KATA PENGANTAR DAFTAR IS I

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

1. Tujuan dan Maksud

2. Ruang dan Waktu

a. Ruang, Bahasa Jurnalistik disajikan kepada

mahasiswa Jurnalistik Semester IV

b. Kuliah ini berlangsung selama satu semester, terhitung sejak pembukaan kuliah perdana semester berjalan.

c. Tabel Studi

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ket P

d. Pengenalan dan Kontrak Kuliah Pengenalan merupakan proses awal kuliah,

untuk mendekatkan mahasiswa dengan dosen. Hal ini dilakukan untuk menghindari sekat komunikasi ketika berlangsungnya proses kuliah, antara dosen selaku pengajar dan mahasiswa. Hasil studi ruangan membuktikan, animo mahasiswa di dalam ruang kuliah, hanya mengejar absen, akhirnya tujuan pokok menuntut ilmu terasa diabaikan. Faktor yang menyebabkan hal ini sampai terjadi, karena masih terdapat sekat antara dosen dengan mahasiswa. Akhirnya filosofis ujian sebagai ’panen ilmu’ tidak dirasakan oleh mahasiswa. Untuk itulah, pengenalan awal menjadi modal dasar untuk keberlangsungan kuliah yang efektif dan efisien.

Sementara kontrak kuliah, merupakan aplikasi dari pengenalan untuk mengikat hubungan mahasiswa dengan dosen, agar memiliki rasa kebersamaan dalam mencapai tujuan bersama. Kontrak kuliah menjadi kunci pemenuhan ruang belajar yang telah teragendakan kurang lebih 14 kali Sementara kontrak kuliah, merupakan aplikasi dari pengenalan untuk mengikat hubungan mahasiswa dengan dosen, agar memiliki rasa kebersamaan dalam mencapai tujuan bersama. Kontrak kuliah menjadi kunci pemenuhan ruang belajar yang telah teragendakan kurang lebih 14 kali

II. PEMBAHASAN

A. Sejarah Jurnalistik dan Munculnya Bahasa Jurnalistik

DALAM masyarakat ada sebagian pihak yang bertanya apakah memang ada bahasa jurnalistik itu? Untuk apa bahasa jurnalistik? Biasanya, mereka yang bertanya seperti itu tergolong yang punya kepedulian terhadap seluk beluk berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selebihnya, masyarakat pada umumnya mengabaikan perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa pasar yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Manusia pada era konvergensi media massa ini, tidak mungkin melakukan pengembangan diri dan masyarakat tanpa mengakses berita, fakta, ilustrasi, gagasan, dan informasi dari berbagai media komunikasi massa baik secara tradisional maupun media massa kontemporer (Santana K., 2005: 152).

Bermula dari abad ke-19 setelah manusia melakukan revolusi industri, mereka menyempurnakan berbagai teknologi untuk membantu kehidupan mereka. Antara pabrik dengan pertanian pun disambungkan. Manusia tidak lagi hanya melakukan komunikasi antarpribadi dan kelompok. Teknologi komunikasi mempertemukan manusia melalui industri telepon, surat kabar, majalah, fotografi, radio, film, televisi, komputer dan satelit serta internet. Manusia Bermula dari abad ke-19 setelah manusia melakukan revolusi industri, mereka menyempurnakan berbagai teknologi untuk membantu kehidupan mereka. Antara pabrik dengan pertanian pun disambungkan. Manusia tidak lagi hanya melakukan komunikasi antarpribadi dan kelompok. Teknologi komunikasi mempertemukan manusia melalui industri telepon, surat kabar, majalah, fotografi, radio, film, televisi, komputer dan satelit serta internet. Manusia

media massa mentransmisikan informasi dan edukasi? Bagaimana media massa menjalankan fungsinya sebagai pelaku kontrol sosial, pewaris nilai kebudayaan, penafsir berita dan penyedia hiburan?

