Analisis Surat Edaran KPI Mengenai Pria

Nama: Mauditha Angela Sihombing
NPM: 1406574094
UTS Kebijakan Kriminal
Tema: Feminisme dan Kebijakan Kriminal
Analisis Surat Edaran KPI “Mengenai Pria yang Kewanitaan” dalam Kaitannya
dengan Perspektif Feminis Radikal-Libertarian sebagai Bentuk Opresi dan
Pelanggaran HAM dalam Budaya Patriarki
Pendahuluan
Gagasan untuk membangun stasiun penyiaran muncul di Indonesia di tahun 1961,
ketika pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno memutuskan untuk membangun
proyek televisi sebagai media massa dan bagian dari proyek Asian Games. Hal ini menjadi
latar belakang berdirinya TVRI sebagai salah satu politik mercusuar Soekarno kala itu. Sejak
saat itu, kemajuan teknologi di bidang media komunikasi audio visual, yaitu televisi, telah
meniadakan jarak ruang dan waktu dan TVRI menjadi suatu peristiwa besar pertama di
bidang teknologi media audio visual yang mampu menyajikan tontonan yang menghibur
masyarakat. Dari situlah muncul penelitian-penelitian untuk membangun proyek di industri
penyiaran ini, seperti terbentuknya Panitia Persiapan Pembangunan Televisi yang
dilatarbelakangi Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia no. 20/S.K/M/61
pada bulan Juli 1961. TVRI kemudian menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia
selama 27 tahun sebelum akhirnya RCTI muncul menjadi stasiun penyiaran televisi swasta
pertama di tahun 1998.1 Sejak saat itu, industri penyiaran melalui stasiun penyiaran televisi

swasta (SPTS) dan stasiun penyiaran negeri mulai berkembang di Indonesia dengan berbagai
inovasinya, walaupun pada saat ini SPTS jauh lebih mendominasi dalam industri penyiaran.
Industri penyiaran merupakan salah satu industri yang berkembang dengan cepat di
Indonesia. Industri ini menghasilkan pendapatan yang besar bagi pemilik modal dan juga
negara sebagai sarana penyampaian proses demokratisasi di Indonesia. Mengingat industri
penyiaran ini merupakan frekuensi milik publik yang bersifat terbatas, maka diharapkan
industri penyiaran mampu memberikan fungsi pelayanan informasi demi kepentingan publik,
baik dalam bentuk berita, ilmu pengetahuan, dan hiburan. Untuk itulah, KPI dibentuk melalui
UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 sebagai lembaga yang bertugas untuk mengawasi
pengelolaan sistem penyiaran yang independen dan bebas dari campur tangan kekuasaan
pemodal. Jika mengacu pada UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002, KPI berbasis pada
diversity of content (keberagaman isi), yaitu tersedianya informasi yang beragam bagi publik
berdasarkan jenis maupun isi program, dan diversity of ownership (keberagaman
kepemilikan), yaitu keberagaman dalam kepemilikan media massa yang ada di Indonesia agar
tidak dimonopoli oleh sekelompok orang atau lembaga tertentu, sebagai landasan bagi setiap
kebijakan yang dirumuskan oleh KPI.2Hal ini menyebabkan pemerintah Indonesia
memberlakukan regulasi lisensi kepemilikan dan kepemilikan silang dalam industri penyiaran
dengan tujuan untuk membatasi konsentrasi dan kekuatan pasar, di mana kebijakan
persaingan ini diadaptasi pula oleh Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.3
Melihat latar belakang terbentuknya KPI dalam upayanya dalam memperbaiki

kualitas industri penyiaran, dalam kenyataannya saat ini banyak sekali kebijakan KPI yang
menuai kontroversi dari masyarakat. Sejumlah kebijakan yang dibuat oleh KPI pada saat ini
1

Rita Utami. Tinjauan Analisis Kebijakan di Industri Penyiaran Televisi. (Tesis dari Universitas Indonesia,
2003). Hlm. 49-50
2
Tanpa keterangan penulis. 2 November 2009. KPI: Dasar Pembentukan. Diakses dari
http://www.kpi.go.id/index.php/2012-05-03-14-44-06/2012-05-03-14-44-38/dasar-pembentukan tanggal 12
April 2016 pukul 00.29.
3
Masimmo Motta dan Michelle Polo. Concentration and Public Policies in The Broadcasting Industry: The
Future of Television. (Los Angeles: NERA Economic Consulting. 2000). Hlm. 36.

justru menimbulkan kritik dikarenakan bertentangan dengan prinsip awal terbentuknya KPI
sebagai lembaga yang menghargai diversity of content. Hal ini menimbulkan kontroversi pro
dan kontra di masyarakat, mulai dari dukungan kelembagaan hingga petisi penolakan. Demi
tercapainya ketertarikan publik terhadap penyiaran di media, KPI memiliki kecenderungan
untuk bersikap otoriter dan pada akhirnya justru melakukan pelanggaran terhadap kebebasan
berekspresi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Salah satunya bentuk perilaku otoriter

KPI ini tercermin dari dikeluarkannya surat edaran KPI mengenai laki-laki yang kewanitaan.
Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengkaji surat edaran yang menimbulkan
pro dan kontra ini dalam sudut pandang feminis radikal, yang pada intinya menyatakan
bahwa sistem seks atau gender merupakan hasil dari opresi terhadap perempuan yang pada
akhirnya melahirkan seksisme yang meresap dalam kehidupan bermasyarakat. 4 Mengingat
isu yang dibahas dalam surat edaran ini menyangkut perempuan dan perilaku perempuan,
penulis akan mengkaji bagaimana sistem budaya patriarki pada akhirnya melihat perilaku
perempuan dalam industri penyiaran sebagai isu yang harus dihapuskan dikarenakan standar
moral dan konsensus yang mengakar di masyarakat. Selain itu, penulis juga akan melihat
bagaimana kekuatan surat edaran KPI ini dalam pengaruhnya terhadap pembawa acara dalam
industri penyiaran dan bagaimana HAM melihat surat edaran tersebut.
Isu dan Masalah Kebijakan
Di akhir Februari 2016, KPI mengeluarkan surat edaran yang menarik perhatian
masyarakat terhadap program-program yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran. Surat
edaran ini ditargetkan bagi seluruh lembaga penyiaran yang dianggap memuat unsur pria
yang kewanitaan. Dengan landasan hukum dari UU no. 32 tahun 2002 mengenai Penyiaran
dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2013, KPI menampung dan
menganalisis hasil pengaduan masyarakat terhadap program-program siaran yang dianggap
memuat unsur tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh KPI, mereka meminta
program-program siaran yang ada di Indonesia agar tidak menampilkan laki-laki, baik

