Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Esuriun orang Bati D 902008103 BAB X

Bab Sepuluh

Kesimpulan
Esuriun Orang Bati adalah simpul pengikat seluruh aspek kehidupan Orang Bati untuk bertahan hidup (survival strategy) karena
terdapat nilai dasar (ngavin) tentang “manusia berhati bersih" atau Bati
yang diyakini Orang Bati hanya dimiliki oleh “Manusia Batti” sebagai
leluhur (Tata Nusu Si) dari Orang Bati. Idealisme tentang manusia
berhati bersih menjadi cita-cita sekaligus tujuan hidup dari anak cucu
keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati, termasuk juga keturunan
Alifuru Seram yang memiliki keyakinan kuat pada ideologi Batti.
Hakikat Manusia Batti adalah kesemestaan. Orang Bati percaya bahwa
leluhur (Tata Nusu Si) yang bernama "Manusia Batti" sejak diciptakan
atau timbul dengan evolusi daratan Seram yaitu tidak pernah meninggal dunia (mati). Dalam kosmologi Orang Bati, ternyata Manusia
Batti senantiasa ada sepanjang masa dengan mereka sebagai anak cucu
keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati.
Hakikat dari nilai dasar (ngavin) mengenai manusia berhati
bersih dilembagakan dalam adat esuriun, kemudian diwujudkan melalui strategi Esuriun Orang Bati sebagai kisah nyata turunnya Alifuru
Bati atau Orang Bati dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua
ukara) untuk menjaga dan melindungi (mabangat nai tua malindung)
seluruh hak milik yang berharga meliputi manusia, tanah, hutan,
gunung, adat, budaya, identitas, sumber daya alam, dan lainnya yang

terdapat dalam watas nakuasa sebagai ruang hidup. Kisah Esuriun
Orang Bati yang dilakukan Alifuru Bati atau Orang Bati yaitu mengikuti rute perjalanan “Manusia Batti” ketika turun dari hutan dan
gunung (madudu atamae yeisa tua ukara). Sebagai pewaris tradisi dan
kebudayaan Bati mereka terus mensosialisasikan dan melembagakan
nilai dasar tersebut dalam adat untuk bertahan hidup (survive). Proses
sosialisasi nilai berlangsung pada individu, kelompok, maupun komunitas. Proses pelembagaan (institusionalisasi) nilai dasar tentang

393

Esuriun Orang Bati

manusia berhati bersih yang dilakukan dari satu generasi ke generasi
berikutnya, dimaksudkan untuk menegaskan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa yang telah menjalani kehidupan
bermasyarakat dalam kawasan hutan hujan di Pulau Seram Bagian
Timur. Dalam hidup keseharian, Orang Bati senantiasa melakukan
ritual adat yang berbasis Esuriun Orang Bati untuk bertahan hidup
(survive) dengan lingkungan di mana mereka berada. Sesuai dengan
adat Esuriun Orang Bati, maka keturunan Alifuru Bati atau Orang Bati
yang boleh menggunakan nama Bati adalah “Bati Kilusi” atau “Bati
Garuda” (Bati Awal) baik untuk penyebutan diri, kelompok, komunitas, teritorial, dan sebagainya.

Nilai dasar (ngavin) tentang Manusia Berhati Bersih atau Batti
menjadi basis kekuatan untuk bertahan hidup (survival strategy) dan
telah digunakan untuk menghadapi tekanan (presure) yang bersumber
dari dalam maupun yang berasal dari luar, baik fisik, sosial, budaya,
lingkunan, dan lainnya. Nilai dasar (ngavin) tentang Manusia Berhati
Bersih atau Batti berkaitan dengan kosmologi Alifuru Bati atau Orang
Bati, dan implementasi secara nyata yaitu melalui ritual adat dalam
Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos untuk menghubungkan
makrokosmos yaitu leluhur (Tata Nusu Si ) atau Manusia Batti dengan
Alifuru Bati atau Orang Bati sebagai mikrokosmos. Strategi Euriun
Orang Bati untuk melestarikan nilai dasar (basic value) tentang
manusia berhati bersih atau Batti yang dipercaya bahwa itu adalah
leluhur yang tidak pernah meninggal, dan senantiasa berada dengan
mereka. Nilai dasar tersebut berada pada tataran makrokosmos yaitu
leluhur (Tata Nusi Si) yaitu Manusia Bati yang bersifat kesemestaan,
mikrokosmos adalah Alifuru Bati atau Orang Bati, dan dihubungkan
dengan Esuriun Orang Bati sebagai mezokosmos yang memiliki multi
fungsi dan peran dalam menyelenggarakan kehidupan bersama
menurut adat.
Kisah nyata Esuriun Orang Bati untuk menegaskan eksistensi

