MELACAK AKAR NEO SUFISME MUH AMMAD ABDUH
MELACAK AKAR NEO-SUFISME MUH{AMMAD ‘ABDUH DAN
MUH{AMMAD RASHI
r al-Mana>r even figured adabi ijtima'i, but it does not mean
not discussing aspects of Sufism in it. Even with critical analysis
and argumentative, both able to control the line of Sufism back
to the Quran and al-Sunnah. Efforts to revitalize them and make
it worthy of conceptual modern mysticism as the neo-Sufi
century this millennium.
Keywords: neo-sufism, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid,
Azymardi Azra, characteristic.
A. PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
‘Abduh
dan
Rashi>d Rida>, apakah keduanya termasuk ke dalam kategori aliran
tasawuf
neo-sufisme.
Neo-sufisme
yang
diterjemahkan
oleh
Nurcholish Madjid dengan “sufisme baru” menekankan perlunya
perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada “sufisme
lama”.
Adanya
keterangan
ditingkatkan
secara
lebih
kuat
1
menunjukkan bahwa bukan berarti sufisme lama tidak terjun ke
masyarakat sama sekali. Namun mengingat kondisi masyarakat yang
membutuhkan langsung sentuhan para sufi,
maka kadar peranan
mereka ditingkatkan.
Sebagai contoh bagaimana pandangan
zuhud terdapat
dan
neo-sufieme tentang
terangkum dalam buku al-Ru>ha>niyyat al-
Ijtima>’iyyah (spiritualisme sosial). Terbitan al-Markaz al-Isla>mi
(Islamic Center), Jenewa (Swiss) pimpinan Dr. Sa’i>d Ramad}a>n.
Buku ini pegangan bagi para pejuang dakwah Islam. Buku ini
memberi petunjuk yang cukup jelas tentang apa yang menjadi
pertanda jalan (ma’a>lim al-T}ari>q) spiritualisme sosial, yang secara
amat ringkas isinya adalah : (1) Membaca dan merenungkan makna
kitab suci al-Qur’an; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran
Nabi Saw melalui sunnah dan sirah; (3) Memelihara hubungan dengan
orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh Islam yang zuhud;
(4) menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari
tentang hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al-Qur’an dan alSunnah, dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadat - ibadat
wajib dan sunah, separo sembahyang lima waktu dan tahajud.
Nurcholish Madjid menambahkan bahwa neo-sufisme mengecam
sikap
hidup
spiritualisme
pasif
dan
isolatif
(i’tizaliyah),
dan
menekankan nilai-nilai keseimbangan (mi>za>n atau tawa>zun)
yang sesuai dengan prinsip - prinsip al-Qur’an dalam surat alRahma>n ayat 7 - 8.
Karakteristik ini akan dilacak dalam sosok
‘Abduh dan Rida>, apakah mereka berdua memiliki kecenderungan
demikian
juga.
dikemukakan
Selain
itu
juga
beberapa
karakteristik
yang
Azra lebih sistimatis untuk dijadikan pisau analisa
utama.
Apabila kita lacak ulang menelusuri biograpi ‘Abduh, maka kita
akan
menemukan
bahwa
kemungkinan
kecenderungan ‘Abduh dari tasawuf
al-Afghani
mengalihkan
dalam arti sempit dan dalam
bentuk tata cara berpakaian dan dzikir
kepada tasawuf dalam arti
2
yang lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan
membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran –ajaran Islam
sangat selaras dengan buku al-Ru>ha>niyat al-Ijtima’iayat.
Hal ini
semakin memperkuat bahwa melalui pisau analisa teori Nurcholish
Madjid, ‘Abduh dan Rida> bisa dikategorikan sebagai kelompok neosufisme pada abad ke-20.
Adanya ide dari penulis untuk mengajukan Muh}ammad
‘Abduh dan Muh}ammad Rashi>d Rid}a>
sebagai neo-sufi pernah
juga dilakukan oleh Azra. Namun ia mengajukan Sayyid Hussein
dalam
hal
ini.
Penelitian
ini
memperkuat
penelitian
kedua
cendekiawan di atas secara metodologi, walaupun objeknya berbeda.
Menurut Azra, Nasr adalah seorang neo-sufi yang menekankan
aktivisme;
tasawuf
mengundurkan
melakukan
yang
diri
inner
dari
tidak
mengakibatkan
kehidupan
detachment
dunia,
pengamalnya
tetapi
(pengembangan
sebaliknya
dengan
cara
modifikasi diri) untuk mencapai spiritual yang lebih maksimal. Secara
singkat, Nasr menawarkan sufisme sebagai solusi manusia modern.
Juga pernah dilakukan oleh Elizabeth Sirriyeh, yang memasukan
Abu A’la al-Mawdudi dan ‘Ali Shari’ati sebagai neo-sufieme yang
beraliran revivalis radikal.
Apa yang dilakukan oleh Nasr, Abduh dan Rashi>d bisa dikatakan
sebagai strategi agar
agama –terutama yang ekstrem- bisa diikuti
dengan mudah dan tidak tabu untuk memperbincangkannya. Karena
menurut Tariq Ramadhan kondisi demikian masih terjadi.
B. RUMUSAN MASALAH
Adanya kekosongan figur neo-sufisme pasca abad ke-6 H, yaitu
Ibn Taymiyyah
(w. 728 H) dan
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang
dikategorikan oleh keduanya sebagai tokoh tasawuf baru ini, maka
penelitian ini mencoba menawarkan ‘Abduh dan Rid}a> sebagai
tokoh neo-sufisme pada abad ke-19 dan ke-20.
C. KERANGKA TEORITIS
3
Penelitian ini akan menjadikan teori Fazlur Rahman tentang
neo-sufisme yang dikembangkan oleh Azra dalam Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Nusantara Abad XII dan XIII sebagai pisau analisa.
Melalui teori ini penulis berusaha mengusulkan Muh}ammad ‘Abduh
dan Rashi>d Rid}a> sebagai tokoh neo-sufisme.
D. PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini
penulis akan meminjam pisau analisa
utama - selain dari Nurcholis Madjid di atas- dari teori Fazlur Rahman
yang dikembangkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII M. Penulis
akan melacak semua karakteristik dan kecenderungan neo-sufisme
yang ditulis oleh Azra di dalam bukunya. Kemudian juga akan
ditelusuri
tulisan-tulisan guru dan murid tersebut terutama dalam
Tafsi>r al-Mana>r.
Apabila semua karakteristik tersebut bisa
ditemukan kemudian dikomparasikan dengan para tokoh neo-sufisme
sebelumnya, tentu saja
selanjutnya, penulis tidak ragu lagi untuk
mengkategorikan bahwa keduanya memang layak sebagai kelompok
neo-sufisme.
Azra menyampaikan pembahasan ini dalam bukunya pada
BAB III sebagai mata rantai selanjutnya dari pembahasan wacana
pembaruan dalam jaringan ulama. Dengan adanya neo-sufieme,
menurut Azra, berimplikasi semakin meluasnya penyebaran Islam.
Fazlur
Rahman
menyimpulkan
bahwa
karakteristik
neo-sufisme
puritan dan aktivis. Nampaknya pandangan Rahman ini baru sebatas
dari
sudut
gerakan
sosialnya
saja.
Kemudian
Azra
menyempurnakannya dan menghasilkan kesimpulan bahwa ada lima
karaktersistik dan kecenderungan neo-sufisme, yaitu tela’ah hadits,
syari’at, aktivisme, organisasi tarekat dan kesinambungan serta
perubahan. Karakteristik yang disampaikan Azra lebih luas dan tidak
hanya berlaku untuk menguji kesufian
‘Abduh dan Rid}a> saja.
4
Apabila dilakukan penelitian yang sama dengan objek tokoh Islam
yang berbeda maka akan menghasilkan kesimpulan yang baru.
Berikut ini akan dilacak semua karaktersitik tersebut
berdasarkan sistimatika penelitian yang ditulis oleh Azra :
a. ‘Abduh, Rid}a> dan Tela’ah Hadits
Sebelum menginjak lebih jauh dalam penelitian,
perlu
diketahui bahwa untuk mengetahui apakah ‘Abduh dan Rida> bisa
dimasukkan ke dalam kelompok neo-sufisme, setidak-tidaknya bisa
dilihat dari dua pembahasan. Pertama, bahwa berdasarkan biografi
keduanya, masing –masing pernah bertemu dengan seorang sufi yang
sekaligus jadi mursyidnya. Sehingga tak canggung lagi, penulis
memasukan keduanya sebagai neo-sufisme,
walaupun
masih ada
sebagian atau bahkan mayoritas sejarawan menolak pandangan
tersebut. Kedua, keterlibatan mereka dalam merevitalisasi fungsi
hadits dalam al-Qur’an memberikan pertimbangan bahwa mereka
paham dan bahkan menguasai hadits serta bagaimana seharusnya
hadits dipergunakan dan mengatur posisi perannya di tempat yang
tepat.
Untuk
yang
memperpanjangnya.
pertama
Karena
mungkin
apabila
penulis
kriteria
tela’ah
tidak
akan
hadits
ini
ditemukan dalam diri mereka, maka jelas mereka adalah golongan
neo-sufisme dengan sendirinya.
Fazlur Rahman berpendapat, kelompok terpenting dari para
ulama
muslim
yang
bertanggung
merealisaikan neo-sufisme adalah
jawab
dalam
membantu
“para ahli tradisi” (ahl hadits).
Kaum tradisional ini selain berusaha menjaga keotentikan hadits dari
para pemalsu hadits dan berubah pada masa kontemporer ini
menjaganya
dari
para
orientalis,
juga
berusaha
untuk
mempertahankan warisan para sufi. Mereka sadar bahwa tidak bisa
dipungkiri kaum sufi telah tampil dengan menawan dalam sejarah
Islam secara emosioanal, spiritual dan intelektual pada abad ke-6 H /
ke-12 M, dan ke-7 / ke- 13. Mereka berusaha untuk mendamaikan
ajaran sufi dengan ajaran Islam ortodok.
Para ahli hadits yang
5
umumya berdomisili di Haramayn adalah yang paling berperan
penting dalam rekonsiliasi dua madzhab ini. Mereka umumnya
bermadzhab Hanbali, menolak dan membuang ajaran-ajaran filosofi
rasional dan mistisisme spekulatif,
banyak
diantara mereka yang
melaksanakan tasawuf asalkan sesuai dengan
syari’at. Tidak ada
bukti bahwa para ulama Hanbali, seperti Ibn Taymiyyah (w. 728
H/1328)
dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H) menentang
segala jenis tasawuf.
Yang mereka kritik adalah tasawuf
yang
menyimpang. Bahkan menyatakan bahwa mereka berdua sebagai
perintis neo-sufisme.
Yang perlu digaris bawahi dari Fazlur Rahman adalah apakah
ahli hadits yang dimaksud adalah mereka
para pemegang sanad
hadits atau ahli hadits yang dinisbatkan kepada pengikut madzhab
Hanbali yang berdomisili umumnya di Haramayn. Penulis berasumsi
bahwa yang dimaksud ahli ahdits oleh Rahman adalah kelompok yang
kedua.
Mereka
cenderung
untuk
menafsirkan
al-Qur’an
dan
mensyarah hadits secara tekstual. Jika demikian halnya, maka penulis
juga akan mengikutinya, bahwa kategorisasi ‘Abduh dan Rida>
sebagai neo-sufisme berdasarkan klasifikasi dan rekonstruksi teori
neo-sufisme Rahman. Dengan demikian tidak dipersyaratkan untuk
menjadi seorang neo-sufisme adanya otoritas dalam memegang
sanad hadits yang turun temurun sejak masa sahabat.
Sebagaimana ditulis di Bab I dalam latar belakang, bahwa
penggunaan hadits dalam Tafsi>r al-Mana>r cukup banyak. Bahkan
ketika menafsirkan surat Yu>nus ayat 62-64, penafsirannya sampai
menghabiskan 32 halaman. Termasuk di dalamnya
tela’ah hadits
yang begitu mendalam.
Menurut Quraish Shiha>b tela’ah hadits yang mendalam
digunakan oleh Rid}a> dalam menafsirkan ayat.
Tela’ah hadits ini
menjadikan perbedaan diantara karakteristik penafsiran Rid}a> dan
‘Abduh. Keluasan pembahasan dalam bidang hadits menunjukkan
keahliannya
dalam bidang ini, sekaligus menghindari apa yang
dikemukakannya menyangkut kekurangan ‘Abduh dalam bidang
6
riwayat, hafalan, dan al-jarh wa al-ta’dil (salah satu cabang dalam
kritik sanad hadits).
Salah satu kelebihannya dalam kajian hadits bisa digambarkan ketika
ia menafsirkan surat al-Ma>idah (5) ayat 6. Adapun redaksinya
sebagai berikut:
“Sesungguhnya engkau telah mengetahuinya bahwa hadits
yang diriwayatkan Anas itu tidak bisa dijadikan argumentasi
(la> yuh}tajj bih). Hadits yang sama dengan hadits Anas adalah
yang diriwayatkan oleh ‘At}a>’ dan berstatus mursal. Hadits ini
dijadikan hujjah oleh al-Shafi’i (w. 204 H) dalam kitab al-Umm.
Dalam hadits ini dikatakan bahwa mengusap kepala cukup
sebagian saja. Sedangkan imam H{anafi> (w. 150 H) bahkan
cukup seperempat dari bagian kepalanya saja.
Hadits yang
diriwayatkan ‘At}a>’ ini bersisi bahwa Nabi setiap hendak
berwudhu melepaskan sorban yang melilit di kepalanya, dan
mengusap bagian depan kepalanya, atau bagian tengahnya.
Pemakaian hadits ini dengan cara berpaling dari perbedaan
pendapat dalam kehujjahan hadits mursal. Hal ini ditentang
oleh jumhur ulama dan yang lainnya. Abu> H{ani>fah (w. 150
H), al-Sha>fi’i (w. 240 H) dan mayoritas ulama Muktazilah tidak
berhujjah dengan hadits mursal. Hadits ‘At}a>’ ini diriwayatkan
oleh Muslim bin Kha>lid seorang ahli fiqih dari Mekkah, ia
seorang thiqah menurut ‘At}a>’, Ibnu Ma’in memandang ia
thiqah,
namun
di
lain
kesempatan
ia
mendha’ifkannya,
sebagaimana juga didhaifkan oleh Abu> Da>wu>d. Al-Bukha>ri
berkata : “hadits ini munkar”. Dalam kasus ini menolak lebih
diunggulkan
daripada
menerimanya.
Hadits
ini
juga
menunjukkan tidak ada dalil kewajiban mengusap kepala
seperempatnya saja.
Paragraf diatas cukup jelas menggambarkan kemampuan Rid}a>
dalam kajian hadits yang menjadi salah satu karakteristik dari neosufisme.
7
Disamping itu Rid}a> lebih cenderung mengutamakan ahli hadits
dibandingkan dengan ulama lain yang mempunyai spesifikasi lain.
