15. Makalah Konferensi Internasional Kesusastraan XXI Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia dengan judul:”Membaca Gaya Hidup L
M EM BACA GAYA HIDUP LIFE OF STAGE DAN THE ANEH
LEWAT SASTRA LISAN JAWA
Oleh Suw ardi
FBS Universit as Negeri Yogyakarta
M akalah Konferensi Int ernasional HISKI XXI
“ Sast ra dan Budaya Urban dalam Kajian Lint as M edia”
Universit as Erlangga Surabaya
Di hotel Sahid Surabaya
3-5 Agust us 2010
ABSTRAK
This paper t ries to read t he life of st age’s lifest yle w hich means t he socio-cult ural life
t hat looks like a drama performance. The life drama is mor e freely expressed by the Javanese
men of lett ers t hrough oral lit erat ure. The life of st age process emerges in four w ays, i.e.: (1)
t ransfigurat ion, (2) t ransposition, (3) t ransmission, and (4) t ranscendence. These four t hings
have borne t he aneh in t he expression of oral lit erat ure. The aneh is t he exist ence of four kinds
of oral lit erat ure: (a) parody, (b) paradoxical, (c) anecdot e, and (d) t ranscendent al.
From t hose four expressions and kinds of oral lit erat ure, it can be said t hat t here is an
influence of t he life of st age’s lifest yle tow ard t he emergence of oral lit erat ure, and vice versa.
In t he perspect ive of lit erary sociology, it is obvious t hat life and lit erat ure alw ays change. The
reciprocal influence bet w een t hem is relat ed t o one another. The erot ic, unfair, and seduct ive
lifest yle are int ent ionally expressed aest het ically by t he oral men of lett ers.
Keyw ords: lif e st yle, life of st age, t he aneh, oral lit erat ure.
PENDAHULUAN
Suka t idak suka, t ernyat a kaw ula alit hampir t iap det ik berhadapan dengan t ont onan
(life st yle) kaum urban yang ger-geran, ramai, t api memuakkan. Hampir t iap menit kaw ula alit
disuguhi play of pow er, drama kekuasaan yang obah ow ah, dan mengikut i irama life of st age
yang t ernyata menjadi garapan manis dalam sast ra lisan Jaw a. Ada beberapa karya sast ra lisan
Jaw a yang melukiskan pijaran hidup kaum urban yang serba w ah, glamour, in t he hoy, free sex,
penuh t rik, dan seluruhnya t erkesan t he aneh.
Ist ilah t he aneh, sengaja saya pinjam dari gagasan Siegel ket ika memandang dunia
sast ra di Solo (1986). M enurut dia, perist iw a wayang w ong di Solo, t elah menunjukkan gejala
t he aneh sebagai pot ret bangsa Indonesia. Jagad sast ra perkot aan yang dikemas semi humor it u
sebenarnya sebagai pant ulan kehidupan perkot aan, yait u kaum urban yang t engah m encari jat i
dirinya. Ident it as diri kaum kot a, sengaja at au t idak telah bergerak ke dalam sebuah
kecenderungan-kecenderungan unt uk pemuasan diri. Begitu pula dalam ekspresi sast ra, baik
dalam bent uk performance lisan maupun sast ra t ulis.
Pencarian ident it as diri lew at ekspresi sast ra lisan cukup unik. M engapa? Paling t idak
sast raw an akan bergerak dari uji coba ide, kat a, dan komunikasi sast ra. Ident it as diri yang t he
aneh t idak berart i sebuah “ doom of cult ure” (Finnegan, 1977:50), melainkan suatu jalur
kemajuan pemikiran. M enurut dia, just ru t idak sedikit oral poet ry yang m enampilkan suat u
kecerdasan at au disebut juga ideal t ypes. Kondisi masyarakat ideal yang pernah digagas
Durkheim, sering masih mew arnai t aw ar-menaw ar perubahan gaya hidup. Sast ra lisan Jaw a
t ampaknya juga mampu mangadapt asi segala kemungkinan perubahan kult ur masyarakat lew at
ekspresi sast ra.
Konsep “ lit erat ure as social act ion” yang dit aw arkan Finnegan (1977:268) memang
pent ing direnungkan. Pandangan ke arah sosiologi sastra ini dapat dijadikan pijakan bahw a
gaya hidup t he aneh dan life of st age bukan must ahil menjadi andalan sast ra lisan. Keanehan
hidup adalah harapan setiap masyarakat. Polesan hidup adalah bunga-bunga masyarakat .Suw ardi
Endrasw ara 2
Kedua hal ini yang kemungkinan dit angkap sast raw an lisan Jaw a untuk mengekspresikan
dirinya ke arah suatu perubahan.
PEM BAHASAN
TRANSFIGURASI SASTRA LISAN
Transfigurasi saya maknai sebagai perubahan w ajah kehidupan melalui sast ra lisan.
Transfigurasi juga t erkait dengan perubahan sast ra lisan it u sendiri. Perubahan sast ra, sekaligus
perubahan pesan. Dalam pandangan Finnegan (1992:1-10), seni lisan dan t radisi lisan memang
sering memiliki kecenderungan khusus ke arah perubahan. Hal-hal yang tergolong t he aneh
sering diekspresikan lebih bebas at au leluasa lew at sastra lisan. Bahkan, perubahan it u sendiri
sudah t ermasuk t he aneh.
Hal demikian mengingat sast ra lisan sering bersifat anonim, sehingga apa saja dapat
diungkapkan. Selain it u, saya juga sependapat dengan Escarpit (2005:115) bahw a sast raw an
memang memiliki publik. Yang dipikirkan sast raw an t ent ang siapa audiennya, sering menjadi
pilihan. Pilihan yang jat uh pada sast ra lisan, memang t idak keliru, sebab kerahasiaan sast raw an
sering t ersembunyi. Sast raw an lisan jelas t idak jelas. Di dalam dongeng dan di dalam upacara
agama sekalipun di kot a-kot a besar, sering t erjadi penampilan sast ra lisan sebagai mitos yang
menyerang publik t ert ent u. Sast ra lisan t ersebut cenderung aneh dan sulit diduga sebelumnya.
Dongeng-dongeng mist is sering mew arnai sast ra lisan yang mungkin lebih t ajam dari pendemo
dan orat or polit ikus.
Berbagai sast ra lisan sering mencerminkan lif e of st age, artinya kehidupan yang serba
dipoles, didramat isir, sehingga penuh dengan t rik-t rik. Berbagai pertunjukan lisan, sering
menampilkan sejumlah drama kehidupan bangsa ini dengan cemooh, parodi, dan sent uhan
emosional. Para penyair lisan, pelant un t embang, pemain ludruk, pelant un kent rung, adalah
corong jaman yang penuh dengan drama kehidupan.
M angan bakmi anyep maw on
Empun w engi nginep maw on
Theklek kayu jati
Saya t uw ek memanas at i
Gaplek pepringkilan
Wis tuw ek pet hakilan
Empluk w adhah uyah
Wet eng njembluk asile polah
Sepint as, pant un (parikan) t ersebut hanya ungkapan biasa, t anpa memuat makna mendalam.
Padahal kalau dicermat i, sesungguhnya sast ra lisan demikian merupakan sebuah krit ik sosial
yang cerdas. Kesan t he aneh t ergant ung pada penemuan makna. Bila kita gagal mengadopsi
makna, kurang menemukan imajinasi di dalamnya, t ent u akan memandang hambar karya
t ersebut . Dari parikan itu sebenarnya dapat diungkap makna erot is sebagai polesan hidup. Kata
kunci yang pat ut dipegang yait u nginep, memanas, pet hakilan, dan asile polah. Kat a-kat a ini
menunjukkan suatu sikap hidup (life st yle) kaum perkot aan selama ini. Ket ika kat a-kat a it u
dipoles ke dalam est et ika sast ra lisan, t ampak indah dan t idak begit u vulgar. Permainan kata
merupakan t ransfigurasi ide dasar ke kont eks yang luas. Kritik sosial tidak hanya dit ujukan
kepada remaja, melainkan juga kepada para sesepuh yang masih gemar bermain-main dengan
hidup. Konsep bersenang-senang menyelimuti sast ra lisan t ersebut .
Pemaknaan demikian sebenarnya m erupakan sebuah “ int erpr et at ion in cont ext ” yang
dit aw arkan Foley (1986:1). Kont eks sering berada di sekit ar t eks. Tidak sedikit sast ra lisanSuw ardi
Endrasw ara 3
yang m erupakan krit ik t ajam t erhadap roda kehidupan. Konteks sering melebihi t eks. Oleh
sebab it u, penafsiran longgar akan menghasilkan t eks-t eks baru. Berbagai ragam krit ik sering
muncul dalam konteks dan t eks sast ra lisan. Sast ra lisan it u sebuah t eks yang hidup, tidak
diam, dan setiap saat dapat berubah. Krit ik sosial dan polit ik sering menjadi sasaran empuk
para pelant un sast ra lisan. Gaya peleset an dalam sast ra lisan sering menjadi aroma kritik yang
t idak pernah kering. Tidak hanya sast ra lisan yang berupa puisi lisan, sastra drama at au
performance art pun sering dikemas dalam bent uk-bentuk t he aneh.
Lakon-lakon drama, seperti w ayang kulit , w ayang jemblung, w ayang padat , dan
w ayang humor, banyak yang menaw arkan t he aneh. Set iap penont on dapat t ergiur just ru oleh
kisah t he aneh dari pert unjukan drama t ersebut . Kehadiran penonton dari desa ke kot a, just ru
t ergiur oleh rasa ingin t ertaw a. Persoalan t he aneh sebenarnya t idak sekedar humor belaka,
melainkan juga t erlet ak pada ket ajaman krit ik sast ra lisan it u sendiri. Keberanian sast ra lisan
melont arkan krit ik-krit ik pada penguasa, yang dahulu sering ada cekal, kini semakin bebas.
Para pencipt a sast ra lisan, sadar at au t idak, jelas sedang merenungkan dunianya yang
serba t erbolak-balik ini. M elalui sast ra lisan, yang t erkesan sebagai “ sast ra t ak bertanggung
jaw ab” , pencipt a t ernyata bisa bebas berekspresi. Bum bu-bumbu humor dan est et ika menjadi
simpul persembunyian makna yang luar biasa. Pada saat it u, para pencipt a sast ra lisan mungkin
t idak kalah dengan sast ra t ulis hebat nya. M ereka t idak sedang ingin mencari popularit as seperti
sast ra t ulis yang disodorkan ke media. Pencipt a sast ra lisan just ru lebih puas ket ika makna di
balik karyanya t elah sampai pada rant ai komunikasi yang dit uju, yait u penonton at au audien.
At as dorongan unt uk berkomunikasi lew at jagad t he aneh, sast ra lisan semakin
berkembang. Sast ra lisan yang sekeras dan sevulgar apa pun, sering bebas at au kebal hukum.
