Sensitivity and Specifity Immunochromatographic Tuberculosis (ICT Tuberculosis) Compared with Lowenstein-Jensen Culture

106

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Imunokromatografi
Tuberkulosis Dibandingkan dengan Kultur Lowenstein-Jensen
Sensitivity and Specifity Immunochromatographic Tuberculosis
(ICT Tuberculosis) Compared with Lowenstein-Jensen Culture
Della Jannah1, Indah Rahmawati1 dan Lantip Rujito1
ABSTRACT
Background: Tuberculosis remains major cause of morbidity and mortality in the world. Approximately one
third of the world’s population is infected with Mycobacterium tuberculosis, and it is estimated that 8
million new cases occur each year. It is difficult to diagnose TB in early phase because the symptoms are not
specific. The gold standard for TB diagnosis is the culture of M. tuberculosis. It can be performed on a variety
of specimens. It is much more sensitive than microscopy but requires more qualified personnel and takes a
longer time to provide results. One alternative to support tuberculosis diagnosis is immunochromatographic
tuberculosis (ICT Tuberculosis) test. The ICT Tuberculosis test is a test based on the detection of immunoglobulin
G (IgG) antibodies directed against antigens secreted by Mycobacterium tuberculosis during active infection.
Design and Method: This research used diagnostic test with cross sectional approach. Sampling technique
used was a consecutive sampling. Sputum and sera from 27 patients suspected of having pulmonary
tuberculosis who visit to Klinik Paru RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto were obtained. ICT

Tuberculosis test’s results were compared with sputum culture.
Result: The sensitivity and specificity of the ICT Tuberculosis test were 55,6% and 100%, respectively.
Conclusion: The analysis results in this research showed that ICT Tuberculosis test could not be used to
diagnosis TB, (Sains Medika, 1 (2) : 106 - 114).

Keywords: culture of M. tuberculosis, diagnostic test, Immunochromatographic tuberculosis

ABSTRAK
Pendahuluan: Tuberkulosis (TBC) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian di dunia. Sepertiga
dari populasi dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, dan diperkirakan 8 juta kasus baru terjadi
setiap tahun. Diagnosa TBC pada tahap awal sangat sulit dilakukan karena gejala tidak spesifik. Standard
emas untuk diagnosa TBC adalah kultur Mycobacterium tuberculosis pada berbagai spesimen karena
jauh lebih sensitif dibandingkan mikroskopis, tetapi memerlukan kualifikasi personil dan waktu yang
lebih panjang untuk memberikan hasil. Salah satu alternatif untuk mendukung diagnosa TBC adalah Tes
Immunochromatographic TBC (Tuberculosis ICT). Tes ICT berdasar pada deteksi immunoglobulin G (IgG)
terhadap antigen yang disekresi oleh Mycobacterium tuberculosis aktif selama infeksi.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan uji diagnostik dengan pendekatan cross sectional. Teknik
sampling yang digunakan adalah consecutive sampling. Dahak dan serum dari 27 pasien yang diduga
memiliki TBC paru diperoleh dari pasien yang datang ke Klinik Paru RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Hasil uji ICT TBC dibandingkan dengan kultur dahak.

Hasil Penelitian: Sensitifitas dan spesifisitas dari Uji ICT TBC yang diperoleh adalah 55,6% dan 100%.
Kesimpulan: Analisis hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Uji ICT TBC tidak dapat digunakan untuk
diagnosa TBC, (Sains Medika, 1 (2) : 106 - 114 ).
Kata kunci : Immunochromatographic tuberculosis, kultur M. tuberculosis, uji diagnostik

1

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu kesehatan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Imunokromatografi Tuberkulosis

