Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Parasit Pembangunan D 902007008 BAB X

BAB 10
EPILOG:
PERGI UNTUK KEM BALI

Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan
Tubuhku tergoncang di atas batu jalanan
Hati tergetar menampak kering rerumputan
Perjalanan ini pun seperti jadi saksi
Gembala kecil menangis sedih
Kawan coba dengar apa jawabnya
Ketika ku tanya mengapa
Bapak ibunya telah lama mati
Ditelan bencana tanah ini
Sesampainya di laut kukabarkan semuanya
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam, tetapi semua bisu
Tinggallah ku sendiri terpaku menatap langit
Barangkali di sana ada jawabnya

Mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang
(BERITA KEPADA KAW AN – EBIET G A DE)

PARASIT PEMBANGUNAN

Perjalanan

studi tentang Perilaku M emburu Rente atau KKN
sebagai Parasit Pembangunan ini telah sampai di garis akhir. Kini tiba
saatnya saya melihat ulang apakah tujuan perjalanan studi ini telah
tercapai. Sebagai pedoman untuk menjawab pertanyaan ini, tentu saja,
saya harus melihat tujuan penelitian seperti yang sudah dirumuskan
dalam Bab 1 (halaman 20: “apa (what), siapa (who), kapan (when), di
mana (where), mengapa (why), dan bagaimana (how) perilaku
memburu rente atau, secara lebih sempit, KKN itu terjadi” dan telah
dijabarkan ulang secara lebih mendalam dan lebih luas dalam bab 3.

Dalam bab itu, khususnya tabel 3.1 (halaman 80) dituliskan bahwa
tujuan penelitian ada lima, yaitu:
[1] mengenali modal sosial komunitas terpilih;
[2] menggali pengetahuan, sikap dan praktik beberapa warga
terpilih terhadap KKN;
[3] menggambarkan proses terjadinya KKN;
[4] memahami alasan melakukan KKN; dan
[5] merenungi dampak KKN.
M asing-masing tujuan ini telah dicoba-jawab melalui
serangkaian metode pengumpulan data dan analisis. Pertanyaan apa itu
perilaku memburu rente dijawab melalui studi literatur dan telah
dipaparkan dalam bab 2. Pertanyaan lainnya telah dijawab dan
diuraikan dalam bab 4 sampai 8.
Seksi pertama bab 10 ini mereview ulang temuan studi ini,
khususnya temuan empiris. Semua temuan, tentu saja, mengandung
unsur hipotetis subyektif, dalam arti, sangat dipengaruhi oleh metode
pengumpulan data yang digunakan dan perspektif yang saya pakai
untuk mendiskripsikan dan menginterpretasikannya. Berbagai upaya
telah saya lakukan untuk menetralisir unsur subyektif ini, yaitu
misalnya menggunakan berbagai sisi pandang atau multi-disiplin

(prinsip trianggulasi) untuk menghasilkan analisis yang komprehensif.
M eskipun demikian, semua itu tetap mengandung berbagai
kekurangan, kelemahan dan bahkan mungkin kesalahan.
294

Epilog: Pergi untuk Kembali

Seksi kedua bab ini mendiskusikan implikasi dari berbagai
temuan yang dihasilkan oleh penelitian ini. Implikasi yang dirumuskan
merupakan kombinasi antara temuan penelitian dan kelemahan studi.
Implikasi studi ini kemudian dibedakan menjadi dua, yaitu implikasi
kebijakan dan implikasi bagi studi (penelitian) lanjutan. Yang pertama,
merupakan beberapa pemikiran yang direkomendasikan kepada para
pembuat kebijakan (Eksekutif & Legislatif) untuk dipertimbangkan
bagi revisi UU dan PP yang sudah ada. Yang kedua, yaitu penelitian
lanjutan, mengandung dua unsur, yaitu implikasi metodologis, yang
merupakan penelitian lanjutan berdasarkan kelemahan metodologi
yang teridentifikasi dalam studi ini, dan implikasi teoritis, yang
merupakan rekomendasi untuk studi lanjutan berdasarkan proposisi
dan atau hipotesis yang dirumuskan atau ditemukan dalam studi ini.

Akhirnya, bab ini ditutup dengan semacam ungkapan
“Berpisah untuk Berjumpa” atau “Pergi untuk Kembali”. Penelitian,
apalagi di bidang yang kontroversial seperti Perilaku M emburu Rente
(PM R) yang disederhanakan dan dipersempit (tetapi tidak terbatas)
menjadi Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) ini tampaknya tidak
akan pernah terpisah dari kehidupan manusia yang berupaya untuk
“selalu memperbaiki tingkat kesejahteraannya”.

T EM UAN EM PIRI S
Seperti diuraikan dalam alinea sebelumnya, seksi temuan
empiris ini memunculkan kembali hubungan antara tujuan penelitian,
berbagai cara pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan (tujuan)
penelitian, dan ditambah dengan hasil atau temuannya. Temuan yang
sebenarnya telah diuraikan dalam bab 4 sampai bab 8 itu di sini
diringkas, untuk diambil sarinya, ke dalam tabel 10.1, dan dijabarkan
secara garis besar sebagai berikut.

M odal Sosial

M odal Sosial Kognitif, khususnya perasaan saling percaya

(trust) antar warga masih relatif tinggi, meskipun cenderung menurun.
295

PARASIT PEMBANGUNAN

Saling ketergantungan (saling percaya) antar tetangga terjadi terutama
dalam persoalan-persoalan sosial umum, seperti menjaga keamanan
lingkungan, membantu warga yang punya hajat maupun yang sedang
tertimpa kemalangan (kecelakaan, sakit dan kematian). Singkatnya,
komunitas ini memiliki modal sosial pengikat (bonding social capital)
yang masih kuat.
M odal Sosial Strukturalnya juga baik, dalam arti masyarakat
cenderung menyerahkan berbagai urusan sosial, bahkan pribadi,
kepada para pemimpin struktural. Di aras kampung inilah masyarakat
mengharapkan para pemimpin formal yang dipilih benar-benar
menjadi ‘pelayan’ untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan
mereka. Tetapi justru di sini pulalah ironi itu terjadi. Beberapa kasus
yang diungkap menunjukkan bahwa para pemimpin formal cenderung
menyalah-gunakan harapan warga demi kepentingan mereka sendiri.
Oleh karena itu di tabel 10.1 disebutkan bahwa modal sosial struktural