M aka para pencipt a semakin berani bermain makna dan mengolah est et ika. Pada saat it u,
seringkali t erjadi pendokum ent asian oleh pihak-pihak lain, hingga sast ra lisan berbubah pula
menjadi sast ra t ulis. Akibat nya jika kurang w aspada, siapa yang mengekspos sast ra lisan yang
t erkesan galak, akan t erkena akibatnya.
Unt uk lebih t egasnya, paparan ini akan menelusuri beberapa sast ra lisan Jaw a yang
t elah populer di masyarakat . Sast ra lisan t ersebut t ernyata sering memunculkan aneka polemik,
baik dalam bent uk lisan maupun t ertulis. Ket ika Soehart o menjelang lengser keprabon, saya
masih ingat aneka sast ra lisan digelar di sepanjang jalan Yogyakarta. Dengan alunan suara
mirip lagu anak-anak: cangkul-cangkul cangkul yang dalam, mungkin judulnya Berkebun at au
M enanam Jagung, sengaja diubah oleh para pencipt a sast ra lisan menjadi: gant ung-gant ung
gant ung Soehart o, gant ung Soehart o di silang M onas. Lagu yel-yel para pendemo it u sebuah
t ransfigurasi t eks sast ra lisan yang cukup t ajam maknanya.
Sast ra lisan memang memuat sendi-sendi t he aneh yang sampai saat ini bisa
mengalahkan sast ra t ulis. Sebagai media eskpresi, sastra lisan t et ap dipandang lebih krit is dan
bebas dari prasangka. Begitu pula lagu-lagu anak yang lain, seperti Jaranan, Cublak Suw eng,
Sluku Bat hok, amat t erbuka dipoles ke dalam bent uk-bent uk lain yang lebih krit is. Dengan
berkedok pada sast ra lisan yang t he aneh, polesan-polesan krit ik sosial, budaya, dan polit ik
semakin kent al. Dalam sit uasi demikian, berart i sast ra lisan memang sebuah w ahana estet is
yang pat ut diungkap. Dari sit u akan nampak gaya hidup sebuah komunit as yang sedang muak,
mengkrit isi, dan gerah t erhadap sit uasi jaman.
TRANSPOSISI DAN PARADOKSAL SASTRA LISAN
Sast ra lisan Jaw a banyak yang memuat aspek paradoksal. Paradoksal adalah keadaan
yang m engisahkan aspek-aspek kebalikan dari realit as. Hal yang sebenarnya hit am, kecil,
dilukiskan dengan hal-hal besar, demikian sebaliknya. Paradoksal sast ra lisan it u sering
memunculkan parodi-parodi cerit era. Parodi ini t idak lain sebagai sebuah ironi sast ra, yang
membut uhkan penafsiran t erbalik.Suw ardi Endrasw ara 4
Banyak sast ra lisan Jaw a yang dikemas dengan ideologi paradoksal. Beberapa khasanah
sast ra lisan Jaw a yang berupa sast ra lisan (lakon), yait u Sumant ri Ngenger, Damarw ulan
Ngarit , Jaka Tingkir Suw ita, Jaka Kendhil, dan Pet ruk Dadi Rat u. Karya-karya t ersebut
sebenarnya merupakan kisah-kisah tradisi lisan, yang muncul dari life st yle orang Jaw a. Orang
Jaw a t ampaknya sedang dirundung suasana t idak menent u, hingga muncul gaya hidup
paradoksal. Paradoksal sast ra ini tidak lain sebuah krit ik yang bermakna t erbalik at as realit as.
Life st yle orang Jaw a paling t idak dapat dipahami dari ideologi sast ra lisan it u. Salah
sat u life st yle yang menonjol yait u orang Jaw a ingin pada dua hal: (1) hidup dalam suasana
kepemimpinan yang adil paramarta, yait u pemimpin yang berasal dari dan unt uk kaw ula, dan
(2) orang Jaw a sedang mengharapkan t erjadinya perubahan sosiokult ural unt uk mencapai
idealisme t ata t iti t ent rem kerta raharja. Kedua hal it u dit empuh dengan hidup melalui
imajinasi, dengan cara menokohkan orang desa, miskin, t et api akhirnya berw ibaw a.
Figur Sumantri, Damarw ulan, Jaka Tingkir, Jaka Kendhil, dan Pet ruk adalah karya
imajinasi sast raw an Jaw a. Tokoh fikt if dipuja dan dikagumi sebagai figur kaw ula yang bisa
menjadi priyayi. Hal ini diidealisasikan agar orang Jaw a mendapat kan pimpinan yang benarbenar kumaw ula (bisa memahami nasib rakyat ). Perjuangan t okoh t ersebut hingga dapat
mencapai sukses hidup, menandai sebuah paradoksal sosiokulkt ural. Saya nyat akan sebagai
paradoksal, sebab realit as sering sulit dit erima bahw a seorang kaw ula alit (rakyat kecil)
akhirnya bisa menjadi besar.
Dalam konteks demikian, dapat dinamakan t he aneh, sebab realit as hidup sering
paradoksal dengan realit as hidup imajiner. Hidup imajiner yang t ertuang lew at sast ra lisan,
sebenarnya juga realit as dambaan. Hal ini menjadi cit a-cit a t ingkat tinggi orang Jaw a agar
suatu saat mampu mencapai life st yle yang benar-benar layak, baik dari segi ekonomi maupun
sosial. Dalam kait an ini, pemikiran Paul Ricoeur yang m enaw arkan makna begitu cair, t erbuka,
dinamis, dan “ kalau mau ya begini, kalau t idak mau ya sudah” , layak dipertimbangkan.
Pemaknaan hidup imajiner yang dibandingkan dengan realit as sah-sah saja. Polesanpolesan kisah t he aneh sulit t erhindarkan dari figur kaum desa yang kemudian mengenal jagad
urban yang penuh t aw aran. Figur-figur fikt if it u sedang bingung mengejar makna dan mungkin
sedang menangis karena but a proses the polit ical of meaning. Polit ik makna yang sedang
diobsesikan oleh sast raw an lisan Jaw a, nampak melalui perjuangan t okoh. M akna memang
suatu jalur politik, artinya makna sast ra lisan it u suatu perebutan. M akna hanya bisa dipahami
ket ika kit a melacak dari hal-hal kecil, sepele, remeh, dan mungkin sering diabaikan. Dari lakon
Pet ruk Dadi Ratu misalnya, nampak sekali bet apa besar idealisme orang Jaw a. Orang Jaw a
mendambakan lif e st yle yang selangkah lebih baik, biarpun sering paradoks pula dengan sast ra
lisan yang lain, yait u ungkapan cebol nggayuh lint ang. M aksudnya, rakyat kecil amat kecil
dapat mencapai hidup yang t inggi dan besar.
Lakon Pet ruk Dadi Rat u yang saya miliki berujud VCD oleh dalang Ki Hadi
Sugit o, sebanyak t ujuh buah. Lakon ini melukiskan paradoksal t okoh Pet ruk yang dari
segi kult ur, memang t idak berhak menjadi raja. Namun, oleh pencipt a sast ra lisan yang
sudah digelar dalam sebuah pertunjukan it u, Pet ruk diberi bobot lain yang paradoksal.
Lakon ini jelas sebuah carangan yang t ermasuk t he aneh. Selain dalam siklus w ayang
kulit , Pet ruk m emang hanya sebagai abdi (gedibal). Dalam sast ra lisan ini, Pet ruk juga
dilukiskan sebagai t okoh yang sukses dalam menjalani gaya hidupnya.
Di kala memiliki pusaka saja hanya sebuah pet el, alat bagi pet ani pedesaan.
Bahkan, cerpenis Jaw a Jayus Pet e pernah menulis cerpen Jaw a berjudul Pet ruk, t idak
ubahnya juga menjadi sebuah paradoksal kehidupan. Bedanya, jika dalam sast ra lisan
Pet ruk Dadi Ratu, Pet ruk just ru menjadi t okoh paradoksal yang sukses, dalam sast ra t ulis
karya Jayus, Pet ruk just ru digambarkan bernasib jelek. Sesungguhnya, baik dalam sast raSuw ardi
Endrasw ara 5
lisan maupun t ulis, Petruk t et ap m enjadi figur yang dapat dijadikan inspirat or paradoksal
untuk mengkrit isi kehidupan ini.
Hal senada juga dikemukakan oleh Lombard (2005). Secara panjang lebar ia
mengungkapkan bahw a Pet ruk Dadi Rat u memang lakon yang unik. Dapat saja orang
mengira bahw a perist iw a seorang punokaw an yang m emperoleh kekuasaan mengandung
kemungkinan t eor et is akan t erjadinya perubahan orde yang sudah mant ap bagi seorang
pahlaw an yang berasal dari rakyat , t et api sama sekali bukan demikian halnya.
Cobalah kit a simak, selama perang yang berlarut -larut ant ara Bambang
Priyembada dan Dew i M ustakaw eni, pusaka Kalimasada (yang dit afsirkan oleh kaum
M uslim sebagai deformasi dari kalimat shahadat ...) beberapa kali berpindah t angan
sampai akhirnya jatuh ke t angan Priyembada yang mempercayakannya kepada abdinya
yang set ia, Pet ruk, agar disimpan di t empat yang aman. Pet ruk segera membaw a pergi
benda it u, t et api kemudian muncul niat jahat nya demi menarik keunt ungan pribadi dari
keadaan it u. Ia bercokol di balik Kerajaan Sonyaw ibaw a dan menjalin persekongkolan
dengan raja para dew a, Bhat ara Pengajar, serta ut usannya, Bhatara Narada, lalu memakai
gelar m ent ereng yang tidak enak didengar, Prabu Belguw elbeh Tongt ongsot .
M aka gemparlah para raja dan bangsaw an negeri Ast ina, Amart a, dan Dw araw ati,
yang belum pernah melihat kekurangajaran yang demikian sebelumnya, sehingga mereka
merasa sangat cemas. M ereka bersepakat unt uk menghent ikan perang yang berlangsung
antara mereka dan membent uk sat u front unt uk melaw an si raja baru yang pongah it u.
Bala t ent ara dikerahkan unt uk mengepung Sonyaw ibaw a. Akan t et api, Pet ruk t ak
t erkalahkan berkat benda keramat yang sangat ampuh, Kalimasada. Para dew at a t urun
t angan. Kresna mengadu kepada Semar dan Gareng. M erasa malu at as sikap anak dan
saudara mereka, para hamba yang set ia it u segera m endat angi Pet ruk unt uk memarahinya
dengan keras. Pet ruk t ersent uh kemudian mengalah. Lalu dengan rasa malu yang besar, ia
membiarkan t anda-t anda kebesarannya sebagai raja dilucuti. Dew a-dew a, yang karena
ceroboh t elah memihak Pet ruk, memint a kepada para Pendaw a unt uk t idak bersikap keras
t erhadap Pet ruk. Pet ruk, si perebut kekuasaan it u, merasa malu dan segera pulihlah
keseimbangan jagat. M ungkin t idak ada mit os konservat if yang lebih bagus daripada
kisah di at as.