sebagai pembawa acara ataupun pengisi acara, untuk tampil dengan gaya seperti yang dikutip
berikut:
1. Gaya berpakaian kewanitaan
2. Riasan (make up) kewanitaan
3. Bahasa tubuh kewanitaan (termasuk namun tidak terbatas pada gaya
berjalan, gaya duduk, gerakan tangan, maupun perilaku lainnya)
4. Gaya bicara kewanitaan
5. Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku
kewanitaan
6. Menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya
diperuntukkan bagi wanita
7. Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan
pria kewanitaan
Mengenai alasan dibalik larangan tersebut, berdasarkan Standar Program Siaran KPI
tahun 2012 pasal 9, 15 ayat 1, dan 37 ayat 4a, KPI berpendapat bahwa pria yang kewanitaan
tidak sesuai dengan norma kesopanan yang dilakukan oleh norma kesusilaan dan kesopanan
yang berlaku dalam masyarakat serta berpotensi untuk mengajak anak untuk membenarkan
perilaku yang dianggap KPI sebagai perilaku yang tidak pantas dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran KPI tahun 2012 pasal 4, lembaga penyiaran di Indonesia
sendiri diharapkan untuk menghormati dan menjunjung tinggi nilai agama dan budaya bangsa

Indonesia yang multikultural. Hal ini menyebabkan KPI melakukan pemantauan program
4

Rosemarie Tong. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. (Colorado: Westview Press. 2009).
Hlm. 49.

siaran secara intensif dan pemberian sanksi bagi lembaga penyiaran yang dianggap terbukti
menyiarkan pria yang kewanitaan. 5 Surat edaran ini kemudian menghasilkan tanggapan pro
dan kontra di masyarakat Indonesia.
Wakil ketua KPI, Idi Muzayat, mengaku mendapatkan keluhan dari orangtua dan
tokoh masyarakat yang dikatakan khawatir terhadap perilaku kewanitaan tersebut dalam
pengaruhnya terhadap perkembangan anak, dan surat edaran ini sebetulnya merupakan
penegasan terhadap larangan yang sebelumnya sudah ada. Ia mengatakan bahwa ia mendapat
masukan dari berbagai tokoh masyarakat, agama, termasuk psikolog Elly Risman, yang
diketahui merupakan psikolog yang menentang adanya pengaruh homoseksual terhadap anak.
Surat edaran ini ditargetkan untuk pengisi acara, dan diharapkan lembaga penyiaran dapat
berkonsultasi dengan KPI agar tidak terjadi pelanggaran HAM.
Kebijakan KPI ini didukung oleh beberapa pihak, seperti sekelompok orang yang
menamakan dirinya Gerakan Indonesia Beradab (GIB). Ihsan Gumilar, koordinator GIB,
menyatakan dukungan GIB secara penuh untuk menolak penyiaran tayangan yang kebancibancian. Menurutnya, laki-laki harus tampil sebagaimana laki-laki dan tayangan yang

menampilkan laki-laki yang bergaya kewanitaan berpotensi merusak perkembangan anak,
mengingat secara psikologis anak akan mengikuti apa yang ia lihat. Dukungan GIB diikuti
pula dengan 173 organisasi kecil lainnya.6 Akademisi pun tidak lupa menyatakan
dukungannya, seperti Dosen Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Dr. Adian
Husaini, yang menyatakan bahwa langkah KPI sudah tepat, karena perilaku yang ditunjukkan
pembawa acara merupakan tindakan yang buruk dan dilaknat oleh agama demi ditertawakan
oleh publik. Ia menambahkan bahwa tayangan yang dipertunjukkan oleh lembaga penyiaran
dapat mempengaruhi penonton yang menurutnya akan mewajarkan perilaku kebanci-bancian.
Hal inilah yang membuat ia beserta orangtua dan guru memberikan surat dukungannya
kepada KPI.7 Dukungan-dukungan ini diapresiasi oleh pihak KPI, Idy Muzayat, yang
menyatakan bahwa kebijakan KPI didasari oleh perhatian terhadap generasi muda dan anakanak dan efektivitas dari larangan KPI ini ditentukan oleh ketersediaan perangkat hukum
untuk menerbitkan kewenangan yang lebih besar bagi KPI dalam pelaksanaannya.8
Di sisi lain, penolakan muncul dari berbagai lembaga dan sejumlah tokoh masyarakat,
seperti Sudjiwo Tedjo, Oscar Lawalata, dan Lola Amaria yang secara keras mengkritik
kebijakan yang dikeluarkan oleh KPI. Sudjiwo Tedjo menyatakan bahwa tidak ada definisi
dan tolak ukur yang jelas terhadap istilah pria yang kewanitaan, dan Oscar Lawalata
menyatakan bahwa seharusnya yang diubah adalah isi, mutu, dan tujuan program, bukan
perilaku pengisi acara secara personal, mengingat televisi bukan hanya komoditas bisnis. 9
Lola Amaria sendiri menyatakan bahwa kebijakan KPI ini merupakan kebijakan yang bersifat
sepihak dan menyarankan agar KPI berdiskusi terlebih dahulu dengan seniman sebelum

mengeluarkan kebijakan tersebut. Di sisi lain, ia menyatakan bahwa adalah hak setiap orang
untuk berperilaku kelaki-lakian ataupun kewanitaan dalam berkesenian, dan hal ini
5

ST. 23 Februari 2016. Surat Edaran kepada Seluruh Lembaga Penyiaran mengenai Pria yang Kewanitaan.
Diakses dari http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/33267-edaran-kepada-seluruh-lembaga-penyiaranmengenai-pria-yang-kewanitaan tanggal 1 April 2016 pukul 22.33.
6
Yohanes Paskalis. 2 Maret 2016. GIB Dukung KPI Larang Tayangan Pria Bergaya Perempuan. Diakses dari
https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/078749820/gib-dukung-kpi-larang-tayangan-pria-bergaya-perempuan
tanggal 4 April 2016 pukul 11.43.
7
Rayhan. 1 Maret 2016. Aktivis Koalisi Perempuan Indonesia Batal Demo KPI. Diakses dari
https://www.islampos.com/aktivis-koalisi-perempuan-indonesia-batal-demo-kpi-257379/ tanggal 4 April 2016
pukul 11.26.
8
Yohanes Paskalis. Loc.cit.
9
Febriana Firdaus. 26 Februari 2016. Dibalik Larangan KPI tentang Tayangan Pria Berpakaian Wanita.
Diakses dari http://www.rappler.com/indonesia/123811-surat-edaran-kpi-tentang-larangan-tayanganberpakaian-wanita tanggal 3 April 2016 pukul 14.06.


