Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Interaksi Individu dalam Persekutuan Gereja di Muara Badak dari Perspektif Martin Buber
BAB II Interaksi Individu Dari Perspektif Martin Buber
2.1 Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial selalu menjalin hubungan dengan orang lain, berusaha mengenal dan memahami kebutuhan satu dengan yang lain, membentuk interaksi dan berusaha
1
mempertahankan interaksi tersebut. Manusia adalah makhluk sosial, yang artinya manusia tidak terlepas dari relasi dengan lingkungan dan sesama. Hal ini terlihat jelas sejak manusia dilahirkan. Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu, dan ia memerlukan bantuan dari orang lain dan di sekitarnya. Sebagai makhluk sosial, manusia berkeinginan untuk berbicara, tukar menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi, membagi pengalaman, bekerja
2
sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan sebagainya. Berdasarkan pemahaman tentang manusia sebagai makhluk sosial yang berusaha untuk membentuk dan mempertahankan interaksi, maka pada bab ini penulis akan memaparkan kerangka konseptual interaksi individu menurut perspektif Martin Buber.
2.2 Latar Belakang Kehidupan Martin Buber
Pada bagian ini, penulis berusaha memaparkan profil Martin Buber sehingga kita dapat secara jelas memiliki pengetahuan tertentu tentang siapa tokoh yang dibahas, latarbelakang kehidupan keluarga dan situasi lingkungan dimana beliau hidup. Pengenalan yang cukup baik atas tokoh ini akan sangat membantu di dalam upaya membaca-memahami pemikiran beliau tentang kerangka konseptual interaksi individu.
1 Sarlito W. Saworno dan Eko A. Meinamo, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), 67.
3 Mordechai Martin Buber lahir pada tanggal 8 Februari 1878 di Wina . Buber tinggal
bersama kakeknya yang bernama Salomon Buber dan neneknya yang bernama Adela, di Lemberg, Polandia, sejak usia 3 tahun. Buber tinggal bersama kakek-neneknya dikarenakan orang tuanya bercerai. Ia dibesarkan di lingkungan Yahudi yang sangat pietis karena kakeknya adalah seorang sarjana Ibrani yang menulis beberapa tinjauan kritis terhadap Midrash (tafsiran Yahudi terhadap Alkitab). Sebagai seorang sarjana, Salomon Buber tidak hanya mengajarkan cucunya untuk melakukan tradisi Yahudi tetapi memperkenalkan juga karya penulis-penulis Jerman. Itu sebabnya ketika Marten Buber berusia 13 tahun ia tidak hanya membaca kitab
4 suci, ia sangat gemar membaca karya dari Schiller, seorang filsuf Jerman.
Buber kembali tinggal bersama ayahnya pada saat dirinya berusia 14 tahun, saat itu ayahnya telah menikah lagi, mereka tinggal bersama di Lemberg. Di usianya yang ke-17 tahun, Buber menyelesaikan studi di Polish Gymnasium dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Wina untuk belajar filsafat dan sejarah seni. Ia tidak memiliki arah yang jelas selama kuliah.
Oleh karena itu dari Wina, Buber melanjutkan studinya ke Universitas Leipzig dan Zurich. Buber sama sekali tidak tertarik kepada hal-hal yang berkaitan dengan Yahudi karena sejak kecil ia “membenci” segala bentuk ritual dan tata cara Yudaisme yang kaku, minatnya pada hal-hal sekuler.
3 Raphael Jospe dan Dov Schwartz, edited, Encounters In Modern Jewish Thought: The Works Of Eva Jospe (Brighton USA: Academic Studies Press, 2013), xlv.
4
5 Di Leipzig (1898), Buber terlibat dalam gerakan Zionisme yang dipimpin oleh
6 Theodor Herzl. Buber yang merupakan keturunan Yahudi, ketika terlibat dalam gerakan
Zionis ia mempelajari hampir seluruh aspek yang berkaitan dengan keyahudian. Yudaisme yang dilihat oleh Buber, lebih pada religiusitas dan kesalehannya, bukan pada permasalahan
7
politiknya. Menurut Buber yang dibutuhkan umat Yahudi bukan pembangunan fisik namun
8 suatu kebangunan yang bersifat rohani, agar umat Yahudi menjadi berguna bagi dunia.