Sement ara w ayang m encerminkan masyarakat agraris ideal dengan baik, model
budaya Jaw a juga dipaparkan dalam sejumlah naskah tert ent u. Pangeran-pangeran Jaw a
t erkemuka t elah menulis ajaran berupa “ peringatan” dan “ nasihat moral” (piw ulang) yang
khusus menyajikan suat u pendidikan etika bagi kalangan priyayi muda dalam bent uk
sajak. Piw ulang tersebut t elah dit erjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sering
dit erbit kan kembali dalam versi populer dengan t ujuan menyebarkan kearifan yang
t erkandung di dalamnya. Untuk memberi sat u cont oh saja, baiklah disebut Serat
Wedat ama at au “ penget ahuan ut ama” , sebuah naskah sepanjang 72 bait yang dit ulis oleh
M angkunegara IV (1853 -1881) dan sudah sering dit erbit kan kembali.
Biarpun sast ra lisan t ersebut sebuah paradoksal, t et api t et ap memiliki pesan moral
yang berharga. Sebagaimana diungkap dalam Serat Wedat ama, kit a hendaknya “ nulada
laku ut ama” dari lakon t ersebut . Perist iw a t he aneh yang dijalani Pet ruk memang bukan
hal biasa. Lakon ini dapat dijadikan pegangan hidup bagi orang Jaw a bahw a setiap orang
memiliki hal sama untuk menjadi pemimpin. Tokoh-t okoh paradoksal t ersebut menjadi
figur pent ing bagi siapa saja yang sedang m enjadi priyayi dan kaw ula.
Aspek-aspek kelisanan suatu karya sast ra yang sering kont roversi, polos, dan blakblakan, cukup menarik dipertimbangkan dalam kajian-kajian sast ra. Sast ra lisan
paradoksal just ru menjadi karya krit ik yang pat ut dihargai. Kebebasan seorang pencipt a
sast ra lisan, kemampuan sanggit ki dalang memuat carangan, t ampaknya menjadikanSuw ardi
Endrasw ara 6
karya sast ra t ersebut semakin populer dan digemari. Lakon-lakon yang diangkat dari
sast ra lisan just ru dipandang lebih akrab dengan kaw ula dan juga dapat dipahami oleh
priyayi. M elalui sast ra lisan paradoksal, kehidupan dikot omi ant ara priyayi dan kaw ula
dapat lebih bermakna.
TRANSM ISI SASTRA LISAN ANEKDOTSAL DAN RAM ALAN
Transmisi berart i penularan. Transmisi juga dapat diartikan sebagai penularan misi
at au perpindahan misi. Dalam konteks ini, kedua makna it u t ercakup secara komprehensif .
Sast ra lisan ramalan t ermasuk karya yang banyak mengalami t ransmisi t he aneh dan life of
st age. The aneh dapat dilihat dari permainan est et ika yang penuh muat an makna. Life of st age
dapat terpancar m elalui makna di balik sast ra lisan ramalan.
Kalau berkiblat pada pemikiran Eaglet on (2006:7), yait u esensi sast ra adalah hadirnya
proses sering “ membuat asing” , maka t ransmisi merupakan salah sat u w ahana pengasingan.
Pengasingan ide cem erlang yang dibalut secara anekdot sal, bisa jadi memunculkan
ket idaknyamanan makna. Namun demikian, differensial ant ara t eks sast ra lisan dengan makna
hasil t afsiran t idak harus dipersoalkan. Sebagai fakt a imajinat if, sast ra lisan memang
mengundang dan mengandung t afsir beragam. Keindahan sast ra lisan just ru karena hadirnya
“ gelombang makna” yang berlapis-lapis.
Tak sedikit sast ra lisan ramalan yang menorehkan geliat kaum urban yang sedang
dilanda krisis kepercayaan, hingga melahirkan pemikiran mesianist is. Sast ra lisan t ersebut
umumnya berupa anekdot sal yang menggelit ik. Sast ra lisan anekdotsal umumnya
menyampaikan estet ika t he aneh untuk membungkus ide besar life of st age. Hidup ini mereka
pandang sebagai sebuah drama yang layak t ayang dan dit ont on.
Ideologi mesianis t ergolong sebuah gerakan t he aneh, sebab sastraw an sengaja
menyisipkan sebuah “ gerakan sosiokult ural” melalui permainan kat a. Sast ra lisan memang
sarat dengan permainan kat a simbolik. Hal ini t idak lain merupakan jembatan unt uk
menularkan ide ket idakmapanan menuju kemapanan idealis. Jika sit uasi bangsa ini sedang
dalam keadaan t idak sejalan dengan life st yle kaw ula, munculah gerakan sast ra lisan ramalan.
Dalam sast ra lisan Jaw a, banyak sekali karya yang menunjukkan aspek ramalan. Sebut
saja sast ra ramalan yang t elah populer, yait u t ent ang Semut Ireng Ngendhog Jroning Geni,
Semut Ireng Anak-anak Sapi, Jangka Tanah Jaw a, Gat huke Surabaya lan M adura, dan Wong
Wadon Ilang Wirange Wong Lanang Ilang Kapraw irane. Karya sast ra ramalan ini akan
membuka mat a batin kit a, bet apa mahalnya art i sebuah perubahan. Sast raw an lisan Jaw a
sengaja akan ment ransmisikan ideologi perubahan melalui est et ika t ersembunyi.
Coba saja, kalau mau menengok pada sast ra lisan ramalan yang bermuat an polit ik,
keinginan unt uk mengubah amat kent ara. Dalam buku saya yang berjudul Folklor Jaw a (2010),
t elah saya paparkan persoalan sast ra lisan ramalan sebagai upaya mendongkrak keadaan lew at
jalur est et ika. Prinsip-prinsip polit ik yang dipegang oleh kaum mesianis, yang gemar
perubahan, menghendaki pemimpin bangsa ini berdasarkan w ahyu. Pada t ingkat an semacam
ini, orang Jaw a enggan nggege mangsa dalam t ampuk perubahan kepemimpinan. Karenanya,
setiap ada pergant ian pemimpin selalu disikapi sebagai pulung. Pimpinan bukan dimint a,
melainkan jadi at as kehendak Tuhan dan rakyat . Tuhan akan memancarkan rest u dan rakyat
menghendakinya, sehingga pert emuan keduanya mengkrist al pada diri pimpinan. It ulah
sebabnya, dalam segala geraknya seorang pimpinan polit ik berpegang t eguh pada folklor
sebagai berikut :
Sugih t anpa bandha
M enang t anpa ngasorake
Nglurug t anpa bala
Digdaya t anpa ajiSuw ardi Endrasw ara 7
M aksud dari pegangan hidup polit ik demikian adalah pimpinan harus menguasai ngelmu lahir
dan bat in. Ngelmu it u ibarat nya orang kaya, t api t anpa hart a yang nampak. M elalui ngelmu,
seorang pimpinan akan bijaksana ketika memerint ah. Inilah bent uk kaw icaksanan Jaw a yang
dalam f olklor disebut sebagai folk wisdom (kebijaksanaan rakyat ). M elalui kebijaksanaan ini,
pihak yang diperint ah t ak merasa dikalahkan. Yang dipimpin akan bersikap ndherek ngarsa
dalem, sendika dhaw uh, artinya mengikuti perint ah dan menjalankan dengan ikhlas lahir bat in.
Dia dapat menaklukkan meskipun hanya sendirian, karena penuh st rat egi. Dia pimpinan yang
sebenarnya sakt i karena ngelmu-nya. Atas dasar ngelmu it u, pemimpin memiliki kasekt en at au
kedigdayaan.
Di era kolonial, banyak muncul pula folklor-folklor Jaw a polit ik, misalnya kisah Baron
Sekender. Tokoh ini dikisahkan t erbang dan jatuh ketika t epat berada di at as kerat on
Yogyakarta. Hal ini sebagai simbol ada kekuat an sent ral kerat on jauh lebih sakt i dibanding
penjajah. Begitu pula riw ayat fikt if t ent ang t erjadinya Kot a Gudeg yang sebenarnya merupakan
folklor polit ik era kolonial. Dari cerit a ini, ident it as lokal gudeg sebagai nama besar
Yogyakarta di mat a Belanda amat dit onjolkan.
Kisah-kisah folklor polit ik di era baru dan modern pun menarik diperhat ikan. M isalkan
saja, ketika gambar Soehart o digunakan sebagai simbol uang pecahan Rp. 50.000,00, maka
secara diam-diam hal it u menggam barkan ident itas t okoh polit ik ini. Yakni, ket ika dia
meninjau w ilayah miskin, harus menjat uhkan uang t ersebut bagi orang miskin. Ternyat a uang
t ersebut ketika dit erima, langsung dimasukkan di “ saku t radisional” (susu). Uang it u t ernyat a
t ak laku unt uk jual beli, sehingga dikembalikan kepada Soehart o. Pada saat dikembalikan, Bu
Tien melihat t ernyat a gambar di uang it u berubah menjadi t ersenyum r ia.
Perubahan-perubahan yang bernuansa anekdot, juga merupakan bent uk folklor Jaw a
yang berbau polit ik. Anekdot t ergolong t he aneh dalam kancah sast ra lisan. Selain gelit ik
pesonanya, juga ada makna t ersembunyi yang perlu dit elusuri. Ada anekdot yang berupa
untaian sast ra lisan sebagai berikut .
Semut ireng ngendhog jroning geni
M anuk merak memit ran lan baya
Keyong sakenong mat ane
Tikuse padha ngidung
Kucing gering ingkang nunggoni
Kodhok naw u segara
Ant uk bant heng sew u
Si precil kang padha njaga
Tembang di at as melukiskan simbol-simbol polit ik di era kolonial. Semut hit am tadi dapat
dit afsirkan masa revolusi fisik, rakyat berseragam hit am-hit am, t erjadi perang dahsyat ,
sehingga bert elur dalam api (keadaan bahaya). Burung merak bergandengan dengan buaya,
adalah t okoh feodal yang gedheg ant huk dengan Belanda, lalu mengambil keuntungan dalam
kesempit an. Keyong adalah simbol rakyat yang m erasa t ak rela, maka mat anya sakenong
(mendolo) at au melot ot . Apalagi w akt u itu banyak korupt or berdendang ria yang dilambangkan
dengan t ikus bernyanyi. Orang-orang banyak yang naw u segara, artinya menguras harta rakyat
demi kepent ingan pribadi dan golongan. Seluruh upaya korupsi t ertat a rapi, ibarat nya di jaga
precil (rakyat kecil) yang mendapat kucuran dana. M ereka it u akan memuji bahw a
pemimpinya sangat adil dan dermaw an.
