PERLUKAH PERADILAN TATA USAHA MILITER

PERADILAN TATA USAHA MILITER
UNTUK KEPENTINGAN MILITER
Oleh: MAYOR SUS FARYATNO SITUMORANG,S.H.,M.H
Pendahuluan
Wacana Peradilan Tata Usaha Militer sudah digagas seiring dengan sejarah berdirinya
Tentara Nasional Indonesia (TNI), di beberapa peraturan perundangan telah memuat
tentang Peradilan Tata Usaha Militer namun tidak secara tegas dan tidak terperinci,
sebagai contoh Undang-Undang Nomor 2 tahun 1988 tentang Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, tulisan Peradilan Tata Usaha Militer malah ditemukan dalam
penjelasan pasal 18, bukan pada pasal-pasalnya.
Ketentuan secara mendetail baru dirumuskan pada tahun 1997 yaitu pada UndangUndang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang dimulai dari pasal 265353, namun sayang pembuat undang-undang tidak serta-merta memerintahkan untuk
dilaksanakan karena salah satu pasalnya mengamanatkan pelaksanaannya diatur lebih
lanjut oleh Peraturan Pemerintah dan Keputusan Panglima TNI, sebagaimana diatur
pada pasal 353 yang selengkapnya berbunyi “Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal

diundangkan,

khusus

mengenai


Hukum

Acara

Tata

Usaha

Militer,

penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun
sejak undang-undang ini diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia”.Dan pasal 265 ayat (4) yang selengkapnya berbunyi “Upaya
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Panglima”.

Pada masa itu tidak bisa dipungkiri Peradilan Tata Usaha Militer sangat dibutuhkan
dalam rangka menjamin dan melindungi hak-hak prajurit dan masyarakat dari

kesewenang-wenangan Pejabat Tata Usaha Militer.Seiring berjalannya waktu, terjadi
gelombang reformasi di Indonesia dimana eforia reformasi tersebut sangat berpengaruh
kepada tata kehidupan militer, TNI telah membulatkan tekad akan kembali kepada fitrah
dasar terbentuknya TNI, sebagaimana dituangkan dan dijelaskan dalam UndangUndang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dimana salah
satunya yang paling mendasar adalah TNI akan menjadikan “Hukum sebagai Panglima”
yang dengan kata lain kondisi tata kehidupan TNI sebelum reformasi yang dikuatirkan
merugikan hak-hak prajurit dan masyarakat terkait dengan keputusan Tata Usaha
Militer kecil kemungkinan terjadi pada era sekarang.
Faktor sosiologis gelombang reformasi tersebut berpengaruh besar bagi pemerintah
berbagai upaya dan perbaikan dilakukan, kewajiban melakukan reformasi internal terus
dilakukan dengan skala prioritas, dalam jangka panjang prolegnas revisi UndangUndang Nomor 31 Tahun 1997 merupakan salah satu agenda dan saat ini sedang
berjalan. Reformasi internal di Lingkungan TNI telah berjalan dengan baik sehingga
pemerintah telah mengesampingkan pembuat Peraturan Pemerintah sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 353, dengan pertimbangan reformasi di lingkungan TNI
dibidang hukum telah berjalan dengan baik sehingga kecil kemungkinan Pejabat Tata
Usaha Militer melakukan kesewenang wenangan melalui keputusannya.Alangkah
bijaksananya apabila tenaga, waktu dan pemikiran dialihkan kepada pembuatan dan
penyusunan Peraturan Pemerintah yang lebih mendesak untuk kepentingan bangsa
dan Negara.
Peradilan Tata Usaha Militer yang ideal dengan bagi TNI adalah Peradilan yang

mencerminkan mendahulukan Kepentingan Militer, dimana peradilan tersebut tidak
boleh merusak sendi-sendi kehidupan militer akan tetapi sebaliknya Peradilan tersebut
harus mampu mendukung tugas pokok TNI dalam menjaga kedaulatan Negara. Jika
kita perbandingkan ketentuan Peradilan Tata Usaha Militer sebagaimana dirumuskan
dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1997, akan kita temukan hal-hal yang

