Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber
Daya Air
Oleh : Purba Robert Sianipar
Assisten Deputi Urusan Sumber daya Air

Alih fungsi lahan adalah salah satu
permasalahan umum di sumber daya air yang
sering
diperbincangkan
banyak
pihak. Peningkatan alih fungsi lahan tidak
hanya mengancam ketahanan pangan nasional,
tetapi juga berdampak pada hilangnya investasi
pemerintah
dalam
pembangunan jaringan
irigasi, peningkatan risiko banjir, dan
mengurangi ketersediaan air. Data BPS tahun
2004 menunjukkan
bahwa di
Pulau

Jawa terjadi pengurangan lahan sawah periode
1981-2002 sebesar 1,17 juta Ha. Walaupun ada
pencetakan sawah baru sebesar 536,25 ribu Ha
di
beberapa
lokasi,
tetapi
tidak
sebanding dibandingkan alih fungsi yang
terjadi. Penysutan
lahan
pertanian Penyelenggaraan pembangunan selama ini telah membuahkan hasil yang
menggembirakan. Pertumbuhan pusat ekonomi baru tidak hanya terjadi di kota- kota
besar tetapi tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sejalan dengan itu, berbagai
permasalahan muncul dan semakin kompleks.
Tidak terkecuali dalam pengelolaan sumber daya
air. Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS
terutama dari hutan menjadi lahan pertanian
budidaya dapat berdampak pada berkurangnya
fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan

debit
maksimum-minimum,
erosi,
dan
sedimentasi. Perubahan fungsi lahan yang tidak
terkendali akan menambah panjang daftar DAS
kritis di Indonesia, dimana potensi bahaya banjir
dan kekeringan, baik dari sebaran dan frekuensinya
akan semakin meningkat. Dengan kata lain, ada
sensitive landuse pada suatu DAS, dan apabila
kemampuan daya resap air pada sensitive landuse ini berkurang maka akan terjadi
kekritisan sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya, penurunan debit
andalan. Selain permasalahan tersebut di atas, pengelolaan sumber daya air juga
dihadapkan pada kondisi sulitnya penyediaan lahan untuk pembangunan infrastruktur

sumber daya air, seperti pembangunan bendungan, retarding basin, dan banjir
kanal. Pemerintah sering dihadapkan pada konfik sosial berkepanjangan dalam
hal penyediaan lahan ini, dan jika tidak hati-hati masalah tersebut dapat bergeser ke ranah
hukum.
Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga membawa tantangan tersendiri dalam

memahami prinsip pengelolaan sumber daya air. Perbedaan pemahaman dapat
menimbulkan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya diberbagai daerah,
memicu terjadinya sengketa antar daerah, antara pusat dan daerah, serta sesama pengguna
air. Oleh karena itu, koordinasi dan sinkronisasi baik di tingkat pusat, propinsi,
kabupaten/kota, maupun di tingkat wilayah sungai merupakan tantangan dalam
membangun sistem kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang handal. Integrasi
berbagai sektor mutlak diperlukan untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. topik
utama
Arah Pengelolaan Sumber Daya Air Ke Depan
Sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004, pengelolaan sumber
daya air (SDA) merupakan suatu upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya
air, dan pengendalian daya rusak air. Pengelolaan sumber daya air didasarkan asas-asas
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan,
kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas. Dalam 20 tahun ke depan, Pengelolaan
SDA diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara pelaksanaan konservasi SDA,
pendayagunaan SDA, dan pengendalian daya rusak air. Permasalahan krisis ekologi di
catchment area perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Pemecahan
masalah hanya akan berhasil apabila melibatkan semua pemangku kepentingan,
dengan satu indikator keberhasilan yang disepakati bersama. Penanganan konservasi

tidak dapat hanya dilakukan melalui pendekatan struktur, tetapi juga
mengutamakan pendekatan non-struktur Dalam pendayagunaan SDA, pemanfaatan air
tanah sebagai sumber air baku perlu dipertimbangkan dengan baik.
Dalam hal ini pengambilan air tanah harus dilakukan secara seimbang dengan
kemampuan
pengisiannya
kembali. Pengelolaan
SDA
diarahkan
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan air hujan. Sementara itu, pengendalian
daya rusak air dilakukan dengan mengatasi permasalahan mendasar, yaitu
peningkatan limpasan air permukaan sebagai akibat dari pengurangan tutupan lahan dan
penurunan fungsi resapan. Karenanya, penerapan dan pengawasan pelaksanaan rencana
tata ruang wilayah (RTRW) perlu dilakukan secara konsisten. Kehandalan layanan jasa
pengelolaan SDA harus ditingkatkan agar kebutuhan air dapat terpenuhi sepanjang tahun,
agar daya rusak air menurun baik frekuensi maupun sebarannya, agar kualitas air baku
meningkat, dan agar sistem penyediaan air minum dapat mencapai target MDG’s
(Millenium Development Goals). Keterlibatan masyarakat dan dunia usaha
perlu digalakkan dan ditingkatkan, dengan mengutamakan prinsip kerjasama kemitraan