Orang Bati berarti mereka adalah sukubangsa Bati atau kelompok etnik
(ethnic group) karena Orang Bati memiliki teritorial yang dinamakan
etar dan watas nakuasa, kebudayaan, pemerintahan, peradaban, dan
lainnya. Orang Bati telah menjalani kehidupan bermasyarakat pada
394

Kesimpulan

setiap kampung atau dusun (wanuya) yang terdapat dalam wilayah adat
Weuartafela di Negeri Kian Darat. Wilayah kediaman Orang Bati dinamakan Tana (Tanah) Bati (Atamae Batu) terdapat di pegunungan,
lereng bukit, lembah, dan pesisir pantai yang terdapat dalam kawasan
hutan hujan di Pulau Seram Bagian Timur.

Esuriun Orang Bati sebagai penegasan terhadap eksistensi Orang
Bati sebagai manusia maupun sukubangsa, berarti Orang Bati bukan
manusia atau orang ilang-ilang (hilang-hilang) seperti stigma (anggapan negatif) orang luar (Orang Maluku) selama ini. Anggapan orang luar
(Orang Maluku) terhadap Orang Bati sebagai manusia atau orang ilangilang (hilang-hilang) adalah mitos yang harus diakhiri. Orang Bati
adalah lingkungan masyarakat adat (indigenous peoples) yang mendiami Pulau Seram Bagian Timur. Krusialnya fenomena Orang Bati di
Maluku ketika karena selama ini terdapat kesalahan interpertasi terhadap konsep Bati dan konsep Batti ketika berlangsungnya interaksi
sosial di kalangan oranag luar (Orang Maluku) baik itu secara individu,

kelompok, maupun komunitas.
Esuriun Orang Bati yang dilakukan oleh anak cucu keturunan
Manusia Awal (Alifuru) atau Alifuru Ina yang menyebut diri sebagai
Alifuru Bati atau Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu
atamae yeisa tua ukara) berada dalam totalitas kehidupan yang menyatukan mereka dengan leluhur, alam semesta, manusia, dan lingkungan. Karakter Orang Bati adalah Manusia Gunung (Mancia
Atayesu). Dewasa ini ada Orang Bati yang mendiami wilayah pesisir
pantai tetapi karakter mereka bukan Manusia Pantai (Mancia Layena).
Hutan (esu) dan gunung (ukar) adalah jati diri maupun eksistensi
Orang Bati yang sesungguhnya, dan senantiasa menyatu sepanjang
masa. Makna hutan (esu) pada Orang Bati adalah pemberi kehidupan di
masa damai, dan menjadi tempat berlindung di masa perang (yaisa
nangguan nai kita nini hiduppa kita minggilu tua sanang, yaisa tua ukar
oi le kekuatan nai kita bo mai masa paranga). Jadi merusak hutan (esu)
sama artinya dengan merusak diri dari Orang Bati, dan hal ini dapat
menimbulkan persoalan yang krusial dengan Orang Bati.

395

Esuriun Orang Bati


Strategi Esuriun Orang Bati untuk menjaga dan melindungi
(mabangat nai tua malindung) seluruh hak milik yang berharga untuk
bertahan hidup (property protection for suvival strategy) yang terdapat
dalam ruang hidup atau wilayah kekuasaan (watas nakuasa) dan etar
sesuai pembagian (tabagu) yang dilakukan secara bersama merupakan
kesengajaan. Hal ini dimaknai sebagai strategi Orang Bati untuk menciptakan rintangan yang tidak terkalahkan (invisible barriers). Melalui
Esuriun Orang Bati manusia ditempatkan sebagai pagar (sirerun) atau
benteng karena mereka yang berbicara dengan bahasa yang sama berarti tempat itu adalah batas wilayah adat yang harus dijaga dan dilindungi.
Strategi Esuriun Orang Bati dilakukan secara damai, karena tidak
menimbulkan pertentangan (conflict) maupun kekerasan (violence)
terhadap orang lain. Strategi tersebut dikategorikan cakap karena adat
Esuriun Orang Bati dijadikan sebagai benteng tanpa tembok. Lembaga
adat Esuriun Orang Bati berfungsi dan berperan sebagai benteng tanpa
tembok di Tana (Tanah) Bati. Benteng tersebut sangat kokoh, kuat, ulet
(berketahanan) sehingga seluruh kepentingan Orang Bati bisa terjaga
dan terlindungi secara baik, karena tidak memberi ruang pada orang
luar untuk masuk secara leluasa maupun melakukan eksploitasi sumber
daya dalam wilayah Orang Bati. Lembaga adat Esuriun Orang Bati merupakan bentuk nyata dari kearifan lokal (local wisdom) dalam
mengelola wilayah hutan (esu) di mana tanggalasu menjadi wilayah
penting untuk bertahan hidup (survive) sehingga mencegah kepunahan

