Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia Sejar

  Ahmad Fuad Fanani Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim Ahmad Fuad Fanani Abstrak

  Saat ini, HAM menjadi isu yang menarik perhatian hampir semua masyarakat dunia, tentunya selain masalah demokrasi dan lingkungan hidup. HAM menjadi penting dan menarik, karena prinsip kebebasan dan perlindungan terhadap Hak hidup sangat vital kedudukannya dalam mengembangkan kreativitas manusia, Dengan kreativitas itulah, peradaban manusia yang agung akan berlangsung dan berkembang terus- menerus. Puncak sejarah kemanusiaan dalam penegakan HAM adalah ketika PBB mendeklarasikan The Universal Declaration of Human Rights pada Desember 1948. Piagam itu berisi pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama. Hingga saat ini, telah lahir sekurang- kurangnya 22 perjanjian yang terkait dengan perjuangan pelaksanaan HAM di berbagai negara belahan dunia. Umat Islam sebagai bagian dari warga negara di seluruh dunia, tidak bisa menghindar dari fenomena di atas. Artinya, umat Islam juga harus melindungi pelaksanaan HAM bagi seluruh penganutnya. Maka, perlindungan hak hidup dan jaminan kebebasan wajib diakomodir umat Islam, sebab, hal itu mendapatkan pembenaran dan landasan teologis dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai sumber pokok ajaran Islam. Sampai pada taraf tertentu, antara Islam dan HAM tidak timbul permasalahan. Namun, ketika umat Islam harus mengakui universalisasi Deklarasi HAM PBB yang berasal

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim

  diantaranya adalah disebabkan oleh kultur atau tradisi yang berbeda antara Barat dan Islam, perilaku dan standar ganda Barat, dan tindakan Barat yang kadang diskriminatif terhadap umat Islam. Hal itulah yang menjadikan praktek HAM dalam masyarakat Muslim belum sepenuhnya berjalan secara optimal dan ideal. Tulisan ini hendak menguraikan tentang relasi Islam dan HAM secara terperinci mulai dari sejarah HAM, doktrin Islam tentangnya, dan praktek serta kendala pelaksanaan HAM dalam masyarakat Muslim.

  Islam, HAM, Doktrin, Al-Qur’an, Sunnah, Barat, Masyarakat

  Kata Kunci: Islam . HAM: Pengertian dan Sejarah Perkembangan

  Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia, diperoleh dan dibawa semenjak ia dilahirkan di dunia ini. hak itu tidak terbedakan oleh adanya perbedaan bangsa, ras, agama, atau kelamin. Maksudnya, hak itu bersifat universal dan berlaku pada siapa saja. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.

  Pembicaraan tentang hak asasi manusia mesti dikaitkan dengan kedudukan dan martabat manusia. Kedudukan dan martabat manusia semenjak dilahirkan adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan berkehendak, beragama, berpikir, berbuat, dan berpendapat. Oleh karena itu, hak asasi wajib ada dan ditegakkan pada semua negara demi terwujudnya martabat manusia yang bebas.

  Pada hakekatnya, HAM terdiri dari dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan kebebasan. Hak persamaan di sini adalah hak kesamaan untuk memperoleh perlindungan hukum, kehidupan, jaminan keamanan, dan berbagai fasilitas kehidupan yang lainnya tanpa membedakan asal daerah, agama, ataupun negara di mana dia hidup. Sedangkan hak kebebasan adalah hak manusia untuk mengembangkan kreativitasnya, akal pikiran, keterampilan, dan pergaulannya demi 1 mewujudkan apa yang diinginkan dan dicita-citakan.

  Prinsip kebebasan mengandaikan adanya tanggung-jawab. Tanggung

  Ahmad Fuad Fanani

  jawab di sini adalah kewajiban manusia untuk mengetahui resiko, akibat, dan implikasi dari perbuatan yang dilakukannya. Maka, kebebasan bukan berarti kebebasan mutlak yang tidak ada aturannya, namun kebebasan yang didasarkan pada norma-norma sosial dan agama. Menurut Frans Magnis-Suseno, wujud dari kebebasan manusia paling tidak mencakup tiga hal: kebebasan jasmani, rohani, dan normatif. Kebebasan ini mutlak ada pada setiap manusia, ia tidak boleh ditekan atau dihalangi realisasinya 2 oleh manusia lain, oleh agama, atau pun negara.

  Namun, hak persamaan dan kebebasan yang merupakan hak hakiki setiap manusia itu, pada kenyataannya banyak yang tidak terjalankan dalam sejarah kehidupan manusia. Banyak manusia yang direbut hak-haknya oleh manusia lainnya dengan dalih kekuasaan, kebenaran, agama, dan sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan penindasan terhadap sesama manusia, apalagi jika hukum yang dijalankan adalah hukum rimba kebinatangan. Dalam hukum ini, siapa yang kuat dialah yang berhak menguasai yang lain. Selain itu, dalam hukum ini tidak ada prinsip aturan dan etika yang mengawal pelaksanaannya. Maka, penghalalan segala cara yang tidak mengindahkan kemanusiaan banyak mewarnai pelaksanaan kehidupan seperti itu. Terjadinya banyak pelanggaran terhadap prinsip kemanusiaan dan hakekat kemanusiaan yang paling fundamental, menyebabkan banyak di antara manusia yang peduli dan terjun untuk memperjuangkan prinsip persamaan dan kebebasan. Hal itu selanjutnya direalisasikan lewat perjuangan dan pengorbanan kemanusiaan yang amat lama dan memakan biaya yang mahal. Oleh karena itu, menurut James W. Nickel, sisi universalitas HAM lebih terletak pada fungsinya untuk mencegah warga negara menjadi objek penindasan negara atau sesama manusia, karena manusia tidak boleh dibiarkan begitu saja, tanpa memiliki hak 3 yang dapat dituntut dan diperjuangkan.

