PEMBELAAN TIM PENASEHAT HUKUM TAK RELEVAN

PEMBELAAN TIM PENASEHAT HUKUM TAK RELEVAN
JAKSA TETAP MINTA TAMHER-RAHAYAAN DIPENJARAKAN DUA TAHUN

rudiyanto.blog.kontan.co.id

Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak Nota Pembelaan (Pledooi) Walikota Tual
Nonaktif, Mahmud M. Tamher dan Wakilnya, Adam Rahayaan dalam Kasus Korupsi Dana
Asuransi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Maluku Tenggara
(Malra) Periode 1999-2004. JPU tetap pada tuntutannya yakni meminta Majelis Hakim
menghukum Mahmud M. Tamher dan Adam Rahayaan dengan hukuman dua tahun penjara
atas perbuatan mereka yang merugikan negara Rp5.785.000.000,Penolakan itu dituangkan dalam Jawaban JPU (Replik), Riyadi dan Ahmad Bagir
yang dibacakan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Rabu (8/4).
Menurut JPU, surat dakwaan dan tuntutan bukan mendakwa perbuatan terdakwa melakukan
tindak pidana korupsi dengan modus operandi penetapan Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten Malra Tahun 1999-2004 yang didalamnya terdapat dana asuransi, tetapi yang
didakwakan JPU adalah tindak pidana korupsi dengan modus operandi menerima dana
asuransi yang tidak digunakan untuk asuransi. Karena itu, nota pembelaan mengenai
pembahasan, pengawasan dan pembatalan Perda sebagaimana dimaksudkan para terdakwa
tidak ada relevansinya. Olehnya JPU memohon agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang
memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagaimana termuat dalam Surat
Tuntutan JPU pada 11 Maret 2015 lalu. Dalam tuntutannya, selain meminta majelis hakim

menghukum Mahmud M. Tamher dan Adam Rahayaan dengan hukuman dua tahun penjara,
Eks orang kuat di Kota Tual itu juga dituntut membayar denda Rp100 juta, subsidair enam
bulan kurungan. Mahmud M. Tamher dan Adam Rahayaan tidak dituntut membayar uang
pengganti, karena keduanya sudah mengembalikan kerugian negara.
Selain Mahmud M. Tamher dan Adam Rahayaan, dua rekannya yang juga Mantan
Anggota DPRD Kabupaten Malra periode 1999-2004 yakni Joseph Uli Rahail dan Ivo
Ratuanak dituntut dengan hukuman dua tahun penjara, denda Rp100 juta subsidair enam
bulan kurungan dan membayar uang pengganti masing-masing sebesar Rp180 juta. Apabila
uang pengganti tidak dibayar, maka harta benda Joseph Uli Rahail dan Ivo Ratuanak akan

1
Catatan Berita/UJDIH Perwakilan Provinsi Maluku 2015

disita. Jika harta benda keduanya tidak mencukupi, maka ditambah hukuman kurungan satu
tahun penjara.
Sebelumnya, Tim Penisehat Hukum (PH) Mahmud M. Tamher dan Adam Rahayaan
menepis tuntutan JPU. Dalam sidang lanjutan Kasus Korupsi Dana Asuransi DPRD
Kabupaten Malra periode 1999-2004 di Pengadilan Tipikor Ambon Rabu (25/3), keduanya
meminta Majelis Hakim membebaskan keduanya dari segala tuntutan maupun Dakwaan JPU.
PH Mahmud M. Tamher yakni Firel Sahetapy, Yehezkiel Kaligis, Edward Diaz, Ma’ad Patty,