Pandangan ini semakin memperkuat posisi hadits dalam memperkuat
teori-teori tasawuf yang bergenre neo ini. Berikut pandangannya
tentang keutamaan ahli hadits :
“Ketahuilah, sesungguhnya kamu tidak akan meninggal sebagai
pewaris
para
Nabi,
kecuali
para
ahli
hadits
yang
meriwayatkannya secara bersambung sampai kepada Nabi,
sebagaimana
disampaikan
guru
kami
(‘Abduh),
mereka
memndapatkan (tugas) bagian risalah karena mereka sebagai
trasnsmiter wahyu, mereka mewarisi para Nabi dalam tabligh.
(Bahkan) para ahli fiqih yang tidak mampu mengetahui dalilnya
tidak
mempunyai
derajat
yang
tinggi,
mereka
hanya
dikumpulkan bersama dengan umat biasanya, tidak dengan
para Nabi. Gelar ulama tidak melekat kepada mereka kecuali
untuk para ahli hadits. Demikian juga para ahli ibadah, ahli
zuhud,
dan
yang
lainnya
dari
ahli
akhirat,
mereka
kedudukannya sama dengan ahli fiqih jika mereka tidak
merangkap sebagai ahli hadits. Mereka dikumpulkan bersama
dengan umat secara umum yang membedakan antara dengan
amal saleh tidak yang lainnya, demikian juga para ahli fiqih
mereka dibedakan hanya di dunia saja, tidak di tempat
lainnya.”
Di
dalam kutipan
di
atas
mengandung
dua
data
kuat
yang
memperkuat akar neo-sufisme. Tentu saja bagi Rid}a> yang menulis
tafsir ini, sekaligus juga bagi ‘Abduh, yang disebutkan bahwa
pernyataan ini berasal dari pandangan ’Abduh. Ini merupakan data
yang paling kuat yang diakui secara langsung oleh S}a>h}ib alMana>r.
Poin lain yang mendukung Rida> bisa dikategorikan sebagai
ahli hadits adalah penggunanan kata “keluasan” oleh Quraish Shihab
8
yang memberi makna bahwa penelitiannya terhadap tela’ah hadits
dalam Tafsir al-Mana>r cukup mendalam. Penulis bersumsi, walaupun
hanya diwakili oleh Rid}a>, bukan berarti menafikan
Tafsir al-
Mana>r
sebagai karya dari seorang sufi pembaharu atau neo-
sufisme.
Prosentasi penggunaan hadits oleh ‘Abduh yang minim,
tidak serta merta menunjukan bahwa ‘Abduh bukan tidak mampu
mendalami hadits, tetapi ia fokus ke dalam pemikiran. Sebagai contoh
pandangannya tentang
komentarnya
terhadap hadits Ahad
menunjukan bahwa ‘Abduh juga mampu mendalami hadits.
Usaha lain yang dilakukan oleh ahli tradisi
dalam
merekonstruksi neo-sufisme ini adalah mempercepat pembaruan
tasawuf pada skala lebih besar. Para ahli hadits ini umumnya
menfokuskan usahanya pada tela’ah hadits dalam mempertahankan,
mereorganisasi, dan menafsirkan al-Kutub al-Sittah dilihat dari sudut
pandang ahli hadits. Tetapi, pada saat yang sama, mereka semakin
memantapkan kontak-kontak dan hubungan dengan para ulama dari
tradisi– tradisi religio- intelektual yang lain. Dengan cara begini,
mereka bertemu dan berinteraksi dengan “tradisi-tradisi kecil” Islam
lain. Mereka juga mempunyai peranan dalam menghubungkan para
ulama yang hidup di berbagai wilayah Timur- Tengah melalui keahlian
hadits mereka.
Dalam konteks modern, penduduk India merupakan contoh
komunitas muslim yang berperan dalam memelihara hadits (tradition)
. Di antara mereka ada yang sampai berpangkat muh}addith, bahkan
komunitas mereka telah diakui sebagai ahlu al-hadi>th. Kontuinitas
mereka dalam memelihara sunnah Nabi berbuah dengan suburnya
praktek tasawuf.
Selanjutnya untuk melacak apakah seorang cendikiawan
termasuk dalam kelompok neo-sufisme di lihat dari konteks sikapnya
terhadap hadits
bisa dilakukan dengan mencari pandangan orang
cendikiawan tersebut terhadap realisasi hadits terhadap al-Qur’an.
Misalkan, Ibnu Taymiayah (w. 728 H) dalam kitabnya Muqaddimah fi>
Us}u>l al-Tafsi>r menyatakan sikapnya terhadap hadits wa>hid, ia
9
bisa
memetakan
periwayatan
ulama
hadits
mana
wahid,
yang
menerima
mengklasifikasikan
dan
hadist
menolak
dari
sisi
kuantitas rawinya, bisa mengatahui tingkat kelemahan dan kekuatan
segi
hadits,
mengetahui
hadits
mengetahui rija>l al-hadi>th
yang
ber’illat
(‘ilal
al-hadits),
beserta dengan kriterianya, bisa
mengetahui letak hadits tersebut di dalam variasi tafsir. Sumber lain
dikatakan Ibn Taymiyyah (w. 728 H) sudah berada dalam tingkat
keagungan (al-‘ud}mah), ungkapan yang independen (mutaharriy)
dalam kajian hadits. Seorang neo-sufisme seperti Ibn Taymiyyah (w.
728 H) mempunyai kapabilitas yang beragam dalam ilmu hadits dan
cabang-cabangnya.
Sekarang apakah kemapanan yang dimiliki oleh Ibnu Taymiyah
(w. 728 H)
dalam bidang hadits
juga dimiliki oleh ‘Abduh dan
Rid}a>. Kalau kita kembali ke atas, Rid}a> memang tidak diragukan
lagi dalam hal ini. Adapaun tingkat kedalamannya dalam kajian hadits
tentu saja perlu penelitianan lebih intens.
Namun
untuk ‘Abduh,
dalam hal ini yang bisa dikemukakan mungkin adalah ketegasannya
untuk menolak hadits - hadits batil dalam menafsirkan surat alAhza>b (33) ayat 37 sebagaimana
di kemukakan dalam Bab I.
Keduanya sama – sama ada upaya agar
penafsiran dengan
pendekatan hadits hanya menggunakan hadits yang berkualitas
maqbul (diterima). Terutama,
dalam tesis ini, ketika menafsirkan
ayat-ayat tasawuf. Karena semangatnya adalah mengembalikan
praktek tasawuf berada dalam jalur ortodoks.
Selain itu juga menurut al-Dhahabi>, terlepas dari pandangan
bahwa ‘Abduh lemah dalam ilmu Hadits, ia selalu menafsirkan setiap
ayat dalam al-Qur’an berdasarkan prinsip-prinsip teori - teori ilmu
hadits.
‘Abduh melakukan pendekatan hadis dengan tujuan agar
adanya kesamaan di antara makna - makna ayat yang terkadang
dirasakan
jauh
pengetahuan
menurut
yang
(postulate/aksioma)
pandangan
dikuasai
di
dalam
oleh
sikap
manusia,
mereka
dengan
sebagai
mereka,
atau
variasi
pijakan
dengan
10
pengetahuan yang berasaskan praktek. Singkatnya, ada kesesuaian
antara wahyu dengan sains.
Tujuan itu - walaupun terkadang
dilontarkan ‘Abduh ke belakang untuk beralih kepada tujuan yang
cerdas – keluar seperti contoh syarah dan penjelasan tentang budaya
Arab (ma’luf al-‘arab) dan segala hal yang ada di tengah - tengah
mereka ketika al-Qur’an turun. Namun contoh yang diberikan ‘Abduh
terhadap metode ini,
sebagaimana ditelusuri oleh al-Dhahabi> -
walaupun ia tidak menyebutkan haditsnya - tidak disertakan dengan
haditsnya. Namun sekilas bahwa penafsiran ‘Abduh, sebagai contoh
tela’ah haditsnya itu, dengan menggunakan hadits-hadits selalu
dirasionalisasikan
agar
sesuai
atau
memudahkan
pemahaman
manusia.
Pro dan kontra memang tidak akan terlepas dari pribadi setiap
orang. Jarang sekali orang yang mendapat pandangan positif dari
seluruh masyarakat. Terkadang pandangan negatif ini timbul justru
bukan karena ia telah berbuat nila-nilai negatif, tetapi –khusus di
kalangan cendikiawan -
bisa jadi karena terlalu progresif dalam
pemikirannya. Tidak sedikit cendikiawan yang pemikirannya melawan
mainstrem mayoritas sarjana yang dikafirkan, di katakan zindik, inkar
al-sunnah.
Sebagai
contoh
adalah
Muh}ammad
‘Abduh
yang
dituliskan dalam sejarah bahwa ia dalam beberapa persoalan
mengingkari hadits - hadits yang sahih. Ia menolak hadits sahih yang
mengatakan bahwa Nabi disihir oleh seorang Yahudi, Labid ibn
al-‘As}am,
apalagi
sampai
sihir
tersebut
mempengaruhi
Nabi.
Sehingga akibat dari peristiwa tersebut Nabi dikatakan sebagai orang
yang terkena sihir. Bahkan ‘Abduh beralasan bahwa Nabi tidak
mungkin terkena sihir, karena orang yang terkena sihir adalah orang
yang akalnya menjadi miring,
ia berhalusinasi sesuatu yang tidak
terjadi seolah-olah terjadi, dan ini tidak mungkin bagi seorang Nabi
yang selalu menerima wahyu. Penerimaan wahyu mengharuskan Nabi
selalu dalam keadaan terjaga akalnya. ‘Abduh tidak setuju dengan
golongan yang bertaklid buta, yang mengatakan bahwa hadits
11
tentang tersihirnya Nabi adalah sahih dan wajib diyakini. Bahkan jika
tidak mengakui kebenarannya merupakan bid’ah. Karena seolah-olah
pengingkaran tersebut secara tidak langsung mengingkari adanya
sihir dan prakteknya. Bahkan al-Qur’an bisa dijadijkan hujjah adanya
sihir.
Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari (w. 256 H)
tersebut merupakan hadits Ahad. Padahal dalam diskursus
ilmu
mus}t}alah hadi>th, hadits Ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam
masalah akidah. Di sini terlihat dengan jelas bahwa, ‘Abduh
mengingkari hadits yang sahih karena bertentangan dengan logika.
Namun alasan ‘Abduh bisa diterima oleh akal.
Terutama tentang
kedudukan haditsnya. Ini juga yang menunjukan bahwa kualitas ilmu
hadits ‘Abduh tidak bisa dianggap remeh. Dan ini juga yan menjadi
pertimbangan penulisan untuk memasukkan ‘Abduh sebagai
neo-
sufisme.
Seperti dikatakan oleh Isma>’il S>a>lim yang berpandangan
bahwa Tafsi>r Ibnu Kathi>r
mempunyai cukup pengaruh dan
dijadikan salah satu referensi utama bagi Tafsi>r al-Mana>r. Ia
mengakui bahwa dalam tafsir al-Mana>r banyak dikutip riwayatriwayat terutama hadits-hadits yang berkualitas dapat diterima. Pada
umumnya metode yang diusung oleh al-Mana>r ini bersumber dari
metode al-T}aba>ri (w. 310 H) dan Ibn Kathi>r (w. 774). Namun
dalam penafsiran dengan riwayat ini, mayoritas lebih banyak merujuk
kepada Tafsi>r al-T{abari>.
Demikianlah deskripsi ‘Abduh dan Rid}a> dalam spesifikasi
hadits dalam kitab tafsirnya. Usaha mereka yang tegas untuk
mengembalikan al-Hadits sebagai prioritas dalam penafsiran juga
sekaligus
memberikan
identitas
bahwa
mereka
layak
untuk
dimasukan dalam kategori neo-sufisme.
Selain pandangan –pandangan dari sarjana muslim, sarjana
barat juga banyak yang berkomentar tentang kiprah ‘Abduh dalam
hubungannya dengan tela’ah hadits. Sangat sulit untuk mengatakan
bahwa ‘Abduh adalah golongan ahli hadits, atau sebaliknya ahli ra’y.
12
‘Abduh justru, menurut David L. Johnston, berhasil menyatukan
elemen-eleman
rasionalisme
(ajaran
–ajaran
tradisionalisme (ahlu al-hadits).
Bisa
dijadikan
pertimbangan
dikemukakan
oleh
Goldziher
yang
juga,
ahlu
al-ra’y)
pandangan
mengatakan
bahwa
dan
yang
Rid}a>
menentang semua perbuatan yang tidak berdasar rujukan pada
sunnah. Walaupun kasusnya hanya dalam hukum membaca tartil
surat al-Kahfi pada hari jum’at yang umumnya ditradisikan oleh para
sufi, karena kental dengan ritualnya.
Melacak ke belakang sejarah, penghargaan yang tinggi dari
Barat terhadap sarjana muslim, contohnya sebagaimana dikutip
dalam Tafsi>r al-Mana>r sendiri, seperti yang diberikan kepada Ibn
H}azm, sebagai pendiri madzhab Dzahiri yang diikuti oleh mayoritas
salafi modern. Pantas saja ia mendapatkan penghargaan itu, karena
ia berasal dari Andalusia sebagai bagian dari wilayah Barat. Dalam
karya-karyanya sarjana muslim dari barat ini mempunyai keuggulan
dalam retorika yang lebih jelas.
Namun tidak dapat dipungkiri Rid}a> pernah dituduh sebagai
kelompok
Ingkar sunnah modern. Alasannya hanya disebabkan
dukungannya terhadap pemikiran Taufiq Shidqi yang mengatakan
bahwa Islam itu adalah al-Qur’an itu sendiri, dan tidak memerlukan
al-Sunnah. Rid}a berpandangan bahwa hadits yang tidak mutawatir
tidak wajib menerimanya.
Namun belakangan ia mencabut semua pendapatnya tersebut
bahkan
akhirnya
dikenal
sebagai
pembela
sunah.
Al-Siba’i
menuturkan, ”Pada awalnya Sayyid Rashi>d Rid}a> terpengaruh
dengan pemikiran gurunya.
perbendaharaan
must}alah
hadits
hadits”.
Ia
dan
sama
sedikit
Walaupun
yang
dengan gurunya,
pemahamannya
terakhir
ini
sedikit
tentang
melemahkan
argumentasi sebelumnya, tetapi bukan menolak sama sekali. Apalagi
pandangan tersebut hanya keluar dari satu tokoh hadits saja.
Sebagai bukti bahwa
ia
adalah pembela Sunnah adalah
adanya catatan Rid}a> tentang keutamaan ahli hadits dibandingkan
13
dari yang lainya.
Ia menguatkan bahwa pewaris para Nabi yang
sebenarnya adalah para ahli hadits. Mereka mempunyai tugas dalam
menyampaikan
risalah.
Alasannya
karena
mereka
pihak
mentranfose hadits dan juga menyampaikannya kepada
Mereka adalah ulama yang sebenarnya.
yang
umat.
Data –data yang ditemukan
dalam Tafsi>r al-Mana>r ini semakin memperkuat arguentasi kesufian
‘Abduh dan Rid}a>.
b. ‘Abduh, Rida> dan Syari’at
Dalam al-Qur’an kata syari’at dalam bentuk kata benda (isim)
disebutkan sebanyak dua kali, yaitu di dalam surat al-Ja>thiyah ayat
18 dan surat al-Ma’>idah ayat 48. Ada juga yang disebutkan dalam
kata kerja (fi’il)
yang terdapat dalam dua ayat juga yaitu surat al-
Shu>ra ayat 13 dan 21.