Theodor Herzl terdorong untuk menjadikan gerakan Zionis sebuah gerakan politik yang terkait langsung dengan bangkitnya anti-Semitisme politik sebagai fenomena di seluruh Eropa
9
10
pada tahun 1873. Buber, melihat gerakan Zionis suatu gerakan budaya. Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan ideologi antara Herzl dan Buber. Oleh karena itu, Buber memutuskan untuk keluar dari gerakan Zionisme dan melepaskan tanggungjawabnya sebagai penulis Dei Welt yang merupakan jurnal milik Herzl.
5 Zionisme adalah gerakan politik abad 19 di era nasionalisme sekuler, revolusi industri, imperialisme
Eropa dan ekspansi penjajahan ke Afrika dan Asia. Jawaban Zionisme atas persoalan yang terjadi, membawa
orang-orang Yahudi ke luar dari Eropa dan membawa mereka ke tanah air sehingga dapat mengejar kebahagiaan
dan penentuan nasib. Dengan tujuan mendapatkan kebebasan dan kemakmuran tanpa rintangan yang dikenakan
kepada mereka. 6 Theodor Herzl terkenal dengan gagasannya tentang negara Yahudi ketika bangkitnya anti-Semitismepolitik sebagai fenomena di seluruh Eropa, pada tahun 1873. Sebagian besar orang Yahudi saat itu tinggal di
Polandia dan Rusia, di mana orang-orang Yahudi mencoba melarikan diri dari wajib militer paksa oleh rezim
Czar, yang secara berkala memicu kerusuhan anti-Yahudi, dan menghendaki kematian orang-orang Yahudi. 7 Wahju S. Wibowo, Aku, Tuhan dan Sesama: Butir-butir Pemikiran Martin Buber Tentang Relasi Manusia dan Tuhan (Yogyakarta: Cv. Sunrise, 2017), 14. 8 Muhammad Hilal, “Dialog Marten Buber” Jurnal Pustaka, (Januari-Juni 2014): 65, akses Juli 13, 2017, ejournal.alqolam.ac.id/index.php/jurnal_pusaka/article/.../12/11 9 Michael Zank, “Buber Zionisem,” : 2, diakses Oktober 12, 2017,11 Zevaat Ribesh adalah sebuah buku yang berisi ajaran Hasidisme karya Baal Shem
Tov. Buku ini merupakan buku bacaan Buber di saat ia kecewa terhadap Zionisme dan Yudaisme ortodoks formal. Inilah awal ketertarikannya terhadap ajaran Hasidisme. Ajaran Hasidisme muncul di Polandia pada abad ke-8 dan berkembang di antara orang Yahudi Eropa
12
bagian Timur pada abad ke-18 dan ke-19. Hasidisme bukanlah komunitas monastik yang hidup eksklusif, terpisah dari dunia, tetapi suatau komunitas yang hidup berdasarkan iman dan hidup di tengah-tengah orang lain. Karena itu ajarannya menekankan pada pentingnya menjaga hubungan antara manusia dengan Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama, peka terhadap wahyu Tuhan dan menekankan doa sebagai yang utama untuk bisa bersatu dengan Tuhan. Buber sangat tertarik dengan ajaran Hasidisme dan ketertarikannya itu ditunjukkan melalui penelitian dan menterjemahkan hikayat-hikayat Hasidisme ke dalam Bahasa Jerman dan
13 membukukannya, sehingga ia dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ajaran Hasidisme .
14 Namun demikian ia tidak pernah berkeinginan untuk menjadi seorang Hasid.
Pengalaman hidup yang dialami oleh Buber dimulai dari masa kecil sampai dewasa, hobbi membaca yang dimilikinya dan ketertarikannya terhadap ajaran Hasidisme membuatnya semakin menyadari akan keberadaannya sebagai manusia. Manusia memiliki hak dan kewajiban, keduanya harus terjadi dialog, jika tidak maka akan membuka peluang untuk melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena itu Buber memberikan konsep dialog untuk membangun perdamaian dan menyelesaikan konflik.
11 12 Hasidisme berasal dari Bahasa Ibrani “hesed” yang berarti cinta kasih, rahmat atau anugerah.
Maurice S. Friedman, Martin Buber The Life OF Dialogu (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), 16, Chicago Illinois. 13 Alex Guilherme and W. John Morgan, “Peace Profile: Martin Buber” (Januari 2011): 110, diakses Juli 20, 2017
15 Tahun 1899, pada usia 21 tahun Buber menikah dengan Paula Winkler. Paula berasal
dari Munich dan ia seorang penulis. Buber memiliki dua orang anak, Eva dan Rafael. Buber meninggal dalam usia 65 tahun di Yerusalem.