  Perjalanan perjuangan HAM sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Bila sebelumnya hak persamaan dan kebebasan banyak dianggap kebebasan yang mutlak dan tidak berprinsip, maka pada periode selanjutnya hak tersebut diatur

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim

  berdasarkan kesepakatan bersama yang wajib ditaati oleh semua negara dan manusia. Pengaturan ini juga bertujuan agar prinsip-prinsip dasar tidak dilakukan secara serampangan, namun berdasarkan kondisi, aspek prioritas, dan problem-problem mendesak yang wajib segera diselesaikan.

  Asal-usul perkembangan HAM dapat ditelusuri dari masa Yunani dan 4 Roma. Hal ini berkaitan erat dengan doktrin hukum alam pra-modern dari Greek Stoicism (sekolah filsafat yang didirikan di Zeno Citium).

  Doktrin tersebut antara lain menyatakan: kekuatan kerja yang universal mencakup semua ciptaan, dan tingkah laku manusia harus dinilai berdasarkan kepada, dan sejalan dengan hukum alam. Hukum alam yang dimaksud di sini adalah hukum kodrat yang dibawa manusia semenjak 5 lahir di dunia (baca–persamaan dan kebebasan). Akan tetapi hak alam waktu itu banyak yang diselewengkan oleh birokratisasi gereja dan kepentingan penguasa dalam mempertahankan legitimasi kekuasaannya. Akibatnya, ide-ide tentang kesamaan dan kebebasan sebagaimana nampak pada pemahaman HAM dewasa ini, kurang begitu terakomodir dalam hukum-hukum waktu itu. Melihat fenomena yang terjadi pada waktu itu, maka pemahaman dan konsep HAM modern mulai dicanangkan dan berusaha diperjuangkan. HAM modern mulai dibangun dengan adanya Magna Charta yang juga mencanangkan bahwa raja yang tadinya mempunyai kekuasaan absolut, dibatasi kekuasaannya dan dimintai pertanggungjawabanya di depan hukum sebagaimana rakyat biasa lainnya. Sejak itu, bila raja melanggar hukum harus diadili dan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan 6 dan kebijakkannya di depan parlemen.

  Perkembangan HAM selanjutnya yang lebih kongkret ditandai dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada 1689. Piagam ini adalah undang- undang yang diterima oleh parlemen Inggris, setelah dalam tahun sebelumnya berhasil mengadakan perlawanan terhadap raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorious Revolution of 1688). Isi

  4 Heru Susetyo, “HAM: Sejarah, Doktrin dan Perkembangannya”, dalam Suplemen majalah SAKSI, no. 4/Th. IV,

November 2001, hal. 1-3. HAM Waktu itu dipengaruhi antara lain oleh pemikiran Aristoteles dan St. Thomas

Aquinas (1224-1274). Namun doktrin-doktrin yang ada masih mengakui legitimasi perbudakan.

  Ahmad Fuad Fanani

  undang-undang tersebut adalah bahwa manusia sama kedudukannya di depan hukum (equality before the law). Hal inilah yang mendorong timbulnya negara hukum dan demokrasi, sebab, Bill of Right mengandung dan melahirkan asas persamaan. Dan lewat hak persamaan inilah, prinsip 7 hak kebebasan lebih mudah diwujudkan.

  Kelahiran Bill of Right ini pada prakteknya juga didukung oleh teori 8 Contract Social dari JJ. Rouessau, Montiesquieu dengan Trias Politika-nya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, serta John Locke dan Thomas Jefferson dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaannya. Bapak bangsa Amerika, Thomas Jefferson yang terpengaruh pemikiran John Locke, menguntaikan kata-kata puitis pada

  Declaration of Independence

  4 Juli 1776. Isi kata-kata tersebut adalah: “Kami meyakini bahwa manusia diciptakan secara sama, dan bahwa semua manusia, mereka diciptakan Tuhannya dengan hak-hak yang tak dapat dikesampingkan. Di antara hak tersebut adalah hak untuk hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak untuk mendapatkan kebahagiaan (pursuit of 9

  happiness) .”

  Maka, Bill of Right yang semula lahir di Inggris pada perkembangannya sangat mempengaruhi perjuangan kemerdekaan di Amerika Serikat. Hal ini terbukti dengan lahirnya Declaration of Independence pada 1776 yang memerinci dengan berbagai prinsip, serta menegaskan bahwa manusia adalah merdeka atau bebas sejak dari dalam kandungan, oleh karena itu kebebasan ini harus diperjuangkan terus menerus.

  Selanjutnya, pada tahun 1789 di Prancis lahirlah The French Declaration, di mana hak-hak lebih dirinci lagi, yang melahirkan dasar The Rule of

  Law. Hak itu antara lain berisi pendapat tentang tidak boleh adanya

  penangkapan dan penahanan yang semena-mena, tanpa alasan yang sah dan surat pemerintah oleh pihak penguasa. Dalam hak itu juga dinyatakan adanya presumption of innocence, yaitu larangan penangkapan sampai adanya keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,

  7 Lihat Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1979, hal. 121.

  8 Teori Kontrak sosial Rousseau pada dasarnya adalah jalan untuk mengembalikan manusia pada martabat alamiahnya. Karena, banyak martabat itu yang diberangus dan dirampas oleh Negara dengan semena-mena.