Bahkan Marshall McLuhan mengkosmologikan era global village, kampung global. Media membuat jutaan orang bisa ―melihat dunia‖ secara langsung dan serentak.

Semua itu ditumbuhkan oleh para pekerja media. Pekerjaan mereka, yang kian jadi profesi, menciptakan pesan yang kian efektif. Dari suara elektronis yang semakin human, sampai halaman cetak dan huruf- huruf billboard elektronis, semuanya mengakumulasi. Ini hasil trial and error pekerja dan akademisi ketika mengembangkan proses komunikasi massa. Mereka meneliti unsur-unsur pesan, individu pengirim, khalayak dan berbagai efek komunikasi massa.

Pekerja media menata pesan massal dengan memanfaatkan ruang dan waktu teknologi media. Suara- suara elektronis ―human‖ memproses terpaan sampai ke bunyi mendesis dalam satuan waktu siaran. Kata-kata cetak disusun hingga mengajak keaktifan masyarakat ke ruang-ruang imaji sosial. Sistematika pesan dikalkulasi sampai ke rincian efek ―titik dan koma‖, bukan hanya semata-mata gramatika bahasa. Pesan ditata supaya memiliki daya pikat selera massa di berbagai ruang pengalaman dan referensi social.

Pers (baca: pekerja media) menjadi sebuah proses mediasi antara masyarakat dengan ―dunia‖. Pers diproses oleh jurnalisme untuk memiliki daya persuasi. Jurnalisme memrosesnya melalui tata cara mencari dan menyebarkan

informasi. Jurnalisme selalu mengembangkan

perliputan dan pendistribusian pesan yang sesuai dengan kultur masyarakat.

teknik

pengembangannya, perancangan informasi

Pada

proses

mendorong kelahiran fenomena bahasa pers. Bahasa pers menjadi satu alat. Bahasa, di dalam kehidupan jurnalistik, tidak lagi sekadar sarana mendorong kelahiran fenomena bahasa pers. Bahasa pers menjadi satu alat. Bahasa, di dalam kehidupan jurnalistik, tidak lagi sekadar sarana

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Departemen Pendidikan Nasional, (Balai Pustaka Jakarta, 2005), dalam Petunjuk Pemakaian Kamus halaman xxv antara lain menyatakan ragam menurut pokok pembicaraan. Di situ diuraikan bahwa ada empat macam ragam yakni ragam bahasa undang- undang, ragam bahasa jurnalistik, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra. Jadi memang ada bahasa jurnalistik sebagai salah satu ragam Bahasa Indonesia berdasarkan pokok pembicaraanya seperti bahasa ilmiah dan bahasa sastra.

Bahasa jurnalistik sebagai salah satu variasi Bahasa Indonesia tampak jelas kegunaannya bagi masyarakat yang mendengarkan informasi dari radio setiap hari, membaca berita koran, tabloid dan majalah setiap jam, menyaksikan tayangan televisi yang melaporkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi. Semua berita dan laporan itu disajikan dalam bahasa yang mudah dipahami oleh khalayak, mereka seolah-olah diajak untuk menyaksikan berbagai peristiwa secara langsung. Dengan demikian bahasa jurnalistik itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam karya jurnalistik.

Sebelum lebih jauh masuk pada pengertian bahasa jurnalistik, perlu dijelaskan terlebih dahulu hakekat dari jurnalistik, karena selama ini beredar pendapat di tengah masyarakat bahwa jurnalistik adalah konsep penulisan berita semata. Pendapat ini tentu saja keliru. Sebab, seperti disebut Richard Weiner, jurnalistik adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (Weiner 1990:247).

Pendapat keliru itu jika ditelusuri secara historis Pendapat keliru itu jika ditelusuri secara historis

Kagiatan penyebaran informasi melalui tulis menulis semakin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama Phapyrus. Setelah itu penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Gutternberg.