Andi Suhernandi, Wardaya dan Elther M.Leaua. Sedangkan Adam Rahayaan didampingi
Tim PH, Adolof Seleky, Daniel Nirahua dan Theodoron Soulisa.
Tim PH Mahmud M. Tamher dalam pledooinya mengatakan, berdasarkan fakta
hukum dari perkara a quo, penerimaan dana asuransi oleh Mahmud M. Tamher dan 34
Mantan Anggota DPRD Malra Periode 1999-2004 sudah sesuai dengan aturan yakni
Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2002, Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2003, Surat
Keputusan Otorisasi Nomor 154 tahun 2002 dan Surat Keputusan Otorisasi Nomor 241 tahun
2003 tentang Penjabaran Kegiatan dan Proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Tahun Anggaran 2002 dan 2003. Aturan-aturan ini merupakan dasar hukum yang mengikat
secara administrasi yang kemudian ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Pemkab Malra. Selanjutnya dicairkan dan diserahkan kepada Sekretaris
Dewan (Sekwan) melalui Bendahara Dewan untuk melakukan pembayaran dana asuransi
secara bertahap kepada 34 Mantan Anggota DPRD Malra Periode 1999-2004.
Disebutkan, Tahun 2004 sesuai Temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), maka
terdakwa Mahmud M. Tamher dan 34 Mantan Anggota DPRD Malra Periode 1999-2004
lainnya diperintahkan untuk menyetorkan kembali dana tersebut. Sebab setelah dana tersebut
dibayarkan, dalam Perda maupun PP Nomor 105 tahun 2000 tidak mengatur klausul yang
mempertegas adanya penyerahan polis asuransi terhadap pihak ketiga dalam hal ini
pemegang lisensi (pihak asuransi), sehingga 34 Mantan Anggota DPRD Malra yang
menerima dana tersebut kemudian menggunakannya seperti penghasilannya perbulan.

Selanjutnya, terdakwa telah mengembalikan dana tersebut pada 2 (dua) tahap yakni
tahap pertama sebesar Rp165.285.714 pada 4 Februari 2009 dan tahap kedua 11 April 2011
sebesar Rp14.715.000 dengan total Rp180.000.174 dan pada Tahun 2012 baru
dikeluarkannya surat perintah dimulainya penyidikan sampai dengan penetapan tersangka
atas diri terdakwa. Khusus terhadap terdakwa, sebelum adanya surat perintah dimulainya
penyidikan, sampai pada penetapan sebagai tersangka pada Tahun 2012, terdakwa sudah
mengembalikan kerugian negara pada Tahun 2009 dan 2011.
Dengan demikian, menurut Tim PH Mahmud M. Tamher, jika merujuk pada
keterangan ahli Profesor AM Sukri Akub, apabila kerugian negara telah dikembalikan pada
saat sebelum dimulainya penyidikan, tepatnya sebelum seseorang ditetapkan sebagai
tersangka, maka tidak ada tindak pidana, sehingga
dalam hal seseorang
melakukan perbuatan pidana, sedangkan perbuatan pidana tersebut belum diatur atau belum
2
Catatan Berita/UJDIH Perwakilan Provinsi Maluku 2015

diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali
tidak dapat dipidana. Oleh karena itu, Tim PH Mahmud M. Tamher memohon kepada
Majelis Hakim untuk menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi dan
membebaskan terdakwa dari segala tuntutan maupun dakwaan JPU.

Sementara itu, terdakwa Rahayaan dalam pembelaannya juga mengatakan,
berdasarkan fakta hukum dari perkara a quo, penerimaan dana asuransi oleh Mahmud M.
Tamher dan 34 Mantan Anggota DPRD Malra periode 1999-2004 sudah sesuai dengan aturan
yakni Peraturan Daerah Nomor 07 Tahun 2002, Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2003,
Surat Keputusan Otorisasi Nomor 154 tahun 2002 dan Surat Keputusan Otorisasi Nomor 241
Tahun 2003 tentang Penjabaran Kegiatan dan Proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Tahun Anggaran 2002 dan 2003 merupakan dasar hukum yang mengikat secara
administrasi.
Menurut Rahayaan, dalam kasus ini, dirinya maupun 34 Mantan Anggota DPRD
Malra periode 1999-2004 tidak bisa dipersalahkan. Yang harus bertanggungjawab dalam
kasus ini adalah Sekretariat DPRD Malra dan bukan Anggota DPRD Malra periode 19992004. Pasalnya APBD 2002 dan 2003 yang mengatur tentang dana asuransi sah karena itu
diakui oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku dan disahkan dalam Perda Kabupaten
Malra. Oleh karena itu, Tim PH Adam Rahayaan memohon kepada Majelis Hakim untuk
membebaskan yang bersangkutan dari segala tuntutan maupun dakwaan JPU.
Sumber Berita :
Harian Siwalima, 09 April 2015
Catatan :
 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disebut DPRD adalah DPRD
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 Pimpinan DPRD adalah Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPRD, sedangkan Anggota
DPRD adalah mereka yang diresmikan keanggotaannya sebagai Anggota DPRD dan
telah mengucapkan sumpah/janji berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
 Sekretariat DPRD adalah unsur pendukung DPRD sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sekretaris DPRD adalah Pejabat Perangkat
Daerah yang memimpin Sekretariat DPRD.
 Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat, Pimpinan dan Anggota DPRD
diberikan hak berupa Uang Representasi, Uang Paket, Uang Jasa Pengabdian, dan
3
Catatan Berita/UJDIH Perwakilan Provinsi Maluku 2015










