Potret Kecemasan Penumpang Pesawat Terba

POTRET KECEMASAN PENUMPANG PESAWAT TERBANG
DALAM CERPEN “TERBANG” KARYA AYU UTAMI:
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA
Mata Kuliah Perkembangan Ilmu Sastra

Disusun oleh
Achmad Muchtar
12/335233/SA/16701

JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

POTRET KECEMASAN PENUMPANG PESAWAT TERBANG
DALAM CERPEN “TERBANG” KARYA AYU UTAMI:
KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

Achmad Muchtar


A. Pengantar
Di penghujung tahun 2014, dunia penerbangan di Indonesia
mengalami musibah. Pada 28 Desember 2014, pesawat Air Asia dengan
nomor penerbangan QZ8501/AWQ8501 dinyatakan menghilang pada saat
terbang dari Surabaya, Indonesia menuju Singapura dengan membawa 155
penumpang dan 7 orang kru. Beberapa hari kemudian, serpihan-serpihan
badan pesawat dan mayat-mayat para korban ditemukan di selat Karimata.
Hal tersebut mengingatkan betapa seringnya kecelakaan pesawat yang terjadi.
Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti, yang baru-baru
ini, pesawat Malaysia Airlines MH 370 yang jatuh di Samudera Hindia pada
Maret 2014 atau juga pesawat Malaysia Airlines MH17 yang ditembak jatuh
saat melintasi wilayah konflik perang di Ukraina pada Juli 2014.
Sastra merupakan karya seni bermediumkan bahasa yang unsur
estetikanya dominan. Sastra tidak hanya menggambarkan imajinasi kreatif
yang dibangun oleh pengarangnya, tetapi juga merupakan dokumen sosial dan
budaya masyarakat yang ada di sekitar pengarang. Dengan menjadi dokumen

sosial dan budaya, sastra telah menjadi cermin dari berbagai peristiwa yang
terjadi pada masa, masyarakat, dan kondisi sosial dan budaya tertentu. Sastra
merupakan karya yang lahir dari masyarakat, maka dari itu pastinya karya

sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat (Wellek dan Warren,
1995:109).
Klasifikasi yang dibuat oleh Ian Watt (via Damono, 2002:4) dalam
esainya “Literature and Society” membicarakan hubungan timbal balik antar
sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Penelitian karya sastra menurut Ian
Watt mencakup tiga hal. Pertama adalah konteks sosial pengarang. Konteks
sosial pengarang penyangkut posisi sosial masyarakat dalam kaitannya
dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang
bisa memengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan maupun memengaruhi
isi karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Yang diteliti
dalam konsep ini adalah sejauh mana karya sastra dianggap sebagai
pencerminan keadaan masyarakat, terutama kemampuan karya sastra itu
mencerminkan masyarakat pada waktu karya ditulis. Ketiga, fungsi sosial
sastra. Dalam hal ini diperhatikan yakni sampai sejauh mana nilai sastra
berkaitan dengan sosial. Dalam hubungan ini ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, yakni sastra harus berfungsi sebagai perombak, sastra sebagai
penghibur, dan sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

“Terbang” adalah cerpen karya Ayu Utami yang kali pertama
dipublikasikan di harian Kompas pada 20 April 2008. Cerpen tersebut dimuat

kembali dalam buku kumpulan cerpen Kompas berjudul Smokol: Cerpen
Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Terbang” sangat menarik untuk dianalisis
menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt,
di mana telaah karya sastranya mencakup tiga hal, yaitu konteks sosial Ayu
Utami sebagai pengarang, cerpen tersebut sebagai cerminan kondisi sosial
masyarakat, dan fungsi sosial cerpen tersebut. Telaah ini sangat berguna,
mengingat untuk memahami karya sastra, pembaca harus tahu lingkungan
sosial yang melingkupinya. Penelitian ini tidak hanya ingin menjawab
pertanyaan apakah benar cerpen “Terbang” mencerminkan kondisi sosial
tertentu, tetapi juga bagaimana hubungan timbal balik antara karya sastra,
pengarang, dan masyarakatnya.

