Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial

   e-ISSN 2301-7074

  ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANGTUA Sih Rineksa W. N. dan Achmad Chusairi, M.Psi.* Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga ABSTRAK

  Tingginya angka perceraian di Jawa Timur dan berbagai permasalahan yang dialami

remaja dari keluarga yang bercerai menjadi latar belakang penelitian ini dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri dengan

resiliensi. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan responden 71 remaja (32

laki-laki, 39 perempuan) berusia 13-22 tahun yang memiliki pengalaman orangtua yang

bercerai. Alat pengumpulan data berupa Skala Konsep Diri berjumlah 36 aitem, dan

Reciliency Attitudes and Skill Profile (RASP). Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan

yang signifikan antara konsep diri dengan resiliensi (r = 0.333, p = 0.005). Dimensi harapan

dan penilaian diri memiliki hubungan dengan resiliensi sedangkan pengetahuan tidak

memiliki hubungandengan resiliensi. Penelitian ini juga mendeskripsikan perbedaan skor

resiliensi berdasarkan variasi usia perkembangan, status pendidikan atau pekerjaan, dan

rentang waktu setelah perceraian orangtua.

  Kata kunci: konsep-diri, perceraian orangtua, remaja, resiliensi ABSTRACT

  The high number of divorce in East Java and many problems experienced by the

adolescents of parental divorce were the background of this research. This study aims to

determine whether there are correlations between self-concept and resilience among

adolescents who experienced parental divorce. This quantitative research was conducted on

71 adolescents (32 boys and 39 girls) of age 13-22 years whose experience of parental divorce.

The data collection instruments were Self-Concept Scale composed of 23 items, and the

Resiliency Attitudes and Skill Profile (RASP). The result shows the correlation between self-

concept and resilience (p = 0.005, r = 0.333). Hope and evaluation of self have significant

positive relationship with resilience while knowledge did not. This study also describe the

difference of resilience scores by the variation of developmental age, academic or work status,

and interval time after parental divorce.

  Key words: adolescent, parental divorce, resilience, self-concept

  • Alamat korespondensi: Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kampus B Universitas

    Airlangga Jalan Airlangga 4-6 Surabaya 60286. Surel:, sehingga penggunaan, distribusi, reproduksi dalam media apapun atas artikel ini tidak dibatasi, selama sumber aslinya disitir dengan baik.

  

P E N D A H U L U A N

Angka perceraian di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat pada tahun-

tahun terakhir (Sasongko, 2014). Menurut data dari artikel Angka Perceraian di Jawa Timur

  

Capai 100 ribu Kasus, dapat disimpulkan bahwa angka perceraian di Jawa Timur cukup

tinggi dengan total 81.672 pada tahun 2014 (Arifin, 2015). Sama halnya dengan perpisahan

dan perceraian secara hukum, perpisahan non-legal juga memiliki dampak-dampak

negative pada berbagai konteks, termasuk pada anak yang lahir dalam pernikahan tersebut

(Sember, 1968).

  Peristiwa perceraian orangtua membawa dampak sepanjang rentang kehidupan

seorang anak (Amato, 1994; Fagan & Churchill, 2012; Whitton, 2008), meski demikian,

dinamika psikologis pada masa-masa kritis perkembangan manusia yaitu masa remaja,

tidak dapat diabaikan (Kelly & Emery, 2003; Amato, 1994). Elizabeth B. Hurlock (1980)

menjelaskan masa remaja sebagai usia dimana baik laki-laki maupun perempuan memiliki

masalah yang sulit diatasi, karena selama masa kanak-kanak, permasalahan yang mereka

hadapi seringkali diselesaikan oleh orangtua dan guru, sehingga kebanyakan remaja tidak

berpengalaman mengatasi permasalahan. Karatas dan Cakar (2011) juga menyebutkan

bahwa masa remaja pada umumnya ditandai dengan periode depresi, kemarahan, konflik,

dan keprihatinan yang intens dan direspon secara ekstrim. Salah satu faktor depresi pada

remaja bersumber dari keluarga. Faktor-faktor tersebut meliputi: orangtua yang menderita

depresi, orangtua yang tidak terikat secara emosi, orangtua yang mengalami konflik

perkawinan, dan orangtua yang mengalami masalah finansial (Santrock, 2011). Dengan

kata lain, kondisi keluarga yang diwarnai konflik dan tidak bahagia menyebabkan remaja

memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami depresi.

