SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM docx

SEJARAH
PEMIKIRAN
EKONOMI ISLAM
Mata Kuliah: Ekonomi Islam
Kelompok 3:
 Aprilia Rahmawati
 Putri Anindya Listya P
 Tata Budi Lestari

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi
Muhammad Saw. Karena rujukan utama pemikiran ekonomi Islami adalah Al Quran dan
Hadis maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan diturunkan Al Quran
dan masa kehidupan Rasulullah Saw pada abad akhir 6 M hingga awal abad 7 M.
A. Perekonomian di Masa Rasulullah Saw (571- 632 M)
Pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat
Madinah menjadi masyarakat sejahtera dan beradab. Perekonomian pada masa beliau
relatif masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip- prinsip yang
mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari dari perekonomian pada
masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap pemerataan kekayaan.
Sebagaimana pada masyarakat Arab lainnya, mata pencaharian mayoritas penduduk

Madinah adalah berdagang, sebagian lainnya bertani, beternak, dan berkebun. Oleh
karenanya, kegiatan ekonomi pasar relatif menonjol pada masa itu, dimana untuk
menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas Islam,
Rasulullah mendirikan Al Hisbah untuk mengontrol pasar dan membentuk Baitul
Maal untuk kesejahteraan masyarakat.
B. Pemikiran Ekonomi Islam: Kilasan Tokoh dan Pemikirannya
1.
Periode Pertama/Fondasi (Masa Awal Islam- 450

H/1058

M)

Pada periode ini banyak sarjana muslim yag pernah hidup bersama para sahabat
Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam
yang autentik.
a.
Zaid bin Ali (120 H/798 M)
Zaid bin Ali, cucu Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib merupakan ekonom
pertama yang memperbolehkan adanya harga tangguh tempo lebih tinggi

daripada harga tunai. Namun, ia melarang tegas riba dalam bentuk apapun.
b.

Abu Hanifa (80-150 H/699- 767 M)

Salah satu kebijakan Abu Hanifa adalah menghilangkan ambiguitas dan

perselisihan dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan
Syariah dalam hubungan dengan jual beli dan dia menyebutkan contoh,
murabahah. Dalam murabahah persentase kenaikan harga didasarkan atas
kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga pembelian yang
pembayarannya diangsur. Pengalaman Abu Hanifa dibidang perdagangan
menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam
transaksi ini dan transaksi yang sejenis.
c.

Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)

Abu Yusuf menekankan pentingnya prinsip keadilan, kewajaran dan
penyesuaian terhadap kemampuan membayar dalam perpajakan, serta perlunya

akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Ia juga membahas teknik dan
sistem pemungutan pajak, serta perlunya sentralisai pengambilan keputusan
dalam administrasi perpajakan. Menurutnya, negara memiliki peranan besar
dalam menyediakan barang/ fasilitas publik, yang dibutuhkan dalam
pembangunan ekonomi, seperti: jalan, jembatan, bendungan, dan irigasi. Dalam
aspek mikro ekonomi, ia juga telah mengkaji bagaimana mekanisme harga
bekerja dalam pasar, kontrol harga, serta apakah pengaruh berbagai perpajakan
terhadapnya.
d.

Muhammad bin Al Hasan Al Shaybani (132-189 H/750-804 M)

Muhammad bin Al Hasan Al Shaybani telah menulis beberapa buku, antara lain
Kitab al Iktisab fiil Rizq al Mustahab dan Kitab al Asl. Buku pertama banyak
membahas berbagai aturan Syariat tentang ijarah (hiring out), tijarah (trade),
ziraah (agriculture), dan sinaah (industry). Perilaku konsumsi ideal menurutnya
adalah sederhana, suka memberikan derma (charity), tetapi tidak suka memintaminta. Buku yang kedua membahas berbagai bentuk transaksi/ kerja sama usaha
dalam bisnis, misalnya salam (prepaid order), sharikah (partnership), dan
mudharabah.
e.


Abu Ubayd Al Qasim Ibn Sallam (224 H/838 M)

Buku yang ditulis oleh Abu Ubayd yang berjudul Al Amwal yang membahas
keuangan publik/kebijakan fiskal secara komprehensif. Didalamnya dibahas
secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan
penyaluran zakat, khums, kharaj, fay, dan berbagai sumber penerimaan negara
lainnya.
f.

