BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Peran Sektor Informal Terhadap Ruang Publik Dalam Perkotaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dilakukan untuk dapat menginvetarisasi teori-teori dan

  kajian literatur yang dapat digunakan sebagai landasan teori dan alat untuk menelaah serta mengidentifikasi permasalahan rancangan pedestrian.

2.1 Elemen Perancangan Kota

  Menurut Shirvani (1985), di dalam perancangan kota ada delapan elemen yang harus dipertimbangkan, antara lain land use (tata guna lahan), building form and

  massing (massa dan bentuk bangunan), sirkulasi dan parkir, ruang terbuka, jalur

  pejalan kaki, activity support, signages, dan preservation (preservasi). Dari kedelapan elemen diatas empat diantaranya akan diperdalam, yaitu parkir dan sirkulasi, ruang terbuka, dan jalur pejalan kaki.

  2.1.1 Sirkulasi dan parkir Sirkulasi kota terkadang dapat menimbulkan masalah sehingga dibutuhkan suatu pemikiran yang mendasar, antara prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas pelayanan umum yang berpengaruh terhadap padatnya kegiatan, jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat serta perilaku masyarakat kota yang memanfaatkan jalan tersebut.

  Menurut Shirvani (1985) ada tiga prinsip utama dalam menangani sirkulasi, yaitu:

  10 a.

  Jalan harusnya didesain menjadi ruang terbuka yang memiliki pemandangan yang baik antara lain bersih dan lansekap yang menarik, persyaratan ketinggian dan garis sempadan bangunan yang berdekatan dengan jalan, pengaturan parkir di pinggir jalan dan tanaman yang berfungsi sebagai penyekat jalan dan meningkatkan lingkungan alami yang terlihat dari jalan.

  b.

  Jalan harus dapat memberi petunjuk orientasi bagi para pengendara dan dapat menciptakan lingkungan yang dapat dibaca. Lebih khusus lagi yaitu menciptakan bentuk lansekap untuk meningkatkan kualitas lingkungan kawasan sepanjang jalan tersebut, membangun perabot jalan yang berfungsi pada siang dan malam hari dengan hiasan lampu yang mendukung suasana jalan termasuk perencanaan umum jalan dengan pemandangan kota dan beberapa visual menarik yang dapat berperan sebagai landmark (tetenger), pembedaan susunan dan jalan-jalan penting dengan memberikan perabot jalan, trotoar, maju mundurnya batas bagunan, penggunaan lahan yang cocok dan sebagainya.

  c.

  Sektor publik dan swasta merupakan rekan (partner) untuk mencapai tujuan tersebut di atas. Beberapa kecendrungan tujuan dalam perencanaan transportasi meliputi meningkatkan mobilitas di kawasan pusat bisnis

  

Central Business Distrct (CBD), mengurangi penggunaan kendaraan

  pribadi, mendorong penggunaan kendaraan umum, dan meningkatkan kemudahan pencapaian ke kawasan pusat bisnis (Brambilla and Cianni, 1977).

  Parkir merupakan masalah yang selalu dihadapi di kawasan perkotaan terutama di kawasan pusat kota karena setiap muncul bangunan fungsional umum baru, kebutuhan parkir selalu ramai dibicarakan oleh masyarakat, para pakar dan pemerintah kota.

2.1.2 Ruang terbuka

  Setiap orang yang berlainan profesinya akan memiliki pengertian yang berbeda tentang ruang terbuka. Ruang terbuka ini bisa menyangkut semua lansekap, elemen keras (hardscape), taman dan ruang rekreasi di kawasan kota. Elemen-elemen ruang terbuka juga menyangkut lapangan hijau, ruang hijau kota, pohon-pohonan, pagar, tanam-tanaman, air, penerangan, paving, kios-kios, tempat-tempat sampah, air minum, sculpture, jam dsb (Gambar 2.1). Secara keseluruhan elemen-elemen tersebut harus dipertimbangkan untuk mencapai kenyamanan karena elemen yang sangat esensial dalam perancangan kota (Shirvani, 1985).

  Menurutnya ruang terbuka di area pertokoan dapat menjadi ruang pendukung kegiatan (activity support) bila terletak pada minimum dua pusat kegiatan yang menjadi pemicu pola pergerakan massa. Ruang terbuka tersebut merupakan ruang terbuka publik yang dimanfaatkan bagi kepentingan publik, sehingga perlu didukung adanya elemen-elemen ruang yang dapat memberi kenyamanan bagi pengguna seperti: tempat duduk, pohon/peneduh, tempat parkir. Struktur tempat parkir tidak boleh mengganggu aktivitas disekitarnya tetapi harus mendukung kegiatan street level dan menambah kualitas visual lingkungannya.

Gambar 2.1 Ruang Terbuka

  Sumber Perencanaan sebuah kota merupakan suatu perencanaan bentukan ruang dengan bangunan-bangunan, dan antar bangunan-bangunan tersebut akan membentuk suatu ruang terbuka publik. Menurut Cohen (1999), ruang di perkotaan menciptakan bentuk-bentuk sekelilingnya dan memberi pengaruh kuat terhadap keruangan.

  Carr (1992) berpendapat bahwa ruang publik merupakan ruang milik bersama, ternpat masyarakat beraktivitas fungsional dan ritual dalam suatu ikatan komunitas, baik dalam kehidupan rutin sehari-hari maupun dalam perayaan berkala. Digunakan juga untuk pertemuan massal lainnya seperti demonstrasi, kampanye maupun upacara resmi. Selain itu ruang publik juga digunakan untuk kepentingan pribadi, kegiatan juai beli, untuk bertaman dan juga untuk berolahraga.

  Menurut Rustam Hakim (1991), ia berpendapat bahwa ruang terbuka memiliki beberapa fungsi, yaitu tempat bermain dan berolahraga; tempat bersantai; tempat sosial komunitas; tempat peralihan atau tempat menunggu; ruang terbuka untuk mendapatkan udara segar; sarana penghubung antara suatu tempat dengan tempat lain; dan ruang pembatas antar bangunan.