pada generasi penerus tradisi dan kebudayaan Bati dengan lingkungan
mereka sendiri.

Esuriun Orang Bati sebagai kekuatan bertahan hidup (survival
strategy) bukan cara pendudukan, atau penguasaan hak milik dan
wilayah orang lain dengan cara kekerasan seperti dialami oleh banyak
suku di dunia, kemudian menimbulkan peperangan di mana-mana.
Cara yang dilakukan Orang Bati dikategorikan cakap, manusiawi
karena melalui mekanisme adat Esuriun Orang Bati, seluruh sumber
daya alam berupa hutan sagu (yesu kiya), dan sagu (suat) sebagai
makanan pokok untuk bertahan hidup (survive) tetap lestari. Dalam
pandangan Orang Bati apabila hutan menjadi rusak berarti kehidupan
396

Kesimpulan

manusia terancam “yeisa kalu paku tei, berarti “kita mancia eya pakutei
wak”. Kawasan hutan sagu (yesu kiya) merupakan mata-rantai yang
mengikat seluruh aspek kehidupan Orang Bati secara sosial, ekonomi,
politik, kebudayaan, keamanan, dan sebagainya untuk bertahan hidup

(survival strategy), karena hutan sagu (yesu kiya) pada masa lampau
berkaitan dengan mahar dalam perkawinan. Perkawinan merupakan
mata-rantai kelangsungan hidup Orang Bati karena keturunannya bisa
bertahan hidup (survive). Untuk itu strategi saling menjaga dan melindungi antara sesama orang satu asal berada pada hakikat hidup yang
tertinggi. Wujud dari hak milik berharga yang dijaga dan dilindungi
antara lain manusia, tanah, hutan, gunung, identitas, adat, kebudayaan,sumber daya alam, dan lainnya adalah strategi untuk mewujudkan eksistensi Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa.

Esuriun Orang Bati berfungsi dan berperan sebagai tali pengikat
integrasi antar kelompok sosial Patasiwa dan Patalima yang berbeda
sehingga dapat hidup bersama dalam satu teritorial, memiliki bahasa,
budaya yang sama, dan lainnya untuk menguatkan relasi sosial antar
roina kakal atau orang saudara yang solid. Tipe integrasi yang dicapai
Orang Bati yaitu integrasi kultural (cultural integration) sehingga dapat
dikategorikan sebagai integrasi yang final karena dilakukan melalui
adat esuriun. Tipe integrasi kultural yang dicapai Orang Bati belum ditemukan pada kelompok sosial lain di Pulau Seram maupun Kepulauan
Maluku, karena setiap kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di
tempat lainnya sejak awal hidup dengan teritori, adat-istiadat, budaya,
dan lainnya sendiri-sendiri.
Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di tempat lain tidak
pernah menyatu (melebur menjadi satu) tetapi mereka hidup berdampingan (bersebelahan). Kelompok sosial Patasiwa dan Patalima di

Tana (Tanah) Bati justru melebur dan menyatu dalam ikatakan SiwaLima dengan penamaan Anak Esuriun di Tana (Tanah) Bati, karena
pengalaman hidup membuktikan bahwa kelompok Patasiwa dan
Patalima di tempat lain selalu hidup bermusuhan. Strategi untuk menyatukan kelompok sosial Patasiwa dan Patalima menjadi Siwa-Lima
melalui Esuriun Orang Bati tidak meninggalkan simbol asli yang ter-