(bridging social capital) komunitas ini masih relatif bagus, tetapi
cenderung menurun karena disalahgunakan oleh para elit.
Aksi bersama umumnya dilakukan untuk kebersihan
lingkungan, perbaikan atau pembangunan infrastruktur kampung.
Aksi-aksi bersama belum dilakukan untuk secara langsung
memperbaiki kesejahteraan bersama, seperti Koperasi Komunitas.
Kecenderungan yang terjadi justru berkembangnya inisiatif pribadi
untuk membuka usaha keluarga. Akibatnya, manfaat yang diperoleh
hanya dinikmati oleh para warga yang memiliki sumberdaya (ekonomi
maupun manusia), sedangkan mereka yang paling rentan tidak bisa
ikut menikmati buah dari pembangunan itu. Jadi, modal sosial
komunitas sesungguhnya belum cukup kuat untuk mengangkat harkat
hidup anggota komunitas dari kerentanannya.

296

Epilog: Pergi untuk Kembali

Tabel 10.1. Tujuan Penelitian, Cara Mengumpulkan Data dan Temuan Studi
TUJUAN


CARA M ENGUMPULKAN
D ATA

H ASI L STUDI

Modal Sosial

Survei Komunitas &
Survei Rumahtangga

 Modal sosial kognitif (bonding social
capital) bagus;
 Modal sosial struktural (bridging social
capital) bagus cenderung menurun
karena disalahgunakan oleh para elit.

Pengetahuan,
Sikap &
Praktik KKN


Diskusi Kelompok
Terfokus (FGD)

 Pengetahuan KKN: bervariasi menurut
pendidikan dan pergaulan;
 Sikap terhadap KKN: bervariasi
menurut pekerjaan dan pengalaman;
 Praktik KKN: semua pernah
melakukan KKN.

Proses KKN

FGD, W awancara
Mendalam & Observasi
Langsung

 Menurunkan prosedur operasi standar;
 Menurunkan standar kualitas;
 Membatasi partisipan dengan berbagai

cara.

Alasan KKN

FGD & Wawancara
Mendalam

 Mempertahankan hidup (survival);
 Kenyamanan hidup (comfort/
convenience);
 Kenikmatan hidup (pleasure/ greeds)

Dampak
KKN

Observasi Langsung &
Data Sekunder

Salah kaprah di aras:
 Mikro: kriwik’an atau bocor atau cacat

(defect);
 Meso: benthet atau retak (cracking);
 Makro: grojogan atau banjir atau pecah
(crushed)

Pengetahuan, Sikap dan Praktik KKN

FGD tentang Pengetahuan, Sikap, dan Praktik (PSP) atau
Knowledge, Attitude, and Practice (KAP) terhadap KKN
mengidentifikasi bahwa pendidikan dan pergaulan (hubungan sosial
atau lebih tepatnya modal sosial) tampak berperan penting dalam
menentukan pengetahuan orang itu terhadap istilah KKN. Seseorang
yang berhubungan sosial secara luas, dalam arti memiliki pergaulan
sosial secara luas, bisa menginternalisasi wacana terbaru (misalnya
297

PARASIT PEMBANGUNAN

KKN) yang sedang menjadi diskursus di tengah komunitas yang
berjejaring itu. Akibatnya, orang semacam itu lebih tahu yang

dimaksud dengan KKN daripada orang lain, yang meskipun memiliki
tingkat pendidikan lebih tinggi tetapi kurang berjejaring secara luas.
Kemudian, pekerjaan dan pengalaman hidup mewarnai sikap
mereka terhadap KKN itu. M ereka yang bekerja di luar rumah
cenderung bersikap positif atau pro terhadap KKN. Demikian pula
mereka yang pernah terlibat dengannya, atau bahkan diuntungkan
oleh perilaku itu, cenderung setuju atau pro atau sekurang-kurangnya
‘tergantung situasi dan kondisi’ yang dihadapi. Sebaliknya, mereka
yang belum pernah bersentuhan dengannya, cenderung anti KKN.
M enariknya, semua partisipan FGD pernah melakukan KKN,
terlepas dari umur, pendidikan, pekerjaan maupun bervariasinya sikap
mereka. Para tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi panutan,
seperti para pemimpin formal, guru, serta pemuka agama, pun pernah
melakukan KKN dan tidak ada indikasi bahwa mereka ingin
menghentikan praktik seperti itu, ketika menghadapi situasi yang
perlu, atau terpaksa harus, diselesaikan dengan cara KKN. M elalui FGD
ini diperoleh 3 konsep penting yang menjadi komponen PM R (KKN),
yaitu sikap permisif (permissiveness), ketidakpedulian (ignorance), dan
ketidakberdayaan (disableness atau powerlessness).
M elalui FGD ini juga muncul 2 kategori pemburu rente, yaitu
aktif, bagi mereka yang memanfaatkan sistem untuk memperoleh
keuntungan, dan pasif, bagi mereka yang terpaksa melakukan itu
karena dipaksa oleh sistem. M eskipun demikian, pembedaan antara
PM R aktif dan pasif ini semakin lama semakin kabur, karena ada
kekuasaan monopoli yang dipaksakan oleh “mafia” dalam praktik
pengadaan barang dan atau jasa di semua ranah, khususnya negara,
publik, dan pasar, telah mengubah cara pandang masyarakat dari
‘dipaksa’ dan ‘terpaksa’ menjadi ‘terbiasa’.