  Berdasarkan hasil studi terhadap berbagai kriteria yang dikemukakan oleh Carr (1992) terdapat beberapa kriteria sifat yang harus dimiliki oleh sebuah ruang publik, agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu:

  1. Ruang publik harus bersifat responsif (responsif spaces), yang menunjukkan bahwa ruang publik harus mampu melayani kebutuhan dan keinginan masyarakat penggunanya. Kriteria ini terbagi atas beberapa kriteria detail, yaitu bahwa ruang publik harus dapat memberikan kenyamanan (comfortable), relaksasi, pertemuan aktif dan pasif, serta menemukan hal-hal yg baru (inspiratif).

  2. Ruang publik harus bersifat demokratis (democratic spaces), yang menunjukkan bahwa ruang publik harus dapat melindungi hak individu dan kelompok masyarakat penggunanya, atau dengan kata lain setiap penggunaan memiliki kesamaan hak dalam pemanfaatannya. Meskipun demikian, ruang publik harus tetap terjamin bahwa kegiatan seseorang atau sekelompok penggunaan tidak akan mengganggu kegiatan lainnya.

  3. Ruang publik harus dapat memberikan arti (meaningful spaces), yaitu ruang yang memberikan orang-orang untuk dapat membuat hubungan yang kuat antara tempat (place), kehidupan perorangan dan dunia yang lebih besar dan berusaha menghubungkan fisik dan konteks sosial. Ruang terbuka yang dihubungkan dengan kesejahteraan atau tumpang tindih dengan kepentingan individu serta pengalaman-pengalaman membuat suatu ruang menjadi suci bagi suatu masyarakat tertentu. Nilai motivasi ruang publik didefinisikan sebagai "kesejahteraan publik". Motivasi lingkungan dan visual masuk ke dalam kepuasan kebutuhan masyarakat untuk aktivitas pasit, penemuan dan makna. Ruang yang memuaskan kebutuhan masyarakat, melindungi hak mereka dan menawarkan suatu yang lebih bersifat atraktif serta dapat menunjang kesuksesan ekonomi.

  4. Ruang publik harus mudah dikunjungi (accessible spaces), yang menunjukkan bahwa ruang publik tersebut mudah dan aman dicapai masyarakat yang akan menggunakannya.

2.1.3 Jalur pejalan kaki (pedestrian ways)

  Istilah pejalan kaki atau pedestrian berasal dari bahasa Latin pedesterpedestris yaitu orang yang berjalan kaki atau pejalan kaki. Pedestrian juga berasal dari kata pedos bahasa Yunani yang berarti kaki sehingga pedestrian dapat diartikan sebagai pejalan kaki atau orang yang berjalan kaki. Sehingga pedestrian ways mempunyai arti pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan moda berjalan kaki, sehingga jalur pejalan kaki dapat menyatu dengan lingkungannya. Pedestrian juga diartikan sebagai pergerakan atau sirkulasi atau perpindahan orang atau manusia dari satu tempat ke titik asal (origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki (Rubenstein,1992).

  Jalur pedestrian di ruang kota, misalnya di kawasan perdagangan, disebelah kanan dan kiri jalur pejalan kaki terdapat deretan toko dan di ujung jalur tersebut terdapat penguatan berupa plasa terbuka dan merupakan lintasan untuk umum (Harvey M. Rubenstain, 1987). Jalur pejalan kaki yang fungsinya sebagai jalur sirkulasi terkadang dimanfaatkan untuk aktivitas lain yang dapat menyenangkan pejalan kaki dan mampu menghidupkan kawasan tersebut serta mendukung keberadaan jalur pejalan kaki selama tidak menimbulkan masalah dan mengganggu aktivitas berjalan (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Pedestrian Ways

  Sumber Menurut Shirvani (1985) bahwa jalur pejalan kaki harus dipertimbangkan sebagai salah satu elemen perencanaan kota. Sistem pedestrian yang baik bagi kota khususnya kawasan perdagangan dapat memberikan dampak yang baik dan merangsang aktivitas perdagangan, mengurangi ketergantungan terhadap kenderaan dan meningkatkan kualitas lingkungan dan udara karena berkurangnya polusi udara.

  Selanjutnya Shirvani mengatakan bahwa jalur pejalan kaki adalah bagian dari kota dimana orang bergerak dengan kaki, yang terletak di sisi jalan baik yang direncanakan atau terbentuk dengan sendirinya yang menghubungkan satu tempat ke tempat lainnya.

  Jalur pedestrian merupakan daerah yang menarik untuk kegiatan sosial, perkembangan jiwa dan spiritual, misalnya untuk bernostalgia, pertemuan mendadak, berekreasi, bertegur sapa dan sebagainya. Jadi jalur pedestrian adalah tempat atau jalur khusus bagi orang berjalan kaki. Jalur pedestrian pada saat sekarang dapat berupa trotoar, pavement, sidewalk, pathway, plaza dan mall. Jalur pedestrian yang baik harus dapat menampung setiap kegiatan pejalan kaki dengan aman. Persyaratan ini perlu dipertimbangkan di dalam perancangan jalur pedestrian. Agar dapat menyediakan jalur pedestrian yang dapat menampung kebutuhan kegiatan-kegiatan tersebut maka perancang perlu mengetahui kategori perjalanan para pejalan kaki dan jenis-jenis titik simpul yang ada dan menarik bagi pejalan kaki.

  Jalur pedestrian sebagai unit ruang kota keberadaannya dirancang secara terpecah-pecah dan menjadi sangat tergantung pada kebutuhan jalan sebagai sarana sirkulasi.

  Fungsi jalur pedestrian yang disesuaikan dengan perkembangan kota adalah sebagai fasilitas pejalan kaki, sebagai keindahan kota, sebagai media interaksi sosial, sebagai sarana konservasi kota dan sebagai tempat bersantai serta bermain. Sedangkan kenyamanan dari pejalan kaki dalam berjalan adalah adanya fasilitas- fasilitas yang mendukung kegiatan berjalan dan dapat dinikmatinya kegiatan berjalan tersebut tanpa adanya gangguan dari aktivitas lain yang menggunakan jalur tersebut.