  Dampak perceraian orangtua bagi anak dan remaja bervariasi mulai dari yang

ringan hingga berat, tidak tampak hingga tampak, dan dalam jangka waktu singkat hingga

jangka panjang (Amato, 1994; Whitton, 2008; Fagan & Churchill, 2012), namun beberapa

penelitian menunjukkan bahwa beberapa orang berhasil melewati masa-masa sulit pasca

perceraian orangtua, bangkit dari keterpurukan, bahkan beradaptasi dengan perubahan

yang terjadi (Kelly & Emery, 2003; Chen & George; Werner, 2005). Menurut Chen dan

George (2005), yang menjadi faktor kunci dalam kemampuan adaptasi anak adalah

resiliensi. Wolin dan Wolin (1993) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk

bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan

kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih.

Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi social dan

akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat.

  Resiliensi bukanlah sifat yang dibawa individu sejak lahir melainkan hasil interaksi

dari berbagai faktor yang oleh beberapa ahli digolongkan sebagai faktor protektif dan faktor

risiko (Rutter, 2006; Luthar dkk., 2000; Werner, 2005). Faktor protektif adalah pengaruh

yang memodifikasi, memperbaiki, atau merubah respon seseorang terhadap bahaya

lingkungan atau situasi yang tidak menguntungkan (Rutter, Resilience in the Face of

Adversity, 1985). Faktor protektif resiliensi terdiri dari faktor protektif internal dan

eksternal. Faktor internal yang ada dalam diri subjek adalah, subjek memiliki perasaan

dicintai dan mampu mencintai orang lain, subjek mampu berempati, dan memiliki

keyakinan dan harapan yang besar akan kehidupannya di masa yang akan datang (Swastika,

2009). Faktor protektif yang disebutkan oleh Zolkoski dan Bullock (2012) antara lain

karakteristik individu yang meliputi regulasi diri dan konsep diri, kondisi keluarga, dan

dukungan masyarakat. Sejalan dengan hal itu, Richmond dkk. (dalam Wagnaild & Young,

1993) menyatakan bahwa resiliensi dapat dipengaruhi kedisiplinan diri, rasa ingin tahu,

harga diri, dan konsep diri. Beberapa penelitian mendukung bahwa pandangan remaja

tentang diri dan identitasnya merupakan salah satu faktor yang memiliki peran dalam

  

pencapaian resiliensi (Zolkoski & Bullock, 2012; Beardslee & Podorefsky, 1988; Werner,

2005).

  Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut (Beardslee & Podorefsky, 1988; Chen &

George, Werner, 2005; Crawford, Rutter, 2006; Zolkoski & Bullock, 2012) dapat diketahui

bahwa pencapaian resiliensi didukung oleh proses pembentukan konsep diri. Menurut

Calhoun dan Acocella (1990), konsep diri adalah gambaran mental individu tentang dirinya

sendiri, segala yang terlint as di pikiran tentang “saya”, yang terangkum dalam pengetahuan,

pengharapan, dan penilaian tentang diri. Konsep diri terbentuk dari interaksi antara

manusia dengan lingkungannya yaitu orangtua, teman sebaya, dan masyarakat sebagai

sumber informasi (Calhoun & Acocella, 1990).

  Menurut Calhoun dan Accocella (1990), individu yang memiliki konsep diri positif

akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar

untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa

hidup adalah sebuah penemuan. Individu yang memiliki konsep diri positif cenderung

adaptif karena mampu terbuka terhadap pengalaman dan realitas yang baik dan yang buruk

bukan sebagai ancaman, dan kemudian ditanggapi secara fleksibel. Respon positif terhadap

situasi baru, kemampuan adaptasi terhadap stres, dan pandangan positif tentang kehidupan

inilah yang menjadi faktor protektif resiliensi pada lingkup internal (Garmezy, 1985;

Masten, 1990).

  Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana pencapaian resiliensi

pada remaja yang mengalami perceraian orangtua terkait dengan proses pembentukan

konsep diri pada masa remaja. Argumentasi penelitian ini bahwa pembentukan konsep diri

ke arah positif dapat mendukung pencapaian resiliensi, sedangkan pembentukan konsep

diri yang negatif justru menghambat kemampuan resiliensi. Berdasarkan uraian tersebut,

penulis ingin mengetahui bagaimana hubungan antara konsep diri yang terdiri dari tiga

dimensi yaitu pengetahuan, harapan, dan penilaian; dengan tingkat resiliensi pada remaja

yang mengalami perceraian orangtua.

  

M E T O D E

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsep diri. Yang dimaksud dengan

konsep diri dalam penelitian ini adalah pandangan mengenai diri sendiri, mencakup

keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian terhadap diri sendiri yang diperoleh

dari pengalaman dan interaksi dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah resiliensi. Resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan

untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan,

menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan

yang lebih. Individu yang resilien dapat melambung dan mengembangkan kompetensi

social dan akademik, sekalipun dalam tekanan yang berat (Wolin & Wolin, 1993).

  Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 13-

22 tahun yang memiliki orangtua kandung yang bercerai, dan berdomisili di Malang.

Pemilihan populasi penelitian di Kota Malang karena data-data yang menunjukkan bahwa

Kota Malang memiliki angka perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Satrio,

2016), sedangkan angka perceraian se-Malang Raya (Kota dan Kabupaten Malang)

menempati peringkat tertinggi di Jawa Timur dan peringkat kedua di Indonesia, setelah

Inderamayu (Anwar, 2016).

  Sampel diperoleh dengan cara melakukan penyaringan terhadap data diri dan data

keluarga yang dilampirkan pada saat pengisian kuesioner. Data keluarga mencakup

pertanyaan mengenai status pernikahan orangtua, jenis perceraian orangtua (legal atau

non-legal), tahun perceraian orangtua, ada tidaknya konflik dalam keluarga, dan ada

tidaknya orangtua yang meninggal dunia. Data tersebut yang digunakan untuk menentukan

  

responden mana yang memenuhi kriteria penelitian, sehingga data kuesionernya dapat

dianalisis. Data dari responden yang tidak mengisikan data perceraian orangtua selanjutnya

dieliminasi (tidak diteliti). Dari hasil pengumpulan data berupa kuesioner cetak dan

kuesioner online menggunakan aplikasi Google Form, diperoleh sebanyak 71 responden (32

laki-laki dan 39 perempuan) yang datanya memenuhi kriteria untuk dianalisis.

  Penelitian ini menggunakan dua skala yaitu skala konsep diri dan skala resiliensi.

Kedua skala tersebut dibuat dengan model Likert yang diukur melalui kontinum 1 sampai

  

4. Pada masing-masing skala terdapat 4 alternatif jawaban yaitu SS (Sangat Setuju), S

(Setuju), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skala konsep diri yang digunakan

disusun oleh peneliti berdasarkan tiga dimensi konsep diri yang dijelaskan oleh Calhoun

dan Acoccella (1993) yaitu dimensi pengetahuan, harapan, dan penilaian.Skala konsep diri

terdiri dari 23 aitem final dengan koefisien reliabilitas 0.833 dan telah memenuhi kriteria

validitas masing-masing aitem dengan korelasi item dan total skor di atas 0.25.

  Pengukuran resiliensi menggunakan skalaReciliency Attitudes and Skill Profile

(RASP) yang diterjemahkan dari Therapeutic Recreation Journal. Jurnal tersebut ditulis oleh

Karen P. Hurtes dan Lawrence R. Allen (2001) dengan judul Measuring Resiliency in Youth:

The Resiliency Attitudes and Skill Profile. Skala RASP disusun berdasarkan hasil analisis

kualitatif yang dilakukan oleh Wolin dan Wolin (1993), yang mengidentifikasi karakteristik-

karakteristik berikut sebagai individu yang resilien: insight, independence, creativity, humor,

initiative, relationships, dan value orientation (morality). Aitem final berjumlah 31 aitem

dengan koefisien reliabilitas 0.838. Teknik analisis data yang digunakan disesuaikan

dengan tujuan untuk melihat hubungan antara konsep diri dengan resiliensi, menggunakan

analisis korelasi product moment dengan teknik Pearson Correlation, yang dalam proses

penghitungannya dibantu dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows.

