MAKALAH STUDI KELAYAKAN KAKAO GORONTALO

STUDI KELAYAKAN KAKAO
DI DESA KRAMAT KECAMATAN MANANGGU
KABUPATEN BOALEMO
GORONTALO
MAKALAH MATA KULIAH EVALUASI PROYEK
Oleh :
MUHAMMAD REZA HARAHAP
1206112169

JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris sehingga pertanian merupakan salah
satu sektor penting. Negara ini sudah lama dikenal sebagai penghasil berbagai
komoditas perkebunan yang dapat diandalkan. Pemerintah Indonesia memberikan
prioritas tinggi pada pengembangan dan perluasan industri yang mengolah hasil

pertanian, termasuk tanaman perkebunan. Sebagian besar penduduk Indonesia
bermata pencaharian pada bidang pertanian, namun

mayoritas penduduk tidak

bekerja sebagai petani besar melainkan sebagai petani kecil, dimana mereka
hanya menguasai sebidang lahan kecil, sempit, dan pendapatan mereka yang
relatif rendah tetapi dalam mengelola proyeknya setiap petani mempunyai cara
sendiri. Untuk itu seorang petani harus dapat memperhitungkan apakah proyek
layak atau tidak suatu proyek untuk dilanjutkan.
Soekartawi et al. (1986) mengemukakan bahwa Kakao merupakan salah
satu komoditas pangan bernilai ekonomis tinggi yang memberikan sumbangan
dalam peningkatan kesejahteraan petani. Kakao

termasuk komoditas pangan

komersial yang dieksport hingga keluar negeri. Pada abad moderen seperti saat
ini hampir semua orang mengenal cokelat yang merupakan bahan makanan
favorit, terutama bagi anak-anak dan remaja. Salah satu keunikan dan keunggulan
makanan dari cokelat karena sifat cokelat dapat meleleh dan mencair pada suhu

permukaan lidah (Soekartawi et al.,1986).
Provinsi Gorontalo, selain merupakan daerah penghasil tanaman pangan
juga merupakan daerah penghasil tanaman hortikultura, dan tanaman perkebunan.
Tanaman perkebunan yang dihasilkan seperti kelapa, durian, kakao dan lain-lain.
Ada beberapa kabupaten yang sebagian masyarakatnya adalah mengandalkan
berproyek tanaman perkebunan salah satunya adalah Kabupaten Boalemo,
dimana daerah ini produksi kakao tertinggi kedua setelah kelapa yang produksi
Kelapa 6.977 ha sedangkan Kakao 307 ha sehingga daerah ini akan
dicanangkan sejuta Kakao (Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Gorontalo,
2011).

Desa Kramat merupakan penghasil kakao terbesar dibandingkan dengan
desa-desa yang ada di kecamatan Mananggu, kabupaten Boalemo, dimana
sebagian masyarakatnya menjadikan berproyek tanaman kakao yang menjadi
sumber mata pencahariannya. Dalam pembudidayaan tanaman kakao di Desa
Kramat, pengelolaanya masih sangat tradisional, terutama dalam hal pemupukan
tanaman, yang menyebabkan hasil produksi yang kurang maksimal.Hal ini dilihat
dari kondisi yang ada, bahwa produksi kakao beberapa tahun terakhir ini menurun
sehingga perlu dilakukan terobosan baru. Dengan menerapkan teknologi modern
yang mungkin akan meningkatkan produksi tanaman kakao dan pendapatan

petani itu sendiri(Badan Pusat Statistik Kabupaten Boalemo, 2011).
Penggunaan lahan pertanian yang dimanfaatkan di Desa Kramat,
khususnya perkebunan 350 ha yang di dalamnya terdapat luas lahan kakao 33 ha,
dimana terdapat tiga kelompok gapoktan dengan jumlah anggota 45 orang.
di Desa Kramat, sebagian besar ekonomi rakyat tumbuh dan berkembang dari
sektor pertanian. Sebagian besar lahan digunakan untuk budidaya pertanian.
Dengan potensi pertanian yang cukup besar, secara geografis Desa Kramat
dimungkinkan untuk mengembangkan komoditas-komoditas yang bernilai
ekonomi tinggi. Hal ini dikarenakan Desa Kramat memiliki sumberdaya
pertanian yang cukup banyak, salah satu komoditas yang dikembangkan adalah
tanaman tahunan, khususnya tanaman kakao (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Boalemo).
Berdasarkan uraian diatas penulis tertari untuk mengkaji Analisis
Kelayakan Finansial Pada Proyek Kakao di Desa Kramat, Kecamatan Mananggu,
Kabupaten Boalemo.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1.

Berapakah


pendapatan yang diperoleh petani pada proyek Kakao di

Desa Kramat Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo.
2.
1.3.

Bagaimana Kelayakan Finansial Proyek Kakao.
Tujuan Studi Kelayakan Proyek

Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisis:
1.