  Menurut Danisworo (1991), fasilitas yang diperuntukkan bagi jalur pejalan kaki dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

  1. Jalur pedestrian yang dibuat terpisah dengan jalur kenderaan, biasanya terletak berdekatan atau bersebelahan dengan jalan raya. Jalur tersebut digunakan oleh pejalan kaki untuk berjalan menuju suatu tujuan tertentu. Untuk itu diperlukan suatu fasilitas yang aman dari bahaya kenderaan dan jalur tersebut memiliki ketinggian yang berbeda dan permukaan yang rata, berupa trotar di tepi jalan.

  2. Jalur pedestrian yang digunakan untuk menyeberang, jalur ini digunakan oleh pejalan kaki untuk menghindari konflik dengan moda transportasi lainnya. Jalur ini dapat berupa jalur penyeberangan jalan (zebra cross), jembatan penyeberangan atau jalur penyeberangan bawah tanah.

  3. Jalur pedestrian yang sifatnya rekreatif dan mengisi waktu luang (sebagai ruang publik), yang terpisah sama sekali dari jalur kenderaan bermotor dan biasanya dapat dinikmati secara santai. Pejalan kaki dapat berhenti dan beristirahat pada bangku-bangku yang disediakan (taman kota/plasa kota).

  4. Jalur pedestrian yang sisi sampingnya digunakan sebagai tempat berjualan, digunakan untuk melihat etalase pertokoan (mall).

  Menurut Rapoport (1977), aktivitas termasuk berjalan kaki mengandung empat komponen yaitu sebagai berikut:

  1. Aktivitas yang sebenarnya, misalnya berjalan, makan, dan sebagainya.

  2. Cara melakukan, misalnya berjalan di jalur pedestrian, makan di rumah.

  3. Aktivitas tambahan, yakni terkait dan merupakan bagian dari satu kesatuan dalam sistem aktivitas, misalnya berjalan sambil melihat-lihat etalase.

  4. Makna dari aktivitas tersebut, misalnya untuk menghayati lingkungan. Selanjutnya Rapoport (dalam Mouden, 1987), mengklasifikasikan kegiatan yang terjadi di jalan raya dan di jalur pejalan kaki, sebagai berikut:

  1. Pergerakan non pedestrian, yaitu segala bentuk kenderaan beroda dan alat angkut lainnya.

  2. Aktivitas pedestrian, meliputi aktivitas yang dinamis/bergerak sebagai fungsi transportasi dan aktivitas pedestrian yang statis seperti duduk dan berdiri. Hal ini berarti bahwa jalur pedestrian bukan hanya sekedar sebagai salah satu ruang sirkulasi dan transportasi, tetapi lebih dari itu juga berfungsi sebagai ruang interaksi masyarakat dengan sistem transportasi jalan raya dan transportasi di jalur pejalan kaki, yang dapat berhubungan dengan moda dan alat transportasi lainnya.

  Menurut Rustam Hakim (1991), ruang publik pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dan pengguna suatu lingkungan baik secara individu dan kelompok. Batasan ruang publik yaitu bentuk dasar dari ruang terbuka di luar bangunan, dapat digunakan oleh publik, dan memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan. Rustam Hakim juga menjelaskan bahwa fungsi ruang publik adalah sebagai tempat bermain dan berolah raga, tempat bersantai, bersosialisasi, tempat peralihan/tempat tunggu, tempat terbuka untuk mendapatkan udara segar, penghubung antara satu ruang dengan ruang lainnya, pembatas jarak antar bangunan maupun berdagang.

  Menurut Danisworo (1991) jalur pejalan kaki berdasarkan jenisnya terdiri dari enam jenis yaitu trotoar, jembatan penyeberangan, plasa, mall, dan zebra cross (Tabel 2.1). Berdasarkan bentuknya jalur pejalan kaki terdiri dari empat jenis, yaitu sebagai berikut:

  2. Lokasi di tepi jalan raya yang dapat dilalui kenderaan.

  3. Lebar/luasan bervariasi.

  2. Tersedia fasilitas untuk pejalan kaki.

  1. Memiliki space yang lapang.

  Berjalan kaki yang sifatnya santai dan rekreatif.

  2 Plasa Merupakan jalur pejalan kaki yang bersifat rekreatif dan dapat dimanfaatkan untuk mengisi waktu luang. Letaknya terpisah sama sekali dari jalur kenderaan bermotor.

  4. Lebar trotoar antara 1,50- 2,00 meter.

  3. Meiliki permukaan rata.

  1. Memiliki arah yang jelas.

  1. Selasar, adalah jalur pejalan kaki yang beratap, tanpa dinding, pembatas pada salah satu atau kedua sisinya.

  Berjalan kaki dipinggir jalan yang dilalui kenderaan.

  1 Trotoar Jalur pejalan kaki yang dibuat terpisah dari jalur kenderaan umum, baisanya terletak bersebelahan atau berdekatan. Fasilitas ini harus aman terhadap bahaya kenderaan bermotor dan memiliki permukaan rata.

  Pengertian Fungsi Karakteristik

  No Jenis Jalur Pejalan Kaki

Tabel 2.1 Jenis Jalur Pejalan Kaki

  Gang, adalah jalur yang relatif sempit, terbentuk oleh bangunan yang padat.

  3. Jalur pejalan kaki yang tidak terlindungi/beratap 4.

  2. Gallery, adalah selasar lebar yang biasanya digunakan suatu kegiatan tertentu.

  4. Area bebas dari kenderaan.

Tabel 2.1 (Lanjutan)

  2. Memiliki lebar 2,00-4,00 meter.

  2.2.1 Pengertian Konsep "private" dan "public" sangat berhubungan dengan upaya untuk menunjukkan proses sosial yang dinamis sebagai bentuk kepedulian manusia untuk

  Sumber: Danisworo, 1991

  3. Bebas dari pergerakan kenderaan.

  2. Merupakan sirkulasi pejalan kaki yang menerus.

  1. Merupakan jembatan penyeberangan antar bangunan.

  Tempat berjalan kaki yang menghubungkan bangunan diatasnya.

  5 Jembatan Penyeberangan Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur yang aman dari pergerakan kenderaan dan letaknya pada ketinggian tertentu di atas permukaan tanah.