B. Konteks Sosial Ayu Utami
Ayu Utami yang mempunyai nama lengkap Justina Ayu Utami lahir di
Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ia dikenal sebagai aktivis jurnalis dan
novelis Indonesia. Ia besar di Jakarta dan menamatkan kuliah di Fakultas
Sastra Universitas Indonesia. Ia pernah menjadi wartawan di majalah Humor,
Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama setelah penutupan Tempo,
Editor dan Detik pada masa Orde Baru, ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis


Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di jurnal
kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman,
mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan
warna baru dalam sastra Indonesia.
Ayu dikenal sebagai novelis sejak novelnya Saman memenangi
sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Dalam waktu tiga
tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar. Berkat Saman pula, Ayu mendapat
Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang
bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan memajukan
kegiatan di bidang budaya dan pembangunan.1
Cerpen “Terbang” selesai ditulis pada 13 Maret 2008. Dapat
diasumsikan bahwa pada saat cerpen tersebut ditulis, pengarang telah
merasakan gejala sosial mengenai kecemasan-kecemasan pada masyarakat di
tengah-tengah berita mengenai kecelakaan pesawat terbang. Kecelakaan
pesawat terbang yang menjadi acuan bagi Utami tentu saja yang terjadi
sebelum Maret 2008, seperti pada tahun sebelumnya, yaitu pesawat Adam Air
Penerbangan 574 dari Jakarta—Manado via Surabaya jatuh di Selat Makassar,
Mandala Airlines Penerbangan 660 tujuan Jakarta—Makassar—Ambon
terpaksa kembali ke Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, atau Garuda
Indonesia dengan penerbangan GA-200 jurusan Jakarta—Yogyakarta yang


1

http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami, diakses pada 5 Januari 2015 pukul 22.30 WIB.

meledak ketika terperosok saat melakukan pendaratan di Bandara Adi Sutjipto
Yogyakarta.

C. Cerpen “Terbang” sebagai Cerminan dari Kecemasan Calon Penumpang
Pesawat Terbang pada Tahun 2007
Pada pembukaan cerpen, Utami telah menegaskan bahwa cerpen
“Terbang” menceritakan tentang kecemasan calon penumpang pesawat
terbang. Ari, tokoh aku, cemas jika ia dan suaminya, Jati, terbang bersama. Ia
cemas jika pesawat yang akan menerbangkan mereka mengalami kecelakaan
dan imbasnya, anak-anaknya bakal menjadi yatim piatu.
Aku yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu
tiket yang telah dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga
aku harus membayar besar untuk perubahan jadwal. Tapi, biar
saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah darinya
(Utami, 2009:51).

Kecemasan-kecemasan tokoh Ari disebabkan oleh beberapa peristiwa
kecelakaan pesawat terbang yang terjadi sebelumnya. Ari tetap bersikukuh
pada pendiriannya daripada mempercayai omongan Jati berikut.
Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling
besar adalah lalu lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut
motor lebih banyak daripada kecelakaan pesawat. Itu statistik
(Utami, 2009:52).
Tindak kecemasan-kecemasan Ari berlandaskan pada beberapa
kecelakaan pesawat terbang yang terjadi. Dalam hal ini, Utami, sebagai

pengarang cerita fiksi ini juga berlandaskan pada beberapa peristiwa
kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di dunia nyata.
Tahun 2007, beberapa kecelakaan pesawat terbang terjadi di
Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut. Di awal tahun, pesawat Adam
Air penerbangan 574 jurusan Surabaya—Manado, hilang kontak. Pesawat ini
seharusnya mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado pada Senin, 1
Januari pukul 14.55 Waktu Indonesia Tengah (WITA).2 Kotak hitam
ditemukan di kedalaman 2000 meter pada 28 Agustus 2007. Seluruh
penumpang dan awak yang berjumlah 102 hilang dan dianggap tewas. Pada
25 Maret 2008, penyebab kecelakaan seperti yang diumumkan oleh Komisi

Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah cuaca buruk, kerusakan
pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRS), dan kegagalan
kinerja pilot dalam menghadapi situasi darurat.3 Kecelakaan ini membuat
masyarakat pada waktu itu mulai mempertimbangkan jika bepergian memakai
pesawat terbang.
Lalu, dalam bulan yang sama, yaitu pada 17 Januari 2007, Mandala
Airlines Penerbangan 660 tujuan Jakarta—Makassar—Ambon terpaksa