kontradiktif dengan ketentuan yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Mililiter (KUHPM) dan asas-asas serta doktrin TNI yang hidup dalam tata
kehidupan militer. Kondisi demikian yang menjadi alasan utama agar ketentuan
Peradilan Tata Usaha Militer yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 tahun
1997 harus direvisi terlebih dahulu, jika tidak maka Peradilan Tata Usaha Militer akan
bertentangan dengan kepentingan Militer, padahal dalam sejarah lahirnya Pengadilan
Militer adalah “untuk kepentingan militer”, unsur kepentingan militer tidak boleh
dikesampingkan dengan alasan apapun termasuk alasan Demokrasi atau Hak Asasi
Manusia.
Pengertian Pengadilan Tata Usaha Militer
Keputusan Tata Usaha Militer merupakan Produk hukum yang bersifat Administrasi di
Lingkungan Tentara Nasional Indonesia dalam rangka pelaksanaan fungsi untuk
pembinaan dan penggunaan TNI serta pengelolaan pertahanan keamanan Negara,
yang dituangkan dalam bentuk penetapan tertulis oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha

Militer.Pejabat Tata Usaha Militer dalam menerbitkan suatu keputusan yang termasuk
dalam kualifikasi Tata Usaha Militer harus berisikan tindakan hukum yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus berkaitan dengan
penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan TNI atau pengelolaan Pertahanan
keamanan Negara, baik itu di bidang personel, materiil, fasilitas dan jasa dan bersifat
kongkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan
hukum perdata.
Apabila kita menelaah defenisi diatas secara umum dapat kita simpulkan bahwa
kemungkinan kerugian yang ditimbulkan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Militer bisa
saja terjadi, dan proses penyelesaiannya perlu diwadahi, mengingat TNI mempunyai
tata kehidupan Militer yang berbeda dengan Masyarakat sipil tentu penyelesaian
sengketa Tata Usaha Militer juga harus dilaksanakan sesuai dengan tata kehidupan di
lingkungan Militer. Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer maka sengketa Tata Usaha Militer diselesaikan melalui Pengadilan Militer Tinggi

untuk tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama untuk tingkat banding dengan cara
orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa dirugikan mengajukan Gugatan.
Ketentuan demikian selaras dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang


Peradilan

Tata

Usaha

Negara

Pasal

2

huruf

f

secara

limitatif


dirumuskan“Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak termasuk dalam
Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara”, dalam kaitan hal tersebut maka oleh para
pembuat undang-undang merumuskan Penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer
dirumuskan dalam UU Nomor 31 Tahun 1997. Sebelum kita lebih jauh ada baiknya kita
melihat siapa saja yang merupakan Pejabat Tata Usaha Militer, berdasarkan ketentuan
pasal 1 ayat 3 UU Nomor 31 Tahun 1997 secara limitatif telah ditentukan siapa saja
yang termasuk dalam pejabat Tata Usaha Militer yaitu :
1. Badan atau Pejabat di lingkungan TNI yaitu Institusi TNI yang dijabat oleh
seorang Pejabat yang sah berdasarkan peraturan perundangan yang ada yang
mempunyai wewenang mengeluarkan Surat Keputusan baik itu berdasarkan
Undang-undang

maupun

Peraturan/keputusan

Panglima TNI/Kepala

Staf


Angkatan.
2. Kementerian

Pertahanan

Republik

Indonesia,

yaitu

kementerian

dalam

PemerintahIndonesia yang membidangi urusan pertahanan yang dipimpin oleh
seorang Menteri, dengan kata lain Kementerian Pertahanan menjadi bagian dari
sub system TNI dalam melaksankan tugas pokok TNI untuk mempertahankan
dan menjaga kedaulatan NKRI.