  3. Ditempatkan pada interval tertentu khususnya pada area rawan konflik pergerakan pejalan kaki dan kenderaan.

  1. Posisinya biasanya menyilang pada jalan dan biasanya dilengkapi traffic light.

  No Jenis Jalur Pejalan Kaki Pengertian Fungsi Karakteristik

  Tempat berjalan kaki khusus untuk memutuskan secara sementara pergerakan kenderaan agar terhindar dari kecelakaan

  4 Zebra Cross Jalur pejalan kaki yang digunakan sebagai jalur menyeberang untuk mengatasi dan menghindari konflik antara pejalan kaki dengan kenderaan.

  5. Area bebas dari kenderaan.

  4. Lebar/luasan bervariasi.

  3. Memiliki fasilitas pejalan kaki.

  2. Biasanya memiliki plasa kecil.

  1. Letaknya pada area perbelanjaan/perdagangan.

  Berjalan kaki khusus pada kawasan perbelanjaan

  3 Mall Jalur pejalan kaki yang dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas selain berjalan kaki, diantaranya untuk berjualan, duduk-duduk santai, kegiatan window shopping dan lain sebagainya.

2.2 Ruang Publik

  mengontrol tingkat interaksi, komunikasi atau pemisahannya dari manusia lain (Beng-Huat dan Edwards, 1992: 4).

  Wilayah privat dan publik dapat juga dihubungkan dengan pengertian derajat privasi (privacy gradients), yaitu suatu tingkatan/derajat penetrasi kelas-kelas yang berbeda dari orang "luar" pada situasi "di dalam" (Amos Rapoport dalam Beng-Huat dan Edwards, 1992: 24).

  Dinamika kehidupan masyarakat yang selalu berkembang memerlukan keseimbangan antara pemenuhan aktivitas publik maupun aktivitas privat, mengingat hubungan dan keterkaitan antara pengguna dan ruang publik tidaklah sederhana, mempunyai pola saling berkait dan sangat kompleks. Keterkaitan antara dinamika hidup bermasyarakat dan pemenuhan kebutuhan akan ruang aktivitas selalu membutuhkan perencanaan dan pengelolaan ruang publik secara dinamis untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antar pengguna ruang (Carr, 1992: 3-6).

  Ruang publik merupakan satu elemen fisik kota yang berperan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, terutama aspek sosial kemasyarakatan kota secara luas. Ruang publik juga merupakan tempat pertemuan yang cukup penting bagi sekelompok orang untuk melaksanakan aktivitas fungsional yang rutin maupun insidentil/periodik (Carr, 1992: xi).

  Keberadaan ruang publik yang didukung elemen non fisik lainnya sebagai suatu kesatuan unsur pembentuk kualitas kota tidak terlepas dari dinamika kehidupan masyarakat, terutama dalam konteks sosial budaya, sehingga untuk merencanakannya diperlukan pemahaman tentang kultur dan karakter dari suatu daerah yang telah menjadi ciri khas daerah tersebut (Budihardjo, 1997: 48).

  Nilai-nilai sosial kemasyarakatan sangat menentukan perwujudan elemen- elemen konseptual yang dapat dikombinasikan dengan fungsi dan kegiatan utama pada suatu kawasan tertentu sehingga akan menimbulkan adanya suatu ruang publik secara konkret (Roger Scruton dalam Beng-Huat dan Edwards, 1992:2). Ruang publik berperan besar dalam memberikan karakter suatu kota dan pada umumnya memiliki fungsi interaksi sosial bagi masyarakat, kegiatan ekonomi rakyat dan tempat apresiasi budaya (Darmawan, 2003: 1).

  Secara konseptual semua ruang publik dirancang dan diarahkan untuk menunjukkan intervensi manusia dalam upaya menciptakan garis batas untuk menentukan ruang-ruang aktivitasnya (Beng-Huat dan Edwards, 1992: 3).

  Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi oleh masyarakat luas dengan berbagai tingkat kehidupan sosial-ekonomi-etnik, pendidikan, perbedaan umur dan motivasi atau kepentingan yang berlainan (Darmawan, 2003: 2).

  Kriteria ruang publik secara esensial ada tiga, yaitu (Carr, 1992: 19-20): 1.

  Tanggap terhadap semua kebutuhan pengguna dan dapat mengakomodir kegiatan yang ada pada ruang publik tersebut (responsive).

  2. Dapat menerima kehadiran berbagai lapisan masyarakat dengan bebas tanpa ada diskriminasi (democratic).

  3. Dapat memberi makna atau arti bagi masyarakat setempat secara individual maupun kelompok (meaningful).

  2.2.2 Fungsi Ruang Publik Ruang publik merupakan ruang yang direncanakan karena kebutuhan akan tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka (Budihardjo dalam

  Darmawan, 2003: 76). Sementara Wiryomartono (1995: 118) menyebutkan bahwa konsep penataan ruang publik dan bangunan di sekitarnya merupakan ungkapan fisik serta simbol-simbol yang berkembang sesuai dengan persepsi masyarakat.

  Beng-Huat dan Edwards (1992: 1) menyebutkan kriteria ruang publik, yang umumnya digunakan untuk menunjukkan lokasi tertentu yang:

  1. Direncanakan meskipun secara minimal.

  2. Setiap orang memiliki akses yang saran.

  3. Mewadahi di dalamnya semua pengguna dan tidak direncanakan/dibatasi secara khusus/tanpa kecuali.

  4. Perilaku para pengguna satu sarna lain tidak terikat pada satu peraturan khusus, melainkan pada norma-norma yang berlaku secara umum di masyarakat. Untuk mewujudkan suatu ruang publik yang berkualitas, sebagaimana halnya hubungan antara manusia dengan ruang kegiatannya atau aktivitas dengan tempat beraktivitas, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sarana lain seperti layaknya suatu wadah dengan isinya. Interaksi antara pengguna dengan ruang publik akan dapat memunculkan makna tempat bagi ruang itu sendiri (Carr, 1992: 85-86).

