M02117

KAJIAN APLIKASI NITRIFICATION INHIBITOR
PADA BUDIDAYA SAYURAN DATARAN TINGGI *)
Oleh: Suprihati1),
ABSTRAK
Sayuran dataran tinggi merupakan komoditas penting yang mendukung ketahanan pangan
nasional. Teknik budidaya komoditas ini melibatkan input pupuk N yang cukup tinggi.
Interaksi dinamika perilaku pupuk N dalam tanah dan kondisi ekologis dataran tinggi
menyebabkan kehilangan N dalam bentuk nitrat maupun emisi N 2O yang berdampak pada
efisiensi pemupukan dan berpotensi menyebabkan pencemaran lingkungan. Aplikasi
nitrification inhibitor yang bertujuan menghambat laju nitrifikasi diharapkan mampu
mengurangi pencucian nitrat maupun emisi N 2O (mengendalikan pencemaran) dan
meningkatkan efisiensi pemupukan. Makalah yang didasarkan pada metode telaah pustaka
ini bertujuan menyajikan kajian tentang aplikasi nitrification inhibitor pada budidaya sayuran
dataran tinggi, yang diharapkan dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam upaya
meningkatkan produktivitasnya. Hasil kajian dari beberapa lokasi penelitian dengan
beberapa tanaman sayuran dataran tinggi memberikan indikasi prospek positif aplikasi
nitrification inhibitor dalam pengendalian pencemaran (pencucian nitrat dan emisi N2O)
meski terhadap peningkatan hasil dan kualitas tanaman (kadar nitrat maupun biomasa layak
konsumsi) efektivitasnya bervariasi dari tidak berpengaruh nyata hingga peningkatan hasil
yang signifikan dan berpotensi untuk peningkatan produktivitas sayuran dataran tinggi. Perlu
dikembangkan ‗penghambat nitrifikasi hayati‘ setempat sebagai teknologi lokal budidaya

sayuran.
Kata kunci: sayuran dataran tinggi, nitrification inhibitor, efisiensi pupuk, pengendalian
pencemaran
PENDAHULUAN
Sayuran merupakan salah satu komoditas penting dalam rangka mendukung
ketahanan pangan nasional. Selain memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, sayuran juga
berperan sebagai sumber pemenuhan gizi mulai dari karbohidrat, protein nabati, lemak
nabati, vitamin, mineral maupun serat. Keragaman komoditas ini sangat tinggi dengan
persyaratan ekologi mulai dataran rendah hingga dataran tinggi. Meski sudah cukup banyak
jenis tanaman sayuran yang diadaptasikan ke dataran rendah, sentra produksi sayuran
dataran tinggi seperti di Batu – Malang, Tawangmangu – Karanganyar, Kopeng dan
Bandungan – Semarang, Dieng – Wonosobo, Kabupaten Cianjur,Kabupaten Karo tetap
memegang peranan yang signifikan. Budidaya sayuran merupakan tulang punggung
ekonomi daerah dataran tinggi.
Budidaya sayuran dataran tinggi semisal kentang, wortel, tomat dan keluarga kubis
berkembang pesat baik dari teknologi perbenihan maupun teknik budidayanya. Jenis
tanaman tersebut secara ekologis tumbuh optimal pada ketinggian > 700 mdpl, pada tanah
Andisol, Inseptisol dan Entisol yang memiliki kepekaan tinggi terhadap erosi dengan
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Peningkatan Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi” 17-18 Maret 2010,
Balai Penelitian Tanah, Bogor – Universitas Ghent, Belgia

Staf Pengajar Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Satya Wacana, Jl Diponegoro 52-60 Salatiga 50711, Tilp (0298)
321212, Fax (0298) 321433, E-mail: nunuk_suprihati@yahoo.com