107

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik menular yang disebabkan
oleh spesies Mycobacterium tuberculosis dan ditandai dengan pembentukan tuberkel
serta nekrosis kaseosa pada jaringan (Komala, 1998). Proses terjadinya infeksi oleh M.
tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB Paru merupakan manifestasi klinis
yang paling sering dijumpai dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian
besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuklei, khususnya yang didapat

dari pasien TB Paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil
tahan asam atau BTA (Sudoyo et al., 2006).
TB masih menjadi salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia.
Satu dari tiga populasi dunia diperkirakan telah terinfeksi TB dan tujuh sampai delapan
juta kasus baru terjadi setiap tahunnya (WHO, 2003). Sebanyak 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia diperkirakan terjadi di negara berkembang. Demikian juga
kematian wanita akibat penyakit TB lebih tinggi daripada kematian akibat kehamilan,
persalinan, dan nifas. Sekitar 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Orang dewasa diperkirakankan kehilangan sekitar 3-4 bulan
waktu kerjanya, sehingga berakibat pada penurunan pendapatan tahunan rumah
tangganya sebesar 20-30% jika mereka menderita TB. Selain merugikan secara ekonomis,
TB juga memberikan dampak terhadap kehidupan sosial, yaitu penderita TB cenderung
dikucilkan masyarakat (Depkes, 2006).
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
China dan India, dengan jumlah sekitar 10% dari total penderita TB di dunia (Depkes,
2006). Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga tahun 1985 dan survei kesehatan
nasional 2001, TB Paru menempati peringkat nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi
di Indonesia. WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap tahun terjadi 583.000
kasus baru tuberkulosis, dengan kematian karena tuberkulosis sekitar 140.000 (Kalma,
2003). Angka penemuan kasus TB Paru mengalami peningkatan hampir setiap tahunnya

di Kabupaten Banyumas. Pada tahun 2007, angka penemuan kasus TB Paru meningkat
sebesar 4% dari tahun sebelumnya (DKK Banyumas, 2008).
Diagnosis TB pada tahap dini cukup sulit dilakukan, karena gambaran klinis
yang timbul tidak spesifik. Pemeriksaan gejala klinis yang timbul, pemeriksaan fisik,

108

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

radiologis dan pemeriksaan laboratoris, dibutuhkan untuk diagnosis TB. Diagnosis pasti
adalah dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan biakan dahak atau kultur.
Teknik kultur memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, tetapi dibutuhkan waktu
yang lama untuk memperoleh hasilnya, yaitu lebih dari satu minggu. Selain itu,
dibutuhkan tenaga yang memiliki keahlian khusus untuk dapat mengerjakannya. Oleh
karena itu, dibutuhkan metode yang cepat, sensitif dan spesifik untuk menegakkan
diagnosis TB Paru (Kalma, 2003).
Salah satu alternatif pemeriksaan penunjang untuk TB Paru adalah pemeriksaan
immunochromatographic (ICT), suatu teknik pemeriksaan komponen kekebalan dengan
memisahkan campuran zat-zat berdasarkan perbedaan afinitas relatif zat tersebut yang
diharapkan tepat guna dan berdaya guna (Kalma, 2003). ICT TB dirancang untuk

mendeteksi antibodi terhadap M. tuberculosis. Prosedur ini dapat diselesaikan dalam
waktu 20 menit dan tidak memerlukan peralatan serta keterampilan khusus (Ongut et al.,
2006).
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan ICT
pada pasien suspek TB Paru dengan menggunakan whole blood, serum dan plasma masingmasing adalah 83, 65 dan 70%, sedangkan spesifisitasnya adalah 46, 67 dan 56%
(Gounder et al., 2002). Sumber lain menyatakan bahwa sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan imunokromatografi tuberkulosis berturut-turut sebesar 33,3% dan 100%
(Ongut et al., 2006). Selain itu, ada pula sumber yang menyatakan sensitivitasnya berada
diantara 70-92% dengan spesifisitas diantara 92 dan 93% (Grobusch et al., 2006). Hasil
penelitian pemeriksaan imunokromatografi masih beragam dan di RSUD Prof. Dr. Margono
Soekarjo belum pernah melakukan pemeriksaan ICT TB, tetapi metode pemeriksaan
tersebut sudah sering dilakukan pada pasien tuberkulosis yang menjalani rawat inap.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
memberikan pemeriksaan ICT Tuberkulosis kepada pasien karena biaya pemeriksaan
yang tidak murah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam penelitian uji diagnostik dengan pendekatan cross
sectional study. Sampel penelitian diperoleh dengan metode consecutive sampling dari


Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Imunokromatografi Tuberkulosis