Sebagai cont oh pada w akt u Edi Tansil lolos dari penjara, t ernyat a nama dia spontan
diubah oleh kolekt if t ert ent u menjadi Edi Kancil. Hubungan ant ara suara Kancil dan Tansil
seakan-akan r elevan sesuai sifat -sifat tokoh ini. Bahkan kadang-kadang berubah lagi menjadi
Tansil Nyolong Triliun, bukan Kancil Nyolong Timun. Begit u pula ket ika suara PAN menurun
di Pemilu 1998 ke 2004, mendadak nama pimpinannya bisa berubah menjadi Amin Nangis.Suw ardi
Endrasw ara 8
Nama Dai Sejuta Umat, KH Zainudin M Z, ket ika hasil Pemilu menunjukkan suara berkisar
dua jut a, nama diubah menjadi Dai Dua Jut a Umat. Yang cukup unik lagi adalah anekdot yang
sering diucapkan Cak Nun pada beberapa pert emuan, bahw a presiden Indonesia it u hampir
selalu “ kekanak-kanakan” . Pasalnya, presiden I banyak anak, presiden II harus “ anak polah
bapa kepradhah” , presiden III seperti kanak-kanak, presiden IV harus dit unt un anak, dan
presiden V bisa manak (beranak). Sast ra lisan anekdotsal demikian biasanya dit ransmisikan
lew at sast ra kisah. Ide aw al sast ra anekdot sal it u sederhana, namun pengisahannya sering
dilebih-lebihkan. Kemampuan t ukang kisah it ulah yang banyak menyumbang t ransmisi sastra
lisan hingga semakin berkembang.
Tampaknya sast ra lisan anekdot sal just ru lebih berhasil menyent uh audien. M elalui
anekdot t ersembunyi, sast raw an leluasa membungkus makna. Baik muat an ramalan maupun
gerakan sosiokult ur yang menginginkan perubahan, sebenarnya sama-sama mencerminkan t he
aneh dan life of st age. Sast raw an sengaja mempermainkan bahasa kias, dan audien boleh bias
menafsirkan apa saja. Yang jelas konsep drama kehidupan selalu dikedepankan.
TRANSENDENSI SASTRA LISAN KE SASTRA NITI
Transendensi adalah upaya mengubah imaji dari sast ra lisan (biasa) ke jalur sast ra yang
t ransenden. Transendensi adalah perist iw a pemaknaan ke arah yang sulit t erpahamkan.
Transendensi berart i menaikkan derajat sastra biasa ke sast ra t ransenden yang bermuat an
filosofi dan ajaran sakral. Adanya anggapan bahw a sast ra lisan it u rendah dari sisi est et ika
memang sulit disangkal. Biarpun anggapan ini t idak selalu benar, namun di masyarakat selalu
muncul sast ra lisan berkontras dengan sast ra nit i yang dipandang sebagai sast ra agung. Sastra
nit i sebagai karya serius penuh kedalaman makna. Saya memandang kedua hal it u t idak
selamanya kekal, sebab sast ra lisan pun sebenarnya t idak seidkit yang memiliki keagungan
makna.
Khasanah sast ra lisan Jaw a yang berupa sast ra niti, sering mengundang tafsir longgar.
Nit i berart i ajaran. Sebagaimana dikemukakan Horat ius, yang kemudian diamini Wellek dan
Warren (1989), bahkan hingga ahli sast ra masa kini, sast ra memang m enyuguhkan ajaran
problemat ik hidup. Namun konsep ajaran it u t idak selamanya lahir dari karya agung, niti, dan
sejenisnya. Sast ra lisan pun banyak yang menaw arkan ajaran luhur. Sebut saja, Kat e-Kat e
Dipanah, Cublak-cublak Suw eng, Cabaw a, Sar-sur Kulonan, dan lain-lain, merupakan karya
sast ra yang penuh dengan makna filosofi. Namun demikian, karya sast ra lisan ini seringkali
kurang t erpahami.
Kat e-kat e Dipanah
Te Kat e dipanah
Dipanah ngisor gelagah
Ana manuk ondhe-ondhe
M bok sir bombok mbok sir kat e
M bok sir bombok mbok sir kat e
M bok sir bombok mbok sir kat e
Sepertinya, sast ra lisan yang berupa lagu anak-anak t ersebut t idak ada yang ist imew a. Dari segi
est et ika, ia juga sederhana. Sebenarnya, just ru kesederhanaan it ulah yang bisa memuat t afsiran
t he aneh. Sast ra lisan t ersebut dapat dimaknai bermacam-macam, seluas cakra pandang kit a.
Bahkan, seringkali karya sast ra demikian memunculkan problemat ika makna. M ult itafsir sastra
menurut hemat saya sah-sah saja dan bahkan w ajib.
Lagu lisan it u t idak sekedar kisah ayam kat e, yait u ayam kecil mungil yang indah
dipandang. Kat a kunci yang membuka seribu makna memang “ kat e” . Ternyat a, kat a “ kat e” ini
merupakan kependekan (jarw adhosok) dari kat a bahasa Jaw a t ekade (t ekat e). Tekade, art inya
niat nya at au keinginannya. Te kat e dipanah berart i niat dan keinginan harus dipanahSuw ardi
Endrasw ara 9
(dimanah), dipikirkan dengan hat i yang jernih. Orang yang memiliki keinginan apa saja,
sebaiknya dipikirkan bet ul untung ruginya. Dari kont eks ini, berarti sast ra lisan yang sering
dipandang rendah t idak selalu demikian, sebab di dalamnya memuat ajaran luhur. Ajaran
t ent ang sebuah pemikiran, just ru merupakan kat arsis dari sast ra lisan itu.
Konsep ngisor gelagah, t idak lain merupakan gambaran hat i yang berada di baw ah
rongga dada. Ngisor juga bermakna agar dalam memikirkan niat selalu merendahkan diri.
Gelagah adalah kebalikan dari ngisor. Gelagah beart i gumagah (sombong). Gelagah adalah
t umbuhan yang yang sebenarnya kosong. Kesombongan adalah gelagat kekosongan hidup.
Unt uk it u perlu dipertimbangkan manuk ondhe-ondhe, yang mirip dengan bahasa Jaw a undhaundhi, artinya seimbang. M aksudnya, sikap rendah hat i, t idak sombong, merupakan benih
untuk mencapai keseimbangan hidup. Keseimbangan hidup dapat t ercapai apabila hidup ini
dijalan sesuai dengan “ sir” , artinya jalan t unt unan nabi. Jalan profet ik it u merupakan refleksi
dari niat t ulus.
Begitulah endapan makna sast ra lisan yang bermuat an profet ik. Tidak hanya masalah
ayam kat e yang akan disampaikan oleh sast raw an, t et api juga muat an filosofis. Hidup yang
senant iasa dipikirkan merupakan jalan mencapai keseimbangan. Pemaknaan at au
penerjemahan yang melampaui bat as t eks it u dalam pemikiran Cat ford (Hut omo, 1991:86-87)
disebut free translat ion. Kiranya, free t ranslat ion yang menggunakan paradigma ot hak-at hik
mat huk, t idak salah. Dalam sastra lisan yang penuh dengan permainan bunyi, perlu dimaknai
at as dasar kebebasan t eks yang sering menampilkan suprat ekst ual. Apalagi Worsley (Hut omo,
1991:91) juga mengungkapkan bahw a “ a good t ranslat ion is, of course, not t he result s of a
mechanical process, but like any lit erary product , is dependent upon t he genius of it s out hor.”
Int i pernyat aan ini menandai bahw a pemaknaan dan t erjemahan seharusnya bukan mekanik,
melainkan dibenarkan apabila menghasilkan seperti sast ra baru. Penerjemahan t ergant ung
kejeniusan pengarang.
Dengan demikian, pemaknaan dan penerjemahan sast ra lisan boleh saja melew at i bat as
yang dibayangkan sast raw an. Penafsir an bisa jadi akan melahirkan karya sast ra baru.
Penafsiran t eks dapat saja memunculkan t eks-t eks baru yang mungkin lebih indah dari
sebelumnya. Apalagi sast ra lisan it u berkembang dari mulut ke mulut , hingga memungkinkan
penerjemahan dan penafsiran t erus-menerus. Set iap ada penyajian sast ra lisan, muncul pula
sebuah penafsiran yang lebih indah dari t eks aslinya.
SIM PULAN
Dari pembahasan di at as dapat diket engahkan bahw a gaya hidup t he aneh dan life of
st age dalam khasanah sast ra lisan Jaw a, t erungkap beberapa hal. Pertama, pemunculan sast ra
lisan sebagai t he aneh dan life of st age m elalui empat proses, yait u (1) t ransfigurasi, (2)
t ransposisi, (3) t ransmisi, dan (4) t ransendensi karya sast ra lisan sebelumnya. Kedua, kehadiran
t he aneh melalui empat jalur memang cukup est etis sebagai pembungkus ide besar t ent ang
krit ik sosial polit ik sebagai gaya hidup. Ket iga, pemolesan dan pengasingan ideologi ke dalam
sast ra lisan dengan jalan menampilkan empat bent uk sast ra lisan t he aneh, yait u (a) sast ra lisan
parodial, (b) sast ra lisan paradoksal, (c) sast ra lisan anekdot sal, dan (d) sast ra lisan
t ransendent al.
Keempat ragam sast ra lisan t ersebut berhasil membungkus life of st age, hingga
meluapkan nuansa t he aneh. Life of st age m enjadi subst ansi gaya hidup manusia, dit ut urkan
secara dramat ik, berapi-api, dan t he aneh sebagai est et ika penjinak sastra. Dari ket ajaman t he
aneh sast ra lisan it u, t ampaknya sast raw an semakin puas melampiaskan krit ik pedas, bahw a
hidup ini t elah bergeser dari porosnya. Ada kalanya keempat ragam sast ra lisan it u ramah
lingkungan, sedangkan di w akt u lain amat galak t erhadap ekosist em yang membangunnya.
Begitulah
w ajah
sast ra
yang
acapkali
dilupakan.
M ari
kit a bicarakan,
apakah
memang
begitu?Suw ardi Endrasw ara 10
DAFTAR PUSTAKA
Eaglet on, T. 2006. Teori Sastra Sebuah Pengant ar Komprehensif, t erjemahan Harfiah
Widyaw at i dan Evi Set yarini. Jalasut ra, Yogyakart a.
Escarpit , R. 2005. Sosiologi Sast ra. Yayasan Obor Indonesia: Jakart a.
Finnegan, R. 1986. Oral Poet ry: It s Nat ure, Significance and Social Context . Cambridge
Universit y Press. London dan New York.
________
. 1992. Oral Tradit ions and t he verbal Art s: A Guide t o Resear ch Practices. Rout ledge,
London and New York.
Foley, J. M . 1986. Oral Tradition in Literat ure: Int erpret at ion in Context . Universit y of Lissourl
Press, Columbia.
Hut omo, S. S. 1991. M ut iara Yang Terlupakan: Pengant ar St udi Sast ra Lisan. HISKI,
Surabaya.
Lombard, D. 2005. Nusa Jaw a: Silang Budaya Jilid 1 & 2. Gramedia Pust aka Ut ama, Jakart a.
Siegel, J. T. 1986. Solo in t he New Order, Language and Hierarchy in An Indonesian Cit y.New
Jersey: Princet on Universit y Press.
