Penyakit Menular kaki gajah filariasis

NAMA

: ROSDIANA H. RAMLI

NIM

: K11114001

KELAS

: PROMOSI KESEHATAN C

PENYAKIT MENULAR
A. PENYAKIT KAKI GAJAH / FILARIASIS
Penyakit kaki gajah / filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh cacing filarial yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini
bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan
mengakibatkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,alat kelamin baik
perempuan maupun laki-laki.
Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan
mikrokopis darah.Sampai saat ini hal tesebut masih ini dirasakan karna

microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri didalam darah pada waktu
malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity).
Selain itu berbagai metode pemeriksaan juga dilakukan

untuk

mendiaknosa penyakit kaki gajah diantaranya ialah dengan yang dikenal sebagai
penjaringan membrane, metode konsentrasi knott dan teknik pengendapan.Metode
pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh pihak WHO
adalah dengan jalan pemriksaan system “Tes kartu”, hal ini sangatlah sederhana
dan peka untuk mendetaksi penyebaran parasit (Larva),yaitu dengn cara
mengambil sample darah dengan system tusukan jari droplets diwaktu kapanpun,
tidak harus di malam hari.
B. TANDA DAN GEJALA KLINIS
Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi
kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama
sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut.
Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute
adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di


1

daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal
sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar,
kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski
demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita
filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik,
pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok –dideteksi dengan flebografi- ,
serta limfangiektasis skrotum –dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejalagejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah)
terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.
ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan
limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat
retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang
perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan
meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut.
Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas
akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia.
Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital
terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa
sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi

elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh,
Edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur
limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.Pada daerah
yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan
dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA
merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit
kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit
yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi.
Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi,
lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port d’entrée
dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak
terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

2

C. PENYEBAB DAN PENYEBARAN PENYAKIT KAKI GAJAH
Dalam musim hujan biasanya nyamuk dapat berkembang biak dengan sangat
cepat. Banyak sekali penyakit yang dapat ditularkan oleh hewan kecil yang satu
ini. Salah satunya penyakit kaki gajah (filariasis). Penyakit disebabkan oleh
cacing (wuchereria Bancrofi). Cacing ini dapat ditularkan melalui berbagai gigitan

nyamuk kecuali nyamuk mansoni. Penyakit ini bersifat menahun (Kronis) dan
apabila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembengkakan kaki, lengan dan alat kelamin baik pada pria maupun wanita.
Akibatnya, penderita penyakit kaki gajah tidak dapt bekerja secara optimal,
bahkan hidupnya harus selalu tergantung pada orang lain.
1. Siklus Hidup Cacing Filaria
Siklus hidup cacing filaria dapat te0rjadi dalam tubuh nyamuk apabila
nyamuk tersebut menggit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis,
sehingga mikro filaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam
tubuh nyamuk. Mikrofiaria tersebut masuk kedalam paskan pembungkus pada
tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot
– otot dada (Toraksi).
Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam
waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih
gemuk dan panjang yang yang disebut larva stadiun II. Pada hari kesepuluh dan
seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga menjadi lebih
panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat
aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula – mula ke rongga perut (Abdomen)
kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk.
Apabila nyamuk mikrofilaria ini menggigit manuisa maka mikrofilaria

yang sudah berbentuk larva infektif (Larva stadium III) secara aktif ikut masuk
kedalam tubuh manusia (Hospes),bersama – sama dengan aliran darah dalam
tubuh manusia.Larva keluar dari pembuluh darah dan masuk ke pembuluh limfe.
Didalam pembuluh limfe larva mengalamidua kali pergantian kulit dan tumbuh
menjadi dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V.
Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan

3

menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Cacing filaria
sendiri memiliki ciri sebagai berikut :
Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih
kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (kirofilaria berbentuk seperti benang
berwarna putih susu. Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65100mm dan ekornya lurus berujung tumpul. Untuk makro filaria yang jantan
memiliki panjang kurang lebih 40mm dan ekor melingkar.Sedangkan mikrofilaria
memilki panjang kurang labih 250 mikron, bersarung pucat. Tempat hidup
makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe. Tetapi pada malam hari
mikrofilaria terdapat didalam darah tepi sedangkan pada siang hari mikrofilaria
terdapat di kapiler alat- alat dalam seperti paru- paru, jantung, dan hati.
2. Diagnosis

Praktis Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit
ialah menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam
kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan
secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelokkelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di
darah tepi. Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan
hidrokel, atau kadang-kadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa
secara mikroskopis secara langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit sudah
mampu melewati filter pori silindris polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 µm). Bisa
juga cairan disentrifugasi dengan 2% formalin (teknik Knott) baru kemudian
dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara spesifik dan sensitif.
Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan mesti diambil
menurut perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk
W.bancrofti sediaan diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal
sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan
memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di
darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat pengambilan sediaan darah yang
kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan
beranjak menjadi cacing dewasa.