  

H A S I L P E N E L I T I A N

Data menunjukkan rerata skor konsep diri dan resiliensi dari 71 responden.

  Berdasarkan penghitungan norma alat ukur, sebanyak 5.6% responden (n = 4) memiliki skor konsep diri pada kategori Sangat Positif, 69% tergolong Positif (n = 49), dan 25.3% berada pada kategori Cukup (n = 18). Hasil ini menunjukkan bahwa dari seluruh responden tidak ada yang memiliki konsep diri negatif. Hal ini berarti responden memiliki pandangan yang jelas mengenai diri sendiri, memiliki keyakinan, pengetahuan, pengharapan, dan penilaian yang cenderung positif terhadap dirinya (Calhoun & Acocella, 1990). Pada pengukuran resiliensi, sebanyak 12.6% responden (n = 9) memperoleh skor Sangat Tinggi, 60.6% responden (n = 43) memperoleh skor Tinggi, dan 26.8% (n = 19) berada pada kategori Sedang. Hal ini berarti secara keseluruhan, responden dalam penelitian ini telah mampu dan cukup mampu untuk bangkit dari kemalangan, beradaptasi dengan baik dalam berbagai permasalahan, menahan kesulitan, dan memperbaiki diri sehingga memiliki kepandaian dan kekuatan yang lebih (Wolin & Wolin, 1993).

  Analisis deskriptif variabel resiliensi berdasarkan usia menunjukkan bahwa rata-rata skor resiliensi remaja awal dan remaja madya berada pada kategori Sedang, dan remaja akhir berada pada kategori Rendah. Rerata skor resiliensi remaja awal lebih tinggi daripada remaja madya, dapat disimpulkan bahwa skor resiliensi pada pengukuran ini menurun seiring bertambahnya usia subjek. Analisis Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Status menunjukkan bahwa ketujuh puluh satu subjek, baik yang duduk di bangku SMP, SMP, Kuliah, maupun bekerja, memiliki rerata skor yang berada pada kategori Sedang. Kelompok subjek SMP memiliki rerata skor resiliensi tertinggi sedangkan subjek yang bekerja memiliki rerata paling rendah. Analisis Deskriptif Variabel Resiliensi berdasarkan Rentang Waktu menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua antara 2 hingga 6 tahun sebelum dilakukannya survey memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada yang orangtuanya bercerai pada rentang usia 7 – 11 tahun. Sedangkan kelompok subjek yang mengalami perceraian orangtua pada waktu yang lebih lama yaitu 12

  • – 16 tahun, memiliki rerata skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi. Tabel 1. Hasil Uji Korelasi Variabel Konsep Diri dan Resiliensi

  TotalKonsepDiri TotalResiliensi Pearson 0,333

  Correlation Sig. (2-tailed) 0,005 N

  71 Hasil uji signifikansi pada table di atas adalah 0.005, artinya Sig. < 0.05 maka korelasi antara kedua variabel signifikan. Koefisien korelasi dari kedua variabel adalah 0,333. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan hubungan antar variabel adalah sedang. Arah hubungan antara variabel konsep diri dan resiliensi adalah positif, ditunjukkan dengan nilai positif pada koefisien korelasi. Hal ini berarti tiap-tiap kenaikan nilai variabel konsep diri selalu disertai kenaikan yang seimbang (proporsional) pada nilai-nilai variabel resiliensi (Hadi, 2004). Tabel 2. Hasil Uji Korelasi Dimensi Pengetahuan, Harapan, dan Penilaian dengan Resiliensi

  Correlations

  Pengetahuan Harapan Penilaian total_R

  total_R Pearson Correlation .033 .429 .259

  1 Sig. (2-tailed) .786 .000 .029 N

  71

  71

  71

  71 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

  • . Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

  Hasil uji korelasi antara dimensi pengetahuan dari konsep diri, dengan variabel resiliensi menunjukkan koefisien sebesar 0.033 dan signifikansi 0.786. Angka signifikansi lebih besar dari 0.05 (sig. > 0.05) berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara dimensi pengetahuan dan resiliensi. Dimensi harapan dan resiliensi berkorelasi dengan koefisien sebesar 0.429 dan signifikansi 0.000. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variable tersebut. Hasil uji korelasi antara dimensi penilaian dari konsep diri, dengan variabel resiliensi menunjukkan koefisien sebesar 0.259 dan signifikansi 0.029. Angka signifikansi kurang dari 0.05 (sig. 0.029 < 0.05) berarti ada hubungan yang signifikan antara dimensi penilaian dan resiliensi.