  Oleh karena itu, hak kedaulatan rakyat harus ditegakkan sebagai wujud mutlak kebebasannya di muka bumi.

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim

  yang menyatakan kesalahan tertuduh. Selain itu, perincian hak pada

  The Rule of Law

  juga berisi adanya freedom of expression (kebebasan untuk mengeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasan untuk menganut keyakinan atau agama), the right of property (perlindungan terhadap hak 10 milik), dan hak-hak dasar lainnya. Deklarasi Perancis itu kemudian terkenal dengan slogannya yang popular, yaitu liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fraternite (persaudaraan).

  Berkaitan dengan hal di atas, dan juga disebabkan oleh adanya realitas bahwa dalam abad ke-20 hak-hak politik dianggap kurang tercakup secara sempurna pada deklarasi-deklarasi terdahulu, maka presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt mencanangkan sebuah HAM 11 yang penting. Hak-hak yang dicanangkan oleh Roosevelt itu kemudian hari terkenal dengan sebutan The Four Freedom (empat kebebasan) yang berisi: kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of

  

speech) ; kebebasan beragama (freedom of religion); kebebasan dari ketakutan

12 (freedom for fear) ; dan kebebasan dari kemelaratan (freedom for want).

  Sejalan dengan bermunculannya deklarasi dan pemikiran-pemikiran HAM seperti disebutkan di atas, maka pada tahun 1946, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mendirikan Komisi Hak-hak Asasi Manusia (Commission

  on Human Right)

  . Komisi ini menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, di samping juga hak-hak politik. Selanjutnya pada 10 Desember 1948 hasil kerja komisi ini kemudian melahirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak-hak Asasi Manusia (Declaration of Human Right) yang diterima secara aklamasi oleh negara-negara yang tergabung dalam 13 PBB.

  Muatan deklarasi HAM PBB di atas selanjutnya diperinci dalam 14 Mukadimah dan Batang Tubuh sebagai langkah lanjut operasional.

  Mukadimahnya berisi: pengakuan atas martabat alamiah; penegasan ketidaktercerabutan hak; penegasan bahwa pemerintah harus melindungi

  10 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, hal. 124

  11 Baharuddin Lopa, Al-Quran dan Hak-Hak Asasi Manusia, hal. 4

  12 Hak keempat ini memiliki pengertian bahwa hak politik yang diberikan Negara tidak cukup memberikan

kebahagiaan pada rakyat. Oleh sebab itu hak pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) juga

harus diperhatikan juga. Maka, hak asasi manusia harus juga mencakup bidang ekonomi, sosial dan budaya.

  Ahmad Fuad Fanani

  HAM; dan keyakinan atas HAM yang mendasar. Sedangkan batang tubuh Deklarasi HAM PBB berisi: Kebebasan dan kesetaraan; Non diskriminatif; Melampaui batas-batas geografis, politik, dan yuridiksi hukum; Hak-hak sipil; Hak-hak politik; Hak-hak ekonomi; Hak-hak sosial; dan hak-hak budaya. Deklarasi HAM PBB ini juga menandai signifikansi persoalan HAM dibanding dengan waktu sebelumnya yang sangat bersifat moral dan non-politis. Hal itu terjadi karena dalam perkembangannya HAM juga diinterpretasikan sebagai pemberi legitimasi kepada pemerintah untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan rakyat, yang kini dikenal dengan istilah positive rights atau hak-hak ekonomi dan sosial.

  Perkembangan ini dalam perjalanannya tidak bisa berlaku secara cepat, sebab harus ada kesepakatan sebagai tindak lanjut dari Deklarasi HAM PBB di atas. Oleh sebab itu, perlu disusun sebuah Perjanjian (Covenant) yang mengikat secara yuridis. Perjanjian ini baru bisa dilakukan oleh PBB pada akhir tahun 1966. Isi perjanjian itu menyetujuinya dengan meratifikasi dua persetujuan, yakni International Covenant of Economic,

  Social, and Cultural Rights

  (Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya); International Covenant in Civil and Political 15 Rights (Perjanian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

  Namun, pengembangan konsep HAM tersebut di atas masih mengundang kontroversi, terutama antara negara-negara liberal berhadapan dengan negara-negara sosialis. Negara liberal memberikan prioritas pada hak- hak sipil dan politik, sementara negara-negara sosialis dan komunis memberikan prioritas kepada hak-hak ekonomi dan sosial. Konsep universal HAM ini kemudian juga diterjemahkan lagi oleh beberapa negara Dunia Ketiga, dengan maksud menyesuaikan konsep HAM dengan 16 kondisi dan budaya lokal atau regional masing-masing negara. Hal inilah yang memunculkan juga beberapa deklarasi HAM yang bersifat regional, seperti Convention for the Protection of Human Right and Fundamental

  Freedoms pada tahun 1950 oleh negara-negara Eropa. Kemudian African Charter of Human and People’s Rights pada tahun 1991. Sedangkan negara-

  negara Asia pada tahun 1993 menandatangani The Bangkok Declaration,

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim

  yang berisi penegasan komitmen mereka kepada prinsip-prinsip yang terdapat dalam piagam PBB dan Universal Declaration of Human Rights. Selain itu, hingga sekarang telah lahir sekurang-kurangnya 22 perjanjian 17 yang terkait dengan HAM di berbagai penjuru negara.