Pendapatan yang diperoleh petani pada proyek Kakao di Desa Kramat
Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo.

2.

Kelayakan finansial pada proyek kakao.


1.4. Manfaat Studi Kelayakan Proyek
Adapun manfaat dari studi kelayakan ini adalah:
1.

Informasi atau masukan kepada investor dan pemerintah agar dapat
meningkatkan dan mengembangkan potensi pertanian, khususnya proyek
komoditas tanaman Kakao yang ada di Desa Kramat, Kecamatan Mananggu,
Kabupaten Boalemo.

2.

Pedoman mahasiswa tentang pengaruh besar kecilnya biaya yang
dikeluarkan terhadap penerimaan yang diperoleh petani. Dengan mengetahui
hal tersebut kita dapat menganalisis apakah tanaman tersebut layak untuk
diusahakan jika dilihat dari keuntungan atau kerugian yang diperoleh petani.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sub Sektor Perkebunan

Menurut Ariyantoro (2006), Perkebunan dapat diartikan berdasarkan
fungsi, pengelolaan, jenis tanaman, dan produk yang dihasilkan. Perkebunan
berdasarkan fungsinya dapat diartikan sebagai usaha untuk menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan pendapatan dan devisa negara, serta memelihara kelestarian
sumber

daya

alam.

Berdasarkan

pengelolaannya,

perkebunan

dapat

Selain itu Ariyantoro (2006), menambahkan bahwa Perkebunan


rakyat

dibagi menjadi perkebunan rakyat, dan perkebunan besar.
merupakan usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh rakyat,dimana
perkebunan ini memiliki ciri antara lain: lahannya sempit, status lahan milik dan
sewa, pengelolaannya dilakukan oleh petani itu sendiri dengan cara sederhana,
jenis tanaman campuran monokultur, teknologi yang digunakan sederhana, cara
pembudidayaannya tradisional, cara permodalan padat karya, pengambilan
keputusannya cepat dimana

tidak memperhatikan resiko yang akan diterima

nanti, serta target produksi yang kadang tidak tercapai. Perkebunan besar adalah
usaha budidaya tanaman yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) atau swasta. Perkebunan ini mempunyai ciri sebagai berikut: lahannya
luas, status lahan hak guna usaha, pengelolaannya dilakukan oleh swasta sebagai
karyawan dan agak rumit, jenis tanaman perdagangan, teknologi yang digunakan
modern,

cara


pembudidayaan

mengikuti

perkembangan

teknologi,

cara

permodalannya padat modal, pengambilan keputusannya jangka panjang, dan
target produksi selalu tercapai.
2.2. Karakteristik Perkebunan Kakao
Menurut Van Hall (1932) di Indonesia, tanaman kakao diperkenalkan
oleh orang Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa, Sulawesi Utara. Ekspor dari
pelabuhan Manado ke Manila dimulai tahun 1825 hingga 1838 sebanyak 32 ton.
Nilai ekspor tersebut dikabarkan menurun karena adanya serangan hama

pada tanaman kakao. Tahun 1919 Indonesia masih mampu mengekspor sampai

30 ton, tetapi setelah tahun 1928 ternyata ekspor tersebut terhenti.
Pendapat lain dikemukakan oleh Raharjo (1990), bahwa Kakao merupakan
tanaman tahunan yang mulai berbunga dan berbuah umur 3-4 tahun setelah
ditanam. Apabila pengelolaan tanaman kakao dilakukan secara tepat, maka masa
produksinya

dapat

bertahan

lebih

dari

25

tahun,

selain


itu

untuk

keberhasilan budidaya kakao perlu memperhatikan kesesuaian lahan dan faktor
bahan tanam. Penggunaan bahan tanam kakao yang tidak unggul mengakibatkan
percapaian produktivitas dan mutu biji kakao yang rendah, oleh karena itu
sebaiknya digunakan bahan tanam yang unggul dan bermutu tinggi .
Menurut Zaenudin dan Baon(2004:3), Hasil studi menunjukkan bahwa
tanaman kakao

produktivitasnya mulai menurun setelah umur 15 - 20 tahun.

Tanaman tersebut umumnya memiliki produktivitas yang hanya tinggal setengah
dari potensi produktivitasnya. Kondisi ini berarti bahwa tanaman kakao yang
sudah tua potensi produktivitasnya rendah, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi
Upaya

rehabilitasi tanaman kakao dimaksudkan untuk memperbaiki atau


meningkatkan potensi produktivitas dan salah satunya dilakukan dengan teknologi
sambung samping (side grafting).
2.3. Penerimaan dan Pendapatan Proyek
Penerimaan dan Pendapatan proyek merupakan nilai produksi total proyek
dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
Penerimaan dan pendapatan menjadi tujuan utama petani dalam mengelola
proyek, hal ini disebabkan oleh harapan petani untuk mengembalikan modal usaha
bahkan diharapkan untuk memberikan peningkatan pendapatan dan penerimaan
proyek.
1.