3. Pejabat lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan
berwenang mengeluarkan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pembinaan TNI serta pengelolaan pertahanan keamanan Negara, misalnya
Kepala Daerah dalam suatu keadaan Darurat Sipil.
Obyek Peradilan Tata Usaha Militer

Peradilan Tata Usaha Negara secara umum mempunyai persamaan obyek gugatan
dengan Peradilan Tata Usaha Militer yaitu suatu Keputusan atau sering disebut
beschikking yaitu suatu Keputusan Pejabat Tata Usaha Militer yang telah merugikan
orang atau Badan Hukum Perdata, Suatu keputusan disebut sebagai Keputusan Tata
Usaha Militer jika Keputusan tersebut memenuhi unsur sebagai berikut :
1.

berupapenetapantertulis,

2.

dikeluarkanolehBadanatauPejabat Tata Uasaha Militer,

3.


berisitindakanhukum Tata Usaha Militer.

4.

berdasarkanperaturanperundang-undangan yang berlaku.

5.

bersifatkonkret, individual dan final, dan

6.

menimbulkanakibathukumbagiseseorangataubadanhukumperdata.

Rumusan Keputusan Tata Usaha Militer diatas akan kontradiktif dengan ketentuan
pasal 3 dan pasal 265 ayat 2 huruf “c” UU Nomor 31 Tahun 1997, dalam pasal tersebut
secara tegas disebutkan Pejabat Tata Usaha Militer yang tidak mengeluarkan
keputusan yang sudah merupakan kewajibannya, atau tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohonkan pada tenggang waktu tertentu maka perbuatan tersebut sudah

merupakan Keputusan Tata Usaha Militer. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan
unsur pertama, dan dalam tata kehidupan militer ketentuan pasal ini sangat
memungkinkan menciptakan insoliditas dan inloyalitas prajurit kepada atasannya
karena tidak semua permohonan Prajurit dijawab atau dikabulkan oleh Atasan.
Pada penjelasan awal saya sudah menyatakan bahwa Militer memiliki tata kehidupan
atau karakteristik tersendiri sehingga kehadiran Peradilan Tata Usaha Militer tidak boleh
merusak tata kehidupan tersebut sehingga tidak semua Keputusan Pejabat Tata Usaha
Militer dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Militer. Jika tidak dibatasi maka sangat
memungkinkan akan merusak sendi-sendi kehidupan prajurit dan bahkan akan
menimbulkan kekacauan organisasi yang berakibat pada pelaksanaan tugas pokok,
anda bisa membayangkan jika semua keputusan Pejabat Tata Usaha Militer dapat

digugat maka pelaksanaan Operasi Militer Perang dan Operasi Militer Selain Perang
tidak akan terlaksana, katakanlah seorang Prajurit ditugaskan untuk memimpin Operasi
Militer Perang di suatu daerah, dimana daerah tersebut merupakan tanah kelahiran
atau sang prajurit mempunyai hubungan emosional dengan daerah operasi maka sang
prajurit akan mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Militer untuk menolak
keputusan tersebut, sikap perbuatan demikian jelas merusak sendi-sendi kehidupan
prajurit dan penolakan tersebut dapat dipidana berdasarkan ketentuan Kitab UndangUndang Hukum Pidana Militer.
Pembuat Undang-Undang telah merumuskan beberapa pembatasan yang dicantumkan

pada pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1997 yang membuat rumusan yang tidak tegas
namun jika kita artikan rumusan tersebut mengamanatkan bahwa tidak semua
keputusan Pejabat Tata Usaha Milter dapat diajukan ke Peradilan Tata Usaha Militer
yaitu antara lain :
1. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan perbuatan Hukum
Perdata.
2. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan dalam bidang
operasi militer
3. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan di bidang keuangan
dan perbendaharaan
4. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku
5. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan KUHP atau KUHAP atau ketentuan perauran perundangan yang lain
yang bersifat hukum pidana militer dan hukum disiplin prajurit
6. Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum
7. Keputusan
persetujuan.

