Perceraian dalam Berita Analisis Wacana

PERCERAIAN DALAM BERITA
(ANALISIS WACANA KRITIS BERITA KONFLIK RUMAH TANGGA
PADA RUBRIK NGANAL KODEW RADAR MALANG)

Shabrina Paramacitra

ABSTRAK
Berita Nganal Kodew pada koran Radar Malang memuat kisah tentang konflik
rumah tangga, yang seringkali berujung pada perceraian. Berita yang dimuat rutin
setiap hari ini mengupas konflik tersebut dalam gaya bahasa yang berbeda dengan
bahasa jurnalistik pada umumnya. Perceraian tersebut diceritakan lewat diksi yang
unik. Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis Teun A. van Dijk. Dari
hasil analisis, ditemukan bahwa teks Nganal Kodew cenderung mengisahkan
perceraian sebagai humor. Kendati perceraian adalah konflik yang serius dalam
sebuah hubungan rumah tangga, Nganal Kodew lebih menonjolkan perceraian
dari sisi hiburan dan seks. Wacana ini dipengaruhi oleh konteks pekerja media
yang secara kognitif dibentuk dan dipengaruhi oleh tujuan ekonomi. Nganal
Kodew adalah bentuk dari komodifikasi konten untuk meraih keuntungan.
Kata-kata kunci: perceraian, Nganal Kodew, analisis wacana kritis.

Tidak semua hal layak dijadikan

sebuah informasi dan disajikan kepada
publik.
Kusumaningrat
dan
Kusumaningrat (2005, h. 64-66)
menyebutkan:

Pendahuluan
Media adalah salah satu hal yang
berpengaruh pada perubahan sosial
masyarakat. Kebiasaan dan perilaku
masyarakat dapat dipengaruhi oleh apa
yang disampaikan oleh media. Cara
pandang masyarakat, nilai dan norma
yang
berlaku,
salah
satunya
dipengaruhi oleh informasi yang
disampaikan media. Begitu pun

sebaliknya, isi media juga dipengaruhi
oleh keadaan dan perubahan-perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat. Hal
itu karena antara media massa dan
masyarakat ada proses interelasi, yaitu
proses menyampaikan dan menerima
pesan,
serta
memengaruhi
dan
dipengaruhi (Oetama, 2004, h. 223).

“Berita haruslah memuat
unsur
human
interest
(ketertarikan). Kata human
interest secara harfiah artinya
menarik minat orang. Nilainilai berita yang bisa menarik
minat dan perhatian orang

antara
lain
ketegangan
(suspense),
ketidaklaziman
(unusualness), minat pribadi
(personal interest), konflik
(conflict), simpati (sympathy),
kemajuan (progress), seks
(sex), usia (age), binatang
(animals)
dan
humor
(humor).”

1

dijunjung dalam agama, sehingga
rumah
tangga

tersebut
harus
diupayakan agar tetap utuh. Sebuah
rumah tangga tentu mempunyai tujuan
dasar dengan peranan yang berbeda
dari
masing-masing
individu.
Megawangi
(1999,
h.
68)
menyebutkan, dalam rumah tangga
suami dan istri menempati struktur
yang berbeda. Ia menulis:

Nilai-nilai berita tersebut tidak berdiri
sendiri dalam sebuah berita. Nilai-nilai
ini biasanya terkombinasi, misalnya
unsur ketidaklaziman dengan humor,

atau unsur konflik dengan seks.
Salah satu nilai berita yang mampu
menarik minat khalayak adalah konflik.
Nilai berita ini mengangkat sesuatu
yang mengancam rasa aman yang
diinginkan manusia. Konflik antar
individu, kelompok maupun negara
dengan mudah dapat menggugah
perhatian orang (LPM Perspektif, 2011,
h.33). Bahkan konflik interpersonal
juga dianggap mempunyai suatu nilai
berita yang menarik, contohnya seperti
yang dimuat dalam rubrik Nganal
Kodew pada koran Radar Malang.
Rubrik ini memuat berita seputar
konflik hubungan percintaan, baik
antara sepasang kekasih maupun
pasangan suami istri. Konflik-konflik
tersebut seringkali berujung pada
perceraian.

Yang menarik, meski mengandung
unsur konflik, bahasa yang digunakan
cenderung tidak serius seperti bahasa
jurnalistik pada umumnya, karena
mengandung unsur humor dengan
tujuan menghibur. Dengan adanya
rubrik Nganal Kodew, berita-berita
yang disajikan koran Radar Malang
terasa lebih beragam. Selain itu karena
pengemasan
bahasanya
yang
mengundang rasa humor, konflik
rumah tangga yang menjadi bahasan
utama rubrik ini tidak terkesan berat.
Hubungan pernikahan adalah
hubungan yang sakral. Mitos sebuah
institusi keluarga tidak hanya dibangun
atas landasan cinta, namun juga hukum
dan agama). Masyarakat di Indonesia

dikenal dengan masyarakat yang
religius, dan keberagamaannya pun
tidak dapat diremehkan (Yewangoe,
2009, h. 65). Faktor kesetiaan sangat

“Berhubung
suami
diharapkan berada di luar
rumah untuk mencari nafkah,
dan istrinya biasanya di
rumah, maka istri diharapkan
berperan
memberikan
kedamaian agar integrasi dan
keharmonisan dalam keluarga
dapat
tercapai.
Ketidakseimbangan
antara
peran

instrumental
dan
ekspresif dalam keluarga
akan membuat keluarga tidak
seimbang.”

Suami dan istri mempunyai fungsi
dan peranan yang berbeda. Suami
menempati posisi sebagai kepala
keluarga yang bertanggung jawab pada
pemenuhan
kebutuhan
ekonomi
keluarga. Sedangkan istri berperan
sebagai sosok yang membangun
keharmonisan, juga berfungsi sebagai
ibu yang melahirkan dan mengasuh
anak. Struktur dan fungsi ini berkaitan
dengan konstruksi gender. Dalam
perspektif Megawangi, ketika suami

dan istri mengalami ketimpangan
fungsi dan peran, akan ada potensi
timbulnya konflik.
Selain itu ada faktor ego yang juga
menjadi penyebab konflik. Megawangi
(1999, h. 85-86) menyatakan “sesuai
dengan asumsinya, setiap individu
cenderung memenuhi kepentingan
pribadi (self-interest), dan konflik
selalu mewarnai kehidupan keluarga”.
Jadi ketimpangan dalam memainkan

2

peran dan egoisme menimbulkan
konflik dalam rumah tangga.
Langer (1998, h. 17) menyatakan,
berita dan produk media lainnya
merupakan bentuk representasi yang
seharusnya dipahami sebagai sebuah

praktik penandaan. Bagaimana Radar
Malang menuliskan berita tentang
konflik rumah tangga, bagaimana alur
cerita dan gaya bahasanya, sebenarnya
juga merupakan sebuah praktik
penandaan. Praktik penandaan ini
berhubungan
dengan
bagaimana
sebuah teks berita tidak saja
mengandung arti, tapi lebih jauh,
mengandung makna. Makna itu sendiri
berhubungan dengan konstruksi. Sobur
(2001, h. 88) menyebutkan, disebabkan
sifat dan faktanya bahwa pekerjaan
media massa adalah menceritakan
peristiwa-peristiwa, maka seluruh isi
media adalah realitas yang telah
dikonstruksikan (constructed reality).
Berita yang merupakan hasil

konstruksi media massa tentunya
mempunyai makna dan maksud
tertentu. Tujuan tersebut bukan saja
seputar bagaimana media menghibur
dan mendidik masyarakat. Pun ketika
media massa mengaku memproduksi
teks dengan tujuan edukatif, sebetulnya
ada maksud tertentu, mengapa teks
diproduksi dengan konten dan bahasa
yang demikian. Analisis wacana kritis
adalah metode yang dipilih oleh
penulis
dalam
penelitian
ini.
Berdasarkan paparan inilah, penulis
mengambil judul penelitian Perceraian
dalam Berita (Analisis Wacana Kritis
Berita Konflik Rumah Tangga pada
Rubrik Nganal Kodew Radar Malang).