Wellek, R. dan Aust in Warren. 1989. Theory of Lit erat ure, t erjemahan M elani Budiant a.
Gramedia, Jakart a.
LEWAT SASTRA LISAN JAWA
Oleh Suw ardi
FBS Universit as Negeri Yogyakarta
M akalah Konferensi Int ernasional HISKI XXI
“ Sast ra dan Budaya Urban dalam Kajian Lint as M edia”
Universit as Erlangga Surabaya
Di hotel Sahid Surabaya
3-5 Agust us 2010
ABSTRAK
This paper t ries to read t he life of st age’s lifest yle w hich means t he socio-cult ural life
t hat looks like a drama performance. The life drama is mor e freely expressed by the Javanese
men of lett ers t hrough oral lit erat ure. The life of st age process emerges in four w ays, i.e.: (1)
t ransfigurat ion, (2) t ransposition, (3) t ransmission, and (4) t ranscendence. These four t hings
have borne t he aneh in t he expression of oral lit erat ure. The aneh is t he exist ence of four kinds
of oral lit erat ure: (a) parody, (b) paradoxical, (c) anecdot e, and (d) t ranscendent al.
From t hose four expressions and kinds of oral lit erat ure, it can be said t hat t here is an
influence of t he life of st age’s lifest yle tow ard t he emergence of oral lit erat ure, and vice versa.
In t he perspect ive of lit erary sociology, it is obvious t hat life and lit erat ure alw ays change. The
reciprocal influence bet w een t hem is relat ed t o one another. The erot ic, unfair, and seduct ive
lifest yle are int ent ionally expressed aest het ically by t he oral men of lett ers.
Keyw ords: lif e st yle, life of st age, t he aneh, oral lit erat ure.
PENDAHULUAN
Suka t idak suka, t ernyat a kaw ula alit hampir t iap det ik berhadapan dengan t ont onan
(life st yle) kaum urban yang ger-geran, ramai, t api memuakkan. Hampir t iap menit kaw ula alit
disuguhi play of pow er, drama kekuasaan yang obah ow ah, dan mengikut i irama life of st age
yang t ernyata menjadi garapan manis dalam sast ra lisan Jaw a. Ada beberapa karya sast ra lisan
Jaw a yang melukiskan pijaran hidup kaum urban yang serba w ah, glamour, in t he hoy, free sex,
penuh t rik, dan seluruhnya t erkesan t he aneh.
Ist ilah t he aneh, sengaja saya pinjam dari gagasan Siegel ket ika memandang dunia
sast ra di Solo (1986). M enurut dia, perist iw a wayang w ong di Solo, t elah menunjukkan gejala
t he aneh sebagai pot ret bangsa Indonesia. Jagad sast ra perkot aan yang dikemas semi humor it u
sebenarnya sebagai pant ulan kehidupan perkot aan, yait u kaum urban yang t engah m encari jat i
dirinya. Ident it as diri kaum kot a, sengaja at au t idak telah bergerak ke dalam sebuah
kecenderungan-kecenderungan unt uk pemuasan diri. Begitu pula dalam ekspresi sast ra, baik
dalam bent uk performance lisan maupun sast ra t ulis.
Pencarian ident it as diri lew at ekspresi sast ra lisan cukup unik. M engapa? Paling t idak
sast raw an akan bergerak dari uji coba ide, kat a, dan komunikasi sast ra. Ident it as diri yang t he
aneh t idak berart i sebuah “ doom of cult ure” (Finnegan, 1977:50), melainkan suatu jalur
kemajuan pemikiran. M enurut dia, just ru t idak sedikit oral poet ry yang m enampilkan suat u
kecerdasan at au disebut juga ideal t ypes. Kondisi masyarakat ideal yang pernah digagas
Durkheim, sering masih mew arnai t aw ar-menaw ar perubahan gaya hidup. Sast ra lisan Jaw a
t ampaknya juga mampu mangadapt asi segala kemungkinan perubahan kult ur masyarakat lew at
ekspresi sast ra.
Konsep “ lit erat ure as social act ion” yang dit aw arkan Finnegan (1977:268) memang
pent ing direnungkan. Pandangan ke arah sosiologi sastra ini dapat dijadikan pijakan bahw a
gaya hidup t he aneh dan life of st age bukan must ahil menjadi andalan sast ra lisan. Keanehan
hidup adalah harapan setiap masyarakat. Polesan hidup adalah bunga-bunga masyarakat .Suw ardi
Endrasw ara 2
Kedua hal ini yang kemungkinan dit angkap sast raw an lisan Jaw a untuk mengekspresikan
dirinya ke arah suatu perubahan.
PEM BAHASAN
TRANSFIGURASI SASTRA LISAN
Transfigurasi saya maknai sebagai perubahan w ajah kehidupan melalui sast ra lisan.
Transfigurasi juga t erkait dengan perubahan sast ra lisan it u sendiri. Perubahan sast ra, sekaligus
perubahan pesan. Dalam pandangan Finnegan (1992:1-10), seni lisan dan t radisi lisan memang
sering memiliki kecenderungan khusus ke arah perubahan. Hal-hal yang tergolong t he aneh
sering diekspresikan lebih bebas at au leluasa lew at sastra lisan. Bahkan, perubahan it u sendiri
sudah t ermasuk t he aneh.
Hal demikian mengingat sast ra lisan sering bersifat anonim, sehingga apa saja dapat
diungkapkan. Selain it u, saya juga sependapat dengan Escarpit (2005:115) bahw a sast raw an
memang memiliki publik. Yang dipikirkan sast raw an t ent ang siapa audiennya, sering menjadi
pilihan. Pilihan yang jat uh pada sast ra lisan, memang t idak keliru, sebab kerahasiaan sast raw an
sering t ersembunyi. Sast raw an lisan jelas t idak jelas. Di dalam dongeng dan di dalam upacara
agama sekalipun di kot a-kot a besar, sering t erjadi penampilan sast ra lisan sebagai mitos yang
menyerang publik t ert ent u. Sast ra lisan t ersebut cenderung aneh dan sulit diduga sebelumnya.
Dongeng-dongeng mist is sering mew arnai sast ra lisan yang mungkin lebih t ajam dari pendemo
dan orat or polit ikus.
Berbagai sast ra lisan sering mencerminkan lif e of st age, artinya kehidupan yang serba
dipoles, didramat isir, sehingga penuh dengan t rik-t rik. Berbagai pertunjukan lisan, sering
menampilkan sejumlah drama kehidupan bangsa ini dengan cemooh, parodi, dan sent uhan
emosional. Para penyair lisan, pelant un t embang, pemain ludruk, pelant un kent rung, adalah
corong jaman yang penuh dengan drama kehidupan.
M angan bakmi anyep maw on
Empun w engi nginep maw on
Theklek kayu jati
Saya t uw ek memanas at i
Gaplek pepringkilan
Wis tuw ek pet hakilan
Empluk w adhah uyah
Wet eng njembluk asile polah
Sepint as, pant un (parikan) t ersebut hanya ungkapan biasa, t anpa memuat makna mendalam.
Padahal kalau dicermat i, sesungguhnya sast ra lisan demikian merupakan sebuah krit ik sosial
yang cerdas. Kesan t he aneh t ergant ung pada penemuan makna. Bila kita gagal mengadopsi
makna, kurang menemukan imajinasi di dalamnya, t ent u akan memandang hambar karya
t ersebut . Dari parikan itu sebenarnya dapat diungkap makna erot is sebagai polesan hidup. Kata
kunci yang pat ut dipegang yait u nginep, memanas, pet hakilan, dan asile polah. Kat a-kat a ini
menunjukkan suatu sikap hidup (life st yle) kaum perkot aan selama ini. Ket ika kat a-kat a it u
dipoles ke dalam est et ika sast ra lisan, t ampak indah dan t idak begit u vulgar. Permainan kata
merupakan t ransfigurasi ide dasar ke kont eks yang luas. Kritik sosial tidak hanya dit ujukan
kepada remaja, melainkan juga kepada para sesepuh yang masih gemar bermain-main dengan
hidup. Konsep bersenang-senang menyelimuti sast ra lisan t ersebut .
Pemaknaan demikian sebenarnya m erupakan sebuah “ int erpr et at ion in cont ext ” yang
dit aw arkan Foley (1986:1). Kont eks sering berada di sekit ar t eks. Tidak sedikit sast ra lisanSuw ardi
Endrasw ara 3
yang m erupakan krit ik t ajam t erhadap roda kehidupan. Konteks sering melebihi t eks. Oleh
sebab it u, penafsiran longgar akan menghasilkan t eks-t eks baru. Berbagai ragam krit ik sering
muncul dalam konteks dan t eks sast ra lisan. Sast ra lisan it u sebuah t eks yang hidup, tidak
diam, dan setiap saat dapat berubah. Krit ik sosial dan polit ik sering menjadi sasaran empuk
para pelant un sast ra lisan. Gaya peleset an dalam sast ra lisan sering menjadi aroma kritik yang
t idak pernah kering. Tidak hanya sast ra lisan yang berupa puisi lisan, sastra drama at au
performance art pun sering dikemas dalam bent uk-bentuk t he aneh.
Lakon-lakon drama, seperti w ayang kulit , w ayang jemblung, w ayang padat , dan
w ayang humor, banyak yang menaw arkan t he aneh. Set iap penont on dapat t ergiur just ru oleh
kisah t he aneh dari pert unjukan drama t ersebut . Kehadiran penonton dari desa ke kot a, just ru
t ergiur oleh rasa ingin t ertaw a. Persoalan t he aneh sebenarnya t idak sekedar humor belaka,
melainkan juga t erlet ak pada ket ajaman krit ik sast ra lisan it u sendiri. Keberanian sast ra lisan
melont arkan krit ik-krit ik pada penguasa, yang dahulu sering ada cekal, kini semakin bebas.
Para pencipt a sast ra lisan, sadar at au t idak, jelas sedang merenungkan dunianya yang
serba t erbolak-balik ini. M elalui sast ra lisan, yang t erkesan sebagai “ sast ra t ak bertanggung
jaw ab” , pencipt a t ernyata bisa bebas berekspresi. Bum bu-bumbu humor dan est et ika menjadi
simpul persembunyian makna yang luar biasa. Pada saat it u, para pencipt a sast ra lisan mungkin
t idak kalah dengan sast ra t ulis hebat nya. M ereka t idak sedang ingin mencari popularit as seperti
sast ra t ulis yang disodorkan ke media. Pencipt a sast ra lisan just ru lebih puas ket ika makna di
balik karyanya t elah sampai pada rant ai komunikasi yang dit uju, yait u penonton at au audien.
At as dorongan unt uk berkomunikasi lew at jagad t he aneh, sast ra lisan semakin
berkembang. Sast ra lisan yang sekeras dan sevulgar apa pun, sering bebas at au kebal hukum.
M aka para pencipt a semakin berani bermain makna dan mengolah est et ika. Pada saat it u,
seringkali t erjadi pendokum ent asian oleh pihak-pihak lain, hingga sast ra lisan berbubah pula
menjadi sast ra t ulis. Akibat nya jika kurang w aspada, siapa yang mengekspos sast ra lisan yang
t erkesan galak, akan t erkena akibatnya.