298

Epilog: Pergi untuk Kembali

Proses M emburu Rente

Perilaku memburu rente dilakukan oleh individu di aras mikro
berdasarkan kebiasaan generasi sebelumnya dan terutama respons
masyarakat sekitarnya. Ketika para tetangga mendiamkannya, maka
perilaku itu dilakukan terus, meskipun merugikan para tetangganya.
Pada aras meso dan makro juga demikian, para agensi berperilaku
berdasarkan kebiasaan dan respons lingkungan. Yang berbeda di kedua
aras ini dari aras mikro adalah terjadinya kerjasama antara berbagai
agensi untuk memperoleh rente itu, melalui pengadaan barang dan
atau jasa bagi yang membutuhkan. Proses memburu rente itu sering
menggunakan salah satu atau kombinasi antara berbagai modus
berikut.
1. M engkamuflasekan prosedur operasi standar (SOP);
2. M enurunkan standar kualitas barang dan atau jasa; dan
3. M embatasi partisipan.
Ketiga modus ini sesungguhnya merupakan komponen pasar gelap
(black market) atau ekonomi bawah tanah (underground economy).
Yang pertama tampak dalam pengadaan barang dan atau jasa,
lebih khusus lagi lisensi, seperti SIM , ijasah, dan lain-lain. Seperti telah
diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, banyak SIM, ijasah sarjana dan
pasca sarjana, dan jenis lisensi lain, yang diterbitkan oleh agensi yang
diberi wewenang untuk itu, dengan cara mengkamuflase prosedur
operasi standarnya1. Yang kedua merupakan akibat dari modus yang
pertama. Ketika SOP-nya dijungkir-balikkan, maka kualitas barang dan
jasa yang dihasilkan atau disediakan sangat pantas diduga sebagai di
bawah standar. Yang ketiga berhubungan utamanya dengan proses
tender. M anuver kunci di dalam proses ini bisa dilakukan oleh 2 agensi
pokok, yaitu pemimpin proyek (tender) dan salah satu peserta tender.
Partisipan tender bisa dibatasi dengan berbagai cara apabila sudah
1 Dari pemerintahan otoriter Orde Baru kita belajar bahwa kebiasaan masyarakat atas
sesuatu sering berproses dari dipaksa – terpaksa – terbiasa. Salah satu contoh yang bisa
disebut di sini adalah praktik penggunaan alat kontrasepsi di pedesaan Indonesia yang
menurut pengamatan W arwick (1986) dibalik prosesnya dari KAP (Knowledge,
Attitude, Practice) menjadi PAK (Practice, Attitude, Knowledge).

299

PARASIT PEMBANGUNAN

terjadi kongkalikong (kerjasama) antara kedua agensi pokok dalam
lelang itu.

Alasan M emburu Rente

Berbagai alasan terjadinya perilaku memburu rente bisa dilihat
dari status sosial ekonomi (SSE) para pelaku memburu rente, dan atau
posisi mereka dalam transaksi. Karena SSE para pelaku memburu rente
itu mengikuti SSE masyarakat, yang terdiri dari rendah, menengah dan
atas, maka alasan perilaku memburu rente (PM R) juga bisa
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Bertahan hidup (survival);
2. Kenyamanan hidup (comfort atau convenience); dan
3. Kenikmatan (pleasure atau greeds).
Ketiga alasan ini oleh Congleton (1989) disebut sebagai status games,
yaitu permainan atau perilaku yang ditujukan untuk memperjuangkan
statusnya di dalam ruang sosial.
M emburu rente sebagai strategi bertahan hidup ini dilakukan
oleh 2 kelompok agensi, yaitu mereka yang miskin dan mereka yang
tidak berdaya melawan arus utama (mewakili sisi penawaran) dan
mereka yang terpaksa (mewakili sisi permintaan). Mereka yang miskin
memandang pekerjaan sebagai penjual jasa sebagai salah 1 cara untuk
bertahan hidup atau bahkan membebaskan diri dari kemiskinannya.
M eskipun demikian, dalam transaksi memburu rente, mereka adalah
pelaku aktif yang membuat transaksi bisa terjadi. Sedangkan mereka
yang terpaksa adalah agensi yang tidak punya pilihan jalan keluar
kecuali KKN (memburu ente), seperti ditangkap polisi di jalan,
membayar persen (suap) untuk mencairkan anggaraan proyek
pengadaan barang dan atau jasa.
Di sini perlu disadari terjadinya evolusi perilaku dari dipaksa,
terpaksa dan terbiasa, seperti yang disebutkan dalam catatan kaki #1 di
halaman sebelumnya. Kesalahan pertama bisa terjadi karena dipaksa,
kesalahan yang sama bisa berulang karena terpaksa, kesalahan
300

Epilog: Pergi untuk Kembali

berikutnya akhirnya dilakukan karena terbiasa. Ketika berbagai
kesalahan dilakukan secara berulang dan terus menerus, maka yang
terjadi adalah salah kaprah. Evolusi itu juga terjadi pada alasan perilaku
memburu rente itu, yaitu dari tujuan untuk bertahan hidup naik
tingkat menjadi memperjuangkan atau mempertahankan kenyamanan
dan akhirnya memburu kenikmatan, ketika proses memburu rente itu
digambarkan dalam jangka panjang sebagai kontinum, dengan asumsi
ceteris paribus.
Perilaku memburu rente untuk kenyamanan dan kenikmatan,
tentu saja, tidak dilakukan dalam keadaan terpaksa. Dari sisi
penawaran, para pelaku dengan sadar mendesain proses pengadaan
barang dan atau jasa, seperti diuraikan pada subseksi sebelumnya,
untuk memperoleh rente bagi kenyamanan dan kenikmatan mereka.
Dilihat dari SSE-nya mereka ini masuk dalam kelas menengah dan atas,
oleh karena itu yang paling menonjol justru unsur ketamakan atau
kerakusannya. Demikian juga dari sudut permintaan, keterlibatan
mereka dalam perilaku memburu rente didasarkan pada alasan
pragmatis dengan 3 kata kunci, yaitu “enak, mudah, dan cepat”, apalagi
kalau ditambah dengan bonus “murah”.
Para pihak yang terlibat dalam transaksi memburu rente bisa
berdalih macam-macam, tetapi muara dari semua itu adalah alasan
pragmatis. Alasan pragmatis itu bisa diwakili oleh tiga kata yang sudah
disampaikan sebelumnya, yaitu ‘mudah, cepat dan enak’. Dari sudut
permintaan, pencari barang dan atau jasa mendapatkan kemudahan
untuk memperolehnya dan dalam hidup sehari-hari, barang dan atau
jasa itu telah memudahkan mereka untuk melakukan aktivitas masingmasing. Dari sudut penawaran, para pemburu rente mendapatkan
kemudahan dalam meningkatkan taraf hidupnya sendiri, keluarga inti
dan kelompoknya.