wacana tidak terpaku pada analisis
tekstual saja, tapi juga memperhatikan
unsur praktik sebuah produksi teks.
Van Dijk (1997, h. 32) menaruh
perhatiannya terhadap wacana dengan
tiga dimensi utama, yaitu penggunaan
bahasa, kognisi, dan interaksi dalam
konteks sosiokultural. Penulis memilih
analisis wacana van Dijk karena model
analisis wacananya tidak saja menelaah
unsur gramatikal dalam sebuah teks,
tapi juga mengaitkan faktor gramatikal
tersebut dengan faktor kognisi pembuat
teks dan konteks yang melingkupinya.
Unit analisis yang didapat dari teks
berita Nganal Kodew antara lain
bahasa jurnalistik, ilustrasi pernyataan
individu yang menjadi informan
(wartawan, redakur dan ilustrator
Nganal Kodew).
Data teks dalam penelitian ini
adalah teks berita Nganal Kodew
tentang konflik rumah tangga yang
terbit selama bulan Januari 2013.
Penulis mengambil data ini karena
kasus cerai di Malang selama bulan
tersebut adalah yang paling tinggi
selama semester pertama 2013. Hal ini
didasarkan pada berita yang pernah
dimuat pada koran Radar Malang pada
edisi 11 Agustus 2013. Penulis juga
hanya menggunakan teks berita yang
didapat dari pengadilan agama. Alasan
penulis adalah, jika konflik hubungan
perkawinan sudah sampai pada
pelaporan di pengadilan agama, itu
berarti konflik tersebut sudah benarbenar serius karena individu-individu
dalam hubungan tersebut memilih
solusi
memutuskan
hubungan
pernikahan untuk mengatasi konflik
rumah tangganya.
Setelah mengumpulkan teks berita
selama Januari 2013, penulis mendata
ada tiga berita Nganal Kodew tentang
perceraian, yaitu berita Nganal Kodew

Metode Penelitian
Penulis menggunakan analisis
wacana yang digagas oleh Teun A. van
Dijk. Menurut van Dijk, analisis

3

edisi 17, 26 dan 31 Januari 2013.
Beberapa inisial yang yang tercantum
dalam 3 berita tersebut antara lain yon,
lid, bb, nen, riq. Pemilik inisial yon, bb
dan riq adalah wartawan yang meliput
berita Nganal Kodew. Sedangkan
pemilik inisial lid dan nen adalah
redaktur yang menyunting berita
Nganal Kodew. Selain itu pada ilustrasi
berita juga tercantum nama ilustrator,
Andhiwira. Penulis menjadikan para
pemilik insial ini sebagai informan.
Analisis
pada
penelitian
ini
menggunakan analisis wacana yang
digagas Teun A. van Dijk. Analisis
wacana van Dijk terdiri dari tiga
dimensi, yakni teks, kognisi sosial, dan
konteks.

wacana. (van Dijk,
1988, h. 25)
Sintaksis: deskripsi
kata benda dan frasa
nomina dalam
kalimat dan
kombinasi antar
kalimat (van Dijk,
1988, h. 25)
Stilistik: variasi
leksikal atau diksi
(van Dijk, 2000, h.
89)
Retoris: properti
wacana yang
digunakan untuk
tujuan persuasif
(van Dijk, 1988, h.
28)

A. Teks
Pada level teks, analisis wacana
mempelajari bagaimana struktur
teks dan strategi wacana yang
dipakai untuk menegaskan sebuah
tema.
Dimensi
tekstual
menjelaskan struktur wacana pada
berbagai tingkat deskripsi (van
Dijk, 1988, h. 25). Van Dijk
membagi
elemen-elemen
analisisnya meliputi:

implisit,
penyangkalan
Bentuk kalimat,
koherensi lokal

Leksikon

Metafora, grafis

Sumber: olahan penulis

B. Kognisi Sosial
Kognisi sosial berkaitan dengan
proses
produksi
teks
yang
melibatkan kognisi individu yang
memproduksi teks. Cara pandang
tertentu (seperti opini, sikap, dan
ideologi) dari individu yang
memproduksi teks inilah yang
berpengaruh terhadap produk teks
media.
Ini
tidak
hanya
berhubungan dengan pengetahuan
dan kepercayaan, tapi juga norma
dan nilai, yang disebarkan melalui
kelompok sosial dan budaya (van
Dijk, 1988, h. 108). Analisis
kognisi sosial dibutuhkan untuk
menghubungkan teks (wacana)
dengan konteks masyarakat yang
lebih luas. Van Dijk menyatakan
(2005, h. 87):

Tabel 3.3 Uraian analisis
dimensi teks van Dijk
Hal yang diamati
Elemen
Topik
Tematik: bahasan
wacana secara
keseluruhan (van
Dijk, 1988, h. 30)
Skematik
Skematik: struktur
global dari sebuah
wacana yang
mendukung tema
(van Dijk, 1988, h.
51)
Semantik: makna
Latar, tingkat
kata, kalimat dan
deskripsi,

“… the cognitive structures
we deal with are at the
same time social, as is the
case
for
knowledge,
attitudes, ideologies, norms
and values. Indeed, these

4

social
cognitions
are
primarily defined in terms
of the beliefs shared by
members of groups and
communities. It is also
within this perspective that
we defined knowledge not
as personal beliefs, but as
social beliefs certified,
shared
and
hence
discursively presupposed by
the members of epistemic
communities.”

berita. Jika sebuah peristiwa
itu
memang
berpotensi
menarik perhatian khalayak,
dan sesuai dengan standar
nilai berita yang dianut media
massa tersebut, maka proses
seleksi akan lebih mudah.
b. Reproduksi
Reproduksi berhubungan
dengan sumber informasi
berupa teks tertulis. Terkadang
informasi
tertulis
dari
narasumber
berita
bisa
dijadikan data yang tidak
kalah akurat dibanding sumber
lainnya.

Pada saat yang bersamaan,
kognisi yang memengaruhi proses
produksi teks juga berinteraksi
dengan pengetahuan dan ideologi
wartawan. Van Dijk menganggap
aspek kognisi wartawan yang
sebetulnya bersifat sangat pribadi
juga merupakan hasil dari interaksi
wartawan dengan lingkungan di
sekitarnya, karena wartawan itu
sendiri juga merupakan individu
dalam komunitas masyarakat.
Itulah
sebabnya
kognisi
merupakan penghubung antara
teks dengan konteks.
Strategi-strategi yang ada
dalam dimensi teks, seperti
pemaknaan, koherensi, skema
naratif dan lain-lain, menunjukkan
bahwa
pengguna
bahasa
mempunyai pengetahuan. Mereka
tahu bagaimana cara mengatur dan
mengolah tata bahasa sedemikian
rupa hingga membentuk sebuah
wacana (van Dijk, 1997, h. 17).
Ada beberapa strategi menurut van
Dijk (1988, h. 115-117) yang
dilakukan
wartawan
dalam
memproduksi sebuah wacana.
Strategi itu antara lain:
a. Seleksi
Seleksi adalah strategi
wartawan ketika menentukan
layak dan tidaknya sebuah
peristiwa menjadi sebuah

c. Penyimpulan
Penyimpulan
adalah
peringkasan. Sebuah peristiwa
tidak akan ditulis secara utuh
dan seimbang oleh wartawan.
Penghilangan
informasi,
penambahan informasi lain
yang
dianggap
umum,
menyamaratakan
atau
mengeneralisasi
informasiinformasi tertentu, semua
proses tersebut dilakukan
untuk meringkas teks yang
diproduksi. Intensitas dan
frekuensi
wartawan
mewawancarai
narasumber
tertentu,
atau
menerima
informasi
tertulis
dari
narasumber juga memengaruhi
cara
mereka
dalam
penyimpulan ini.
d. Transformasi lokal
Transformasi
lokal
dilakukan misalnya dengan
mengatur
skema
berita.
Sebuah
kejadian
ditulis
dengan paragraf yang urut,
ditambah dengan latar historis
5

dan ungkapan-ungkapan agar
sebuah berita menjadi lebih
menarik.