Unt uk lebih t egasnya, paparan ini akan menelusuri beberapa sast ra lisan Jaw a yang
t elah populer di masyarakat . Sast ra lisan t ersebut t ernyata sering memunculkan aneka polemik,
baik dalam bent uk lisan maupun t ertulis. Ket ika Soehart o menjelang lengser keprabon, saya
masih ingat aneka sast ra lisan digelar di sepanjang jalan Yogyakarta. Dengan alunan suara
mirip lagu anak-anak: cangkul-cangkul cangkul yang dalam, mungkin judulnya Berkebun at au
M enanam Jagung, sengaja diubah oleh para pencipt a sast ra lisan menjadi: gant ung-gant ung
gant ung Soehart o, gant ung Soehart o di silang M onas. Lagu yel-yel para pendemo it u sebuah
t ransfigurasi t eks sast ra lisan yang cukup t ajam maknanya.
Sast ra lisan memang memuat sendi-sendi t he aneh yang sampai saat ini bisa
mengalahkan sast ra t ulis. Sebagai media eskpresi, sastra lisan t et ap dipandang lebih krit is dan
bebas dari prasangka. Begitu pula lagu-lagu anak yang lain, seperti Jaranan, Cublak Suw eng,
Sluku Bat hok, amat t erbuka dipoles ke dalam bent uk-bent uk lain yang lebih krit is. Dengan
berkedok pada sast ra lisan yang t he aneh, polesan-polesan krit ik sosial, budaya, dan polit ik
semakin kent al. Dalam sit uasi demikian, berart i sast ra lisan memang sebuah w ahana estet is
yang pat ut diungkap. Dari sit u akan nampak gaya hidup sebuah komunit as yang sedang muak,
mengkrit isi, dan gerah t erhadap sit uasi jaman.
TRANSPOSISI DAN PARADOKSAL SASTRA LISAN
Sast ra lisan Jaw a banyak yang memuat aspek paradoksal. Paradoksal adalah keadaan
yang m engisahkan aspek-aspek kebalikan dari realit as. Hal yang sebenarnya hit am, kecil,
dilukiskan dengan hal-hal besar, demikian sebaliknya. Paradoksal sast ra lisan it u sering
memunculkan parodi-parodi cerit era. Parodi ini t idak lain sebagai sebuah ironi sast ra, yang
membut uhkan penafsiran t erbalik.Suw ardi Endrasw ara 4
Banyak sast ra lisan Jaw a yang dikemas dengan ideologi paradoksal. Beberapa khasanah
sast ra lisan Jaw a yang berupa sast ra lisan (lakon), yait u Sumant ri Ngenger, Damarw ulan
Ngarit , Jaka Tingkir Suw ita, Jaka Kendhil, dan Pet ruk Dadi Rat u. Karya-karya t ersebut
sebenarnya merupakan kisah-kisah tradisi lisan, yang muncul dari life st yle orang Jaw a. Orang
Jaw a t ampaknya sedang dirundung suasana t idak menent u, hingga muncul gaya hidup
paradoksal. Paradoksal sast ra ini tidak lain sebuah krit ik yang bermakna t erbalik at as realit as.
Life st yle orang Jaw a paling t idak dapat dipahami dari ideologi sast ra lisan it u. Salah
sat u life st yle yang menonjol yait u orang Jaw a ingin pada dua hal: (1) hidup dalam suasana
kepemimpinan yang adil paramarta, yait u pemimpin yang berasal dari dan unt uk kaw ula, dan
(2) orang Jaw a sedang mengharapkan t erjadinya perubahan sosiokult ural unt uk mencapai
idealisme t ata t iti t ent rem kerta raharja. Kedua hal it u dit empuh dengan hidup melalui
imajinasi, dengan cara menokohkan orang desa, miskin, t et api akhirnya berw ibaw a.
Figur Sumantri, Damarw ulan, Jaka Tingkir, Jaka Kendhil, dan Pet ruk adalah karya
imajinasi sast raw an Jaw a. Tokoh fikt if dipuja dan dikagumi sebagai figur kaw ula yang bisa
menjadi priyayi. Hal ini diidealisasikan agar orang Jaw a mendapat kan pimpinan yang benarbenar kumaw ula (bisa memahami nasib rakyat ). Perjuangan t okoh t ersebut hingga dapat
mencapai sukses hidup, menandai sebuah paradoksal sosiokulkt ural. Saya nyat akan sebagai
paradoksal, sebab realit as sering sulit dit erima bahw a seorang kaw ula alit (rakyat kecil)
akhirnya bisa menjadi besar.
Dalam konteks demikian, dapat dinamakan t he aneh, sebab realit as hidup sering
paradoksal dengan realit as hidup imajiner. Hidup imajiner yang t ertuang lew at sast ra lisan,
sebenarnya juga realit as dambaan. Hal ini menjadi cit a-cit a t ingkat tinggi orang Jaw a agar
suatu saat mampu mencapai life st yle yang benar-benar layak, baik dari segi ekonomi maupun
sosial. Dalam kait an ini, pemikiran Paul Ricoeur yang m enaw arkan makna begitu cair, t erbuka,
dinamis, dan “ kalau mau ya begini, kalau t idak mau ya sudah” , layak dipertimbangkan.
Pemaknaan hidup imajiner yang dibandingkan dengan realit as sah-sah saja. Polesanpolesan kisah t he aneh sulit t erhindarkan dari figur kaum desa yang kemudian mengenal jagad
urban yang penuh t aw aran. Figur-figur fikt if it u sedang bingung mengejar makna dan mungkin
sedang menangis karena but a proses the polit ical of meaning. Polit ik makna yang sedang
diobsesikan oleh sast raw an lisan Jaw a, nampak melalui perjuangan t okoh. M akna memang
suatu jalur politik, artinya makna sast ra lisan it u suatu perebutan. M akna hanya bisa dipahami
ket ika kit a melacak dari hal-hal kecil, sepele, remeh, dan mungkin sering diabaikan. Dari lakon
Pet ruk Dadi Ratu misalnya, nampak sekali bet apa besar idealisme orang Jaw a. Orang Jaw a
mendambakan lif e st yle yang selangkah lebih baik, biarpun sering paradoks pula dengan sast ra
lisan yang lain, yait u ungkapan cebol nggayuh lint ang. M aksudnya, rakyat kecil amat kecil
dapat mencapai hidup yang t inggi dan besar.
Lakon Pet ruk Dadi Rat u yang saya miliki berujud VCD oleh dalang Ki Hadi
Sugit o, sebanyak t ujuh buah. Lakon ini melukiskan paradoksal t okoh Pet ruk yang dari
segi kult ur, memang t idak berhak menjadi raja. Namun, oleh pencipt a sast ra lisan yang
sudah digelar dalam sebuah pertunjukan it u, Pet ruk diberi bobot lain yang paradoksal.
Lakon ini jelas sebuah carangan yang t ermasuk t he aneh. Selain dalam siklus w ayang
kulit , Pet ruk m emang hanya sebagai abdi (gedibal). Dalam sast ra lisan ini, Pet ruk juga
dilukiskan sebagai t okoh yang sukses dalam menjalani gaya hidupnya.
Di kala memiliki pusaka saja hanya sebuah pet el, alat bagi pet ani pedesaan.
Bahkan, cerpenis Jaw a Jayus Pet e pernah menulis cerpen Jaw a berjudul Pet ruk, t idak
ubahnya juga menjadi sebuah paradoksal kehidupan. Bedanya, jika dalam sast ra lisan
Pet ruk Dadi Ratu, Pet ruk just ru menjadi t okoh paradoksal yang sukses, dalam sast ra t ulis
karya Jayus, Pet ruk just ru digambarkan bernasib jelek. Sesungguhnya, baik dalam sast raSuw ardi
Endrasw ara 5
lisan maupun t ulis, Petruk t et ap m enjadi figur yang dapat dijadikan inspirat or paradoksal
untuk mengkrit isi kehidupan ini.
Hal senada juga dikemukakan oleh Lombard (2005). Secara panjang lebar ia
mengungkapkan bahw a Pet ruk Dadi Rat u memang lakon yang unik. Dapat saja orang
mengira bahw a perist iw a seorang punokaw an yang m emperoleh kekuasaan mengandung
kemungkinan t eor et is akan t erjadinya perubahan orde yang sudah mant ap bagi seorang
pahlaw an yang berasal dari rakyat , t et api sama sekali bukan demikian halnya.
Cobalah kit a simak, selama perang yang berlarut -larut ant ara Bambang
Priyembada dan Dew i M ustakaw eni, pusaka Kalimasada (yang dit afsirkan oleh kaum
M uslim sebagai deformasi dari kalimat shahadat ...) beberapa kali berpindah t angan
sampai akhirnya jatuh ke t angan Priyembada yang mempercayakannya kepada abdinya
yang set ia, Pet ruk, agar disimpan di t empat yang aman. Pet ruk segera membaw a pergi
benda it u, t et api kemudian muncul niat jahat nya demi menarik keunt ungan pribadi dari
keadaan it u. Ia bercokol di balik Kerajaan Sonyaw ibaw a dan menjalin persekongkolan
dengan raja para dew a, Bhat ara Pengajar, serta ut usannya, Bhatara Narada, lalu memakai
gelar m ent ereng yang tidak enak didengar, Prabu Belguw elbeh Tongt ongsot .
M aka gemparlah para raja dan bangsaw an negeri Ast ina, Amart a, dan Dw araw ati,
yang belum pernah melihat kekurangajaran yang demikian sebelumnya, sehingga mereka
merasa sangat cemas. M ereka bersepakat unt uk menghent ikan perang yang berlangsung
antara mereka dan membent uk sat u front unt uk melaw an si raja baru yang pongah it u.
Bala t ent ara dikerahkan unt uk mengepung Sonyaw ibaw a. Akan t et api, Pet ruk t ak
t erkalahkan berkat benda keramat yang sangat ampuh, Kalimasada. Para dew at a t urun
t angan. Kresna mengadu kepada Semar dan Gareng. M erasa malu at as sikap anak dan
saudara mereka, para hamba yang set ia it u segera m endat angi Pet ruk unt uk memarahinya
dengan keras. Pet ruk t ersent uh kemudian mengalah. Lalu dengan rasa malu yang besar, ia
membiarkan t anda-t anda kebesarannya sebagai raja dilucuti. Dew a-dew a, yang karena
ceroboh t elah memihak Pet ruk, memint a kepada para Pendaw a unt uk t idak bersikap keras
t erhadap Pet ruk. Pet ruk, si perebut kekuasaan it u, merasa malu dan segera pulihlah
keseimbangan jagat. M ungkin t idak ada mit os konservat if yang lebih bagus daripada
kisah di at as.