merupakan hal yang tidak dapat dilarang ataupun dibatasi. Ia mempertanyakan sejauh mana
batasan terhadap aturan ini dan berharap agar surat edaran ini tidak mematikan seni di
Indonesia.10
Dari lembaga hukum sendiri, sejumlah aktivis dari Koalisi Perempuan Indonesia yang
membatalkan keinginannya melakukan demonstrasi di kantor KPI demi alasan keamanan pun
menentang kebijakan yang menurut mereka merendahkan martabat perempuan. Menurut
mereka, tidak ada alasan yang jelas kenapa KPI mengurusi apa yang mereka sebut sebagai
kewanitaan, mengingat definisi mengenai kewanitaan dalam hal ini tidak jelas. Selain itu,
surat edaran ini berpotensi untuk mengancam keberagaman di Indonesia dan kebebasan untuk
berekspresi, karena aspirasi dari media cenderung terbelenggu. 11 Hal ini diiyakan pula oleh
advokat LBH Masyarakat, Tiwi, yang mengatakan bahwa lembaga penyiaran, bersama-sama
dengan lembaga manapun di Indonesia, harus tunduk kepada konstitusi, namun di sisi lain
konstitusi tidak boleh mendiskriminasi warga negaranya.12 Berbagai macam kritik terhadap
surat edaran KPI ini menyebabkan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Puan Maharani, berencana untuk mengkaji ulang surat edaran yang ada, karena
ia melihat kebijakan ini berpotensi untuk mengancam keberlangsungan sejarah dan budaya
lokal.13
Koordinator Koalisi Keberagaman Penyiaran Indonesia, Asep Komaruddin,
menyatakan bahwa KPI terbukti melakukan diskriminasi dengan menyatakan bahwa tindakan
keperempuanan sebagai tindakan yang tidak baik. Ia mengaku khawatir akan adanya

kemungkinan KPI menjadikan surat edaran tersebut sebagai alat legitimasi untuk melakukan
diskriminasi terhadap individu dengan identitas dan ekspresi gender yang berbeda, karena
surat tersebut membatasi ruang berekspresi di lembaga penyiaran melalui generalisasi
keberagaman dengan stereotip yang cenderung merendahkan perempuan. Ia mengacu dari
UU no. 32 tahun 2002 mengenai Penyiaran, yang menyatakan bahwa penyiaran didasari oleh
keberagaman dan kebebasan yang bertanggungjawab.14 Selain itu, ia berharap agar KPI ikut
mengedukasi masyarakat agar memiliki pemahaman yang mendalam mengenai keberagaman
ekspresi gender agar mendapat pemahaman, menumbuhkan empati, dan tidak menanamkan
kebencian terhadap kaum minoritas.
Dengan adanya pro dan kontra tersebut, Komisioner KPI Rahmat Arifin menyatakan
bahwa KPI tidak memiliki niat untuk mendiskriminasi atau menghilangkan keberagaman dari
tayangan-tayangan yang muncul di televisi, mengingat aturan yang dibuat oleh KPI bersandar
kepada UU Penyiaran. Surat edaran ini hanya dibuat untuk meminimalisir dampak buruk dari
program acara lembaga penyiaran, sehingga kebebasan berekspresi akan tetap hadir di layar
kaca, terutama program acara seni pertunjukan. Mereka berusaha menjaga keseimbangan
dengan mempertimbangkan suara mayoritas. 15
10

Tony Hartawan. 2 Maret 2016. Lola Amaria Gerah KPI Larang Tayangan Pria Jadi Banci. Diakses dari
https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/114749891/lola-amaria-gerah-kpi-larang-tayangan-pria-jadi-banci

tanggal 13 April 2016 pukul 22.26.
11
Adhitya Himawan dan Nikolaus Tolen. 1 Maret 2016. Surat Edaran KPI Berpotensi Mematikan
Keberagaman di Indonesia. Diakses dari http://www.suara.com/news/2016/03/01/185152/surat-edaran-kpiberpotensi-mematikan-keberagaman-di-indonesia tanggal 4 April 2016 pukul 11.55.
12
Rayhan. Loc.cit.
13
Redaksi Detak.co. 1 Maret 2016. Pro Kontra Larangan KPI terhadap Tayangan Pria Berperilaku
Kewanitaan. Diakses dari http://detak.co/pro-kontra-larangan-kpi-terhadap-tayangan-pria-berperilakukewanitaan/ tanggal 4 April 2016 pukul 11.50.
14
Indra Akuntono. 1 Maret 2016. KPI Diminta Cabut Larangan Tayangan “Pria yang Kewanitaan.” Diakses
dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/01/12423771/KPI.Diminta.Cabut.Larangan.Tayangan.Pria.yang.Kewa
nitaan. tanggal 4 April 2016 pukul 12.01.

Analisis Kebijakan
Selama berpuluh-puluh tahun, surat edaran menjadi bagian dalam pembentukan
kebijakan sejumlah lembaga negara. Penggunaan surat edaran acapkali menjadi bahan
perdebatan dikarenakan daya ikat, kedudukan, maupun mekanisme pengujiannya. Surat
Edaran sebetulnya bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan (regeling), namun

hal ini dimasukkan ke dalam peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan perundangundangan semu (pseudo wetgeving). Meskipun surat edaran bukanlah peraturan perundangundangan, ia sebagai bagian dari peraturan kebijakan ini adalah produk hukum yang
mengikat secara materiil yang ditujukan untuk memberikan petunjuk yang lebih spesifik
mengenai norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Walaupun begitu,
dalam pasal 7 UU no. 10 tahun 2004, surat edaran dapat dikategorikan sebagai bentuk
peraturan perundang-undangan yang sah sehingga ia harus tunduk pada tata urutan peraturan
perundang-undangan. Perbedaan definisi inilah yang sebetulnya berpotensi menjadi masalah
dalam peraturan perundang-undangan.16 Jika kategorisasi ini dilihat dalam surat edaran KPI,
surat KPI ini seharusnya tidak memiliki dampak yang signifikan dalam sistem peradilan
pidana, namun dalam kenyataannya surat ini turut andil dalam pembentukan dan pengawasan
terhadap kebijakan dan langkah-langkah lembaga penyiaran berikutnya, sehingga mau tidak
mau kita harus mengkritisi dan menganalisis surat edaran KPI ini.
Koordinator Koalisi Keberagaman Penyiaran Indonesia, Asep Komaruddin,
menyatakan bahwa KPI melakukan pelanggaran terhadap UU no. 32 tahun 2002 mengenai
Penyiaran. UU ini dibentuk setelah melalui pembahasan selama kurang lebih 3 tahun
dikarenakan UU sebelumnya, UU Penyiaran nomor 24 tahun 1997 dan Surat Keputusan
Presiden nomor 136 tahun 1999, menjadi tidak memadai untuk menjadi landasan hukum di
industri penyiaran. UU nomor 32 tahun 2003 ini pada dasarnya menyatakan bahwa lembaga
penyiaran terdiri dari lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga
penyiaran berlangganan, dan lembaga penyiaran masyarakat. 17
Berkaitan dengan dampak dari materi program atau konten dalam penyiaran yang
ditayangkan oleh lembaga penyiaran, pemerintah melalui UU no. 32 tahun 2003 pasal 36
menyatakan bahwa, “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan
manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa,
menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya
Indonesia” (pasal 1) serta “…memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada
khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja..” (pasal 3). Hal inilah yang sebenarnya ingin
dicapai oleh KPI di balik pembentukan surat edaran tersebut, namun sayangnya surat edaran
yang dibuat oleh KPI ini hanya memberikan perlindungan bagi mayoritas masyarakat, bukan
seluruh masyarakat. Kaum minoritas, dalam hal ini pembawa acara yang dianggap
kewanitaan, menjadi korban dalam pembentukan kebijakan tersebut.
Dalam ICCPR (Persetujuan Hak Sipil dan Politik Internasional) pasal 19 ayat 2,
dijelaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas berpendapat dan mengeluarkan
ekspresi, dan hal ini juga menyangkut hak untuk mencari, menerima, dan memberi informasi
dan ide dalam berbagai bentuk di luar pembatasan tertulis, verbal, karya seni, ataupun melalui
berbagai bentuk media pilihannya.18 Dalam hal ini, sejalan dengan pernyataan Lola Amaria,
KPI secara jelas telah melalui pelanggaran HAM terhadap pasal ini dikarenakan hilangnya
15

