Muhammadiyah dan Pasal 33 UUD 1945

Muhammadiyah dan Pasal 33 UUD 1945
Chairil Anwar
Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang
Pendahuluan
Tulisan mi dibuat ketika sedang ada wacana nasional yang cukup ramai tentang
amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak tiga putaran dengan sebagian
masyarakat yang menghendaki dihentikannya amandemen UUD 1945.
Ketua MPR, M. Amien Rais menyebutkan kelompok kedua sebagai kelompok
status quo, yang seakan mencoba mensakralkan kembali UUD 1945 sebagaimana yang
pemah terjadi selama rezim Orde Baru yang berusia lebih dari 30 tahun. Dalih yang
digunakan oleh kelompok anti amandemen yang dimotori oleh anggota DPR dari PDIP
adalah bahwa MPR, terutama PAH I, telah kebablasan dalam mengamandemen UUD 45
karena hampir semua pasal mengalami koreksi dan penambahan.
Salah satu yang dianggap kebablasan adalah perubahan ayat 2, pasal 1, Bab I UUD
45 ”Kedaulatan di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” menjadi
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”.
Putaran keempat terhadap amandemen UUD 45 yang diharapkan final, akan diselesaikan
pada sidang tahunan MPR bulan Agustus 2002 mendatang.
Nampaknya sebagian masyarakat ragu apakah pada saat itu akan berlangsung
sesuai rencana, apalagi ada bayang-bayang deadlock, sebagaimana yang dikhawatirkan
oieh Ketua MPR yang disampaikan pada media massa selepas menerima T. Mulya dkk

pada 24 April 2002 di Gedung DPR-MPR tentang kisah sidang MPR terakhir pada bulan
Oktober 2001. Disebutkan bahwa para ketua partai besar saat itu bersepakat untuk
menunda keputusan yang dianggap penting (krusial), yaitu tentang pasal pemilihan
presiden secara langsung. Dalam hal im semua fraksi sudah sepakat, tinggal menyepakati
ayat yang terkait dengan “bila calon presiden dan wakil presiden tidak mencapai 50
persen suara”, apakah dikembalikan lagi ke rakyat melalui pemilu lagi atau cukup
diputuskan oleh MPR. Ayat yang terakhir ini belum disepakati. Bandingkan dengan ayat
2 dalam Bab III pasal 6 UUD yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
Majelis Permusyawaran Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Rencananya hal-hal yang
genting yang belum berhasil disepakati pada bulan Oktober 2001 diharapkan dapat
disepakati pada Sidang Tahunan bulan Agustus 2002. Namun dengan maraknya diskusi
amandemen dan anti amandemen, ada kekhawatiran tentang akan diberlakukannya Dekrit
Presiden atau tertundanya Pemilu 2004, karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang
menunggu revisi UU Pemilu terdahulu.
Pasal 33 UUD 1945 dan Paradigina Ekonomi Indonesia
Bab XIV UUD 45 bertema Kesejahteraan Sosial terdiri dan dua pasal yaitu pasal 33
dan pasal 34. Pasal 33 terdiri dari tiga ayat yaitu: 1. Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sedangkan pasal 34 berbunyi
“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Penjelasan UUD 45

menyebutkan bahwa pasal 33 merupakan dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan
oleb semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Kalau tidak tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat
banyak ditindasinya.
Pernyataan di atas adalah ungkapan keharusan UUD yang harus dijadikan acuan
oleh para penyelenggara negara. Namun bagaimana kenyataan yang terjadi sepanjang
keberadaan negara mi yang akan berusia 57 tahun pada bulan Agustus 2002? Prof.
Mubyarto membuat periodisasi tujuh tahunan sistem ekonomi yang berlangsung di
Indonesia.
I. Ekonomi liberal-dualistik 1945-1952 ; 1952-1959
II. Transisi menuju ekonomi nasional (ekonomi komando & Ekonomi demokratik)
1959-1966; 1966-1973
III. Ekonomi minyak tanpa system 1973-1980 ; 1980 —1987