2.3 Pemikiran Pokok Martin Buber
Pemikiran Martin Buber dipengaruhi Yudaisme, Hasidisme, Immanuel Kant, Friederich Nietzsche, Franz Rosenzweig dan juga Schiller. Pengaruh Yudaisme dan Hasidisme, Buber dapatkan di lingkungan keluarga karena kakeknya ahli dalam kebudayaan dan sastra Yahudi dan Buber sering diajak oleh kakeknya untuk hadir dalam pertemuan anggota
16 Zaddikim . Buber gemar membaca, buku filsafat yang pertama ia baca adalah karya-karya
Plato. Selanjutnya, ia tertarik untuk mendalami filsafat, kemudian ia membaca buku
Prolegomena karya Immanuel Kant dan Thus Spake Zarathustra karya Frederich Nietzsche.
Franz Rosenzweig adalah sahabat Martin Buber, ia berfilsafat dengan melibatkan seluruh
17 kepribadiannya, filsafat eksistensial. Schiller adalah teman diskusi Buber mengenai Torah.
Pengalaman hidup dan kegemarannya membaca buku, membentuk pemikiran Buber.
Pemikiran Buber dimulai dengan pola I and Thou. Kemudian, pola itu dilanjutkan dengan adanya hubungan I merealisasikan diri sekaligus menyebut personalitas Thou, sehingga terjadi unifikasi yang pada akhirnya terdapat hubungan I and Eternal Thou (hubungan
18
dengan Tuhan). Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan pemikiran Buber dengan mistisisme. Buber memulai dengan hubungan antara aku dengan sesama sedangkan mistisisme memulai hubungan antara aku dengan Tuhan. Pemikiran filosofis Martin Buber memainkan 15 Wibowo, Aku Tuhan Dan Sesama 16 ,……….14. 17 Kelompok dari kaum Hasidisme, dengan pemimpinnya yang disebut Zaddik.
Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), 157. peran penting pada abad ke-20 dalam gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Emmanuel
19 Levinas.
2.3.1 Realitas Manusia dan Proses pengetahuannya
Manusia selalu berhubungan dengan tiga pihak dalam dunia ini. Pertama, ia berhubungan dengan alam, termasuk benda-benda; kedua berhubungan dengan manusia; dan
20
ketiga ia berhubungan dengan “Yang Absolut,” kaum beragama menyebut dengan “Tuhan.” Hubungan yang dilakukan oleh manusia kepada ketiga pihak tersebut, berkaitan dengan realitas. Realitas menurut Buber adalah “ruang antara” (in between) yang terbuka ketika manusia berhubungan alam, sesama dan Tuhan, dan dibangun atas dasar hubungan timbal balik. Buber menyebutnya sebagai “aktualitas,” suatu kehidupan sesungguhnya yang dibangun oleh individu.
Individu yang “berpikir” menurut Buber memiliki perangkat filosofi yang memampukan pikiran untuk memahami dan mempersepsikan setiap hal yang dijumpai, sehingga memiliki pengetahuan. Pengetahuan tentang alam, sesama dan Tuhan yang dimiliki oleh individu berdasarkan perjumpaan yang melaluinya ada kesatuan, memampukannya untuk memikirkan hubungan yang konkret dengan semuanya itu. Pengetahuan dapat diperoleh
21
individu melalui proses. Ada dua macam proses pengetahuan menurut Buber. Pertama, proses yang berlangsung antara subjek dengan objek. Kedua, proses yang berlangsung antara subjek dan subjek.
19 20 Kees Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), 314.
Martin Buber, I and Thou, Penterjemah: Ronald Georgor Smith (Edinburg: T&T. Clark, Hesperides Press,2008), 6. Proses antara subjek dengan objek memberikan dampak bagi individu untuk mengembangkan pengetahuannya terhadap sesuatu. Objek pengetahuan yang sekaligus merupakan objek pengalaman dan objek penggunaan memberi dampak positif bagi subjek karena “mengalami” dan “menggunakan” objek pengetahuan. Sebaliknya, objek akan tetap menjadi objek yang “dialami” dan “digunakan,” proses ini berlaku sepihak.
