BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desentralisasi Asimetris dan Otonomi Khusus - Analisis Pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Ipm) Provinsi Aceh

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Desentralisasi Asimetris dan Otonomi Khusus

  Pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization).

  Konsep desentralisasi asimetris berkembang dari konsep tentang

  

asymmetric federation yang diperkenalkan oleh Charles Tarlton pada tahun 1965

  (Tillin, 2006: 46-48). Menurut Tillin, terdapat dua jenis asymmetric federation, yakni de facto dan de jure asymmetry. Jenis pertama merujuk pada adanya perbedaan antar daerah dalam hal luas wilayah, potensi ekonomi, budaya dan bahasa, atau perbedaan dalam otonomi, sistem perwakilan atau kewenangan yang timbul karena adanya perbedaan karakteristik tadi. Sedangkan asimetri kedua merupakan produk konstitusi yang didesain secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini berhubungan dengan alokasi kewenangan dalam besaran yang berbeda, atau pemberian otonomi dalam wilayah kebijakan tertentu, kepada daerah tertentu saja. Menurut Tim Asistensi Kementrian Keuangan bidang berdasarkan konstitusi atau ketentuan hukum lainnya.

  Desentralisasi asimetris dalam bentuk otonomi khusus merupakan perwujudan desentralisasi yang disesuaikan dengan karakteristik daerah sehingga tidak disamaratakan secara general penerapannya pada seluruh daerah di dalam suatu negara. Ada beberapa negara di dunia yang menerapkan status otonomi khusus terhadap wilayah di negaranya. Sebagai contoh dapat diambil dari pengalaman Kanada dalam mengatur keistimewaan Quebec dalam kesatuannya dengan Federasi Kanada; Mindanao dalam kesatuan politiknya dengan Filipina; Sami Land dalam kesatuannya dengan Norwegia; dan Cina yang membuat kesepakatan dengan Inggris untuk menetapkan status Hongkong sebagai special

  administrative region pada tahun 1997 (TADF, 2012)

  Provinsi Aceh, Papua, dan DKI Jakarta adalah tiga daerah di Indonesia yang ditatakelola dengan model otonomi khusus. Selain ketiganya, yang sedang dalam proses, adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam hal pemberian status otonomi khusus, ada daerah yang menuntut untuk mendapatkan status otonomi khusus dan ada pula daerah yang tidak menuntut untuk mendapatkan status otonomi khusus namun dirasa penting untuk memiliki status tersebut.

  Provinsi Aceh adalah salah satu provinsi yang menuntut untuk mendapatkan status otonomi khusus. Penuntutan Aceh atas status otonomi khusus dilatarbelakangi oleh beberapa isu. Secara keseluruhan, isu pokok, pendukung, berikut ini: Tabel 2.1

  Isu Pendorong Permintaan (Daerah) dan Pemberian (Pusat) Status Otsus Kepada Provinsi Aceh

  Pokok Pendukung Penyerta Daerah Pusat Daerah Pusat Daerah Pusat

  Kekayaan alam tidak dinikmati daerah

  Ancaman disintegrasi/ Gerakan Aceh Merdeka yang tidak pernah dapat diselesaikan secara tuntas

  Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat daerah

  Keinginan elit politik daerah untuk menjadi pelaku politik utama di daerah

  Memelihara kekayaan nasional yang terdapat di daerah

  Sumber: Kajian otonomi khusus di Indonesia, 2008 Dengan memperhatikan pemetaan di atas, dapat dipahami jika otonomi khusus di Aceh dapat dilaksanakan dengan cepat. Alasan utama yang didesakkan oleh Aceh bermula dari alasan kultural, yang kemudian berkembang menjadi alasan sosial, sehingga menjadi sebuah gerakan sosial atau gerakan publik, yang selanjutnya berkembang menjadi desakan ekonomi karena kawasan tersebut menuntut keadilan ekonomi atas kekayaan lokal yang diekstraksi ke Pusat selama puluhan tahun tanpa trade-off yang memadai. Pada akhirnya, desakan tersebut