Syari’at adalah metode agama atau perangkat aturan agama
yang digariskan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh hamba. Pada
prisipnya syari’at merupakan metode untuk mengapresiasi ajaran
agama secara keseluruhan. Dari sini jadi jelas perbedaannya dengan
agama. Jika syari’at merupakan metode atau aturan, maka agama
adalah perangkat keimanan yang lebih universal menyangkut otoritas
wujud Allah serta konsistensi terhadap apa yang mesti
dijalankan
oleh umat beragama.
Faktor yang kedua yang dapat dijadikan argumentasi untuk
mengelompokan ‘Abduh dan Rid}a> ke dalam kelompok neo-sufisme
adalah penekannnya terhadap syari’at (eksoteris)
dalam tasawuf
atau biasa disebut Tasawuf ‘Amali atau Tasawuf Akhlaqi. Tokoh neosufisme yang menulis karya tulis yang kontennya berisi rekonsiliasi
antara syari’at dan tasawuf diantaranya adalah Ibnu Taymiyah (w. 728
H). Ia menulis karya dengan judul Fiqh al-Tasawuf. Nurcholish Madjid
mengutip apa yang dilukiskan Ibnu Taymiyah (w. 728 H) terkait
hubungan
antara
syari’ah
dan
tasawuf
(tarekat)
yang
saling
bertentangan antara orientasi eksoteris dengan orientasi esoteris
serupa dengan pertentangan antara Yahudi dengan Kristen.
Ia
14
beralasan atas dasar firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat
113. Selain itu juga, Azra mencontohkan Ahmad al-Qus}asi} yang
berinisiasi ke dalam Tarekat Syatariyah, yang sering dikaitkan
sebagai cabang tasawuf India yang cenderung melanggar aturan–
aturan syari’at – setidak-tidaknya dalam pertumbuhan awal tarikat ini.
Ahmad Qus}as}i berhasil mereorientasikan Tarekat Syatariyah yang
menekankan pentingnya dokrin - doktrin hukum Islam dalam jalan
mistis. Menurut pendapatnya, baik aspek eksoteris (syari’at ) maupun
aspek esoteris (mistis-halaqoh) dalam Islam harus selaras dan tidak
bertentangan satu sama lainnnya.
Selanjutnya bertolak kepada Ahmad al-Qus}as}i dengan neosufismenya maka timbullah pertanyaan, apakah ‘Abduh dan Rid}a>
juga menekankan pentingnya syari’at dalam ide-ide pembaharuannya
dan
pemikiran tafsirnya. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu
adanya pelacakan berbagai literatur baik karyanya langsung ataupun
penelitian para cendikiawan terhadap keduanya.
Dalam pelacakan terhadap penekanan syari’at diantaranya
adalah
berdasarkan
kesimpulan
al-Dhahabi>.
Dikatakan
bahwa
metode penafsiran ‘Abduh dan Rid}a> berdasarkan kepada hukum
syari’at. Urgensi syari’at dalam membumikan al-Qur’an harus selalu
dijadikan pondasi utama dan mengontrol
praktek syari’at ini agar
bisa diamalkan oleh masyarakat. Bahkan al-Dhahabi> menambahkan
bahwa S}a>hib al-Mana>r (Rid}a>) selalu berada dalam keadaan
independen (hurriyah) dalam beristinbat hukum,
lepas dari taklid
buta. Sebagai contoh pendapat fiqihnya yang bersebrangan dengan
mayoritas ahli fiqih adalah ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat
180. Ia berpandangan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) oleh
ayat mawa>rith atau hadits Nabi yang mengatakan tidak ada wasiat
untuk ahli waris. Sebagaimana disampaikan oleh jumhur termasuk di
dalamnya al-Sha>fi’i dalam al-Umm.
Khusus untuk ‘Abduh, sebagaimana diteliti oleh Sah}h{a>tah,
ia mencurahkan perhatian terhadap masalah cabang (furu’iyyah)
dalam
fiqih.
‘Abduh
menaruh
minat
dalam
pembahasan
fiqih
15
terutama tentang ayat-ayat ahkam, bahkan menurut Sah}h}atah,
pembahasan ‘Abduh lebih luas dan teratur dibandingkan Ibnu Kathi>r
(w. 774 H). Sebagai contoh ketika ‘Abduh menafsirkan surat al-Nisa>
ayat
43 dengan membaginya menjadi sepuluh pembahasan yang
luas. ‘Abduh juga sangat memperhatikan perihal ibadat dan Us}ul
Fiqh. Di dalam semua pembahasannya ‘Abduh memiliki perbedaan
dibandingkan
dengan
mufasir
lainnya.
Terdapat
nilai-nilai
pembaharuan dan jauh dari taklid, melakukan tarjih terhadap
beragam hukum yang berbeda dan memilihnya mana yang paling
sesuai dengan maslahat dan jauh dari kelicikan dan fanatisme.
Di
dalam pembahasanya ‘Abduh mengunakan metode tanya jawab
(diletakan dalam bab mara>sila>t). Di dalamnya dijelaskan tentang
pertanyaan-pertanyan yang datang dari berbagai pihak sekaligus
dilengkapi dengan jawabannya.‘Abduh banyak membahas rahasiarahasia ibadah, hikmah dan faidahnya. Biasanya dalam hal ini, ‘Abduh
merujuk kepada al-Ghaza>li> (w. 505 H). Keluasan ‘Abduh dalam
bidang ini, menurut Sah}ha}tah dibuktikan ketika pembahasan ayat
tentang
puasa
dalam
surat
al-Baqarah
ayat
183
dengan
menghabiskan sebanyak 50 halaman. Hal yang jarang terjadi kepada
para mufasir lain. Keterkaitan antara ‘Abduh dengan syariat sebagai
salah sartu karakteristik neo-sufisme selaras denga rujukannya
sendiri yaitu Ibnu Taymiyah (w. 728 H) dan al-Ghaza>li (w. 505 H)
yang notabene, menurut Fazlurrahman, sebagai neo-sufisme.
Demikian fokus Rid}a> dalam mendalami salah satu pokok
ilmu syari’at (Fiqih). Daya nalarnya digunakan secara optimal dalam
rangka menarik suatu kesimpulan hukum yang lebih mendekati dan
mudah untuk dipakai dalam konteksnya. Keberanian beliau dalam
melawan arus merupakan suatu ijtihad yang layak untuk diapresiasi
dan bisa saja pendapatnya ini langsung hilang ditelan masa
bahkan
dipakai
tergantung
masyarakat
kebutuhan
umat.
sepanjang
Karakter
masa
kedua
dengan
yang
atau
kadar
dijadikan
16
pertimbangan untuk mengkategorikan ‘Abduh dan muridnya ini
sebagai neo-sufisme layak untuk diperbincangkan.
Rid}a> sendiri ketika menafsirkan suarat
al-Fa>tih}ah
menyatakan bahwa salah satu isu-isu yang difokuskan dalam majalah
a’-‘urwah al-Wuthqa salah satunya adalah memleihara syariah agar
berada dala jalur adil. Dibawah ini terjemah dari naskah yang
bersangkutan :
“Isu yang paling urgen yang difokuskan oleh metode majalah
al-‘urwah al-Wuthqa ada tiga hal : Pertama ; menjelaskan
sunnatullah yang berkaitan dengan makhluk dan hukum
kemasyarakatan, faktor-faktor yang menaikkan derajat umat
dan menjatuhkannya, memperkuat dan melemahkannya. Kedua
; menjelaskan bahwa agama adalah agama para pemuka dan
raja, mengabungkan antara kebahagiaan dunia dan akhirat,
menuntut
bahwa
Islam
adalah
agama
ruhani
dan
kemasyarakatan, madani dan aristokrat, dan sesungguhnya
kekuatan perang itu hanya ditujukan untuk memelihara syari’at
yang adil , hidayah yang umum, keagungan agama, bukan
untuk
memaksa
masuk
satu
agama
dengan
kekarasan.
Ketiga ;Sesungguhnya umat Islam tidak mempunyai wadah
kecuali hanya Islam, mereka tidak boleh dipecahkan oleh
keturunan, bahasa dan kewarganegaraan.”
Rida> mengakui bahwa ketiga pernyataan di atas merupakan ide dan
gagasan al-Afgha>ni dan ‘Abduh. Keduanya mendirikan majalah ini di
Paris tahun 1301 H setelah Inggris masuk ke Mesir tahun 1299 H.
Dalam konteks pemikiran Ushul Fiqih, ‘Abduh dan Rid}a>
dianggap telah menghidupkan epistimologi dan hermeneutika Ushul
Fiqih kontemporer. Perannya ini memperkuat pondasi utama dari
syari’ah itu sendiri.
Dalam konteks
kelembagaan,
Ahmad
Badri
Abdullah
memasukkan keduanya ke dalam salah satu tipologi pemikiran Islam
dan fiqih kontemporer, yaitu Reformis Salafis. Menurut penelitianya,
tipe ini merupakan trend pemikiran yang menyelidiki tujuan dan
17
makna yang terkandung dari manuskrip wahyu ilahi. Mereka meyakini
bahwa ijtihad masih dibutuhkan untuk menjawab tantangan dunia
modern.
Penulisnya
menyebutkan
kata
trend
memberikan
pemahaman bahwa tipe ini memberikan pengaruh yang luas dan
diminati umat Islam modern.
Sebagai sufi yang menekankan semangat pembangunan
kemasyarakatan, sebagaimana yang ditulis Nurcholish Madjid, maka
kesufian keduanya sebagai bagian dari organisasi kemasyarakatan
memperkuat posisinya sebagai neo-sufisme.
c. ‘Abduh, Rid}a> dan Aktivisme
Azra mencatat bahwa tarekat sebelum abad XII cenderung
menekankan eskatisme dan anti keduniaan, tetapi sejak abad XVIII, ia
memberikan kerangka organisasi yang cukup sulit
bagi gerakan
sosial. Kini bukan hanya orang awam yang tersedot ke dalam
organisasi sufi, tetapi juga kelompok tentara, seniman. Semua
kelompok ini disatukan oleh jaringan afiliasi tarekat ke dalam
lingkungan dalam jumlah besar, dan sebagai konsekuensinya maka
tarekat menjadi dasar bagi adanya gerakan sosial –politik.
Apabila yang pertama dan kedua di atas
menyebutkan
kecenderungan dan karakteristik neo-sufisme yang berbasis teks.
Selanjutnya kecenderungan yang ketiga adalah adannya ajaran
aktivisme.
Sufi yang menekankan kecenderungan dalam ajaran ini
adalah al-Qus}as}i.
Dia tidak hanya menekankan akal, tetapi juga
aktivisme. Berulang kali ia mengingatkan kaum muslimin agar
meninggalkan kelalaian dan kebodohan mereka, mencari ilmu dan
memanfa’atkan waktu mereka untuk tujuan-tujuan yang baik. Dia
juga menggesa kaum muslimin agar sepenuhnya menjalankan tugastugas duniawi mereka untuk menopang kehidupan dengan jalan
mengajar, berdagang, atau bertani. Menurut pendapatnya, seorang
sufi
sejati
bukanlah
orang
yang
mengasingkan
dirinya
dari
masyarakat, melainkan orang yang mengajarkan kebaikan dan
melarang kejahatan, dan mau mengulurkan tangan membantu
18
mereka yang tertindas, yang sakit dan yang miskin. Lebih jauh lagi
seorang sufi sejati adalah orang yang dapat bekerja sama timbal balik
(ta’a>wun) dengan orang-orang muslim lainnya
demi kebaikan
masyarakat. Ini adalah beberapa contoh yang diberikannya tentang
perbuatan-perbuatan baik yang hendaknya dilakukan mereka yang
berkeinginan menjadi dasar didikan manusia sempurna (al-insan alka>mil) sebagaimana gambaran dalam tasawuf.
Dalam konteks Indonesia, aktivisme yang dimunculkan oleh
kaum sufi ini diwadahi oleh suatu organisasi tarekat. Tarekat, pada
masa awal berdirinya, merupakan kumpulan jaringan massa yang
cenderung menekankan eskatisme dan
perannya
mengalami
pergeseran
anti keduniaan. Namun,
menjadi
dasar
dari
kekuatan sosial politik, sejak dari gerakan Syafawi
berbagai
di Persia,
Mura>bitu>n dan Muwahidun di Afrika Utara, Naqshabandiyah di
India pada masa
pemerintahan Akbar, sampai kepada gerakan
Diponogoro dan pemberontakan petani, Banten.
Berangkat ke luar negri, gerakan tasawuf yang sukses dalam
mengadakan pergerakan (movemennt) masyarakat muslim melalui
pendidikan adalah Sa’id Nursi dan Sulayman Hilmi Tunahan. Mereka
berdua berusaha menjaga pengetahuan agama dan menterjemahkan
hukum-hukum tradisional kepada komunitas luas.
Tidak ada keluhan apapun terhadap kaum
sufi
yang
memalingkan muka dari dunia dan mengabaikan umat manusia yang
menderita kecuali,
tentu saja,
periode pelatihan yang keras dan
berat, selama beberapa tahun pertama bahkan selama orang-orang
yang paling cinta dunia berkhalwat selama periode pelajaran mereka.
Kaum sufi tidak pernah diketahui kurang
dalam aktivitas–aktivitas
sosial dan pembaharuan. Sebenarnya ketika mereka berada dalam
puncak spiritual, para sufi berkewajiban melayani umat dengan
semangat dakwah. Kaum sufilah yag selalu menjadi pemelihara hakhak asasi manusia yang paling sigap dan pemelihara keadilan,
kebajikan, dan kesetaraan semua manusia.
19
Aktivisme diyakini bisa menghapus pandangan negatif bahwa
tasawuf itu menjadi biang kemunduran muslim dalam aspek politik,
sosial maupun keberagamaan. Perlu ada revitalisasi dalam semua
aspek tersebut. Menurut para sufi yang aktif, jalan yang masuk akal
untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan
pemahaman lebih berimbang atas setiap aspek Islam, menekankan
seluruh ajarannya secara holistik, seperti dalam bidang hukum dan
mistis, intelektual dan praktikal, serta sosial dan individual. Mereka
berusaha
mengadakan
pembaruan-pembaruan,
purifikasi,
dan
aktivitas.
Muh}ammad ‘Abduh diakui sebagai pembaharu pada milenuim
baru. Nilai aktivisme tidak mungkin diragukan lagi telah tertanam
dalam jiwanya. Raganya didedikasikan sepenuhnya untuk perjuangan
sosial dan agama. Kemajuan adalah harga mutlak bagi ‘Abduh.
Keaktifannya dimulai dengan mengadakan perubahan di internal
kampus al-Azha>r. Sungguhpun usahanya untuk merubah al-Azha>r
serupa dengan universitas–universitas di Eropa gagal, ia berhasil
memasukan beberapa mata pelajaran umum seperti matematika, aljabar, ilmu ukur dan ilmu bumi ke dalam kurikulum al-Azha>r.