Tata

Usaha Angkatan

Bersenjata

yang

masih

memerlukan

Dari pembatasan diatas saya berpendapat belum menjamin terciptanya Soliditas,
Loyalitas di tubuh TNI karena pembatasan diatas sangat sempit bahkan dari 7 (tujuh)
pembatasan diatas pembatasan point 4 sampai 7 tidak perlu dituliskan karena tidak
dituliskanpun perbuatan hukum Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang
berkaitan dengan rumusan tersebut secara otomatis sudah tidak memenuhi unsurunsur. Menurut pendapat saya pembatasan tersebut harus diperluas dalam rangka
upaya membatasi Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dapat diajukan ke
Peradilan Tata Usaha Militer, lebih tepat jika rumusan tersebut dirumuskan secara tegas
dengan menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dapat
diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Militer bagi prajurit adalah Keputusan Pejabat Tata
Usaha Militer dalam bidang pemberhentian dengan tidak hormat saja.

Jika kita

perhatikan pembatasan diatas keputusan Pejabat Tata Usaha Militer yang memindah
tugaskan prajurit dalam rangka “tour of duty dan tour of area” ,akan dapat diajukan oleh
Prajurit ke Peradilan Tata Usaha Militer dengan berbagai alasan jika terjadi demikian
maka akan menciptakan kekacauan akan bertentangan

dengan azas Kesatuan

Komando (unity of command) serta azas-azas lain.
Pembatasan lain dirumuskan dalam pasal 4 UU Nomor 31 tahun 1997 yang
selengkapnya berbunyi :
“Pengadilan

Militer

Tinggi

tidak

berwenang

memeriksa

memutus

dan

menyelesaikan sengketa tata Usaha Angkatan Bersenjata tertentu dalam hal
keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.

Dalam waktu perang, keadaan luar biasa yang membahayakan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b.

Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pembatasan demikian sangat tepat namun belum menjawab kemungkinan perlawanan
dari prajurit dalam rangka “tour of duty dan tour of area”, dan atau tugas-tugas lain
yang tidak berkaitan dengan operasi militer. Dinamika kehidupan militer pernah di

hebohkan degan gugatan yang diajukan Mayor CHK Kantor Kataren karena yang
bersangkutan “dicopot dari jabatannya”, karena Peradilan Tata Usaha Militer belum
berfungsi yang bersangkutan mengajukan gugatan ke PTUN dan Pengadilan Negeri,
tentu kondisi seperti ini akan banyak terjadi dikemudian hari apabila Peradilan Tata
Usaha Militer sudah operasional tanpa merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997.Berkaitan
dengan subyek Hukum diluar Prajurit atau yang dipersamakan dengan Prajurit atau
dengan kata lain yang berkaitan dengan masyarakat umum dan badan hukum perdata
saya sependapat.
Subyek Hukum Peradilan Tata Usaha Militer
Subyek Peradilan Tata Usaha Militer secara limitatif sudah diatur dalam pasal 265 yaitu:
1. Orang,

Yang dimaksud dengan orang disini adalah manusia yang dapat

dibedakan menjadi :
a. Prajurit
b. Dipersamkan dengan Prajurit
c. Semua manusia yang mempunyai hak sesuai peraturan perundangundangan diluar prajurit dan dipersamakan dengan prajurit.
2. Badan Hukum Perdata.
Dari pembatasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa hanya orang dan badan hukum
perdata saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Militer.Badan
atau Pejabat Tata Usaha Militer tidak dapat mengajukan gugatan.Apakah semua orang
atau Badan Hukum Perdata dapat mengajukan gugatan jawabnya tidak.Yang dapat
mengajukangugatan adalah orang atau Badan Hukum Perdata yang kepentingannya
terganggu. Dirugikan akibat adanya Keputusan Tata Usaha Militer. Oleh karena
terjadinya kerugian kepada subyek hukum maka subyek hukum dapat mengajukan
gugatan ke Peradilan Tata Usaha Militer dan memohon Pembatalan atau menyatakan
tidak sah suatu Keputusan Tata Usaha Militer, jika terjadi kerugian material dapat
mengajukan permohonan tambahan berupa ganti rugi, dan bagi prajurit atau