4


Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping
sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik
imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi
antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi sehingga
memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96 hingga 100%.
Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies W.bancrofti, sementara
belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.
Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis
limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan
cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80%
penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali
spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode
di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya
digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta
penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh
limfe.Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis,
infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda
utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan
sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari

keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas
sistem limfe kongenital.
D. CARA PENULARAN
Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang
yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva dan
akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit dan
menghipas darah orang tersebut.
Tidak seperti Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23
spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres.
Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.

5

Penyakit kaki gajah / filariasis ini ditularkan melalui nyamuk yang
menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya.Darah yang terinfeksi
yang mengandung larva dan di tularkan ke orang lain. pada nyamuk yang
terinfeksi, kemudian menggigit / menghisap darah orang tersebut.
Adapun tanda-tanda dan gejalanya (symtom) pada orang yang telah terinfeksi
penyakit filariasis ini,gejala filariasis akut dapat berupa :
1. Demam berulang-ulang selama 3-5 hari,demam dapat hilang bila istirahat dan

muncul kembali setelah bekerja berat.
2. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha
(lymphadenitis) yang tampak kemerahanKetiak (Lymphadenitis) yang tampak
kemerahan, panas dan sakit
3. Panas dan sakit radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan
sakit yang menjalar dari pangkal kaki / pangkal lengan kearah ujung
(Retrograde lymphangitis)
4. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah
5. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak
kemerahan dan terasa panas (early lymphodema).
Filariasis abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah, pembesaran tungkai,
lengan, buah dada (Mamae), buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa
panas (Early lymphodema).
Gejala

klinis

yang


kronis

berupa

pembesaran

yang

menetap

(Elephantrasis) pada tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar
(Elephantiasis skroti). Tidak seperti malaria, dan demam berdarah, filariasis dapat
ditularkan oleh berbagi jenis nyamuk diantaranya spesies nyamuk dari genus
anopheles, culex, mansonia, aedes dan arnigeres. Karna inilah yang menyebabkan
filariasis dapat menular dengan cepat
E. TINDAKAN PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap penyakit filariasis / kaki gajah dapat dilakukan dengan
jalan :


6

1.

Berusaha menghindari diri dari gigitan nyamuk

2.

Membersihkan air pada rawa-rawa yang merupakan tempat

perindukan

nyamuk
3.

Mengeringkan / genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk

4.

Membakar sisa-sisa sampah (berupa kertas dan plastik)

5.

Minimal melakukan penyemprotan sebulan sekali
Pencegahan penyakit kaki gajah / filasiasis bagi penderita penyakit filariasis

diharapkan untuk memeriksakan kedokter agar mendapatkan penanganan obat –
obatan sehingga tidak menyebabkan penularan kepada masyarakat lainnya. Perlu
adanya pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah /
filariasis di wilayah masing – masing sangatlah penting untuk memutus mata
rantai penularan penyakit ini.Membersihkan lingkinggan sekitar adalah hal
terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.
F. PENANGANAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT KAKI GAJAH /
FILARIASIS
Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan
efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang
sampai sekarang harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6
mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan
pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia,
antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole
(400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang
baik.
Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta
abnormalitas limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan
terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah
mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat,
barulah DEC menjadi acuan obat utama. Pasien dengan limfedema positif pada
ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau
dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah

7

yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu hidrokel bisa
dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan
baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa
dikurangi hingga menjadi sangat minim.
Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72
mg) merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan
filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah
mampu membunuh parasit-parasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari
merupakan sarana supresi mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya
penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan albendazole atau
ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif. Efek samping dari DEC
ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah.
Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di
dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang
dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas
juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme
intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin
juga memiliki efek samping yang serupa dengan gejala ini.
Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi
pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama
seperti pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga
dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur
khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu
populer di Indonesia. Memang lebih dari 40 tahun untuk pengobatan penyakit
kaki gajah , baik secara Perorangan maupun secara massal dengan menggunakan
DEC (Diethil Carbamazine Citrate). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan
makrofilaria (Cacing dewasa). Sampai saat ini DEC merupakan satu – satunya
obat penyakit kaki gajah yang efekitf, aman dan relaitf murah. Pada pengobatan
perorangan bertujuan untuk menghanurkan parasit dan mengeleminasi, guna
mengurangi atau mencegah rasa sakit. Aturan dosis yang di anjukran untuk
6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari diminum seudah makan, dalam sehari 3