______. 2 Maret 2016. Kontroversi Tayangan “Pria Kewanitaan” dan Kebebasan Berekspresi. Diakses dari
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/07273421/Kontroversi.Tayangan.Pria.Kewanitaan.dan.Kebebasan.
Berekspresi?page=all tanggal 13 April 2016 pukul 22.37.
16
MYS. 11 Januari 2015. Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan. Diakses dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan
tanggal 11 April 2016 pukul 00.08.
17
Rita Utami. Op.cit. hlm. 62-63.

hak berekspresi pembawa acara yang terbatasi oleh istilah kewanitaan sejak surat edaran
tersebut dikeluarkan, dan seperti yang dikatakan oleh Asep, KPI melakukan diskriminasi
terhadap individu dengan identitas dan ekspresi gender yang berbeda dari masyarakat.
Menyangkut HAM dalam industri penyiaran, sebetulnya sejak tahun 1997 terdapat
perdebatan komprehensif mengenai Broadcasting Bill yang berisi hak fundamental lembaga
penyiaran. Broadcasting Bill ini adalah perjanjian yang digunakan untuk membuat ketentuan
penyiaran dengan tujuan untuk mempromosikan penyiaran demi kepentingan umum secara
independen yang pluralis.19 Aktivis HAM seringkali tidak terlalu aktif menyangkut perjanjian
tersebut dikarenakan mereka lebih tertarik dalam penelitian pelanggaran kebebasan sipil
ataupun politik, sehingga pada umumnya aktivis HAM lebih tertarik terhadap Right to
Information Act jika menyangkut hak-hak lembaga penyiaran. Hal ini menyebabkan
perjanjian ini seringkali terlupakan oleh lembaga penyiaran.
HAM perlu menjadi isu yang perlu dibahas menyangkut lembaga penyiaran
dikarenakan kepentingan kaum minoritas tidak selamanya berbanding lurus dengan lembaga
penyiaran. Pada umumnya, kebebasan berpendapat tidak selamanya berbanding lurus dengan
kualitas konten yang disiarkan. Advokasi HAM seringkali memiliki pendekatan intelektual
yang berbeda menyangkut hal ini, sehingga mereka seringkali mengidentifikasi masalah yang
sebetulnya tidak menjadi permasalahan yang berarti bagi lembaga penyiaran dalam proses
pembuatan kebijakan.20 Selain itu, politisi dan publik memiliki kecenderungan untuk
mengesampingkan kepentingan HAM dikarenakan kepentingan finansial atau kepemilikan
perusahaan penyiaran, padahal di sisi lain kebebasan lembaga penyiaran merupakan faktor
yang sangat penting bagi mereka yang tertarik dalam isu hak sipil dan politik. Selain itu,
media penyiaran merupakan salah satu sarana terbaik untuk mempublikasikan informasi hak
asasi manusia.21 Kontrasnya, di saat HAM menjadi isu yang seharusnya diperhatikan oleh
lembaga penyiaran, KPI selaku pihak yang seharusnya menjamin terpenuhinya HAM dalam
program-program yang dikeluarkan lembaga penyiaran justru melakukan pelanggaran HAM
itu sendiri melalui surat edaran ini.
Mengenai surat edaran yang dikeluarkan oleh KPI ini, penulis melihat bahwa kasus
ini dapat ditelusuri dari perspektif feminis radikal. Feminis radikal pada umumnya melihat
seks/gender dalam sistem patriarki sebagai akar dari opresi yang dilakukan terhadap
perempuan. Dalam struktur masyarakat patriarki, feminis radikal melihat bahwa tubuh
perempuan dianggap objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Hal ini kemudian
menyebabkan adanya perilaku seksisme. 22 Penulis melihat struktur masyarakat yang bersifat
patriarkis melihat laki-laki yang berperilaku kewanitaan sebagai pihak yang berperilaku tidak
pantas atau tidak sejalan dengan konsensus yang ada di masyarakat, bahkan seringkali
mereka yang berperilaku tidak sesuai dengan gagasan gender di masyarakat dianggap sebagai
pihak yang memiliki kelainan seksual. Secara tidak langsung, laki-laki yang berperilaku
kewanitaan dianggap menurunkan posisinya sehingga menjadi sama dengan perempuan dan
dianggap tidak pantas untuk menjadi laki-laki, dan hal inilah yang dianggap sebagai
18

General Assembly of United Nations. 16 Desember 1966. International Covenant on Civil and Political
Rights. Diakses dari http://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf tanggal 10 April 2016
pukul 23.07.
19
Tanpa keterangan penulis. Broadcasting Bill. 1997. Diakses dari
https://www.article19.org/data/files/pdfs/analysis/southern-sudan-broadcasting-bill.pdf tanggal 10 April 2016
pukul 23.15.
20
Rachael Craufurd Smith. Pluralism and Freedom of Expression: Constitutional Imperatives for a New
Broadcast Order dalam Eric Barendt, The Yearbook of Media and Entertainment Law. (Oxford: Clarendon
Press. 1996). Hlm. 22.
21
Mark N. Templeton. A Human Rights Perspective in the Boradcasting Bill Debate. (Chicago: Cardozo
Journal of International and Comparative Law. 1997). Hlm. 404-406.
22
Rosemarie Tong. Loc.cit.