2

http://news.liputan6.com/read/135095/pesawat-adam-air-hilang-kontak, diakses pada 5 Januari 2015
pukul 22.35 WIB.
3

https://adiewicaksono.wordpress.com/2008/10/16/daftar-kecelakaan-pesawat-terbang-di-indonesia/,
diakses pada 5 Januari 2015 pukul 22.37 WIB.

kembali ke Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng. Pesawat ini sempat
mengudara 30 menit namun kemudian diketahui mengalami kerusakan roda.4
Dua bulan setelahnya, yaitu pada 7 Maret 2007, Garuda Indonesia

Penerbangan GA-200 jurusan Jakarta—Yogyakarta meledak ketika terperosok
saat melakukan pendaratan di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta setelah lepas
landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Pesawat ini membawa 133 penumpang,
1 pilot, 1 copilot, dan 5 awak kabin. Jumlah korban tewas adalah 22 orang (21
penumpang dan 1 awak pesawat). Beberapa tokoh Indonesia juga ikut dalam
penerbangan ini antara lain, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien
Syamsuddin (luka ringan), kriminolog Adrianus Meliala (luka), dan mantan
rektor UGM Yogyakarta, Prof Dr. Koesnadi Hardjasoemantri (meninggal).
Pesawat tersebut juga membawa 19 warga negara asing antara lain dari
Jepang, Brunei Darussalam dan 8 orang warga Australia yang merupakan
rombongan jurnalis yang akan meliput kunjungan Menteri Luar Negeri
Australia Alexander Downer di Yogyakarta. Saksi mata mengatakan api
dipicu dari meledaknya ban depan saat mendarat sehingga menjalar ke badan
pesawat. Dilaporkan pula bahwa badan pesawat terbelah memanjang dari
bagian kabin hingga ekor pesawat, sementara salah satu sayap pesawat pecah
dan terbelah.5

4

Ibid.


5

Ibid.

Ketiga peristiwa mengenai kecelakaan pesawat terbang tersebut
menjadi pemicu terciptanya cerpen “Terbang” karya Utami. Hal tersebut
terbukti melalui kutipan cerpen berikut ini.
Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan
kakimu dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal.
Bantahku. Bagaimana kita mau mengabaikan fakta: Adam Air
terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut. Mandala
jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat.
Semua terjadi dalam satu tahun (Utami, 2009:52)!
Pada kutipan di atas, Utami menuliskan frasa satu tahun yang artinya
adalah kecelakaan pesawat Adam Air, Mandala, dan Garuda terjadi dalam
satu tahun. Ketiga kecelakaan yang dimaksud adalah ketiga peristiwa yang
telah diuraikan di atas, yaitu kecelakaan pesawat Adam Air nomor
penerbangan 574, kecelakaan penerbangan pesawat Mandala Airlines
Penerbangan 660, dan kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan

GA-200.

D. Fungsi Sosial Cerpen “Terbang”
Fungsi cerpen “Terbang” seperti halnya karya sastra yang lainnya,
sebagai pelipur lara atau penghibur. Dalam cerpen ini, Utami tidak hanya
menghadirkan suasana sosial masyarakat pascakecelakaan pesawat terbang,
tetapi juga menyelipkan hiburan, antara lain dengan diciptakannya tokoh baru,
yaitu penumpang pesawat yang duduk di samping Ari.

Utami memberikan humor-humor segar dalam bentuk narasi tokoh
Ari. Perjumpaannya dengan tokoh baru yang merupakan penumpang pesawat
terbang membuat cerita yang awalnya dramatis dan membuat tegang tiba-tiba
lucu dan agak romantis. Lalu, menuju ending, suasana cerita menjadi tegang.
Namun, pada akhirnya pembaca akan bernapas lega karena kedua tokoh
tersebut selamat. Pada penyelesaian, pembaca disuruh berspekulasi atau
menginterpretasikan