  Dari berbagai uraian di atas, kita dapat melihat bahwa realitas perjuangan HAM senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penegakan HAM senantiasa menjadi agenda terdepan untuk mewujudkan kemanusiaan universal. Selain itu, penegakan HAM juga merupakan jalan yang efektif untuk mengantarkan demokratisasi yang terarah, karena dalam demokrasi juga mutlak adanya kebebasan dan perlindungan terhadap hak semua warga negara.

  Landasan HAM dalam Islam

  Pencarian konsep tentang HAM dalam Islam akan menemui kesulitan, jika belum diketahui posisi manusia dalam Islam. Islam mempunyai definisi dan pandangan yang berbeda terhadap manusia dibandingkan dengan agama-agama lain. Dalam Islam, manusia adalah makhluk termulia yang mempunyai posisi dan kedudukan sebagai Khalifah Allah (wakil Tuhan) di muka bumi. Oleh karena itu, manusia diberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, yaitu akal pikiran.

  Akal manusia diciptakan Allah dengan tujuan agar manusia dapat mempelajari tanda-tanda alam, memelihara, serta mengembangkannya. Hal itu nampak dijelaskan oleh Allah pada QS 2: 31-33. Oleh karenanya, penggunaan akal pikiran secara kreatif dan serius adalah kewajiban yang tidak bisa dielakkan manusia dalam rangka beribadah kepada pencipta- Nya.

  Dalam hal itu, Murtadha Mutahhari menjelaskan bahwa di dalam Al- 18 Qur’an, manusia berulangkali diangkat derajatnya. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan malaikat sekalipun.

  Hal itu dapat dilihat pada QS 6: 165, QS 32: 7-9, QS 20: 122, QS 17: 70, QS 2: 29, QS 45: 13, dan sebagainya. Akan tetapi, di dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa manusia bisa jatuh kedudukannya pada titik

  Ahmad Fuad Fanani

  terendah, bila ia tidak bisa menggunakan nikmat dari Allah secara baik dan benar. Al-Qur’an yang memaparkan hal tersebut adalah: QS 33: 72, QS 22: 66, QS 96: 6-7, QS 17: 11, QS 10: 12, QS 18: 54, QS 70: 19-21, dan lain-lain.

  Kedudukan manusia sebagai makhluk termulia dan Khalifah Allah di muka bumi ini, tidak dengan sendirinya terlepas dari intervensi Allah begitu saja. Akan tetapi, Allah memberi bimbingan ilahi berupa wahyu yang disampaikan melalui Rasul atau Nabi pilihan-Nya. Posisi wahyu dalam hal ini sangat penting, karena ia bertugas memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap manusia karena adanya keterbatasan fungsi akalnya. Maksudnya bahwa akal sering tidak bekerja secara stabil dan maksimal, bila manusia sedang marah atau tertimpa musibah. Maka, dengan perpaduan antara akal, hati nurani, dan wahyu itulah manusia diharapkan bisa membedakan antara yang baik dan buruk, untuk kemudian menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan perihal baik dan buruk inilah, pembicaraan tentang hak asasi manusia menemui relevansinya. Alasannya adalah: bahwa HAM yang merupakan hak hakiki yang dimiliki oleh manusia sejak dari lahir, namun disebabkan oleh berbagai keburukan sifat manusia, perwujudannya sering terabaikan. Padahal, sejak awal Allah sudah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang termulia yang diberikan karunia kebebasan untuk mengembangkan kreativitasnya sebagai khalifah Tuhan.

  Ayat Al-Qur’an yang menegaskan hal di atas adalah QS Al-Baqarah (2: 30) yang artinya: “Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan berbuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah…” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang 19 tidak kamu ketahui.” (QS 2: 30)

  Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa Allah memuliakan manusia, meskipun malaikat memprotes kebijakan Allah yang dinilai diskriminatif. Hal itu dilakukan Allah karena manusia mengetahui apa

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim

  yang tidak diketahui oleh malaikat. Maksudnya, Allah mengajarkan ilmu pengetahuan kepada manusia melalui pengenalan nama-nama sebagai bentuk karunia intelegensia yang tinggi. Hal itu secara sempurna ditegaskan oleh Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 31-33. Maka, dengan demikian menjadi jelas bahwa prinsip pemuliaan martabat manusia yang merupakan bagian dari HAM sudah dijamin dan ditegaskan oleh Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Manusia sudah semenjak dari awal ditunjuk oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi, sehingga pada dasarnya semua manusia sama dalam hal martabat dan kedudukannya. Oleh karena itu, Allah tidak membeda- bedakan bangsa, warna kulit, ataupun asal kedudukan atau suku di mana ia berasal. Jadi, manusia diberikan kebebasan untuk berkompetisi dalam beramal baik demi mencapai ridha Allah. Ridha Allah itu diukur dari ketakwaan seorang manusia dalam menggunakan segala karunia- Nya dengan penuh kreativitas dan progresivitas. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Surat Al-Hujuraat (49: 13) yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal (hidup rukun dan damai). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya 20 Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS 49: 13)

  Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa perbedaan penciptaan Allah itu dengan maksud agar manusia saling membantu dalam hal kebaikan. Hubungan yang harmonis anak manusia tidak mungkin bisa terjadi, bila tidak terpelihara hak persamaan dan kebebasan pada sesama manusia. Sebab, bagaimana mungkin kita berhubungan dengan orang lain, bila kita ditekan atau dianggap berstatus lebih rendah atau lebih tinggi oleh 21 yang lainnya? Terjadinya hubungan yang tidak wajar antara budak dan raja yang absolut, yang meniadakan prinsip persamaan dan kebebasan dalam HAM, sesungguhnya juga bertentangan dengan firman Allah di atas. Prinsip kebebasan dan kemerdekaan itu, secara lebih jelas ditegaskan

  Ahmad Fuad Fanani

  oleh Allah dalam QS Al-Ahzab (33: 72) dan QS Al-Insaan (76: 2-3) yang artinya: Sesungguhnya telah Kami tawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi mereka semua enggan memikulnya dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Manusialah yang mau memikul 22 amanat itu (QS 33: 72). Juga pda Qur’an surat 76 ayat 2-3 yang artinya:

  Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan ia mendengar dan melihat; ke jalan lurus Kami telah membimbingnya, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS 76: 23 2-3).

  Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa manusia diberikan kepercayaan penuh oleh Allah, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para Nabi, dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka juga diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri. Mereka pun bebas untuk memilih 24 kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya. Hal ini tidak terjadi pada makhluk lainnya, sebab, makhluk lain harus senantiasa mematuhi hukum Allah, akan tetapi manusia bebas untuk mematuhi atau menolaknya. Namun, kebebasan ini tentu dengan konsekuensi pertanggungjawaban terhadap hal yang dilakukannya. Sebab, manusia sudah dikaruniai akal pikiran yang bisa digunakan untuk berefleksi, menimbang, atau pun memilih dan memilah antara yang baik dan buruk.

  Dari beberapa ayat di atas, dapat kita peroleh gambaran bahwa Islam yang bertumpu pada teks-teks Al-Qur’an sudah menegaskan tentang hak- hak asasi manusia yang diberikan oleh Allah. Secara garis besar, nilai dasar HAM dalam Islam dapat kita kategorikan menjadi tiga, yaitu: kedudukan dan martabat manusia; persamaan (equality) antar manusia; serta kemerdekaan (freedom) dalam menjalankan keyakinan atau pilihan hidup. Tiga karunia Allah yang berwujud pada HAM di atas, dalam Islam semuanya diperuntukkan sebagai jalan pengabdian (ibadah) dalam rangka

22 Al-Qur’an dan Terjemahannya, hal. 680.

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: 25 Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim

  mencapai ridha-Nya. Oleh karena itu, prinsip kebebasan, persamaan, dan kemerdekaan di atas haruslah diimbangi juga dengan prinsip kewajiban menjalankan perintah Tuhan. Hal itu bertujuan, agar agama Islam yang merupakan agama ilahiah (ritual) sekaligus kemanusiaan 26 (sosial) dapat menjadi rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin).

  Sesungguhnya landasan HAM dalam Islam tidak hanya kita temukan secara eksplisit dalam ayat-ayat Al-Qur’an saja, akan tetapi misi dakwah Nabi dalam menyebarkan agama Islam juga memerlihatkan hal itu secara nyata. Nabi Muhammad pertama kali berdakwah pada masyarakat Arab yang sangat menyukai pesta-pesta rakyat, pembacaan puisi secara kolosal, serta mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Meskipun mereka suka tradisi baca puisi dan sastra, mereka sama sekali tidak mengenal tradisi belajar dan tulis-menulis.

  Masyarakat Arab waktu itu juga sangat mengagungkan Primordialisme yang sempit, hal inilah yang sering menimbulkan perpecahan antar suku dan penindasan antar sesama. Paham kesukuan yang sempit ini juga berimbas pada paham keagamaan yang dipeluknya, hal itu nampak pada setiap suku yang mempunyai Tuhan sendiri-sendiri yang diwujudkan dalam bentuk berhala atau patung.

  Keadaan di atas ternyata juga menimpa kehidupan sosial dan ekonomi mereka. Sistem ekonomi yang mereka kembangkan adalah sistem ekonomi kapitalis dan absolutistik yang berpusat pada suku-suku tertentu. Suku yang terkuat dan terbanyaklah yang memegang kendali perekonomian, sedangkan rakyat kecil hanya dijadikan sebagai budak- budak yang tidak dihargai kemanusiaannya.

  Maka, dengan bertumpu pada teks Al-Qur’an dan realitas masyarakatnya, Nabi Muhammad kemudian melakukan transformasi menuju sistem dan perilaku sebuah masyarakat yang demokratis. Menurut Muhammad Ahmad Khalaf-Allah (seorang pemikir Islam dari Mesir yang banyak mengkaji Al-Qur’an berdasarkan analisis kesusastraan dan politik), Nabi Muhammad pada dasarnya adalah seorang revolusioner dalam ucapan maupun perbuatannya. Ia bekerja dan berbicara demi perubahan radikal

25 Lihat Harun Nasution, “Kata Pengantar” pada Harun Nasution dan Bachtiar Effendy (penyunting), Hak Asasi

  Ahmad Fuad Fanani

  pada struktur masyarakat sosial pada masanya. Hal itu bisa dilihat pada dakwah Nabi yang tidak gentar menghadapi kemapanan bangsawan dan 27 penguasa Mekkah dengan meneriakkan kalimat Laa ilaaha Illa Allah.