2. Ideologi
Van Dijk (2006, h. 115)
mengombinasikan ideologi sebagai
gabungan
dari
komponen
diskursif, kognitif dan sosial yang
merepresentasikan
kelompok
sosial. Ia menyebutkan:

C. Konteks
Menurut van Dijk (2001, h. 356),
konteks didefinisikan sebagai struktur
representasi mental dari situasi sosial
yang relevan dengan produksi dan
pemahaman wacana. Konteks misalnya
terdiri dari situasi, setting (waktu dan
tempat), keadaan masyarakat, beserta
representasi
mental
(tujuan,
pengetahuan,
opini,
sikap
dan
ideologi). Untuk menganalisis dimensi
konteks, van Dijk menaruh beberapa
poin perhatian. Di antaranya akses dan
kekuasaan (access and power) idologi
(ideology) dan aspek intertekstualitas
(intertextuality). Semua poin ini saling
berkaitan satu sama lain:

“As 'systems of ideas',
ideologies
are
sociocognitively defined
as shared representations
of social groups, and
more specifically as the
`axiomatic' principies of
such representations. As
the basis of a social
group's
selfimage,
ideologies organize its
identity, actions, aims,
norms and values, and
resources as well as its
relations to other social
groups.”

Ideologi memang memengaruhi
proses produksi dan wacana yang
dihasilkan. Namun pengaruhnya
tidak dirasakan secara langsung.

1. Akses dan kekuasaan
Analisis wacana kritis bertumpu
pada ketidakseimbangan, dominasi
dan praktik kekuasaan. Dalam
ketidakseimbangan
ini,
ada
kelompok yang lebih berkuasa atas
yang lain. Kuasa ini didasarkan
atas akses pada banyak hal,
misalnya uang, status, ketenaran,
pengetahuan,
informasi,
dan
otoritas (van Dijk, 2001, h. 355).
Van Dijk meminjam konsep
hegemoni
Gramsci,
bahwa
kekuasaan dari kelompok dominan
terintegrasi ke dalam hukum,
peraturan, norma, kebiasaan yang
diakui sebagai sebuah konsensus
(Gramsci, dikutip dari van Dijk,
2001, h. 355). Kekuasaan ini
kemudian dapat memengaruhi
wacana, mulai dari pemilihan topik
bahkan sampai level struktur teks
(van Dijk, 2001, 356).

3. Intertekstualitas
Hal penting lainnya untuk
mengetahui konteks adalah analisis
yang bersifat intertekstualitas.
Intertekstualitas
menandakan
sebuah teks tidak berdiri sendiri,
melainkan hadir bersama dengan
teks-teks lain yang kemudian
menjadi pengetahuan umum yang
diakui bersama (van Dijk, 2000a,
h.
93-94).
Intertekstualitas
diketahui dengan meneliti teksteks lain yang berkaitan dengan
teks utama yang menjadi objek
penelitian. Dengan mengetahui
teks-teks
lain
yang
serupa
topiknya, analisis konteks akan
lebih
kuat
menunjukkan
bagaimana wacana yang sedang
berkembang di masyarakat.

6

h. 171-175), konflik akan selalu timbul,
karena stabilitas dan perubahan,
integrasi dan konflik, fungsi dan
disfungsi adalah dua hal yang tidak
bisa dipisahkan selama masih ada
pembagian masyarakat berdasarkan
kelas. Dalam kaitannya dengan rumah
tangga, pernyataan Dahrendorf tersebut
dapat diartikan bahwa selama rumah
tangga itu dikonsep berdasarkan
struktur, maka konflik tidak akan bisa
dihindari.
Penulis menemukan bahwa berita
Nganal Kodew banyak menggunakan
bahasa yang sering digunakan dalam
bahasa tutur, seperti bahasa slang.
Bahasa tutur atau bahasa yang biasa
digunakan dalam percakapan verbal
sehari-hari ini mewarnai bahasa
jurnalistik pada berita. Banyak katakata
khusus
yang
maknanya
menyimpang dari makna yang dikenal
pada umumnya. Mulyana (2007, h.
311) menyebut bahasa ini sebagai
bahasa khusus, bahasa gaul, atau argot.
Bahasa gaul ini ditunjukkan lewat katakata, singkatan maupun istilah tertentu
yang unik, menyimpang, bahkan
berbeda jauh artinya dengan apa yang
ada dalam kamus denotatif.
Selain itu penulis menemukan
diksi yang berbau seks. Ada banyak
kata
maupun
istilah
yang
mengeksploitasi
hubungan
intim,
bahkan alat kelamin. Wazis (2012,
h.102) menyebut bahasa ini sebagai
pornoteks. Pornoteks bisa mengandung
berbagai versi hubungan seksual yang
digambarkan secara vulgar, yang
mengarahkan theatre of mind pembaca
tentang arena seksual yang sedang
berlangsung, sehingga fantasi pembaca
cenderung menggebu membayangkan
seksualitas
yang
digambarkan.
Pornoteks bisa terdapat dalam berbagai
macam teks, bahkan dalam sebuah

Pembahasan
Dari ketiga berita yang dianalisis,
pada berita pertama dan ketiga, konflik
yang
digambarkan
cenderung
menyudutkan istri. Sedangkan berita
kedua tampak bahwa suami yang
menjadi korban konflik. Meskipun
disebutkan bahwa terkadang suami
adalah pihak yang menimbulkan
konflik namun wacana ini seringkali
terpinggirkan. Baik dalam ungkapan
yang eksplisit maupun implisit, istri
justru selalu tampak menjadi pihak
yang lemah. Bahkan ketika suami
dinarasikan sebagai pihak yang salah,
selalu
ada
narasi
lain
yang
mengungkapkan kesalahan di pihak
istri.
Bungin
(2003,
h.
130)
mengungkapkan, perempuan (istri)
menempati posisi tersubordinasi dan
selalu kalah. Hal inilah yang
direkonstruksi dalam media massa.
Melalui bahasa, media menyebarkan
wacana bahwa istri selalu salah. Kalau
pun suami yang salah, itu karena
istrinya tidak bisa bersikap sesuai
struktur dan fungsinya. Dalam teks
Nganal Kodew, sangat sulit bagi
seorang istri untuk bisa sekadar
mendapat perhatian, diingat dan
dicintai oleh suaminya. Istri harus
selalu tampil awet muda, serta selalu
ada
sebagai
penyedia
layanan
hubungan seks bagi suaminya.
Mengenai struktur dan fungsi,
rumah tangga dalam teks Nganal
Kodew mengalami konflik. Konflik
terjadi akibat adanya ego dari salah
satu pihak. Seperti yang dikatakan
Megawangi (1999, h. 77), menurut
perspektif sosial konflik, kehidupan
manusia selalu diwarnai dengan pola
relasi dominasi dan penindasan.
Sementara menurut Dahrendorf (1958,