sendiri

kelanjutan


ceritanya,

apakah

Ari

bakal

merindukan penumpang tersebut atau tidak.
Melalui cerpen ini, Utami mencoba menyuarakan perasaannya jika
diposisikan sebagai keluarga korban atau calon penumpang yang dihantui rasa
cemas akibat berita-berita tentang kecelakaan pesawat terbang. Melalui cerpen
ini, Utami berhasil menyuarakan kondisi sosial masyarakat yang dilanda rasa
cemas sebagai calon penumpang pesawat terbang, yang diwakilkan melalui
tokoh Ari.
Cerpen tersebut juga menyuarakan bagaimana masyarakat harus
mempertimabngkan keselamatan bagi diri dan keluarganya. Melaui cerpen ini
juga, Utami mencoba memusnahkan kecemasan-kecemasan terrsebut lewat
pemikiran Ari, bahwa maut akan tiba jika sudah saatnya tiba. Bukan berarti
jika naik pesawat terbang lantas harus berserah diri untuk mati.
Karya sastra yang bersifat abadi dan tak lekang oleh waktu juga
dibuktikan melalui cerpen ini. Walaupun cerpen ini terbit beberapa tahun yang
lalu, tetapi jika dibaca pada saat ini, terlebih baru-baru ini ada berita

kecelakaan pesawat terbang, membuat cerpen ini tidak akan basi, bahkan jika
dibaca bertahun-tahun kemudian pun cerpen ini masih layak dinikmati.

E. Penutup
Cerpen “Terbang” karya Ayu Utami adalah cerminan masyarakat
korban kecelakaan pesawat terbang, calon penumpang pesawat terbang, dan
bahkan pembaca berita kecelakaan pesawat terbang. Mereka diwakilkan
melalui tokoh Ari. Cerpen tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa
kecelakaan pesawat terbang yang terjadi sebelum penciptaan karya tersebut,
yaitu kecelakaan-kecelakaan pesawat terbang sepanjang tahun 2007,
khususnya tiga peristiwa kecelakaan, yaitu kecelakaan pesawat Adam Air
nomor penerbangan 574, kecelakaan penerbangan pesawat Mandala Airlines
Penerbangan 660, dan kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan
GA-200.
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan hubungan timbal balik
antara karya sastra, pengarang, dan masyarakat, yaitu Utami sebagai anggota
masyarakat merasakan kondisi sosial itu. Kondisi sosial yang demikian itu
menjadi inspirasi bagi Utami yang juga merupakan pengarang. Hasil tulisan
tersebut akan sampai ke pembaca yang untuk kemudian akan memberi efek
bagi kondisi sosialnya.
“Terbang” adalah cerpen yang berhasil merefleksikan kondisi sosial
masyarakat pascakecelakaan pesawat terbang pada tahun 2007. Cerpen

tersebut adalah salah satu cerpen terbaik yang pernah dihasilkan oleh Utami.
Tak salah jika cerpen tersebut dimua di harian Kompas dan terpilih sebagai
salah satu di antara lima belas cerpen yang tergabung dalam antologi cerpen
Smokol: Cerpen Kompas pilihan 2008.

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Utami, Ayu. 2009. “Terbang” dalam Pambudy, Ninuk Mardiana (peny.). 2009.
Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

DAFTAR LAMAN
http://id.wikipedia.org/wiki/Ayu_Utami, diakses pada 5 Januari 2015 pukul 22.30
WIB.
https://adiewicaksono.wordpress.com/2008/10/16/daftar-kecelakaan-pesawatterbang-di-indonesia/, diakses pada 5 Januari 2015 pukul 22.35 WIB.

TERBANG
Cerpen Ayu Utami (Kompas, 20 April 2008)