dipersamakan dengan prajurit dapat mengajukan pemulihan nama baik atau
rehabilitasi.
Penggugat dalam mengajukan gugatannya harus memuat alasan yiridis sebagaimana
di sebutkan dalam pasal 265 ayat 2 dengan tujuan sebagai dasar bagi hakim untuk
menilai apakah Keputusan Tata Usaha Militer yang digugat bersifat melawan hukum
atau tidak. Suatu Keputusan Tata Usaha Militer dinyatakan bersifat melawan hukum
apabila :
1. Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat
prosedur/formal.
Contohnya “sebelum keputusan pemecatan seorang prajurit maka prajurit harus
di periksa terlebih dahulu, namun langkah ini tidak dilaksanakan”
2. Bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan perundangan yang bersifat
materil/substansial
Contohnya “Prajurit diberhentikan dalam hal prajurit melaksankan tugas
pokoknya sebagaimana telah diatur dalam perundang – undangan”
3. Keputusan Tata Usaha Militer dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
Contohnya “Seorang Prajurit berpangkat Kapten diberhentikan oleh Komandan
Batalyon, dimana seharusnya hal tersebut merupakan wewenang dari Kepala
Staf Angkatan.”
Sebagaimana kita ketahui dalam Peradilan Tata Usaha Negara, sebelum persidangan
dilaksanakan maka pihak penggugat diwajibkan melakukan upaya Administrasi terlebih
dahulu. Demikian halnya dalam Peradilan Tata Usaha Militer khususnya pada subyek
hukum Prajurit dan dipersamakan dengan Prajurit maka harus didahului dengan
“Upaya Administrasi”,yaitu suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang prajurit
atau dipersamakan dengan prajurit apabila tidak menerima isi keputusan tata usaha
militer,namun sebagaimana telah dijelaskan diatas ketentuan upaya Administrasi diatur
berdasarkan keputusan Panglima TNI dan sampai saat ini ketentuan tersebut belum

ada sehingga langkah prajurit untuk mengajukan Gugatan ke Peradilan Tata Usaha
Militer masih membutuhkan waktu yang panjang dan berliku.
Kewenangan Mengadili
Semua jenis Pengadilan yang ada di Indonesia berada dibawah Mahkamah Agung
Republik Indonesia, dan setiap jenis Pengadilan mempunyai kompentensi Absolut
misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai kewenangan mengadili sengketa
tata usaha Negara. Setiap Peradilan berddiri sendiri tidak berada dibawah pengadilan
lain. Namun tidak demikian dengan Penyelesaian sengketa Tata Usaha Militer. Dalam
UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer Penyelesaian sengketa Tata Usaha
Militer secara tegas Undang-undang menunjuk Pengadilan Militer Tinggi sebagai
Peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Militer Utama untuk tingkat Banding
ketentuan ini diatur pada pasal 15 ayat 3 dan 4 pasal 41 ayat 1 huruf b, pasal 42, pasal
265 ayat 1. Setiap orang dan atau Badan Hukum perdata dapat mengajukan gugatan
sengketa Tata Usaha Militer dalam tenggang waktu 90 hari sejak saat menerima
keputusan tata usaha militer.Khusus bagi Prajurit atau yang dipersamakan dengan
prajurit tenggang waktu 90 hari dihitung sejak menerima keputusan dari atasan Pejabat
Tata Usaha Militer dalam rangka melaksanakan upaya administrasi.Melihat ketentuan
terseebut diatas berarti orang dan atau Badan Hukum Perdata hanya dapat
mengajukan Gugatan Tata Usaha Militer di Medan, Jakarta dan Surabaya karena
sampai saat ini Pengadilan Militer Tinggi hanya ada tiga yaitu Pengadilan Militer Tinggi I
di Medan, Pengadilan Militer Tinggi II di Jakarta dan Pengadilan Militer Tinggi III di
Surabaya.
Secara umum seluruh militer di dunia ini memiliki Pengadilan Administrasi, salah satu
contohnya di Amerika Serikat sengketa Tata Usaha Militer disebut dengan sengketa
Administrasi sehingga proses penyelesaiannya disebut dengan Pengadilan Administrsi
yang melekat di Pengadilan Militer sama seperti di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui
bahwa di Amerika Serikat terdapat 4 (empat) jenis Pengadilan Militer yaitu :