Proses antara subjek dengan subjek, berlaku hubungan timbal balik. Subyek memperoleh pengetahuan dari subjek yang lain, tidak ada lagi objek yang “dialami” atau “digunakan.” Objek berubah menjadi subjek, dikarenakan adanya perjumpaan. Buber melihat proses kedua ini sebagai proses religius, karena melalui proses pengetahuan yang berlangsung antar subjek dengan subjek, menghadirkan realitas. Buber mengambil contoh dari Alkitab,
22
yaitu peristiwa pengenalan Adam dan Hawa. Adam melakukan perjumpaan dengan Hawa sebagai sesama subjek: ada intimitas dalam hubungan timbal balik sebagai sepasang kekasih, keduanya saling memberikan pengaruh satu sama lain.
2.3.2 Manusia sebagai Pribadi
Individu hidup di dalam dua kutub, ego dan pribadi. Individu yang menyadari bahwa dirinya adalah subjek yang “mengalami” dan “menggunakan”, memisahkan diri dari hubungannya dengan yang lain, itulah ego. Ego menjadikan dirinya sebagai pusat dan melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya. Sebaliknya, pribadi adalah kesadaran individu akan subjektivitasnya yang menjalani hubungan dengan yang lain. Aktualisasi individu ditentukan
23 melalui partisipasinya dengan orang lain yang terbangun dalam sebuah interaksi.
22 Ibid,……………… 30.
Aspek penting dalam sebuah interaksi adalah dialog. Perjumpaan individu dengan yang lain, memungkinkan adanya dialog di antara keduanya. Dialog yang terjadi adalah dialog yang setara, antara subjek dengan subjek. Individu mengakui yang lain sebagai subjek yang memberi sekaligus yang menerima, sama dengan dirinya. Penjelmaan dari dialog di antara individu dengan individu, memberikan dampak adanya pergeseran komunikasi (communication)
24
menjadi persekutuan (communion). Di dalam sebuah komunitas, individu berperan membantu sesamanya dalam proses “mempribadi.” Proses “mempribadi” menyadarkan individu bahwa dirinya tidak dapat hidup tanpa orang lain.
2.3.3 Relasi I –It dan I–Thou
2.3.3.1 Relasi I –It.
Hubungan yang sepihak dan bersifat posesif tergambar dalam relasi I
- –It. Buber melihat
relasi I
- –It tidak memperlihatkan sebuah hubungan yang sangat mendasar. It tidak memberikan
pengaruh kepada I, dan I tidak membiarkan It untuk mempengaruhinya, adanya pemisahaan antara I dan It, subjek dan objek. Di dalam relasi I
- –It tidak ada perjumpaan.
Perjumpaan tidak terjadi dalam hubungan I
- –It, I menutup diri dari It, tidak membiarkan
It ada pada dirinya sendiri tetapi ada menurut pikiran I. It adalah dunia pengalaman
25 (Erfahrung),
“pengalaman” yang dimaksud oleh Buber adalah segala sesuatu yang digunakan demi kepentingan I. Pengalaman I memasukkan segala yang lain ke dalam dirinya sendiri.
“Yang lain” tidak berada pada posisi in between, karena itu tidak ada realitas dalam hubungan
I
–It. I hadir sebagai diri yang menampilkan ego, mengobjektivitasi yang lain demi
24 Martin Buber, Between Man And Man, Penerjemah: Ronald Gregor-Smith (London & New York: The Taylor & Francies e-Library, 2004), 6.
kepentingannya. Individu yang melakukan pola hubungan I
- –It, menurut Buber bukanlah
26
manusia, karena baginya relasi I
- –It mengakibatkan individu keluar dari komunitas dan
sekaligus jauh dari sesamanya. relasi I
- –It membuat individu hidup terasing, padahal jati dirinya
sebagai “ada” (being) yang hanya dapat diwujudkan bila berada dalam perjumpaan (encounter) .
Relasi I
- –It dalam kehidupan modern terbentuk melalui institusi. Menurut Buber
27
institusi dilukiskan dalam It yang penuh dengan objek. Individu melalui institusi mengatur segala sesuatu, berkompetisi, mempengaruhi, bernegosiasi, dan sebagainya. Institusi membawa individu dalam keterpisahan dengan yang lain karena masuk dalam pengelompokan individu dan menekan aspek privat, perasaan komunal yang terlihat dipermukaan. I melihat yang lain sebagai pengelompokan, pemisahan dan kompetisi yang tajam, jika situasi ini semakin menyesak, individu akan menjadi jenuh hidup dalam institusi. Individu akan memberikan reaksi untuk keluar dari suasana institusi, melakukan relaksasi dari suasana pengelompokan, pemisahan dan kompetisi yang tajam dan akhirnya menutup relasi dengan yang lain, hilanglah perjumpaan dengan sesama. Di zaman modern, individu hidup dari satu keterasingan keterasingan yang lain, pola relasi I
- –It meningkat secara progresif yang berdampak pada kehidupan individu yang kehilangan perjumpaan dengan sesama.