7

singkatan yang unik, bahkan cenderung
mengarah ke hal yang berbau seks.
Penggunaan bahasa seperti ini mereka
lakukan untuk menimbulkan nilai
humor pada berita Nganal Kodew. Hal
yang sama juga terjadi pada ilustrasi.
Ilustrator membuat gambar dengan
balon kata yang berisikan kalimatkalimat percakapan yang lucu dan
terkadang seronok.
Berbeda dengan redaktur wanita,
yang mengaku tidak pernah membuat
singkatan-singkatan serupa. Ia hanya
menggunakan
singkatan-singkatan
yang dibuat oleh temannya sesama
redaktur karena memang demikianlah
pakemnya. Ia memakai singkatan itu
hanya untuk mewarnai berita agar
menjadi lucu, bukan untuk mengasah
kreativitasnya
dalam
mengarang
bahasa dan singkatan yang aneh. Ini
terjadi karena memang ada perbedaan
antara komunikator laki-laki dan
perempuan. Lakoff (1973, h. 45)
menyebutkan, perempuan sering berada
dalam dominasi laki-laki, sehingga
bahasa perempuan tidak setegas lakilaki. Perempuan juga kurang rasa
humor, kurang pandai menyampaikan
lelucon, serta enggan menyumpahi dan
memaki (Mulyana, 2007, h. 315). Hal
ini seperti yang terjadi pada informan
yang bernama Nenny Fitrin. Ia
mengaku tidak pandai membuat
singkatan-singkatan yang aneh sebagai
“bumbu” dalam berita Nganal Kodew.
Selain itu, Nenny juga tidak
banyak mengubah tata bahasa dan
angle berita. Ini sesuai dengan
pernyataan Mulyana (2007, h. 316),
bahwa interupsi perempuan bukan
untuk mengendalikan, melainkan untuk
mendukung
atau
menegaskan
pembicara. Dari sini, bisa disimpulkan
bahwa Nenny, yang merupakan
seorang perempuan, berlaku lebih

berita. Penggambaran tentang seks ini
mengarahkan pikiran pembaca tentang
bagaimana dan seperti apa seks itu.
Pornoteks ini seringkali dikemas
dengan menggunakan kiasan atau
majas. Majas dalam teks Nganal
Kodew digunakan untuk mengemas
hal-hal yang dianggap tabu oleh
redaksi, agar terlihat lebih sopan, unik
dan menarik. Padahal, majas adalah
warisan budaya bangsa Indonesia yang
memiliki kedalaman makna dan tingkat
intelektualitas tinggi. Majas memiliki
peranan yang penting dalam pergaulan
sehari-hari yang positif, berkelas,
berkualitas dan berbudi pekerti luhur
(Tim Dunia Cerdas, 2013, h. 323).
Sedangkan dalam Nganal Kodew
majas digunakan untuk mengemas halhal yang konotasinya negatif. Meski
dianggap lebih menarik, namun
penggunaan majas di sini sudah
berbeda dengan fungsi majas pada
umumnya. Majas yang seharusnya
digunakan untuk tujuan mendidik
justru digunakan untuk hal-hal yang
kurang mendidik, kendati redaksi
menyatakan tujuan diadakannya rubrik
Nganal Kodew itu sendiri adalah untuk
mendidik.
Dalam analisis kognisi sosial,
penulis memerhatikan latar belakang
budaya dan lingkungan informan.
Sesuai apa yang ditulis oleh van Dijk
(2005, h. 87), bahwa ideologi,
pengalaman dan kepercayaan pembuat
wacana akan memengaruhi bagaimana
wacana tersebut diproduksi. Kognisi ini
kemudian memengaruhi proses dan
hasil produksi teks Nganal Kodew.
Dari
hasil
wawancara,
penulis
menemukan perbedaan antara informan
laki-laki dan perempuan. Wartawan,
redaktur dan ilustrator laki-laki
cenderung lebih imajinatif. Mereka
banyak menggunakan peribahasa,

8

seperti penegas dan pendukung apa
yang ditulis oleh wartawan Nganal
Kodew, yang semuanya adalah lakilaki. Ini terjadi karena kognisi Nenny
berada di bawah pengaruh laki-laki.
Menurut Mulyana (2007, h.316),
laki-laki menggunakan lebih banyak
pembicaraan
instrumental
untuk
memengaruhi, mengendalikan orang
lain dan melaporkan informasi. Nenny
berbeda dengan informan yang
bernama Kholid. Meski sama-sama
berperan sebagai redaktur, Kholid
mengaku
lebih
mengandalkan
kreativitas. Karena itulah ia banyak
menambahkan singkatan, ungkapan,
kiasan, bahkan mengubah angle berita.
Kholid lebih banyak melakukan
pengubahan sedangkan Nenny tidak
begitu banyak melakukan pengubahan.
Hal ini terlihat dari teks berita Nganal
Kodew edisi 17 dan 31 Januari 2013
yang diedit oleh Kholid. Dua edisi
tersebut
tampak
lebih
banyak
menggunakan
ornamen
majas,
singkatan dan kiasan dibanding berita
Nganal Kodew edisi 26 Januari 2013
yang diedit oleh Nenny.
Selain karena masalah perbedaan
antara laki-laki dan perempuan, apa
yang Kholid lakukan sesuai dengan
pernyataan mantan Chief Executive
Officer (CEO) Jawa Pos, Dahlan Iskan
(dikutip dari Wazis, 2012):

Jadi, Kholid dan Dahlan Iskan,
yang sama-sama laki-laki, sebetulnya
mempunyai kesamaan pandangan,
bahwa redaktur harus membuat berita
yang sebeda mungkin, agar terlihat
menarik. Berbeda dengan Nenny,
meski ia tahu bahwa tugas redakur
adalah mengedit berita agar lebih
menarik, ia tidak melakukannya seperti
yang dilakukan Kholid. Ia hanya
mengedit sebatas ejaan dan tanda baca
saja.
Meski ada sedikit perbedaan pada
strategi pewacanaan, semua informan
menganggap bahwa nilai berita konflik
rumah tangga mampu menarik minat
masyarakat.
Menurut
mereka,
masyarakat menganggap hal ini
menarik karena konflik mampu
menggugah emosi khalayak. Selain itu
masyarakat
juga
suka
memperbincangkan masalah rumah
tangga
ketika
mereka
sedang
berkumpul dalam suatu komunitas.
Konflik-konflik yang diangkat ditulis
berdasarkan kisah nyata. Menurut
redaksi, tujuan rubrik ini adalah agar
pembaca tidak meniru konflik-konflik
yang ada dalam berita. Selain itu juga
sebagai variasi rubrik agar koran Radar
Malang mempunyai bacaan khas yang
ringan namun tetap menarik dan
menjadi ciri khas Radar Malang.
Karena konflik ini begitu penting,
wartawan menggunakan berbagai cara
untuk mendapatkan data. Wartawan
dan redaktur juga menggunakan bahasa
yang unik ketika menulis dan mengedit
berita Nganal Kodew.
Pada analisis konteks, ada tiga
bahasan utama yaitu:
1. Akses dan kekuasaan
Dari hasil analisis teks dan kognisi
sosial, penulis menemukan adanya
dominasi suami terhadap istri.
Kekuasaan suami terhadap istri dalam

“Wartawan ibaratnya adalah
pencari bahan-bahan berita di
lapangan. Sedangkan yang akan
meramu dan memasak bahanbahan
itu
untuk
menjadi
‘suguhan berita’ yang enak
dibaca dan perlu, seperti slogan
majalah Tempo, adalah para
redakturnya. Apabila suguhan
beritanya tidak menarik, berarti
sang juru masaknya, yakni para
redaktur itu, yang tidak ahli
memasaknya”.