seksisme. Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan oleh KPI merupakan salah satu
bentuk seksisme di dalam masyarakat.
Feminis radikal ini terbagi menjadi feminis radikal libertarian dan radikal kultural.
Menurut Gayle Rubin, feminis radikal-libertarian melihat sistem seks atau gender sebagai
serangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk mengubah seksualitas biologis
menjadi produk kegiatan manusia, contohnya masyarakat patriarkal menggunakan data-data
mengenai gambaran fisik perempuan dan laki-laki seperti anatomi tubuh, kromosom, atau
hormon sebagai dasar untuk membangun identitas dan perilaku maskulin atau
feminin.23Feminis radikal-kultural, di sisi lain, melihat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan lebih kepada sisi biologis. Marilyn French melihat bahwa sifat androgini muncul
sebagai bentuk perlawanan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada sifat
tradisional laki-laki. French juga melihat bahwa opresi laki-laki terhadap perempuan
mengarah kepada pembenaran atas segala bentuk dominasi. Mary Daly sendiri menolak
istilah maskulin dan feminim secara keseluruhan dikarenakan perempuan tidak dapat
berprestasi apabila ia menyerah kepada moralitas korban. Menurutnya, perempuan harus
mengubah istilah-istilah tersebut melalui gyn/ecology yang pada intinya menyatakan bahwa
perempuan tidak akan bertahan lama apabila ia tetap berada dalam sistem patriarki. 24 Penulis
melihat bahwa surat edaran yang dikeluarkan KPI ini lebih merupakan pelanggaran terhadap
aliran feminis radikal-libertarian, dikarenakan istilah kewanitaan itu sendiri merupakan salah
satu bentuk dari penggambaran fisik yang membangun identitas untuk membedakan laki-laki
dan perempuan.
Secara historis, diskursus feminis bersandar pada pencarian kebenaran dan kesetaraan
yang seringkali tidak dapat dihitung jika dibandingkan dengan paradigma rasionalitas pasar
dan hal ini seringkali diabaikan atau dikonversikan dalam praktik dan kebijakan yang secara
ideologis sesuai dengan neoliberalisme. Pengakuan terhadap gender, kelas, kesetaraan kelas,
bahkan pekerjaan sosial itu sendiri seringkali dikaitkan dengan konsepsi moralitas. Konsepsi
mengenai apa yang baik ini dimaksimalkan dalam bentuk keuntungan ekonomis dengan
bersandar pada konsepsi moral. Apa yang dianggap baik di masyarakat berkembang dari
gagasan mengenai moralitas.25 Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh FPI, isu utama yang
menjadi permasalahan adalah standar moralitas yang berlandaskan patriarki ini dijadikan
sebagai patokan kebenaran sehingga pihak-pihak yang bertanggungjawab di balik surat
edaran tersebut tidak membuka mata akan adanya kaum minoritas yang juga perlu diwakilkan
suaranya dan tidak boleh didiskriminasi dalam surat edaran tersebut.
Kritik utama terhadap kebijakan ini sendiri pada dasarnya adalah ketidakjelasan
definisi kewanitaan, namun di sisi lain pendefinisian yang kongkrit mengenai kewanitaan itu
sendiri akan berpotensi menimbulkan kekacauan di masyarakat. Hal ini disebabkan karena
kewanitaan sesungguhnya adalah bentuk konstruksi sosial terhadap gender yang dibangun
sedari dini, dan istilah ini justru akan membatasi kebebasan berekspresi pembawa acara
dalam industri penyiaran dikarenakan tekanan yang diberikan oleh KPI dan masyarakat,
mengingat surat edaran ini sudah mulai membatasi kebebasan berekspresi pembawa acara
yang dikategorikan sebagai pembawa acara yang kewanitaan. Penulis mencoba mencari
beberapa definisi mengenai kewanitaan, dan definisi yang umumnya ditemukan adalah alat
kelamin perempuan atau sifat feminim, namun sifat feminim ini tidak dielaborasikan lebih
jauh indikatornya. Di sisi lain, apabila terjadi pendefinisian secara utuh mengenai kewanitaan
beserta indikator apa saja perilaku atau ciri-ciri seseorang dianggap kewanitaan,
23

ibid. hlm. 66-67.
Ibid. hlm. 56-58.
25
Shoshana Pollack dan Amy Rossiter. Neoliberalism and the Enterpreneurial Subject: Implications for
Feminism and Social Work. (Canadian Association for Social Work Education: Canadian Social Work Review
vol. 27, no. 2. 2010). Hlm. 158.
24

kemungkinan besar diskriminasi yang diterima akan lebih besar dan akan terjadi pembatasan
kebebasan berekspresi yang lebih signifikan.
Kembali ke pendefinisian mengenai patriarki, patriarki sejatinya adalah sistem
otoritatif laki-laki yang bersifat opresif dalam aspek sosial, politik, ekonomik, dan suasana
kultural, serta diskriminatif dalam kontrol akses terhadap kekuasaan, manajemen sumber dan
keuntungan, serta manipulasi publik dan struktur kekuasaan dalam lingkup privat. Mengenai
apakah isu ini dilihat dari perspektif seks ataupun gender, jika menyangkut pembagian divisi
kerja dalam pasar ekonomi ataupun ekstensi sosial peran laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat, patriarki bersandar pada hubungan opresif dan eksploitatif total yang
mempengaruhi perempuan dalam sistem kapitalis maupun sosialis.26 Dengan kata lain,
patriarki merupakan paradigma opresif dan sebuah hegemoni yang transformasinya tidak
akan terjadi tanpa adanya pertanyaan revolusioner yang mencakup setiap konsep, dan
menyangkut kasus KPI ini dibutuhkan perombakan total terhadap surat edaran ini agar
menghasilkan kebijakan baru yang tidak diskriminatif dalam sistem budaya patriarki.
Dibandingkan melihat spektrum gender dan standar mengenai kewanitaan yang
dimiliki oleh pembawa acara dalam lembaga penyiaran, penulis melihat urgensi yang lebih
utama menyangkut konten yang dibawakan oleh pembawa acara tersebut. Saat ini, penulis
melihat turunnya kualitas acara yang dibawakan oleh lembaga penyiaran, dan penurunan
kualitas ini seringkali dilakukan secara sengaja demi menaikkan rating lembaga penyiaran
tersebut. Surat edaran ini mungkin pada mulanya ditujukan demi peningkatan kualitas konten
lembaga penyiaran, namun kesalahan dasar dalam penggunaan istilah dalam surat edaran
inilah yang menurut saya berpotensi untuk menimbulkan penyimpangan dalam proses
penghukuman atau pemberian sanksi, mengingat KPI akan melakukan pengawasan secara
rutin terhadap lembaga-lembaga penyiaran ini. Dengan standar kewanitaan yang berbeda
antara lembaga KPI dan lembaga penyiaran, tentu akan terjadi konflik yang berkepanjangan
jika kelak terjadi pemberian sanksi.
Saat ini, penulis melihat bahwa KPI masih membuat keputusan yang didasarkan oleh
nilai yang mengakar di masyarakat secara turun-temurun dan mengabaikan fakta ilmiah yang
sejatinya sudah diakui di lembaga pendidikan secara internasional, dan hal inilah yang
menjadi masalah yang tidak disadari urgensinya oleh KPI. Di sisi lain, kita perlu juga melihat
bagaimana sudut pandang KPI selama beberapa tahun terakhir dalam pembuatan kebijakan
telah menimbulkan kritik dari masyarakat dan lembaga kenegaraan. Salah satu kebijakan KPI
yang menuai kritik adalah pernyataan komisioner KPI, Sujarwanto Rahmat Arifin, dalam
pembinaan stasiun Global TV. Seperti yang diberitakan di website KPI, KPI melakukan
forum dengan pihak Global TV terkait dengan klarifikasi dan pembinaan terhadap tiga
tayangan di TV tersebut, yaitu Buletin Indonesia Siang, Fokus Selebriti, dan kartun Dragon
Ball. Dalam forum tersebut, komisioner KPI meminta Global TV untuk memperhatikan
aspek-aspek perlindungan anak dan remaja dalam setiap program acara, khususnya tiga
program di atas.27
Melihat kedua acara yang disebutkan terlebih dahulu, ada rasa maklum mengapa
diperlukan perhatian dan perlindungan khusus terhadap anak dan remaja dalam kedua
program tersebut, mengingat kedua program tersebut memang bukan berada di segmen atau
kategori anak-anak, tetapi film Dragon Ball ini menimbulkan kontroversi di kalangan
pengguna media. Rahmat sendiri menyatakan bahwa KPI menempatkan kartun tersebut di
dalam kategori remaja dikarenakan unsur kekerasan yang terdapat dalam film tersebut terlalu
26