Administrasi diperbaiki, metode pengajarannya dirumuskan dan ia
terlibat aktif langsung dalam mengajar.
Bidang
pendidikan
menjadi
kendaraan
utama
yang
digunakannya bersama al-Afgha>ni untuk menciptakan kesatuan dan
reformasi masyarakat Islam. Kerjasama antara guru dan murid yang
berbeda
karakter
tersebut
misalkan
ketika
keduanya
di
Paris
membentuk tim penyusun majalah al-‘Urwah al-Wuthqa.
Pada umumnya perjuangan ‘Abduh di dalam tiga objek.
Pertama, reformasi agama melalui kebebasan pemikiran dari bahaya
taklid buta. Kedua, reformasi bahasa yang bertujuan meningkatkan
kelemahan dan peradaban yang relevan dengan konteksnya. Ketiga,
reformasi politik yang sempat ia tinggalkan karena banyaknya
20
ancaman yang ia hadapi, terutama dari kaum imprealis dan aturanaturan tirani.
Pasca wafatnya Abduh, cita-citanya ini kemudian dilanjutkan
oleh Rid}a sejak tahun 1315 H tepatnya bulan Rajab. Reformasi Islam
ternyata menjadi agenda keduanya. Rid}a> meneruskan eksperimen
dan ide-ide ‘Abduh ini setelah menyelesaikan studinya di T{ara>bulus
dengan
mengambil
syahadahnya.
Ia
pindah
ke
Mesir
untuk
selanjutnya mendirikan majalah al-Mana>r yang tujuannya memang
sebagai media dakwah menuju reformasi.
Aktivisme yang dimiliki oleh neo-sufisme dijadikan sebagai
tenaga dan modal utama untuk mengawali
sehingga terwujudnya
reformasi. Agenda reformasi tidak akan berjalan tanpa adanya
semangat
aktivisme.
Bahkan aktivisme
ini
juga
membutuhkan
akslerasi agar pencapaian reformasi bisa ditempuh dalam waktu yang
singkat. Bagi Rid}a> reformasi adalah keniscayaan, ia mengatakan :
“Zaman ini tidak akan sepi dari kelompok yang menyerukan
reformasi walaupun mereka minoritas. Namun jumlah meeka
akan selalubertambah seiring berjalannya waktu. Tulisan-tulisan
mereka akan menunjukkan mereka arah jalan yang akan
mereka tempuh. Perkataan yang benar (hak), walaupun yang
setuju dan mengetahui keadannya hanya sehgelintir orang,
patut untuk dipelihara dan dikembangkan melalui tempattempat yang sesuai baginya. Hal demikian adalah seleksi alam.
Contohnya, saya selalu memelihara manuskrip majalah ‘alUrwah al-Wuthqa’, walaupun sudah rusak tetapi di dalamnya
terdapat ucapan, perumpamaan yang indah dan faidah yang
besar. Saya menyimpannya di t}uru>s (lembaran) dan di
sanubari ini.
Spesifikasi pendidikan yang digencarkann oleh ‘Abduh dalam
rangka mempercepat pergerakan reformasi Islam diantaranya fokus
dalam kajian teologi dan filsafat. Dalam rangka melawan ikatan taklid,
tentu saja manfaat dari kedua ilmu tersebut akan memberikan
21
pencerahan
pemikiran.
Usaha
ini
selanjutnya, dilanjutkan
oleh
Khalafallah dan al-Khulli.
Aktivitasnya bertambah dan meluas, keilmuannya dibutuhkan
masyarakat lebih luas, maka tahun 1899 ia diangkat menjadi mufti
Mesir. Suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan
hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Dalam tahun itu juga, ia diangkat
menjadi anggota Majlis Syura, dewan legislatif Mesir, padahal waktu
itu usianya masih muda.
Mengingat ambiugitas yang tersirat dalam Utsmaniyah Arab
dan aktualitas kekuasaan Inggris di Mesir. Dia berpendapat bahwa
aktivisme politik seharusnya disertai dengan penyegaran pemikiran
kaum muslim. Pengaruh Barat sudah merasuk sejak Napoleon masuk
ke kawasan Timur Arab, tetapi sebagian dalam bentuk-bentuk praktis
persenjataan, perdagangan, bisnis perjalanan dan keuangan. Respon
terhadap modernitas, menurutnya, harus dilakukan sesuai dengan
cara Islam memahami dirinya. Studinya dalam tafsir al-Qur’an dan
Fiqih dalam pola skolastik tradisional, menyadarkan akan dia perlunya
sikap kritis terhadap tradisi tersebut.
Aktivisme yang menempel pada kedua tokoh pembaharu ini
memberikan pelajaran kepada umat
dinamis.
Islam
selalu
bisa
Islam itu agar senantiasa
merespon
dengan
baik
semua
perkembangan zaman. Perlu digaris bawahi secara tebal terkait
dengan komitmen ‘Abduh terhadap Islam sebagai refleksi dari
aktivisme yang dianutnya. Ditulis dalam tinta sejarah bahwa ‘Abduh
pernah mengeluarkan
semacam
ikrar
atau
sumpah perjuangan
yang terdiri dari lima poin. Kelima poin itu dapat disimpulkan pertama
adalah prioritas terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah; kedua, komitmen
untuk
istiqomah
berdakwah;
ketiga,
menghidupkan
ukhuwah
Islamiyah; keempat, menghindari perbuatan yang merugikan Islam;
dan kelima, berupaya untuk meningkatkan kekuatan Islam.
Melihat semua aktivitas ‘Abduh secara kuantitas sangat padat
dan beragam, juga secara kualitas sangat besar manfaatnya untuk
ranah sosial dan agama maka layaklah ia dikategorikan seorang sufi
22
modern atau neo-sufisme. Apabila kesimpulan untuk ‘Abduh adalah
sebagaimana demikian maka Rashid Rid}a> tidak akan jauh seperti
demikian,
karena
hubungan
mereka
sebagai
guru
dan
murid
menuntut keduanya untuk selalu bersama. Rid}a> adalah kolega
sekaligus murid yang melanjutkan perjuangan ‘Abduh, pemikiran dan
ide-idenya. Tokoh kharismatik ini, selalu dipantau perkembangannya
oleh ‘Abduh. Rid}a> berhasil menyebarkan pemikiran ‘Abduh sampai
keluar Mesir melalui jurnal yang terakhir terbit pada tahun wafatnya,
1935.
Ketika menafsirkan surat al-Tawbah ayat 103, di dalam Tafsi>r
al-Mana>r, Rid}a> menyatakan perlunya ada pergerakan dalam
bidang ekonomi. Walaupun Islama itu merupakan agama, namaun,
justru maknanya lebih dari itu. Lebih jauh kutipan dari pembahasan
aktivisme agama sebagai berikut :
“Bahkan sejak beberapa tahun telah tersebar sebuah kitab yang
berbahasa Arab yang dicetak di Quds. Kitab ini berjudul alH{araka>t al-Fikriyyah fi al-Isla>m (Gerakan Pemikran Islam).
Penulisnya mengklaim ia mengikuti sebagaian sejarawan dari
Perancis yang mengatakan bahwa Islam bukanlah pemikiran
agama semata, tetapi sebaliknya juga meliputi persoalan
perekonomian dan kemasyarakatan, bahkan bisa saja yang
terakhir ini adalah tujuan utama yang dituju, dalam hal ini
agama hanya menjadi perantara saja. Dikutip dari Kaeta>ni>,
seorang sejarawan Itali, Islam adalah sebagai agama secara
dzahirnya
saja,
adapun
subtansinya
adalah
politik
dan
perekonomian. Ia berkata, ‘Salah satu dari kehebatan pendiri
agama
Islam
ini
dan
nampak
kecerdasannya
ia
telah
mengetahui poros gerakan perekonomian dan kemasyarakatan
yang terjadi di keseharian kota Mekkah sebagai bukota H{ija>z.
Ia telah mengetahui bagaimana carannya mengambil manfaat
dari kondisi tersebut untuk menghasilkan tujuan agama dan
masyarakat yang tinggi...”.
23
Lebih jauh lagi Rid}a> mencontohkan bahwa dulu ada seorang Sufi
yang selalu aktif di pasar seolah-olah ia adalah orang yang menolak
tawakal. Redaksi teksnya sebagai berikut :
“Abu> H{afs ‘Umar ibn Muslim al-H{adda>d, gurunya Junayd,
berkata tentang tasawuf : ‘Aku telah menyembunyikan sikap
tawakkal saya selama dua puluh tahun, ketika itu saya tidak
pernah jauh dari pasar. Saya selalu giat bekerja untuk mencari
dinar dan saya tidak pernah bermalam dalam keadaan, tidak
pernah istirahat kecuali hanya untuk ke kamar mandi. AlGhaza>li>
(w.
505
H)
berkata
:’Keluar
dari
sunnatullah
bukanlah syarat dari tawakal. Saya menghapal ungkapan ini
dari al-Ghaza>li> atau mungkin dari yang lainnya dengan
redaksi
‘Tawakkal
itu
bukanlah
keluar
dari
sunnatullah’.
Nampaknya redaksiyang kedua ini lebih tepat.
Rid}a> mengemukakan dua contoh sikap yang berada dalam dua sisi
yang kontradiktif. Di satu sisi seorang sufi itu harus mampu
mengkondisikan diri dengan lingkungan yang aktivitasnya cepat. Di
sisi lainnya juga seorang sufi tentu saja harus lebih condong kepada
tawakal kepada Allah. Namun ia mencoba mencari benang merah di
antara keduanya dengan adanya tawakkal yang berada dalam koridor
sunnatullah. Artinya aktivisme yang diusung Rid}a> dalam tasawuf
bersifat moderat tidak radikal.
Dengan jelas, walaupun kutipan di atas sebagai pandangan
Barat tentang Islam, namun Rid}a> tidak malu untuk membenarkan
bahkan langsung menganjurkan agar umat Islam memahami Islam
secara utuh. Islam yang mengintegrasikan aspek dunia dan akhirat.
Aktivisme dalam bidang ekonomi dan sosial masyarakat merupakan
Islam itu sendiri.
d. ‘Abduh, Rid}a> dan Organisasi Tarekat
Di antara kecenderungan neo-sufisme yang tiga di atas,
mungkin yang ke empat ini yang sulit dibuktikan, baik asumsi ini
berlaku untuk ‘Abduh maupun untuk Rid}a>. Walaupun apabila kita
24
baca ulang di setiap buku yang membahas perjalanan spritual
‘Abduh, disebutkan ia bertemu dengan Shaykh
Darwisy Khadr.
‘Abduh juga sempat mengamalkan tarekat al-Sha>dhiliyah dan
mengamalkan ritual dhikr
dan ta’wi>d. Namun
tidak ditemukan
adanya bukti usaha ‘Abduh dan Rid}a> berupa syi’ar untuk
mengembangkan
muslimin.
tarekat ini
agar diikuti secara masal oleh kaum
Hal ini mungkin terjadi karena ‘Abduh lebih cenderung
kepada pemikiran dari pada ritualitas yang memang dalam masa
‘Abduh
sudah
penyimpangan
ternodai
dengan
berupa tahayul,
adanya
penyimpangan–
bid’ah dan khurafat.
Eksplorasi
terhadap akal lebih dibutuhkan ketika masanya dari pada terbuai
dengan ritual yang sebenarnya bisa dilakukan secara privasi. Ini
hanyalah asumsi penulis berdasarkan pertimbangan data yang ada.
Pandangan lain adalah adanya saksi
sejarah yang
memperkuat kesufian ‘Abduh.
Dia adalah al-Qa>simi> seorang
ulama sekaligus sufi pada tahun 1903. Ia selalu berkunjung ke Mesir
untuk berkorespondensi dengan ‘Abduh dan Rid}a>. Bahkan selama
empat minggu al-Qa>simi pernah sering bertemu dan mengikuti
kuliah yang disampaikan ‘Abduh. Ini menjadi bukti kuat bahwa
seorang sufi biasa ditemani oleh sufi juga.
Di dalam Tafsi>r al-Mana>r ketika menafsirkan surat An (3) ayat 21 disebutkan bahwa tarekat adalah sebuah metode
yang dimiliki oleh para h}ukama>’ dalam berdakwah kepada umat
menuju al-Haq. Walaupun di dalam penafsirannya ini makna al-Haq
itu luas dan ambigu, namun al-Haq yang hakiki adalah Allah. Penulis
lebih condong menangkap arah penafsirannya demikian.
Rid}a> mengenalkan apa yang disebutnya sebagai tarekat alQur’an dan Sunnah. Term ini ia kemukakan ketika menjelaskan makna
al-tazkiyah dalam surat An (3) ayat 164. Menurut ‘Abduh
al-tazkiyah adalah metode tarekat untuk mensucikan jiwa mereka dari
keyakinan-keyakinan yang sesat, dari keraguan yang timbul karena
pengaruh paganisme (al-wathaniyyah) dan kotoran. Padahal akidah
itu merupakan pondasi dari suatu kerajaan.
25
Ayat ini menjelaskan tentang sosok Nabi yaang mempunyai 3
tugas. Pertama ; sebagai seorang mu’allim dan murabbi> bagi umat
Islam dalam melakukan tazkiyah dan tarbiyyah al-nufu>s. Kedua;
mengajarkan al-Qur’an. Nabi mengerti bahwa kebutuhan umat Islam
pada masanya adalah terwujudnya tradisi tulis-menulis, terutama
penulisan
al-Qur’an.
Nabi
juga
mengajarkan
bagaimana
ia
berdiplomasi dengan berbagai raja dan penguasa dan mengajak
mereka untuk masuk Islam. Ketiga; mengajarkan hikmah. Kata alH{ikmah dalam ayat ini adalah rahasia –rahasia dari segala sesuatu,
memahami hukum, menjelaskan maslahat
hukum,
mengajak
untuk
dari berlakunya suatu
mengamalkannya.
Pemahaman
yang
dimaksud di sini adalah pemahaman hukum fiqih yang berbasis
praktek atau bahkan sebaliknya pengamalan yang bisa sekaligus
meningkatkan pemahaman terhadap wacana fiqih dan metodologi
istidlal, dan juga mengtahui hakikat dari penjelasan-penjelasannya.
Jika ditelisik ketiga term ini akan menghimpun tiga aspek
agama yaitu tazkiyah mewakili aspek akidah, al-kita>b mewakili
aspek syari’ah dan al-h{ikmah mewakili aspek tarekat dan hakikat.
Inilah
mungkin
salah
satu tipologi
sederhana
tentang
tarekat
muhammdiyyah.
Ketika menafsirkan surat al-Nisa>’ (4) ayat 32, ‘Abduh
menjelaskan makna tarekat sebagai alat untuk membersihkan salah
satu penyakit hati, yaitu al-tamanna. al-Tamanna menurut Abduh
terkadang bermakana al-h}asad (dengki). Sifat ini dilarang oleh
agama, sebagai mana tersurat dalam ayat. i Kata al-tamanna dalam
surat ini mengarah kepada keinginan untuk memakan milik orang
lain, sedangkan makan itu menjadi penyebab kepada peperangan.