9

rumah tangga terletak pada materi dan
struktur hierarkis yang lebih tinggi.
Mills (2000, h. 10) mengungkapkan,
rumah tangga yang menempatkan
suami dan istri pada struktur justru
mengindikasikan dominasi“Insofar as
the family as an institution turns
women into darling little slaves and
men into their chief providers and
unweaned dependents, the problem of
a satisfactory marriage remains
incapable of purely private solution”.
Istri, menurut Mills, istri dianggap
sebagai “budak kecil tercinta”,
sedangkan suami sebagai kepala atau
atasan. Relasi suami dan istri di sini
tidak seimbang, meskipun dalam teori
struktural fungsional pada awalnya
disebutkan bahwa relasi dengan
struktur adalah untuk mencapai
keseimbangan.
Konteks Radar Malang adalah
budaya Jawa, karena Malang sendiri
adalah bagian dari Pulau Jawa. Selain
itu, Radar Malang juga merupakan
koran yang dibasiskan pada target
khalayak lokal. Penulis mengambil
konteks budaya Jawa dalam poin
analisis ini. Istri dalam konteks
budaya budaya Jawa diartikan sebagai
sigaraning nyawa. Maksudnya, istri
adalah belahan jiwa dari suami.
Karena suami dan istri adalah satu,
maka setengah dari yang satu bagian
itu adalah sebuah entitas (Handayani
& Novianto, 2004, h. 120). Entitas di
sini adalah pernikahan. Masyarakat
Jawa
menganggap
hubungan
pernikahan adalah sebuah hubungan
yang sakral, hingga satu bagian (istri)
adalah setengah dari bagian yang lain
(suami).
Masih menurut Handayani dan
Novianto (2004, h. 203), ciri
kekuasaan wanita Jawa tetap berpusat
pada urusan domestik dengan sifat

yang lembut, tenang, kalem, pasif dan
tidak menunjukkan pemberontakan.
Kekuasaan istri di sini hanya berkutat
pada lingkungan yang sempit. Meski
dikatakan
bahwa
istri
adalah
“setengah bagian dari suami”, namun
kekuasaan yang mereka miliki berada
pada lingkungan yang berbeda dan
cenderung kurang menguntungkan
istri.
Penulis juga menarik sumber dari
konteks agama Islam. Konteks ini
penulis ambil berdasarkan data teks
yang menjadi objek penelitian, yang
semuanya menceritakan perceraian
yang berujung di pengadilan agama
(PA). Di Indonesia, perceraian yang
didaftarkan ke PA adalah perceraian
yang timbul dari pasangan muslim.
Sedangkan pasangan yang menganut
agama
lain
mendaftarkan
perceraiannya ke pengadilan negeri
(PN).
Hasil
analisis
teks
mengemukakan bahwa istri harus
selalu ada untuk suami sebagai
“pelayan seks”. Jika tidak, suami bisa
akan mencari wanita lain. Dalam
sebuah ayat pada kitab suci agama
Islam
disebutkan,
“Istri-istrimu
adalah
ladang
bagimu,
maka
datangilah ladangmu itu kapan saja
dengan cara yang kamu sukai…”
(QS. Al Baqarah 2: 223). Situs
www.radioshahabat.net
juga
menuliskan
tentang
perempuanperempuan yang dilaknat dalam
agama:
“Apabila
seorang
suami
mengajak
istrinya
untuk
berkumpul hendaknya wanita itu
mendatanginya sekalipun dia
berada
di
dapur.”
(HR.
Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih
oleh Al-Albani dalam Shahih AtTarghib: 2/199)
“Apabila
suami
mengajak
istrinya ke tempat tidurnya lalu

10

istri enggan sehingga suami
marah pada malam harinya,
malaikat melaknat sang istri
sampai waktu subuh.” (HR.
Bukhari: 11/14)

Bahasan mengenai kekuasaan di
atas sebetulnya juga berkaitan dengan
aspek intertekstualitas. Intertekstualitas
sendiri mempunyai makna yang luas.
Van
Dijk
(2000a,
h.
93-94)
mendefinisikan intertextuality sebagai
bentuk dari evidentiality. Artinya,
bukti-bukti pendukung dari teks lain
yang saling berkaitan adalah bentuk
dari intertekstualitas. Menurut van
Dijk, teks tidak hadir sendiri, tapi
menjadi bagian dari perdebatan sosialpolitik yang kompleks. Jadi, penulis
menghadirkan teks-teks lain mengenai
konflik rumah tangga (perceraian)
dalam media lain. Tujuannya agar
penulis
mendapatkan
gambaran
bagaimana konflik direpresentasikan
dalam teks-teks lainnya. Agar tidak
terlalu meluas, penulis mengambil
contoh teks berupa berita dan lagu
Indonesia.
Teks pertama dikutip dari media
www.memoarema.com,
edisi
25
Oktober 2013. Penulis mengambil
contoh teks dari situs ini karena Memo
Arema adalah media lokal Malang
yang sama-sama berada dalam naungan
Jawa Pos Group, sepeti Radar Malang.
Penulis
di
sini
berusaha
mengidentifikasi bagaimana media
lokal di Malang yang lain selain Radar
Malang merepresentasikan perceraian.
Teks berita ini berjudul “Mike
D’Bagindas Gugat Cerai”. Tampak
sekali istri menjadi tersudutkan dalam
berita ini. Posisi istri di sini berada di
pihak yang salah karena media tidak
memberi ruang bagi pihak istri untuk
memberikan statement. Sementara
suami seolah menjadi korban atas
kesalahan istrinya, dan menjadi lebih
berkuasa dalam mendominasi wacana
yang muncul di media.
Teks lain penulis kutip dari media
www.jpnn.com edisi 8 Januari 2014.

Istri di sini diibaratkan sebagai
“ladang milik suami yang bisa
didatangi
kapan
saja”.
Suami
dibebaskan melakukan hubungan seks
dengan istrinya. Istri, dalam konteks
ini, diposisikan sebagai properti milik
suami. Kekuasaan suami atas istri
dalam hubungan seks sangat besar.
Konteks budaya dan agama ini
membuat teks diproduksi sedemikian
rupa
sehingga
melanggengkan
kekuasaan atas dasar gender.
Selain itu hasil analisis teks juga
menyebutkan bahwa istri harus awet
muda dan selalu ada sebagai penyedia
layanan seksual. Wolf (2002, h. 12-14)
menyebutkan
banyak
fenomena
perempuan yang takut terlihat tua agar
tampak menarik di mata laki-laki. Ini
mengakibatkan banyak perempuan
muda yang takut terlihat tua seperti
ibunya, dan perempuan tua takut
tersaingi oleh perempuan-perempuan
lain yang masih muda, yang muda
takut tua. Wollf (2002, h. 95) juga
menjelaskan, wacana ini membuat
perempuan sangat menghargai identitas
kecantikan yang identik dengan
perempuan muda. Contohnya terlihat
dari banyaknya klinik kecantikan yang
menawarkan perawatan anti-penuaan,
dan itu sangat laku bagi konsumen
perempuan, bahkan bagi yang masih
muda sekali pun. Wacana bahwa istri
harus selalu awet muda rupanya
tertanam kuta dalam masyarakat.
Bahkan dalam teks Nganal Kodew
dengan konteks Malang, wacana
tersebut terus direproduksi.
2. Intertekstualitas