*)
1)

berbagai kemiringan lereng. Penggunaan pupuk nitrogen dosis tinggi, seperti pada budi
daya sayuran dataran tinggi, dapat mencemari lingkungan, karena sebagian besar N dari
pupuk hanyut terbawa aliran permukaan dan erosi. Kehilangan pupuk tersebut secara
langsung menurunkan efisiensi pemupukan, hanya 30-50% dari pupuk N yang diberikan
dapat diserap oleh tanaman dan berpotensi mencemari lingkungan baik dalam bentuk
cemaran nitrat pada air tanah oleh proses pencucian maupun emisi gas rumah kaca N 2O.
Pengamatan tim Keseimbangan Hara, input pupuk N mencapai di atas 5 kuintal per hektar
dan pupuk kandang hingga 50 ton per hektar. Untuk itu sangatlah diperlukan strategi
pengelolaan pupuk untuk mendukung budidaya sayuran dataran tinggi yang berkelanjutan
(Tim Sintesis Kebijakan, 2008; Sutrisno dkk., 2009; Suwandi, 2009)
Pencucian nitrat berasal dari hasil proses nitrifikasi. Emisi N2O dihasilkan oleh
proses denitrifiksi dan hasil antara proses nitrifikasi (Wrage et al., 2001). Bahan baku proses
denitrifikasi adalah nitrat yang dihasilkan oleh proses nitrifikasi. Mengacu logika tersebut,
penghambatan laju nitrifikasi berpotensi menekan laju pencucian serta emisi N2O dan

sekaligus meningkatkan efisiensi pemupukan. Salah satu cara pengelolaan pupuk nitrogen
yang potensial dikembangkan adalah mengendalikan perubahan amonium menjadi nitrat,
misalnya melalui aplikasi bahan-bahan yang mampu menghambat nitrifikasi (nitrification
inhibitor) (Hauck, 1980; McCarty, 1999; Azam dan Farooq, 2003; Bundinien et.al., 2008).
Pendayagunaan penghambat nitrifikasi Kajian aplikasi nitrification inhibitor pada budidaya
sayuran dataran tinggi tersebut merupakan harapan cerah dalam peningkataan efisiensi
pemupukan nitrogen yang sekaligus menekan dampak pencemaran baik yang berupa emisi
N2O maupun peningkatan konsentrasi nitrat dalam air tanah (Suprihati, 1998; Frye, 2005; Li
et al., 2008; Purwanto, 2009).
Makalah ini disusun berdasarkan kajian telaah pustaka dan bertujuan untuk mengkaji
aplikasi nitrification inhibitor pada budidaya sayuran dataran tinggi, yang diharapkan dapat
dijadikan salah satu pertimbangan dalam upaya meningkatkan produktivitasnya. Untuk
mempermudah pemahaman makalah ini disistematisasikan menjadi Pendahuluan, Nitrifikasi
dan Pengendaliannya, Kajian Aspek Agronomi dari Nitrification Inhibitor, Kajian Aspek
Lingkungan dari Nitrification Inhibitor, Nitrification Inhibitor dan Teknologi Lokal, dan
Kesimpulan.
NITRIFIKASI DAN PENGENDALIANNYA
Nitrifikasi merupakan proses transformasi ammonium menjadi nitrat secara oksidasi
enzimatis. Perubahan tersebut berlangsung melalui dua tahap yaitu:
2NH4+ + 3O2


2HNO2 +

2H+

2HNO2 +

2 NO3-

2H+

O2

+

+

2H2O

Reaksi tersebut dimediasi oleh bakteri autotrof, oksidasi ammonium oleh Nitrosomonas,

Nitrosolobus dan Nitrosospira, nitrit yang dihasilkan segera dioksidasi oleh Nitrobacter.
Kelompok nitrifier tersebut bersifat aerob obligat, dan Nitrobacter bersifat agak peka
terhadap pH rendah. Pada perkembangannya diketahui bahwa proses nitrifikasi tidak hanya
dikerjakan oleh bakteri autotrof saja namun juga melibatkan mikroba heterotrof. Mikroba
heterotrof yang terlibat semisal bakteri Arthrobacter, aktinomisetes dan cendawan
Aspergillus flavus juga dapat melakukan nitrifikasi, namun efektifitasnya dianggap kurang
penting dibanding bakteri nitrifikasi khemoautotrop (Inubushi et al., 1996; Azam dan Farooq,
2003; Purwanto, 2009). Meski peranannya relatif kecil namun mikroba heterotrof ini tidak
terpengaruh oleh pemberian nitrification inhibitor N-serve/ nitrapirin.
Berdasarkan reaksi di atas Nampak tiga hal penting dalam nitrifikasi. Pertama, reaksi
tersebut mutlak memerlukan oksigen, implikasinya reaksi tersebut berlangsung pesat pada
tanah-tanah dengan aerasi bagus semisal tanah Andisol ataupun Entisol yang dijumpai
pada daerah sentra produksi sayuran dataran tinggi. Kedua, reaksi tersebut membebaskan
ion H+, setiap hidrolisis dan nitrifikasi 1 mol urea dibebaskan 2 ion H + dan dari setiap 1 mol
ammonium sulfat (ZA) dibebaskan 4 H+. Ketiga, reaksi tersebut dimotori oleh mikroba,
implikasinya kecepatan reaksi tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang menunjang
aktivitas mikroba nitrifikasi (nitrifier).
Nitrat yang dihasilkan oleh proses nitrifikasi diadsorpsi dengan ikatan yang lemah
oleh koloida tanah dan akan mengalami beberapa hal yaitu diabsorpsi oleh tanaman,
diimobilisasi oleh mikroba, leaching dan denitrifikasi. Pada lahan budidaya sayuran dataran