2.3.3.2 Relasi I-Thou.
Pola relasi I
- –Thou, menurut Buber adalah hubungan timbal balik, membentuk dunia
28
interaksi. Relasi I
- –Thou merupakan peningkatan progresif dari hubungan I–It. Thou dapat
26 27 Ibid,…… 34.
Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama , …….. 37 membalas apa yang I sampaikan dan hanya Thou yang dapat memberi masukkan kepada I, sehingga dapat mengembangkan diri, hal semacam ini yang tidak ada dalam relasi I
- –It.
“Kehidupan roh” (progressive development of the life of the spirit) ditandai dengan adanya
29 pengembangan progresif dalam diri individu yang terus menerus.
Kehidupan roh ada di “ruang antara” (in between) I and Thou, bagi Buber kehidupan
30 roh tidak tidak terdapat di dalam I, tetapi berada di dalam perjumpaan antara I dengan Thou.
I bisa ada di dalam kehidupan roh apabila I dapat menanggapi perjumpaan dengan Thou
sebagai subjek setara dan saling membangun. In between menyebabkan
I and Thou “terpisah”
agar berhadapan muka sebagai yang setara tetapi sekaligus ada jarak yang menyatukannya, I
31
maupun Thou memiliki subjektivitas masing-masing. In between menyadarkan keduanya akan adanya subjektivitas pada diri masing-masing dan sekaligus sadar akan subjektivitas pada yang lain.
Kehidupan komunitas terbentuk dari relasi I
- –Thou. Setiap individu membutuhkan
tempat berpijak untuk hidup dalam hubungan timbal balik yang setara. Menurut Buber
32
komunitas dibangun berdasarkan dua hal; pertama, interaksi yang dijalankan atas dasar satu “pusat kehidupan.” Kedua, komunitas dibangun berdasarkan interaksi. Dialog menjadi dasar agar kedua hal tersebut dapat dijalankan.
Relasi I
- –Thou memiliki aspek cinta yang memungkinkan seseorang bertanggung
jawab kepada yang lain. I dalam pola relasi I-Thou adalah yang mampu mencintai. Cinta merupakan bentuk tanggung jawab I terhadap Thou yang tidak terdapat dalam pola hubungan 29 Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama 30 , …….. 40. 31 Buber, I and Thou ,…… 49.
Wibowo, Aku, Tuhan Dan Sesama
,……………… 41.
33 I
Individu dimampukan untuk hidup dalam –It. Cinta merupakan pengarahan I kepada Thou. keterlibatan yang utuh dengan sesamanya melalui cinta. I yang mencintai Thou, adalah I yang
34
memperlakukan Thou setara, dan dalam kesetaraan I mewujudkan tanggung jawab. Cinta bukanlah perasaan subjektif, perasaan ada di dalam I, sedangkan I ada di dalam cinta. Di sinilah letak perbedaan I dalam relasi I
- –It, I adalah perasaan. Cinta dan perasaan merupakan dua hal
yang berbeda, cinta menunjuk kepada orang lain sedangkan perasaan menunjuk pada diri sendiri.
Relasi I
- –Thou tidak hanya memiliki aspek cinta, tetapi juga ada aspek kebebasan. I
mengadakan perjumpaan dengan Thou bukan karena Thou telah melakukan sesuatu terhadap
I , namun I menanggapi Thou berdasarkan atas keputusan bebas I untuk mengadakan relasi
dengan Thou. Buber menyebutkan bahwa individu yang bebas adalah individu yang
35 berkehendak tanpa selalu berubah pikiran dengan tiba-tiba dan alasan yang tidak jelas.
Kehendak dalam diri individu bukanlah kehendak untuk berkuasa, melainkan kehendak untuk merealisasikan kehidupan yang mendorong manusia untuk mengadakan perjumpaan dengan orang lain.