Orang yang memberi ternak makanan di wilayah perbatasan dengan
tanah orang lain akan jatuh ke dalam wilayah shak (kerag
MUH{AMMAD RASHI
r al-Mana>r even figured adabi ijtima'i, but it does not mean
not discussing aspects of Sufism in it. Even with critical analysis
and argumentative, both able to control the line of Sufism back
to the Quran and al-Sunnah. Efforts to revitalize them and make
it worthy of conceptual modern mysticism as the neo-Sufi
century this millennium.
Keywords: neo-sufism, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid,
Azymardi Azra, characteristic.
A. PENDAHULUAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
‘Abduh
dan
Rashi>d Rida>, apakah keduanya termasuk ke dalam kategori aliran
tasawuf
neo-sufisme.
Neo-sufisme
yang
diterjemahkan
oleh
Nurcholish Madjid dengan “sufisme baru” menekankan perlunya
perlibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada “sufisme
lama”.
Adanya
keterangan
ditingkatkan
secara
lebih
kuat
1
menunjukkan bahwa bukan berarti sufisme lama tidak terjun ke
masyarakat sama sekali. Namun mengingat kondisi masyarakat yang
membutuhkan langsung sentuhan para sufi,
maka kadar peranan
mereka ditingkatkan.
Sebagai contoh bagaimana pandangan
zuhud terdapat
dan
neo-sufieme tentang
terangkum dalam buku al-Ru>ha>niyyat al-
Ijtima>’iyyah (spiritualisme sosial). Terbitan al-Markaz al-Isla>mi
(Islamic Center), Jenewa (Swiss) pimpinan Dr. Sa’i>d Ramad}a>n.
Buku ini pegangan bagi para pejuang dakwah Islam. Buku ini
memberi petunjuk yang cukup jelas tentang apa yang menjadi
pertanda jalan (ma’a>lim al-T}ari>q) spiritualisme sosial, yang secara
amat ringkas isinya adalah : (1) Membaca dan merenungkan makna
kitab suci al-Qur’an; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran
Nabi Saw melalui sunnah dan sirah; (3) Memelihara hubungan dengan
orang-orang saleh seperti para ulama dan tokoh Islam yang zuhud;
(4) menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari
tentang hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al-Qur’an dan alSunnah, dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadat - ibadat
wajib dan sunah, separo sembahyang lima waktu dan tahajud.
Nurcholish Madjid menambahkan bahwa neo-sufisme mengecam
sikap
hidup
spiritualisme
pasif
dan
isolatif
(i’tizaliyah),
dan
menekankan nilai-nilai keseimbangan (mi>za>n atau tawa>zun)
yang sesuai dengan prinsip - prinsip al-Qur’an dalam surat alRahma>n ayat 7 - 8.
Karakteristik ini akan dilacak dalam sosok
‘Abduh dan Rida>, apakah mereka berdua memiliki kecenderungan
demikian
juga.
dikemukakan
Selain
itu
juga
beberapa
karakteristik
yang
Azra lebih sistimatis untuk dijadikan pisau analisa
utama.
Apabila kita lacak ulang menelusuri biograpi ‘Abduh, maka kita
akan
menemukan
bahwa
kemungkinan
kecenderungan ‘Abduh dari tasawuf
al-Afghani
mengalihkan
dalam arti sempit dan dalam
bentuk tata cara berpakaian dan dzikir
kepada tasawuf dalam arti
2
yang lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan
membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran –ajaran Islam
sangat selaras dengan buku al-Ru>ha>niyat al-Ijtima’iayat.
Hal ini
semakin memperkuat bahwa melalui pisau analisa teori Nurcholish
Madjid, ‘Abduh dan Rida> bisa dikategorikan sebagai kelompok neosufisme pada abad ke-20.
Adanya ide dari penulis untuk mengajukan Muh}ammad
‘Abduh dan Muh}ammad Rashi>d Rid}a>
sebagai neo-sufi pernah
juga dilakukan oleh Azra. Namun ia mengajukan Sayyid Hussein
dalam
hal
ini.
Penelitian
ini
memperkuat
penelitian
kedua
cendekiawan di atas secara metodologi, walaupun objeknya berbeda.
Menurut Azra, Nasr adalah seorang neo-sufi yang menekankan
aktivisme;
tasawuf
mengundurkan
melakukan
yang
diri
inner
dari
tidak
mengakibatkan
kehidupan
detachment
dunia,
pengamalnya
tetapi
(pengembangan
sebaliknya
dengan
cara
modifikasi diri) untuk mencapai spiritual yang lebih maksimal. Secara
singkat, Nasr menawarkan sufisme sebagai solusi manusia modern.
Juga pernah dilakukan oleh Elizabeth Sirriyeh, yang memasukan
Abu A’la al-Mawdudi dan ‘Ali Shari’ati sebagai neo-sufieme yang
beraliran revivalis radikal.
Apa yang dilakukan oleh Nasr, Abduh dan Rashi>d bisa dikatakan
sebagai strategi agar
agama –terutama yang ekstrem- bisa diikuti
dengan mudah dan tidak tabu untuk memperbincangkannya. Karena
menurut Tariq Ramadhan kondisi demikian masih terjadi.
B. RUMUSAN MASALAH
Adanya kekosongan figur neo-sufisme pasca abad ke-6 H, yaitu
Ibn Taymiyyah
(w. 728 H) dan
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang
dikategorikan oleh keduanya sebagai tokoh tasawuf baru ini, maka
penelitian ini mencoba menawarkan ‘Abduh dan Rid}a> sebagai
tokoh neo-sufisme pada abad ke-19 dan ke-20.
C. KERANGKA TEORITIS
3
Penelitian ini akan menjadikan teori Fazlur Rahman tentang
neo-sufisme yang dikembangkan oleh Azra dalam Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Nusantara Abad XII dan XIII sebagai pisau analisa.
Melalui teori ini penulis berusaha mengusulkan Muh}ammad ‘Abduh
dan Rashi>d Rid}a> sebagai tokoh neo-sufisme.
D. PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini
penulis akan meminjam pisau analisa
utama - selain dari Nurcholis Madjid di atas- dari teori Fazlur Rahman
yang dikembangkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII dan XVIII M. Penulis
akan melacak semua karakteristik dan kecenderungan neo-sufisme
yang ditulis oleh Azra di dalam bukunya. Kemudian juga akan
ditelusuri
tulisan-tulisan guru dan murid tersebut terutama dalam
Tafsi>r al-Mana>r.
Apabila semua karakteristik tersebut bisa
ditemukan kemudian dikomparasikan dengan para tokoh neo-sufisme
sebelumnya, tentu saja
selanjutnya, penulis tidak ragu lagi untuk
mengkategorikan bahwa keduanya memang layak sebagai kelompok
neo-sufisme.
Azra menyampaikan pembahasan ini dalam bukunya pada
BAB III sebagai mata rantai selanjutnya dari pembahasan wacana
pembaruan dalam jaringan ulama. Dengan adanya neo-sufieme,
menurut Azra, berimplikasi semakin meluasnya penyebaran Islam.
Fazlur
Rahman
menyimpulkan
bahwa
karakteristik
neo-sufisme
puritan dan aktivis. Nampaknya pandangan Rahman ini baru sebatas
dari
sudut
gerakan
sosialnya
saja.
Kemudian
Azra
menyempurnakannya dan menghasilkan kesimpulan bahwa ada lima
karaktersistik dan kecenderungan neo-sufisme, yaitu tela’ah hadits,
syari’at, aktivisme, organisasi tarekat dan kesinambungan serta
perubahan. Karakteristik yang disampaikan Azra lebih luas dan tidak
hanya berlaku untuk menguji kesufian
‘Abduh dan Rid}a> saja.
4
Apabila dilakukan penelitian yang sama dengan objek tokoh Islam
yang berbeda maka akan menghasilkan kesimpulan yang baru.
Berikut ini akan dilacak semua karaktersitik tersebut
berdasarkan sistimatika penelitian yang ditulis oleh Azra :
a. ‘Abduh, Rid}a> dan Tela’ah Hadits
Sebelum menginjak lebih jauh dalam penelitian,
perlu
diketahui bahwa untuk mengetahui apakah ‘Abduh dan Rida> bisa
dimasukkan ke dalam kelompok neo-sufisme, setidak-tidaknya bisa
dilihat dari dua pembahasan. Pertama, bahwa berdasarkan biografi
keduanya, masing –masing pernah bertemu dengan seorang sufi yang
sekaligus jadi mursyidnya. Sehingga tak canggung lagi, penulis
memasukan keduanya sebagai neo-sufisme,
walaupun
masih ada
sebagian atau bahkan mayoritas sejarawan menolak pandangan
tersebut. Kedua, keterlibatan mereka dalam merevitalisasi fungsi
hadits dalam al-Qur’an memberikan pertimbangan bahwa mereka
paham dan bahkan menguasai hadits serta bagaimana seharusnya
hadits dipergunakan dan mengatur posisi perannya di tempat yang
tepat.
Untuk
yang
memperpanjangnya.
pertama
Karena
mungkin
apabila
penulis
kriteria
tela’ah
tidak
akan
hadits
ini
ditemukan dalam diri mereka, maka jelas mereka adalah golongan
neo-sufisme dengan sendirinya.
Fazlur Rahman berpendapat, kelompok terpenting dari para
ulama
muslim
yang
bertanggung
merealisaikan neo-sufisme adalah
jawab
dalam
membantu
“para ahli tradisi” (ahl hadits).
Kaum tradisional ini selain berusaha menjaga keotentikan hadits dari
para pemalsu hadits dan berubah pada masa kontemporer ini
menjaganya
dari
para
orientalis,
juga
berusaha
untuk
mempertahankan warisan para sufi. Mereka sadar bahwa tidak bisa
dipungkiri kaum sufi telah tampil dengan menawan dalam sejarah
Islam secara emosioanal, spiritual dan intelektual pada abad ke-6 H /
ke-12 M, dan ke-7 / ke- 13. Mereka berusaha untuk mendamaikan
ajaran sufi dengan ajaran Islam ortodok.
Para ahli hadits yang
5
umumya berdomisili di Haramayn adalah yang paling berperan
penting dalam rekonsiliasi dua madzhab ini. Mereka umumnya
bermadzhab Hanbali, menolak dan membuang ajaran-ajaran filosofi
rasional dan mistisisme spekulatif,
banyak
diantara mereka yang
melaksanakan tasawuf asalkan sesuai dengan
syari’at. Tidak ada
bukti bahwa para ulama Hanbali, seperti Ibn Taymiyyah (w. 728
H/1328)
dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H) menentang
segala jenis tasawuf.
Yang mereka kritik adalah tasawuf
yang
menyimpang. Bahkan menyatakan bahwa mereka berdua sebagai
perintis neo-sufisme.
Yang perlu digaris bawahi dari Fazlur Rahman adalah apakah
ahli hadits yang dimaksud adalah mereka
para pemegang sanad
hadits atau ahli hadits yang dinisbatkan kepada pengikut madzhab
Hanbali yang berdomisili umumnya di Haramayn. Penulis berasumsi
bahwa yang dimaksud ahli ahdits oleh Rahman adalah kelompok yang
kedua.
Mereka
cenderung
untuk
menafsirkan
al-Qur’an
dan
mensyarah hadits secara tekstual. Jika demikian halnya, maka penulis
juga akan mengikutinya, bahwa kategorisasi ‘Abduh dan Rida>
sebagai neo-sufisme berdasarkan klasifikasi dan rekonstruksi teori
neo-sufisme Rahman. Dengan demikian tidak dipersyaratkan untuk
menjadi seorang neo-sufisme adanya otoritas dalam memegang
sanad hadits yang turun temurun sejak masa sahabat.
Sebagaimana ditulis di Bab I dalam latar belakang, bahwa
penggunaan hadits dalam Tafsi>r al-Mana>r cukup banyak. Bahkan
ketika menafsirkan surat Yu>nus ayat 62-64, penafsirannya sampai
menghabiskan 32 halaman. Termasuk di dalamnya
tela’ah hadits
yang begitu mendalam.
Menurut Quraish Shiha>b tela’ah hadits yang mendalam
digunakan oleh Rid}a> dalam menafsirkan ayat.
Tela’ah hadits ini
menjadikan perbedaan diantara karakteristik penafsiran Rid}a> dan
‘Abduh. Keluasan pembahasan dalam bidang hadits menunjukkan
keahliannya
dalam bidang ini, sekaligus menghindari apa yang
dikemukakannya menyangkut kekurangan ‘Abduh dalam bidang
6
riwayat, hafalan, dan al-jarh wa al-ta’dil (salah satu cabang dalam
kritik sanad hadits).
Salah satu kelebihannya dalam kajian hadits bisa digambarkan ketika
ia menafsirkan surat al-Ma>idah (5) ayat 6. Adapun redaksinya
sebagai berikut:
“Sesungguhnya engkau telah mengetahuinya bahwa hadits
yang diriwayatkan Anas itu tidak bisa dijadikan argumentasi
(la> yuh}tajj bih). Hadits yang sama dengan hadits Anas adalah
yang diriwayatkan oleh ‘At}a>’ dan berstatus mursal. Hadits ini
dijadikan hujjah oleh al-Shafi’i (w. 204 H) dalam kitab al-Umm.
Dalam hadits ini dikatakan bahwa mengusap kepala cukup
sebagian saja. Sedangkan imam H{anafi> (w. 150 H) bahkan
cukup seperempat dari bagian kepalanya saja.
Hadits yang
diriwayatkan ‘At}a>’ ini bersisi bahwa Nabi setiap hendak
berwudhu melepaskan sorban yang melilit di kepalanya, dan
mengusap bagian depan kepalanya, atau bagian tengahnya.
Pemakaian hadits ini dengan cara berpaling dari perbedaan
pendapat dalam kehujjahan hadits mursal. Hal ini ditentang
oleh jumhur ulama dan yang lainnya. Abu> H{ani>fah (w. 150
H), al-Sha>fi’i (w. 240 H) dan mayoritas ulama Muktazilah tidak
berhujjah dengan hadits mursal. Hadits ‘At}a>’ ini diriwayatkan
oleh Muslim bin Kha>lid seorang ahli fiqih dari Mekkah, ia
seorang thiqah menurut ‘At}a>’, Ibnu Ma’in memandang ia
thiqah,
namun
di
lain
kesempatan
ia
mendha’ifkannya,
sebagaimana juga didhaifkan oleh Abu> Da>wu>d. Al-Bukha>ri
berkata : “hadits ini munkar”. Dalam kasus ini menolak lebih
diunggulkan
daripada
menerimanya.
Hadits
ini
juga
menunjukkan tidak ada dalil kewajiban mengusap kepala
seperempatnya saja.
Paragraf diatas cukup jelas menggambarkan kemampuan Rid}a>
dalam kajian hadits yang menjadi salah satu karakteristik dari neosufisme.
7
Disamping itu Rid}a> lebih cenderung mengutamakan ahli hadits
dibandingkan dengan ulama lain yang mempunyai spesifikasi lain.