berbagai tunjangan antara lain Tunjangan Jabatan, Tunjangan Alat Kelengkapan DPRD,
Tunjangan Kesejahteraan, Tunjangan Komunikasi Intensif, dan Dana Operasional.
Namun, kepada Pimpinan maupun Anggota DPRD Periode 1999 – 2004 diberikan hak
keuangan lain yaitu Dana Asuransi. Dana tersebut tercantum dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD). Namun, dana tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan
peruntukkannya melainkan dipergunakan untuk kepentingan pribadi dari masing-masing
Anggota DPRD.
Asuransi adalah perjanjian antara penanggung dan tertanggung yang mewajibkan
tertanggung membayar sejumlah premi untuk memberikan penggantian atas risiko
kerugian, kerusakan, kematian, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin terjadi atas peristiwa yang tak terduga.
Relevansi antara pengembalian uang hasil korupsi terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan
(terhadap pelaku) dijelaskan dalam pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) serta penjelasannya. Dalam pasal
4 UU 31/1999 dinyatakan antara lain bahwa pengembalian kerugian keuangan negara
atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut.
Kemudian, di dalam penjelasan pasal 4 UU 31/1999 dijelaskan sebagai berikut:

“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal
3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak
pidana tersebut. “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.”
Kemudian, merujuk pada pasal 2 UU 31/1999 serta penjelasannya, antara lain diketahui
bahwa unsur dapat merugikan negara dalam tindak pidana korupsi merupakan delik
formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Dengan demikian,
suatu perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara sudah dapat dikategorikan
sebagai korupsi.
Terkait hal yang sama, pakar Hukum Acara Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII)
Mudzakkir juga berpendapat bahwa pengembalian uang atau kerugian negara oleh
terdakwa dapat menjadi alasan bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkan
kepada terdakwa yang bersangkutan. Pengembalian tersebut, menurut Mudzakkir, berarti
ada itikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Mudzakkir menegaskan bahwa
pengembalian uang tidak mengurangi sifat melawan hukum. Demikian pendapat yang
dimuat dalam artikel hukumonline berjudul “Pengurangan Hukuman Syaukani Sesuai
Doktrin”. Dalam artikel tersebut juga ditulis :
“Dalam praktek, lanjut Mudzakkir, pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan

dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali
4

Catatan Berita/UJDIH Perwakilan Provinsi Maluku 2015

diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan
setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. ‘Kalau
menurut saya, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum.
Misalnya saya mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu. Itu
kan tetap tindak pidana,’ jelasnya.”
 Pendapat yang sama juga disampaikan oleh peneliti Lembaga Kajian untuk Advokasi dan
Independensi Peradilan (LeIP) Arsil. Arsil kepada Klinik Hukum (12/01) mengatakan,
pengembalian uang hasil korupsi secara sukarela oleh terdakwa biasanya menjadi alasan
bagi hakim untuk mengurangi hukuman. Jadi, memang terdapat relevansi antara
pengembalian hasil korupsi dengan sanksi pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku. Di
satu sisi, pengembalian uang hasil korupsi dapat menjadi alasan bagi hakim untuk
mengurangi pidana bagi si pelaku, tapi tidak menghapuskan pidananya. Demikian
menurut peraturan perundang-undangan dan praktek atau kebiasaan yang berlaku.
(http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0786a1bb8b5/pengembalian-uang-hasilkorupsi, Amrie Hakim, S.H., Pengembalian Uang Hasil Korupsi, Diakses tanggal 09 April
2015).


5
Catatan Berita/UJDIH Perwakilan Provinsi Maluku 2015