Surat kabar cetak pertama terbit dan beredar di Cina dengan nama ―King Pau‖ sejak tahun 911 M dan pada tahun 1351 M Kaisar Quang Soo telah mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali. Sedangkan pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama ―Gazetta‖ lahir di Venesia, Negara Italia pada tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.

Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris pada tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah ―newspaper‖. Istilah inilah Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris pada tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah ―newspaper‖. Istilah inilah

Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde pada tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 - 1911).

Sepanjang tahun 1960-an di Amerika Serikat muncul para perintis jurnalisme baru yang merasa bosan dengan tatakerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi gerak wartawan pada tehnik penulisan dan bentuk laporan berita. Mereka melakukan inovasi dalam penyajian dan peliputan berita yang lebih dalam dan menyeluruh. Pada era jurnalisme baru saat ini para wartawan dapat berfungsi menciptakan opini public dan meredam konflik yang terjadi di tengah masyarakat.

B. Definisi dan Pengertian Bahasa Jurnalistik

1. Definisi

Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pencatatan atau pelaporan setiap hari (Sumadiria, 2005:2). Dalam kamus jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk surat kabar, majalah atau berkala lainnya (Assegaff, 1983:9).

Dalam Leksikon Komunikasi dirumuskan, jurnalistik adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah dan media massa lainnya seperti radio dan televisi (Kridalaksana, 1977:44). Djen Amar menekankan, jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat- cepatnya (Amar, 1984:30).

Dalam buku ini bahasa jurnalistik didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur atau pengelola media massa dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan dan menayangkan berita serta laporan peristiwa atau pernyataan yang benar, aktual, penting dan atau menarik dengan tujuan agar mudah dipahami isinya dan cepat ditangkap maknanya oleh khalayak publik.

2. Pengertian Pengertian bahasa jurnalistik, dengan demikian

harus berpedoman kepada kaidah dan unsur-unsur pokok yang terdapat dan melekat dalam definisi jurnalistik. Menurut Dewabrata, penampilan bahasa ragam jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata-kata yang merakyat, akrab di harus berpedoman kepada kaidah dan unsur-unsur pokok yang terdapat dan melekat dalam definisi jurnalistik. Menurut Dewabrata, penampilan bahasa ragam jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata-kata yang merakyat, akrab di

Dalam penulisan berita, wartawan kerap menggunakan bahasa jurnalistik yang sesuai dengan karakter (gaya) tulisannya. Untuk penulisan berita di dalam media massa, bahasa jurnalistik disesuaikan dengan jenis beritanya. Misalnya, untuk penulisan berita investigasi, biasanya wartawan menggunakan bahasa jurnalistik reportase, sedangkan untuk penulisan artikel tokoh atau tulisan ringan, bisa menggunakan bahasa jurnalistik features, sebaliknya untuk menulis stright dan hard news lebih ditekankan pada bahasa yang lugas, tegas dan langsung pada pokok intinya dengan menggunakan unsur-unsur berita yakni 5 W+1 H.

Rosihan Anwar, wartawan senior terkemuka, menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jumalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat-sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Dia juga harus memperhatikan ejaan yang benar. Dalam kosa kota, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat (Anwar, 1991:1).

Menurut S. Wojowasito dari IKIP Malang dalam. Karya Latihan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (KLW PWI) di Jawa Timur (1978), bahasa jumalistik adalah bahasa komunikasi massa seperti tertulis dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut Menurut S. Wojowasito dari IKIP Malang dalam. Karya Latihan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (KLW PWI) di Jawa Timur (1978), bahasa jumalistik adalah bahasa komunikasi massa seperti tertulis dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut

Bahasa jurnalistik harus mudah dipahami oleh setiap orang yang membacanya karena tidak semua orang mempunyai cukup waktu untuk memahami isi tulisan yang ditulis oleh wartawan. Jadi, bahasa jurnalistik bahkan harus bisa dipahami oleh tingkat masyarakat berintelektual rendah. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang berfungsi sebagai penyambung lidah masyarakat dan bahasa komunikasi pengantar pemberitaan yang biasa digunakan media cetak dan elektronik.