Untuk Bona dan Weni
AKU yang ngotot agar kami terbang terpisah. Kubatalkan satu tiket yang telah
dipesan suamiku. Tiket murah pula, sehingga aku harus membayar besar untuk
perubahan jadwal. Tapi, biar saja. Aku merasa lebih aman begini. Terbang terpisah
darinya.
Kamu terlalu dramatis, Ari. Katanya.
………Tidak. Aku ini sangat realistis, Jati. Bantahku.
Sejak dua anak kami sudah bisa tidak ikut dalam perjalanan, sejak kami telah
bisa meninggalkan mereka di rumah, aku memutuskan untuk tak akan terbang
bersama suami dalam satu pesawat lagi. Atau terbang pada waktu bersamaan. Salah
satu di antara kami harus terbang lebih dulu. Setelah pesawatnya dipastikan mendarat
dengan selamat, barulah yang lain boleh berangkat. Ini keputusanku yang harus
dilaksanakan. Jika suamiku menelikung tidak menurut—seperti kemarin ia mengurus
tiket kami—ia akan tahu rasa. Aku membatalkan tiketku dan memesan sendiri.
Statistik mengatakan, moda transportasi pembunuh paling besar adalah lalu
lintas darat. Begitu katanya. Kecelakaan maut motor lebih banyak daripada
kecelakaan pesawat. Itu statistik.
Statistik juga bilang, kalau kepalamu ditaruh di kompor dan kakimu
dibekukan di freezer, suhu tubuh di perutmu normal. Bantahku. Bagaimana kita mau
mengabaikan fakta: Adam Air terbang tanpa alat navigasi. Adam Air jeblug di laut.
Mandala jatuh waktu lepas landas. Garuda meledak ketika mendarat. Semua terjadi
dalam satu tahun!
Lagian, meski persentase lebih kecil pun, kalau kita kena lotre buruk, meledak
ya meledak, nyemplung ke laut ya nyemplung ke laut. Itu namanya sial, kalau bukan

takdir. Karena itulah, daripada dua-dua dari kita kena takdir, lebih baik salah satu
saja. Paling tidak, dengan begitu anak kita tidak jadi yatim piatu.
Tak ada lagi cerita terbang bersama atau bersamaan.
Titik.
Aku mengunci gesper sabuk pengaman. Mesin pesawat propeler sudah
menyala. Derunya seperti makhluk hidup terkena bronkitis, penyakit yang sudah lama
tidak disebut-sebut di negeri ini. Kini orang lebih mengenal infeksi saluran
pernapasan atas alias ISPA. Kira-kira begitu aku merasa derau mesin baling-baling
ini. Setiap saat bisa batuk darah. Lalu kolaps. Aku memandang ke bandara yang kecil,
yang lebih pantas disebut rumah besar ketimbang pelabuhan. Suamiku tampak di
sana, berdiri kacak pinggang, menunggu saat melambai hingga pesawat lenyap di
udara, di atas gunung-gunung yang berkeliling.
Aku menelan ludah. Terbang adalah menyetorkan nyawa kepada perusahaan
angkutan umum. Kita bisa mengambilnya kembali. Bisa juga tidak. Dan tak ada
rente. Kalau untung, hanya ada tiba dengan selamat.
Aku sesungguhnya sangat takut. Penyiksaan akan berlangsung tujuh jam,
termasuk transit dan ganti pesawat. Tapi selalu ada cara untuk survive. Kusetorkan
diriku yang cemas, yang bertanggung jawab, yang berkeringat dingin membayangkan
anak-anakku kehilangan ibu yang menghangatkan mereka dalam sayap-sayapku,
yang menitikkan air mata atas jerih payah suami bagi kami. Kusetorkan diriku yang
itu bersama jiwaku ke kotak hitam di kokpit. Jati, kalau ada apa-apa denganku, aku
yang kamu miliki ada di kotak hitam itu, ya.
Yang duduk di kursi sekarang adalah aku yang lain. Aku yang kuat untuk
menghadapi kengerian. Yaitu, aku yang tak bertanggung jawab. Aku yang tak
memiliki suami ataupun anak-anak. Aku yang lajang petualang.
Dan lihatlah. Seorang lelaki tergesa-tergesa melewati pramugari yang
cemberut karena ia membuat penerbangan telat jadwal. Ia meletakkan bagasi ke
dalam kabin di atas kepalaku. Ia mengangguk kepadaku sebelum duduk di kursi
sebelahku. Terhidu bau tubuhnya. Bau hangat manusia. Aku membalas ringan dia,