Pandangan ini semakin memperkuat posisi hadits dalam memperkuat
teori-teori tasawuf yang bergenre neo ini. Berikut pandangannya
tentang keutamaan ahli hadits :
“Ketahuilah, sesungguhnya kamu tidak akan meninggal sebagai
pewaris
para
Nabi,
kecuali
para
ahli
hadits
yang
meriwayatkannya secara bersambung sampai kepada Nabi,
sebagaimana
disampaikan
guru
kami
(‘Abduh),
mereka
memndapatkan (tugas) bagian risalah karena mereka sebagai
trasnsmiter wahyu, mereka mewarisi para Nabi dalam tabligh.
(Bahkan) para ahli fiqih yang tidak mampu mengetahui dalilnya
tidak
mempunyai
derajat
yang
tinggi,
mereka
hanya
dikumpulkan bersama dengan umat biasanya, tidak dengan
para Nabi. Gelar ulama tidak melekat kepada mereka kecuali
untuk para ahli hadits. Demikian juga para ahli ibadah, ahli
zuhud,
dan
yang
lainnya
dari
ahli
akhirat,
mereka
kedudukannya sama dengan ahli fiqih jika mereka tidak
merangkap sebagai ahli hadits. Mereka dikumpulkan bersama
dengan umat secara umum yang membedakan antara dengan
amal saleh tidak yang lainnya, demikian juga para ahli fiqih
mereka dibedakan hanya di dunia saja, tidak di tempat
lainnya.”
Di
dalam kutipan
di
atas
mengandung
dua
data
kuat
yang
memperkuat akar neo-sufisme. Tentu saja bagi Rid}a> yang menulis
tafsir ini, sekaligus juga bagi ‘Abduh, yang disebutkan bahwa
pernyataan ini berasal dari pandangan ’Abduh. Ini merupakan data
yang paling kuat yang diakui secara langsung oleh S}a>h}ib alMana>r.
Poin lain yang mendukung Rida> bisa dikategorikan sebagai
ahli hadits adalah penggunanan kata “keluasan” oleh Quraish Shihab
8
yang memberi makna bahwa penelitiannya terhadap tela’ah hadits
dalam Tafsir al-Mana>r cukup mendalam. Penulis bersumsi, walaupun
hanya diwakili oleh Rid}a>, bukan berarti menafikan
Tafsir al-
Mana>r
sebagai karya dari seorang sufi pembaharu atau neo-
sufisme.
Prosentasi penggunaan hadits oleh ‘Abduh yang minim,
tidak serta merta menunjukan bahwa ‘Abduh bukan tidak mampu
mendalami hadits, tetapi ia fokus ke dalam pemikiran. Sebagai contoh
pandangannya tentang
komentarnya
terhadap hadits Ahad
menunjukan bahwa ‘Abduh juga mampu mendalami hadits.
Usaha lain yang dilakukan oleh ahli tradisi
dalam
merekonstruksi neo-sufisme ini adalah mempercepat pembaruan
tasawuf pada skala lebih besar. Para ahli hadits ini umumnya
menfokuskan usahanya pada tela’ah hadits dalam mempertahankan,
mereorganisasi, dan menafsirkan al-Kutub al-Sittah dilihat dari sudut
pandang ahli hadits. Tetapi, pada saat yang sama, mereka semakin
memantapkan kontak-kontak dan hubungan dengan para ulama dari
tradisi– tradisi religio- intelektual yang lain. Dengan cara begini,
mereka bertemu dan berinteraksi dengan “tradisi-tradisi kecil” Islam
lain. Mereka juga mempunyai peranan dalam menghubungkan para
ulama yang hidup di berbagai wilayah Timur- Tengah melalui keahlian
hadits mereka.
Dalam konteks modern, penduduk India merupakan contoh
komunitas muslim yang berperan dalam memelihara hadits (tradition)
. Di antara mereka ada yang sampai berpangkat muh}addith, bahkan
komunitas mereka telah diakui sebagai ahlu al-hadi>th. Kontuinitas
mereka dalam memelihara sunnah Nabi berbuah dengan suburnya
praktek tasawuf.
Selanjutnya untuk melacak apakah seorang cendikiawan
termasuk dalam kelompok neo-sufisme di lihat dari konteks sikapnya
terhadap hadits
bisa dilakukan dengan mencari pandangan orang
cendikiawan tersebut terhadap realisasi hadits terhadap al-Qur’an.
Misalkan, Ibnu Taymiayah (w. 728 H) dalam kitabnya Muqaddimah fi>
Us}u>l al-Tafsi>r menyatakan sikapnya terhadap hadits wa>hid, ia
9
bisa
memetakan
periwayatan
ulama
hadits
mana
wahid,
yang
menerima
mengklasifikasikan
dan
hadist
menolak
dari
sisi
kuantitas rawinya, bisa mengatahui tingkat kelemahan dan kekuatan
segi
hadits,
mengetahui
hadits
mengetahui rija>l al-hadi>th
yang
ber’illat
(‘ilal
al-hadits),
beserta dengan kriterianya, bisa
mengetahui letak hadits tersebut di dalam variasi tafsir. Sumber lain
dikatakan Ibn Taymiyyah (w. 728 H) sudah berada dalam tingkat
keagungan (al-‘ud}mah), ungkapan yang independen (mutaharriy)
dalam kajian hadits. Seorang neo-sufisme seperti Ibn Taymiyyah (w.
728 H) mempunyai kapabilitas yang beragam dalam ilmu hadits dan
cabang-cabangnya.
Sekarang apakah kemapanan yang dimiliki oleh Ibnu Taymiyah
(w. 728 H)
dalam bidang hadits
juga dimiliki oleh ‘Abduh dan
Rid}a>. Kalau kita kembali ke atas, Rid}a> memang tidak diragukan
lagi dalam hal ini. Adapaun tingkat kedalamannya dalam kajian hadits
tentu saja perlu penelitianan lebih intens.
Namun
untuk ‘Abduh,
dalam hal ini yang bisa dikemukakan mungkin adalah ketegasannya
untuk menolak hadits - hadits batil dalam menafsirkan surat alAhza>b (33) ayat 37 sebagaimana
di kemukakan dalam Bab I.
Keduanya sama – sama ada upaya agar
penafsiran dengan
pendekatan hadits hanya menggunakan hadits yang berkualitas
maqbul (diterima). Terutama,
dalam tesis ini, ketika menafsirkan
ayat-ayat tasawuf. Karena semangatnya adalah mengembalikan
praktek tasawuf berada dalam jalur ortodoks.
Selain itu juga menurut al-Dhahabi>, terlepas dari pandangan
bahwa ‘Abduh lemah dalam ilmu Hadits, ia selalu menafsirkan setiap
ayat dalam al-Qur’an berdasarkan prinsip-prinsip teori - teori ilmu
hadits.
‘Abduh melakukan pendekatan hadis dengan tujuan agar
adanya kesamaan di antara makna - makna ayat yang terkadang
dirasakan
jauh
pengetahuan
menurut
yang
(postulate/aksioma)
pandangan
dikuasai
di
dalam
oleh
sikap
manusia,
mereka
dengan
sebagai
mereka,
atau
variasi
pijakan
dengan
10
pengetahuan yang berasaskan praktek. Singkatnya, ada kesesuaian
antara wahyu dengan sains.
Tujuan itu - walaupun terkadang
dilontarkan ‘Abduh ke belakang untuk beralih kepada tujuan yang
cerdas – keluar seperti contoh syarah dan penjelasan tentang budaya
Arab (ma’luf al-‘arab) dan segala hal yang ada di tengah - tengah
mereka ketika al-Qur’an turun. Namun contoh yang diberikan ‘Abduh
terhadap metode ini,
sebagaimana ditelusuri oleh al-Dhahabi> -
walaupun ia tidak menyebutkan haditsnya - tidak disertakan dengan
haditsnya. Namun sekilas bahwa penafsiran ‘Abduh, sebagai contoh
tela’ah haditsnya itu, dengan menggunakan hadits-hadits selalu
dirasionalisasikan
agar
sesuai
atau
memudahkan
pemahaman
manusia.
Pro dan kontra memang tidak akan terlepas dari pribadi setiap
orang. Jarang sekali orang yang mendapat pandangan positif dari
seluruh masyarakat. Terkadang pandangan negatif ini timbul justru
bukan karena ia telah berbuat nila-nilai negatif, tetapi –khusus di
kalangan cendikiawan -
bisa jadi karena terlalu progresif dalam
pemikirannya. Tidak sedikit cendikiawan yang pemikirannya melawan
mainstrem mayoritas sarjana yang dikafirkan, di katakan zindik, inkar
al-sunnah.
Sebagai
contoh
adalah
Muh}ammad
‘Abduh
yang
dituliskan dalam sejarah bahwa ia dalam beberapa persoalan
mengingkari hadits - hadits yang sahih. Ia menolak hadits sahih yang
mengatakan bahwa Nabi disihir oleh seorang Yahudi, Labid ibn
al-‘As}am,
apalagi
sampai
sihir
tersebut
mempengaruhi
Nabi.
Sehingga akibat dari peristiwa tersebut Nabi dikatakan sebagai orang
yang terkena sihir. Bahkan ‘Abduh beralasan bahwa Nabi tidak
mungkin terkena sihir, karena orang yang terkena sihir adalah orang
yang akalnya menjadi miring,
ia berhalusinasi sesuatu yang tidak
terjadi seolah-olah terjadi, dan ini tidak mungkin bagi seorang Nabi
yang selalu menerima wahyu. Penerimaan wahyu mengharuskan Nabi
selalu dalam keadaan terjaga akalnya. ‘Abduh tidak setuju dengan
golongan yang bertaklid buta, yang mengatakan bahwa hadits
11
tentang tersihirnya Nabi adalah sahih dan wajib diyakini. Bahkan jika
tidak mengakui kebenarannya merupakan bid’ah. Karena seolah-olah
pengingkaran tersebut secara tidak langsung mengingkari adanya
sihir dan prakteknya. Bahkan al-Qur’an bisa dijadijkan hujjah adanya
sihir.
Alasan lain adalah hadits yang diriwayatkan Bukhari (w. 256 H)
tersebut merupakan hadits Ahad. Padahal dalam diskursus
ilmu
mus}t}alah hadi>th, hadits Ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam
masalah akidah. Di sini terlihat dengan jelas bahwa, ‘Abduh
mengingkari hadits yang sahih karena bertentangan dengan logika.
Namun alasan ‘Abduh bisa diterima oleh akal.
Terutama tentang
kedudukan haditsnya. Ini juga yang menunjukan bahwa kualitas ilmu
hadits ‘Abduh tidak bisa dianggap remeh. Dan ini juga yan menjadi
pertimbangan penulisan untuk memasukkan ‘Abduh sebagai
neo-
sufisme.
Seperti dikatakan oleh Isma>’il S>a>lim yang berpandangan
bahwa Tafsi>r Ibnu Kathi>r
mempunyai cukup pengaruh dan
dijadikan salah satu referensi utama bagi Tafsi>r al-Mana>r. Ia
mengakui bahwa dalam tafsir al-Mana>r banyak dikutip riwayatriwayat terutama hadits-hadits yang berkualitas dapat diterima. Pada
umumnya metode yang diusung oleh al-Mana>r ini bersumber dari
metode al-T}aba>ri (w. 310 H) dan Ibn Kathi>r (w. 774). Namun
dalam penafsiran dengan riwayat ini, mayoritas lebih banyak merujuk
kepada Tafsi>r al-T{abari>.
Demikianlah deskripsi ‘Abduh dan Rid}a> dalam spesifikasi
hadits dalam kitab tafsirnya. Usaha mereka yang tegas untuk
mengembalikan al-Hadits sebagai prioritas dalam penafsiran juga
sekaligus
memberikan
identitas
bahwa
mereka
layak
untuk
dimasukan dalam kategori neo-sufisme.
Selain pandangan –pandangan dari sarjana muslim, sarjana
barat juga banyak yang berkomentar tentang kiprah ‘Abduh dalam
hubungannya dengan tela’ah hadits. Sangat sulit untuk mengatakan
bahwa ‘Abduh adalah golongan ahli hadits, atau sebaliknya ahli ra’y.
12
‘Abduh justru, menurut David L. Johnston, berhasil menyatukan
elemen-eleman
rasionalisme
(ajaran
–ajaran
tradisionalisme (ahlu al-hadits).
Bisa
dijadikan
pertimbangan
dikemukakan
oleh
Goldziher
yang
juga,
ahlu
al-ra’y)
pandangan
mengatakan
bahwa
dan
yang
Rid}a>
menentang semua perbuatan yang tidak berdasar rujukan pada
sunnah. Walaupun kasusnya hanya dalam hukum membaca tartil
surat al-Kahfi pada hari jum’at yang umumnya ditradisikan oleh para
sufi, karena kental dengan ritualnya.
Melacak ke belakang sejarah, penghargaan yang tinggi dari
Barat terhadap sarjana muslim, contohnya sebagaimana dikutip
dalam Tafsi>r al-Mana>r sendiri, seperti yang diberikan kepada Ibn
H}azm, sebagai pendiri madzhab Dzahiri yang diikuti oleh mayoritas
salafi modern. Pantas saja ia mendapatkan penghargaan itu, karena
ia berasal dari Andalusia sebagai bagian dari wilayah Barat. Dalam
karya-karyanya sarjana muslim dari barat ini mempunyai keuggulan
dalam retorika yang lebih jelas.
Namun tidak dapat dipungkiri Rid}a> pernah dituduh sebagai
kelompok
Ingkar sunnah modern. Alasannya hanya disebabkan
dukungannya terhadap pemikiran Taufiq Shidqi yang mengatakan
bahwa Islam itu adalah al-Qur’an itu sendiri, dan tidak memerlukan
al-Sunnah. Rid}a berpandangan bahwa hadits yang tidak mutawatir
tidak wajib menerimanya.
Namun belakangan ia mencabut semua pendapatnya tersebut
bahkan
akhirnya
dikenal
sebagai
pembela
sunah.
Al-Siba’i
menuturkan, ”Pada awalnya Sayyid Rashi>d Rid}a> terpengaruh
dengan pemikiran gurunya.
perbendaharaan
must}alah
hadits
hadits”.
Ia
dan
sama
sedikit
Walaupun
yang
dengan gurunya,
pemahamannya
terakhir
ini
sedikit
tentang
melemahkan
argumentasi sebelumnya, tetapi bukan menolak sama sekali. Apalagi
pandangan tersebut hanya keluar dari satu tokoh hadits saja.
Sebagai bukti bahwa
ia
adalah pembela Sunnah adalah
adanya catatan Rid}a> tentang keutamaan ahli hadits dibandingkan
13
dari yang lainya.
Ia menguatkan bahwa pewaris para Nabi yang
sebenarnya adalah para ahli hadits. Mereka mempunyai tugas dalam
menyampaikan
risalah.
Alasannya
karena
mereka
pihak
mentranfose hadits dan juga menyampaikannya kepada
Mereka adalah ulama yang sebenarnya.
yang
umat.
Data –data yang ditemukan
dalam Tafsi>r al-Mana>r ini semakin memperkuat arguentasi kesufian
‘Abduh dan Rid}a>.
b. ‘Abduh, Rida> dan Syari’at
Dalam al-Qur’an kata syari’at dalam bentuk kata benda (isim)
disebutkan sebanyak dua kali, yaitu di dalam surat al-Ja>thiyah ayat
18 dan surat al-Ma’>idah ayat 48. Ada juga yang disebutkan dalam
kata kerja (fi’il)
yang terdapat dalam dua ayat juga yaitu surat al-
Shu>ra ayat 13 dan 21.