Hal itu ditegaskan pula oleh pakar bahasa terkemuka dari Bandung JS Badudu, bahwa bahasa jurnalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media massa dinikmati oleh lapisan masyarak yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Orang

tidak harus menghabiskan waktunya hanya untuk membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu (Anwar,1991:2).

Daryl L. Frazel dan George Tuck, dua pakar pers Amerika

dalam Principles of Editing, A Comprehensive Guide for Student and Jour¬nalist (1996:122-123), menuliskan bahwa pembaca berharap, apa yang dibacanya dalam media massa adalah yang bisa dimengerti tanpa bantuan pengetahuan khusus. Pembaca berharap, wartawan dapat menjelaskan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan ilmuwan, dalam Principles of Editing, A Comprehensive Guide for Student and Jour¬nalist (1996:122-123), menuliskan bahwa pembaca berharap, apa yang dibacanya dalam media massa adalah yang bisa dimengerti tanpa bantuan pengetahuan khusus. Pembaca berharap, wartawan dapat menjelaskan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan ilmuwan,

Berbeda dengan bahasa sinetron yang sering asosial, akultural, egois dan elitis, bahasa jurnalistik justru sangat demokratis dan populis, karena dalam bahasa jumalistik tidak dikenal istilah tingkat, pangkat, dan kasta. Sebagai contoh, ayam berjalan, saya berjalan, guru berjalan, gubernur berjalan, menteri berjalan, presiden berjalan. Semua diperlakukan sama, tidak ada yang diistimewakan atau ditinggikan derajatnya. Disebut populis, karena bahasa jurnalistik menolak semua klaim dan paham yang ingin membedakan si kaya dan si miskin, si tokoh dan si awam, si pejabat dan si jelata, si pintar dan si bodoh, si terpelajar dan orang yang kurang ajar. Bahasa jurnalistik diciptakan untuk semua lapisan masyarakat di kota dan di desa, di gunung dan di lembah, di darat dan di laut, di pasar dan di pekantoran, di swalayan dan di kebun. Tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang dianakemaskan atau dianaktirikan oleh bahasa jurnalistik.

Bahasa berita atau laporan surat kabar, tabloid, majalah, radio, televisi, dan media on line internet yang tidak akrab di mata, telinga, dan benak khalayak, tidak layak disebut bahasa jurnalistik, bahkan harus jelas ditolak sebagai bahasa jurnalistik. Menurut George Orwell, bahasa jurnalistik bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa jurnalistik juga merupakan bagian dari kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada kondisi rill, terkait dengan isi pemberitaan. Bahasa (baik dalam bentuk huruf dan gambar), memiliki kekuatan, pertentangan, pergulatan. Selain itu, bahasa jurnalistik adalah senjata sekaligus penengah, racun sekaligus obat, penjara sekaligus jalan keluar, dalam wacana berita.

Bahasa jurnalistik juga memiliki kekuatan dahsyat dalam membentuk perilaku pembaca. Bahasa jumalistik di dalam pemberitaan jangan hanya memfokuskan diri pada upaya menarik perhatian khalayak pada masalah tertentu. Bahasa setidaknya dapat membatasi persepsi dan membantu pembaca memikirkan sesuatu yang diyakininya. Misalnya, pernyataan keras dari elit politik atau korban konflik di lapangan bisa membakar emosi atau sebaliknya, sejuk dan menenteramkan, tergantung pada cara wartawan memformat isi dan bahasa yang dipergunakannya. Selain itu, bahasa juga bisa mendominasi pemberitaan, baik berita politik atau ekonomi dan sebagainya.

