the
troop to come back again at 8 AM. The refusal had made the kidnapper’s leader forced to come in. After He heard the soldier’s
answer from his wife, Major General M.T. Harjono was suspicious and asked his wife and the children to go into another room.
The kidnappers got angry and shouted to General M.T. Harjono to come out immediately. Because their order was ignored,
the kidnappers finally broke down and fired the bedroom door so it opened. It was so dark inside the room. The kidnappers
entered with gun ready to shoot. One of the kidnappers burned the newspaper to illuminate the room. On the critical time
General M.T. Harjono tried hard to wrest out a rifle from one of the troop, but failed. Even General M.T. Harjono was stabbed
with a bayonet by other kidnapper. Chief Sergeant Bungkus finally shot him death, and then the corpse was dragged out of the
house and thrown into a truck and brought to Lubang Buaya Village.

DIORAMA 11

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL S. PARMAN
THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL S. PARMAN

PENCULIKAN MAYOR JENDERAL S. PARMAN
Pasukan penculik pimpinan Serma Satar, yang terdiri atas 1 regu Cakrabirawa dan 1 regu Yon 530/Brawijaya,
memasuki pekarangan rumah Asisten I Men/Pangad Mayjen S. Parman di Jalan Serang No. 32 Jakarta Pusat, dengan
melompat pagar pada dini hari 1 Oktober 1965. Keika mendengar suara gaduh di luar, Mayjen S. Parman terbangun
karena mengira ada pencurian di rumah tetangga, kemudian ia membangunkan istrinya. Mayjen S. Parman yang masih
mengenakan pakaian idur membuka pintu dan merasa heran melihat banyak anggota Cakrabirawa berada di halaman
rumahnya.
Pemimpin penculik menyampaikan bahwa Mayjen S. Parman diperintahkan segera menghadap presiden, karena
keadaan negara sedang gening. Mayjen S. Parman menyanggupi lalu menuju ke kamar untuk bergani pakaian dinas,
yang diikui para penculik dengan sangkur terhunus. Melihat ingkah laku yang idak wajar, Istri Mayjen S. Parman curiga
dan menanyakan surat perintah mereka.
Selanjutnya Mayjen S. Parman berpesan kepada istrinya agar melaporkan kepada Men/Pangad Letjen A. Yani.
Namun, keika Istri Mayjen S. Parman akan menelpon, salah seorang penculik mendahuluinya dengan mengambil
pesawat telepon secara paksa hingga kabelnya putus. Akhirnya, pasukan penculik memaksa Mayjen S. Parman masuk
ke kendaraan untuk dibawa ke Desa Lubang Buaya.

THE KIDNAPPING OF MAJOR GENERAL S. PARMAN
The kidnapper’s troop, which led by Master Sergeant Satar comprising of one team of Cakrabirawa and one team
of battalion 530th/Brawijaya, entered the yard of the Major General S. Parman’s house at Serang street number 32,
Central Jakarta, by jumping the fence in the early morning on October 1, 1965.
As heard noises outside, Major General S. Parman, the First Assistant of Minister/Commander in Chief of Army,
woke up because he thought there was a thief at neighbor’s home and he woke his wife up. Major General S.
Parman who was still wearing pajamas opened the door and surprised because he saw a number of Cakrabirawa’s
troop were in his yard.
The kidnappers’ leader said that the general was ordered to meet president because the state was precarious.
Major General S. Parman agreed and went into his room to wear his uniform followed by the kidnappers with
unsheathed bayonet. Mrs. Parman felt something wrong and asked the letter order.
Major General S. Parman asked his wife to call Lieutenant General A Yani. When Mrs. Parman wanted to call,
one of the kidnappers grabbed the phone to the telephone cable broke. Finally, the kidnapper's troop forced the
general entering the truck to be brought to Lubang Buaya Village.

DIORAMA 12

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL D.I. PANDJAITAN
THE KIDNAPPING OF BRIGADIER GENERAL D.I. PANDJAITAN

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL D.I. PANDJAITAN
Dini hari sekitar pukul 03.30 pada 1 Oktober 1965, rumah Brigjen D.I. Panjaitan di Jalan Sultan Hasanudin No.52,
Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta didatangi sejumlah orang bersenjata lengkap. Mereka adalah pasukan penculik
berkekuatan 1 regu dari kesatuan Brigif l/Kodam V/Jaya dan 1 regu Yon 454/Diponegoro di bawah pimpinan Serma
Sukardjo.
Pasukan penculik segera mengepung kediaman Brigjen D.I. Panjaitan, dengan cara melompat pagar halaman sebelah
kiri, menuju ke pavilyun. Mereka membuka paksa pintu pavilyun yang terkunci dengan tembakan dan masuk. Pasukan
penculik mengancam anggota keluarga serta menembak ke segala arah sehingga mengakibatkan salah seorang anggota
keluarga tewas dan perabotan dalam rumah hancur. Para penculik memerintahkan Brigjen D.I. Pandjaitan untuk segera
turun dan menghadap presiden.
Di bawah todongan senjata para penculik, Brigjen D.I. Panjaitan berjalan ke luar rumah dengan mengenakan pakaian
seragam lengkap dihiasi tanda jasanya. Dalam kondisi yang mencekam, ia menyempatkan diri untuk berdoa. Karena
mendapat perlakuan kasar dan penghinaan, secara iba iba Brigjen D.I. Panjaitan mencabut pistol dan mencoba untuk
menembak. Namun Brigjen D.I. Panjaitan lebih dahulu ditembak kepalanya hingga tewas. Merasa belum puas, pasukan
penculik masih menembaki tubuh Brigjen D.I. Panjaitan. Jenazahnya kemudian diseret dan dilemparkan ke atas truk
untuk selanjutnya dibawa ke desa Lubang Buaya

THE KIDNAPPING OF BRIGADIER GENERAL D.I. PANDJAITAN
At dawn around 3.30 a.m on October 1, 1965, residence of Brigadier General D.I. Pandjaitan at Sultan Hasanuddin
Street in Block M, Kebayoran Baru, and Jakarta was visited by a group of people armed. They were kidnapper’s
stroops that consisted of a group of infantry Brigade I/Kodam V/Jaya and a group of battallion 454th/Diponegoro
under the command of Sergeant Major Sukardjo.
The kidnappers quickly surrounded the house after jumping through the left fence and approached the pavillion.
They opened forcely the locked door with fire. They came in, threaten the family and shot to all direction, resulting
one of the family members killed and destroyed the furnitures in the house. The kidnappers ordered the General
went down and facing president soon.
At gunpointed, Brigadier General D.I. Pandjaitan walked out the house wearing uniform with medals. In a tense
condition, he took time to pray. Because of their harassment and disrespect, Brigadier General D.I. Panjaitan took
his pistol and tried to shoot the kidnappers. Unfortunately, he first shot on his head by the kidnappers to dead. Felt
unsatisfied, the kidnappers shot the general’s dead body several times. Then his body was dragged and thrown onto
a truck to be brought to Lubang Buaya Village.

DIORAMA 13

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL SOETOJO S.
THE KIDNAPPING OF BRIGADIER GENERAL SOETOJO S.

PENCULIKAN BRIGADIR JENDERAL SOETOJO S.
Pada 1 Okt