397

Esuriun Orang Bati

dapat dalam adat-istiadat dan budaya mereka masing-masing seperti
rumah adat (baileu atau baileo) berupa bangunan yang dimiliki oleh
masing-masing kelompok pata, dan alam terbuka dengan pohon pakis
yang terdapat di Tana (Tanah) Bati dijadikan sebagai tempat berkumpul untuk melakukan musyawarah. Simbol Bati telah digunakan
untuk usaha perdamaian karena persoalan yang dihadapi oleh berbagai
kelompok dalam masyarakat dapat terselesaikan apabila nama Bati
telah disebutkan. Strategi menyatukan kelompok sosial Patasiwa dan
Patalima melalui Esuriun Orang Bati terwujud melalui penamaan
kelompok sosial Bati Awal, Bati Tengah, Bati Dalam, dan Bati Pantai
sebagai kesatuan hidup yang berada dalam ikatan teritorial genealogis
atau wilayah roina kakal di wilayah Tana (Tanah) Bati. Orang Bati

sangat percaya bahwa keturunan Suku Alifuru (Manusia Awal) atau
Alifuru Ina, dan mereka sebagai keturunan Alifuru Bati atau Orang
Bati berasal dari Pulau Seram atau Nusa Ina (Pulau Ibu). Artinya
makna Nusa Ina (Pulau Ibu) atau Pulau Seram mengisyaratkan bahwa
ale deng beta (kamu dengan saya) berasal dari sana.

Esuriun Orang Bati merupakan modal sosial (social capital) yang
solid karena terdapat relasi saling percaya (trust) yang tercipta di
sesama Orang Bati untuk saling menjaga dan melindungi (mabangat nai
tua malindung), terdapat jaringan sosial yang kuat berdasarkan relasi
roina kakal atau orang saudara, dan terdapat norma-norma sosial yang
dilembagakan melalui adat untuk menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat seperti tata krama pergaulan. Dalam Esuriun Orang Bati
terbentuk jaringan sosial yang mengikat identitas Orang Bati sebagai
orang satu asal. Esuriun Orang Bati memiliki basis norma sosial yang
kuat karena berperan dalam kehidupan sosial tanpa mengabaikan basis
modal kultural (cultural capital) yang kuat berdasarkan nilai dasar yang
terkandung dalam Esuriun Orang Bati untuk menegaskan eksistensi
Orang Bati sebagai manusia maupun sukubangsa (etnic group) atau
kelompok etnik sebagai benteng terakhir Orang-Orang Seram yang
sulit ditembusi oleh orang luar dari waktu ke waktu.

Adat Esuriun Orang Bati mengsakralkan wilayah hutan (esu),
tana (tanah), dan gunung (ukar) dan lainnya dianggap sebagai wilayah

398

Kesimpulan

bernyawa sehingga terus dibudidayakan oleh anak cucu pewaris tradisi
dan kebudayaan Bati untuk bertahan hidup (survive). Esuriun Orang
Bati menciptakan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Esuriun
Orang Bati adalah modal sosial (social capital) yang solid dalam kelompok dan komunitas karena mampu manciptakan relasi saling percaya yang sangat kuat pada orang satu asal, memperkuat jaringan sosial
antar roina kakal atau sesama orang saudara karena terdapat norma
sosial untuk menyelenggarakan kehidupan bersama. Basis nilai yang
terdapat dalam Esuriun Orang Bati merupakan modal budaya (cultural
capital) untuk mengatasi tekanan (presure) secara fisik seperti kondisi
alam yang tidak ramah, isolasi, tekanan sosial seperti stigma dan lainnya. Adat Esuriun Orang Bati telah mengsakralisasi nama Bati sebagai
wilayah bernyawa untuk untuk bertahan hidup (survival strategy),
usaha membangun diri, komunitas, dan kampung (Gum Mae Tawotu
Tana Wanuwea) atau kumpul bersama membangun kampung atau
negeri.