Bahasa bisa meredam tindak kekerasan, karena pada level tertentu, bahasa dimaknai sebagai ruang penyatuan yang paling efektif, dan memiliki peran yang cukup tinggi. Bila mana bahasa diselewengkan oleh wartawan, maka bahasa itu akan bisa menjadi pemicu dari setiap persoalan. Karena itu bahasa harus ditempatkan pada posisinya yang sesuai dengan alur dan akar dari persoalan yang diangkat. Apabila disalahtuliskan dari setiap persoalan yang diangkat, maka bahasa akan bermakna ganda dan dapat menjadi akar timbulnya persoalan baru, bukan sebagai penyelesaian.

Saat ini bahasa jurnalistik mulai beragam digunakan untuk menulis berita ekonomi, politik ataupun tajuk rencana, disesuaikan dengan angle tulisan, sumber berita dan keterbatasan media massa, baik cetak atau elektronik (ruang dan waktu). Dalam penggunaannya, menurut JS Badudu, bahasa jurnalistik memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas dan menarik, serta tetap berpedoman pada kaidah Bahasa Indonesia baku. Jadi, bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh wartawan dalam menulis berita dan memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.

A.M. Dewabrata menegaskan bahwa maksud pernyataan bahasa jurnalistik sebagai ragam Bahasa Indonesia bagi wartawan dalam menulis berita, sebenarnya menunjuk pengertian umum yang membedakan dengan ragam lainnya yang dapat dibedakan dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, dan kata-kata (A.M. Dewabrata, 2004: 22).

Memahami bahasa harus secara utuh, karena kalau tidak dipahami secara utuh, akan bertumpuk pada persoalan penulisan naskah yang hendak dituangkan oleh wartawan. Misalnya saja, dalam membahas tentang kalimat atau kesatuan paling kecil yang mempunyai makna dalam penyampaian berita. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kalimat sebagai kata benda adalah ―kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan‖. Jadi lewat kalimatlah pesan komunikasi disampaikan.

Dalam susunan teks berita, ragam bahasa jurnalistik yang baik biasa ditandai dengan kalimat-kalimat yang memiliki jumlah kata sedikit, karena kalimat yang memiliki jumlah kata banyak sering sulit dipahami maksudnya. Kadang pesan berita hanya berwujud satu kata pendek: ―Camkan!‖, ―Membosankan!‖ atau ―Dengar?‖. Tanda lain bahasa jurnalistik yang baik ialah kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari awal sampai akhir, tidak menggunakan susunan yang kaku dan formal yang sulit dicerna.

Kepandaian wartawan menggunakan kata (diksi) dan memainkan konotasi ketika menyususn kalimat, sangat mempengaruhi jelas-tidaknya pesan yang disampaikan. Hukum DM (diterangkan dan menerangkan) atau lebih luas adalah ―bagian yang dijelaskan‖ dan ―bagian yang menjelaskan‖ harus diatur dengan cermat letaknya. Dengan menggunakan kalimat yang tersusun sesuai ragam jurnalistik, wartawan bisa menuntun pembaca memahami berita Kepandaian wartawan menggunakan kata (diksi) dan memainkan konotasi ketika menyususn kalimat, sangat mempengaruhi jelas-tidaknya pesan yang disampaikan. Hukum DM (diterangkan dan menerangkan) atau lebih luas adalah ―bagian yang dijelaskan‖ dan ―bagian yang menjelaskan‖ harus diatur dengan cermat letaknya. Dengan menggunakan kalimat yang tersusun sesuai ragam jurnalistik, wartawan bisa menuntun pembaca memahami berita

Dengan kata lain, seorang wartawan dituntut terampil menyampaikan berita sebagai alat untuk menarik perhatian pembaca terhadap suatu peristiwa yang dilihat memiliki nilai berita. Di samping itu AS Haris Sumadiria mencatat berdasarkan fungsi bahasa secara umum, bahasa jurnalistik berfungsi sebagai: 1) Alat untuk menyatakan ekspresi diri; 2) Alat komunikasi; 3) Alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; serta 4)Alat melaksanakan kontrol sosial (Sumadiria, 2006: 8).