  Selanjutnya Darmawan (2003: 1) menyebutkan fungsi ruang publik dapat di uraikan sebagai berikut:

  1. Sebagai pusat interaksi dan komunikasi masyarakat baik formal seperti upacara bendera, sholat Ied pada hari raya peringatan-peringatan yang lain, pertemuan informal seperti pertemuan individual, kelompok masyarakat dalam acara santai dan rekreatif atau demo mahasiswa dengan tujuan menyampaikan aspirasi, ide atau protes terhadap keputusan penguasa, instansi atau lembaga pemerintah maupun swasta.

  2. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor jalan yang menuju ke arah ruang publik tersebut dan sebagai ruang pengikat dilihat dari struktur kota, sekaligus sebagai pembagi ruang-ruang fungsi bangunan di sekitarnya serta ruang untuk transit bagi masyarakat yang akan beralih ke arah tujuan lain.

  3. Sebagai tempat kegiatan pedagang kaki lima (PKL) yang menjajakan makanan dan minuman, pakaian, souvenir dan jasa entertainment atau pertunjukan terutama yang diselenggarakan pada malam hari.

  4. Sebagai paru-paru kota yang semakin padat, sehingga masyarakat banyak yang memanfaatkannya sebagai tempat berolah raga, bermain dan bersantai bersama keluarga. Dalam perkembangannya, ruang-ruang publik tidak hanya digunakan sebagai wadah interaksi sosial saja, namun juga mampu menciptakan suatu budaya atau pola perilaku masyarakat, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pula pertumbuhan dan perkembangan suatu kawasan serta menghubungkannya dengan kawasan lain disekitarnya (Carr, 1992: 43-49).

  2.2.3 Tipologi Ruang Publik Stephen Carr (1992: 79-84) mengelompokkan tipologi ruang publik menurut beberapa tipe dan karakter, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Taman Umum (public park) a.

  Taman umum/pusat (public/central park), dibangun dan dikelola untuk ruang terbuka umum sebagai bagian dari sistem penataaan ruang kota.

  Bentuknya berupa zona ruang terbuka yang memiliki peran sangat penting dengan luasan melebihi taman kota lainnya. Disamping sebagai landmark kota juga dapat berfungsi sebagai landmark nasional, biasanya berupa tugu/monumen yang didukung dengan elemen asesoris kota seperti air mancur, jalur pedestrian yang diatur dengan pola-pola menarik serta taman dan ruang hijau di sekitar kawasan tersebut.

  b.

  Taman pusat kota (downtown parks), lokasinya berada di kawasan pusat kota, berbentuk lapangan hijau yang dikelilingi pohon-pohon peneduh atau berupa taman kota dengan pola tradisional, taman sejarah atau dapat juga dengan menerapkan disain pengembangan baru.

  c.

  Taman umum (commons park), berupa ruang terbuka hijau yang luas berupa lapangan rumput yang digunakan untuk kegiatan santai/rekreatif untuk umum.

  2. Lapangan dan Plasa (squares and plazas) Lapangan pusat kota (central square), ruang publik ini sebagai bagian pengembangan sejarah, berlokasi di pusat kota yang sering digunakan untuk kegiatan formal seperti upacara peringatan hari nasional, merupakan tempat pertemuan bagi beberapa koridor jalan di kawasan tersebut. Disamping itu juga untuk kegiatan masyarakat baik sosial, ekonomi maupun apresiasi budaya.

  3. Pasar (markets) Pasar hasil bumi (farmer's markets), ruang terbuka atau ruas jalan yang difungsikan untuk pasar hasil pertanian atau pasar loak. Biasanya berlangsung pada hari-hari tertentu atau bersifat temporer dan berlokasi di ruang-ruang yang ada, seperti jalan, taman atau lapangan parkir.

  4. Jalan (streets) Pedestrian sisi jalan (pedestrian sidewalk), merupakan bagian ruang publik kota yang banyak dilalui orang yang berjalan kaki menyusuri suatu jalan yang berhubungan dengan jalan-jalan yang lain.

  5. Mal pedestrian (pedestrian mall), suatu jalan yang ditutup bagi lalu-lintas kendaraan bermotor dan diperuntukkan khusus bagi pejalan kaki. Fasilitas tersebut biasanya dilengkapi dengan asesoris kota seperti pagar, tanaman dan biasanya berlokasi di sepanjang jalan utama pada pusat kota.

  6. Jalur lambat (traffic restricted streets), jalan yang difungsikan sebagai ruang terbuka dan diolah dengan disain pedestrian agar lalu lintas kendaraan terpaksa berjalan lambat serta dihiasi dengan tanaman di sepanjang jalan.

  7. Jalur hijau dan jalan taman (greenways and parkways), merupakan jalur pedestrian (pejalan kaki) atau kendaraan tak bermotor (sepeda) yang menghubungkan antar tempat rekreasi dan ruang terbuka lainnya.

  2.2.4 Karakter Ruang Publik Karakter ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Perancangan dan pengembangan ruang publik merupakan hal yang signifikan untuk kota maupun perkotaan.

  Ruang publik merupakan konstruksi sosial dari ruang yang ada, baik ruang tempat bermukim hingga ruang yang dikunjungi ketika bepergian. Perilaku spasial yang ditentukan dan menentukan ruang merupakan bagian yang terintegrasi dengan eksistensi sosial masyarakat. Ruang publik menciptakan batasan spasial menjadi prasyarat utama dalam sebuah perancangan kota. Menciptakan batasan ruang-ruang yang hidup dan aktif merupakan kondisi yang penting untuk keberhasilan penyediaan ruang publik. Hal ini sangat penting bagi perancangan kota untuk menciptakan ruang publik positif, yaitu ruang yang dibatasi oleh bangunan.

  Ruang publik menjadi mediator antara ruang privat yang mendominasi wilayah kota dan memainkan peran penting dalam pembagian sosio spasial. Tanpa adanya proses mediasi, maka pergerakan spasial di dalam kota menjadi sangat terbatas. Kondisi saat ini memperlihatkan banyaknya permukiman yang dijaga keamanannya serta banyak jaringan jalan yang dikotak-kotakkan dan dibatasi aksesnya. Ruang publik sebagai integrasi kota menuju fragmentasi fungsional dibutuhkan karena pada zaman modern integrasi fungsional kota cenderung menghilang dan memudar. Perkembangan ukuran ruang kota telah membawa pada spesialisasi ruang, dimana terjadi pemisahan hubungan simbolis dan fungsional dari lingkungan publik dan privat. Kemampuan untuk menjangkau seluruh ruang perkotaan telah mengurangi kontak fisik antara penduduk kota dan lingkungan terbangunnya.