1. Summary Court Martial. Merupakan Pengadilan yang paling terbatas karena
hanya mengadili prajurit dengan pangkat Tantama, perkara yang diadili hanya
terbatas pada perkara ringan sehingga apabila prajurit tantama melakukan
kejahatan berat tidak diadili di Pengadilan ini.
2. Special Court Martial. Merupakan Pengadilan tingkat menengah dan paling
sering dilaksanakan dengan system juri minimal 3 (tiga).

3. General Court Martial. Merupakan Pengadilan paling tinggi yang mempunyai
kompetensi mengadili perkara serius (kejahatan berat) baik yang terjadi di
Amerika maupun di luar wilayah Amerika.

Pada jenis pengadilan inilah

Pengadilan Administrasi di laksanakan.
4. Military Commission. Merupakan Pengadilan yang dibentuk khusus untuk
mengadili tindak pidana Teroris.
General Court Martial selaku Pengadilan yang memiliki kompentensi absolut terhadap
sengketa Tata Usaha Militer mempunyai proses yang hampir sama dengan Perdilan
Militer Tinggi di Indonesia naamun terdapat beberapa antara lain :
1. Apabila subyeknya masyarakat sipil (bukan subyek Pengadilan Militer) maka
sengketa dibawa ke Pengadilan Federal.
2. Tenggang waktu 90 hari tetapi khusus untuk Angkatan Udara tenggang waktunya
adalah 180 hari
3. Tuntutan yang diajukan adalah terbatas hanya pembatalan danganti rugi
4. Diatur dalam PSL 138 UCMJ (UNIFORM CODE OFMILITARY
JUSTICE)setingkat dengan KUHPidana di Indonesia sementara Peradilan Tata
Usaha Militer di Indonesia di atur dengan UU tentang Peradilan Militer.

Implementasi

Dalam

sejarah

dikenalnya

Peradilan

Tata

Usaha

Militer

khususnya

sejak

diundangkannya UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ada beberapa
perkara Tata Usaha Militer didaftarkan di Pengadilan Militer Tinggi, namun oleh karena
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU 31 tahun 1997 belum ada
maka perkara tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut.

Kondisi demikian

mengakibatkan beberapa orang mencoba terobosan baru dengan cara mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri diantaranya :
1. Gugatan Mayor Chk Kantor Kataren, SH diajukan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara namun oleh Pengadilan Tata Usaha Negara menolak gugatan dengan
alasan PTUN tidak memiliki wewenang untuk mengadili sengketa Tata Usaha
Militer sebagaimana telah diatur secara limitatif pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2 huruf f, selanjutnya
yang bersangkutan mendaftarkan kembali gugatan ke Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Negeri menolak gugatan dengan dasar pertimbangan kewenangan
mengadili.
2. Gugatan PNS PDT.DR.B.Y. Killis, MA (ANGGOTA KOHANUDNAS) akibat
diberhentikan oleh Menteri Pertahanan. Yang bersangkutan mengajukan gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Nomor. REG 156 K/TUN/2002,
dimana gugatan tersebut dikabulkan. Jika kita kembali keawal makalah ini
bukankah

Menteri

Pertahanan

merupakan

Pejabat

Tata

Usaha

Miiter

sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 UU Nomor 31 Tahun 1997, lalu
mengapa PTUN mengabulkan gugatan yang bersangkutan ?kita tidak tahu
jawabannya karena saat itu pihak tergugat tidak melakukan upaya hukum
sehingga kebenaran keputusan PTUN Jakarta tersebut tidak teruji sampai tingkat
Mahkamah Agung RI.
3. Gugatan seorang Pengelola Kantin di kesatriaan Rumah Sakit Angkatan Laut di
Surabaya karena Kepala Rumah Sakit TNI AL telah memutuskan kontrak secara
sepihak dengan menutup usaha kantin, yang bersangkutan mengajukan gugatan
ke PTUN Surabaya dan gugatannya dikabulkan, namun Tergugat melakukan

upaya hukum Banding dan sebelum diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara kedua belah pihak melakukan Perdamaian (dading).