C. Alasan Penggunaan

Mengapa seorang jurnalis harus mengetahui bahasa jurnalistik yang baik dan benar? Tertunya jawaban ini hanya dapat disampaikan oleh seorang jurnalis yang benar-benar tekun dan menghargai bahasa jurnalis sebagai alat komunikasi dalam media massa baik cetak maupun elektronik. Karena dengan mengetahui bahasa jurnalistik bagi seorang wartawan, ia dapat mengarahkan mainstrem berfikir dalam menuangkan naskah berita secara baik dan benar sesuai kebutuhan pembaca bukan untuk kepentingan kelompok atau individu pembaca. Selain itu, dalam penulisan berita, pelaku atau jurnalis tidak monoton dalam membuat karyanya berdasarkan fakta. Karena berita bukanlah cerita atau narasi film atau puisi, bukan juga karangan, melainkan tutur fakta yang diambil oleh seorang jurnalist di lapangan, berdasarkan suatu kejadian, baik di masa kini maupun masa lalu.

Alasan kenapa harus menggunakan bahasa jurnalistik, karena di dalam bahasa jurnalistik memiliki karakter; sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal. Karakter ini membuka ruang kepada pembaca agar bisa senantiasa santai atau rileks, dalam tingkat Alasan kenapa harus menggunakan bahasa jurnalistik, karena di dalam bahasa jurnalistik memiliki karakter; sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal. Karakter ini membuka ruang kepada pembaca agar bisa senantiasa santai atau rileks, dalam tingkat

D. Ciri atau Kharakteristik Bahasa Jurnalistik

Terdapat berbagai penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran, ideologi, dan media massa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984) meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta Jawa dalam perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang feodalis. Naina (1982) tentang perilaku pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah seperti yang termanifestasikan dalam Tajuk Rencana. Hooker (1990) meneliti model wacana zaman orde lama dan orde baru. Penelitian Tabor Eryanto (2001) tentang analisis teks di media massa. Dari puluhan penelitian yang breakout dengan pers, tenyata belum terdapat penelitian yang secara khusus memformulasikan karakteristik (ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi

karakteristik bahasa pers yang termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana. Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan karakteristik bahasa pers yang termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana. Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan

Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik praktis karya Rosihan Anwar (1991), Assegaf (1982), Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar, dll, namun masih perlu dimunculkan petunjuk akademik maupun teknis pemakaian bahasa jurnalistik. Dengan mengetahui karakteristik bahasa pers Indonesia —termasuk sejauh mana mengetahui penyimpangan yang terjadi, kesalahan dan kelemahannya,-- maka akan dapat diformat pemakaian bahasa jurnalistik yang komunikatif.

Marshall McLuhan sebagai penggagas teori “Medium is the message” menyatakan bahwa setiap media mempunyai tata bahasanya sendiri yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Setiap tata bahasa media memiliki kecenderungan (bias) pada alat indra tertentu. Oleh karenanya media mempunyai pengaruh yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya (Rakhmat, 1996: 248).

Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan pula berdasarkan bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik media cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik media cetak, misalnya, kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan pula berdasarkan bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik media cetak, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik media cetak, misalnya, kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang

Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata, (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.

1. Sederhana Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.

2. Singkat Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.

3. Padat

Menurut PatmonoSK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), Menurut PatmonoSK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45),

4. Lugas

Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.

5. Jelas Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan, maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada. Kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu- abu. Perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.

6. Jernih Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, 6. Jernih Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan,

Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi,

jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang. Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.

7. Menarik

Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik,

benar, dan baku. Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan benar, dan baku. Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan

8. Demokratis

Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton.

Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya

Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.