2.3 Sektor Informal

  2.3.1 Pengertian Terry Mc Gee berpendapat bahwa kecenderungan yang terjadi pada kebanyakan kota di negara-negara dunia ketiga yang pesat perkembangan ekonominya, sering tidak diimbangi oleh kesempatan kerja. Luapan angkatan kerja tersebut lalu tertampung disektor informal dengan produktifitas yang bersifat subsisten, yaitu hanya untuk mempertahankan hidup (Rachbini, 1994: 14).

  Gustav Ranis dan Frances Stewart (Kirdar, 1997: 247) mendefinisikan sektor informal adalah meliputi semua aktivitas yang berkembang di luar jangkauan regulasi pemerintah dan mencakup usaha-usaha kecil dengan tenaga kerja kurang dari sepuluh orang serta memanfaatkan teknologi tradisional yang sederhana.

  Sementara Samir Radwan (Kirdar, 1997: 319) menyebutkan kebanyakan "pekerjaan" ini faktanya adalah "pengangguran" yang tersamar dengan upah rendah, tidak produktif dan tanpa perlindungan kerja.

  Makalah klasik Keith Hart (Manning dan Effendi, 1996: 75) dari penelitiannya tentang Small-scale Enterpreuneurs in Ghana yang pertama kali dipresentasikan tahun 1971, memperkenalkan sebuah terminologi baru yang membedakan antara "sektor informal" dengan "sektor formal". Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap pendapatan keluarga di kota Accra, Ghana, ditemukan bahwa terdapat variasi yang besar dalam hal tersedianya peluang pendapatan legal maupun ilegal pada kelompok miskin di perkotaan (Gilbert dan Gugler, 1996: 96).

  Terminologi Hart kemudian digunakan oleh sebuah misi ke Kenya tahun 1973 di bawah bendera World Employment Programme yang diorganisir oleh organisasi buruh internasional (ILO). Misi tersebut berpendapat bahwa sektor informal telah memberikan tingkat ongkos yang rendah, padat karya, barang dan jasa yang kompetitif dan memberikan rekomendasi agar Pemerintah Kenya mendorong sektor informal tersebut (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 337).

  Sektor ekonomi informal bisa dikatakan sebagai usaha-usaha kecil yang dikelola oleh pribadi-pribadi yang dengan bebas dapat menentukan cara bagaimana dan di mana usaha mereka akan dijalankan, sehingga sangat efektif untuk melayani masyarakat luas (Rachbini, 1994: i).

  The ILO Urbanization and Employment Research Project memberikan

  definisi sebagai berikut (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 338): sektor informal meliputi unit-unit usaha skala kecil dalam produksi maupun distribusi barang dan jasa dengan tujuan utama untuk menghasilkan pekerjaan dan penghasilan bagi pelakunya, walaupun dengan keterbatasan sumberdaya alam maupun manusia, serta pengetahuan dan penghasilan.

  Aktivitas-aktivitas informal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan di pinggiran kota-kota besar, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas- aktivitas sektor informal pada umumnya dikesampingkan, jarang didukung, bahkan seringkali diatur oleh peraturan yang ketat atau terkadang justru tidak diperhatikan oleh pemerintah (Gilbert dan Gugler, 1996: 96). Sektor informal kota di negara- negara berkembang mempunyai peran penting bagi kehidupan sebagian besar penduduk kota, sebab hampir setengah atau lebih tenaga kerja kota bekerja pada sektor ini (Gustav Ranis dan Frances Stewart dalam Kirdar, 1997: 246-258).

  Hans Dieter-Evers menggambarkannya sebagai ekonomi bayangan yang merupakan berbagai kegiatan ekonomi yang tidak mengikuti aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah. Kegiatan ekonomi bayangan ini merupakan bentuk kegiatan ekonomi yang bergerak dalam unit-unit kecil sehingga bisa dipandang efisien dalam memberikan pelayanan. Dilihat dari sisi sifat produksinya, kegiatan ini bersifat subsisten yang bernilai ekonomis dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, khususnya bagi masyarakat yang ada di lingkungan sektor informal (Rachbini, 1994:3).

  Fenomena ekonomi informal kebanyakan adalah korban dari pembangunan yang tidak memadai kapasitasnya, baik karena strategi yang dipilih maupun karena perlakuan pemerintah yang tidak sungguh-sungguh menaruh perhatian pada sektor ini. Perlakuan pemerintah daerah terhadap para pelaku ekonomi informal ini sering tidak manusiawi sehingga mematikan inisiatif dan kreativitas yang mereka bangun sendiri, tanpa dukungan insentif dari pemerintah (Rachbini, 1994: 81).

  Ekonomi informal, yang juga biasa disebut underground economy, biasanya selalu dianggap sebagai masalah, yaitu tidak terdaftar secara formal, bersifat ilegal yang tidak membayar pajak dan tidak berkompetisi secara fair dengan perusahaan industri formal yang tunduk pada hukum dan membayar pajak secara baik. Dengan demikian, sektor informal sering, bahkan selalu, dipandang sebagai kegiatan yang melawan hukum (Rachbini, 1994: 78). Kesimpulan yang bisa diambil disini adalah bahwa sektor informal merupakan sebuah respons yang spontan dan kreatif, tetapi tidak mendapat peluang dan akses terhadap kapasitas negara dalam mengakomodasi semua dinamika kehidupan ekonomi masyarakat (Rachbini, 1994: 79)

  2.3.2 Karakteristik Sektor Informal Di Indonesia ekonomi informal memainkan peranan hampir 70%, paling tidak dilihat dari segi penyerapan tenaga kerjanya. Sementara itu pada sisi outputnya terlihat masih belum memadai karena produktivitas sektor informal masih sangat rendah. (Rachbini, 1994: 40). Jan Bremen mengkonsepsikan sektor informal sebagai sektor ekonomi yang memiliki ciri-ciri tidak terorganisasi, tidak terdaftar dan tidak dilindungi oleh hukum, yang seringkali tercakup dalam istilah "usaha sendiri" (Rachbini, 1994: 88).