  

D I S K U S I

  Penelitian ini menemukan adanya positif dan signifikan antara konsep diri dan resiliensi, hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu (Beardslee & Podorefsky, 1988; Crawford, 2006; Masten, 1990; Zolkoski & Bullock, 2012). Masten dkk. (2011) menyebutkan bahwa kemampuan untuk menerima diri sendiri, persepsi positif terhadap diri sendiri, dan rasa berharga merupakan faktor protektif dalam pembentukan resiliensi individu. Sybil Wolin dan Steven Wolin (1993) secara khusus memasukkan konsep diri sebagai salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak-anak (atau orang dewasa) yang berisiko (disebut survivor). Menurutnya, konsep diri adalah hal penting yang harus dibangun saat berhadapan dengan survivor. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya sesuai realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah penemuan. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri yang positif merupakan kualitas seseorang yang berkaitan dengan kemampuan resiliensi, yaitu untuk mengatasi kesulitan- kesulitan hidupnya serta menghadapi secara kompeten kondisi yang tidak menguntungkan (Werner, 2005).

  Koefisien korelasi antara variabel konsep diri dan resiliensi memiliki tingkat kekuatan Sedang (Pallant, 2007). Hal ini berkaitan dengan adanya faktor-faktor lain selain konsep diri yang mungkin mempengaruhi kemampuan resiliensi remaja. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa terapat perbedaan rerata skor resiliensi berdasarkan usia, status, dan tahun perceraian. Tingkatan usia menunjukkan bahwa remaja akhir memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada remaja awal dan tengah, sedangkan remaja awal memiliki rerata paling tinggi. Hal serupa juga terdapat pada analisis status dimana mahasiswa dan remaja yang telah bekerja memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah dibandingkan dengan remaja yang masih berstatus pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa resiliensi yang tinggi dapat dipengaruhi oleh tahap perkembangan remaja awal dan lingkungan pendidikan.

  Perbedaan rerata skor resiliensi juga bervariasi menurut rentang waktu sejak perceraian terjadi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa remaja yang mengalami perceraian orangtua antara 2 hingga 6 tahun sebelum dilakukannya survei memiliki rerata skor resiliensi lebih rendah daripada yang orangtuanya bercerai pada rentang usia 7

  • – 11 tahun, meskipun sama-sama berada pada kategori Sedang. Sedangkan kelompok subjek yang mengalami perceraian orangtua pada waktu yang lebih lama yaitu 12
  • – 16 tahun, memiliki rerata skor resiliensi yang berada pada kategori tinggi. Dapat disimpulkan bahwa semakin lama rentang waktu antara peristiwa perceraian orangtua, semakin besark kemampuan anak untuk mengatasi kesulitan, beradaptasi, dan mencapai resiliensi. Hal ini berarti, resiliensi dapat dicapai melalui berbagai proses dari waktu ke waktu (Amato, 1999; Rutter, 1985). Wallerstein dan Kelly (dalam Amato, 1994) menemukan bahwa anak usia pra-sekolah yang mengalami perceraian orangtua mengalamai masa-masa paling
tertekan pada masa-masa awal perpisahan orangtua terjadi, tetapi 10 tahun kemudian mereka menunjukkan adapatasi yang lebih baik. Menurut Wallerstein (1989), meskipun banyak penelitian yang menyatakan bahwa dampak perceraian sangat merugikan bagi anak-anak, tetapi sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka setelah 2-3 tahun.