Harith bin Asad Al Muhasibi (243 H/859 M)

Harith bin Asad menulis buku berjudul Al Makasib yang membahas cara- cara
memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan,
industri, dan kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan ini harus
diperoleh secara baik dan tidak melampaui batas/ berlebihan. Laba dan upah
tidak boleh dipungut atau dibayarkan secara lazim, sementara menarik diri dari
kegiatan ekonomi bukanlah sikap muslim yang benar- benar Islami. Harith
menganjurkan agar masyarakat harus bekerja sama dan menguk sikap pedagang
yang melanggar hukum (demi mencari keuntungan).

g.

Junaid Baghdadi (297 H/910 M)

Junaid Baghdadi merupakan seorang sufi, karenanya ide- idenya tentang
ekonomi tergambar dari ajaran- ajaran tasawufnya. Menurutnya, inti dari ajaran
tasawuf adalah membuang motivasi untuk mementingkan diri sendiri dalam
meningkatkan kualitas spiritual serta mengabdikan diri pada pengetahuan yang
benar. Seorang muslim juga harus melakukan apa yang terbaik untuk
kepentingan abadi, mengharapkan kebajikan untuk seluruh masyarakat, serta
menjadi benar- benar beriman kepada Allah swt dengan mengikuti sunah Nabi
Muhammad saw.
h.

Ibn Miskwaih (421 H/1030 M)

Ibn Miskwaih menulis buku yang berjudul Tahdib al Akhlaq yang banyak
membahas tentang pertukaran barang dan jasa serta peranan uang. Menurutnya,
manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya
untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa. Karenanya, menusia akan


melakukan pertukaran barang dan jasa dengan kompensasi yang pas. Dalam
melakukan pertukaran uang akan berperan sebagai alat penilai dan
penyeimbang dalam pertukaran, sehingga dapat tercipta keadilan.
i.

Mawardi (450 H/1058 M)

Pemikiran Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul,
Al Ahkam al Sulthoniyyah dan Adab al Din wa’l Dunya. Bukunya yang pertama
banyak membahas tentang pemerintah dan administrasi, juga terdapat tugas
muhtasib untuk mengawasi pasar, menjamin ketepatan timbangan dan berbagai
ukuran lainnya, serta mencegah penyimpangan transaksi dagang dan pengrajin
dari ketentuan syariah. Buku yang kedua banyak membahas tentang perilaku
ekonomi muslim secara individual yang disampaikan melalui ajaran- ajaran
tasawuf tentang budi luhur dalam perekonomian dan juga membahas perilakuperilaku yang dapat merusak budi luhur.
2.

Periode Kedua (450-850 H/1058-1446 M)
Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya

korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan
miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat
Islam berada dalam taraf kemakmuran.
a.

Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)

Dalam pandangan Al Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan amal kebajikan
mencapai maslahah untuk memperkuat sifat kebijaksanaan, kesederhanaan, dan
keteguhan hati manusia. Lebih jauh Al Ghazali membagi manusia ke dalam tiga
kategori, yaitu: pertama, orang yang kegiatan hidupnya sedemikian rupa
sehingga melupakan tujuan akhirat. Kedua, orang yang mementingkan tujuan
akhirat daripada tujuan duniawi, golongan ini akan beruntung. Dan ketiga,
golongan pertengahan/kebanyakan orang, yaitu mereka yang kegiatannya
sejalan dengan tujuan akhirat.
b.

Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M)

Ibn Taimiyah telah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang

bebas, peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara
harus mengimplementasikan aturan main yang Islami sehingga produsen,
pedagang, dan para agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara
jujur dan fair. Negara juga harus menjamin pasar berjalan dengan bebas dan
terhindar dari praktik- praktik pemaksaan, menipulasi, dan eksploitasi yang
memanfaatkan kelemahan pasar sehingga persaingan dapat berjalan dengan
sehat. Selain itu, negara bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan dasar
dari rakyatnya.
c.

Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1404 M)

Secara umum Ibn Khaldun sangat menekankan pentingnya suatu sistem
pasaryang bebas. Ia menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi
dan percaya akan efensiensi sistem pasar bebas. Ia juga telah membahas tahaptahap pertumbuhan dan penurunan perekonomian dimana dapat saja berbeda
antara satu negara dengan negara lainnya. Ia juga menekankan pentingnya
demand side economics khususnya pengeluaran pemerintah, sebagaimana
pandangan Keynesian, untuk mencegah kemerosotan bisnis dan menjaga
pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi kemerosotan ekonomi, pajak harus
dikurangi dan pemerintah harus meningkatkan pengeluarannya untuk

merangsang pertumbuhan ekonomi.
d.