lalu mengalihkan pandangan ke jendela. Pesawat mulai bergerak. Jati melambai di
bawah sana. Aku membalas. Selamat tinggal!
Kira-kira dia adalah seorang peneliti. Seorang peneliti lapangan. Seorang
peneliti yang biasa di alam bebas. Di hutan. Bukan di lab. Di goa. Di padang rumput
berpasir. Ia mengenakan kaca mata. Perawakannya keras. Otot kedang tangannya
tegas. Urat- urat pada lengannya mencuat. Itulah yang dapat terlihat jika aku tak mau
jelas-jelas menoleh kepadanya. Pada ransel yang diletakkan di bawah kursi depan,
tersangkut botol minum aluminium SIGG. Dengan stiker “kurangi plastik”. Ia
mengenakan sepatu gunung Eiger.
Ataukah dia orang film. Film dokumenter lingkungan. Ah, aku tak bisa
melihat lipatan perutnya, meskipun ia mengenakan T-shirt kelabu yang dimasukkan
di balik kemeja korduroi hitam yang terbuka. Ia pasti memiliki six-pac yang lumayan.
Dari kulit jemarinya, kira-kira ia empat puluhan.
Sebetulnya, sudah lama aku tak ingin ngobrol dengan orang seperjalanan. Siasia. Lebih baik baca buku daripada menghabiskan waktu dengan makhluk yang tak
memberi kita pengetahuan dan tak akan kita ingat lagi. Setidaknya, buku menambah
isi kepala. Manusia sering-sering cuma menghabiskan urat kepala.
Kukeluarkan buku. Kuletakkan di pangkuan, sebab aku sulit membaca ketika
lepas landas dan lampu tanda kenakan sabuk belum mati. Java Man. Garniss Curtis,
Carl Swisher & Roger Lewin. Aku ingin memejamkan mata dan berdoa, tapi kulihat
lelaki di sebelahku bergerak. Gerakan mencontek judul buku, kutahu dengan sudut
mataku. Ah, tebakanku takkan jauh. Ia orang lapangan, bergerak di sekitar soal
lingkungan.
Aku menyadari pesawat ini tak punya lampu tanda kenakan sabuk pengaman.
Sialan. Kuno amat. Setelah burung bronkitis ini terbang mendatar, aku menarik napas
lega yang pertama, dan mulai membaca lagi. Kutangkap lagi dengan sudut mataku, ia
bereaksi terhadap bacaanku. Ah! Kupergoki saja dia. Sambil bisa kuperhatikan
sekalian, seperti apa mukanya.

Ia memiliki wajah lelaki baik. Lelaki baik adalah lelaki yang tidak tengil atau
sesumbar, tidak sok tahu atau menggurui. Meski tidak berarti lelaki baik-baik. Lelaki
baik-baik, yaitu yang setia kepada keluarga, bisa saja sangat menyebalkan dan suka
membual demi menegakkan citra kepala keluarga. Lelaki baik adalah lelaki yang
menyenangkan untuk diajak ngobrol bersama, meski belum tentu baik untuk hidup
bersama.
Nah! Ia tertangkap basah sedang mencontek!
Aku tersenyum padanya. Toh tadi juga kami sudah saling mengangguk.
“Sudah pernah baca?” tanyaku.
“Boleh lihat?”
Dan tentu saja kami jadi bercakap-cakap. Ia memang lelaki baik. Kebanyakan
lelaki punya beban untuk tampak lebih tahu dari perempuan. Tapi dia tidak. Dia
banyak bertanya tentang duniaku. (Kebanyakan lelaki lebih suka menjawab tentang
diri sendiri. Jika kita tidak bertanya, mereka akan membikin pertanyaannya sendiri
dan menjawab sendiri.) Dari cara bertanyanya, ia mirip wartawan dari koran atau
majalah yang baik pula. Jadi, apa kerjanya?
“Macam-macam sudah saya coba,” katanya. “Saya pernah kerja di
pertambangan. Saya pernah kerja di kapal.”
“Di kapal?”
“Di kapal, jadi juru masak, jadi fotografer….”
“Jadi juru masak?”
“Iya. Jadi juru masak di kapal. Jadi fotografer di kapal….”
Tak bisa tidak aku menyimak dia dari rambut ke sepatu, mencari jejak-jejak
pekerjaan itu. Ia memiliki gestur yang rendah hati. Barangkali ia lebih pekerja badan
ketimbang peneliti.
“Jadi penjahit juga pernah. Beternak ayam juga pernah. Mencoba kebun
kelapa sawit kecil-kecilan pernah juga….”
Kini aku mencari-cari tanda jika ia berbohong. Atau sedikitnya bercanda. Tapi
wajahnya tulus seperti hewan.