  Hasil analisis korelasi masing-masing dimensi konsep diri dengan resiliensi menunjukkan adanya hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi, serta dimensi penilaian dengan resiliensi, sedangkan dimensi pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan resiliensi. Dimensi pengetahuan meliputi apa yang kita ketahui tentang diri kita sendiri, informasi-informasi dasar seperti usia, jenis kelamin, dan kelompok-kelompok sosial dimana kita berada. Informasi tersebut diperoleh melalui perbandingan antara diri kita dengan orang lain (Calhoun & Acocella, 1990). Menurut Calhoun dan Acocella (1990), kualitas- kualitas yang diperoleh melalui perbandingan dengan orang lain tersebut tidaklah permanen. Kita dapat mengubah aspek-aspek diri kita untuk menjadi sesuai dengan kelompok pembanding, atau mengubah kelompok pembanding untuk memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan diri kita. Dengan demikian, pengetahuan tentang diri kita mungkin tidak secara langsung mempengaruhi kemampuan kita dalam menghadapi tantangan atau bangkit dari kesulitan.

  Dimensi harapan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan resiliensi. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), harapan membangkitkan dorongan dan memandu perilaku kita untuk mencapai tujuan tersebut. Orang dengan konsep diri yang positif merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis, artinya ada kemungkinan yang besar untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Pada dimensi inilah konsep diri yang positif menjadi modal yang lebih besar untuk kehidupan seseorang, dibanding dengan pengetahuan dan penilaian. Hal ini sesuai dengan hasil uji hubungan antara dimensi harapan dengan resiliensi yang menunjukkan hubungan yang signifikan. Calhoun dan Acocella (1990) menegaskan bahwa pengharapan mengenai diri sendiri menentukan bagaimana seseorang akan bertindak dalam hidupnya. Seseorang yang memiliki konsep diri positif berpikir bahwa ia mampu, dan cenderung akan sukses di kemudian hari karena ia mengarahkan seluruh tindakannya untuk mencapai tujuan-tujuannya. Orang yang konsep dirinya negatif berpikir bahwa ia mungkin gagal, maka sebenarnya ia sedang menyiapkan dirinya untuk gagal.

  Hasil uji hubungan antara dimensi penilaian dan resiliensi memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa self-esteem juga merupakan faktor yang penting dalam kajian resiliensi (Masten, 1990; Rutter, 1985). Konsep diri yang negatif meliputi penilaian (self-

  

esteem) negatif terhadap diri, sehingga orang dengan konsep diri yang negatif tidak

  pernah merasa cukup baik. Apapun yang diperolehnya dirasa tidak berharga dibandingkan dengan apa yang diperoleh orang lain, apapun pengalaman yang dialaminya dinilai secara negatif. Penilaian negatif tentang diri dan kehidupannya membuat harga dirinya rendah dan menimbulkan kekecewaan emosional yang lebih parah. Remaja yang mengalami perceraian orangtua, apabila konsep dirinya negatif, akan menilai kehidupan dan keluarganya sebagai hal yang buruk, serta menilai dirinya sebagai bagian dari lingkungan yang buruk.

  S I M P U L A N

  Temuan dari penelitian ini menjawab pertanyaan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dan resiliensi, dengan r = 0.333 dan p = 0.005. Arah hubungan antara variabel konsep diri dan resiliensi adalah positif, yang berarti tiap-tiap kenaikan nilai variabel konsep diri selalu disertai kenaikan yang seimbang (proporsional) pada nilai-nilai variabel resiliensi. Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa dimensi pengetahuan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan resiliensi (r = 0.033, Sig = 0.786), sedangkan dimensi harapan memiliki hubungan positif yang signifikan dengan resiliensi (r = 0.429, Sig = 0.000). Dimensi penilaian juga memiliki hubungan positif yang signifikan dengan resiliensi (r = 0.259, Sig = 0.029). Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa perbedaan rerata skor resiliensi juga dipengaruhi oleh variasi pada usia perkembangan, status pendidikan atau pekerjaan, perbedaan jenis kelamin, dan rentang waktu sejak peristiwa perceraian terjadi. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti merasa penting untuk dilakukan penelitian serupa dengan menganalisis faktor-faktor lain seperti ada atau tidaknya konflik setelah perceraian dan struktur keluarga setelah perceraian, yang mungkin berpengaruh terhadap pencapaian resiliensi remaja.

  

P U S T A K A A C U A N

Amato, P. R. (1994). Life-Span Adjustment of Children to Their Parents' Divorce.

  The Future of Children, Children and Divorce, Vol. 4, No.1, Spring., 143-162.