Dampak M emburu Rente

Seluruh perilaku memburu rente (KKN) yang terjadi di tengah
masyarakat tentu saja memiliki dampak yang luas, baik di aras mikro,
meso, maupun makro, seperti sudah diuraikan berulang-ulang dalam
301

PARASIT PEMBANGUNAN

beberapa bab sebelumnya. Semua dampak negatif itu, seperti
ditunjukkan dalam tabel 10.1, bisa dianalogikan sebagai barang atau
benda, yang dijelaskan dalam uraian berikut. Di aras mikro, perilaku
memburu rente bisa diandaikan sebagai bendungan yang bocor, dalam
bahasa Jawa disebut kriwikan, atau sebagai barang atau benda adalah
benda yang cacat (defect). Karena dianggap kecil, ia tidak diperhatikan
atau bahkan diabaikan. Kesalah-kaprahan yang dilakukan oleh 1 atau
sedikit orang, seperti membakar sampah, melepasliarkan hewan
piaraan, naik kendaraan bermotor bagi anak di bawah umur, tinggallah
sebagai tindakan salah kaprah. Kerusakannya kecil, sehingga bisa
diabaikan.
Dalam aras yang lebih besar (meso), kebocoran atau kriwikan
itu tentu semakin besar, sebagai efek akumulasi, menjadi benthet atau
retak (cracking). Ingat dalam bab 9 disebutkan bahwa perilaku yang
mengutamakan ‘enak, mudah dan cepat’ itu bersifat menular, maka
pada aras meso ini tingkat kerusakannya semakin membesar dan sudah
sangat signifikan untuk diatasi. Namun, karena para elit aras ini sibuk
dengan urusan sendiri atau bahkan, dalam studi ini, menjadi pelaku
perusakan (memburu rente) itu, maka kerusakan akibat PM R itu
cenderung diabaikan juga.
Akhirnya, kriwikan pada aras mikro atau benthet di aras meso
itu semakin besar menjadi grojogan atau hancur berkeping-keping
(crushed) di aras makro. Kalau sudah demikian, maka alasan
keberadaan dari berbagai komponen di masing-masing ranah,
khususnya departemen di ranah negara dan berbagai ormas di ranah
publik, untuk mencapai tujuan masing-masing akan menjadi korban.
Ketika berbagai cara untuk mencapai tujuan telah dibajak oleh mafia
pemburu rente, maka tujuan bersama menjadi korban, sebaliknya
tujuan para pemburu rentelah yang tercapai. Hal ini sesuai dengan
metafora benalu di dalam bab 9 bahwa PM R adalah pembajak atau
parasit pembangunan, karena mereka telah membelokkan tujuan
bersama ke arah tujuan mereka sendiri.

302

Epilog: Pergi untuk Kembali

I M PLIKASI
Studi ini telah menunjukkan bahwa perilaku memburu rente
telah, sedang, dan tampaknya akan terus dilakukan oleh berbagai
agensi (individu, perusahaan, lembaga) di semua ranah (sphere)
masyarakat sipil, baik di ranah negara, pasar, publik maupun privat.
Perilaku ini berdampak pada keuntungan, baik materiil (uang atau
barang) maupun non-materiil (pekerjaan atau keringanan/pembebasan
hukuman), bagi mereka, tetapi merugikan masyarakat atau
kepentingan umum. M anufer berbagai agensi dari ranah privat dan
pasar untuk mempengaruhi para agensi di ranah publik dan ranah
negara, sering kali disertai dengan tiga unsur penting, yaitu suap,
persekongkolan atau kongkalikong, dan mengutamakan saudara,
teman, dan kelompok, atau secara populer disebut sebagai Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Implikasi Kebijakan

Setelah studi ini menemukan sesuatu atau merasa menemukan
sesuatu, seperti diungkapkan pada bab-bab sebelumnya dan diulas
kembali dalam seksi sebelumnya, pertanyaan berikut yang sering
muncul adalah “selanjutnya apa”? Seksi berikut adalah upaya untuk
menjawab pertanyaan ini.
KKN ini, seperti sudah kita ketahui, ada aturan hukumnya,
yaitu UU No 31 Tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No 20 Tahun
2001 (sebagai kompromi atau produk dari tiga ranah – pasar, publik
dan negara). Oleh karena itu, solusi yang diperlukan adalah
mengimplementasikan aturan hukum itu dengan tegas, adil, tanpa
pandang bulu. Apabila ada kekurangan atau kelemahan atau
ketidaksesuaian antara aturan hukum yang ada dengan perkembangan
aspirasi dan praktik terkini, maka para agensi dari ketiga ranah itu bisa
duduk kembali untuk mendiskusikan dan merumuskan aturan main
baru untuk merevisi UU sebelumnya, menjadi UU yang baru.

303

PARASIT PEMBANGUNAN

Namun, masyarakat umum sudah menyadari bahwa penyebab
utama dari tingginya tingkat korupsi di negara ini (ranking 118 dari
174 negara di tahun 2012) adalah rendahnya kesadaran dan ketaatan
hukum para penyelenggara negara. Budiarto Shambazy (2013)
menggambarkan para parasit itu ke dalam anekdot ‘trias corruptica’,
dengan memodifikasi sebutan 3 cabang kekuasaan negara itu menjadi
‘legisla-thieves, execu-thieves, dan judica-thieves’. Hal ini menandakan
bahwa masalahnya justru terletak pada kualitas aparat negaranya. Di
dalam banyak kasus, para birokrat negara tidak jarang justru menjadi
pemeras atau parasit bagi masyarakat yang seharusnya diabdi. M ereka
menjadi seperti pagar makan tanamannya sendiri. Piliang (2013)
memberi nama Parasit Hukum bagi para hakim yang telah terbukti
memperjual-belikan keadilan, seperti mantan Ketua M ahkamah
Konstitusi yang ditangkap tangan oleh KPK pada awal Oktober 2013
lalu.
Oleh karena itu, resolusi yang bisa ditawarkan, atau lebih
tepatnya, yang bisa diingatkan adalah sebuah resolusi normatif (atau
barangkali bisa dianggap sebagai lib service, karena semua orang sudah
tahu), yaitu:
Pertama, “hancurkan lingkaran setan KKN”, melalui salah satu
alternatifnya, yaitu sistem rekrutmen aparat negara dan para
pejabatnya secara obyektif dan transparan berdasarkan asas
meritokrasi, yang harus bebas dari KKN pula. Di sini diperlukan
pemimpin yang tegas, jujur, bersih, kreatif dan bebas dari kepentingan
kelompok primordial tertentu. Sistem lelang jabatan seperti yang
dipraktikkan di DKI Jakarta adalah salah 1 contoh, yang telah
menghasilkan para pejabat yang lebih baik kinerjanya daripada para
pejabat yang dipilih dengan cara sebelumnya.
Kedua, berbagai lembaga negara seperti Polisi Republik
Indonesia (Polri) perlu ditinjau ulang tugas pokok dan fungsinya. Ia
sebagai bagian dari eksekutif ataukah bagian dari yudikatif. Kalau
diberi peran ganda, seperti sekarang ini, maka lembaga ini, melalui
pencetakan SIM khususnya, telah menciptakan rantai produksi dan
penghasilan untuk dirinya sendiri. Apabila ia sebagai salah satu
penegak hukum (yudikatif) seyogyanya tidak diberi wewenang untuk
304