11

tidak terlalu membela istri, karena
media justru melabeli usaha istri untuk
tampil
cantik
sebagai
sebuah
“ketidakjujuran”. Hal ini terdapat
dalam kalimat “Namun jika melihat
dari peristiwa tersebut bisa dikatakan
bahwa kejujuran adalah awal dari
permasalahan tersebut. Jika saja
perempuan tersebut sejak awal telah
menceritakan kisah hidupnya pada
suaminya tersebut bisa jadi tidak akan
demikian,” (paragraf 5, baris 1-4).
Teks lainnya yang dikuti oleh
penulis adalah lagu tentang perceraian,
yaitu “Surat Cerai” yang dinyanyikan
Elvi Sukaesih. Dalam lirik lagu ini, istri
juga menempati posisi yang lemah.
Setelah bertengkar, ia ditinggal oleh
suaminya. Kemudian ia menerima surat
cerai dari suaminya dan tidak berdaya
atas gugatan tersebut. Istri dalam lagu
ini sangat merugi karen tidak
mempunyai pembelaan atas gugatan
dan penelantaran yang dilakukan oleh
suaminya.
Sementara dalam lagu “Minta
Cerai (Jaluk Pegat)” yang dipopulerkan
oleh Trio Macan dan Mr. Sodiq, istri
justru menjadi pihak yang ingin
diceraikan. Namun tetap saja istri
menjadi pihak yang lemah. Lagu ini
menceritakan nasib istri dalam konflik.
Ia dipukuli, ditendangi, tidak diberi
nafkah, kemudian meminta suaminya
menceraikannya. Relasi suami dan istri
sangat kental dengan penyalahgunaan
kekuasaan dari suami. Distribusi
kekuasaan suami sebagai pemimpin
justru digunakan untuk menindas
istrinya, sehingga istri diperlakukan
dengan sangat tidak baik. Teks ini,
termasuk
teks-teks
sebelumnya,
menggambarkan realita konflik rumah
tangga yang sangat merugikan istri.
Istri, dalam masalah apa pun, selalu
tampil sebagai pihak yang salah,

Penulis mengutip dari media ini karena
situs ini adalah media nasional yang
juga berada di bawah naungan Jawa
Pos Group. jpnn.com memuat beritaberita dari seluruh media nasional dan
lokal milik Jawa Pos Group, termasuk
salah satunya Radar Malang. Dengan
menganalisis teks dari jpnn.com,
penulis dapat mengetahui bagaimana
media massa nasional yang berada satu
grup
dengan
Radar
Malang
merepresentasikan relasi suami dan
istri yang sedang berkonflik.
Teks berita ini berjudul “Masih
Proses Cerai, Cut Tari Sudah Punya
Gandengan?” Hampir sama dengan
berita sebelumnya, berita ini membuat
posisi istri sangat buruk. Pertama, Cut
Tari diduga menjalin hubungan dekat
dengan Richard Kevin meski kasus
perceraiannya dengan Jusuf belum
berakhir. Padahal, dugaan ini belum
terbukti, hanya memuat komentarkomentar dari orang lain yang tidak ada
hubungannya dengan rumah tangga Cut
Tari, seperti satpam kantor dan pemilik
rumah.
Berita lainnya penulis kutip dari
media massa lain di luar Jawa Pos
Group, yaitu ruangkabar.com edisi 15
Februari 2013. Penulis mengutip dari
media ini untuk mengetahui bagaimana
media nasional lain di luar Jawa Pos
Group merepresentasikan perceraian
suami-istri. Teks berita tersebut
berjudul “Istri Melahirkan Anak Jelek,
Suami Minta Cerai”.
Kembali, teks di sini menyudutkan
pihak perempuan. Bahkan setelah istri
berupaya mempunyai fisik yang cantik
dengan mengeluarkan banyak uang,
istri tersebut masih saja diceraikan
karena alasan anak. Ia diceraikan
karena melahirkan anak yang berfisik
tidak menarik. Posisi istri dalam
konflik ini sangat lemah. Media juga

12

Januari.
Pada
teater
berjudul
“Markonah”, selain cantik, Markonah
juga disebutkan sebagai istri yang setia
pada suaminya.
Namun, Markonah pada dua teks
tersebut juga mengalami nasib yang
sama seperti Markonah pada berita
Nganal Kodew, yaitu selalu merugi,
salah dan bernasib sial. Misalnya tokoh
Markonah yang pada akhir cerita teater
“Markonah”
mati
dikeroyok
tetangganya sendiri. Hanya karena
cantik, ia dibenci lalu dibunuh.
Sedangkan Markonah pada lirik lagu
“Markonah 19” digambarkan sebagai
sosok yang malas, tidak naik kelas dan
menyesal. Meski disebutkan wacana
bahwa Markonah itu istimewa karena
setia dan cantik, namun pada akhirnya
wacana ini juga terpinggirkan dengan
wacana Markonah yang dibunuh dan
tidak naik kelas. Sama seperti tokoh
Markonah dalam Nganal Kodew, selalu
ada penggambaran buruk yang hadir
bersamaan dengan penggambaran yang
baik mengenai sosok Markonah dalam
sebuah teks.

lemah, tidak punya kuasa, dan itu
dilakukan justru karena ada strutur
kekuasaan dalam rumah tangga.
Untuk
analisis
intertekstual
lainnya, penulis mencari teks-teks lain
yang terkati dengan penamaan tokoh
perempuan dalam berita Nganal
Kodew, yaitu Markonah. Seperti
diberitakan
situs
www.koransindo.com, “Markonah” adalah judul
sebuah pementasan teater dari Emak
Production. Tokoh utama dalam teater
ini adalah Nurbanah yang sering
dijuluki dengan nama Markonah.
Dalam teater karya Asmara GT ini,
Markonah ditokohkan sebagai seorang
istri yang sangat setia pada suaminya.
Meski
ia
ditinggal
suaminya
berperang, Markonah tetap menjaga
diri. Karena bentuk fisiknya yang
cantik dan molek, ditambah dasar sifat
Markonah sendiri yang memang hobi
berdandan,
banyak
suami
di
lingkungan sekitar tempat tinggal
Markonah
yang menyukai dan
berusaha mendekati Markonah. Karena
itu, banyak ibu-ibu tetangga Markonah
yang membenci Markonah, karena iri
pada fisik Markonah yang cantik dan
cemburu pada suami yang lebih
menyukai Markonah.
Selain
teater,
penulis
juga
menemukan tokoh Markonah dalam
lagu berjudul “Markonah 19” karya
Benyamin S. Ada satu kesamaan dalam
diri tokoh Markonah, yaitu masalah
fisik. Fisik Markonah dalam dua teks
tersebut tidak lepas dari kecantikan dan
bentuk tubuh, sehingga membuat lakilaki mudah tertarik. Penulis menarik
kesamaan dengan teks Nganal Kodew,
bahwa Markonah juga digambarkan
sebagai sosok yang fisiknya menarik
laki-laki. Misalnya kalimat “Markonah
bertipe SMK (semok dan kencang)
pada teks Nganal Kodew edisi 17

3. Ideologi
Wodak & Meyer (2009, h. 8)
menyatakan, ideologi yang muncul
secara dominan kemudian tampil
sebagai sesuatu yang netral. Organisasi
yang lekat dengan struktur kekuasaan
kemudian
mencoba menyebarkan
ideologi
tersebut
kepada
masyarakatnya agar lebih dekat dengan
keinginan dan kepercayaan mereka.
Teks Nganal Kodew kemudian seolah
menjadi wacana yang umum, bahwa
perempuan harus menaati suami dan
merawat anaknya di rumah, suami
sebagai kepala keluarga yang mencari
nafkah, bahkan wacana tentang suami
yang selalu benar dan istri selalu salah.
Van Dijk (1988, h. 83) menyebutkan,