Strategi Esuriun Oranag Bati telah meciptakan ketahanan pangan
maupun kedaulatan pangan sehingga Orang Bati mampu bertahan
hidup (survive) menghadapi kondisi iklim dan musim yang berubahubah setiap saat, dan sering menimbulkan paceklik atau musim susah
(pinakuta danggu) yang berlangsung selama sembilan bulan, yaitu dari
Desember sampai dengan Agustus. Melalui studi studi tiga musim
(musim penghujan, musim kemarau, dan musim pancaroba). Kawasan
Pulau Seram Bagian Timur di mana Orang Bati berada sering menghadapi musim paceklik atau musim susah (pinakuta danggu) yang panjang karena kawasan ini merupakan tempat pertemuan angin yang datang dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia Indonesia sehingga
menimbulkan arus laut yang kuat, gelombang laut yang besar di kawasan tersebut. Fenomena alam yang terjadi sepanjang tahun menyebabkan Negeri Orang Bati atau Tana (Tanah) Bati yang berada di
kawasan tersebut tidak kelihatan (tersamar) karena ditutupi oleh kabut
akibat penguapan air laut dari hamparan ombak yang besar menghantam tebing batu di pesisir pantai. Kondisi lingkungan yang dialami
Orang Bati seperti ini oleh orang luar dipersepsikan sebagai ilang-ilang

399

Esuriun Orang Bati

(hilang-hilang) atau tidak kelihatan secara jelas oleh pandangan mata
orang lain.
Walaupun selama ini Orang Bati mengalami tekanan (presure)
secara fisik (alam tidak ramah, isolasi geografi, dan lainnya), tekanan
sosial karena menguatnya stigma (anggapan negatif) dari orang luar, tetapi melalui adat Esuriun Orang Bati mereka berusaha untuk membiayai diri sendiri dengan kekuatan yang dimilikinya untuk membangun diri dan komunitas berdasarkan falsafah hidup Gum Mae
Tawotu Tana Wanuwe (kumpul bersama membangun kampung atau
negeri). Lembaga Esuriun Orang Bati memiliki fungsi dan peran sebagai kekuatan moril untuk mendorong proses-proses membangun diri
dan komunitas, dan lebih jauh dari itu menjadi sumber kekuatan pada
Orang Bati untuk bertahan hidup (survive) dalam kondisi ter-abaikan.
Akibat menguatnya stigma di kalangan orng luar (Orang Maluku)
yang ditujukan pada Orang Bati maka kehidupan mereka menjadi terabaikan. Untuk menghindari stigma (anggapan negatif) orang luar
(Orang Maluku) terhadap Orang Bati, maka nama Bati yang disakralkan sering disembunyikan ketika mereka melakukan adaptasi, interaksi
dengan lingkungan luar. Dalam berinteraksi dengan orang luar (Orang
Maluku) ternyata Orang Bati berusaha menyembunyikan identitas Bati
agar nama Bati maupun Batti yang sakral tidak salah ditafsirkan oleh
orang lain. Kesucian nama Bati dan Batti senantiasa dijaga dan dilindungi. Selain itu juga cara yang dilakukan Orang Bati untuk menghindari stigma sehingga tidak menimbulkan rasa takut pada orang lain.
Strategi yang dilakukan Orang Bati agar dapat bertahan hidup (survive)
melalui cara menyembunyikan identitas Bati adalah tipe manusia atau
orang yang cakap melakukan survive dalam stigma karena Orang Bati
setiap saat berhadapan dengan kekuatan yang dimiliki orang luar.
Lembaga adat Esuriun Orang Bati menciptakan ketahanan diri
(self defence) yang kuat dan ketahanan kelompok (group defence)
untuk mengatasi keterisolasian, keterasingan, dan lainnya agar
eksistensi Bati tetap lestari. Lembaga adat Esuriun Orang Bati turut
menciptakan ke-tahanan pangan (food security) karena terdapat
mekanisme lokal dalam mengelola hutan sagu (yesu kiya) dan sagu
400