Epilog: Pergi untuk Kembali

melakukan tugas eksekutif, seperti menerbitkan SI M dan mengurus
berbagai perlengkapan kendaraan bermotor. Di Australia tugas ini
dilakukan oleh Department of Road and Transport atau Departemen
Perhubungan di Indonesia. Kepolisian, sebagai lembaga negara,
termasuk Korlantas (Korps Lalu Lintas) di dalamnya, semestinya
bertindak sebagai penegak hukum lalu lintas saja.
UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan,
yang kini sedang berlaku, juga memberi kekuasaan ‘mutlak’ kepada
Polri untuk menyusun berbagai Peraturan Kapolri yang belum diatur
secara jelas dalam UU itu. Salah 1 blunder yang tampaknya sengaja
dimasukkan dalam UU ini adalah Pasal 81(5): c, tentang syarat lulus
ujian (SIM ) adalah [a] ujian teori, [b] ujian praktik, dan/atau [c] ujian
keterampilan melalui simulator. Ujian teori dan praktik untuk
mendapatkan SIM adalah proses universal di semua negara, dan
keduanya, kalau dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sudah cukup
untuk menguji keterampilan atau kompetensi para pemohon.
Ketiga, kalau tidak mungkin untuk menempatkan Polri ke
Bidang Yudikatif dan membebaskannya dari tugas-tugas eksekutif,
maka sistem penerbitan SIM harus direkayasa sedemikian rupa supaya
SIM yang diterbitkan benar-benar menjadi artefak anti korupsi seperti
diungkapkan oleh Sarwono (2013). Sayangnya, hal ini bisa tercapai,
jika dan hanya jika, para aparat yang bertugas untuk memroses
pencetakan SIM tidak terkontaminasi oleh mental calo seperti yang
sekarang mendominasi proses itu.

Implikasi M etodologis

Secara metodologis, studi ini masih mengandung banyak
kekurangan dan kelemahan. Hal ini ditunjukkan di sini untuk
memudahkan para peneliti lain untuk memperbaikinya bagi studi
mereka di masa depan. Seperti diketahui, metode pengumpulan dan
analisis data seperti yang telah dipaparkan dalam bab 3 merupakan
campuran antara metode deduktif kuantitatif dan metode induktif
kualitatif. M etode yang pertama berbentuk Survei Komunitas dan
Survei Rumahtangga, sedangkan metode induktif kualitatif diwakili
305

PARASIT PEMBANGUNAN

oleh Diskusi Kelompok Terfokus, W awancara M endalam, dan
Observasi Langsung maupun Observasi Partisipatif. Semua cara itu
telah dilakukan seteliti dan sehati-hati mungkin untuk memperoleh
informasi yang akurat. Namun, kami menemui beberapa kelemahan
yang bisa diperbaiki dalam penelitian selanjutnya.
Data tentang modal sosial, misalnya, yang berhubungan dengan
Profil Rumahtangga dan Profil Lembaga dikumpulkan melalui nonrandom survey, yaitu berdasarkan accidental sampling atau
convenience sampling. Anggota komunitas yang dicacah hanyalah
rumahtangga yang berhasil ditemui oleh para asisten peneliti selama
bulan Juni 2010. M etode pengumpulan data dengan cara ini, meskipun
justified menurut konteks waktu dan tempat, memiliki kelemahan
dalam memenuhi unsur data yang baik, yaitu acak (random) dan
mewakili semua unsur (representative). Akibatnya, studi ini hanya
mampu menghasilkan beberapa indikasi, bukan generalisasi, tentang
modal sosial komunitas.
Usulan resolusi bagi penelitian selanjutnya adalah [1] apabila
tetap menggunakan survei, kiranya lebih baik apabila menggunakan
teknik sampling yang mengakomodasi kedua unsur keacakan
(randomness) dan keterwakilan (representativeness), seperti sampling
acak sistematis (systematic random sampling); [2] sensus rumahtangga
adalah resolusi yang paling baik bagi pengumpulan data, khususnya di
suatu komunitas yang tidak terlalu besar. Sensus ini akan
membebaskan data dari adanya kesalahan sampling (sampling error),
apalagi kalau data itu kemudian akan dianalisis secara kuantitatif.
M asih berhubungan dengan metodologi, banyak pertanyaan
dalam studi ini yang tidak berisi jawaban. M eskipun demikian,
kekosongan ini tidak mengorbankan tujuan penelitian, tetapi
mengindikasikan hal lain. Seperti pernah disebutkan, penelitian ini
tidak saya awali dengan survei pendahuluan (pilot survey). Pada hal ia
berguna untuk berbagai manfaat. Pertama, untuk mempraktikkan dan
meningkatkan penguasaan asisten peneliti terhadap Daftar Pertanyaan
sebagai instrumen penelitian. Kedua, yang ini tidak kalah penting dari
manfaat pertama, adalah membatasi pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan tujuan penelitian. Hal ini berhubungan dengan
306