yang saling menguntungkan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan SDA seperti
yang diharapkan di atas, UU Nomor 7 Tahun 2004 mengamanatkan perlunya disusun

pola pengelolaan sumber daya air (Pola PSDA). Sebagai suatu kerangka dasar,
Pola PSDA disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air
permukaan dan air tanah. Penyusunan Pola PSDA dilakukan dengan melibatkan peran
masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, pola pengelolaan SDA
pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA pada
tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan. Kebijakan pengelolaan SDA
ditetapkan secara terintegrasi kedalam kebijakan pembangunan provinsi atau
kabupaten/kota, termasuk dalam rencana tata ruang wilayah.
Keterkaitan Pola PSDA dengan RTRW
Pola PSDA dan RTRW memiliki hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk
saling menyesuaikan. Pasal 39 dari PP 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa rencana
pengelolaan SDA yang sudah ditetapkan merupakan dasar penyusunan program dan
rencana kegiatan setiap sektor yang terkait dengan sumber daya air, dan sebagai masukan
dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau penyempurnaan rencana tata ruang
wilayah yang bersangkutan. Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang – secara tidak langsung – menyebutkan bahwa penataan ruang

harus memperhatikan kondisi fisik wilayah dan potensi berbagai sumber daya (termasuk
sumber daya air). Lebih lanjut disebutkan bahwa rencana tata ruang meliputi sistem
jaringan prasarana sumber daya air, kawasan lindung (termasuk kawasan konservasi), dan
kawasan budi daya (termasuk daerah layanan irigasi). Karena itu, RTRW diharapkan
menjadi
pedoman
untuk mewujudkan
keterpaduan,
keterkaitan,
dan
keseimbangan antarsektor (termasuk pengelolaan SDA). Salah satu contoh kasus yang
menarik untuk melihat keterkaitan pengelolaan sumber daya air dengan rencana tata

ruang wilayah adalah pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).Terlepas dari persoalan
bagaimana sebaiknya menyikapi banjir di Jakarta, BKT telah direncanakan sejak tahun

1973. Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta (dikenal sebagai Master
Plan 1973) disusun sebagai rencana pengelolaan sumber daya air di ibukota
Jakarta. Trase Banjir Kanal Timur di Master Plan 1973 lahan untuk trase BKT telah
tersedia. Tentu bisa dibayangkan bagaimana sulitnya apabila sepanjang trase BKT telah

berdiri pusat-pusat kegiatan ekonomi. Pilihan beratpun harus diputuskan yaitu
membiarkan Jakarta terus “bersahabat” dengan banjir atau menguras anggaran untuk
ganti rugi lahan. Pemerintah menyadari tidak mudah untuk mewujudkan pelaksaan
master plan tersebut. Terbatasnya alokasi anggaran merupakan masalah klasik yang
dihadapi setiap tahun.
Namun Pemerintah tetap bertekad untuk menjadikan ibukota negara, kawasan bebas
banjir. Sejalan dengan upaya menemukan skenario pembiayaan yang tepat,
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memasukkan rencana pembangunan tersebut ke dalam
rencana tata ruang wilayahnya. Jadi secara umum, integrasi Pola PSDA ke dalam
RTRW Propinsi atau Kabupaten/Kota diharapkan mampu memberikan jaminan
pelaksanaan pengelolaan sumber daya air ke depan. Mengapa demikian? Karena,
RTRW selain merupakan instrumen perencanaan, juga merupakan instrumen
pengendalian pembangunan. RTRW memiliki “alat paksa” yaitu berupa ketentuan sanksi
bagi setiap orang/pihak yang melanggarnya. Adanya rencana pembangunan BKT dalam
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang “Rencana Tata
Ruang Wilayah 2010,” membuat penyediaan lahan seluas 405,28 Ha yang terdiri dari
147,9 Ha di Jakarta Utara dan 257,3 Ha di Jakarta Timur, memungkinkan untuk
dilakukan. Walau pembebasan lahan berjalan lambat, tetapi setidaknya
Integrasi Pola PSDA dengan RTRW
Walaupun secara umum pengintegrasian rencana pembangunan nasional ke dalam