  Kalimat itu secara tidak langsung, tidak mengakui adanya status quo kekuasaan absolut para bangsawan dan menolak berhala-berhala yang dipasang di Ka’bah sebagai Tuhan-Tuhan palsu. Ada tiga cakupan besar yang menjadi objek reformasi gerakan Nabi Muhammad, yaitu sistem tauhid atau agama, ekonomi, dan kekuasaan sosial politik. Dalam melakukan perbaikan sistem tauhid atau moral keagamaan, beliau mendasarkan diri pada upaya dialogis dan pencarian kebenaran secara bersama-sama. Beliau menghormati umat agama lain dan tidak memaksakan agama Islam yang menjadi pegangannya, begitu juga sebaliknya. Maka, upaya-upaya pemaksaan atau penghalangan kegiatan lewat kekerasan tidak akan diizinkan untuk dilakukan. Di samping itu, tradisi budaya Jahiliyah yang melegalkan perbudakan dan diskriminasi rasial dengan mengatasnamakan agama beliau kikis habis. Untuk sistem ekonomi, Nabi Muhammad menghapus sistem eksploitasi dan pemusatan ekonomi (Oligarkhi) pada segelintir orang seperti di Mekkah. Beliau menghargai persamaan dan kompetisi yang sehat dalam melakukan transaksi perdagangan maupun pembelian. Mungkin untuk istilah pada zaman global ini, beliau memelopori sistem ekonomi koperasi atau ekonomi kerakyatan yang demokratis.

  Sedangkan untuk sistem politik, Nabi tidak lagi memberlakukan penumpukkan kekuasaan pada sistem absolutistik yang berpusat pada kepala-kepala suku. Akan tetapi beliau berusaha mengatur distribusi kekuasaan yang sehat dan representatif. Hak rakyat yang harus diperhatikan dan diperjuangkan, harus menjadi acuan dasar dalam pengelolaan negara. Penegakan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki juga Nabi lakukan dalam transformasi sosialnya tersebut. Kesemua hal di atas direkam dan dicatat dengan baik pada Piagam 28 Madinah yang dirumuskan oleh Nabi Muhammad beserta masyarakat. Piagam itu juga menjadi pegangan perilaku kehidupan sosial, keagamaan, 27 Lihat Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, hal. 7.

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim serta ekonomi yang wajib ditaati semua pihak.

  Dari pelajaran dakwah Nabi dan pesan-pesan yang dibawanya, nampak jelas bahwa Islam mempunyai misi pembebasan dan transformasi sosial kemanusiaan. Fakta bahwa Islam yang bertumpu pada Al-Qur’an lebih dari sekadar agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan 29 ayat Al-Qur’an, shalat tidak pernah disebut tanpa diiringi oleh zakat. Zakat bertujuan untuk distribusi kekayaan bagi fakir miskin, untuk membebaskan budak-budak, membayar utang bagi para pengutang, dan membantu problem-problem sosial keagamaan lainnya. Hal itu juga sesuai dengan penegasan Kuntowijoyo, bahwa Islam mempunyai misi pembebasan keilahian, sosial, dan keilmuan sekaligus. Maksudnya, Islam juga menghindari adanya kungkungan pemikiran yang dominan dan tidak seimbang dengan perilaku sosial dan keagamaan seseorang. Oleh karena itu, perlu ada kaitan yang erat antara iman-ilmu- 30 dan amal. Tujuannya, agar Islam berfungsi secara ilahiah, ilmiah, dan kemanusiaan sekaligus. Sebetulnya secara substansi antara HAM dan Islam memang tidak ada pertentangan sama sekali, bahkan Islam banyak menyumbangkan konsep dan legitimasi terhadap penegakan HAM. Melihat realitas dan pandangan di tingkat masyarakat, memang banyak terbukti bahwa terdapat kesesuaian antara prinsip universal Islam dan Barat, sebab, dalam prinsip-prinsip HAM yang menghargai kemanusiaan dan menegakkan nilai-nilai yang terkait, terkandung sebuah nilai keadilan yang sama bagi semua manusia yang juga merupakan misi agama Islam.

  Di samping itu, untuk meretas kesesuaian antara HAM Barat dan Islam, Adamantia Pollis menawarkan perlunya kerjasama untuk membangun 31 paradigma baru Universalisasi HAM. Paradigma baru itu hanya bisa terbangun, apabila terdapat diskursus antara kedua belah pihak untuk

29 Lihat Ahmad Fuad Fanani, “Hermeneutika Pembebasan dan Tafsir Al-Qur’an”, Jawa Pos dan Islamlib.com, 17 Februari 2002.

  Ahmad Fuad Fanani melakukan pembaharuan budaya, politik, sosial, dan paham keagamaan.

  Oleh karena itu, dialog antara kalangan konservatisme kultural, universalisme, dan inklusifisme mutlak dilakukan secara simultan dan sistematis.

  Praktek HAM dalam Masyarakat Islam Kontemporer

  Implementasi HAM dalam masyarakat Islam, sesungguhnya mengalami perkembangan yang cukup mengesankan. Artinya, masyarakat Islam banyak yang sudah sadar akan kewajibannya untuk menjalankan dan menegakkan HAM dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini, tentu saja, mereka lakukan dalam rangka mencapai keharmonisan hubungan antar manusia, di samping juga sebagai upaya menjalankan perintah Allah yang terakomodasi dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan Syari’ah. Salah satu contoh implementasi HAM masyarakat Islam yang mengalami kemajuan adalah dihapuskannya sistem perbudakan. Meskipun pada awalnya Islam mengakui perbudakan, akan tetapi dengan semangat legislasi Al-Qur’an–meminjam istilah Fazlur Rahman, maka sistem perbudakan itu lambat laun dihilangkan. Bahkan, umat Islam berusaha tidak menambah jumlah budak, memperjuangkan kondisi mereka, dan 32 membebaskannya melalui berbagai cara.