Epilog: Pergi untuk Kembali

persoalan efisiensi dengan prinsip bertanyalah hanya tentang informasi
yang dibutuhkan, tidak lebih tidak kurang. Ketiga, pilot survey juga
bermanfaat untuk merumuskan berbagai kode terhadap alternatif
jawaban yang kelak digunakan untuk proses pengolahan data, mulai
dari pemberian kode (coding), mengentri data (entrying),
membersihkan data (cleaning), dan analisis (analysing). Implikasi dari
kelemahan ini kiranya jelas, yaitu selalu dimulai dengan penelitian
pendahuluan (pilot survey) untuk melancarkan proses penelitian.
Prinsip trianggulasi sumber dalam studi ini kurang terpenuhi
secara optimum, karena tidak semua pemangku kepentingan (stake
holders)
berhasil
diwawancarai.
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan pendidikan di bawah standar yang ditetapkan oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, misalnya, sebaiknya tidak hanya diteliti dari sudut
pandang beberapa lulusan dan beberapa pengajar, tetapi juga pimpinan
dan pengurus yayasannya.
Resolusi yang bisa saya usulkan bagi penelitian selanjutnya
adalah memetakan dan mewawancarai wakil dari semua pemangku
kepentingan. Bahkan, apabila memungkinkan, peneliti juga perlu
mewawancarai komponen masyarakat yang pro maupun kontra
terhadap fenomena yang sedang diamati. Dengan cara demikian
pendapat, sikap maupun praktik dari semua pemangku kepentingan di
dalam suatu fenomena yang diamati bisa menghasilkan gambaran yang
lebih holistik.
Kemudian, diskusi kelompok terfokus (FGD) maupun
wawancara mendalam yang dilakukan dalam studi ini sangat bias
jender, karena yang dijadikan partisipan hanyalah bapak-bapak. Saya
pun menyadari bahwa secara tidak sengaja telah terbawa arus
pemikiran warga komunitas yang masih sangat feodal/patriarki ini.
Akibatnya, informasi yang diperoleh pun sangat patut diduga masih
bias jender pula. Kesadaran ini, meskipun baru muncul belakangan,
telah membuat studi ini mengandung salah satu kelemahan penting,
yaitu telah mengabaikan peran wanita di dalam perilaku memburu
rente atau KKN, secara khusus dan pembangunan komunitas secara
umum.
307

PARASIT PEMBANGUNAN

Implikasi bagi penelitian selanjutnya kiranya jelas, bahwa
wanita harus dimasukkan sebagai partisipan yang sama pentingnya
dengan laki-laki. Terlebih lagi, apabila kesetaraan jender belum terjadi
di tengah komunitas yang diteliti, FGD terpisah perlu diadakan khusus
untuk para partisipan wanita. Hal ini seirama juga dengan
perkembangan sistem pencari penghasilan rumahtangga yang telah
bergeser dari satu orang pencari nafkah (single bread winner system)
menjadi dua orang pencari nafkah (double bread winner system).
Selanjutnya, prinsip metode campuran (mixed methods) antara
deduktif kuantitatif dan induktif kualitatif dalam studi ini kiranya baru
kelihatan dalam metode pengumpulan data, belum ditunjukkan dalam
metode analisis datanya. Oleh karena itu, bagi penelitian selanjutnya
sangat dianjurkan, sedapat mungkin, untuk menggabungkan kedua
metode ini. Konsekuensinya, cara berfikir holistik (menyeluruh) harus
sudah diterapkan di dalam proses penelitian, mulai dari pra-proposal,
proposal, pengumpulan data, pengolahan data sampai dengan
analisisnya. Saya meyakini bahwa metode campuran ini tidak hanya
akan memperkaya referensi bagi seluruh anggota komunitas ilmiah
dalam memahami fenomena apa pun yang diamati, tetapi juga bisa
membantu menyatukan kembali dua mazhab (yang saling mengklaim
dirinya paling ilmiah dan paling penting), yang telah dipisahkan oleh
tembok egoisme masing-masing. Bukankah keduanya merupakan dua
sisi mata uang dari satu koin yang sama?

Implikasi Teoritis

Terlepas dari berbagai kelemahan studi, interpretasi kami
terhadap data empiris dalam studi ini telah menghasilkan beberapa
proposisi atau hipotesis atau konsep berikut, yang perlu untuk
ditindaklanjuti juga dengan penelitian lebih lanjut:
Klasifikasi Pemburu Rente. Ketika menggali pengetahuan, sikap dan
praktik para partisipan FGD dalam KKN atau PM R, dan mendalami
lebih lanjut melalui wawancara mendalam dengan beberapa
narasumber, studi ini mulai mengenali adanya hubungan patron-klien
dalam PM R. Patron mewakili sisi penawaran, sedangkan klien
308

Epilog: Pergi untuk Kembali

mewakili sisi permintaan. Kemudian, tatkala menelusuri berbagai
proses memburu rente melalui FGD, wawancara mendalam, dan
pengamatan langsung, studi menguatkan hubungan patron-klien itu.
Patron adalah pihak yang berkuasa untuk menentukan bagaimana
aturan main itu dilakukan, dan klien adalah pihak yang tidak bisa
memilih kecuali mengikuti apa yang dikehendaki oleh patron. Relasi
kekuasaan yang tidak seimbang antara patron dan klien dalam proses
memburu rente ini kemudian kami kategorikan ke dalam pemburu
rente aktif (patron) dan pemburu rente pasif (klien).
Pemburu rente aktif adalah pihak yang mendesain bagaimana
transaksi itu terjadi dan menjadikan pemburu rente pasif menghadapi 2
pilihan dikotomis yang tidak seimbang, antara cepat atau lama, mudah
atau sulit, dan enak atau susah. Karena pilihannya ada 2 antara ‘cepat,
mudah, enak’ versus ‘lama, sulit, susah’, maka klien cenderung untuk
mengambil pilihan pertama. M enurut prosedur operasi standar (SOP)
proses pengadaan barang dan atau jasa itu seharusnya hanya 1 skenario,
yaitu relatif lebih ‘lama, sulit dan susah’. Para patron sebenarnya
terikat pada sumpah untuk melaksanakan proses pengadaan barang dan
atau jasanya menurut SOP, tetapi karena mereka memiliki pamrih atau
dalam bahasa Jawa melik, dan melik iku nggendhong lali (pamrih itu
membawa lupa), maka para patron itu melupakan sumpahnya dan
melaksanakan pekerjaan mereka di bawah SOP.
Pertanyaan yang kemudian muncul di sini adalah ‘apakah
perilaku memburu rente ini terjadi di keempat ranah yang dirumuskan
oleh Janoski (1998) itu”. Studi ini menjawab “ya”, paling tidak di 3
ranah, yaitu negara, publik dan pasar. Bab 1 telah menunjukkan bahwa
kesalahkaprahan yang berhubungan dengan perilaku KKN atau PM R
terjadi di ranah negara, publik dan pasar. Bab 5 sampai bab 8 tidak
hanya mengungkap terjadinya KKN atau PM R di ranah negara, publik,
dan pasar, tapi juga di ranah privat, seperti ditunjukkan dalam tabel
10.2.