Penerimaan Proyek
Suratiyah (2006) mengemukakan bahwa penerimaan proyek adalah

perkalian antara jumlah produksi yang diperoleh dengan harga produksi.
Pendapatan proyek adalah selisih antara penerimaan dan seluruh biaya yang
dikeluarkan dalam sekali periode. Sedangkan menurut Rahim dan Diah (2008:17),

Penerimaan proyek adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga
jual. Kemudian menurut Hernanto (1988), adalah penerimaan dari semua proyek
meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai yang
dikonsumsi. Penerimaan proyek merupakan total penerimaan dari kegiatan proyek
yang diterima pada akhir proses produksi. Penerimaan proyek dapat pula diartikan
sebagai keuntungan material yang diperoleh seorang petani atau bentuk imbalan
jasa petani maupun keluarganya sebagai pengelola proyek maupun akibat
pemakaian barang modal yang dimilikinya.
Pendapat lain dikemukakan oleh Soekartawi (1986), bahwa penerimaan
proyek dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan bersih proyek dan
penerimaan kotor proyek (gross income). Penerimaan bersih proyek adalah
merupakan selisih antara penerimaan kotor proyek dengan pengeluaran total
proyek. Pengeluaran total proyek adalah nilai nilai semua masukan yang
habis terpakai dalam proses produksi, tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga
petani. Sedangkan penerimaan kotor proyek adalah nilai total produksi
proyek dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual maupun tidak dijual.
Penerimaan proyek dipengaruhi oleh produksi fisik yang dihasilkan,
dimana produksi fisik adalah hasil fisik yang diperoleh dalam suatu proses
produksi dalam kegiatan proyek selama satu musim tanam. Penerimaan proyek
akan meningkat jika produksi yang dihasilkan bertambah dan sebaliknya
akan menurun bila produksi yang dihasilkan berkurang. Disamping itu, bertambah
atau berkurangnya produksi juga dipengaruhi oleh tingkat penggunaan input
pertanian. Ada tiga hal yang berwujud pada penerimaan proyek yaitu: 1). Hasil
penjualan tanaman, ternak, ikan atau produk yang akan dijual. 2). Produk yang
dikonsumsi pengusaha dan keluarganya selama melakukan kegiatan, dan 3).
Kenaikan hasil inventaris. Nilai benda-benda inventaris yang dimiliki petani,
berubah tiap tahun, dengan demikian ada perbedaan nilai pada awal tahun dengan
akhir tahun perhitungan.Penerimaan proyek (TR) adalah perkalian antara
produksi yang diperoleh (Y) dengan harga jual (PY). Oleh karena itu dalam
menghitung total penerimaan proyek perlu dipisahkan yaitu Analisis Parsial
Proyek, dan Analisis Keseluruhan Usaha Tani. Jadi kalau sebidang lahan ditanami
3 tanaman secara monokultur (misalnya tanaman padi, jagung, dan ketela

pohon), dan bila tamanan yang akan diteliti adalah satu macam tanaman saja,
maka analisis seperti ini disebut analisis parsial. Sebaliknya kalau ketiga- tiganya
seperti ini disebut analisis keseluruhan proyek ( Soekartawi, 1986).
2.

Pendapatan Proyek
Pendapatan dan biaya proyek ini dipengaruhi oleh faktor internal dan

eksternal.Faktor internal terdiri dari dari umur petani, pendidikan, pengetahuan,
pengalaman, keterampilan, jumlah tenaga kerja, luas lahan, dan modal.Faktor
eksternal berupa harga dan ketersediaan sarana produksi. Ketersediaan
sarana produksi dan harga tidak dapat dikuasai oleh petani sebagai individu
meskipun dana tersedia. Bila salah satu sarana produksi tidak tersedia maka petani
akan mengurangi penggunaan faktor produksi tersebut, demikian juga dengan
harga sarana produksi misalnya harga pupuk sangat tinggi bahkan tidak
terjangkau akan mempengaruhi biaya dan pendapatan (Suratiyah, 2006).
Sedangkan Hadisapoetra (1979) mengemukakan bahwa Pendapatan proyek adalah
total pendapatan bersih yang diperoleh dari seluruh aktivitas proyek yang
merupakan selisih antara total penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan.
Menurut Soekartawi (1986), Pendapatan proyek dapat dibagi menjadi dua,
yaitu pendapatan kotor proyek (gross farm income) dan pendapatan bersih proyek
(net farm income). Pendapatan kotor proyek yaitu nilai produk total proyek dalam
jangka waktu tertentu meliputi seluruh produk yang dihasilkan baik yang dijual,
dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam proyek seperti untuk bibit
atau