“Jadi, kenapa ayam-ayam negeri itu bisa bertelur tanpa dijantani? Ayam
kampung tidak begitu, kan?” tanyaku, juga tulus, tapi juga mengetes.
Ia kelihatan senang dengan kata itu. Dijantani. “Sesungguhnya, buat saya itu
juga misterius.”
Ia tidak memberi aku jawaban yang memuaskan. Tapi ia menceritakan rincian
pengalaman yang membuat aku percaya bahwa ia tidak berbohong. Ia tidak mengakungaku peternak ayam, berkebun kelapa sawit, juru masak, fotografer. Jadi, apa yang
dikerjakannya di kepulauan Indonesia timur ini? Memotret perburuan ikan paus?
Tebakanku tidak terlalu meleset.
“Memotret. Tapi bukan ikan paus. Biar orang lain saja yang mengerjakan itu.
Saya… tidaklah saya motret binatang dibunuh.”
Oh, berhati haluskan dia. “Jadi motret apa?”
“Saya,” ia berdehem, “saya mencari sebanyak-banyaknya orang pendek.
Orang katai. Saya potret mereka. Pernah dengar tentang Manusia Liang Bua?”
“Untuk siapa? Untuk proyek sendiri?”
“Untuk satu majalah luar negeri.”
Lalu ia bercerita betapa sarjana asing senang mencari jejak manusia purba di
Indonesia. Persis yang saya baca di buku ini, sahutku. Dan kami tenggelam sejenak
dalam halaman-halaman dan referensi yang sempat diingat. Tangan kami tanpa
sengaja bersentuhan ketika menelusuri spekulasi yang terdedah, lembar demi lembar.
Dan pada lembar-lembar berikutnya aku tak tahu apakah persentuhan itu tetap tak
sengaja.
Ia bercerita tentang dua spesies manusia pada sebuah zaman. Yang lebih
purba dan yang lebih baru. Pada sebuah titik, yang lebih purba punah. Dialah manusia
neanderthal, dengan ciri-ciri bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih
menonjol. Tapi, sebelum mereka punah, dua spesies itu ada bercampur pula. Maka,
keturunan manusia yang lebih purba masih kadang-kadang ditemukan di kehidupan
sekarang. Ciri-cirinya, bertulang kepala lebih ceper dan tulang alis lebih menonjol.
“Seperti saya, barangkali.” Ia nyengir lucu.

Aku memerhatikan dia. Ah, itukah yang membuat wajahnya tampak tulus
seperti hewan?
Penerbangan berganti di Surabaya. Mendung menggantung.
“Sekarang semua fotografer pakai digital, ya?”
“Kalau dari segi kualitas, film tetap lebih sensitif. Tapi, dari segi kepraktisan,
digital memang tak terkalahkan.”
“Saya tidak suka teknologi. Teknologi membuat yang tua tidak dihargai.
Semua barang elektronik cepat jadi tua dan tak berguna. Tidak adil.”
Kenapa kukeluhkan ini? Adakah diriku yang cemas dan menyadari bahwa aku
tak terlalu muda lagi untuk bergenit-genit dengan lelaki?
“Kenapa,” kataku agak grogi, mencari tema baru. “kenapa kamera digital
semakin tahun semakin biru pucat gambarnya?” Tapi ini bukan tema baru. Ini tema
yang sama. Tentang kecemasan menjadi tua.
“Itu jeleknya kamera digital. Setiap kamera digital memang hanya untuk
memotret sejumlah kali tertentu. Setelah sekian kali, kemampuannya turun sama
sekali. Biasanya, sekitar seratus ribu kali. Sebetulnya, itu tertulis di buku keterangan.
Tapi tidak ada yang mau baca.”
“Jadi, setiap kamera digital lahir dengan kapasitas sekitar seratus ribu kali
memotret?”
“Iya. Tertulis. Cuma orang enggak mau baca.”
“Ada yang bilang, setiap lelaki juga begitu. Lahir dengan sejumlah tertentu
kapasitas orgasme.”
Ia diam sebentar. Lalu tawanya meledak.
“Kalau jumlah itu sudah terlewati, berarti jatahnya habis,” kataku lagi.
Ia tertawa lagi. Tapi, sesungguhnya aku tidak melucu. Aku sendiri tak tahu
apa motifku. Apakah aku ingin tahu adakah teori itu benar. Ataukah, aku
sesungguhnya sudah merasa intim dengan lelaki berbau manusia ini. Aku tak tahu
apa yang kukatakan.