tinggi, kombinasi intensifnya pemupukan N dengan curah hujan yang tinggi serta aerasi
tanah yang bagus menyebabkan tingginya pencucian nitrat. Nitrifikasi dan denitrifikasi juga
menstimulir emisi N2O. Selain menurunkan efisiensi pemupukan, pencucian nitrat juga
memberikan dampak negatif bagi lingkungan (Paul dan Clark, 1989; Tim Sintesis Kebijakan,
2008; Sutrisno dkk., 2009; Suwandi, 2009)
Pengendalian proses nitrifikasi menjadi sangat bermakna dalam peningkatan
efisiensi pemupukan nitrogen (Purwanto, 2009). Salah satu mekanisme pengendalian
adalah dengan aplikasi penghambat nitrifikasi (nitrification inhibitor). Kiprah penghambat
nitrifikasi difokuskan pada penghambatan aktivitas mikroba pengoksidasi ammonium.
Oksidasi ammonium menjadi nitrit pada aras ensim menghasilkan senyawa intermediate/
antara NH2OH (hidroksilamin) dan HNO (nitroksil) yang dikatalisa oleh enzim ammonia
monooxygenase (AMO) dan hydroxylamineoxydoreductase (HAO). Penghambat nitrifikasi
berkiprah dalam penghambatan kinerja kedua ensim tersebut (Hauck, 1980; Paul dan Clark,
1989; McCarty, 1999; Frye, 2005).

Beberapa bahan yang dikenal sebagai nitrification inhibitor dapat dilihat pada Tabel
1. Diantara bahan tersebut yang populer nitrapirin, DCD, dan yang relatif baru adalah
DMPP.
Tabel 1. Nitrification Inhibitor yang Sudah Dipatenkan
Nama Kimia


Nama Dagang

No
1

2-chloro-6-(trichloromethyl) pyridine

Nitrapirin, N-serve

Produsen/
Developer
Dow Chemical Co.

2

Dicyandiamide

Dicyan, DCD, Dd


Showa Denko

3

Thiourea

Thiourea, TU

Nitto Ryuso

4

4-amino-1,2,4 triazole HCl

ATC

Ishihada Industries

5


2,4-diamino-6-trichloro methyltriazine

CL-1580

American Cyanarnid

6

3-mercapto-1,2,4 triazole

MT

Nippon

7

2-amino-4-chloro-6-methyl pyrimidine

AM


Mitsui Toatsu

8

Sulphathiazole

ST

Mitsui Toatsu

9

(3,4-Dimethylpyrazol phosphate)

DMPP

COMPO/BASF
(dilepas tahun 2000)