109

Klinik Paru RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo pada bulan Januari 2009 sampai dengan
Maret 2009. Kriteria inklusi sampel penelitian antara lain: penderita suspek TB Paru
dewasa kasus baru, yaitu pasien dengan gejala klinis batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari
satu bulan yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) sebelumnya (Depkes RI, 2006). Kriteria eksklusi yang ditetapkan antara lain:
penderita yang sedang mengkonsumsi obat yang bersifat imunosupresan seperti
kortikosteroid dan anti kanker (data diperoleh dari kuesioner).
Variabel prediktor dalam penelitian ini adalah hasil pemeriksaan
imunokromatografi tuberkulosis, sedangkan variabel outcome adalah kultur. Hasil
pemeriksaan imunokromatografi Merek SD Rapid TB, made in Korea berupa skala nominal
yaitu negatif dan positif. Hasil pemeriksaan dianggap positif jika muncul warna pada
kedua garis, baik “Test line” maupun “Control line” (T dan C). Dikatakan negatif jika hanya
garis kontrol yang memberikan warna. Apabila garis kontrol tidak memberikan warna,

artinya pemeriksaan harus diulang dengan menggunakan komponen yang baru. Hasil
pemeriksaan kultur berupa skala nominal dikotom, yaitu positif dan negatif. Hasil
dikatakan positif apabila didapatkan koloni berwarna putih kekuningan pada media
kultur dan negatif apabila tidak didapatkan koloni berwarna putih kekuningan.
Analisis data dalam uji diagnostik ini memberikan nilai sensitivitas, spesifisitas,
nilai duga positif, nilai duga negatif, rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan
negatif.

HASIL PENELITIAN
Karakteristik pasien TB paru yang dilibatkan dalam sampel penelitian ini disajikan
pada Tabel 1, dan hasil pemeriksaan ICT dan Lowenstein Jensen disajikan pada tabel 2.

110

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Tabel 1.

Karakteristik Responden


Tabel 2.

Hasil uji diagnostik

Keterangan:

PEMBAHASAN
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan ICT
Tuberkulosis terhadap kultur Lowenstein-Jensen sebesar 55,6%. Hal ini berarti bahwa
kemampuan pemeriksaan ICT Tuberkulosis dalam mendiagnosis pasien dengan hasil
positif dan benar menderita TB adalah sebesar 55,6%. Nilai spesifisitas pemeriksaan
ICT Tuberkulosis terhadap kultur Lowenstein-Jensen adalah 100%, artinya kemampuan
pemeriksaan ICT Tuberkulosis dalam mendiagnosis pasien dengan hasil negatif dan
benar tidak menderita TB adalah sebesar 100%. Nilai duga positif 100% berarti
probabilitas seseorang menderita penyakit apabila hasil uji diagnostiknya positif adalah
100%. Nilai duga negatif 81,8% artinya probabilitas seseorang tidak menderita sakit
apabila hasil uji diagnostiknya negatif adalah 81,8%.
Statistik lain yang diperoleh dari uji diagnostik adalah rasio kemungkinan. Rasio
kemungkinan negatif sebesar 0,44 artinya kemungkinan seseorang untuk tidak sakit jika
hasil ujinya negatif adalah sangat lemah. Rasio kemungkinan positif tidak terhingga (~)


Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Imunokromatografi Tuberkulosis

111

artinya sangat kuat kemungkinan seseorang untuk sakit jika hasil ujinya positif. Nilai
rasio kemungkinan yang tidak terhingga didapat karena spesifisitas hasil penelitian
sebesar 100%. Akan tetapi, kecil sekali kemungkinan ada suatu uji yang menunjukkan
ketepatan 100%. Hal ini dapat terjadi karena dalam penelitian ini menggunakan jumlah
sampel minimal.
Besar sensitivitas dan spesifisitas hasil penelitian ini hampir sama dengan
penelitian yang dilakukan di Makasar dengan jumlah sampel 96 menunjukkan sensitivitas
sebesar 64% dan spesifisitas 100% (Kalma, 2003). Penelitian di Itali menunjukkan
sensitivitas sebesar 56,7% dan spesifisitas 90,4% (Bartoloni et al., 2003). Hasil penelitian
ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pemeriksaan serologis mempunyai
spesifisitas yang tinggi dan sensitivitas yang lebih rendah (Senol et al., 1995).
Hasil penelitian yang dilakukan di Ghana, menunjukkan bahwa sensitivitas dan
spesifisitas pemeriksaan ICT Tuberkulosis dari 310 sampel masing-masing sebesar 80%
dan 98,2% (Adjei et al., 2003). Di China penelitian serupa dengan jumlah sampel 152
menunjukkan sensitivitas pemeriksaan ICT Tuberkulosis sebesar 89% dan spesifisitas