  Bila kita tinjau dari sudut teks Al-Qur’an sendiri, sesungguhnya tidak ada ayat Al-Qur’an yang secara langsung membahas bagaimana menjadikan seseorang sebagai budak, misalnya pada QS 9: 60 dan 2: 17. Meskipun ada beberapa ayat yang memperbolehkan seorang tuan mengawini budak perempuannya, hal itu memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi atas diri budaknya. Dalam Sunnah pun, ditegaskan bahwa satu-satunya jalan bagi seseorang yang dilahirkan bebas namun dapat terseret menjadi 33 seorang budak adalah disebabkan oleh kekalahan dalam peperangan. Maka, dengan sendirinya perbudakan tidak langsung melekat pada diri seseorang manusia yang dilahirkan dengan dikaruniai kebebasan dan kemerdekaan. Sebab, tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang sebetulnya ingin menjadi budak, mereka semua, tentu, ingin menjadi

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim manusia yang baik dan merdeka.

  Dengan tidak adanya teks yang menegaskan pengesahan perbudakan dalam Islam, maka banyak para pemikir Islam yang menganjurkan pembacaan ulang Al-Qur’an dan Hadits secara historis. Maksudnya, sebagaimana tawaran Fazlur Rahman tentang semangat legislasi Al- Qur’an, maka teks perbudakan harus dipahami konteksnya pada masyarakat Jahiliyah dan masa lampau. Jadi, karena perbudakan terbukti hanya menindas manusia dan tidak mendatangkan manfaat yang banyak, maka perbudakan harus dihapuskan dari sistem hukum Islam.

  Hal di atas sesuai juga dengan perkembangan politik dan hubungan manusia di tingkat global yang tidak mengakui lagi sistem perbudakan. Sebab, perkembangan hukum sekular di negara-negara Barat, sejak tahun 1960-an juga sudah tidak mengakui lagi bahkan mengecam habis sistem perbudakan yang dianggap melanggar Deklarasi HAM Universal PBB 1948. Di samping itu, perbudakan memang secara moral tak dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat Islam Sudan suku barat daya yang masih melegalkan perbudakan hingga saat ini, hanya menjadikan mereka 34 ter-stereotype secara negatif dalam pergaulan lintas agama dan budaya. Maka, semua negara, baik Islam maupun Barat yang hingga saat ini masih mengesahkan perbudakan dianggap sebagai pelaku penindasan dan dapat digolongkan sebagai penjahat kemanusiaan. Laporan HAM yang diterbitkan oleh Freedom House pada 1987- 1988, sebuah lembaga independen HAM yang didirikan pada 1941, menunjukkan bahwa pelaksanaan HAM di negara-negara Islam cukup memprihatinkan. Laporan itu menunjukkan bahwa tidak ada negara Islam atau negara Muslim yang dapat dikategorikan “bebas”. Jika diperiksa, rekor Negara-negara yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah NF (not free (tidak bebas)) atau PF (partly

  

free (setengah bebas)). Indonesia dan Malaysia, misalnya, dinilai sebagai

35

  negara yang dikategorikan bernilai NF. Laporan Freedom itu disusun berdasarkan masukan-masukan dari ahli-ahli kawasan, wartawan, konsultan internasional, berbagai organisasi non-pemerintah (NGO), dan pakar-pakar hak asasi manusia. Landasan klasifikasi Freedom House

  Ahmad Fuad Fanani

  adalah studi komparatif dan empiris, dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai rujukan. Jadi, objektifikasi laporan itu, paling tidak, relatif bisa diterima kebenarannya. Seiring dengan dihapuskannya perbudakan, maka, sekarang ini banyak negara Islam yang juga mengintrodusir hukum Barat sebagai pelengkap hukum Islam yang terkodifikasi dalam Syari’ah. Maka, banyak negara- negara Islam yang mengakui dan menjalankan persamaan antara kaum laki-laki dan perempuan, kebebasan beragama, dan hukum domestik lainnya. Namun, ada juga beberapa negara Islam yang hingga saat ini masih memberlakukan diskriminasi terhadap hak perempuan dan kaum non agama selain Islam.

  Iran, Pakistan, Saudi Arabia, dan Sudan adalah contoh negara-negara Islam yang belum menerima Deklarasi HAM Universal dan juga belum mengakui hak persamaan terhadap hak perempuan dan umat agama lain. Keempat negara itu masih berpegang teguh terhadap Syari’ah, karena ia dianggap sebagai cara hidup Islam berdasarkan wahyu ilahi yang tidak dapat digantikan oleh sistem apa pun dan dari mana pun. Menurut mereka juga, aturan-aturan Syari’ah harus terus berlaku dalam 36 persoalan-persoalan keluarga dan waris di seluruh dunia Muslim.

  Akibatnya, seluruh aturan Syari’ah yang mungkin sudah tidak sesuai lagi dengan zaman atau melanggar hak asasi kaum perempuan dan kebebasan beragama tetap dilegalkan. Sedangkan Afganistan, Bahrain, Irak, Libya, dan Syria–meskipun hukum Islam di negara itu hanya memainkan peranan pinggiran, pelanggaran HAM di negara tersebut juga mendapatkan sorotan tajam. Karena, penghargaan dan akomodasi terhadap hak perempuan dan penghormatan terhadap umat agama lain di negara-negara tersebut berjalan secara kurang baik. Jadi, pada dasarnya, pelanggaran HAM tidak tergantung pada pelaksanaan hukum Islam secara formal di suatu negara. Sebab, pelanggaran HAM tersebut bisa berbentuk tindakan penganiayaan rutin, pemenjaraan dan pembunuhan lawan politik, hukuman mati secara kilat pada pelaku tindak pidana, kekerasan terhadap kaum minoritas, penangkapan sewenang-wenang, dan proses peradilan yang tidak berjalan

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim sebagai mana mestinya.