Keterangan: dirangkum dari beberapa sumber

KAJIAN ASPEK AGRONOMI DARI NITRIFICATION INHIBITOR
Hasil percobaan secara hidrofonik, penggunaan NO 3- sebagai sumber tunggal
pupuk N meningkatkan hasil, kandungan nitrat bagian atas tanaman, serta asam-asam
organik (piruvat, sitrat, suksinat, fumarat dan malat), sementara terhadap oksalat terlarut
berlaku sebaliknya. Dari hasil kajian, untuk memproduksi spinach dengan hasil dan kualitas
terbaik diperoleh dari perlakuan hara N dengan ratio sumber N NH 4+/NO3- 25:75 (Wang et al.
(2009). Implikasi praktikalnya diperlukan upaya untuk mempertahankan jumlah ammonium
tertentu. Pengendalian nitrifikasi pada tanah tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan
tanaman namun juga mempengaruhi kualitas tanaman.
Pada pertanaman di lahan, ratio bentuk N berkenaan dengan laju nitrifikasi yang
secara eksternal dapat dikelola dengan penambahan penghambat nitrifikasi. Hasil telaah
penggunaan penghambat nitrifikasi pada beberapa jenis tanaman menunjukkan variasi
mulai dari yang sangat efektif hingga kurang efektif. Potensi dan kendala aplikasi
penghambat nitrifikasi patut ditelaah untuk mendapatkan kemanfaatan yang optimal.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Martin et al. (1993) menyatakan aplikasi nitrification
inhibitor, yaitu nitrapirin dan DCD yang dicobakan tidak berpengaruh nyata terhadap
kandungan N tanaman dan hasil umbi kentang. Percobaan dilaksanakan pada tanah
hipertermik, berpasir, beririgasi.

Hähndel dan Wissemeier (2005) melaporkan dari 95 percobaan lapangan antara
tahun 1998 hingga 2002 di Eropa Tengah terjadi peningkatan hasil tanaman dengan rataan
sekitar 10% dengan penambahan DMPP pada pertanaman wortel, kubis, selada.
Kecenderungan penurunan kadar nitrat pada bagian tanaman yang dimakan, keragaan
tanaman di lapangan yang lebih homogen, serta meningkatkan kekompakan crop sehingga
memperpanjang masa simpan setelah panen.
Pasda et al., 2001 dalam Bondiniene et al. (2008) menunjukkan bahwa pemberian
DMPP mampu meningkatkan bobot umbi kentang sebesar 1.9 t ha-1, bit gula sebesar 0.24 t
ha-1, biomas wortel 4.9 t ha-1. Efek positif dari DMPP ini berkaitan dengan karakter lokasi
yang memiliki curah hujan tinggi, tanah berpasir ringan. Pada lahan tersebut potensi laju
nitrifikasi tinggi dibarengi dengan potensi pencucian nitrat hasil nitrifikasi sehingga aplikasi
DMPP mampu menghambat nitrifikasi dan meningkatkan hasil tanaman.
Hasil penelitian Xu et al.(2005) yang dilaksanakan melalui percobaan lapang pada
tahun 2002 dan 2003, menunjukkan bahwa pemberian DMPP tidak berpengaruh nyata
terhadap hasil bagian tanaman layak makan tanaman greengrocery (Brassica campestris L.
ssp. chinensis) namun mampu secara nyata menurunkan konsentrasi NO3- dalam tanaman.
Penurunan

konsentrasi

nitrat

tanaman

mengindikasikan

penurunan

serapan

dan

ketersediaan nitrat dalam tanah sebagai akibat penghambatan nitrifikasi.
Hasil kajian aplikasi DMPP pada tanaman wortel dilaporkan oleh Bondiniene et al.
(2008) pada Tabel 2. Pembandingan antara perlakuan pupuk lengkap dan Entec, pada dosis
N yang sama efek dari DMPP meningkatkan sebesar 2% bobot umbi total yang tidak
signifikan, sedangkan terhadap umbi layak jual terjadi peningkatan sebesar 7.5%.
Tabel 2. Kajian nitrification inhibitor pada wortel (Diolah dari Bondiniene et al., 2008)
Perlakuan
Tanpa pupuk
Pupuk tunggal
600 kg ha-1 (10-10-20)
500 kg ha-1 Entec 12-7-16
(mengandung nitrification inhibitor
DMPP)

Bobot umbi total t ha-1
59.8
65.2
68.7
70.1

Umbi Layak jual t ha-1
42.2
45.4
46.2
49.7

Aplikasi DMPP pada tanaman bit merah yang dilaksanakan oleh Szuara et al. (2008)
selama 3 tahun dari 2005, 20086 dan 2007, menunjukkan bahwa aplikasi nitrification
inhibitor tidak berpengaruh nyata terhadap kadar ammonium dan nitrat pada daun maupun
umbi serta protein umbi (Tabel 3). Secara umum aplikasi nitrification inhibitor tidak selalu
efektif mampu meningkatkan hasil tanaman sayuran dataran tinggi baik dari aspek kuantitas
maupun kualitas.
Tabel 3. Kajian nitrification inhibitor pada bit merah (Diolah dari Szuara et al., 2008)