Melihat ketiga perkara tersebut diatas, kita dapat memprediksi jika Pengadilan Tata
Usaha Militer sudah difungsikan atau sudah operasional dapat kita bayangkan akan
tumbuh dengan subur perlawanan yang bersifat konstitusional dari Prajurit bawahan
kepada Prajurit atasan, salahkah mereka jawabnya tidak jika kita melihat dengan kaca
mata ketentuan Peradilan Tata Usaha Militer, namun apabila kita melihat dari sudut
pandang tata kehidupan Militer upaya tersebut merupakan upaya melawan perintah
atasan, karena melanggar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Kesempatan yang
diberikan oleh Peradilan Tata Usaha Militer tersebut akan menciptakan insoliditas dan
inloyalitas, sehingga ketika seorang atasan baik itu merangkap sebagai Pejabat Tata
Usaha Militer atau tidak dapat meminta prajurit tersebut diperiksa dan diajukan ke
Pengadilan Militer dengan tuduhan Melawan Perintah Atasan sebagaimana diatur pada
pasal 103 KUHPM.
Presfektif Pengadilan Tata Usaha Militer
Tata kehidupan militer sudah terbentuk saat seorang warga Negara menjadi anggota
militer jika kita melihat kondisi real saat ini hanya Institusi Militer yang masih solid dan
hal itu tidak perlu diragukan lagi sampai saat ini belum pernah ada prajurit TNI
melakukan Demonstrasi kepada atasannya, jiwa dan nafas seorang militer adalah
Perintah diatas segalanya. JIka kita menyimak doktrin dan azas-azas yang hidup
sebagai nafas seorang prajurit yang tertuang dalam dalam Sapta Marga khususnya
marga ke-5 dan 6 dan Sumpah Prajurit khususnya sumpah ke-2,3 dan 4 seperti bawah
ini :
SAPTA MARGA
5. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia memegang teguh disiplin, patuh dan taat
kepada pimpinan, serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan parjurit.

6. Kami prajurit Tentara Nasional Indonesia setia dan menepati janji serta sumpah
prajurit.
SUMPAH PRAJURIT
2.. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.
3. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau
putusan.
4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung
jawab kepada tentara dan Negara Republik Indonesia
Sapta Marga dan Sumpah Prajurit tersebut diatas adalah merupakan jiwa dan nafas
seorang prajurit dengan kata lain apapun keputusan atasan dalam hal ini Pejabat Tata
Usaha Militer tidak ada kata lain selain kata “Siap Dilaksanakan”, kondisi demikian
adalah berbanding lurus dengan atasan karena setiap atasan juga pernah menjadi
bawahan tidak ada atasan yang tidak melaui bawahan sehingga setiap keputusan
atasan atau Pejabat Tata Usaha Militer pastilah sudah berdasarkan pertimbangan
hukum yang bijaksana dan tentunya berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
Oleh karena obyek sengketa Pengadilan Tata Usaha Militer adalah suatu “keputusan”,
dapat kita bayangkan jika seorang prajurit asal Jakarta dapat menolak Keputusan
Pejabat Tata Usaha Militer yang menugaskannya ke Perbatasan di Irian Jaya, demikian
sebaliknya setiap prajurit hanya bersedia bertugas didaerah asalnya. Penulis bukan
menolak Pengadilan Tata Usaha Militer, Penulis sangat sependapat Pengadilan Tata
Usaha Militer diterapkan di Indonesia karena kita adalah Negara Hukum (Rule of Law),
namun sebaiknya UU Nomor 31 tahun 1997 sebaiknya direvisi terlebih dahulu
khususnya yang berkaitan dengan pembatasan obyek sengketa Peradilan Tata Usaha
Militer, Obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Militer yang diatur dalam undang-undang
tersebut saat ini masih terlampau luas dan dapat berbenturan dengan Sapta Marga dan
Sumpah Prajurit doktrin yang berlaku dalam tata kehidupan Militer. Jika kita
membandingkan