309

PARASIT PEMBANGUNAN

Tabel 10.2. Klasifikasi Pemburu Rente menurut Modus dan Ranah

M ODUS\PELAKU
A KTI F
PASI F

RANAH (SPHERE) MENURUT JANOSKI (1998)
N EGARA
PUBLI K
PASAR
PRI VAT
(STATE)2
(PUBLI C)3
(M ARKET)4
(PRI VATE)5









Sumber: Ditabulasi-silangkan dari Gambar 1.1 (Janoski, 1998).
Kelompok minoritas memiliki modal sosial lebih tinggi daripada
kelompok mayoritas. Ketika sedang berupaya untuk mencari penjelas
mengapa ada sedikit orang yang bersikap anti KKN dan belum pernah
melakukannya, studi ini mengidentifikasi adanya kelompok-kelompok
di dalam masyarakat. Agensi dari kelompok minoritas cenderung
memiliki modal sosial baik (good social capital) yang lebih tinggi
daripada agensi dari kelompok mayoritas. Hal ini mungkin
berhubungan dengan mentalitas ‘aji mumpung’ para elit dari kelompok
mayoritas untuk mendapatkan kekuasaan (politik dan ekonomi) bagi
dirinya dan kelompoknya, dengan mengabaikan atau bahkan
menyingkirkan kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas
mungkin menyadari keminoritasannya sehingga memacu mereka
untuk lebih terlibat dalam kelompoknya dan menekankan diri kepada
kualitas hidup. Studi sebelumnya di komunitas lain juga menengarai

2 The state sphere involves legislative (law making), executive (law implementing), and
judicial (law and constitution evaluating) (1998: 12).
3 Public sphere is the most important but difficult item to classify because it involves a
wide range of organizations. There are at least 5 types of voluntary associations
operating in the public sphere: political parties, interest groups, welfare associations (a
complex category in its own right), social movement, and religious bodies (1998: 14).

The market sphere consists of private and a few public organizations that are angaged
in the instrumental creation of income and wealth through the production of goods
and services. This includes private firms and corporations engaged in business
activities, and necessarily this also includes institutions that are directly involved in
this process. It also includes stock markets, employer federations, professional
associations, consumer groups, and the trade unions (1998: 14).

4

The private sphere consists of family life, networks of friends and acquaintances, and
the disposition of personal property (1998: 12).

5

310

Epilog: Pergi untuk Kembali

bahwa kelompok minoritas cenderung memiliki modal sosial yang
lebih tinggi daripada kelompok mayoritas (Setyaningrum, 2013).

Perilaku memburu rente sebagai perjuangan status (status game).
M engamati berbagai agensi pemburu rente, terutama dari sudut
pandang status sosial ekonomi (SSE) mereka, studi ini melihat bahwa
keterlibatan mereka dalam PM R didorong oleh gradasi keinginan
untuk tetap hidup (survival), kenyamanan (comfort), atau kenikmatan
(pleasure). Jadi, PM R sebenarnya dilakukan untuk memperjuangkan
status (status game). Dalam perjuangan mereka itu para agensi (dalam
ranah privat, negara, publik dan pasar) cenderung berpikir, bersikap
dan bertindak hedonis, yaitu lebih mementingkan yang ‘Enak, M udah,
dan Cepat ’, daripada mendahulukan yang ‘Baik dan Benar ’ menurut
aturan main. Prinsip ‘enak, mudak dan cepat’ ini didukung oleh
sekurangnya 3 konsep, yaitu permisif terhadap kesalahan (permissive),
mengabaikan aturan main dan orang-orang atau pihak yang dirugikan
(ignorance), sekaligus menggiring pihak lain menjadi pihak yang lemah
(disable atau powerless) seperti dalam hubungan patron – klien.
Proposisi ini, menurut saya, menjadi penjelas penting bagi
menjamurnya perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di
Kampung Papringan maupun Kota Adikarta. Oleh karena itu, banyak
penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi atau
menegasi proposisi ini.

Perilaku memburu rente berefek menular. Berhubungan dengan
proposisi sebelumnya dan dalam upaya untuk menelusuri proses,
alasan, dan dampak perilaku memburu rente, studi ini berpendapat
bahwa perilaku memburu rente berefek menular (demonstration
effects). Setiap orang terpapar terhadap cara yang ‘enak, mudah, dan
cepat’ dalam mencapai sesuatu. Prinsip ‘tujuan menghalalkan cara’ ini
cenderung membangkrutkan negara melalui berbagai proses
penyelenggaraan negara yang justru dilumuri oleh kekotoran praktik
perburuan rente atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme itu.
Kesalahkaprahan dalam perilaku memburu rente ini adalah kriwikan
311

PARASIT PEMBANGUNAN

yang semakin membesar dan dalam jangka panjang akhirnya menjadi
grojogan.

Perilaku memburu rente sebagai masalah kelembagaan. Studi ini telah
mengenali bahwa perilaku memburu rente telah terjadi dalam jangka
panjang, mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan, Orde Lama,
Orde Baru, sampai Orde Reformasi sekarang ini. Salah satu persamaan
yang diperjuangkan oleh masyarakat dari berbagai jaman itu adalah
perjuangan untuk memperbaiki status, melalui penguasaan berbagai
jenis modal, yang oleh Bourdieu dibedakan menjadi modal ekonomi
(uang dan harta), modal sosial, modal budaya dan modal simbolik
(pendidikan).
Apabila status itu menjadi tujuan tertinggi yang diperjuangkan
oleh setiap orang, maka bisa dimengerti kalau status itu menjadi salah 1
nilai dalam budaya masyarakat. PM R sebagai perjuangan untuk
bertahan (survival), hidup nyaman (comfort), dan nikmat (pleasure)
adalah perjuangan demi status itu. Karena semua orang, di semua ranah
berjuang demi status, maka hampir semua orang menjadi permisif
terhadap berbagai cara (termasuk memburu rente) untuk mencapai
status itu, abai terhadap dampak yang ditimbulkan, termasuk membuat
orang lain tidak memiliki otonomi untuk memilih. Dengan demikian,
status yang diperlakukan sebagai nilai ini menjadi bagian dari budaya.
Kalau budayanya sudah memuja status yang berarti memuja keindahan
(estetika), maka berbagai cara akan terbuka untuk digunakan
menyusun berbagai peraturan perundang-undangan, yang secara
normatif seharusnya untuk kebaikan bersama, tetapi secara khusus
memberikan keuntungan kepada orang-orang atau kelompok orang
atau lembaga tertentu. Orang-orang menjadi permisif terhadap
penurunan atau bahkan penghilangan prosedur operasi standar,
penurunan standar kualitas barang dan atau jasa yang digunakan untuk
menghasilkan barang dan atau jasa yang dihasilkan, pembatasan
partisipan dalam tender pengadaan barang dan atau jasa.