  Organisasi buruh internasional (lLO) menggambarkan ekonomi informal sebagai proses untuk menghasilkan pendapatan/pemasukan yang ditandai dengan satu hal penting; tidak diatur oleh institusi masyarakat/pemerintah, pada lingkungan sosial dan hukum dimana aktivitas yang sama juga diatur (Mariken Vaa dalam Kirdar, 1997: 338).

  Kegiatan sektor informal yang menonjol biasanya terjadi di kawasan yang sangat padat penduduknya, dimana pengangguran (unemployment) maupun pengangguran terselubung (disguised unemployment) merupakan masalah utama. Dengan fakta seperti ini, limpahan tenaga kerja tersebut masuk ke dalam sektor informal, tetapi masih dipandang sebagai penyelesaian sementara karena di dalam sektor informal sendiri terdapat persoalan yang sangat rumit (Rachbini, 1994: 26).

  Aktivitas-aktivitas sektor informal ini meliputi berbagai aktivitas ekonomi, yang ditandai dengan (Gilbert & Guggler, 1996: 96) mudah untuk dimasuki; Bersandar pada sumberdaya lokal; usaha milik sendiri; operasinya dalam skala kecil; padat karya dan teknologinya bersifat adaptif; keterampilan dapat diperoleh di luar sistem sekolah formal; tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasamya bersifat kompetitif.

  Dalam sektor jasa perdagangan dapat dibedakan antara sektor formal dan sektor informal. Sektor formal mencakup perusahaan-perusahaan yang mempunyai status hukum, pengakuan dan izin resmi serta umumnya berskala besar. Berbeda dengan sektor formal, kegiatan dalam sektor informal ini bercirikan intensitas modal rendah, produktivitas rendah dan terdapatnya teknologi yang tepat guna, dengan ciri- ciri sebagai berikut (Daldjoeni, 1997: 36-37):

  1. Kegiatan usaha yang bersifat relatif sederhana, tidak memiliki kerja sama yang rumit dan dapat dilakukan perorangan atau keluarga dengan sistem pembagian kerja yang fleksibel.

  2. Memiliki skala usaha yang relatif kecil dengan modal usaha dan modal kerja serta omset usaha yang umumnya juga kecil.

  3. Penghasilan rendah dan umumnya tidak mempunyai ijin usaha serta tingkat resiko yang relatif kecil.

  Mereka yang berkecimpung dalam bidang ini menjadi makin banyak dan kegiatan mereka meliputi bidang perdagangan (pedagang kaki lima), jasa (reparasi, calo), industri (pangan, mebel), angkutan (becak, dokar, ojek) dan bangunan (tukang batu, tukang kayu). Bidang-bidang tersebut memang mudah untuk dimasuki, hanya saja pengakuan pihak pemerintah terlihat masih sangat kurang.

  Gustav Ranis dan Frances Stewart (Kirdar, 1997: 247-248) membedakan dua tipe aktivitas sektor informal, yaitu:

  1. Aktivitas sektor informal tradisional, dengan ciri-ciri yaitu permodalan yang rendah; produktivitas pekerja rendah; pendapatan per kapita rendah; ukuran usaha kecil (dengan kurang dari tiga pekerja); dengan teknologi statis; seringkali dikelola dari dalam lingkungan rumah (keluarga).

  2. Aktivitas sektor informal modern, dengan ciri-ciri yaitu modal lebih intensif; biasanya berukuran usaha agak besar (lebih dari sepuluh pekerja); menggunakan teknologi yang lebih dinamis; cenderung memanfaatkan tenaga ahli yang sebagian berasal dari sektor formal kota dan sebagian dihasilkan melalui aktivitas pembelajaran dan pelatihan dalam sektor informal itu sendiri; produktivitas tenaga kerja lebih tinggi sehingga peningkatan pendapatan perusahaan dapat tercapai. Mereka yang melibatkan diri di sektor informal pada dasarnya berkaitan dengan etos kewiraswastaan (enterpreneurship) yang mereka miliki. Mereka tertarik masuk ke sektor informal ini umumnya karena tiga hal (Rachbini, 1994: 92) antara lain hampir tiadanya prosedur resmi dalam pendirian usaha sektor ini, karenanya hampir tidak memerlukan biaya dan waktu yang lama, persyaratan modal relatif kecil, dan potensi keuntungannya cukup baik.

  Sebagaimana dikatakan Bromley (1979: 103), kelemahan konsep sektor informal bukan hanya bersifat tidak analitis, konsep tersebut bahkan tidak mendorong adanya kebijakan pemerintah yang menentukan.

  Sektor informal cukup luas dan bervariasi sehingga memerlukan kebijakan yang berbeda-beda sehingga mendorong pemerintah untuk menggabung-gabungkan peningkatan bantuan, hal-hal yang perlu dihilangkan, rehabilitasi dan tuntutan dalam keseluruhan kebijakan secara total (Gilbert & Gugler, 1996: 99).

  Kesulitan pemerintah dan birokrasi untuk menggarap dan membangun ekonomi informal secara tuntas sering terbentur oleh beberapa kendala (Rachbini, 1994: 13):

  1. Kurangnya pengetahuan deskriptif maupun analitis mengenai jenis, unit dan luas kegiatan ekonomi informal.

  2. Tidak mempunyai kekuasaan birokrat untuk mencapai daerah pedesaan, pinggiran kota dan pemukiman kumuh yang kebanyakan digeluti oleh pelaku ekonomi informal.

  3. Kurangnya tenaga yang mampu mengetahui dengan baik seluk beluk ekonomi informal.

  4. Diterapkan peraturan dan prosedur yang kaku serta tidak luwes dalam sektor informal.

  5. Terdapatnya suatu kenyataan yang sederhana, yaitu tidak adanya sumber dana yang dapat mencukupi permintaan sektor tradisional yang luas.