Kutemukan ia menatapku lebih lama. Dan lebih dalam. Kubalas ia sebentar.
Setelah itu aku merasa wajahku hangat. Kubu- ang pandangan ke jendela. Aku lebih
muda dari dia. Tapi tetap aku tak muda lagi. Dan aku beranak dua. Meskipun diriku
yang bertanggung jawab telah kutitipkan bersama nyawaku di kotak hitam.
Aku ingin bertanya padanya. Jatahmu sudah diboroskan belum?
Pesawat melonjak. Bagai ada lubang besar di jalanannya. Lampu tanda
kenakan sabuk pengaman menyala. Aku merasa berayun ke kiri ke kanan. Seperti
dalam bis malam yang mencicit di jalan licin berbatu. Aku mencoba tidak
mencengkeram dahan kursi. Tapi keringat dinginku merembes sedikit di dahi.
Tiba-tiba ia menangkupkan tangannya pada tanganku di tangkai kursi. Seperti
seorang suami. Kalau ada apa-apa, kita mengalaminya bersama-sama.
Aku memejamkan mata. Aku tak tahu, apakah dalam sisa perjalanan aku
bersandar di bahunya.
Tapi, pesawat mendarat juga di Soekarno-Hatta. Ia membantuku mengemasi
bagasi.
Aku telah di tanah lagi. Aku harus pergi ke kokpit mengambil kembali nyawa
dan diriku dari kotak hitam. Nyawa dan diriku yang lebih peka dan penakut
ketimbang yang duduk tadi. Ingin rasanya aku meminta lelaki berwajah baik itu
menemaniku terus sampai sepotong jiwaku bergabung kembali. Sepotong yang
dibawa Jati….
13 Maret 2008

Dokumen yang terkait

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Realisasi Penerimaan Retribusi Terminal Penumpang di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2010-2014 (Factors That Influence Realization Acceptance Retribution of Passengger Terminal In Banyuwangi 2010-2014)

0 8 5

Hubungan Antara Kecemasan dengan Keluhan Nyeri Ulu Hati pada Pasien Rawat Jalan di Poli Penyakit Dalam RSD. dr. Soebandi

0 16 1

Hubungan Intensitas Nyeri dengan Tingkat Kecemasan pada Pasien Artritis Reumatoid di RSD dr. Soebandi Kabupaten Jember (The Relationship between Pain Intensity and Level of Anxiety in Rheumatoid Arthritis Patients at dr. Soebandi Hospital Jember)

2 45 5

Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Frekuensi Kekambuhan Keluhan Sesak Napas Pada Pasien Asma Bronkial Di SMF Paru RSD DR. Soebandi Jember (The Relationship of Anxiety Levels with Frequency of Dispneu Exacerbation in Asthma Bronchial's Patients at SMF Pulmo

1 24 9

Hubungan Tingkat Kecemasan pada Pasien Multigravida dalam Persalinan Normal dengan Lama Persalinan di RSD dr.Soebandi Kabupaten Jember (The Relationship between Anxiety Level in Multigravida on Facing Normal Delivery and Length of Delivery at dr.Soebandi

2 46 4

Kecerdasan dan Kecemasan pada Siswa Berhubungan Kuat Menjelang Ujian Akhir Semester (A Strong Relation Between Intelligence and Anxiety of Students Towards Final Semester Exam)

0 24 6

Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Mahasiswa Kedokteran Laki-Laki dan Perempuan Angkatan 2011 FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam Menghadapi Ujian OSCE. 2014.

0 12 63

Tingkat Pelayanan Terminal Makale, Kabupaten Tana Toraja Berdasarkan Persepsi dan Preferensi Penumpang Angkutan Umum, Sopir Angkutan Umum, dan Pengelola Terminal

8 51 199

Perancangan Sistem Informasi Pemesanan Tiket Pesawat Berbasis web pada PT. Merdeka Wisata Putra

2 5 1

Penentuan Koefisien Daya Angkat Pesawat Terbang Layang Terhadap Gerakan Angin Vertikal

0 0 8