9. Populis Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.

10. Logis Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus 10. Logis Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus

logika (silogisme), seorang wartawan akan lebih jeli menangkap suatu keadaan, fakta, persoalan, ataupun pernyataan seorang sumber berita. Ia akan lebih kritis, tidak mudah terkecoh oleh sumber berita yang mengemukakan peryataan atau keterangan dengan motif-motif tertentu (Dewabrata, 2004:76).

11. Gramatikal

Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang

disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal:

Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.

12. Menghindari kata tutur

Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.

13. Menghindari kata dan istilah asing Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan. Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.

14. Pilihan kata (diksi) yang tepat Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada 14. Pilihan kata (diksi) yang tepat Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada

Seperti ditegaskan seorang pakar bahasa terkemuka, pengertian pilihan kata atau diksi jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata itu. Istilah ini bukan saja digunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan

individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).

yang

15. Mengutamakan kalimat aktif Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan,

bukan

dikatakan oleh

presided.Contoh lain, pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.

16. Menghindari kata atau istilah teknis

Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak

mengandung unsur pemerkosaan. Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah- istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kerung.

efelitf,

juga

Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu : (1) kurang melakukaii pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.

17. Tunduk kepada kaidah etika Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan 17. Tunduk kepada kaidah etika Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya, melainkan

Dalam menjalankan fungsinya mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.

Pers berkualitas senantiasa menjaga reputasi dan wibawa martabatnya di mata masyarakat, antara lain dengan senantiasa menghindari penggunaan kata-kata atau istilah yang dapat diasumsikan tidak sopan, vulgar, atau mengumbar selera rendah. Kata-kata vulgar, kata-kata yang menjurus pornografi, biasanya lebih banyak ditemukan pada pers popular lapis bawah dan pers kuning (Sumadiria,2005: 53-61).

E. Posisi Bahasa Jurnalistik

Bahasa Jurnalistik merupakan jantung pertahanan bagi seorang wartawan untuk menjaga keutuhan media agar dalam menuangkan naskah faktual yang didapatkan dari hasil report di lapangan di media massa baik cetak maupun elektronik tidak salah arah. Tentunya dengan bahasa Jurnalistik wartawan bisa menjaga eksisten media di khalayak. Bahasa jurnalistik tidak ubahnya seperti seorang penjaga gawang yang senantiasa sigap mengawal gawang dari serangan musuh. Bila kiffernya lengah, maka peluang penyerang akan memasukkan gol dengan mudah. Sebaliknya dalam posisi bahasa Jurnalistik kalau tidak ditempatkan pada naskah pokok kalimat berita dengan baik dan Bahasa Jurnalistik merupakan jantung pertahanan bagi seorang wartawan untuk menjaga keutuhan media agar dalam menuangkan naskah faktual yang didapatkan dari hasil report di lapangan di media massa baik cetak maupun elektronik tidak salah arah. Tentunya dengan bahasa Jurnalistik wartawan bisa menjaga eksisten media di khalayak. Bahasa jurnalistik tidak ubahnya seperti seorang penjaga gawang yang senantiasa sigap mengawal gawang dari serangan musuh. Bila kiffernya lengah, maka peluang penyerang akan memasukkan gol dengan mudah. Sebaliknya dalam posisi bahasa Jurnalistik kalau tidak ditempatkan pada naskah pokok kalimat berita dengan baik dan

Jurnalistik harus memposisikan diri pada runut struktur kalimat yang benar dengan mengacu kepada kaidah bahasa Indonesia dalam EYD. (Baca bahasa Jangan Dikekang).

F. EYD dalam Bahasa Jurnalistik

Ejaan yang disempurnakan (EYD) adalah pedoman umum aturan-aturan pertatabahasaan yang baku di Indonesia. EYD merupakan acuan untuk semua aturan tata bahasa Indonesia yang berlaku sesuai pergerakan zaman atau bersifat dinamis sesuai dengan dinamika sosial budaya. Hal ini terjadi karena bahasa merupakan produk dari kebudayaan suatu golongan masyarakat di dunia.