makanan

ternak,

digunakan

untuk

pembayaran,

maupun

untuk

disimpan.Untuk menghitung nilai produk tersebut, harus dikalikan dengan harga
pasar yang berlaku, yaitu harga jual bersih ditingkat petani.Sementara pendapatan
bersih proyek adalah selisih antara pendapatan kotor proyek dengan pengeluaran
total proyek.Pendapatan proyek ditentukan oleh harga jual produk yang diterima
ditingkat petani maupun harga – harga faktor produksi yang dikeluarkan petani
sebagai biaya produksi. Jika harga produk atau harga faktor produksi berubah,
maka pendapatan proyek juga akan mengalami perubahan.
Bentuk dan jumlah pendapatan proyek mempunyai fungsi yang sama,
yaitu memenuhi keperluan saehari-hari dan memberikan kepuasan petani agar

dapat melanjutkan kegiatannya. Pendapatan ini akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan dan kewajibannya. Pendapatan proyek (π) adalah selisih antara
penerimaan (TR) dan total biaya (TC). Dalam banyak hal jumlah TC ini
selalu lebih besar bila analisis ekonomis yang dipakai, dan selalu lebih kecil bila
analisis finansial yang dipakai. Oleh karena itu, setiap kali melakukan analisis,
perlu disebutkan analisis apa yang digunakan. Ada dua tujuan utama dari analis
pendapatan yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha dan
cukup

untuk

membayar

bunga

modal

yang

ditanamkan

termasuk

pembayaran sewa tanah, pembayaran dana depresiasi modal dan cukup untuk
membayar upah tenaga kerja (Soekartawi, 1986).
2.4. Analisis Kelayakan Finansial
Studi

kelayakan

merupakan

suatu

kegiatan

pengkajian

secara

sistematis dari suatu proyek atau rencana usaha, baik baru maupun rencana
pengembangan usaha yang sudah ada. Studi kelayakan usaha dilakukan
bertujuan

untuk membantu para pengusaha, pemilik modal dan lain-lain untuk

menentukan apakah usaha layak dilaksanakan atau tidak. Kegunaan studi
kelayakan antara lain adalah untuk mengetahui apakah usaha mempunyai manfaat
(benefit) dan keuntungan (profit) dan sebagai pedoman/standar kerja serta
instrumen pengawasan ketika usaha berjalan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kedalaman studi kelayakan antara lain:
1. Jumlah dana yang ditanam,
2. Ketidakpastian estimasi usaha pada masa yang akan datang,
3. Kompleksitas elemen-elemen yang mempengaruhi usaha.
Studi kelayakan pada akhir-akhir ini telah banyak banyak dikenal oleh
masyarakat, terutama masyarakat yang bergerak dalam bidang dunia usaha.
Bermacam-macam peluang dan kesempatan yang ada dalam kegiatan dunia usaha
telah menuntut perlu adanya penilaian sejauh mana kegiatan/kesempatan tersebut
dapat memberikan manfaat (benefit) bila diusahakan. Kegiatan untuk menilai
sejauh mana manfaat yang dapat diperoleh dalam melaksanakan suatu kegiatan
usaha/proyek disebut dengan studi kelayakan bisnis. Studi kelayakan bisnis/usaha
biasanya menggunakan analisis kelayakan investasi dimana pada dasarnya sama

dengan kegiatan investasi. Kelayakan investasi dapat dikelompokkan kedalam
kelayakan finansial. Dengan demikian studi kelayakan yang juga sering disebut
Feasibility Studi merupakan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu
keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu gagasan usaha yang
direncanakan. Pengertian layak dalam penilaian ini adalah kemungkinan dari
gagasan usaha yang akan dilaksanakan memberikan manfaat (benefit), baik dalam
arti financial benefit maupun dalam arti social benefit. Layaknya suatu
usaha dalam arti social benefit tidak selalu menggambarkan layak dalam arti
finansial benefit, hal ini tergantung dari segi penilaian yang dilakukan.
Tujuan dari analisis finansial yaitu untuk mengetahui apakah proyek
yang diusahakan layak dan menguntungkan untuk dikembangkan atau dikatakan
masih dalam tingkat efisiensi.Untuk memberikan gambaran kepada user apakah
manfaat yang diperoleh dari sistem baru ‘lebih besar’ dibandingkan dengan biaya
yang dikeluarkan. Berbagai kriteria investasi dapat dipertanggungjawabkan dan
sering digunakan untuk menilai kelayakan investasi tersebut adalah R/C Ratio,
Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), Profitability Ratio,
Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Periode (Ibrahim, 2009).
1. Analisis NPV
Menurut Yacob Ibrahim, NPV merupakan suatu kriteria yang digunakan untuk
mengukur apakah suatu investor layak atau tidak yang berasal dari perhitungan
Net Benevit yang telah didiskon dengan menggunakan Socical Opportunity Coast
of Capital (SOCC) sebagai discount factor.Secara singkat, formula untuk
perhitungan Net Present Value adalah sebagai berikut:

dimana :
Ci

= biaya investasi + biaya operasi

Bi

= keuntungan yang telah didiskon

i

= discount factor

n

= tahun (waktu)