Jenis Pupuk
RSM*
ENTEC 26**
+
-1
Daun
NH4 (mg kg )
245
256
Nitrat (mg kg-1)
927
907
Umbi
NH4 + (mg kg-1))
208
203
Nitrat (mg kg-1)
1566
1488
Protein-N (%)
2.45
2.41
Ratio nitrat thd N total
0.122
0.115
* RSM – 7.5% N-NH4, 7.5% N-NO3, 15% N-NH2; produced by Zaklady Azotowe in Tarnow
** (18.5% N-NH4, 7.5% N-NO3 + DMPP nitrification inhibitor; produced by COMPO/BASF
Bagian tanaman

Parameter

KAJIAN ASPEK LINGKUNGAN DARI NITRIFICATION INHIBITOR
Kajian aspek lingkungan dari aplikasi didekati dari parameter pencucian nitrat dan
emosi N2O. Li et al. (2008) menjelaskan bahwa aplikasi 1% nitrification inhibitor DMPP
mampu meningkatkan konsentrasi NH 4+ 19.1-24.3% dan mampu menurunkan konsentrasi
NO3- sebanyak 44.9 – 56.6% pada leachate. Populasi bakteri pengoksidasi ammonium,
aktivitas nitrat reduktase dan nitrit reduktase berturut-turut berkurang sekitar 24.5%–30.9%,
14.9%–43.5%, and 14.7%–31.6%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa DMPP mampu
mengurangi pencucian nitrat baik melalui penghambatan oksidasi ammonium maupun
kehilangan N melalui denitrifikasi.
Menyikapi permasalahan potensi kerusakan lingkungan melalui pencucian nitrat dan
emisi N2O dari lahan budidaya sayuran, Thomas et al. (2004) melaporkan hasil
penelitiannya dari lahan kentang di New Zealand Australia. Peningkatan dosis pupuk N tidak
berpengaruh nyata terhadap emisi N2O kumulatif. Emisi N2O terbesar terjadi pada bagian
alur tanaman yang mengalami pemadatan (Tabel 4). Emisi N2O yang dikontribusi oleh
bagian guludan yang gembur maupun alur yang dipadatkan, mengindikasikan bahwa emisi
N2O dihasilkan baik oleh tanah dengan aerasi bagus maupun kurang bagus. Ada korelasi
positif antara fluks N2O dengan ruang pori berisi air.
Tabel 4. Kumulasi fluks dari permukaan tanah penanaman kentang (diolah dari Thomas et
al., 2004)
Dosis Pupuk N (kg
N ha-1)
0

Kumulatif fluks N2O (kg N ha-1)
Alur tidak dipadatkan
guludan
Alur dipadatkan
0.39
0.85
2.42

225

0.43

1.05

2.88

450

0.46

1.20

2.48

Keterangan: antar posisi, BNT 3.36 (db 23)
Antar dosis N, BNT 2.81 db 24)
Kumar et al. (2000) mempelajari peranan nitrification inhibitor pada emisi N2O tanah
alluvial lempung berliat pada berbagai tingkat kelembaban. Emisi N2O tertinggi terjadi pada
tanah dengan 80% WHC, diikuti kondisi kapasitas lapang dan tergenang. Kehilangan N

melalui emisi sebesar 1.06, 0.54 dan 0.92% pada 80% WHC; 0.45, 0.26 pada 0.41% pada
kondisi kapasitas lapang dan 0.43, 0.17 dan 0.39% pada kondisi tergenang, berturut-turut
dari perlakuan urea, urea-DCD dan urea-tiosulofat (Tabel 5). DCD lebih mampu menekan
kehilangan N dibanding tiosulfat. Implikasi dari percobaan tersebut, budidaya sayuran
dataran tinggi dengan kondisi kelembaban tanah antara 80% WHC dan kapasitas lapang
potensial menghasilkan emisi N2O dan dapat dikurangi dengan aplikasi nitrification inhibitor.
Tabel 5. Peranan nitrification inhibitor pada emisi N2O pada berbagai kelembaban tanah
selama 37 hari (diolah dari Kumar et al. (2000)
Perlakuan