  Indonesia lebih merupakan sebuah “penjumlahan” atau “selisih” dari kekuatan tawar dari daerah (yang menuntut otonomi khusus) dan Pemerintah Pusat (yang berkepentingan mempertahankan keberadaan daerah tersebut dalam kesatuan republik Indonesia). Apabila posisi tawar daerah lebih kuat, hasilnya adalah pemberian otonomi khusus. Sebaliknya, apabila posisi Pusat kuat, maka hasilnya adalah tidak ada pemberian otonomi khusus (KEMITRAAN,2008)

2.2 Dana Otonomi Khusus

  Dana otonomi khusus merupakan salah satu bentuk transfer Pemerintah Pusat kepada daerah yang memiliki status otonomi khusus. Tujuan utama implementasi transfer Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah adalah mengurangi ketidakseimbangan fiskal yang terjadi baik secara vertikal maupun horizontal (Siddik, 2004: 131- 132). Selain itu, Pemberian dana otonomi khusus bertujuan untuk memacu daerah dengan status otonomi khusus untuk dapat mengejar ketertinggalannya dibandingkan daerah lainnya. Dana otonomi khusus yang merupakan transfer dari Pemerintah Pusat tentunya dapat mempengaruhi besarnya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) suatu daerah. Sebagai contoh, dana otonomi khusus yang diterima oleh Aceh, telah menjadi sumber pendapatan utama dan terbesar melebihi pendapatan Asli daerah PAD dan dana perimbangan lainnya sejak diberlakukannya status otonomi khusus Aceh (data DJPK). Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55% untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya undang-undang ini. Penerapan UU No. 11 Tahun 2006 memberikan perubahan terhadap sumber dana otonomi khusus untuk provinsi Aceh. Dana otonomi khusus dalam UU No. 11 Tahun 2006 adalah transfer pemerintah pusat kepada Aceh yang bersumber dari pagu dana alokasi umum (DAU) nasional berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% pagu dana alokasi umum nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% pagu dana alokasi umum nasional.

  Tabel 2.2 Penerimaan Provinsi Aceh Dalam Rangka Otonomi Khusus

  Sumber Dana Otsus UU No. 18 Tahun 2001 UU No. 11 Tahun 2006

  Tambahan dana bagi hasil 2% dari pagu dana alokasi umum sumberdaya Migas provinsi Aceh (DAU) nasional dari tahun ke-1 setelah dikurangi pajak sebesar 55% sampai tahun ke-15 dan 1% hingga untuk minyak bumi dan 40% untuk tahun ke-20. gas alam. Sumber: UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006

  Pemberlakuan UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam yang kemudian diubah menjadi UU No.11 Tahun hasil kekayaan alam dengan empat program prioritas yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat serta pembangunan infrastruktur. Dana Otonomi Khusus provinsi Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006 ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Sedangkan dalam UU No.18 Tahun 2001, Dana otonomi khusus yang merupakan salah satu bentuk desentralisasi asimetris ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik dengan rincian 30% ditetapkan untuk pembiayaan pendidikan di Aceh dan 70% untuk program pembangunan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa tujuan dari dana otonomi khusus adalah untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia.

2.3 Belanja Modal

  Belanja Modal adalah belanja yang dilakukan pemerintah yang menghasilkan aktiva tetap tertentu (Nordiawan, 2006). Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Menurut Halim (2006), belanja modal merupakan belanja yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah serta akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan. Munir (2003:36) juga menyatakan hal yang akan datang (Bland & Nunn, 1992). Dewi (2006) dan Syaiful (2008) mengutarakan bahwa belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap / inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

  Definisi belanja modal mempunyai kesamaan dimensi (dimensi investasi) dengan definisi belanja pembangunan. Belanja pembangunan diartikan sebagai pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan menambah aset atau kekayaan bagi daerah, yang selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan pemeliharaannya (Halim , 2002:72).

  Menurut kamus Hukum & Glosarium Otonomi Daerah (2010), Belanja modal adalah belanja (investasi) yang dibuat untuk proyek investasi modal (Capital Expenditure). Belanja pembangunan merupakan semua pengeluaran negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang terbagi dalam beberapa sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah. Terdiri dari bermacam-macam pengeluaran seperti pengeluaran pembangunan SD, pusat kesehatan (Puskesmas), penyertaan modal pemerintah di perusahaan-perusahaan dan pengeluaran pembangunan melalui inpres pasar, inpres jalan, dan inpres reboisasi.

  Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (

  a process of enlarging peoples’s

choices ). Definisi pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup

  dimensi pembangunan yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sisi manusianya, bukan hanya dari sisi pertumbuhan ekonominya.

  Sebagaimana laporan UNDP (1995), dasar pemikiran konsep pembangunan manusia meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

  1. Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian; 2.

  Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus berpusat pada penduduk secara komprehensif dan bukan hanya pada aspek ekonomi semata;

  3. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan/kapasitas manusia, tetapi juga pada upaya-upaya memanfaatkan kemampuan/kapasitas manusia tersebut secara optimal; 4. Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktifitas, pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan;

  5. Pembangunan manusia menjadi dasar dalam penentuan tujuan pembangunan ini mengembangkan suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representatif, yang dinamakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1990. IPM mencakup tiga komponen yang dianggap mendasar bagi manusia dan secara operasional mudah dihitung untuk menghasilkan suatu ukuran yang merefleksikan upaya pembangunan manusia. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dihitung sebagai rata-rata dari 3 (tiga) indeks yang menggambarkan kemampuan dasar manusia dalam memperluas pilihan-pilihan, yaitu (UNDP, 1990):

  1. Indeks Harapan Hidup Indeks Harapan Hidup menunjukkan jumlah tahun hidup yang diharapkan dapat dinikmati penduduk suatu wilayah. Dengan memasukkan informasi mengenai angka kelahiran dan kematian per tahun variabel e diharapkan akan mencerminkan rata-rata lama hidup sekaligus hidup sehat masyarakat.

  2. Indeks Pendidikan Penghitungan Indeks Pendidikan (IP) mencakup dua indikator yaitu angka melek huruf (Lit) dan rata-rata lama sekolah (MYS). Populasi yang digunakan adalah penduduk berumur 15 tahun ke atas. Kedua indikator pendidikan ini dimunculkan dengan harapan dapat mencerminkan tingkat pengetahuan (cerminan angka Lit).

  Untuk menghitung indeks pendidikan digunakan rumus (BPS, 2008):

  Untuk mengukur dimensi standar hidup layak (daya beli), UNDP (1990) mengunakan indikator yang dikenal dengan real per kapita GDP adjusted. Untuk perhitungan IPM sub nasional (provinsi atau kabupaten/kota), BPS (2008) menggunakan data rata-rata konsumsi 27 komoditi terpilih dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dianggap paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

  Ketiga komponen indeks pembangunan tersebut diformulasikan dalam rumus umum sebagai berikut (BPS, 2008) :

  IPM =1/3 (X1 + X2 + X3) Di mana : X1 = Indeks Harapan Hidup X2 = Indeks Pendidikan X3 = Indeks Standar Hidup Layak

  Masing-masing komponen tersebut terlebih dahulu dihitung indeksnya sehingga bernilai antara 0 (terburuk) dan 1 (terbaik). Untuk memudahkan dalam analisa biasanya indeks ini dikalikan 100. Teknik penyusunan indeks tersebut pada dasarnya mengikuti rumus sebagai berikut (BPS, 2008) :

  ∑ MaxXi = Nilai maksimum Xi Min Xi = Nilai minimum Xi

  Tabel 2.3 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM

  Indikator Komponen IPM Nilai Minimum Nilai Maksimum Angka Harapan Hidup (eo) 25,0 85,0 Angka Melek Huruf (Lit) 100 Rata-rata Lama Sekolah (MYS)

  15 Purchasing Power Parity (PPP) 360.000 737.720 Sumber : BPS, 2008

2.5 Penelitian Terdahulu

  Penelitian Yusri (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Determinan Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Aceh” ditujukan untuk menganalisis determinan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) propinsi Aceh.

  Metode analisis yang dipergunakan adalah Metode Generalized Least Square

  

(GLS) dengan Random Effect Model (REM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

  terdapat empat variabel penelitian signifikan yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Aceh. Variabel tersebut adalah pengeluaran rumah tangga makanan, pengeluaran rumah tangga bukan makanan, rasio penduduk miskin dan pengeluaran pemerintah bidang kesehatan. Sementara itu terdapat satu variabel penelitian yang tidak signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Aceh yaitu pengeluaran pemerintah berjud ul “Analisis Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/ Kota eks Keresidenan Surakarta” dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH) terhadap Belanja Modal (BM) di Kabupaten/ kota eks Keresidenan Surakarta serta Menganalisis pengaruh Belanja Modal (BM) terhadap Indeks pembangunan manusia (IPM).

  Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode regresi linear panel data dengan menggunakan Fixed Effect Model dengan waktu penelitian tahun 2004

  • –2011. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari lima variabel yang telah diuji dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal (BM), sedangkan pendapatan asli daerah (PAD) dan dana alokasi khusus (DAK) tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal (BM), selain itu belanja modal (BM) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap indeks pembangunan manusia di kabupaten/kota eks karesidenan surakarta.

  Penelitian yang dilakukan Imam Sumardjoko (2013) dalam jurnal yang berjudul “Pengaruh Penerimaan Dana Otonomi Khusus Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Papua dan Papua Barat dengan Belanja Modal Sebagai Intervening” yang menganalisis pengaruh dana otonomi Khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Papua dan Papua Barat dengan belanja modal intervening.

  Penelitian yang dilakukan Fhino Andrea Christy dan Priyo Hari Adi (2009) dalam jurnal yang berjudul “Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanj a Modal, dan Kualitas Pembangunan Manusia” dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh dana alokasi umum terhadap belanja modal dan kualitas pembangunan manusia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia di 35 kabupaten di Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana alokasi umum mepunyai pengaruh yang positif terhadap variabel belanja modal, dan belanja modal juga berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia.

  Penelitian yang dilakukan oleh Yudi Satria Aprizay, Darwanis, Muhammad Arfan (2014) dal am jurnal yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Pada Kabupaten/ kota di Provinsi Aceh” dengan tujuan untuk menguji pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran secara bersama-sama terhadap pengalokasian belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Metode analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik secara bersama maupun parsial Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran berpengaruh terhadap Belanja Modal.

  Pemberian dana otonomi khusus kepada pemerintah Aceh diharapkan membawa perubahan kemampuan APBD untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui belanja modal. Hal ini selaras dengan salah satu fokus pemanfaatan dana otonomi khusus yang diarahkan pada peningkatan taraf pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat. Konsep kerangka konseptual yang dibahas dalam penelitian tentang pengaruh dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh adalah sebagai berikut :

  Alokasi Belanja

  Modal APBD Dana

  Indeks Otonomi

  Pembangunan Khusus

  Manusia Gambar 2.1

  Kerangka konseptual pengaruh Dana Otonomi Khusus Terhadap

  IPM Provinsi Aceh

2.7 Hipotesis 1.

  Dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan Manusia provinsi Aceh.

2. Dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal

  Alokasi belanja modal berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia provinsi Aceh.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Strategi Green Cosmetic terhadap Loyalitas Konsumen Sariayu Martha Tilaar (Studi Kasus pada Mahasiswi Ekonomi dan Bisnis USU)

0 0 14

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Pemasaran - Pengaruh Strategi Green Cosmetic terhadap Loyalitas Konsumen Sariayu Martha Tilaar (Studi Kasus pada Mahasiswi Ekonomi dan Bisnis USU)

0 1 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Strategi Green Cosmetic terhadap Loyalitas Konsumen Sariayu Martha Tilaar (Studi Kasus pada Mahasiswi Ekonomi dan Bisnis USU)

0 0 10

Analisis Produksi Padi di Kabupaten Aceh Utara

0 0 17

2.1. Penelitian Terdahulu - Analisis Produksi Padi di Kabupaten Aceh Utara

0 1 13

Analisis Produksi Padi di Kabupaten Aceh Utara

0 0 12

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Profitabilitas 2.1.1.1. Pengertian Profitabilitas - Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Sektor Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Profitabilitas pada Perusahaan Sektor Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 2 8

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI A. Pengertian Perkawinan Poligami. - Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami(Studi kasiis Putusan nomor 255/PdtG/2012/PA.Mdn)

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pembatalan Perkawinan Karena Tidak Adanya Izin Poligami(Studi kasiis Putusan nomor 255/PdtG/2012/PA.Mdn)

0 0 10