Kriteria dalam menolak dan menerima rencana investasi dengan metode NPV
adalah sebagai berikut :
- Jika NPV > 0, maka usulan investasi diterima.
- Jika NPV < 0, maka usulan investasi ditolak
- Jika NPV = 0, nilai perusahaan tetap walaupun usulan investasi diterima ataupun
ditolak
2. Analisis Internal Rate of Return (IRR)
Menurut Yacob Ibrahim, Internal Rate of Return atau IRR adalah suatu
tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan 0. Bila IRR lebih
besar dari SOCC maka dapat dikatakan suatu investasi feasible, bila semua sama
dengan SOCC maka dapat dikatakan investasi hanya kembali modal. Apabila
kurang dari SOCC maka suatu investasi dapat dikatakan tidak feasible. IRR dapat
dirumuskan sebagai berikut :
I0 = ∑ CFt / (1+

t

IRR)

Dimana :
t = tahun ke-t
n = jumlah tahun
I0 = nilai investasi awal
CF = arus kas bersih
IRR = tingkat bunga yang dicari harganya.
3. Analisis B/C Ratio
Menurut Soekartawi (1986), Suatu proyek layak dan efisien untuk
dilaksanakan jika nilai Gross B/C dan net B/C> 1, yang berarti manfaat yang
diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dan berlaku sebaliknya.
Selain itu Ibrahim (2009), menambahkan bahwa Net benefit cost ratio
merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di discount positif
(+) dengan net benefit yang telah di discount negatif (-). Gross benefit cost
ratio (Gross B/C) adalah perbandingan antara benefit kotor yang telah didiscount dengan cost secara keseluruhan yang telah di discount. Rumus mencari
Net B/C :

4. Payback Period
Menurut Kasmir dan Jakfar (2012), Metode Payback Period (PP)
merupakan teknik penilaian terhadap jangka waktu (periode) pengembalian
investasi suatu proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat dilihat dari
perhitungan kas bersih ( proceed )yang diperoleh setiap tahun. Nilai kas
bersih

merupakan penjumlahan

laba

sesetelah

pajak

ditambah

dengan

penyusutan dengan catatan jika investasi 100% menggunakan modal sendiri.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ibrahim (2009), bahwa payback period
(PBP) adalah jangka waktu tertentu yang menunjukkan terjadinya arus
penerimaan (cash in flows) secara kumulatif sama dengan jumlah investasi dalam
bentuk present value. Analisis payback period dalam studi kelayakan perlu juga
ditampilkan untuk mengetahui berapa lama usaha/proyek yang dikerjakan baru
dapat mengembalikan investasi. Semakin cepat dalam pengembalian biaya
investasi sebuah proyek, semakin baik proyek tersebut karena semakin lancar
perputaran modal.Menurut Manurung , et. all (2008).

dimana :
PBP = Payback Period
= Tahun sebelum terdapat PBP
= jumlah Investasi yang telah di-discount
= Jumlah keuntungan yang telah di-discount sebelum PBP
= Jumlah Benefit pada PBP

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadan Umum Lokasi Proyek
Pada tahun 2003 Desa Salilama dimekarkan menjadi tiga desa, dimana
Salilama bagian selatan berdiri menjadi satu desa yang dinamakan desa Kramat.
Desa Kramat ini memiliki tiga dusun dengan jumlah penduduk 1360 yang terbagi
atas laki-laki 692 orang dan perempuan 668 orang dimana jumlah

kepala

keluarga laki-laki sebanyak 302 orang dan kepala keluarga perempuan
sebanyak
49 orang yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Desa Kramat dapat ditempuh dengan jarak 2 km sampai ke kecamatan
Mananggu, 30 km sampai ke kabupaten dan 135 km sampai ke ibukota Provinsi
Gorontalo dengan akses jalan (Aspal) yang mudah dijangkau baik dengan jalan
kaki sampai ke kecamatan dan kendaraan bermotor sampai ke kabupaten dan
ibukota Provinsi Gorontalo.
4.1.1. Letak Geografis Desa Kramat
Letak geografis suatu daerah sangat diperlukan,dimana untuk di jadikan
suatu acuan atau petunjuk agar mempermudah dalam mencari daerah tersebut.
Adapun letak atau batas suatu wilayah adalah sebagai berikut:
-