Ana Monteiro Ferreira. Questioning the Patriarchal Model. (Philadelphia: The Philadelphia Negro. 2004).
hlm. 395.
27
RG. 15 September 2015. Pembinaan Global TV: KPI Minta Aspek Perlindungan Anak dan Remaja Jadi
Perhatian. Diakses dari http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32982-pembinaan-globaltv-kpi-minta-aspek-perlindungan-anak-dan-remaja-jadi-perhatian tanggal 13 April 2016 pukul 23.00

berlebihan dan akan menghasilkan kecenderungan anak untuk meniru film tersebut. Selama
beberapa tahun terakhir, KPI banyak di kritik dikarenakan pemberian surat teguran yang
berlebihan di film-film adaptasi dari luar, termasuk kartun. Banyak sekali film-film dan
kartun dari luar negeri yang diberikan surat teguran dan bahkan diberikan larangan penyiaran
oleh KPI, seperti Spongebob Squarepants, Mahabharata, bahkan Tom and Jerry. Sebagian
besar surat teguran dan pelarangan penyiaran ini menurut KPI disebabkan karena adegan
kekerasan dan pemaparan terhadap nudity yang menurut mereka tidak aman untuk anak-anak,
namun kritik utama dari masyarakat pada umumnya adalah penyensoran yang berlebihan.
Selain itu, kritik dari kelembagaan yaitu DPR juga muncul terkait kebijakan KPI
lainnya, yaitu untuk melakukan uji publik perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran
Lembaga Penyiaran Swasta (IPP LPS) Induk Televisi Berjaringan. DPR sendiri menilai
bahwa langkah yang dilakukan KPI melampaui kewenangannya sebagaimana diatur dalam
UU Penyiaran. Wakil Ketua Komisi 1 DPR, TB Hasanuddin, menyatakan bahwa izin atau
perpanjangan izin penyiaran merupakan hak pemerintah, yaitu Kementrian Komunikasi dan
Informatika (Kemenkominfo). Menurutnya, uji publik yang digagas oleh KPI ini merupakan
keputusan yang tidak tepat dan terburu-buru dikarenakan seolah-olah KPI sudah melakukan
kontribusi yang merepresentasikan publik, padahal KPI tidak lebih dari melakukan survey
yang tidak memiliki standar ketat untuk merepresentasikan publik. Dengan kewenangannya
sebagai pengawas lembaga penyiaran, KPI seharusnya bertugas untuk memiliki tugas
monitoring yaitu mencatat track record kinerja lembaga penyiaran secara berkala dan telaten
secara periodik, dan dari situlah hasil pengawasan tersebut diserahkan kepada pemerintah.
Dengan kata lain, KPI hanya memberikan saran mengenai izin dan perpanjangan izin, bukan
menjadi pihak yang membuat keputusan. Dalam upaya pelaksanaannya, uji publik yang
dilakukan oleh KPI pada umumnya bersifat subjektif karena dipengaruhi oleh ingatan sekilas
publik di akhir periode penilaian. Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan serta tidak
memiliki metodologi yang tepat dikarenakan ketergantungannya terhadap ingatan publik
yang tidak permanen dan keberagaman publik dalam memberikan pendapat. 28 Hal ini
kemudian berimbas pada panggilan Komisi 1 DPR yang berupaya untuk memanggil KPI dan
mempertanyakan kinerja yang dilakukan KPI selama ini, terutama menyangkut ketersediaan
dan transparasi data terkait uji publik.
Jika dianalisis dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang menimbulkan kritik
tersebut, KPI melanggar fungsi pembatasan kekuasaan yang didasari oleh perkataan Lord
Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”29 Pihak-pihak yang
memiliki kekuasaan, menurut Lord Acton, memiliki kecenderungan untuk melakukan
penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian terhadap sistem birokrasi, apalagi jika kekuasaan
yang diberikan bersifat tidak seimbang. Surat edaran KPI mengenai laki-laki yang
berperilaku kewanitaan hanyalah salah satu bukti penyalahgunaan kekuasaan KPI, mengingat
pihak yang seharusnya membuat peraturan adalah Kemenkominfo dan seharusnya fungsi
pembuatan peraturan ini dikembalikan kepada pemerintah. Hal ini terlihat dari laporanlaporan pengaduan terhadap KPI yang pada akhirnya merepresentasikan kualitas lembaga
penyiaran.
Melihat kritik-kritik yang diberikan selama beberapa tahun terakhir, seharusnya KPI
lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan yang baru. Surat edaran KPI ini merupakan
salah satu bentuk kebijakan publik yang seharusnya merepresentasikan masyarakat dengan
mengkonstitusi elemen dasar institusi dalam pemerintahan yang demokratis. Hal ini
28