dengan Negara lain obyek Sengketa Admiistrasi Militer adalah

terbatas kepada Keputusan Pemberhentian, saya sependapat seharusnya obyek
Sengketa Tata Usaha Militer bagi Prajurit dan dipersamakan dengan prajurit cukuplah
tentang Keputusan Pemberhentian, “Keputusan “Tour of Duty dan Tour of Area”, harus
ditegaskan bukan merupakan obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Militer. Jika itu
tidak dilakukan maka akan banyak Prajurit terjerat dengan perkara Pidana Militer.
Menggugat Keputusan atasan dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Militer sama dengan
melawan perintah sebagaimana disebutkan dalam pasal 78 dan 103 KUHPM yang
selengkapnya berbunyi
Pasal 78 KUHPM
“Barangsiapa yang dalam waktu perang menolak atau dengan sengaja tidak mentaati
suatu perintah atau tuntutan yang diberikan oleh seorang militer yang berhak, atau
dengan semaunya melampaui perintah atau tuntutan sedemikian itu atau dengan
sengaja mencegat, menghalang-halangi atau meniadakan suatu tindakan (maattregel)
yang dilaksanakan atau yang diperintahkan oleh seseorang militer, demi kepentingan
Angkatan Perang atau dinas diancam dengan pidana penjara maksimal lima tahun.”
Pasal 103 KUHPM
“Militer, yang menolak atau dengan sengaja tidak mentaati suatu perintah dinas, atau
dengan semaunya melampaui perintah sedemikian itu diancam karena ketidak taatan
yang disengaja, dengan pidana penjara maksimum dua tahun empat bulan”.
Dari kedua pasal KUHPM tersebut sangat jelas bahwa setiap prajurit diwajibkan patuh
dan taat terhadap setiap perintah dan keputusan atasan sesuai dengan jiwa dan nafas
prajurit yang terdapat pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Dengan kehadiran Peradilan Tata Usaha Militer sebagaimana diatur dalam UU Nomor
31 Tahun 1997 ini akan berbenturan dengan doktrin militer yang dikenal dengan
“BEFEHL IST BEFEHL”yaitu setiap prajurit TNI siap melaksanakan perintah atasan,
setiap bawahan tidak dibenarkan menilai perintah atasan benar atau salah karena yang
bertanggung jawab atas akibat perintah tersebut adalah atasan yang memberikan

perintah atau atasan yang memberikan keputusan hal ini dikenal dengan azas
Pertanggung Jawaban Komando.
Kesimpulan
PeradilanTata Usaha Militer penting karena Indonesia adalah Negara Hukum dan tidak
tertutup kemungkinan seorang Pejabat Tata Usaha Militer keliru dalam mengambil
suatu keputusan, namun Peradilan Tata Usaha Militer yang ideal adalah Peradilan yang
bersinergis dengan Peraturan dan perundangan yang lain dan bersinergis dengan jiwa
dan nafas serta Doktrin TNI. Sehubungan dengan hal tersebut langkah terbaik menurut
saya adalah UU nomor 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer wajib direvisi
khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan Peradilan Tata Usaha Militer.
Penutup
Peradilan Tata Usaha Militer bukan suatu keniscayaan akan diterapkan pada masa
yang akan datang, apa yang saya sampaikan ini merupakan suatu pandangan saya
untuk perbaikan dan evaluasi semoga bermanfaat bagi bapak dan ibu sekalian, apabila
kita tidak sependapat biarlah perbedaan pandangan kita akan memperkaya dalam
pembangunan hukum dimasa yang akan datang khususnya untuk TNI, sekian dan
terimakasih.

“TERBAIK BAGI RAKYAT TERBAIK BAGI TNI”