312

Epilog: Pergi untuk Kembali

Uraian di atas, yang diringkas kembali dari bab 9, adalah suatu
cara pandang yang ditawarkan oleh studi ini untuk memahami
perilaku memburu rente. Cara pandang ini merupakan varian dari
konsep W illiamson (2000), yang membagi kelembagaan menjadi 4
level. Studi ini, secara eksplisit, memisahkan antara aras teknis (how
things done), aras politis (rule of the game), dan aras sosial budaya
(norms, values, taboos, beliefs) dalam memahami berbagai fenomena
sosial, khususnya perilaku memburu rente yang melibatkan berbagai
agensi di semua ranah. Oleh karena itu, studi selanjutnya perlu
mengkritisi
dan
memperbaiki
konsep ini
supaya dapat
dioperasionalisasikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, atau
sebaliknya dianulir dan dibuang ke tempat sampah.
Selanjutnya, seandainya kita ini benar-benar berada di dunia
neoklasik, maka manusia (di ranah privat dan di pasar) itu, semestinya
berfikir rasional dan bertindak demi kesejahteraannya sendiri (self
interested). Sedangkan berbagai agensi di ranah negara dan publik, di
sisi lain, diandaikan memiliki sifat benevolens, yang berpikir dan
bertindak untuk dan hanya demi kebaikan bersama. Tetapi, studi ini
telah menunjukkan bahwa negara dan publik ternyata tidak selalu
berpikir dan bertindak demi kebaikan bersama. Aktor-aktor dalam
kedua ranah ini, telah, sedang, dan tampaknya akan terus berperilaku
sebagai predator atau bahkan parasit bagi masyarakat untuk
kemakmuran diri dan kelompoknya. Dalam proses memburu rente itu
dipaparkan bahwa berbagai agensi (representasi dari aktor di 3 ranah)
mendesain sistem, tepatnya sistem alternatif, untuk memperoleh
penghasilan ekstra melalui rekayasa (kongkalikong) di aras teknis
(pelaksanaan), di aras politik (perumusan peraturan atau kebijakan),
dan bahkan di aras sosial budaya dengan menyalahgunakan budaya
(norma, nilai, kepercayaan, kebiasaan) sebagai sumber acuan untuk
keuntungan kelompoknya sendiri.
Ilustrasi di atas bisa digambarkan ulang menurut konsep
distribusi normal dalam ilmu statistik. Apabila suatu populasi itu kita
andaikan sebagai berdistribusi normal, maka kira-kira sekitar 10 – 15
persen di sebelah kiri adalah sub-populasi yang pro-KKN atau proPM R, 70 – 80 persen di bagian tengah adalah sub-populasi yang
313

PARASIT PEMBANGUNAN

mengambang atau istilah dalam studi ini ‘tergantung situasi dan
kondisi’, dan sekitar 10 – 15 persen di sebelah kanan adalah subpopulasi yang anti-KKN atau anti-PM R. M emperhitungkan berbagai
alasan yang disampaikan oleh para pihak yang terlibat dalam PM R,
baik dari sudut permintaan maupun penawaran, ternyata bisa
diabstraksikan sebagai mentalitas terabas dengan pedoman “enak,
mudah dan cepat”. Lalu, mentalitas ini terbukti memiliki efek
demonstrasi, dalam arti semakin banyak orang yang meniru untuk
berperilaku yang sama. Konsekuensinya, distribusi populasi yang
semula normal kemudian menjadi miring ke kiri, karena semakin
banyak orang yang semula mengambang, kemudian menjadi pro-KKN
atau pro-PM R.
Akibatnya, negara ini masuk ke dalam istilah yang dicetuskan
oleh Krueger tahun 1974, yaitu sebagai masyarakat pemburu rente
(rent seeking society) atau masyarakat yang koruptif, kolutif, dan
nepotif. Hal ini juga didukung oleh data tentang ranking korupsi negeri
berdasar Pancasila ini yang masih menjulang tinggi. Tahun 2005
Indonesia berada pada ranking 137 bersama 6 negara lain dari 158
negara yang disurvei, tahun 2008 berada pada peringkat 126 bersama 7
negara lain dari 180 negara yang disurvei, dan tahun 2012 berada pada
urutan 118 bersama 4 negara lain, dari 174 negara yang disurvei
(Transparency International, 2012: 21).
Lalu, kapankah predatory state ini berubah menjadi benevolent
state? Jawaban normatifnya tentu saja: “ketika semua aparat negara
berpikir dan bertindak benevolen, yaitu berpikir dan bertindak hanya
untuk kebaikan bersama”. Lalu, bagaimankah caranya supaya semua
aparat negara memiliki sifat benevolen? Beberapa pemikiran telah
disampaikan dalam implikasi kebijakan untuk direnungkan dan
didalami lebih lanjut. Tetapi, penggodogan atau adopsi dari berbagai
pemikiran itu ke dalam peraturan perundang-undangan, menurut
Janoski (1998), sangat tergantung pada keterbukaan berbagai agensi,
terutama di ranah negara dan publik. Akhirnya, pertanyaan pokok
yang sulit dijawab inilah yang mengilhami saya untuk memberi judul
bab akhir buku ini dengan “Pergi untuk Kembali”. Karena sedemikian
314

Epilog: Pergi untuk Kembali

banyak pertanyaan yang masih menanti untuk dijawab dalam sejumlah
penelitian lanjutan yang tidak ada batasnya.

*

315