13

tidak ada sangkut pautnya dengan
kehidupan
masyarakat.
Namun
penelitian Nabiu membuktikan bahwa
masyarakat memang senang dengan
berita seperti ini, salah satunya yang
menyangkut tentang perceraian. Media
massa pun memfasilitasi masyarakat
untuk mengakses informasi itu. Konflik
dalam berita perceraian artis disukai
masyarakat dan dianggap sebagai
peristiwa yang penting. Ini sesuai
dengan pandangan Kusumaningrat dan
Kusumaningrat (2005, h. 65), bahwa
peristiwa
atau
kejadian
yang
mengandung
pertentangan
selalu
menarik perhatian pembaca. Hal ini
sudah diteliti oleh para sosiolog, bahwa
pada umumnya manusia memberi
perhatian terhadap konflik. Apalagi
jika konflik tersebut dialami oleh orang
lain, bukan oleh diri mereka sendiri.
Hal yang hampir sama juga terjadi
pada Nganal Kodew pada koran Radar
Malang. Rubrik ini juga menyajikan
berita tentang konflik pribadi yang
dialami masyarakat, yang juga tidak
ada sangkut pautnya dengan kehidupan
pembacanya. Namun, karena berita
Nganal
Kodew
mampu
membangkitkan emosi, menggugah
hati dan memberikan sentuhan
emosional pada pembacanya, berita ini
pun menjadi bernilai. Ini sesuai dengan
pendapat
Kusumaningrat
dan
Kusumaningrat (2005, h. 66), bahwa
nilai emosional inilah yang membuat
khalayak suka membaca berita
pertentangan, karena di dalamnya
terkandung unsur konflik dan drama.
Sentuhan emosional ini terjadi
ketika melalui berita ini pembaca
diajak mendalami konflik antara suami
dan istri. Proses ini dapat menyentuh
emosi, yaitu membuat pembaca simpati
dengan pasangan yang bercerai, atau
justru menertawakan pasangan tersebut

“ideologically news implicity promotes
the dominant beliefs and opinions of
elite groups in society”. Jadi implisitas
yang ada dalam berita mendukung
kepercayaan dan opini kelompok yang
berkuasa dalam masyarakat.
Lebih jauh, Gordon (1995, h. 18)
menghubungkan
ketidaksederajatan
antara laki-laki dan perempuan dengan
hierarki seksual dan kapitalisme.
Ketidaksetaraan gender terlihat dari
bagaimana teks Nganal Kodew
menyudutkan istri, bahkan ketika istri
tersebut sebenarnya menjadi pihak
yang
dirugikan
akibat
konflik.
Sekalipun, ada juga, teks Nganal
Kodew yang menggambarkan posisi
suami lebih lemah dibanding istri,
seperti pada berita Nganal Kodew edisi
26 Januari 2013. Konten berita
semacam ini dapat menarik simpati
pembaca, sehingga dijadikan sebagai
komoditas untuk media Radar Malang.
Konflik yang diangkat dalam
berita Nganal Kodew hampir mirip
seperti konflik yang diangkat dalam
infotainment. Wazis (2012, h. 14)
menyatakan, konten informasi gosip
dalam infotainment dianggap sebagai
salah satu pemantik rasa penasaran
masyarakat sehingga menimbulkan
efek psikologis terhadap publik.
Disadari atau tidak, masyarakat mulai
menyukai bahkan menikmati sajian
yang berisi gosip itu. Berita-berita
dalam
infotainment
biasanya
mengangkat kisah kehidupan kaum
selebritas,
misalnya
tentang
pernikahan, gaya pacaran artis-artis,
bahkan tentang konflik rumah tangga,
seperti perceraian. Konten ini mampu
menarik rasa penasaran masyarakat
dan dijadikan bahan berita yang
disiarkan oleh media.
Berita infotainment mengangkat
kisah pribadi artis yang sebetulnya

14

karena pengaruh dari gaya bahasa
penulisan Radar Malang. Drama yang
disajikan dalam berita Nganal Kodew
mampu menarik pembaca.
Bahasa gaul juga digunakan oleh
masyarakat dari subkultur tertentu.
Mulyana (2007, h. 311) meyebutkan,
bahasa ini merujuk pada bahasa
komunitas. Dalam hal ini terkait
dengan masyarakat Jawa, khususnya
masyarakat Malang. Teks Nganal
Kodew tidak berdiri sendiri sebagai
sebuah teks, namun berkaitan dengan
konteks masyarakat Malang yang
menjadi pembacanya. Karena itulah
penulis menggolongkan istilah dan
singkatan-singkatan
dalam
berita
Nganal Kodew sebagai bahasa gaul.
Larasati (2014, h. 92-93) meneliti
bahasa jurnalistik Nganal Kodew dari
segi etika, termasuk di antaranya faktor
alasan penggunaan kosa kata yang
akrab digunakan dalam percakapan
masyarakat
Jawa.
Menurutnya,
penggunaan
bahasa
Jawa
ini
disesuaikan dengan konteks media dan
pembaca yang merupakan masyarakat
Malang. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan
nilai
proximity
(kedekatan) dengan pembaca.
Penulis melihat ada praktik
ekonomi media yang terjadi dalam
proses produksi berita Nganal Kodew.
Konten konflik rumah tangga dalam
berita ini menjadi bahan dagangan bagi
media. Perceraian, perselingkuhan dan
masalah rumah tangga lainnya bukan
saja mempunyai nilai berita konflik,
tapi juga modal bagi media untuk
meraih keuntungan. Isi atau konten
berita yang sudah menjadi komoditas
ini tergolong dalam komodifikasi
konten. Komoditas adalah sesuatu yang
tersedia untuk dijual di pasar dan
komodifikasi adalah proses yang
diasosiasikan dengan kapitalisme, di

mana objek, kualitas dan tanda berubah
menjadi komoditas (Barker, 2009, h.
14).
Terlebih, konflik tersebut dikemas
dengan bahasa yang unik, seronok,
sehingga
menimbulkan
kelucuan,
konflik tersebut semakin diyakini oleh
media Radar Malang dapat menarik
perhatian. Konflik yang tadinya
merupakan masalah rumah tangga,
menjadi sesuatu yang lucu, sehingga
berbaur dengan nilai humor. Humor ini
disadari menjadi kekuatan bagi redaksi,
karena mereka sadar bahwa masyarakat
menyukainya. Ini sejalan dengan yang
dikemumakakan
Santosa
dan
Wahyuningtyas (2010, h. 19), bahwa
situasi cerita yang sarat dengan konflik
yang mencekam, pembaca akan lekas
jenuh, dalam situasi inilah unsur humor
sudah sepantasnya mengambil peranan
aktif dalam mengendurkan ketegangan
pikiran. Peranan kedua selain untuk
mengendurkan pikiran, yaitu humor
dapat
dijadikan
media
untuk
menyalurkan konflik sosial.
Pengemasan bahasa ini bukan saja
menyangkut humor tentang konflik.
Dari analisis teks, ditemukan bahwa
ada unsur pornoteks yang dieksploitasi.
Kata-kata dalam berita seringkali
menjelaskan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan seks dan bentuk
anatomi tubuh. Eksploitasi ini kembali
menunjukkan bahwa seks juga menjadi
komoditas dalam berita ini.
Melalui pornoteks ini, Radar
Malang menjadikan unsur seks sebagai
bahan yang dijual kepada pembaca.
Wazis (2012, h. 106) mengungkapkan,
cara berpikir media yang cenderung
kapital memengaruhi media untuk
memproduksi
pornoteks.
Namun,
seperti bahasan di atas, pornoteks ini
juga mengandung unsur humor.
Azzam (dikutip dari Isnaini, 2011)