74% (Bartoloni et al., 2003). Penelitian di Brazil dengan sampel sebanyak 70 menunjukkan
sensitivitas sebesar 83% dengan spesifisitas 46% (Gounder et al., 2002). Hal yang mungkin
menyebabkan perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian di negara-negara lain di
antaranya adalah perbedaan antigen yang digunakan pada masing-masing penelitian
(Perkins et al., 2003) dan perbedaan tempat penelitian yang berhubungan dengan frekuensi
penyakit pada masing-masing populasi (Bartoloni et al., 2003) atau perbedaan etnik
(Senol et al., 2007).
Tingginya nilai sensitivitas pemeriksaan di Ghana, Brazil, dan China dapat
dikarenakan daerah tersebut merupakan endemik TB. Pada wilayah endemik, keadaan
respons imun terus - menerus mengalami stimulasi sehingga antibodi yang melawan
antigen yang disekresikan M. tuberculosis berada dalam jumlah yang cukup tinggi. Hal
ini sesuai dengan penelitian di Uganda yang menemukan bahwa proporsi paling tinggi
dari respons antibodi positif terjadi pada sampel serum dari daerah endemik TB (Senol
et al., 1995).
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi rendahnya sensitivitas pemeriksaan
ICT Tuberkulosis pada penelitian ini adalah respons imun yang rendah pada pasien

112

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009


lanjut usia (> 60 tahun). Dalam penelitian ini, pasien berusia >60 tahun dengan hasil
kultur positif sebanyak 4 orang dan hanya 1 orang yang memberi hasil pemeriksaan ICT
TB positif (25%). Pasien berusia > 60 tahun dengan hasil kultur positif sebanyak 5 orang,
dimana 4 diantaranya memberi hasil positif pada pemeriksaan ICT TB (80%). Respons
serologi pada seseorang dipengaruhi oleh luasnya lesi, durasi paparan oleh antigen
serta sistem imun (Senol et al., 1995). Salah satu faktor yang mempengaruhi sistem imun
adalah usia. Pada anak-anak, sistem imunitas belum terbentuk secara matang, sehingga
belum berfungsi secara maksimal. Sementara itu, pada usia > 60 tahun, sistem imunitas
mengalami penurunan, baik dalam respons imun primer maupun respons imun sekunder.
Respons imun primer diperlukan untuk pematangan, diferensiasi dan proliferasi sel T
dan sel B, sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen. Respons imun sekunder
mempunyai fungsi untuk menangkap dan mempresentasikan antigen dengan efektif,
proliferasi dan diferensiasi limfosit yang disensitisasi oleh antigen spesifik dan
merupakan tempat utama produksi antibodi (Baratawidjaja, 2006). Fungsi sistem
imunitas tubuh antara lain: membantu perbaikan Deoxiribo Nucleic Acid (DNA) manusia;
mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus, dan organisme lain; serta
menghasilkan antibodi. Menurunnya sistem imunitas tubuh pada usia lanjut
menyebabkan fungsinya (immunocompetence) pun menurun, diantaranya adalah
berkurangnya jumlah produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua
(Fatmah, 2006).
World Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa untuk menggantikan
baku emas, dalam hal ini adalah kultur, sebuah pemeriksaan serologi harus memiliki
sensitivitas >80% dan spesifisitas >95% (Senol et al., 1995). Berdasarkan hasil analisis
data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa pemeriksaan ICT
Tuberkulosis tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk diagnosis
TB, karena sensitivitasnya hanya sebesar 55,6% walaupun nilai spesifisitasnya 100%.
Walaupun demikian, pemeriksaan ICT Tuberkulosis dapat bermanfaat untuk membantu
pada kasus-kasus sulit seperti pada kasus dengan derajat kesakitan pasien sangat tinggi
sehingga pasien tidak mampu mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan bakteriologis
(Kalma, 2003). Spesifisitas pemeriksaan ICT Tuberkulosis yang tinggi menunjukkan bahwa
pemeriksaan tersebut dapat digunakan untuk keperluan menyingkirkan diagnosis

Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan Imunokromatografi Tuberkulosis

113

(Sastroasmoro dan Ismael, 2002).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan mengenai seberapa
perlu pemeriksaan ICT Tuberkulosis dilakukan serta kapan pemeriksaan ICT Tuberkulosis
ini dapat diberikan, mengingat biaya pemeriksaan yang cukup mahal.

KESIMPULAN
Sensitivitas pemeriksaan ICT TB adalah 55,6%, artinya kemampuan pemeriksaan
ICT TB dalam diagnosis pasien dengan hasil positif dan benar menderita TB Paru adalah
sebesar 55,6%. Spesifisitas pemeriksaan ICT TB adalah 100%, artinya kemampuan
pemeriksaan ICT TB dalam diagnosis pasien dengan hasil negatif dan benar tidak
menderita TB paru adalah sebesar 100%.

SARAN
Perlunya evalusai lebih lanjut dari penelitian ini dengan menambah jumlah sampel
penelitian. Penggunaan ICT Tuberkulosis sebaiknya tidak dijadikan cek rutin karena
biaya yang mahal.

DAFTAR PUSTAKA
Adjei, A. Anthony, H. Armah, O.A. Duah, T. Adiku, and I.F.A. Hesse., 2003, Evaluation of a
Rapid Serological Chromatographic Immunoassay for the Diagnosis of Pulmonary
Tuberculosis in Accra, Ghana, Journal of Infectious Diseases, 56: 161-164.
Baratawidjaja, K.G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi 7, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta: 76-77.
Depkes, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Edisi 2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: 3-4.
DKK., 2008, Case Detection Rate, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas.
Fatmah, 2006, Respon Imunitas yang Rendah Pada Usia Lanjut, Artikel. Departemen Gizi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
Jakarta.
Gounder, C., F.C. Mello., M.B. Conde., W.R. Bishai, A.L. Kritski, R.E. Chaisson, et al., 2002,
Field Evaluation of a Rapid Immunochromatographic Test for Tuberculosis, Journal
of Clinical Microbiology, 40 (6): 1989-1993.
Grobusch, M.P., D. Schurmann, S. Schwenke, D. Teichmann, and E. Klein, 1998, Rapid
Immunochromatographic Assay for Diagnosis of Tuberculosis, Journal of Clinical
Microbiology, 36 (11): 3443.

114

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Kalma, 2003, Deteksi Antibodi Spesifik terhadap Mycobacteritrm tuberculosis dalam Serum
Penderita Tuberkulosis Paru Menggunakan AIM TB Rapid Card, Airlangga University
Library, (5), 17-20.
Komala, P., S. Komala, A.H. Santoso, J.R. Sulaiman, dan Y. Rienita, 1998, Kamus Saku
Kedokteran Dorland, EGC, Jakarta.
Ongut, G., D. Ogunc., F. Gunseren., C. Ogus., L. Donmez., D. Colak., et al., 2006, Evaluation
of the ICT Tuberculosis test for the Routine Diagnosis of Tuberculosis, BMC Infectious
Diseases, 6 (37).
Perkins, D. Mark, Marcus B. Conde, M. Martins, and Afranio L. Kritski, 2003, Serologic
Diagnosis of Tuberculosis Using a Simple Commercial Multiantigen Assay,
American College of Chest Physicians, 123: 107-112.
Sastroasmoro, S. dan S. Ismael, 2002, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Sagung
Seto, Jakarta.
Senol, G., O.F. Erer, Y.A. Yalcin, M. Coskun, A.T. Gunduz, C. Bicmen, M. Ertas and S.A. Ozkan,
2007, Humoral Immune Response Againts 38-kDa and 16-kDa mycobacterial
Antigents in Tuberculosis, European Respiratory Journal, 29 (1): 143-148.
Sudoyo, A., B. Setyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, dan S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi 4, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 998-1004.