Dol. 15 Februari 2016. DPR Menilai, KPI Lakukan Uji Publik Melampaui Kewenangan. Diakses dari
http://autotekno.sindonews.com/read/1085493/132/dpr-menilai-kpi-lakukan-uji-publik-melampaui-kewenangan1455537223 tanggal 12 April 2016 pukul 7.52.
29
Lionel S. Lewis. When Power Corrupts: Academic Governing Boards in the Shadow of the Adelphi Case.
(New Jersey: Transaction Publishers. 2000). Hlm. 1.

disebabkan karena pendekatan kebijakan antara masyarkakat dengan negara yang
memberikan perbedaan signifikan dalam sikap dan perilaku politik bahkan aspek-aspek nonpolitikal dalam kehidupan sehari-hari. Kebijakan yang dibuat oleh lembaga negara ini
diharapkan dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap keaktifan masyarakat untuk ikut
serta dalam aktivitas yang dilakukan oleh lembaga tersebut sehingga dapat mengajak orang
lain untuk ikut serta untuk mengkritisi kebijakan tersebut sebagai salah satu bentuk
bagaimana demokrasi berjalan dalam penilaian yang bersifat subjektif ini. 30 Penulis melihat
KPI selama beberapa tahun terakhir memiliki kecenderungan untuk mengambil langkah
berdasarkan standar moral yang digunakan oleh masyarakat, namun sayangnya langkah yang
digunakan oleh KPI ini tidak merepresentasikan suara minoritas. Surat edaran yang
dipublikasikan oleh KPI ini merupakan bukti keburu-buruan KPI dalam mengambil
kebijakan, sehingga masyarakat dan lembaga pemerintahan tidak segan untuk menyatakan
penolakannya. Secara tidak langsung, KPI memang mengajak masyarakat untuk ikut serta
dalam proses demokrasi, namun sayangnya persuasi yang dilakukan KPI secara tidak
langsung ini hanya mengajak masyarakat untuk mengkritik dibandingkan mendukung
kebijakan-kebijakan yang telah mereka buat terdahulu, dan kebijakan yang ada ini justru
memiliki kesempatan untuk merusak citra KPI sebagai lembaga yang kredibel dalam
mengawasi lembaga penyiaran di Indonesia.
Penutup
Dalam negara dengan keberagaman yang ada, pergerakan kaum perempuan dapat
mempengaruhi pembuatan kebijakan melalui kombinasi antara faktor kultural dengan
politikal. Pendekatan post-struktural dapat menstabilisasi kerangka teoritis yang kemudian
mengarah ke perkembangan kebijakan sehingga memberikan alternatif kritis untuk
memahami diskursus dan dampak dari agenda kebijakan sosial. Hal ini berdampak pada
pergerakan sosial sebagai hasil akhir dari negosiasi terhadap kepentingan sosial dan kekuatan
negara. Dalam hal ini, tujuan akhir feminis radikal adalah untuk mengubah sistem yang
dibentuk dengan negara.31 Dengan kata lain, surat edaran ini akan dikaji ulang, bahkan
dicabut apabila kaum feminis secara berkala melakukan pergerakan sosial untuk menentang
surat edaran ini untuk menjadi landasan hukum. Kontrasnya, tanpa adanya pembicaraan yang
bermakna, opini publik dalam berbagai bentuk advokasi, protes, kampanye, ataupun
mobilisasi seakan tidak memiliki kekuatan untuk mengkritisi kebijakan yang telah dibuat
oleh KPI.
Terkait dengan kritik menyangkut kinerja KPI selama ini, TB Hasanuddin sendiri
menyatakan bahwa Komisi 1 DPR sudah mendapatkan banyak laporan terkait kinerja KPI
periode 2013 hingga 2016 yang dikatakan tidak lebih baik dari periode sebelumnya. Ia juga
mengaku bahwa ia sudah mengetahui kapasitas dan kapabilitas setiap komisioner KPI dan
kemungkinan-kemungkinan manuver yang mampu dilakukan oleh mereka. Hal ini menjadi
salah satu faktor pertimbangan apabila komisioner tersebut ingin mencalonkan diri lagi.
Komisi 1 DPR sendiri saat ini mempertanyakan dedikasi yang dimiliki oleh komisioner KPI
selama ini, mengingat kompetensi yang diharapkan tidak ditunjukkan oleh mereka hingga
saat ini. Mereka sudah mendiskusikan isu ini dengan Kemenkominfo untuk mengambil
langkah berikutnya agar mampu menjaga pemberian dan perpanjangan izin penyiaran dengan
kompetensi yang benar dan tidak merugikan kepentingan masyarakat serta mencegah
penilaian menjadikan lembaga penyiaran dan orang-orang yang ada di dalamnya menjadi
30

Luigi Curini, Willy Jou, dan Vincenzo Molini. Why Policy Representation Matters: The Consequences of
Ideological Proximity between Citizens and Their Government. (New York: Routledge. 2016). Hlm. 1-2.
31
Gail Lewis. ‘Race,’ Gender, Social Welfare: Encounters in a Postcolonial Society. (Cambridge: Polity Press.
2000). Hlm. 183-184.

korban.32 Walaupun begitu, hal tersebut tidak cukup untuk memastikan surat edaran seperti
kasus ini tidak terulang kembali.
Jika melihat dari perspektif feminis radikal-libertarian, Ann Ferguson melihat bahwa
kaum feminis harus mengambil-alih kendali dalam bidang apapun yang memberikan
kepuasan serta membebaskan diri dari batasan hukum, tatanan, dan bahkan menghancurkan
semua hal yang menyangkut seksualitas yang dianggap tabu di masyarakat. Menyangkut hal
ini, Gayle Rubin menyatakan bahwa salah satu kunci bagi kebebasan perempuan adalah
dengan mengakhiri represi seksual dari ideologi apapun yang menganggap bahwa seksualitas
merupakan hal yang buruk.33 Apabila hal ini diterapkan dalam kebijakan KPI, feminis
radikal-libertarian akan menganggap solusi dari permasalahan ini adalah penghapusan atau
pencabutan surat edaran ini dikarenakan kebijakan ini melihat seksualitas sebagai isu yang
tabu di masyarakat dan merupakan salah satu bentuk represi seksual.
Salah satu langkah terbaik untuk mencegah surat edaran seperti ini terulang kembali
adalah dengan melibatkan kaum feminis dalam pembuatan kebijakan-kebijakan KPI. Di
masyarakat Indonesia yang bersifat pluralis, gerakan feminis dapat mempengaruhi pembuatan
kebijakan melalui kombinasi-kombinasi dari faktor budaya dan struktural. Nickie Charles
melihat bahwa di Eropa, teori-teori mengenai pergerakan sosial telah membantu gerakan
feminis untuk membongkar hambatan budaya dengan menciptakan langkah-langkah alternatif
untuk memahami dunia. Jika dikaitkan dengan teori mobilisasi sumber daya di Amerika
Serikat, ia melihat bahwa dalam konteks kelembagaan politik feminis, kaum feminis secara
individual berusaha memperoleh akses ke pemerintahan dan lembaga-lembaga yang memiliki
posisi signifikan di pemerintahan melalui jaringan politik dan aliansi. Gelombang-gelombang
feminis pada umumnya berusaha membuat keputusan yang strategis agar dapat bekerja dalam
sistem yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengubah sistem politik dan
kerangka kebijakan. Dalam hal ini, kaum feminis yang kritis dibutuhkan karena mereka
memiliki dampak yang signifikan dikarenakan asimilasi langsung mereka ke dalam struktur
politik dengan menciptakan jaringan kebijakan feminis.34
Daftar Pustaka
Buku/Jurnal/Tesis
Charles, Nickie. (2000). Feminism, the State, and Social Policy. Basingstoke: Macmillan
Press.
Curini, Luigi, Willy Jou, dan Vincenzo Molini. (2016). Why Policy Representation Matters:
The Consequences of Ideological Proximity between Citizens and Their Government.
New York: Routledge.
Ferreira, Ana Monteiro. (2004). Questioning the Patriarchal Model. (Philadelphia: The
Philadelphia Negro.
Lewis, Gail. (2000).‘Race,’ Gender, Social Welfare: Encounters in a Postcolonial Society.
Cambridge: Polity Press.
Lewis, Lionel S. (2000). When Power Corrupts: Academic Governing Boards in the Shadow
of the Adelphi Case. New Jersey: Transaction Publishers.
Motta, Masimmo dan Michelle Polo. (2000). Concentration and Public Policies in The
Broadcasting Industry: The Future of Television. Los Angeles: NERA Economic
Consulting.
32