15

menyebutkan, secara universal, fungsi
pers berjalan seiring dengan peradaban
setempat. Ia juga memaparkan, fungsi
pers yaitu menyajikan informasi
dengan menggalakkan komunikasi
publik,
melakukan pendidikan
(edukasi), peran kontrol sosial dan
penghiburan (entertainment). Dilihat
dari salah satu fungsinya, yakni sebagai
hiburan,
maka
Nganal
Kodew
memenuhi aspek tersebut. Rubrik ini
sengaja dihadirkan untuk memenuhi
aspek penghiburan pada pembacanya,
untuk menikmati berita konflik dengan
gaya bahasa yang menghibur, sehingga
membaca berita ini adalah suatu
aktivitas yang menyenangangkan.
Pada rubrik Nganal Kodew ini,
redaksi
mengonstruksi
perceraian
menjadi suatu hal yang bersifat humor.
Pembaca diajak untuk menertawakan
konflik yang ada. Maka, ketika redaksi
mengaku tujuan dan fungsi rubrik
Nganal
Kodew
adalah
sebagai
peringatan bagi pembaca agar tidak
meniru konflik dalam berita, penulis
mengkritisi bahwa sebenarnya ada
tujuan lain yang diinginkan oleh
redaksi. Yaitu untuk mempromosikan
Radar
Malang
sehingga
dapat
meningkatkan penjualan. Hal ini terjadi
karena berita yang tadinya mempunyai
nilai guna, nilai informatif dan edukatif
kepada pembacanya tentang bagaimana
mengelola konflik rumah tangga,
berubah menjadi nilai tukar yang
cenderung mengarah ke tujuan
ekonomis
Selain itu, perpindahan peletakan
rubrik Nganal Kodew juga digunakan
sebagai media promosi bagi koran
Radar Malang. Rubrik Nganal Kodew
yang sebelumnya diletakkan di
halaman dalam dan dicetak hitam
putih, kini pindah ke halaman 1 dan
dicetak
berwarna.
Ini
semakin

menguatkan fakta bahwa konflik
suami-istri, dengan pengemasan bahasa
yang mengandung unsur humor dan
seks sudah menjadi komoditas yang
dirasa ampuh untuk mempromosikan
produk koran Radar Malang.
Dengan membaca Nganal Kodew
yang lucu di halaman depan,
diharapkan pembaca juga akan
melanjutkan membaca ke berita-berita
lainnya di halaman lain. Jadi, kisah
tentang perceraian adalah sesuatu yang
sengaja dijual oleh redaksi kepada
pembaca, dan sekaligus juga menjadi
media promosi yang dirasa efektif
untuk menjual berita-bertia lainnya
yang dimuat di koran Radar Malang.
Dari sini, komodifikasi konten
semakin terlihat. Konflik tentang
perceraian, dipadu dengan rangkaian
bahasa, singkatan, ilustrasi tata letak
yang strategis diklaim oleh Radar
Malang mampu menaikkan penjualan
koran. Redaksi
mengklaim bahwa
Radar Malang mampu menjawab
kebutuhan pembaca sebagai konsumen.
Yaitu dengan menyediakan produk
yang
menarik,
unik,
tidak
membosankan, dan tentu saja, bersifat
menghibur. Van Dijk (1988, h. 83)
menyebutkan,
“of
course,
economically, news is also a market
commodity that must be promoted and
sold”. Jadi berita adalah suatu bahan
komoditas yang harus dipromosikan
dan dijual.
Dari sejarahnya sendiri, pers
berulang kali mengalami perubahan
posisi. Semboyan pers perjuangan
hanya bertahan sampai tahun 1970-an.
Kini pers politik sudah lewat dan
digantikan dengan pers industri
(Hartono (2006, h.3). Anggapan pers
sebagai sebuah industri yang kapitalis
berawal dari konteks bahwa pers di
Indonesia mulai menjadi pers yang

16

liberal sejak era reformasi. Pada era
orde baru, pers cenderung dikekang
kebebasannya. Sejak masa reformasi,
pers mulai lebih bebas berekspresi, dan
industri pers tidak perlu lagi
mempunyai SIUPP (Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers).
Azzam (dikutip dari Isnaini, 2011)
memaparkan, kelahiran era reformasi
di Indonesia pasca puncak krisis
moneter tahun 1967-1998, telah
melahirkan UU No. 40 tahun 1999
tentang pers yang bersemangat
liberalis. Berdasarkan UU inilah pers di
Indonesia bekerja. Pers, dalam
lingkungan negara yang cenderung
liberalis, tak lepas dari kondisi
persaingan bebas, di mana perusahaan
pers harus mampu bersaing dengan
perusahaan pers pesaingnya. Untuk
tetap dapat bertahan, perusahaan pers
sebagai produsen berita dituntut untuk
mampu menghasilkan produk yang
layak jual, unik dan menarik. Hal inilah
yang menjadi dasar bagi Radar Malang
untuk terus menulis rubrik Nganal
Kodew secara kontinyu, yaitu agar
Radar Malang mampu bersaing dengan
media lokal lainnya.

2. Tidak ada perbedaan pandangan
mengenai penggambaran relasi
suami dan istri ketika berkonflik
dalam kognisi wartawan dan
redaktur. Namun diksi yang
digunakan oleh redaktur laki-laki
lebih
banyak
menggunakan
deskripsi visual, terutama terkait
fisik tokoh-tokoh dalam berita.
3. Konteks agama islam, budaya jawa
dan pers yang cenderung bertujuan
untuk
meraih
keuntungan
memengaruhi hasil produksi berita
Nganal Kodew.

Daftar Pustaka
Akibat Cinta Terlarang. (2013, 26
Januari). Radar Malang, h.2
Alkitab. (2005). Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia.
Al-Qur’an dan Terjemahnya. (2004).
Jakarta: Departemen Agama
Republik Indonesia
Barker, C. (2009). Cultural Studies:
Teori dan Praktik. (Nurhadi,
Terjemahan). Bantul: Kreasi
Wacana.
Bloomfield, L. (1995). Language
(Bahasa).
(I.
Sutikno,
Terjemahan). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bungin, B. (2003). Pornomedia.
Jakarta: Kentjana.
Company Profile Jawa Pos Radar
Malang
Dahrendorf, R. (1958). Toward a
Theory of Social Conflict. The
Journal of Conflict Resolution, 2
(2), 170-183.
Eriyanto, (2012). Analisis Wacana:
Pengantar Analisis Teks Media.
Jogjakarta: LKiS.

Penutup
Setelah melakukan penelitian ini,
penulis menarik kesimpulan dalam
poin-poin berikut:
1. Kisah
mengenai
perceraian
ditampilkan secara ringan dengan
menonjolkan sisi hiburan dan seks
dalam teks, sehingga menunjukkan
bahwa konflik rumah tangga antara
suami dan istri bukan merupakan
masalah yang serius dan ikatan
rumah tangga bukan sebuah
hubungan yang sakral.

17

Fairclough, N. (2001). Language and
Power (2nd ed). Oxon: Pearson
Education Limited.
Film Cinta tapi Beda Dilaporkan ke
Polisi. (2013, 8 Januari). Jawa
Pos, h. 10
Gauntlett, D. (2008). Media, Gender
and Identity: an Introduction (2nd
ed). Abingdon: Routledge.
Gharib, S. M. (2006). Rumah Tangga
Tanpa Masalah. (A. Yaman,
Terjemahan). Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Gordon, A. A. (1995). Transforming
Capitalism
and
Patriarchy.
London:
Lynne
Rienner
Publisher.
Haikal, M. (2007). Humor dan Kamus
Gaul. Jakarta: Better Book.
Handayani, C. S. & Novianto, A.
(2004). Kuasa Wanita Jawa.
Jogjakarta: LKiS
Hartley, J. (2010). Communication,
Cultural, and Media Studies:
Konsep Kunci. (K. Wijayanti,
Terjemahan).
Jogjakarta:
Jalasutra.
Hartono, I. (2006). Indonesia Raya
Dibredel!. Jogjakarta: LkiS.
Hogan, K. & Labay, M. L. (2008).
Personal
Attraction.
(A.
Cahayani, Terjemahan). Jakarta:
Ufuk Press.
http://lirik.kapanlagi.com/artis/elvi_suk
aesih/surat_cerai, diakses 17 Juni
2014 pukul 15.23
htt

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15