Kesimpulan

(suat) sebagai makanan pokok untuk bertahan hidup (survive) pada
tingkat individu, keluarga, kerabat, kelompok, dan komunitas. Hal ini
diketahui dari struktur sosial, budaya, ekonomi dan mata pencaharian
hidup Orang Bati yang masih mengandalkan ekonomi subsisten.
Biarlah Orang Bati terus mengkonsumsi makan lokal mereka
yaitu sagu (suat) yang diwariskan oleh leluhur. Sagu (suat) telah teruji
pada Orang Bati ketika menghadapi masa krisis pangan (paceklik yang
panjang) atau musim susah (pinakuta danggu). Untuk itu kawasan
hutan sagu (yesu kiya) benar-benar dijaga, dilindungi, dipelihara, dan
dibudidayakan secara baik karena sagu (suat) dan hutan sagu (yesu
kiya) memiliki nilai kelangsungan hidup jangka panjang (survival
strategy), mahar, dan lainnya. Strategi bertahan hidup (survive) pada
Orang Bati dengan mengandalkan sagu (suat) sebagai makanan pokok
berarti kehidupan mereka tidak tergantung pada pihak luar termasuk
negara.
Cara hidup Orang Bati yang arif tersebut dalam mengelola
sumber daya alam ternyata tidak menciptakan ketergantungan pangan
pada orang lain maupun negara. Sebab cara mengkonsumsi makanan
yang tidak adaptif dengan tradisi dan kebudayaan mereka dapat mengancam survival strategy, atau kelangsungan hidup jangka panjang.
Kebiasaan mengkonsumsi sagu (suat) sebagai makanan pokok pada
Orang Bati ternyata mampu memberikan kekuatan untuk bertahan
hidup (survive) ratusan tahun lamanya dalam kawasan hutan hujan di
Pulau Seram Bagian Timur. Mekanisme bertahan hidup (survive) pada
Orang Bati perlu dijadikan contoh dalam mengelola sistem ekonomi
pada lingkungan masyarakat lokal yang mengandalkan sumber daya
alam untuk bertahan hidup (survive). Strategi seperti ini memiliki nilai
keberlanjutan (sustainable). Merubah pola konsumsi maupun ekonomi
yang dimiliki masyarakat lokal yang tidak adaptafif bisa mengancam
keberlanjutan (sustainable) pada tingkat individu, kelompok, maupun
komunitas. Biarlah pola konsumsi lokal seperti itu terus dijaga, dilindungi, bahkan dikuatkan untuk mengatasi bahaya krisis pangan pada
lingkungan lokal maupun nasional, dan internasional yang saat ini
makin dicemaskan oleh banyak kalangan.

401

Esuriun Orang Bati

Orang Bati sangat yakin dalam jangka waktu yang tidak lama
Pulau Seram dan Manusianya akan dibangun. Maforu tata anak esuriun
damul nai wanu tana (Nusa Ina panggil pulang anak cucu Alifuru)
untuk membangun Seram yang lebih maju, namun tetap lestari. Artinya membangun Maluku tanpa membangun Seram dan Manusianya
tidak ada arti sama sekali, sebab Nusa Ina (Pulau Ibu) telah memanggil
pulang anak cucu untuk kembali membangun Seram di Maluku. Untuk
membangun Pulau Seram dan Manusianya butuh niat dari manusia
yang tulus, nurani yang bersih (Bati). Untuk itu pemahaman yang
benar terhadap manusia, sukubangsa, dan wilayah tidak seperti mosaik.
Membangun Seram butuh kearifan dari pengambil kebijakan pada
tingkat pusat maupun daerah. Bertindak yang tidak arif di Pulau Seram
dapat menimbulkan bencana yang jauh lebih buruk.
Seram tidak mungkin hancur, tetapi orang yang salah membangun Seram akan hancur sampai ke akar-akarnya, karena Seram
adalah induk dari Nusa Ina (Pulau Ibu) yang mengandung makna
sebagai pulau suci berkelimpahan. Secara sosial-budaya apabila pembangunan makin diarahkan ke Pulau Seram maka persoalan tanah
dapat menimbulkan gejolak besar di masa depan. Sebab Alifuru yang
turun dari hutan dan gunung yaitu memiliki tujuan untuk menjaga dan
melindungi tanah sebagai salah satu hak milik yang berharga. Leluhur
Orang Bati turun dari hutan dan gunung (madudu atamae yeisa tua
ukara) untuk menjaga, melindungi seluruh hak milik berharga antara
lain manusia, tanah, identitas, adat, budaya, dan sumber daya alam
yang terdapat dalam kawasan Tana (Tanah) Bati maupun wilayah yang
memiliki hubungan teritorial genealogis atau wilayah roina kakal
dengan sesama keturunan Orang Bati di Pulau Seram.
Walaupun terdapat perbedaan persepsi mengenai ke luarnya

Alifuru Seram pada masa lampau dalam bentuk migrasi karena terjadi
pergolakan, namun jauh sebelumnya proses ini telah berlangsung
sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain ke wilayah Kepulauan Maluku.
Perspektif dari Tana (Tanah) Bati memiliki versi yang berbeda, tetapi
peneliti sangat percaya bahwa ekspedisi kora-kora yang dilakukan oleh
Alifuru Seram untuk menjelajahi wilayah perairan di Kepulauan