Sement ara w ayang m encerminkan masyarakat agraris ideal dengan baik, model
budaya Jaw a juga dipaparkan dalam sejumlah naskah tert ent u. Pangeran-pangeran Jaw a
t erkemuka t elah menulis ajaran berupa “ peringatan” dan “ nasihat moral” (piw ulang) yang
khusus menyajikan suat u pendidikan etika bagi kalangan priyayi muda dalam bent uk
sajak. Piw ulang tersebut t elah dit erjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sering
dit erbit kan kembali dalam versi populer dengan t ujuan menyebarkan kearifan yang
t erkandung di dalamnya. Untuk memberi sat u cont oh saja, baiklah disebut Serat
Wedat ama at au “ penget ahuan ut ama” , sebuah naskah sepanjang 72 bait yang dit ulis oleh
M angkunegara IV (1853 -1881) dan sudah sering dit erbit kan kembali.
Biarpun sast ra lisan t ersebut sebuah paradoksal, t et api t et ap memiliki pesan moral
yang berharga. Sebagaimana diungkap dalam Serat Wedat ama, kit a hendaknya “ nulada
laku ut ama” dari lakon t ersebut . Perist iw a t he aneh yang dijalani Pet ruk memang bukan
hal biasa. Lakon ini dapat dijadikan pegangan hidup bagi orang Jaw a bahw a setiap orang
memiliki hal sama untuk menjadi pemimpin. Tokoh-t okoh paradoksal t ersebut menjadi
figur pent ing bagi siapa saja yang sedang m enjadi priyayi dan kaw ula.
Aspek-aspek kelisanan suatu karya sast ra yang sering kont roversi, polos, dan blakblakan, cukup menarik dipertimbangkan dalam kajian-kajian sast ra. Sast ra lisan
paradoksal just ru menjadi karya krit ik yang pat ut dihargai. Kebebasan seorang pencipt a
sast ra lisan, kemampuan sanggit ki dalang memuat carangan, t ampaknya menjadikanSuw ardi
Endrasw ara 6
karya sast ra t ersebut semakin populer dan digemari. Lakon-lakon yang diangkat dari
sast ra lisan just ru dipandang lebih akrab dengan kaw ula dan juga dapat dipahami oleh
priyayi. M elalui sast ra lisan paradoksal, kehidupan dikot omi ant ara priyayi dan kaw ula
dapat lebih bermakna.
TRANSM ISI SASTRA LISAN ANEKDOTSAL DAN RAM ALAN
Transmisi berart i penularan. Transmisi juga dapat diartikan sebagai penularan misi
at au perpindahan misi. Dalam konteks ini, kedua makna it u t ercakup secara komprehensif .
Sast ra lisan ramalan t ermasuk karya yang banyak mengalami t ransmisi t he aneh dan life of
st age. The aneh dapat dilihat dari permainan est et ika yang penuh muat an makna. Life of st age
dapat terpancar m elalui makna di balik sast ra lisan ramalan.
Kalau berkiblat pada pemikiran Eaglet on (2006:7), yait u esensi sast ra adalah hadirnya
proses sering “ membuat asing” , maka t ransmisi merupakan salah sat u w ahana pengasingan.
Pengasingan ide cem erlang yang dibalut secara anekdot sal, bisa jadi memunculkan
ket idaknyamanan makna. Namun demikian, differensial ant ara t eks sast ra lisan dengan makna
hasil t afsiran t idak harus dipersoalkan. Sebagai fakt a imajinat if, sast ra lisan memang
mengundang dan mengandung t afsir beragam. Keindahan sast ra lisan just ru karena hadirnya
“ gelombang makna” yang berlapis-lapis.
Tak sedikit sast ra lisan ramalan yang menorehkan geliat kaum urban yang sedang
dilanda krisis kepercayaan, hingga melahirkan pemikiran mesianist is. Sast ra lisan t ersebut
umumnya berupa anekdot sal yang menggelit ik. Sast ra lisan anekdotsal umumnya
menyampaikan estet ika t he aneh untuk membungkus ide besar life of st age. Hidup ini mereka
pandang sebagai sebuah drama yang layak t ayang dan dit ont on.
Ideologi mesianis t ergolong sebuah gerakan t he aneh, sebab sastraw an sengaja
menyisipkan sebuah “ gerakan sosiokult ural” melalui permainan kat a. Sast ra lisan memang
sarat dengan permainan kat a simbolik. Hal ini t idak lain merupakan jembatan unt uk
menularkan ide ket idakmapanan menuju kemapanan idealis. Jika sit uasi bangsa ini sedang
dalam keadaan t idak sejalan dengan life st yle kaw ula, munculah gerakan sast ra lisan ramalan.
Dalam sast ra lisan Jaw a, banyak sekali karya yang menunjukkan aspek ramalan. Sebut
saja sast ra ramalan yang t elah populer, yait u t ent ang Semut Ireng Ngendhog Jroning Geni,
Semut Ireng Anak-anak Sapi, Jangka Tanah Jaw a, Gat huke Surabaya lan M adura, dan Wong
Wadon Ilang Wirange Wong Lanang Ilang Kapraw irane. Karya sast ra ramalan ini akan
membuka mat a batin kit a, bet apa mahalnya art i sebuah perubahan. Sast raw an lisan Jaw a
sengaja akan ment ransmisikan ideologi perubahan melalui est et ika t ersembunyi.
Coba saja, kalau mau menengok pada sast ra lisan ramalan yang bermuat an polit ik,
keinginan unt uk mengubah amat kent ara. Dalam buku saya yang berjudul Folklor Jaw a (2010),
t elah saya paparkan persoalan sast ra lisan ramalan sebagai upaya mendongkrak keadaan lew at
jalur est et ika. Prinsip-prinsip polit ik yang dipegang oleh kaum mesianis, yang gemar
perubahan, menghendaki pemimpin bangsa ini berdasarkan w ahyu. Pada t ingkat an semacam
ini, orang Jaw a enggan nggege mangsa dalam t ampuk perubahan kepemimpinan. Karenanya,
setiap ada pergant ian pemimpin selalu disikapi sebagai pulung. Pimpinan bukan dimint a,
melainkan jadi at as kehendak Tuhan dan rakyat . Tuhan akan memancarkan rest u dan rakyat
menghendakinya, sehingga pert emuan keduanya mengkrist al pada diri pimpinan. It ulah
sebabnya, dalam segala geraknya seorang pimpinan polit ik berpegang t eguh pada folklor
sebagai berikut :
Sugih t anpa bandha
M enang t anpa ngasorake
Nglurug t anpa bala
Digdaya t anpa ajiSuw ardi Endrasw ara 7
M aksud dari pegangan hidup polit ik demikian adalah pimpinan harus menguasai ngelmu lahir
dan bat in. Ngelmu it u ibarat nya orang kaya, t api t anpa hart a yang nampak. M elalui ngelmu,
seorang pimpinan akan bijaksana ketika memerint ah. Inilah bent uk kaw icaksanan Jaw a yang
dalam f olklor disebut sebagai folk wisdom (kebijaksanaan rakyat ). M elalui kebijaksanaan ini,
pihak yang diperint ah t ak merasa dikalahkan. Yang dipimpin akan bersikap ndherek ngarsa
dalem, sendika dhaw uh, artinya mengikuti perint ah dan menjalankan dengan ikhlas lahir bat in.
Dia dapat menaklukkan meskipun hanya sendirian, karena penuh st rat egi. Dia pimpinan yang
sebenarnya sakt i karena ngelmu-nya. Atas dasar ngelmu it u, pemimpin memiliki kasekt en at au
kedigdayaan.
Di era kolonial, banyak muncul pula folklor-folklor Jaw a polit ik, misalnya kisah Baron
Sekender. Tokoh ini dikisahkan t erbang dan jatuh ketika t epat berada di at as kerat on
Yogyakarta. Hal ini sebagai simbol ada kekuat an sent ral kerat on jauh lebih sakt i dibanding
penjajah. Begitu pula riw ayat fikt if t ent ang t erjadinya Kot a Gudeg yang sebenarnya merupakan
folklor polit ik era kolonial. Dari cerit a ini, ident it as lokal gudeg sebagai nama besar
Yogyakarta di mat a Belanda amat dit onjolkan.
Kisah-kisah folklor polit ik di era baru dan modern pun menarik diperhat ikan. M isalkan
saja, ketika gambar Soehart o digunakan sebagai simbol uang pecahan Rp. 50.000,00, maka
secara diam-diam hal it u menggam barkan ident itas t okoh polit ik ini. Yakni, ket ika dia
meninjau w ilayah miskin, harus menjat uhkan uang t ersebut bagi orang miskin. Ternyat a uang
t ersebut ketika dit erima, langsung dimasukkan di “ saku t radisional” (susu). Uang it u t ernyat a
t ak laku unt uk jual beli, sehingga dikembalikan kepada Soehart o. Pada saat dikembalikan, Bu
Tien melihat t ernyat a gambar di uang it u berubah menjadi t ersenyum r ia.
Perubahan-perubahan yang bernuansa anekdot, juga merupakan bent uk folklor Jaw a
yang berbau polit ik. Anekdot t ergolong t he aneh dalam kancah sast ra lisan. Selain gelit ik
pesonanya, juga ada makna t ersembunyi yang perlu dit elusuri. Ada anekdot yang berupa
untaian sast ra lisan sebagai berikut .
Semut ireng ngendhog jroning geni
M anuk merak memit ran lan baya
Keyong sakenong mat ane
Tikuse padha ngidung
Kucing gering ingkang nunggoni
Kodhok naw u segara
Ant uk bant heng sew u
Si precil kang padha njaga
Tembang di at as melukiskan simbol-simbol polit ik di era kolonial. Semut hit am tadi dapat
dit afsirkan masa revolusi fisik, rakyat berseragam hit am-hit am, t erjadi perang dahsyat ,
sehingga bert elur dalam api (keadaan bahaya). Burung merak bergandengan dengan buaya,
adalah t okoh feodal yang gedheg ant huk dengan Belanda, lalu mengambil keuntungan dalam
kesempit an. Keyong adalah simbol rakyat yang m erasa t ak rela, maka mat anya sakenong
(mendolo) at au melot ot . Apalagi w akt u itu banyak korupt or berdendang ria yang dilambangkan
dengan t ikus bernyanyi. Orang-orang banyak yang naw u segara, artinya menguras harta rakyat
demi kepent ingan pribadi dan golongan. Seluruh upaya korupsi t ertat a rapi, ibarat nya di jaga
precil (rakyat kecil) yang mendapat kucuran dana. M ereka it u akan memuji bahw a
pemimpinya sangat adil dan dermaw an.