Tidak terkecuali dalam pertatabahasaan Jurnalistik yang merupakan trendseter dalam kebahasaan masyarakat luas yang justru merupakan salah satu faktor mobilisator dalam dinamika tata bahasa itu sendiri. Peran jurnalistik dalam mengarahkan pola pikir masyarakat dalam berbahasa ini yang menjadi suatu tugas besar dalam membentuk pola sistem pertatabahasaan yang berkarakter dan memiliki citra natural yang baik dimata dunia pada umumnya dan Indonesia itu sendiri sebagai konsumen dari produknya sendiri.

Di dalam Jurnalistik, pada umumnya memiliki sistem EYD yang hampir sama dengan EYD dalam pertatabahasaan Indonesia, namun terdapat beberapa pengecualian yang cukup vital, seperti halnya;

1. Dalam penulisan judul. Contoh: Hujan Memakan Korban. Di sini bisa kita lihat. Huruf Awal pada setiap kata dicetak dengan huruf besar.

2. Gelar sesuatu. Contoh: (Gunung) Gunung Galunggung, (Bupati) Bupati Seram Bagian Barat. Di sini, keterangan gelar itu dicetak dengan huruf besar.

3. Huruf pertama dalam penulisan nama bangsa. Contoh: bahasa Indonesia, orang Jawa. Ditulis dengan huruf kecil.

4. Nama geografis. Contoh: Selat Malaka berbeda dengan saya pergi ke selat. Perbedaan terdapat pada penulisan huruf pertama dari kata "selat".

5. Bentuk ulang sempurna. Contoh: Ahli-Ahli, Undang-Undang.

6. Kata depan dan kata sambung. Contoh: Harimau Tua

Adapun untuk spesialisasi penulisan cetak miring diantaranya adalah pada ;

1. Judul buka

2. Nama media

3. Bahasa asing Secara umum EYD berfungsi sebagai pedoman

dasar dalam penggunaan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tulisan dengan baik dan benar. Begitu pun dalam penggunaan bahasa jurnalistik peran EYD tidak jauh berbeda, namun dalam penggunaannya terdapat beberapa pengecualian. Seperti dalam penggunaan judul baik dalam berita, artikel, maupun karya jurnalistik lainnya.

a. Penulisan huruf capital

1) Jabatan tidak diikuti nama orang

2) Huruf kapital digunakan sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti 2) Huruf kapital digunakan sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti

3) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang atau tempat.

b. Dalam penggunaan judul

1) Huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.

2) Nama geografi sebagai nama jenis

3) Setiap unsur bentuk ulang sempurna

4) Penulisan kata depan dan kata sambung

c. Penulisan Huruf Miring

1) Penulisan nama buku dan surat kabar

2) Penegasan dan pengkhususan kata

3) Penulisan kata nama ilmiah.

d. Penulisan kata turunan

1) Gabungan kata dapat awalan akhiran

2) Gabungan kata dalam kombinasi

e. Penulisan gabungan kata

1) Penulisan gabungan kata istilah khusus

2) Penulisan gabungan kata serangkai

f. Penulisan partikel

1) Penulisan partikel pun

2) Penulisan partikel per

g. Penulisan singkatan

1) Penulisan singkatan umum tiga huruf

2) Penulisan singkatan mata uang

h. Penulisan akronim

1) Akronim nama diri

2) Akronim bukan nama diri

i. Penulisan angka

1) Penulisan lambang bilangan

2) Penulisan lambang bilangan satu dua kata

3) Penulisan lambang bilangan awal kalimat

4) Penulisan lambang bilangan utuh

5) Penulisan lambang bilangan angka huruf

G. Penyimpangan EYD

Terdapat beberapa penyimpangan bahasa Jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:

1. Penyimpangan morfologis. Penyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangkan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.

2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang kurang benar, sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.