Sebelah Utara

: Desa Salilama/Kaaruyan

-

Sebelah Selatan

: Teluk Tomini

-

Sebelah Barat

: Desa Tabulo/Tabulo Selatan

-

Sebelah Timur

: Desa Pontolo

Desa ini merupakan desa yang mudah dijangkau, karena tepat berada
di
Jalan Trans Sulawesi, dengan luas wilayah 2.833,1 ha.
4.1.2. Kondisi Iklim Wilayah Studi
Curah hujan pada suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim,
keadaan topografi dan perputaran arus angin. Oleh karena itu jumlah curah hujan

beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Catatan curah hujan di desa
kramat Tahun 2011 berkisar 60mm, dengan jumlah bulan hujan adalah 3 bulan.
Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat
tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Pada tahun 2011
suhu udara rata-rata 20°C. Kelembapan udara di Desa Kramat pada tahun 2011
adalah 32,5 dengan tinggi permukaan laut 8,15 mdl.
4.2. Penerimaan, Struktur Biaya, Pendapatan Proyek Perkebunan Kakao
4.2.1. Penerimaan Proyek Kakao
Penerimaan proyek kakao diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah
produksi dengan harga jual pada saat itu. Penerimaan proyek kakao di Desa
Kramat dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Rata- rata Penerimaan Proyek Kakao di Desa Kramat, Kecamatan
Mananggu, Kabupaten Boalemo.
No.
Tahun
Harga
Produksi (Kg)
Penerimaan (Rp)
Rp/Kg
1.
2003
0
0
0
2.
2004
0
0
0
3.
2005
2.722
516
1.424.444
4.
2006
2.722
516
1.424.444
5.
2007
5.400
423
2.298.889
6.
2008
10.500
320
3.317.222
7.
2009
10.611
308
2.611.667
8.
2010
15.400
248
3.829.111
9.
2011
15.400
244
3.755.556
10.
2012
15.400
215
3.317.333
Total
78.156
2.790
21.978.667
Rata-ra ta
7.816
279
2.197.867
Berdasarkan Tabel 1.diketahui bahwa pada tahun pertama dan tahun kedua
belum memperoleh hasil produksi sehingga belum ada penerimaan. Pada
tahun 2010 penerimaan yang diperoleh petani responden berjumlah besar yaitu
sebesar Rp. 3. 829.111, hal ini dikarenakan produksi pada tahun tersebut hanya
sedikit, namun harga per kg nya lebih besar, sedangkan penerimaan dengan
jumlah yang sedikit terdapat pada tahun 2005 dan 2006 yaitu Rp. 1.424.444,
karena harga perkg tanaman kakao pada tahun tersebut hanya kecil dibandingkan
tahun-tahun yang lain.

4.2.2. Struktur Biaya Proyek Kakao
Struktur biaya proyek kakao terdiri dari biaya investasi, biaya
operasional & pemeliharaan serta pendapatan. Struktur biaya pertahun dapat di
lihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Rata-rata Pertahun Biaya Proyek Kakao di Desa Kramat Kecamatan
Mananggu Kabupaten Boalemo.
Jenis Biaya
No
Tahun
Investasi 0
Biaya Total
1
2003
3611111 245.000
3.856.111
2
2004
0
180.000
180.000
3
2005
0
403.444
403.444
4
2006
0
436.111
436.111
5
2007
0
690.000
690.000
6
2008
0
1.067.778
1.067.778
7
2009
0
1.163.333
1.163.333
8
2010
0
1.336.111
1.336.111
9
2011
0
1.382.222
1.382.222
10
2012
0
1.232.222
1.232.222
Total
3611111 8.136.221
11.747.332
Rata-Rata
813.622
1.174.733
Pada Tabel 2. terlihat bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan petani
responden terdapat pada tahun 2003 yaitu sebesar Rp. 3.856.111, hal ini
disebabkan

karena pada

tahun

tersebut

biaya-biaya

yang dikeluarkan

meliputi biaya investasi dan biaya operasional serta pemeliharan, sedangkan biaya
terendah terdapat pada tahun 2004

yaitu sebesar Rp.

180.000 karena

biaya yang dikeluarkan hanya biaya pemeliharaan.
4.2.3. Pendapatan Proyek Kakao
Pendapatan proyek kakao diperoleh dari selisih antara penerimaan dan
biaya total. Adapun pendapatan pertahun proyek kakao di Desa Kramat dapat di
lihat pada tabel berikut ini:

No.

Tahun

1.
2003
2.
2004
3.
2005
4.
2006
5.
2007
6.
2008
7.
2009
8.
2010
9.
2011
10.
2012
Total
Rata-rata

Benefit

Biaya Total

Pendapatan(Rp)

(Rp)
0
0
1.424.444
1.424.444
2.298.889
3.317.222
2.611.667
3.829.111
3.755.556
3.317.333
21.978.667
2.197.867

(Rp)
3.856.111
180.000
403.444
436.111
690.000
1.067.778
1.163.333
1.336.111
1.382.222
1.232.222
11.747.333
1.174.733

-3.856.111
-180.000
1.021.000
988.333
1.608.889
2.249.444
1.448.333
2.493.000
2.373.333
2.085.111
10.231.333
1.023.133

Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat bahwa Rata-rata biaya total yang
diperlukan selama 10 tahun adalah Rp. 1.174.733. dari sisi penerimaan diketahui
rata-rata penerimaan petani kakao di Desa Kramat adalah Rp. 2.197.867.
berdasarkan data biaya dan penerimaan diperoleh pendapatan terbesar yang
terima oleh petani responden ada pada tahun 2010 sebesar Rp. 2.493.000, hal ini
disebabkan jumlah penerimaan lebih besar dibandingkan dari biaya total,
sedangkan pendapatan yang paling sedikit terdapat pada tahun 2003 yaitu sebesar
Rp. -3.856.111, karena jumlah biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada
penerimaan sehingga hanya memperoleh pendapatan yang sangat tidak
memuaskan.
4.3. Analisis Kelayakan Aspek Finansial Proyek Kakao
Menurut Lihan dan Yogi (2009), analisis atau pendekatan ini menitik
beratkan pada pendekatan mikro, artinya dalam analisis atau pendekatan kegiatan
dan

hasil-hasil

suatu

proyek

dilihat

dari

kepentingan

individu

atau

perusahaan atau kepentingan para pemegang saham perusahaan tersebut , yakni
laba yang dihasilkan proyek (private return) atau laba bisnis (bussiness profit).
Dalam menentukan layak atau tidaknya usaha, fungsi terpenting adalah
aspek finansial dimana usaha hanya dapat terlaksana bila ada anggaran
dana. Aspek finansial berkaitan dengan bagaimana menentukan kebutuhan jumlah
dana dan sekaligus pengalokasiannya serta mencari sumber dana yang

bersangkutan secara efisien, sehingga memberikan tingkat keuntungan yang
menjanjikan bagi investor (Husen, 2009).
Kegiatan usaha dikatakan layak jika memberikan keuntungan finansial,
sebaliknya kegiatan usaha dikatakan tidak layak apabila usaha tersebut tidak
memberikan keuntungan finansial. Tingkat kelayakan suatu usaha dapat dinilai
dengan menggunakan kriteria-kriteria investasi : a) Net Present Value (NPV), b)
Internal Rate of Return (IRR), c) Benefit Cost Ratio (BCR), d) Profitability Ratio
(PR) dan Payback Period (PP) Gittinger (1986).
Proyek Kakao di Desa Kramat

merupakan usaha yang dilakukan

selama bertahun-tahun, karena tanaman kakao memiliki umur produktif puluhan
tahun. Suatu usaha yang dijalankan dalam jangka panjang biasanya perlu
diketahui

kelayakannya

dengan

menggunakan

alat

analisis

kelayakan

finansial atau alat kriteria investasi. Alat kriteria investasi antara lain, yaitu
Analisis NPV, IRR, B/C Ratio, Profitability Ratio dan Payback Period. Lebih
jelasnya masing- masing analisis kelayakan finansial proyek kakao dapat dilihat
pada Tabel 6 berikut ini:
Tabel 4. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Uahatani Kakao di
Desa
Kramat, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo, 2013.
No
Analisis Finansial
Nilai
Keterangan
1
NPV
2.068.963
> 0 Positif
2
IRR
26 %
> Suku bunga15%
3
Net B/C Ratio (BCR)
3,53
>1
4
Payback Period
4 tahun 9 bulan
Layak
Dari hasil perhitungan keempat kriteria investasi, maka dibuat interpretasi :
4.3.1 Analisis NPV
Pada analisis kelayakan finansial proyek kakao diperoleh hasil perhitungan
NPV dengan tingkat suku bunga sebesar 15% menghasilkan nilai NPV sebesar
Rp. 2.068.963 dimana menunjukkan bahwa penanaman investasi pada proyek
kakao akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2.068.963 selama 10 tahun
menurut nilai sekarang, yang berarti proyek ini layak untuk dikembangkan karena
menghasilkan nilai positif atau lebih dari 0. Seperti yang di jelaskan dalam teori
menurut Umar ( 2005) yang menyatakan bahwa NPV (Net Present Value)
adalah selisih antara present value dari investasi dengan nilai skarang

dari

penerimaan-penerimaan kas bersih (Aliran kas operasional maupun aliran kas
terminal). Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan tingkat bunga
yang relevan.
4.3.2. Analisis IRR
Untuk mengetahui sejauh mana proyek kakao ini dapat memberikan
keuntungan, digunakan analisis IRR. IRR dinyatakan dalam persen (%) yang
merupakan tolak ukur dari keberhasilan suatu usaha. Pada proyek kakao ini
diperoleh IRR 26 persen (%), yang menunjukkan bahwa investasi pada tingkat
suku bunga bank (DF) 15 persen layak dan menguntungkan, karena IRR lebih
besar dari tingkat suku bunga (DF) yang ditetapkan hal ini jelaskan dalam teori
Gittinger (1986) bahwa IRR adalah nilai discount rate yang membuat NPV dari
proyek sama dengan nol. Jika ternyata IRR dari suatu proyek sama dengan yang
berlaku sebagai social discount rate, maka NPV dari proyek itu sebesar 0. Jika
IRR ≥ social discount rate, maka usaha tersebut dinyatakan layak, sedangkan jika
IRR ≤