2.3.3.3 Eternal Thou
Relasi individu dengan Tuhan tidak mungkin dilakukan dengan pola I
- –It. Tuhan
sebagai Pribadi tidak mungkin dijadikan It oleh individu. Oleh karena itu relasi individu dengan Tuhan memakai pola I
- –Thou. Tuhan adalah Pribadi yang sempurna, Pribadi yang mutlak atau
Absolut. Tuhan menjadi Pribadai yang Absolut karena IA tidak dapat dibatasi. Buber
33 34 Ibid,………43 Ibid, …….. 44.
36
menggunakan istilah Eternal Thou untuk menunjuk ke Pribadi Tuhan yang Absolut. Individu
- – dapat merasakan kehadiran Tuhan sebagai Pribadi hanya dengan menjalankan hubungan I Thou .
Tuhan senatiasa berada di dalam relasi dengan individu, dan dalam hubungan itulah terbentuk “ruang antara.” “Ruang antara” bagi Buber merupakan sejarah yang sedang
37 Tuhan harus berlangsung, dan dalam sejarah dunia manusia dapat “bertemu” dengan Tuhan.
dipahami sebagai Tuhan yang selalu hadir dan kehadiranNya adalah makna dari kehidupan. Tuhan membentuk individu untuk dapat memberikan makna bagi dunia. Tuhan sebagai Pribadi dalam hubungan I
- –Thou “mengalirkan” “anugerah” (grace) dalam perjumpaan dengan I, dan
“anugerah” berada pada “ruang antara.” Individu yang berada di dalam perjumpaan akan
38 merasakan “anugerah” dan sekaligus menyambutnya dalam bentuk “kehendak” (will).
Kehendak adalah keputusan atau tanggapan individu terhadap “anugerah” yang dialirkan Tuhan.
Keputusan (Entsheidung) menjadi suatu aspek penting ketika individu membentuk diri dalam relasi I
- –Thou. Individu secara sadar memilih apa yang dianggap baik dan apa yang tidak
melalui keputusannya. Eternal Thou hadir dalam hubungan dengan seseorang sekaligus memberikan “jalan” kepada seseorang dalam mengambil keputusan. Relasi I–Eternal Thou, perjumpaan manusia dengan Tuhan, juga terjadi dalam interaksi dengan sesama, I –Thou.
36 37 Ibid, …….. 73.
Ibid.
2.4 Rangkuman
Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari relasi dengan lingkungan dan
- – sesamanya. Martin Buber mengklasifikasikan hubungan individu menjadi dua, yaitu relasi I
It dan relasi I
- –Thou. Individu akan menemukan dirinya, menjadi pribadi yang utuh dan dapat
menemukan tujuan hidup apabila berada dalam relasi I
- –Thou. Sebaliknya, hal-hal tersebut
tidak dapat ditemukan dalam relasi I
- –It. Relasi I–It merupakan hubungan subjek–objek,
sedangkan relasi I –Thou hubungan subjek-subjek.
Relasi I –It, merupakan relasi subjek-objek. I sebagai subjek mengobjekkan yang lain.
I
“mengalami” dan “menggunakan,” sedangkan yang lain, yang “dialami” dan “digunakan.” Relasi I
- –It menempatkan hubungan yang sepihak, I melakukan hubungan hanya sejauh kepentingan dan keinginannya saja.
Relasi I
- –Thou bersifat spontan, tidak terikat oleh aturan-aturan serta melampaui ruang
dan waktu, dibangun atas dasar kesetaraan. Relasi ini memperlihatkan perjumpaan kedua subjek yang diliputi oleh suasana dialogis. I menyapa Thou. Thou sebagai yang setara dengan
I berada di dalam kebebasan yang sama dengan I, begitu juga sebaliknya. Relasi I
- –Thou,
dikuasai oleh cinta, aspek timbal balik akan membentuk identitas yang akan membawa pada aktualisasi diri.
Relasi I-Eternal Thou merupakan hubungan yang sama dengan I
- –Thou. Individu dapat
merasakan kehadiran Tuhan melalui pengalamannya dalam relasi I
- –Eternal Thou. Tuhan
sebagai Pribadi yang berbeda dengan manusia akan senatiasa berada dalam hubungan dengan manusia. Perjumpaan manusia dengan Tuhan dalam relasi I
- –Eternal Thou, terdapat juga
melalui sesama dalam relasi I
- –Thou, ada dua aspek yang bertemu, yaitu pemberian dari Tuhan dan kehendak dari manusia yang diwujudkan dalam keputusan-keputusan.