Nasiruddin Tusi (485 H/1093 M)

Tusi sangat menekankan pentingnya tabungan dan mengutuk konsumsi yang
berlebihan serta pengeluaran- pengeluaran untuk aset- aset yang tidak produktif,
seperti perhiasan dan pnimbunan tanahtidak produktif. Ia memandang
pentingnya pembangunan pertanian sebagai fondasi pembangunan ekonomi
secara keseluruhan dan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat. Ia juga
merekomendasikan pengurangan pajak, dimana berbagai pajak yang tidak
sesuai dengan syariah Islam harus dilarang.

3.

Periode Ketiga (850-1350 H/1446-1932 M)
Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya,
dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan.
a.


Shah Waliullah (1114-1176 H/1703-1762 M)

Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran Mughal
India, Waliullah mengmukakan dua faktor utama yang menyababkan penurunan
pertumbuhan ekonomi. Dua faktor tersebut yaitu: pertama, keuangan negara
dibebani dengan berbagai pengeluaran yang tidak produktif. Kedua, pajak yang
dibebankan kepada pelaku ekonomi terlalu berat sehingga menurunkan
semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian dapat tumbuh jika terdapat
tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi yang efisiensi.
b.

Muhammad Iqbal (1289-1356 H/1873-1938 M)

Muhammad Iqbal dikenal sebagai filosof, sustrawan juga pemikir politik tetap
sebenarnya ia juga memiliki pemikiran- pemikiran ekonomi yang brilian.
Pemikirannya memang tidak berkisar tentang hal- hal teknis dalam ekonomi,
tetapi lebih kepada konsep- konsep umum yang mendasar. Iqbal menganalisis
dengan tajam kelemahan kapitalisme dan komunisme dan menampilkan suatu
pemikiran ‘poros tengah’ yang dibuka oleh Islam.
4.


Periode Kontemperer (1930- sekarang)
Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di
dunia Islam. Kemerdekaan negara- negara muslim dari kolonialisme Barat turut
mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan
pemikirannya. Khurshid membagi perkembangan ekonomi Islam kontemporer
menjadi empat fase yaitu:
1.

Fase Pertama

Pertengahan 1930-an banyak muncul analisis masalah ekonomi sosial dari

perspektif Islam sebagai wujud kepedulian terhadap dunia Islan yang secara
umum dikuasai oleh negara- negara Barat. Meskipun kebanyakan analisis ini
berasal dari para ulama yang tidak memiliki pendidikan formal bidang
ekonomi , namun langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang
perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi.
2.

Fase Kedua

Pada tahun 1970-an banyak ekonom muslim yang berjuang keras
mengembangkan aspek tertentudari ilmu ekonomi Islam, terutama dari sisi
moneter. Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba
dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga. Konferensi internasional
pertama diadakan di Makkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul Konferensi
Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London,
Inggris pada tahun 1977. Sejak itu banyak karya tulis yang dihasilkan dalam
wujud makalah, jurnal ilmiah hingga buku, baik yang dipresentasikan dalam
pertemuan- pertemuan internasional maupun yang diterbitkan secara khusus.
3.

Fase Ketiga

Perkembangan ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai
fase ketiga dimana banyak berisi upaya- upaya praktikal- operasional bagi
realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bankbank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara- negara muslim maupun di
negara- negara non- muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai
kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh
para ekonom muslim (dan karenanya terus disempurnakan) langkah ini
menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa
bunga.
4.

Fase Keempat

Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah
pembahasan yang lebih integral dan komprehensif terhadapteori dan praktik

ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi
konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan
sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam. Dari sisi teori dan konsep
yang terpenting adalah membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang
menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi.
Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan disini. Dari sisi
praktikal adalah bagaimana kinerja lembaga ekonomi yang telah (misalnya bank
tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya,
serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan teori
ekonomi Islam.
Pada awalnya, perkembangan ini diawali oleh kiprah para ulama (yang
kebanyakan tidak didukung pengetahuan ekonomi yang memadai) dalam
menyoroti berbagai persoalan sosial ekonomi saat itu dari perspektif Islam.
Zarqa membagi topik- topik kajian dari para ekonom dimasa ini menjadi tiga
kelompok tema, yaitu:
a.

Perbandingan sistem ekonomi Islam dengan ekonomi lainnya,

khususnya kapitalisme dan sosialisme
b.

Kritik terhadap sisten- sistem ekonomi konvensional, baik dalam tataran

filosofi maupun praktikal
c.

Pembahasan yang mendalam tentang ekonomi Islam itu sendiri, baik

secara mikro maupun makro.