  Pertumbuhan ekonomi dan investasi umumnya tidak sanggup menanggapi surplus tenaga kerja yang muncul sejak awal pertumbuhan ekonomi. Arah investasi dan orientasi produksi menimbulkan sektor enclave yang tidak ramah terhadap pertumbuhan tenaga kerja. Pergeseran tenaga kerja ke sektor non-pertanian yang tidak didasari dengan kekuatan ekonomi modern yang memadai, serta ketiadaan kompensasi bagi para pengangguran telah memaksa golongan usia kerja untuk bekerja seadanya. Dalam hal ini, sektor informal lebih berperan serta sifatnya lebih efisien dan menguntungkan, selain dapat menyalurkan tenaga kerja juga dapat menopang kehidupan masyarakat yang memiliki tingkat konsumsi rendah (Nasution, 1988: 8).

2.3.3 Pedagang Kaki Lima Dalam Sektor Informal

  Kehadiran sektor informal, yang terutama menggejala di kota-kota besar, selain berdampak ekonomis juga menimbulkan berbagai persoalan yang umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketertiban, keamanan, kebersihan, keindahan dan kenyamanan kota (Rachbini, 1994).

  Pedagang kaki lima (PKL) adalah merupakan salah satu bentuk aktivitas sektor informal. Istilah ini pertama kali muncul pada jaman pemerintahan Raffles yang mengacu pada ruang berukuran lima kaki yang berarti jalur bagi pejalan kaki pada pinggir/tepi jalan selebar kurang lebih lima kaki. Area tersebut kemudian dipergunakan untuk tempat berjualan para pedagang kecil, sehingga pedagang yang memanfaatkannya disebut juga sebagai pedagang kaki lima (Ardiyanto, 1998: 131).

  Sementara menurut McGee dan Yeung (1977: 25) pedagang kaki lima mempunyai pengertian yang sama dengan Hawkers, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan/menjajakan barang dan jasa pada tempat-tempat umum, terutama di trotoar dan di pinggir-pinggir jalan.

  Pengertian yang lebih spesifik dikemukakan oleh hasil penelitian Soedjana (1981) yang menyatakan bahwa pedagang kaki lima adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di atas trotoar atau di tepi/pinggir jalan, di sekitar pusat perbelanjaan/pertokoan, pasar, pusat rekreasi/hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari (Widjajanti, 2000: 28).

  Salah satu bentuk/upaya penetrasi publik ke kawasan bangunan adalah dengan cara mentolelir keberadaan pedagang kaki lima yang merupakan struktur potensial kota, guna mendukung "kehidupan" ruang terbuka antar bangunan. Hal seperti ini telah diterapkan di New York City dan Washington, DC dengan memberikan tempat aktivitas bagi para pedagang kaki lima, dimana struktur dan kondisinya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia (Wiryomartono, 1995: 187).

  Sektor informal (usaha kaki lima) ternyata juga sering dijadikan pekerjaan sampingan oleh orang-orang yang telah bekerja di sektor formal, alasannya karena cara ini mudah untuk dijalankan (tanpa melalui prosedur yang berbelit) dan seringkali lebih efektif dalam menarik pembeli (Wirutomo dalam Rachbini, 1994: xiii).

  Kawasan pedagang kaki lima biasanya merupakan area kota yang tumbuh secara tidak teratur, spontan dan "ilegal", namun menempati sebagian besar wilayah kota. Sedangkan sifatnya bisa dikatakan "marjinal" dalam pengertian campur tangan, pengawasan dan bantuan pemerintah; namun memainkan peranan yang penting dalam perkembangan kota umumnya, dan pada hakikatnya membentuk sifat-sifat serta prospek-prospek perkotaan (Suparlan, 1995: 86).

2.4 Karakteristik Aktivitas Pedagang Kaki Lima

  Karakteristik aktivitas pedagang kaki lima dilihat dari jenis dagangan, bentuk sarana fisik, pola sebaran, pola pelayanan, dan ruang aktivitas pedagang kaki lima.

  2.4.1 Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima Mc. Gee dan Yeung (1977:82-83) menyatakan bahwa jenis dagangan pedagang kaki lima sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada disekitar kawasan dimana pedagang tersebut beraktivitas.

  Misalnya disuatu kawasan perdagangan, maka jenis dagangan yang ditawarkan akan beranekaragam, bisa berupa makanan/minuman, barang kelontong, pakaian, dan lain-lain. Demikian juga dikawasan pasar tradisional jenis dagangan pedagang kaki lima didominasi oleh dagangan basah.

  Jenis dagangan yang ditawarkan oleh pedagang kaki lima dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok utama, yaitu (Gambar 2.3):

  1. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk didalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran.

  2. Makanan yang siap saji, seperti nasi dan lauk pauknya dan juga minuman.

  3. Barang bukan makanan, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.

  4. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas, misalnya tukang potong rambut, dan lain sebagainya.

Gambar 2.3 Jenis Dagangan Pedagang Kaki Lima

  Sumber

  2.4.2 Bentuk Sarana Fisik Aktivitas Pedagang Kaki Lima Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc. Gee dan Yeung (1977:

  82-83) di kota-kota Asia Tenggara diketahui bahwa pada umumnya bentuk sarana perdagangan pedagang kaki lima sangat sederhana dan biasanya mudah untuk dipindah atau dibawa dari satu tempat ke tempat lain dan dipengaruhi oleh jenis dagangan yang dijual.

  Adapun bentuk sarana perdagangan yang digunakan oleh pedagang kaki lima menurut Waworoentoe (1973), dalam Widjajanti (2000:39-40) sebagai berikut (Gambar 2.4): 1.

  Gerobak/kereta dorong, bentuk sarana ini terdiri dari dua macam yaitu, gerobak/kereta dorong tanpa atap dan yang beratap untuk melindungi barang dagangan dari pengaruh cuaca. Bentuk ini dapat dikategorikan dalam aktivitas pedagang kaki lima yang permanen (static) atau semi permanen (semi static), umumnya dijumpai pada pedagang makanan, minuman dan rokok.

  2. Pikulan/keranjang, sarana perdagangan ini digunakan oleh pedagang keliling (mobil hawkers) atau semi permanen, yang biasa digunakan oleh pedagang barang dan minuman. Sarana ini dimaksud agar barang dagangan mudah dibawa atau dipindah tempat.