402

Kesimpulan

Maluku maupun wilayah lainnya dimaksudkan untuk menunjukkan
eksistensi mereka pada orang luar bahwa Seram itu menakutkan
maupun menyeramkan adalah strategi mengamankan Nusa Ina (Pulau
Ibu) atau Pulau Seram dan manusianya dari serbuan orang luar.
Jadi pemaknaan Seram yaitu menakutkan dan menyeramkan
dapat dipahami sebagai strategi untuk mematahkan moril orang luar
yang ingin menguasai Seram dan manusianya. Alifuru Seram ternyata
memiliki kearifan dalam berpikir baru bertindak. Apabila mereka
menyebut Seram adalah Pulau Suci Berkelimpahan (Nusa Hula Wano),
bisa saja wilayah ini telah hancur dan musnah karena dieksploitasi
orang luar yang memiliki kekuatan lebih besar pada masa lampau
maupun saat ini. Tampak bahwa Seram yang dimaknai sebagai menyeramkan dan menakutkan maupun wacana tentang Orang Bati telah
menciptakan rasa takut pada orang luar untuk memasuki Pulau Seram.
Selain itu juga wacana Orang Bati telah berperan sebagai peredam
konflik maupun menciptakan damai apabila terjadi kasus-kasus tertentu dalam masyarakat seperti penculikan, pembunuhan terhadap
warga tertentu yang tidak diketahui pelaku, dan sebagainya. Apabila
terjadi hal seperti ini dan masyarakat menyebutkan bahwa kejadian
tersebut adalah perlakuan Orang Bati, maka secara diam-diam isu tersebut menjadi reda, bahkan hilang tanpa bekas.
Orang Bati atau Suku Bati adalah manusia sama seperti Orang
Maluku lainnya. Orang Bati bukan orang atau manusia ilang-ilang
(hilang-hilang) sebagaimana stigma orang luar selama ini. Orang Bati
telah menjani hidup bermasyarakat, memiliki peradaban, mempunyai
pemimpin, memiliki adat-istiadat, teritorial, dan sebagainya sehingga
lingkungan kehidupan Orang Bati merupakan masyarakat adat. Persoalan yang menyebabkan Orang Bati menjadi terabaikan karena selama ini menguatnya stigma sebagai orang atau manusia ilang-ilang
(hilang-hilang). Stigma tersebut berkembangan dari mitos mengenai
orang ilang-ilang (hilang-hilang) sebagai fenomena umum yang berkembang dalam kehidupan Orang Maluku. Melalui kisah Esuriun
Orang Bati, sejarah asal-usul leluhur, cara bertahan hidup (survival
strategy), dan lainnya yang telah dibahas melalui studi ini dapat di-

403

Esuriun Orang Bati

kemukakan bahwa Esuriun Orang Bati benar-benar sebagai lembaga
adat yang berfungi dan berperan sebagai pagar (sirerun) untuk menjaga
dan melindungi seluruh hal milik yang berharga pada Orang Bati. Hal
ini berarti bahwa sejak dahulu sampai sekarang Orang Bati telah menciptakan rintangan tanpa kawat duri, dan rintangan ini tidak terkalahkan (invisible barriers) karena memiliki basis nilai yang berketahanan (resilience) sebagai pandangan geopolitik mereka untuk menguasai ruang hidup guna membangun diri, komunitas, dan kampung
(Gum Mae Tawoto Tana Wanuwea).
Integrasi kultural dapat dicapai apabila kelompok-kelompok
sosial yang berbeda memegang kuat komitmen (kesepakatan) yang
telah berhasil diciptakan dan dibangun secara bersama sebagai nilai
kelangsungan hidup. Merubah komitmen atau kesepatan berarti sama
saja dengan merubah tujuan hidup ke arah yang tidak jelas. Komitmen
Orang Bati untuk mengkokohkan integrasi kultural yang berbasiskan
nilai tentang manusia berhati bersih dimaksudkan untuk mewujudkan
integrasi eksistensial sebagai tujuan akhir untuk mewujudkan integrasi
eksistensial dapat tercipta apabila individu maupun kelompok yang
berbeda-beda saling memahami keberadaan asal-usul, kemudian memiliki niat, tekad, serta memiliki kesadaran bersama untuk menemukan jati diri (identitas) agar saling menjaga dan melindungi yang
berbasiskan nilai kebersamaan.
Pencapaian integrasi kultural dari kelompok sosial yang berbeda
di Tana (tanah) Bati dimaksudkan untuk mewujudkan integrasi eksistensial pada Orang Bati yang memiliki makna yaitu Ale deng Beta atau
Ka Tua Aku atau Kita Lotu atau kamu dengan saya memiliki asal-usul
leluhur yang sama yaitu Alifuru sebagai pernyataan pada orang luar
agar eksistensi (keberadaan) Orang Bati harus diakui. Makna mendasar
yaitu penyangkalan terhadap Orang Bati sebagai Orang Maluku berarti
penyangkalan terhadap Alifuru sebagai leluhur. Orang Bati menyebut
bahwa so go utana kita abus-abus tako utana, so go suatta kita abusabus tako suata. Sei balwaitta, ale waitta nabesati. Makna kalimat ini
sama dengan bahasa tanah yang digunakan Orang Patasiwa Putih yaitu
sei hale hatu, hatu lisa pei, sei lisa sou, sou lisa ei (satu makan sayur,