IV. Menuju demokrasi ekonomi dan ekonomi kekeluargaan (Ekonomi tinggal
landas) 1987- 1994 ; 1994-2001
Mubyarto pada awal tahun 1980’an pernah melontarkan istilah Ekonomi Pancasila
(EP) yang selama hampir setahun sempat menjadi wacana nasional. EP menurut
Mubyarto merupakan penjabaran dari ayat 33 UUD 45. Awal tahun 1997 Amien Rais
sehabis kunjungannya ke Freeport melontarkan kritik keras pada pemerintah karena
dianggap kurang amanah dalam menjaga kekayaan Indonesia terutama dalam perjanjian
eksplorasi pertambangan dengan pihak asing di mana pemerintah yang mewakili rakyat
Indonesia hanya mendapatkan 10%, sedangkan patner asmg mendapatkan 90%. Jagad
nasional saat itu menjadi ramai. Kasus itu dikenal dengan nama kasus Busang. Rekaman
pro-kontra tersebut dapat dilihat pada buku Ada Udang di Bailik Busang yang diterbitkan
oleh Mizan (1997). Judul resonansi yang ditulisnya di SKH Republika saat itu adalah
Inkontitutional. Karena ia merujuk pada pasal 3 ayat 33 UUD 45. Wacana tersebut
sempat menjadi isu hangat sampai pada pelepasan jabatan Aniien Rais sebagai Ketua
Dewan Pakar ICMI periede 1995-2000. Bahkan sempat juga ada isu santer agar Amien
Rais diturunkan sebagai Ketua PP Muhammadiyah periode 1995-2000.
Dengan skema yang digambarkannya Mubyarto ingin mengatakan bahwa pada
periode 1987-2001, pemerintah saat itu mulai kembali pada rel pasal 33 UUD 45. Melalui
paradigma Trilogi Pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dijalankan
secara serentak. Mulai ada program IDT (inpres desa tertinggal) yang dimotorinya.

Namun orba kelihatannya masih menolak istilah ekonomi kerakyatan, seperti yang
pernah diungkapkan Mbak Tutut yang ketika itu menjadi Menteri Sosial Kabinet
Pembangunan Periode 1998-2003 (sepertinya ia memposisikan dirinya sebagai
konglomerat), apakah saya bukan rakyat? Ia mempersoalkan istilah ekonomi kerakyatan.
Seperti telah kita ketahui bersama masa kedua pada fasa keempat dalam skema
Mubyarto, terjadi reformasi ketika rezim orba tumbang pada 22 Mei 1998 yang diawali
krisis moneter pada pertengahan tahun 1997.
Pada masa pemerintahan B.J. Habibie selama 17 bulan, usaha yang dilakukan
adalah menghindari ambruknya perekonomian Indonesia. Dia berhasil melalui Kabinet

Reformasinya terutama menurunkan nilai tukar per dolar AS dari Rp17.000,00 menjadi
Rp 6.500,00. Secara khusus dalam periode tersebut dapat dikatakan ekonomi Indonesia
pro rakyat dengan salah satu motornya adalah Adi Sasono sebagai Menteri Koperasi.
Majalah FEER bahkan menyebut Adi Sasono sebagai orang yang sangat berbahaya (the
most dangerus person)?
Habibie digantikan Abdurahman Wahid pada tanggal 30 bulan Oktober 1999
setelah diawali pemilihan umum yang dianggap paling bersih pada bulan Juni 1999.
Kabinet Gus Dur tidak begitu jelas apakah pro rakyat atau pro konglomerat karena dalam
periode itu masalah politik jauh lebih menonjol dibandingkan dengan masalah ekonomi
walaupun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus di atas Rp 10.000,00 . Tetapi saat itu