RTRW telah dilakukan, namun integrasi di bidang sumber daya air belum dilaksanakan
secara utuh. Saat ini fokus integrasi sumber daya air dengan RTRW lebih banyak pada
sistem jaringan prasarana SDA, yang meliputi jaringan SDA lintas negara dan lintas
propinsi untuk mendukung air baku pertanian, jaringan SDA untuk kebutuhan air baku
industri, jaringan air baku untuk kebutuhan air minum, dan sistem
pengendalian banjir. Jika melihat bahwa pengelolaan SDA meliputi konservasi sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air,
seharusnya integrasi dilakukan dengan menterjemahkan ketiga komponen tersebut ke
dalam struktur ruang dan pola ruang di RTRW. Secara substansi, masukan
Pola Pengelolaan SDA (PSDA) ke dalam RTRW sekurang- kurangnya memuat hal-hal
berikut di bawah ini.

Pola/Rencana PSDA Penentuan besar/ukuran penggambaran prasarana sumber daya air
perlu disesuaikan dengan ketentuan dalam penyusunan RTRW. Sebagai contoh masukan
Pola PSDA wilayah sungai ke dalam RTRW dapat dilihat pada Tabel berikut.

Contoh Masukan Pola PSDA ke dalam RTRW Bila tidak mungkin masuk dalam
Peta, minimum ada dalam teks atau narasi Pengintegrasian rencana pengelolaan sumber
daya air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi,
baik di tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. topik utama Pengintegrasian


juga perlu mempertimbangkan hirarki yang ada baik di dalam RTRW maupun dalam
pengelolaan SDA. Hirarki RTRW disusun menurut tingkatan administrasi pemerintahan,
yaitu berupa RTRW Nasional, RTRW Propinsi, dan RTRW Kabupaten/Kota. Sedangkan
dalam pengelolaan SDA, Pola PSDA disusun berdasarkan Wilayah Sungai
(WS) RUANG WILAYAH Lintas Negara, WS Lintas Propinsi, WS Strategis
Nasional, WS Lintas Kabupaten/Kota, dan WS satu Kabupaten/Kota. Apabila
digambarkan, bentuk keterkaitan yang dapat terjadi antara RTRW dengan Pola PSDA
Wilayah Sungai adalah seperti terlihat pada Gambar 5 dibawah ini.

Keterkaitan Antara Rencana Tata Ruang Wilayah Dengan Pola Pengelolaan Sumber
Daya Air Wilayah Sungai Lebih jauh, pengintegrasian rencana pengelolaan sumber daya
air ke dalam RTRW harus dapat tercermin dalam tujuan, kebijakan dan strategi, baik di
tingkat nasional, propinsi maupun kabupaten/kota. Terkait dengan hal ini perlu
diperhatikan penentuan program yang memuat lokasi, besaran, sumber dana, instansi
pelaksana, dan target waktu pelaksanaan. Tantangan, dan sekaligus kesempatan yang bisa
dimanfaatkan, saat ini adalah belum semua daerah menyelesaikan RTRW dan Pola PSDA
pada tingkat wilayah sungainya.
Jumlah RTRW yang telah disahkan (Perda) sampai dengan Juni 2011 baru mencapai 8
propinsi dan 25 kabupaten/kota. Sementara itu, pembuatan Pola PSDA di wilayah sungai

yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat baru selesai 19 rancangan, dari total
68 rancangan pola. Karena itu, perlu segera disusun bahan integrasi Pola PSDA ke dalam
RTRW berupa peta, teks/narasi, dan program yang disiapkan sekaligus ketika melakukan
penyusunan Pola Pengelolaan SDA. Dalam hal ini momentum penyusunan
RTRW 20 dan Penyusunan Pola PSDA di Provinsi maupun Kabupaten/Kota hendaknya
dapat dimanfaatkan dengan baik. Pengintegrasian ini diharapkan dapat meminimalisir
dampak perubahan pemanfaatan ruang seperti yang terjadi saat ini. Pada tatanan
kebijakan, kebutuhan pengintegrasian Pola PSDA ke dalam RTRW Propinsi dan RTRW

Kabupaten/Kota sangat
diperlukan
untuk
memastikan
tersedianya
lahan
bagi pembangunan prasarana sumber daya air. Dengan demikian diharapkan tujuan
pembangunan sumber daya air sebagai bagian dari pembangunan nasional dapat
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk kemakmuran
rakyat. Akhir kata dapat disampaikan bahwa antara Pola Pengelolaan Sumber Daya Air
dan Rencana Tata Ruang Wilayah terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka

untuk saling menyesuaikan. Pola PSDA menjadi salah satu unsur dalam penyusunan dan
perbaikan RTRW, dan sebaliknya pengembangan sumber daya air harus didasarkan pada
RTRW yang telah disusun.