social discount rate maka usaha tersebut sebaiknya tidak

dilaksanakan.
4.3.3. Analisis B/C Ratio
Analisis B/C Ratio yaitu dapat dilihat dari Gross B/C Ratio dan Net B/C
Ratio. Gross B/C Ratio yang dihasilkan dalam proyek kakao ini adalah 3,53
sedangkan Net B/C Ratio sebesar 1,3509 yang berarti Gross B/C Ratio dan Net
B/C Ratio > 1, dimana manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya
yang dikeluarkan, sehingga proyek kakao layak untuk dilanjutkan. Artinya, setiap
biaya yang dikeluarkan sebesar 1 rupiah, akan memberikan keuntungan bersih
sebesar 0,3509 rupiah.
Seperti yang dinyatakan dalam teori Gittinger (1986:90) B/C Ratio adalah
perbandingan antara present value manfaat dengan present value biaya, dengan
demikian benefit cost ratio menunjukkan manfaat yang diperoleh setiap
penambahan satu rupiah pengeluaran B/C Ratio akan menggambarkan
keuntungan dan layak dilaksanakan jika mempunyai B/C Ratio ≥ 1, apabila B/C
Ratio = 1 maka usaha tersebut tidak untung dan tidak rugi, sehingga terserah

kepada penilai pengambil keputusan dilaksanakan

atau tidak. Apabila B/C

Ratio ≤ 1 maka usaha tersebut merugikan sehingga lebih baik tidak dilaksanakan.
4.3.4. Payback Period
Payback Period diketahui bahwa jangka waktu pengembalian modal
investasi yang diperlukan dalam proyek kakao adalah 4 tahun 9 bulan. Seperti
yang dijelaskan oleh Ibrahim (2009), bahwa payback period (PBP) adalah
jangka waktu tertentu yang menunjukkan terjadinya arus penerimaan (cash in
flows) secara kumulatif sama dengan jumlah investasi dalam bentuk present
value.

Analisis

payback

period

dalam

studi

kelayakan

perlu

juga

ditampilkan untuk mengetahui berapa lama usaha/proyek yang dikerjakan baru
dapat mengembalikan investasi. Semakin cepat dalam pengembalian biaya
investasi sebuah proyek, semakin baik proyek tersebut karena semakin lancar
perputaran modal, ditambahkan pula oleh Hermanto dalam Diatin (1989) bahwa
Analisis Payback Period menghitung berapa investasi yang digunakan dapat
kembali.

BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan
1. Nilai NPV sebesar Rp. 2.068.963 dimana menunjukkan bahwa penanaman
investasi pada proyek kakao akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2.068.963
selama 10 tahun menurut nilai sekarang, yang berarti proyek ini layak untuk
dikembangkan karena menghasilkan nilai positif atau lebih dari 0.
2. IRR 26 persen (%), yang menunjukkan bahwa investasi pada tingkat suku
bunga bank (DF) 15 persen layak dan menguntungkan, karena IRR lebih besar
dari tingkat suku bunga (DF) yang ditetapkan.
3. Gross B/C Ratio yang dihasilkan dalam proyek kakao ini adalah 3,53
sedangkan Net B/C Ratio sebesar 1,3509 yang berarti Gross B/C Ratio dan Net
B/C Ratio > 1, dimana manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya
yang dikeluarkan, sehingga proyek kakao layak untuk dilanjutkan. Artinya, setiap
biaya yang dikeluarkan sebesar 1 rupiah, akan memberikan keuntungan bersih
sebesar 0,3509 rupiah.
4. Payback Period diketahui adalah 4,9. Hal ini menjelaskan bahwa lama
pengembalian modal investasi yang diperlukan dalam proyek kakao adalah
selama 4 tahun 9 bulan.
Secara keseluruhan dari aspek finansial, proyek perkebunan kakao di
Desa Kramat, kecamatan Mananggu, kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo
layak dilanjutkan dan memberikan keuntungan yang relatif besar baik bagi segi
finansial maupun perekonomian.
4.2. Saran
Di tingkat petani ditemukan kendala yaitu; (i) kualitas bibit masih rendah,
menggunakan bibit lokal hasil panen sendiri, (ii) tingkat aplikasi pupuk masih
rendah, (iii) adanya gangguan penyakit jamur dan (iv) kemampuan modal petani
masih rendah. Dalam usaha peningkatan produksi, kendala-kendala ini perlu
diatasi, di samping juga perlunya menerapkan program bapak angkat.