Gus Dur juga dianggap main mata dengan beberapa konglomerat nakal.
Melalui Sidang Istimewa Gus Dur digantikan Megawati pada 23 Juli 2001. Harihari awal Mega dimulai dengan harapan besar. Tim ekonominya yang dipimpin
Dorojatun Koencorojakti disebut dengan the dream team untuk menganalogikannya
dengan tim bola basket AS. Harapan masyarakat ditunjukkan dengan menguatnya rupiah
dari Rp 11.500,00 menjadi Rp 8.250,00 per dolar AS.
Pada bulan ke delapan kabinet Megawati, isu yang paling menonjol adalah
penundaan pembayaran hutang konglomerat serta penjualan BUMN terutama yang
berada dalam binaan BPPN. Terakhir berhasil dijual adalah Bank BCA di mana
sebelumnya saham mayoritasnya dikuasai pemerintah melalui rekapitalisasi pada tahun
1998, dengan harga yang menurut para ekonom terlalu murah. Yang diributkan saat ini
adalah Semen Gresik dan Semen Padang. Untuk menekan kecenderungan menjual
BUMN dengan harga murah itu berbagai demo telah digelar oleh karyawan BUMN.
Mungkin sebabnya Prof. Sri Edi Swasono dalam suatu kesempatan mengritik Meneg
BUMN Laksamana Sukardi sebagai tidak nasionalis.
Dan dalam Kabinet, Kepala Bappenas, Kwik Kian Gie, cukup vokal menolak
kebijakan pemerintah dalam menunda hutang konglomerat yang ia sebut sebagai
konglomerat hitam. Ketua MPR bahkan menggunakan kata yang cukup keras, yaitu
bahwa telah terjadi pembusukan dalam tim ekonomi kabinet Mega. Megawati sebagai
Ketua PDIP, partai yang telah mengantarkannya ke kursi presiden yang diasosiasikan
sebagai partainya wong cilik, kebijakan ekonominya lebih banyak menguntungkan

Konglomerat daripada wong cilik. Kalau pesan 33 UUD 45 digunakan sebagai pedoman,
apakah langkah tersebut sudah sesuai? Tidak mudah membela rakyat, karena rakyat
hanya menyalurkan suaranya 5 tahun sekali, dan anggota eksekutif dan legislatif selama 5
tahun seakan diberi cek kosong. UUD dan UU atau peraturan lainnya seakan sangat
mudah diatur sesuai dengan kondisi yang berlaku ketika itu. Kasus penggunaan bantuan
presiden (banpres) miliaran rupiah, yang seharusnya masuk APBN ternyata masih bisa
digunakan tanpa melalui skema APBN.
Dalam salah satu rapat Tim Ahli MPR untuk amandemen UUD 45 terhadap pasal
33 sempat terjadi perdebatan sengit antara yang pro dan kontra. Yang pro istilah
kekeluargaan adalah Mubyarto dan Dawam Rahardjo, sedangkan yang kontra adalah
Syahrir, Bambang Sudibyo, dkk yang pro pasar. Mubyarto kemudian mundur dari
keanggotaan tim ahli. Versi amandemen pada Bab XIII Perekonomian dan Kesejahteraan
Sosial pasal 41 ayat 1 berbunyi: Perekonomian nasional dan daerah disusun berdasarkan
asas kekeluargaan dan dikembangkan sebagai usaha bersama yang bersifat efisien dan

berkelanjutan untuk mewujudkan kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia. (Naskah Akademis UUD RI, Jimly Assidiqy, THC, 2001)
Muhammadiyah dan Pasal 33 UUD 45
Muhammadiyah perse memang bukan pelaku ekonomi. Namun Muhammadiyah
melalui amal usahanya, terutama pendidikan dan sejahteraan masyarakat (kesehatan dan

panti yatim piatu), telah mencoba mengamalkan pasal 33 UUD 45. Aset Muhammadiyah
di seluruh Indonesia diperkirakan telah mencapai trilyunan rupiah (satu Universitas
Muhammadiyah Surakarta mungkin mencapai Rp 500 milyar). Jutaan tenaga kerja
terlibat di dalam amal usaha Muhammadiyah. Gaji karyawan di lingkungan amal usaha
Muhammadiyah memang beraneka. Namun umumnya menggunakan standar pegawai
negeri. Semua amal usaha tersebut hingga kini dikelola secara kekeluargaan dalam arti
yang sebenamya. Salah satu indikatomya adalah minimnya tingkat persaingan bila
dibandingkan dengan sistem yang berorientasi pasar bebas. Hanya saja bila dilihat dari
sisi pertumbuhan (growth) per tahunnya mungkin sangat rendah. Apakah amal usaha
Muhammadiyah dapat disebut sektor informal atau formal? Konon sektor informal yang
disebut ekonomi rakyat itulah yang hingga kini berjuang mempertahankan ekonomi
Indonesia sehingga tidak kolaps. Muhammadiyah merupakan bagian dari ekonomi rakyat
tersebut yang telah hidup hampir satu abad sejak kelahirannya tahun 1912.
*) Disampaikan pada Seminar Nasional “Pentingnya Pasal 33 UUD 1945 sebagai
Landasan Pembangunan Ekonomi Nasional”, Unmuh Semarang, Semarang
Sumber: SM-14-2002