Dol. 15 Februari 2016. DPR Mencium Ada Manuver di Balik Uji Publik KPI. Diakses dari
http://autotekno.sindonews.com/read/1085533/132/dpr-mencium-ada-manuver-dibalik-uji-publik-kpi1455544963 tanggal 12 April 2016 pukul 8.06.
33
Rosemarie Tong. Op.cit. hlm. 93-94.
34
Nickie Charles. Feminism, the State, and Social Policy. (Basingstoke: Macmillan Press. 2000). Hlm. 74.

Pollack, Shoshana dan Amy Rossiter. (2010). Neoliberalism and the Enterpreneurial
Subject: Implications for Feminism and Social Work. Canadian Association for Social
Work Education: Canadian Social Work Review vol. 27, no. 2.
Smith, Rachael Craufurd. (1996). Pluralism and Freedom of Expression: Constitutional
Imperatives for a New Broadcast Order dalam Eric Barendt, The Yearbook of Media
and Entertainment Law. Oxford: Clarendon Press.
Templeton, Mark N. (1997). A Human Rights Perspective in the Boradcasting Bill Debate.
Chicago: Cardozo Journal of International and Comparative Law.
Tong, Rosemarie. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado:
Westview Press.
Utami, Rita. (2003). Tinjauan Analisis Kebijakan di Industri Penyiaran Televisi. Depok:
Universitas Indonesia (Tesis).
Berita/Dokumen Online
Akuntono, Indra. (1 Maret 2016). KPI Diminta Cabut Larangan Tayangan “Pria yang
Kewanitaan.”
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/01/12423771/KPI.Diminta.Cabut.Larangan.T
ayangan.Pria.yang.Kewanitaan
_____________. (2 Maret 2016). Kontroversi Tayangan “Pria Kewanitaan” dan Kebebasan
Berekspresi.
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/07273421/Kontroversi.Tayangan.Pria.Ke
wanitaan.dan.Kebebasan.Berekspresi?page=all
Dol. (15 Februari 2016). DPR Mencium Ada Manuver di Balik Uji Publik KPI.
http://autotekno.sindonews.com/read/1085533/132/dpr-mencium-ada-manuver-dibalikuji-publik-kpi-1455544963
___. (15 Februari 2016). DPR Menilai, KPI Lakukan Uji Publik Melampaui Kewenangan.
http://autotekno.sindonews.com/read/1085493/132/dpr-menilai-kpi-lakukan-uji-publikmelampaui-kewenangan-1455537223
Firdaus, Febriana. (26 Februari 2016). Dibalik Larangan KPI tentang Tayangan Pria
Berpakaian Wanita. http://www.rappler.com/indonesia/123811-surat-edaran-kpitentang-larangan-tayangan-berpakaian-wanita
General Assembly of United Nations. (16 Desember 1966). International Covenant on Civil
and Political Rights. http://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf
Hartawan, Tony. (2 Maret 2016). Lola Amaria Gerah KPI Larang Tayangan Pria Jadi
Banci. https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/114749891/lola-amaria-gerah-kpilarang-tayangan-pria-jadi-banci
Himawan, Adhitya dan Nikolaus Tolen. (1 Maret 2016). Surat Edaran KPI Berpotensi
Mematikan Keberagaman di Indonesia.
http://www.suara.com/news/2016/03/01/185152/surat-edaran-kpi-berpotensimematikan-keberagaman-di-indonesia
MYS. (11 Januari 2015). Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikildalam-perundang-undangan
Paskalis, Yohanes. (2 Maret 2016). GIB Dukung KPI Larang Tayangan Pria Bergaya
Perempuan. https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/078749820/gib-dukung-kpilarang-tayangan-pria-bergaya-perempuan
Rayhan. (1 Maret 2016). Aktivis Koalisi Perempuan Indonesia Batal Demo KPI.
https://www.islampos.com/aktivis-koalisi-perempuan-indonesia-batal-demo-kpi257379/

Redaksi Detak.co. (1 Maret 2016). Pro Kontra Larangan KPI terhadap Tayangan Pria
Berperilaku Kewanitaan. http://detak.co/pro-kontra-larangan-kpi-terhadap-tayanganpria-berperilaku-kewanitaan
RG. (15 September 2015). Pembinaan Global TV: KPI Minta Aspek Perlindungan Anak dan
Remaja Jadi Perhatian.
http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32982-pembinaan-globaltv-kpi-minta-aspek-perlindungan-anak-dan-remaja-jadi-perhatian
ST. (23 Februari 2016). Surat Edaran kepada Seluruh Lembaga Penyiaran mengenai Pria
yang Kewanitaan. http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/33267-edaran-kepadaseluruh-lembaga-penyiaran-mengenai-pria-yang-kewanitaan
Tanpa keterangan penulis. Broadcasting Bill. (1997). Diakses dari https://www.article19.org/
data/files/pdfs/analysis/southern-sudan-broadcasting-bill.pdf tanggal 10 April 2016
pukul 23.15.
____________________. (2 November 2009). KPI: Dasar Pembentukan.
http://www.kpi.go.id/index.php/2012-05-03-14-44-06/2012-05-03-14-44-38/dasarpembentukan

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63