N2O total (mg N2O-N kg–1 tanah)
Tergenang

Kapasitas lapang

80% WHC

31.64 ± 2.2a

54.56 ± 4.5ab

78.88 ± 3.1b

Urea

298.51 ± 8.5ef (844)

333.68 ± 15.4f (512)

744.4 ± 18.3i (844)

Urea - DCD

138.35 ± 5.9c (337)

217.77 ± 17.7d (299)

415.64 ± 18.8g (427)

Urea - thiosulfat

272.8 ± 8.1e (762)

313.53 ± 14.1f (475)

654.75 ± 17.5h (730)

Kontrol

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan saling tidak berbeda
nyata menurut DMRT (5%). Angka dalam kurung menunjukkan persen peningkatan
total N2O dibanding kontrol pada kolom yang sama.
NITRIFICATION INHIBITOR DAN TEKNOLOGI LOKAL
Untuk menunjang tercapainya budidaya sayuran dataran tinggi berkelanjutan, setiap
penerapan teknologi harus memenuhi kelayakan ekonomi, ekologi dan sosial budaya
setempat dengan mengakomodasi teknologi dan sumberdaya lokal.

nitrification inhibitor

yang dipergunakan selain efektif menghambat nitrifikasi, juga harus memenuhi syarat tidak
bersifat fitotoksik bagi tanaman ataupun tidak bersifat polutan bagi lingkungan, serta mudah
didapat.
Penggunaan neem (Azadirachta) sebagai nitrification inhibitor nabati untuk mitigasi
emisi N2O, maupun CH4 dan N2O secara bersamaan telah banyak digunakan di India
(Kumar et al., 2000; Majumdar, 2000; Nandi dan Mangal, 2004; Malla et.al., 2005).
Pemanfaatan ampas perasan biji nimba sebagai sumber N berpelepas lambat juga
dilakukan di Afrika Barat, hasil penelitian Agbenin et al. (1999) pemberian bahan tersebut
mampu menghambat nitrifikasi pada tanah berpasir di Nigeria. Di India neem ekstrak dari
Azadirachta indica diaplikasikan sebagai nitrification inhibitor melalui slow release fertilizer
berupa Urea neem cake coated dengan nama dagang NIMIN.
Karanjin adalah nitrification inhibitor yang dibuat dari tanaman karanja (Pongamia
glabra Vent.), hasil percobaan laboratorium menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam
menghambat nitrifikasi (62-75%) dengan inkubasi selama 30 hari. Untuk mewujud nyatakan

prospek yang cerah ini berbagai penelitian tentang derivatisasi, teknologi pencampuran
materi dengan pupuk tengah dikembangkan (Majumdar, 2002).
Purwanto dkk. (2007) menunjukkan bahwa nitrifikasi pada lahan penanaman kopi
dapat dikendalikan melalui pengaturan kualitas masukan seresah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: a). pemberian seresah berkualitas rendah secara nyata diikuti oleh
pelepasan NH4+, pembentukan NO3- dan nitrifikasi potensial yang rendah pula, b). nisbah
(lignin+polifenol)/N seresah mempunyai pengaruh yang lebih kuat sebagai regulator
konsentrasi NH4+ (r= -0,239**), NO3- (r= -0,308**) dan nitrifikasi potensial (r= -0,193**) dalam
tanah dibanding kandungan lignin, polifenol atau nisbah C/N seresah secara terpisah. c).
nisbah (lignin+polifenol)/ N seresah berpengaruh sangat nyata dalam menghambat
mineralisasi N dan nitrifikasi dalam tanah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengaturan
kualitas masukan seresah dapat menghambat laju proses nitrifikasi, pelindian N dalam
tanah dan pencemaran NO3- pada air tanah, perairan dan meningkatkan efisiensi
pemanfatan N.
Subbarao et al. (2009) mengkaji peranan, potensi pengembangan penghambat
nitrifikasi hayati. Konsep ‗penghambat nitrifikasi hayati‘ dikembangkan dari pemahaman
kemampuan suatu jenis tanaman tertentu untuk melepaskan molekul ataupun senyawa
organik yang mampu menghambat fungsi nitrifier dalam tanah.