Syari’at adalah metode agama atau perangkat aturan agama
yang digariskan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh hamba. Pada
prisipnya syari’at merupakan metode untuk mengapresiasi ajaran
agama secara keseluruhan. Dari sini jadi jelas perbedaannya dengan
agama. Jika syari’at merupakan metode atau aturan, maka agama
adalah perangkat keimanan yang lebih universal menyangkut otoritas
wujud Allah serta konsistensi terhadap apa yang mesti
dijalankan
oleh umat beragama.
Faktor yang kedua yang dapat dijadikan argumentasi untuk
mengelompokan ‘Abduh dan Rid}a> ke dalam kelompok neo-sufisme
adalah penekannnya terhadap syari’at (eksoteris)
dalam tasawuf
atau biasa disebut Tasawuf ‘Amali atau Tasawuf Akhlaqi. Tokoh neosufisme yang menulis karya tulis yang kontennya berisi rekonsiliasi
antara syari’at dan tasawuf diantaranya adalah Ibnu Taymiyah (w. 728
H). Ia menulis karya dengan judul Fiqh al-Tasawuf. Nurcholish Madjid
mengutip apa yang dilukiskan Ibnu Taymiyah (w. 728 H) terkait
hubungan
antara
syari’ah
dan
tasawuf
(tarekat)
yang
saling
bertentangan antara orientasi eksoteris dengan orientasi esoteris
serupa dengan pertentangan antara Yahudi dengan Kristen.
Ia
14
beralasan atas dasar firman Allah dalam surat al-Baqarah (2) ayat
113. Selain itu juga, Azra mencontohkan Ahmad al-Qus}asi} yang
berinisiasi ke dalam Tarekat Syatariyah, yang sering dikaitkan
sebagai cabang tasawuf India yang cenderung melanggar aturan–
aturan syari’at – setidak-tidaknya dalam pertumbuhan awal tarikat ini.
Ahmad Qus}as}i berhasil mereorientasikan Tarekat Syatariyah yang
menekankan pentingnya dokrin - doktrin hukum Islam dalam jalan
mistis. Menurut pendapatnya, baik aspek eksoteris (syari’at ) maupun
aspek esoteris (mistis-halaqoh) dalam Islam harus selaras dan tidak
bertentangan satu sama lainnnya.
Selanjutnya bertolak kepada Ahmad al-Qus}as}i dengan neosufismenya maka timbullah pertanyaan, apakah ‘Abduh dan Rid}a>
juga menekankan pentingnya syari’at dalam ide-ide pembaharuannya
dan
pemikiran tafsirnya. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu
adanya pelacakan berbagai literatur baik karyanya langsung ataupun
penelitian para cendikiawan terhadap keduanya.
Dalam pelacakan terhadap penekanan syari’at diantaranya
adalah
berdasarkan
kesimpulan
al-Dhahabi>.
Dikatakan
bahwa
metode penafsiran ‘Abduh dan Rid}a> berdasarkan kepada hukum
syari’at. Urgensi syari’at dalam membumikan al-Qur’an harus selalu
dijadikan pondasi utama dan mengontrol
praktek syari’at ini agar
bisa diamalkan oleh masyarakat. Bahkan al-Dhahabi> menambahkan
bahwa S}a>hib al-Mana>r (Rid}a>) selalu berada dalam keadaan
independen (hurriyah) dalam beristinbat hukum,
lepas dari taklid
buta. Sebagai contoh pendapat fiqihnya yang bersebrangan dengan
mayoritas ahli fiqih adalah ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat
180. Ia berpandangan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) oleh
ayat mawa>rith atau hadits Nabi yang mengatakan tidak ada wasiat
untuk ahli waris. Sebagaimana disampaikan oleh jumhur termasuk di
dalamnya al-Sha>fi’i dalam al-Umm.
Khusus untuk ‘Abduh, sebagaimana diteliti oleh Sah}h{a>tah,
ia mencurahkan perhatian terhadap masalah cabang (furu’iyyah)
dalam
fiqih.
‘Abduh
menaruh
minat
dalam
pembahasan
fiqih
15
terutama tentang ayat-ayat ahkam, bahkan menurut Sah}h}atah,
pembahasan ‘Abduh lebih luas dan teratur dibandingkan Ibnu Kathi>r
(w. 774 H). Sebagai contoh ketika ‘Abduh menafsirkan surat al-Nisa>
ayat
43 dengan membaginya menjadi sepuluh pembahasan yang
luas. ‘Abduh juga sangat memperhatikan perihal ibadat dan Us}ul
Fiqh. Di dalam semua pembahasannya ‘Abduh memiliki perbedaan
dibandingkan
dengan
mufasir
lainnya.
Terdapat
nilai-nilai
pembaharuan dan jauh dari taklid, melakukan tarjih terhadap
beragam hukum yang berbeda dan memilihnya mana yang paling
sesuai dengan maslahat dan jauh dari kelicikan dan fanatisme.
Di
dalam pembahasanya ‘Abduh mengunakan metode tanya jawab
(diletakan dalam bab mara>sila>t). Di dalamnya dijelaskan tentang
pertanyaan-pertanyan yang datang dari berbagai pihak sekaligus
dilengkapi dengan jawabannya.‘Abduh banyak membahas rahasiarahasia ibadah, hikmah dan faidahnya. Biasanya dalam hal ini, ‘Abduh
merujuk kepada al-Ghaza>li> (w. 505 H). Keluasan ‘Abduh dalam
bidang ini, menurut Sah}ha}tah dibuktikan ketika pembahasan ayat
tentang
puasa
dalam
surat
al-Baqarah
ayat
183
dengan
menghabiskan sebanyak 50 halaman. Hal yang jarang terjadi kepada
para mufasir lain. Keterkaitan antara ‘Abduh dengan syariat sebagai
salah sartu karakteristik neo-sufisme selaras denga rujukannya
sendiri yaitu Ibnu Taymiyah (w. 728 H) dan al-Ghaza>li (w. 505 H)
yang notabene, menurut Fazlurrahman, sebagai neo-sufisme.
Demikian fokus Rid}a> dalam mendalami salah satu pokok
ilmu syari’at (Fiqih). Daya nalarnya digunakan secara optimal dalam
rangka menarik suatu kesimpulan hukum yang lebih mendekati dan
mudah untuk dipakai dalam konteksnya. Keberanian beliau dalam
melawan arus merupakan suatu ijtihad yang layak untuk diapresiasi
dan bisa saja pendapatnya ini langsung hilang ditelan masa
bahkan
dipakai
tergantung
masyarakat
kebutuhan
umat.
sepanjang
Karakter
masa
kedua
dengan
yang
atau
kadar
dijadikan
16
pertimbangan untuk mengkategorikan ‘Abduh dan muridnya ini
sebagai neo-sufisme layak untuk diperbincangkan.
Rid}a> sendiri ketika menafsirkan suarat
al-Fa>tih}ah
menyatakan bahwa salah satu isu-isu yang difokuskan dalam majalah
a’-‘urwah al-Wuthqa salah satunya adalah memleihara syariah agar
berada dala jalur adil. Dibawah ini terjemah dari naskah yang
bersangkutan :
“Isu yang paling urgen yang difokuskan oleh metode majalah
al-‘urwah al-Wuthqa ada tiga hal : Pertama ; menjelaskan
sunnatullah yang berkaitan dengan makhluk dan hukum
kemasyarakatan, faktor-faktor yang menaikkan derajat umat
dan menjatuhkannya, memperkuat dan melemahkannya. Kedua
; menjelaskan bahwa agama adalah agama para pemuka dan
raja, mengabungkan antara kebahagiaan dunia dan akhirat,
menuntut
bahwa
Islam
adalah
agama
ruhani
dan
kemasyarakatan, madani dan aristokrat, dan sesungguhnya
kekuatan perang itu hanya ditujukan untuk memelihara syari’at
yang adil , hidayah yang umum, keagungan agama, bukan
untuk
memaksa
masuk
satu
agama
dengan
kekarasan.
Ketiga ;Sesungguhnya umat Islam tidak mempunyai wadah
kecuali hanya Islam, mereka tidak boleh dipecahkan oleh
keturunan, bahasa dan kewarganegaraan.”
Rida> mengakui bahwa ketiga pernyataan di atas merupakan ide dan
gagasan al-Afgha>ni dan ‘Abduh. Keduanya mendirikan majalah ini di
Paris tahun 1301 H setelah Inggris masuk ke Mesir tahun 1299 H.
Dalam konteks pemikiran Ushul Fiqih, ‘Abduh dan Rid}a>
dianggap telah menghidupkan epistimologi dan hermeneutika Ushul
Fiqih kontemporer. Perannya ini memperkuat pondasi utama dari
syari’ah itu sendiri.
Dalam konteks
kelembagaan,
Ahmad
Badri
Abdullah
memasukkan keduanya ke dalam salah satu tipologi pemikiran Islam
dan fiqih kontemporer, yaitu Reformis Salafis. Menurut penelitianya,
tipe ini merupakan trend pemikiran yang menyelidiki tujuan dan
17
makna yang terkandung dari manuskrip wahyu ilahi. Mereka meyakini
bahwa ijtihad masih dibutuhkan untuk menjawab tantangan dunia
modern.
Penulisnya
menyebutkan
kata
trend
memberikan
pemahaman bahwa tipe ini memberikan pengaruh yang luas dan
diminati umat Islam modern.
Sebagai sufi yang menekankan semangat pembangunan
kemasyarakatan, sebagaimana yang ditulis Nurcholish Madjid, maka
kesufian keduanya sebagai bagian dari organisasi kemasyarakatan
memperkuat posisinya sebagai neo-sufisme.
c. ‘Abduh, Rid}a> dan Aktivisme
Azra mencatat bahwa tarekat sebelum abad XII cenderung
menekankan eskatisme dan anti keduniaan, tetapi sejak abad XVIII, ia
memberikan kerangka organisasi yang cukup sulit
bagi gerakan
sosial. Kini bukan hanya orang awam yang tersedot ke dalam
organisasi sufi, tetapi juga kelompok tentara, seniman. Semua
kelompok ini disatukan oleh jaringan afiliasi tarekat ke dalam
lingkungan dalam jumlah besar, dan sebagai konsekuensinya maka
tarekat menjadi dasar bagi adanya gerakan sosial –politik.
Apabila yang pertama dan kedua di atas
menyebutkan
kecenderungan dan karakteristik neo-sufisme yang berbasis teks.
Selanjutnya kecenderungan yang ketiga adalah adannya ajaran
aktivisme.
Sufi yang menekankan kecenderungan dalam ajaran ini
adalah al-Qus}as}i.
Dia tidak hanya menekankan akal, tetapi juga
aktivisme. Berulang kali ia mengingatkan kaum muslimin agar
meninggalkan kelalaian dan kebodohan mereka, mencari ilmu dan
memanfa’atkan waktu mereka untuk tujuan-tujuan yang baik. Dia
juga menggesa kaum muslimin agar sepenuhnya menjalankan tugastugas duniawi mereka untuk menopang kehidupan dengan jalan
mengajar, berdagang, atau bertani. Menurut pendapatnya, seorang
sufi
sejati
bukanlah
orang
yang
mengasingkan
dirinya
dari
masyarakat, melainkan orang yang mengajarkan kebaikan dan
melarang kejahatan, dan mau mengulurkan tangan membantu
18
mereka yang tertindas, yang sakit dan yang miskin. Lebih jauh lagi
seorang sufi sejati adalah orang yang dapat bekerja sama timbal balik
(ta’a>wun) dengan orang-orang muslim lainnya
demi kebaikan
masyarakat. Ini adalah beberapa contoh yang diberikannya tentang
perbuatan-perbuatan baik yang hendaknya dilakukan mereka yang
berkeinginan menjadi dasar didikan manusia sempurna (al-insan alka>mil) sebagaimana gambaran dalam tasawuf.
Dalam konteks Indonesia, aktivisme yang dimunculkan oleh
kaum sufi ini diwadahi oleh suatu organisasi tarekat. Tarekat, pada
masa awal berdirinya, merupakan kumpulan jaringan massa yang
cenderung menekankan eskatisme dan
perannya
mengalami
pergeseran
anti keduniaan. Namun,
menjadi
dasar
dari
kekuatan sosial politik, sejak dari gerakan Syafawi
berbagai
di Persia,
Mura>bitu>n dan Muwahidun di Afrika Utara, Naqshabandiyah di
India pada masa
pemerintahan Akbar, sampai kepada gerakan
Diponogoro dan pemberontakan petani, Banten.
Berangkat ke luar negri, gerakan tasawuf yang sukses dalam
mengadakan pergerakan (movemennt) masyarakat muslim melalui
pendidikan adalah Sa’id Nursi dan Sulayman Hilmi Tunahan. Mereka
berdua berusaha menjaga pengetahuan agama dan menterjemahkan
hukum-hukum tradisional kepada komunitas luas.
Tidak ada keluhan apapun terhadap kaum
sufi
yang
memalingkan muka dari dunia dan mengabaikan umat manusia yang
menderita kecuali,
tentu saja,
periode pelatihan yang keras dan
berat, selama beberapa tahun pertama bahkan selama orang-orang
yang paling cinta dunia berkhalwat selama periode pelajaran mereka.
Kaum sufi tidak pernah diketahui kurang
dalam aktivitas–aktivitas
sosial dan pembaharuan. Sebenarnya ketika mereka berada dalam
puncak spiritual, para sufi berkewajiban melayani umat dengan
semangat dakwah. Kaum sufilah yag selalu menjadi pemelihara hakhak asasi manusia yang paling sigap dan pemelihara keadilan,
kebajikan, dan kesetaraan semua manusia.
19
Aktivisme diyakini bisa menghapus pandangan negatif bahwa
tasawuf itu menjadi biang kemunduran muslim dalam aspek politik,
sosial maupun keberagamaan. Perlu ada revitalisasi dalam semua
aspek tersebut. Menurut para sufi yang aktif, jalan yang masuk akal
untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengembangkan
pemahaman lebih berimbang atas setiap aspek Islam, menekankan
seluruh ajarannya secara holistik, seperti dalam bidang hukum dan
mistis, intelektual dan praktikal, serta sosial dan individual. Mereka
berusaha
mengadakan
pembaruan-pembaruan,
purifikasi,
dan
aktivitas.
Muh}ammad ‘Abduh diakui sebagai pembaharu pada milenuim
baru. Nilai aktivisme tidak mungkin diragukan lagi telah tertanam
dalam jiwanya. Raganya didedikasikan sepenuhnya untuk perjuangan
sosial dan agama. Kemajuan adalah harga mutlak bagi ‘Abduh.
Keaktifannya dimulai dengan mengadakan perubahan di internal
kampus al-Azha>r. Sungguhpun usahanya untuk merubah al-Azha>r
serupa dengan universitas–universitas di Eropa gagal, ia berhasil
memasukan beberapa mata pelajaran umum seperti matematika, aljabar, ilmu ukur dan ilmu bumi ke dalam kurikulum al-Azha>r.