  Setidaknya, tiga negara (Sudan, Pakistan, dan Iran) akan menjelaskan 37 praktek HAM di kalangan masyarakat Islam kontemporer. Sejak Pakistan dan Sudan melakukan proyek Islamisasi, hak-hak kaum perempuan dan sipil yang sebelumnya mendapat legislasi dari Dewan Peradilan yang progresif, dicabut untuk selamanya.

  Iran adalah negara yang juga disorot atas pelanggarannya terhadap HAM. Pasca jatuhnya rezim Shah Reza Pahlevi pada tahun 1979 oleh revolusi Islam Iran, maka negara Islam memproklamirkan dirinya sebagai negara Islam di bawah kepemimpinan para Mullah. Imam Khomeini yang dinobatkan menjadi kepala Wilayah al-Faqih, memberlakukan hukum Islam sebagai dasar konstitusi negara yang mengatur segala urusan, baik agama maupun politik.

  Akan tetapi, pelaksanaan HAM yang mengalami ketersendatan pada masa Reza Shah, tidak mencapai kemajuan yang cukup berarti pada masa Khomeini. Karena, pada masa Khomeini, pelanggaran HAM seperti yang disebutkan di atas masih banyak terjadi di negara ini. Bahkan, kebebasan perempuan dan penghormatan terhadap kaum non-Muslim mengalami kemunduran yang cukup memprihatinkan. Hal ini terbukti dengan merosotnya porsi kursi keterwakilan perempuan di parlemen sangat mencolok. Di samping itu, kasus fatwa pemurtadan dan hukuman mati dari Imam Khomeini terhadap Salman Rusdhie juga dianggap sebagai 38 pelecehan terhadap kebebasan berpikir dan beragama.

  Diskriminasi atas nama agama dan gender jelas merupakan pelanggaran 39 terhadap hak asasi manusia. Diskriminasi atas nama agama telah dibangun dengan berbagai alasan besar yang berasal dari konflik dan perang masa lalu yang tidak perlu dipelihara lagi. Sedangkan diskriminasi gender banyak berasal dari doktrin teks agama dan budaya masyarakat setempat pada masa lampau yang kurang menghargai perempuan.

  Sekarang ini, diskriminasi gender dan agama secara moral dan politik

37 Untuk kasus-kasus lainnya, baca Ann Elizabeth Mayer, “ Islam dan HAM: Lain isu Lain Konteks”, dalam Dekontruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain,terj. Farid Wajidi ( Yogyakarta: LKIS, 1996 ).

  Ahmad Fuad Fanani sekarang ini tentu tidak bisa diterima oleh masyarakat dunia.

   Daftar Pustaka Abdillah, Masykuri, “ Islam dan HAM: Pemahaman K.H. Ali Yafie”, dalam Jamal D. Rahman et.al. (ED), Wacana Baru Fiqh Sosial: 70 Tahun K.H.Ali

  Yafie ( Bandung: Mizan, 1997 )

  Al-Quran dan Terjemahannya, Khadim al Haramain asy Syarifain ( Pelayan kedua Tanah Suci ), oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Penafsir Al- Qur’an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, an-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekontruksi Syari’ah I,terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani ( Yogyakarata: LKIS, 1997 ) Ann Elizabeth Mayer, “ Islam dan HAM: Lain isu Lain Konteks”, dalam

  Dekontruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajidi ( Yogyakarta: LKIS, 1996 ).

  Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1979 Engineer, Asghar Ali, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy ( Yogyakarta: LKIS, 1993) Esposito, John L. dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, terj. Rahmani Astuti ( Bandung: Mizan, 1999 ). Fanani, Ahmad Fuad, “Hermeneutika Pembebasan dan Tafsir Al-Qur’an”, Jawa Pos dan Islamlib.com, 17 Februari 2002. Gastil, Raymond D., Freedom and The Word: Political Rights & Civil Liberties 1987-

  1988 (New York: Freedom House, 1988) Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi ( Bandung: Mizan, 1999 )

  Relasi Islam dan Hak Asasi Manusia: Sejarah, Doktrin, dan Praktek dalam Masyarakat Muslim

Mutahhari, Murtadha, Manusia dan Agama, terj. Haidar Bagir (Bandung:

Mizan, 1990 )

Nasution, Harun, “Kata Pengantar” pada Harun Nasution dan Bachtiar Effendy

(penyunting), Hak Asasi Manusia dalam Islam, terj. Badri Yatim et.al. (

  Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)

Nickel, James W., Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi HakAsasi

Manusia , terj. Tim Gramedia, (Jakarta: Gramedia, 1996),

  

Pollis, Adamantia, “A New Universalism”, dalam Adamantia Pollis and Peter

Schwab, Human Rights: New Perspectives, New Realities (Colorado: Lynne Rienner Publishers, 2000) Rahman, Fazlur, Islam,terj. Ahsin Mohammad ( Bandung, Pustaka, 1984)

  Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 1993)

Suseno, Frans Magnis, EtikaPolitik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern , (Jakarta: Gramedia, 1994)

  

Susetyo, Heru, “HAM: Sejarah, Doktrin dan Perkembangannya”, dalam

Suplemen majalah SAKSI, no. 4/Th. IV, November 2001

Umari, Akram Dhiyauddin, Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan

  Nabi, terj. Mun’im A. Sirry ( Jakarta: Gema Insani Press, 1999 )