Hasil telaah kapasitas

penghambat nitrifikasi hayati terbaik ditemukan dari Brachiaria spp.
Implikasi praktikalnya, terbuka peluang besar untuk pengkajian nitrification inhibitor
lokal pada budidaya tanaman sayuran dataran tinggi, mulai dari identifikasi materi lokal,
studi dasar tentang kinerja materi lokal terpilih hingga pengembangan teknologi tepat guna
dalam aplikasi materi lokal untuk mengendalikan nitrifikasi. Penerapan teknologi lokal dalam
pengendalian nitrifikasi tentunya akan memberikan makna yang penting dalam peningkatan
produktivitas sayuran dataran tinggi di Indonesia.
KESIMPULAN
Hasil kajian dari beberapa lokasi penelitian dengan beberapa tanaman sayuran dataran
tinggi memberikan indikasi prospek positif aplikasi nitrification inhibitor dalam pengendalian
pencemaran (pencucian nitrat dan emisi N2O) meski terhadap peningkatan hasil dan
kualitas tanaman (kadar nitrat maupun biomasa layak konsumsi) efektivitasnya bervariasi
dari tidak berpengaruh nyata hingga peningkatan hasil yang signifikan dan berpotensi untuk
peningkatan produktivitas sayuran dataran tinggi. Perlu dikembangkan ‗penghambat
nitrifikasi hayati‘ setempat sebagai teknologi lokal budidaya sayuran.

REFERENSI

Agbenin, J. O., E. B. Agbaji, I. Suleiman, and A. S. Agbaji. 1999. Assessment of nitrogen
mineralization potential and availability from neem seed residue in a savanna soil. Biol.
Fertil. Soils 29: 408-412
Azam, F dan Farooq S. 2003. Nitrification inhibition in soil and ecosystem functioning – an
overview. Pakistan Journal on Biological Science. 6(6): 528-535
Bundinien,O., P. Duchovskis, A. Brazaityte. 2008. The influence of fertilizers with nitrification
inhibitor on edible carrot photosynthesis parameters and productivity. Scientific works of
the Lithuanian Institute of Horticulture and Lithuanian University of Agriculture.
Sodininkyste ir daržininkyste. 27(2): 245-257
Frye, W. 2005. Nitrification inhibition for nitrogen efficiency and environment protection. IFA
International Workshop on Enhanced-Efficiency Fertilizers. Frankfurt, Germany, 28-30
June 2005
Hähndel, R. and A. H. Wissemeier. 2005. Yield and quality of field grown vegetables
fertilized with ammonium based fertilizers containing the nitrification inhibitor DMPP
(ENTEC®).
http//www.paton.com.au.
ResearchHorticultureHorticultural
Nutrition
2005_ag_vegetablesandDMPP.pdf
Hauck, R.D. 1980. Mode of Action of Nitrification Inhibitor. Dalam Melsinger, J.J. et al., 1983.
Nitrification Inhibitors Potentials and Limitation. ASA Spec.Publ. No. 38. Illinois.
Inubushi, K., H. Naganuma, S. Kitahara. 1996. Contribution of denitrification and autotrophic
and heterotrophic nitrification to nitrous oxide production in andosols. Biol Fertil Soils
23:292-298.
Kumar, U., M. C. Jain, Sushil Kumar, H. Pathak and Deepanjan Majumdar. 2000. Role of
nitrification inhibitors on nitrous oxide emissions in a fertilized alluvial clay loam under
different moisture regimes. Current Science, 79 (2):224-228 Research communication
LI, Hua, Xinqiang LIANG, Yingxu CHEN, Yanfeng LIAN, Guangming TIAN and Wuzhong NI.
2008. Effect of nitrification inhibitor DMPP on nitrogen leaching, nitrifying organisms, and
enzyme activities in a rice-oilseed rape cropping system. Journal of Environmental
Sciences 20 (2)149-155, Abstract
Majumdar, D. 2002. Suppression of nitrification and N2O emission by karanjin––a nitrification
inhibitor prepared from karanja (Pongamia glabra Vent.). Chemosphere
47 (8):845-850
Malla, G., A. Bathia, H. Pathak, S. Prasad, N. Jain, and J. Singh. 2005. Mitigating nitrous oxide
and methane emissions from soil in rice-wheat systems of the Indo-gangetic plain with
nitrification and urease inhibitor. Chemosphere 58: 141-147
Martin, H.W., D.A. Graetz, S.J. Locascio, dan D.R. Hensel. 1993. Nitrification inhibitor
influences on potato. Agron.J. (85):651-655
McCarty, G. M. 1999. Modes of action of nitrification inhibitors. Biol Fertil Soils 29:1-9.
Nandi, A. K. and S. P. Mangal. 2004. ―Effect of Neem (Azadirachta indica) Products to
Incresase the Nitrogen Use Efficiency in Subcontinent‖. In: Programme and Abstract
N2004. The Third International Nitrogen Conference: Impact of Population Growth and
Economic Development on the Nitrogen Cycle: Consequences and Mitigation at Local,
Regional and Global Scale. Nanying, China, 12-14 ) October 2004
Paul, E.A. dan F.E. Clark. 1989. Soil Microbiology and Biochemistry. Acad. Press, Inc., San
Diego.
Purwanto, J. B. Baon, dan KHairiah. 2007. Kualitas masukan seresah pohon penaung dapat
menjadi ‗regulator‘ nitrifikasi pada lahan agroforestri kopi. Pelita Perkebunan 23(3):183—
204