8

kali. Pada pengobatan massal, di gunakan pemberian DEC dosis rendah dengan
jangka waktu pemberian yang lebih lama, misalya dalam bentuk garam DEC
0,2%-0,4% selama 9-12 bulan. Untuk orang dewasa digunakan 100mg/minggu
selama 40 hari.
Tujuan utama dalam penganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah
adalah membasmi parasit / larva yang berkembang dalam tubuh penderita
sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi.
Dietilkarbamasin citrate / dietylcarbamazine citrate (DEC) adalah satu – satunya
obat filariasis yamg ampuh baik untuk filariasis bancroffi maupun malayi, bersifat
makrofilarisidal.
Obat ini teregolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat.Penderita
yang mendapatkan teapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping
sisitematik. Dietilkarbamasin tidak dapat di pakai untuk khemoprofilaksis.
Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai
konsentrasi puncak dalam darah sekitar 3 jam, dan diekresi melalui air kemih.
Dietilkarbamasin tidak dapat diberikan pada anak berumur kurang dari 2
tahun, ibu hamil / menyusui, dan penderita sakit berat / dalam keadaan lemah.
Namun, pada kasus penyakit kaki gajah / filariasis yang cukup parah (sudah
membesar) karna tidak dapat terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan
tentunya memerlukan langkah lanjutan seperti tindakan operasi.
G.

PENYAKIT KAKI GAJAH / FILASIASIS DI INDONESIA
Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan

salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera
serta sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun
langganan terinfeksi kaki gajah .Penyakit filarial cukup populer di negeri ini.
Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh
limfe.
Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria
bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari
nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar
FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang

9

ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain
itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak
terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.
Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya
endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine
menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada
setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan
Wolbachia. Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan
filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial.
W. bancrofti merupakan spesies yang sangat terkenal di dunia, meski
hanya sedikit sekali mahasiswa kedokteran di dunia yang mempelajari secara
intensif mata kuliah Parasitologi atau Tropical Medicine. Sekitar 115 juta manusia
terinfeksi parasit ini di daerah subtropis dan tropis, meliputi Asia, Pasifik, Afrika,
Amerika Selatan, serta Kepulauan Karibia. Spesies dengan periodisitas
subperiodik (kapan saja terdapat di darah tepi) ditemukan di Kepulauan Pasifik
dengan vektor Aedes sp., sementara sebagian besar lainnya memiliki periodisitas
nokturnal dengan vektor Culex fatigans dan Culex cuenquifasciatus di Indonesia.
Vektor Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban, sedangkan vektor
Aedes dapat ditemukan di daerah-daerah rural.
Brugia malayi lazim ditemui di China, India, Korea, Jepang, Filipina,
Malaysia, dan tentu saja Indonesia. Sementara Brugia timori merupakan satwa
khas Indonesia yang hanya bisa ditemui di kepulauan Timor. Mirip dengan
W.bancrofti, Brugia malayi memiliki juga memiliki dua bentuk periodisitas.
Bedanya, biasanya B.malayi dengan periodisitas nokturnal ditemukan di daerah
pertanian dengan vektor Anopheles atau Mansonia. Sedangkan spesies dengan
periodisitas subperiodik ditemuakn di hutan-hutan dengan vektor Mansonia dan
Coquilettidia (jarang).
Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe
akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak
tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga
menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini

10

mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang
menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.
Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma,
esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi.
Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan
menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta
menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut.
Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di
atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi.
Jadi, jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing
dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh
penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh.
Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif
yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup,
pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi
reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian
akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah
membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi
drainase limfe di daerah tersebut
Di indonesia, penyakit ini tersebar luas hampir diseluruh propinsi.
Berdasakan hasil survei pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1553 desa yang
tersebar di 231 kabupaten dan 26 propinsi, dengan jumlah kasus kronis 6233
orang. Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kaki gajah agar tidak semakin
meluas, maka melalui organisasi WHO menetapkan kesepakatan global yaitu
membrantas penyakit kaki gajah sampai tuntas. Di indonesia sendiri pada tahun
2002 sudah dimulai pelaksanaan pemberantasan penyakit kaki gajah secara
bertahap di 5 kabupaten percontohan. Program pemberantasan dilaksanakan
melalui pengobatan massal dengan DEC (Dietilkarbamasin Citrate) dan
Albendasol untuk setahun sekali selama 5 tahun.

11