Administrasi diperbaiki, metode pengajarannya dirumuskan dan ia
terlibat aktif langsung dalam mengajar.
Bidang
pendidikan
menjadi
kendaraan
utama
yang
digunakannya bersama al-Afgha>ni untuk menciptakan kesatuan dan
reformasi masyarakat Islam. Kerjasama antara guru dan murid yang
berbeda
karakter
tersebut
misalkan
ketika
keduanya
di
Paris
membentuk tim penyusun majalah al-‘Urwah al-Wuthqa.
Pada umumnya perjuangan ‘Abduh di dalam tiga objek.
Pertama, reformasi agama melalui kebebasan pemikiran dari bahaya
taklid buta. Kedua, reformasi bahasa yang bertujuan meningkatkan
kelemahan dan peradaban yang relevan dengan konteksnya. Ketiga,
reformasi politik yang sempat ia tinggalkan karena banyaknya
20
ancaman yang ia hadapi, terutama dari kaum imprealis dan aturanaturan tirani.
Pasca wafatnya Abduh, cita-citanya ini kemudian dilanjutkan
oleh Rid}a sejak tahun 1315 H tepatnya bulan Rajab. Reformasi Islam
ternyata menjadi agenda keduanya. Rid}a> meneruskan eksperimen
dan ide-ide ‘Abduh ini setelah menyelesaikan studinya di T{ara>bulus
dengan
mengambil
syahadahnya.
Ia
pindah
ke
Mesir
untuk
selanjutnya mendirikan majalah al-Mana>r yang tujuannya memang
sebagai media dakwah menuju reformasi.
Aktivisme yang dimiliki oleh neo-sufisme dijadikan sebagai
tenaga dan modal utama untuk mengawali
sehingga terwujudnya
reformasi. Agenda reformasi tidak akan berjalan tanpa adanya
semangat
aktivisme.
Bahkan aktivisme
ini
juga
membutuhkan
akslerasi agar pencapaian reformasi bisa ditempuh dalam waktu yang
singkat. Bagi Rid}a> reformasi adalah keniscayaan, ia mengatakan :
“Zaman ini tidak akan sepi dari kelompok yang menyerukan
reformasi walaupun mereka minoritas. Namun jumlah meeka
akan selalubertambah seiring berjalannya waktu. Tulisan-tulisan
mereka akan menunjukkan mereka arah jalan yang akan
mereka tempuh. Perkataan yang benar (hak), walaupun yang
setuju dan mengetahui keadannya hanya sehgelintir orang,
patut untuk dipelihara dan dikembangkan melalui tempattempat yang sesuai baginya. Hal demikian adalah seleksi alam.
Contohnya, saya selalu memelihara manuskrip majalah ‘alUrwah al-Wuthqa’, walaupun sudah rusak tetapi di dalamnya
terdapat ucapan, perumpamaan yang indah dan faidah yang
besar. Saya menyimpannya di t}uru>s (lembaran) dan di
sanubari ini.
Spesifikasi pendidikan yang digencarkann oleh ‘Abduh dalam
rangka mempercepat pergerakan reformasi Islam diantaranya fokus
dalam kajian teologi dan filsafat. Dalam rangka melawan ikatan taklid,
tentu saja manfaat dari kedua ilmu tersebut akan memberikan
21
pencerahan
pemikiran.
Usaha
ini
selanjutnya, dilanjutkan
oleh
Khalafallah dan al-Khulli.
Aktivitasnya bertambah dan meluas, keilmuannya dibutuhkan
masyarakat lebih luas, maka tahun 1899 ia diangkat menjadi mufti
Mesir. Suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan
hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Dalam tahun itu juga, ia diangkat
menjadi anggota Majlis Syura, dewan legislatif Mesir, padahal waktu
itu usianya masih muda.
Mengingat ambiugitas yang tersirat dalam Utsmaniyah Arab
dan aktualitas kekuasaan Inggris di Mesir. Dia berpendapat bahwa
aktivisme politik seharusnya disertai dengan penyegaran pemikiran
kaum muslim. Pengaruh Barat sudah merasuk sejak Napoleon masuk
ke kawasan Timur Arab, tetapi sebagian dalam bentuk-bentuk praktis
persenjataan, perdagangan, bisnis perjalanan dan keuangan. Respon
terhadap modernitas, menurutnya, harus dilakukan sesuai dengan
cara Islam memahami dirinya. Studinya dalam tafsir al-Qur’an dan
Fiqih dalam pola skolastik tradisional, menyadarkan akan dia perlunya
sikap kritis terhadap tradisi tersebut.
Aktivisme yang menempel pada kedua tokoh pembaharu ini
memberikan pelajaran kepada umat
dinamis.
Islam
selalu
bisa
Islam itu agar senantiasa
merespon
dengan
baik
semua
perkembangan zaman. Perlu digaris bawahi secara tebal terkait
dengan komitmen ‘Abduh terhadap Islam sebagai refleksi dari
aktivisme yang dianutnya. Ditulis dalam tinta sejarah bahwa ‘Abduh
pernah mengeluarkan
semacam
ikrar
atau
sumpah perjuangan
yang terdiri dari lima poin. Kelima poin itu dapat disimpulkan pertama
adalah prioritas terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah; kedua, komitmen
untuk
istiqomah
berdakwah;
ketiga,
menghidupkan
ukhuwah
Islamiyah; keempat, menghindari perbuatan yang merugikan Islam;
dan kelima, berupaya untuk meningkatkan kekuatan Islam.
Melihat semua aktivitas ‘Abduh secara kuantitas sangat padat
dan beragam, juga secara kualitas sangat besar manfaatnya untuk
ranah sosial dan agama maka layaklah ia dikategorikan seorang sufi
22
modern atau neo-sufisme. Apabila kesimpulan untuk ‘Abduh adalah
sebagaimana demikian maka Rashid Rid}a> tidak akan jauh seperti
demikian,
karena
hubungan
mereka
sebagai
guru
dan
murid
menuntut keduanya untuk selalu bersama. Rid}a> adalah kolega
sekaligus murid yang melanjutkan perjuangan ‘Abduh, pemikiran dan
ide-idenya. Tokoh kharismatik ini, selalu dipantau perkembangannya
oleh ‘Abduh. Rid}a> berhasil menyebarkan pemikiran ‘Abduh sampai
keluar Mesir melalui jurnal yang terakhir terbit pada tahun wafatnya,
1935.
Ketika menafsirkan surat al-Tawbah ayat 103, di dalam Tafsi>r
al-Mana>r, Rid}a> menyatakan perlunya ada pergerakan dalam
bidang ekonomi. Walaupun Islama itu merupakan agama, namaun,
justru maknanya lebih dari itu. Lebih jauh kutipan dari pembahasan
aktivisme agama sebagai berikut :
“Bahkan sejak beberapa tahun telah tersebar sebuah kitab yang
berbahasa Arab yang dicetak di Quds. Kitab ini berjudul alH{araka>t al-Fikriyyah fi al-Isla>m (Gerakan Pemikran Islam).
Penulisnya mengklaim ia mengikuti sebagaian sejarawan dari
Perancis yang mengatakan bahwa Islam bukanlah pemikiran
agama semata, tetapi sebaliknya juga meliputi persoalan
perekonomian dan kemasyarakatan, bahkan bisa saja yang
terakhir ini adalah tujuan utama yang dituju, dalam hal ini
agama hanya menjadi perantara saja. Dikutip dari Kaeta>ni>,
seorang sejarawan Itali, Islam adalah sebagai agama secara
dzahirnya
saja,
adapun
subtansinya
adalah
politik
dan
perekonomian. Ia berkata, ‘Salah satu dari kehebatan pendiri
agama
Islam
ini
dan
nampak
kecerdasannya
ia
telah
mengetahui poros gerakan perekonomian dan kemasyarakatan
yang terjadi di keseharian kota Mekkah sebagai bukota H{ija>z.
Ia telah mengetahui bagaimana carannya mengambil manfaat
dari kondisi tersebut untuk menghasilkan tujuan agama dan
masyarakat yang tinggi...”.
23
Lebih jauh lagi Rid}a> mencontohkan bahwa dulu ada seorang Sufi
yang selalu aktif di pasar seolah-olah ia adalah orang yang menolak
tawakal. Redaksi teksnya sebagai berikut :
“Abu> H{afs ‘Umar ibn Muslim al-H{adda>d, gurunya Junayd,
berkata tentang tasawuf : ‘Aku telah menyembunyikan sikap
tawakkal saya selama dua puluh tahun, ketika itu saya tidak
pernah jauh dari pasar. Saya selalu giat bekerja untuk mencari
dinar dan saya tidak pernah bermalam dalam keadaan, tidak
pernah istirahat kecuali hanya untuk ke kamar mandi. AlGhaza>li>
(w.
505
H)
berkata
:’Keluar
dari
sunnatullah
bukanlah syarat dari tawakal. Saya menghapal ungkapan ini
dari al-Ghaza>li> atau mungkin dari yang lainnya dengan
redaksi
‘Tawakkal
itu
bukanlah
keluar
dari
sunnatullah’.
Nampaknya redaksiyang kedua ini lebih tepat.
Rid}a> mengemukakan dua contoh sikap yang berada dalam dua sisi
yang kontradiktif. Di satu sisi seorang sufi itu harus mampu
mengkondisikan diri dengan lingkungan yang aktivitasnya cepat. Di
sisi lainnya juga seorang sufi tentu saja harus lebih condong kepada
tawakal kepada Allah. Namun ia mencoba mencari benang merah di
antara keduanya dengan adanya tawakkal yang berada dalam koridor
sunnatullah. Artinya aktivisme yang diusung Rid}a> dalam tasawuf
bersifat moderat tidak radikal.
Dengan jelas, walaupun kutipan di atas sebagai pandangan
Barat tentang Islam, namun Rid}a> tidak malu untuk membenarkan
bahkan langsung menganjurkan agar umat Islam memahami Islam
secara utuh. Islam yang mengintegrasikan aspek dunia dan akhirat.
Aktivisme dalam bidang ekonomi dan sosial masyarakat merupakan
Islam itu sendiri.
d. ‘Abduh, Rid}a> dan Organisasi Tarekat
Di antara kecenderungan neo-sufisme yang tiga di atas,
mungkin yang ke empat ini yang sulit dibuktikan, baik asumsi ini
berlaku untuk ‘Abduh maupun untuk Rid}a>. Walaupun apabila kita
24
baca ulang di setiap buku yang membahas perjalanan spritual
‘Abduh, disebutkan ia bertemu dengan Shaykh
Darwisy Khadr.
‘Abduh juga sempat mengamalkan tarekat al-Sha>dhiliyah dan
mengamalkan ritual dhikr
dan ta’wi>d. Namun
tidak ditemukan
adanya bukti usaha ‘Abduh dan Rid}a> berupa syi’ar untuk
mengembangkan
muslimin.
tarekat ini
agar diikuti secara masal oleh kaum
Hal ini mungkin terjadi karena ‘Abduh lebih cenderung
kepada pemikiran dari pada ritualitas yang memang dalam masa
‘Abduh
sudah
penyimpangan
ternodai
dengan
berupa tahayul,
adanya
penyimpangan–
bid’ah dan khurafat.
Eksplorasi
terhadap akal lebih dibutuhkan ketika masanya dari pada terbuai
dengan ritual yang sebenarnya bisa dilakukan secara privasi. Ini
hanyalah asumsi penulis berdasarkan pertimbangan data yang ada.
Pandangan lain adalah adanya saksi
sejarah yang
memperkuat kesufian ‘Abduh.
Dia adalah al-Qa>simi> seorang
ulama sekaligus sufi pada tahun 1903. Ia selalu berkunjung ke Mesir
untuk berkorespondensi dengan ‘Abduh dan Rid}a>. Bahkan selama
empat minggu al-Qa>simi pernah sering bertemu dan mengikuti
kuliah yang disampaikan ‘Abduh. Ini menjadi bukti kuat bahwa
seorang sufi biasa ditemani oleh sufi juga.
Di dalam Tafsi>r al-Mana>r ketika menafsirkan surat An (3) ayat 21 disebutkan bahwa tarekat adalah sebuah metode
yang dimiliki oleh para h}ukama>’ dalam berdakwah kepada umat
menuju al-Haq. Walaupun di dalam penafsirannya ini makna al-Haq
itu luas dan ambigu, namun al-Haq yang hakiki adalah Allah. Penulis
lebih condong menangkap arah penafsirannya demikian.
Rid}a> mengenalkan apa yang disebutnya sebagai tarekat alQur’an dan Sunnah. Term ini ia kemukakan ketika menjelaskan makna
al-tazkiyah dalam surat An (3) ayat 164. Menurut ‘Abduh
al-tazkiyah adalah metode tarekat untuk mensucikan jiwa mereka dari
keyakinan-keyakinan yang sesat, dari keraguan yang timbul karena
pengaruh paganisme (al-wathaniyyah) dan kotoran. Padahal akidah
itu merupakan pondasi dari suatu kerajaan.
25
Ayat ini menjelaskan tentang sosok Nabi yaang mempunyai 3
tugas. Pertama ; sebagai seorang mu’allim dan murabbi> bagi umat
Islam dalam melakukan tazkiyah dan tarbiyyah al-nufu>s. Kedua;
mengajarkan al-Qur’an. Nabi mengerti bahwa kebutuhan umat Islam
pada masanya adalah terwujudnya tradisi tulis-menulis, terutama
penulisan
al-Qur’an.
Nabi
juga
mengajarkan
bagaimana
ia
berdiplomasi dengan berbagai raja dan penguasa dan mengajak
mereka untuk masuk Islam. Ketiga; mengajarkan hikmah. Kata alH{ikmah dalam ayat ini adalah rahasia –rahasia dari segala sesuatu,
memahami hukum, menjelaskan maslahat
hukum,
mengajak
untuk
dari berlakunya suatu
mengamalkannya.
Pemahaman
yang
dimaksud di sini adalah pemahaman hukum fiqih yang berbasis
praktek atau bahkan sebaliknya pengamalan yang bisa sekaligus
meningkatkan pemahaman terhadap wacana fiqih dan metodologi
istidlal, dan juga mengtahui hakikat dari penjelasan-penjelasannya.
Jika ditelisik ketiga term ini akan menghimpun tiga aspek
agama yaitu tazkiyah mewakili aspek akidah, al-kita>b mewakili
aspek syari’ah dan al-h{ikmah mewakili aspek tarekat dan hakikat.
Inilah
mungkin
salah
satu tipologi
sederhana
tentang
tarekat
muhammdiyyah.
Ketika menafsirkan surat al-Nisa>’ (4) ayat 32, ‘Abduh
menjelaskan makna tarekat sebagai alat untuk membersihkan salah
satu penyakit hati, yaitu al-tamanna. al-Tamanna menurut Abduh
terkadang bermakana al-h}asad (dengki). Sifat ini dilarang oleh
agama, sebagai mana tersurat dalam ayat. i Kata al-tamanna dalam
surat ini mengarah kepada keinginan untuk memakan milik orang
lain, sedangkan makan itu menjadi penyebab kepada peperangan.
Orang yang memberi ternak makanan di wilayah perbatasan dengan
tanah orang lain akan jatuh ke dalam wilayah shak (kerag