Purwanto. 2009. Pengendalian nitrifikasi untuk meningkatkan efisiensip pemupukan
nitrogen. Disampaikan dalam Sidang Senat Terbuka UNS Tanggal 14 Desember 2009
dalam rangka Pengukuhan Jabatan Akademik Guru Besar.
Subbarao, G.V., M. Kishii, K. Nakahara, T. Ishikawa, T., H. Tsujimoto, T. S. George, W. L.
Berry, C. T. Hash and O. Ito. 2009. Biological nitrification inhibition (BNI)—Is there
potential for genetic interventions in the Triticeae? Breeding Science 59: 529–545
Review
Suprihati. 1998. Penggunaan nitrification inhibitor sebagai upaya meningkatkan efisiensi
pemupukan nitrogen dan pengendalian pencemaran oleh pupuk. AGRIC 12:1-18.
Sutrisno. N, P. Setyanto, dan U. Kurnia. 2009. Perspektif dan urgensi pengelolaan
lingkungan pertanian yang tepat. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(4), 2009: 286-291
Suwandi. 2009. Menakar kebutuhan hara tanaman dalam pengembangan inovasi budi daya
sayuran berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(2), 131-147
Szura, A., I. Kowalska, W. Sady. 2008. The content of mineral and protein nitrogen in red
beet depending on nitrogen fertilizer type and fertilization method. Acta Sci. Pol.,
Hortorum Cultus 7(3) 2008, 3-14
Thomas, S., H. Barlow, G. Francis and D. Hedderley. Emission of nitrous oxide from
fertilised potatoes. Super Soil 2004: 3rd Australian New Zealand Soils Conference, 5 – 9
December 2004, University of Sydney, Australia. Published on CDROM. Website
www.regional.org.au/au/asssi/ [diakses 24 Feb 2010]
Tim Sintesis Kebijakan. 2008. Strategi penanggulangan pencemaran Lahan pertanian dan
kerusakan lingkungan. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2): 125-128
Wang,J., Yi Zhou, Caixia Dong, Qirong Shen and Ramesh Putheti. 2009. Effects of NH 4+-N/
NO3--N ratios on growth, nitrate uptake and organic acid levels of spinach (Spinacia
oleracea L.). African Journal of Biotechnology Vol. 8 (15), pp. 3597-3602
Wrage, N., G.L. Velthof, M.L. van Beusichem, O. Oenema. 2001. Role of nitrifier
denitrification in the production of nitrous oxide. Soil Biol Biochem 33:1723-1732
Xu, Chao, Liang-huan Wu, Xiao-tang Ju, Fu-suo ZHANG. 2005. Role of nitrification inhibitor
DMPP (3,4-dimethylpyrazole phosphate) in NO3--N accumulation in greengrocery
(Brassica campestris L. Ssp. Chinensis) and vegetable soil. Journal of Environmental
Sciences 17(1):81-83. Abstract.

Dokumen yang terkait

M02117

0 0 16