Sebagai cont oh pada w akt u Edi Tansil lolos dari penjara, t ernyat a nama dia spontan
diubah oleh kolekt if t ert ent u menjadi Edi Kancil. Hubungan ant ara suara Kancil dan Tansil
seakan-akan r elevan sesuai sifat -sifat tokoh ini. Bahkan kadang-kadang berubah lagi menjadi
Tansil Nyolong Triliun, bukan Kancil Nyolong Timun. Begit u pula ket ika suara PAN menurun
di Pemilu 1998 ke 2004, mendadak nama pimpinannya bisa berubah menjadi Amin Nangis.Suw ardi
Endrasw ara 8
Nama Dai Sejuta Umat, KH Zainudin M Z, ket ika hasil Pemilu menunjukkan suara berkisar
dua jut a, nama diubah menjadi Dai Dua Jut a Umat. Yang cukup unik lagi adalah anekdot yang
sering diucapkan Cak Nun pada beberapa pert emuan, bahw a presiden Indonesia it u hampir
selalu “ kekanak-kanakan” . Pasalnya, presiden I banyak anak, presiden II harus “ anak polah
bapa kepradhah” , presiden III seperti kanak-kanak, presiden IV harus dit unt un anak, dan
presiden V bisa manak (beranak). Sast ra lisan anekdotsal demikian biasanya dit ransmisikan
lew at sast ra kisah. Ide aw al sast ra anekdot sal it u sederhana, namun pengisahannya sering
dilebih-lebihkan. Kemampuan t ukang kisah it ulah yang banyak menyumbang t ransmisi sastra
lisan hingga semakin berkembang.
Tampaknya sast ra lisan anekdot sal just ru lebih berhasil menyent uh audien. M elalui
anekdot t ersembunyi, sast raw an leluasa membungkus makna. Baik muat an ramalan maupun
gerakan sosiokult ur yang menginginkan perubahan, sebenarnya sama-sama mencerminkan t he
aneh dan life of st age. Sast raw an sengaja mempermainkan bahasa kias, dan audien boleh bias
menafsirkan apa saja. Yang jelas konsep drama kehidupan selalu dikedepankan.
TRANSENDENSI SASTRA LISAN KE SASTRA NITI
Transendensi adalah upaya mengubah imaji dari sast ra lisan (biasa) ke jalur sast ra yang
t ransenden. Transendensi adalah perist iw a pemaknaan ke arah yang sulit t erpahamkan.
Transendensi berart i menaikkan derajat sastra biasa ke sast ra t ransenden yang bermuat an
filosofi dan ajaran sakral. Adanya anggapan bahw a sast ra lisan it u rendah dari sisi est et ika
memang sulit disangkal. Biarpun anggapan ini t idak selalu benar, namun di masyarakat selalu
muncul sast ra lisan berkontras dengan sast ra nit i yang dipandang sebagai sast ra agung. Sastra
nit i sebagai karya serius penuh kedalaman makna. Saya memandang kedua hal it u t idak
selamanya kekal, sebab sast ra lisan pun sebenarnya t idak seidkit yang memiliki keagungan
makna.
Khasanah sast ra lisan Jaw a yang berupa sast ra niti, sering mengundang tafsir longgar.
Nit i berart i ajaran. Sebagaimana dikemukakan Horat ius, yang kemudian diamini Wellek dan
Warren (1989), bahkan hingga ahli sast ra masa kini, sast ra memang m enyuguhkan ajaran
problemat ik hidup. Namun konsep ajaran it u t idak selamanya lahir dari karya agung, niti, dan
sejenisnya. Sast ra lisan pun banyak yang menaw arkan ajaran luhur. Sebut saja, Kat e-Kat e
Dipanah, Cublak-cublak Suw eng, Cabaw a, Sar-sur Kulonan, dan lain-lain, merupakan karya
sast ra yang penuh dengan makna filosofi. Namun demikian, karya sast ra lisan ini seringkali
kurang t erpahami.
Kat e-kat e Dipanah
Te Kat e dipanah
Dipanah ngisor gelagah
Ana manuk ondhe-ondhe
M bok sir bombok mbok sir kat e
M bok sir bombok mbok sir kat e
M bok sir bombok mbok sir kat e
Sepertinya, sast ra lisan yang berupa lagu anak-anak t ersebut t idak ada yang ist imew a. Dari segi
est et ika, ia juga sederhana. Sebenarnya, just ru kesederhanaan it ulah yang bisa memuat t afsiran
t he aneh. Sast ra lisan t ersebut dapat dimaknai bermacam-macam, seluas cakra pandang kit a.
Bahkan, seringkali karya sast ra demikian memunculkan problemat ika makna. M ult itafsir sastra
menurut hemat saya sah-sah saja dan bahkan w ajib.
Lagu lisan it u t idak sekedar kisah ayam kat e, yait u ayam kecil mungil yang indah
dipandang. Kat a kunci yang membuka seribu makna memang “ kat e” . Ternyat a, kat a “ kat e” ini
merupakan kependekan (jarw adhosok) dari kat a bahasa Jaw a t ekade (t ekat e). Tekade, art inya
niat nya at au keinginannya. Te kat e dipanah berart i niat dan keinginan harus dipanahSuw ardi
Endrasw ara 9
(dimanah), dipikirkan dengan hat i yang jernih. Orang yang memiliki keinginan apa saja,
sebaiknya dipikirkan bet ul untung ruginya. Dari kont eks ini, berarti sast ra lisan yang sering
dipandang rendah t idak selalu demikian, sebab di dalamnya memuat ajaran luhur. Ajaran
t ent ang sebuah pemikiran, just ru merupakan kat arsis dari sast ra lisan itu.
Konsep ngisor gelagah, t idak lain merupakan gambaran hat i yang berada di baw ah
rongga dada. Ngisor juga bermakna agar dalam memikirkan niat selalu merendahkan diri.
Gelagah adalah kebalikan dari ngisor. Gelagah beart i gumagah (sombong). Gelagah adalah
t umbuhan yang yang sebenarnya kosong. Kesombongan adalah gelagat kekosongan hidup.
Unt uk it u perlu dipertimbangkan manuk ondhe-ondhe, yang mirip dengan bahasa Jaw a undhaundhi, artinya seimbang. M aksudnya, sikap rendah hat i, t idak sombong, merupakan benih
untuk mencapai keseimbangan hidup. Keseimbangan hidup dapat t ercapai apabila hidup ini
dijalan sesuai dengan “ sir” , artinya jalan t unt unan nabi. Jalan profet ik it u merupakan refleksi
dari niat t ulus.
Begitulah endapan makna sast ra lisan yang bermuat an profet ik. Tidak hanya masalah
ayam kat e yang akan disampaikan oleh sast raw an, t et api juga muat an filosofis. Hidup yang
senant iasa dipikirkan merupakan jalan mencapai keseimbangan. Pemaknaan at au
penerjemahan yang melampaui bat as t eks it u dalam pemikiran Cat ford (Hut omo, 1991:86-87)
disebut free translat ion. Kiranya, free t ranslat ion yang menggunakan paradigma ot hak-at hik
mat huk, t idak salah. Dalam sastra lisan yang penuh dengan permainan bunyi, perlu dimaknai
at as dasar kebebasan t eks yang sering menampilkan suprat ekst ual. Apalagi Worsley (Hut omo,
1991:91) juga mengungkapkan bahw a “ a good t ranslat ion is, of course, not t he result s of a
mechanical process, but like any lit erary product , is dependent upon t he genius of it s out hor.”
Int i pernyat aan ini menandai bahw a pemaknaan dan t erjemahan seharusnya bukan mekanik,
melainkan dibenarkan apabila menghasilkan seperti sast ra baru. Penerjemahan t ergant ung
kejeniusan pengarang.
Dengan demikian, pemaknaan dan penerjemahan sast ra lisan boleh saja melew at i bat as
yang dibayangkan sast raw an. Penafsir an bisa jadi akan melahirkan karya sast ra baru.
Penafsiran t eks dapat saja memunculkan t eks-t eks baru yang mungkin lebih indah dari
sebelumnya. Apalagi sast ra lisan it u berkembang dari mulut ke mulut , hingga memungkinkan
penerjemahan dan penafsiran t erus-menerus. Set iap ada penyajian sast ra lisan, muncul pula
sebuah penafsiran yang lebih indah dari t eks aslinya.
SIM PULAN
Dari pembahasan di at as dapat diket engahkan bahw a gaya hidup t he aneh dan life of
st age dalam khasanah sast ra lisan Jaw a, t erungkap beberapa hal. Pertama, pemunculan sast ra
lisan sebagai t he aneh dan life of st age m elalui empat proses, yait u (1) t ransfigurasi, (2)
t ransposisi, (3) t ransmisi, dan (4) t ransendensi karya sast ra lisan sebelumnya. Kedua, kehadiran
t he aneh melalui empat jalur memang cukup est etis sebagai pembungkus ide besar t ent ang
krit ik sosial polit ik sebagai gaya hidup. Ket iga, pemolesan dan pengasingan ideologi ke dalam
sast ra lisan dengan jalan menampilkan empat bent uk sast ra lisan t he aneh, yait u (a) sast ra lisan
parodial, (b) sast ra lisan paradoksal, (c) sast ra lisan anekdot sal, dan (d) sast ra lisan
t ransendent al.
Keempat ragam sast ra lisan t ersebut berhasil membungkus life of st age, hingga
meluapkan nuansa t he aneh. Life of st age m enjadi subst ansi gaya hidup manusia, dit ut urkan
secara dramat ik, berapi-api, dan t he aneh sebagai est et ika penjinak sastra. Dari ket ajaman t he
aneh sast ra lisan it u, t ampaknya sast raw an semakin puas melampiaskan krit ik pedas, bahw a
hidup ini t elah bergeser dari porosnya. Ada kalanya keempat ragam sast ra lisan it u ramah
lingkungan, sedangkan di w akt u lain amat galak t erhadap ekosist em yang membangunnya.
Begitulah
w ajah
sast ra
yang
acapkali
dilupakan.
M ari
kit a bicarakan,
apakah
memang
begitu?Suw ardi Endrasw ara 10
DAFTAR PUSTAKA
Eaglet on, T. 2006. Teori Sastra Sebuah Pengant ar Komprehensif, t erjemahan Harfiah
Widyaw at i dan Evi Set yarini. Jalasut ra, Yogyakart a.
Escarpit , R. 2005. Sosiologi Sast ra. Yayasan Obor Indonesia: Jakart a.
Finnegan, R. 1986. Oral Poet ry: It s Nat ure, Significance and Social Context . Cambridge
Universit y Press. London dan New York.
________
. 1992. Oral Tradit ions and t he verbal Art s: A Guide t o Resear ch Practices. Rout ledge,
London and New York.
Foley, J. M . 1986. Oral Tradition in Literat ure: Int erpret at ion in Context . Universit y of Lissourl
Press, Columbia.
Hut omo, S. S. 1991. M ut iara Yang Terlupakan: Pengant ar St udi Sast ra Lisan. HISKI,
Surabaya.
Lombard, D. 2005. Nusa Jaw a: Silang Budaya Jilid 1 & 2. Gramedia Pust aka Ut ama, Jakart a.
Siegel, J. T. 1986. Solo in t he New Order, Language and Hierarchy in An Indonesian Cit y.New
Jersey: Princet on Universit y Press.
Wellek, R. dan Aust in Warren. 1989. Theory of Lit erat ure, t erjemahan M elani Budiant a.
Gramedia, Jakart a.