  Anwar, K. (2016, Juni 27). Angka Cerai di Malang Peringkat Pertama se-Jatim.

  pojokpitu.com, p. 1.

  Arifin, N. (2015, Agustus 20). Angka Perceraian di Jawa Timur Capai 100 Ribu Kasus. Okezone News, p. 1. Beardslee, R. W., & Podorefsky, D. (1988). Resilient Adolescents whose Parents have Serious Affective and other Psychiatric Disorders: Importance of Self-

  Understanding. Am J Psychiatry, 145 (1), 63-9. Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan

  Kemanusiaan (Vols. edisi ke-3). (P. D. Satmoko, Trans.) Semarang: Penerbit IKIP Semarang Press.

  Chen, J.-D., & George, R. A. (2005). Cultivating Resilience in Children from Divorced Families. Crawford, K. (2006). Risk and Protective Factors Related to Resilience in Adolescents

in an Alternative Education Program. South Florida: Scholar Common.

Fagan, P. F., & Churchill, A. (2012). The Effects of Divorce on Children. Marriage and Religion Research Institute, Research Synthesis - marri.us, 1-48. Hadi, S. (2004). Statistik jilid I. Yogyakarta: Andi. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga. Hurtes, K. P., & Allen, L. R. (2001). Measuring Resiliency in Youth: The Resiliency

  Attitudes and Skills Profile. Therapeutic Recreation Journal vol. 35, no. 4, 333-347. Karatas, Z., & Cakar, F. S. (2011). Self-Esteem and Hopelessness, ande Resiliency:

  An Exploratory Study of Adolescents in Turkey. International Education Study, 84-88. Kelly, J. B., & Emery, R. (2003). Children's Adjustment Following Divorce: Risk and Resilience Perspectives. Article in Family Relations, 352-362. Luthar, S. S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The Construct of Resilience: A Critical Evaluation and Guidelines. National Institute of Health, Child

  Dev.71(3), 543 –562.

  Masten, A. (2011). Resilience in children threatened by extreme adversity: Frameworks for research, practice, and translational synergy. Development

  and Psychopathology vol. 23, 493 –506.

  Pallant, J. (2007). SPSS survival manual: A step by step guide to data analysis using SPSS for Windows 3rd Edition. Maidenhead: Open University Press. Rutter, M. (1985). Resilience in the Face of Adversity. British Journal of Psychiatry, 598-611. Rutter, M. (2006). Implications of Resilience Concepts for Scientific Understanding.

  Ann. N.Y. Acad. Sci. 1094., 1-12.

  Santrock, J. W. (2011). Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Jilid 1, Edisi ke-13, Alih Bahasa: Widyasinta Benedictine. Jakarta: Erlangga. Sasongko, A. (2014, Nopember 14). Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap

  Tahun, ini Datanya. Tingkat Perceraian Indonesia Meningkat Setiap Tahun, ini Datanya, p. 1. Satrio, F. A. (2016, Maret 11). Angka Perceraian di Malang Naik Setiap Tahun.

  m.malangtimes.com, p. 1.

  Sember, B. M. (1968). The Complete Divorce Handbook: A Practical Guide. New York: Sterling Publishing. Swastika, I. (2009). Resiliensi pada Remaja yang Mengalami Broken Home.

  Universitas Gunadarma. Wagnild, G. M., & Young, H. M. (1993). Development and Psychometric Evaluation of the Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, Vol.1, No. 2, 165-

  178. Wallerstein, D. J. (1989). What are the Possible Consequences of Divorce for Children? New York: Hyperion.

  Werner, E. (2005). Resilience and Recovery: Findings from the Kuai Longitudinal Study.

  FOCAL POiNT Research, Policy, and Practice in Children’s Mental Health, Vol. 19 No. 1, 11-14.

  Whitton, S. W. (2008). Effects of Parental Divorceon Marital Commitment and Confidence. National Institute of Health Public Access, 1-5. Wolin, S., & Wolin, S. J. (1993). he Resilient Self: How Survivors of Troubled Families Rise Above Adversity. New York: Villard Books. Zolkoski, S. M., & Bullock, L. M. (2012). Resilience in Children and Youth: a Review.

  Children and Youth Services Review, 34, 2295-2303.