404

Kesimpulan

semua makan sayur. Satu makan sagu semua makan sagu. Siapa bale
(balik) batu, batu akan gepe (tindis) atau menimpa yang bersangkutan.

Peluang untuk Melakukan Penelitian Lanjutan
Studi bertema Esuriun Orang Bati yang selama ini belum ditemukan secara ilmiah merupakan gambaran nyata tentang realitas kehidupan dari orang-orang yang mengalami nasib terabaikan mengembangkan strategi bertahan hidup (survive). Dalam kondisi terabaikan tetapi Orang Bati berusaha dengan kekuatan sendiri untuk
bertahan hidup (survive) dengan cara membiaya sendiri untuk membangun diri dan komunitas. Melalui studi ini juga terdapat informasi
baru yang aktual dan memiliki kemungkinan untuk melakukan penelitian ilmiah serupa dalam lingkup yang lebih luas, terutama menggunakan perspektif sosiologi, antropologi, historis (sejarah), politik, dan
hukum untuk mengkaji lebih dalam tentang kearifan lokal dan nilai
yang memiliki kekuatan bertahan hidup (survive) pada komunitas yang
mengalami isolasi geografi.
Penelitian ilmiah yang bertema Relasi Antar Etnik dan Integrasi,
Sejarah Asal-Usul Suku Alifuru di Pulau Seram-Maluku, Survival
Strategy Pada Orang-Orang Terabaikan, dan Konflik Tanah di Seram
Timur adalah tema-tema yang relevan dan aktual untuk diteliti dalam
rangka pembangunan berwawasan lingkungan. Masalah sosial-budaya
yang sangat krusial saat ini dan masa yang akan datang yaitu efek
negatif dari konflik sosial yang terjadi di Maluku pada waktu lampau
sehingga mengakibatkan penyimpangan, penerobosan, perampasan hak
atas tanah milik marga tertentu oleh orang lain. Esuriun Orang Bati
dilakukan untuk menjaga dan melindungi semua hak milik yang berharga antara lain manusia, tanah, identitas, adat, kebudayaan dan lainnya untuk kelangsungan hidup (survival strategy) bagi anak cucu keturunan Orang Bati maupun Alifuru.
Keturunan Orang Bati yang mendiami wilayah adat Kelbarin
seperti Banggoi, Bula, Salas, dan lainnya mulai merasa resah ketika
Pemekaran Kabupaten Seram Bagian Timur dari kabupaten induk
405

Esuriun Orang Bati

waktu itu adalah Kabupaten Maluku Tengah. Studi ilmiah dengan
tema-tema seperti dikemukakan oleh peneliti sangat berguna untuk disumbangkan demi kepentingan pembangunan berbasis kearifan lokal
untuk dan cara-cara hidup dari masyarakat sesuai kebudayaan untuk
dapat bertahan hidup (survive) sehingga di masa depan pemerintah
dapat mengelola pembangunan tanpa menimbulkan pertentangan
(conflict) maupun kekerasan (violence) yang dilakukan sangat bertentangan dengan nilai budaya masyarakat adat di Maluku.

406