TAP.COM - DEMOKRASI, PEMBAJAKAN ELIT DAN KONTRAKSI POLITIK PEMBANGUNAN ...
Politik Pertanian Indonesia
DEMOKRASI, PEMBAJAKAN ELIT DAN KONTRAKSI
POLITIK PEMBANGUNAN PERTANIAN
Lukas R. Wibowo dan Handoyo
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian terus diintensifkan baik secara kelembagaan,
teknologi maupun sosial ekonomi politik. Peningkatan intensitas pembangunan
pertanian ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas hasil pertanian.
Berbagai data menunjukkan bahwa justru ada kemandegan produktivitas di berbagai
komoditas. Arus deras impor pun akhirnya menjadi pilihan instan untuk mengatasi
problem komoditas yang tidak disadari semakin menenggelamkan harapan, kredibilitas
dan kapasitas petani dan pertanian sebagai penopang pembangunan nasional.
Sementara di sisi lain, proses diferensiasi sosial berbasis keagrariaan semakin
menajam, membuat harapan besar para petani akan masa depannya semakin
meredup seiring dengan proses fragmentasi lahan-lahan pertanian.
Tulisan ini mencoba mendiskusikan persepektif perkembangan demokrasi
politik dan politik pembangunan pertanian dalam kerangka mencari opsi jalan keluar
dari berbagai krisis yang melingkupinya, seperti krisis pangan, kedaulatan dan
legitimasi kelembagaan di tengah semakin derasnya neoliberalisme. Argumentasinya
adalah selama ini pembangunan pertanian hanya dikupas dari sisi teknis dan sosial
ekonomi (Lihat: Suradisastra, 2011; Andri, 2006; Syahrani, 2001) dan aspek mikro
pemberdayaan petani (Karsidi, 2002) serta komunikasi pembangunan pertanian (Kifli,
2007). Belum banyak yang mencoba membedah pembangunan pertanian dari frame
perkembangan demokrasi politik, terutama dari perkembangan transreformasi politik
dari otoriterisme sampai pada era transisi demokrasi. Dalam membedah dinamika
politik pembangunan pertanian, maka saya akan menggunakan dua variabel utama
sebagai basis analisis, yakni kuasa politik dan ekonomi.
DEMOKRASI, JEBAKAN DEMOKRASI DAN PRAGMATISME
Sebelum jauh pembaca masuk ke dalam tulisan yang argumentatif ini,
walaupun mungkin para pembaca telah mengetahui apa itu demokrasi, namun penulis
berpikir tidak ada salahnya penulis menuliskan tawaran makna demokrasi dari
beberapa literatur demi mulusnya proses pemahaman kita tentang jebakan demokrasi
dan pragmatisme pada tulisan ini. Mungkin sebagian besar ilmuan politik setuju
dengan tawaran Cohen (1971) yang memaknai demokrasi secara fundamental sebagai
partisipasi masyarakat dalam ikut serta pada pembuatan kebijakan. Dalam
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
111
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
ensiklopedia pemerintah dan politik (Hawkesworth dan Kogan, eds, 2002) tidak
ditemukan terminologi tunggal demokrasi, namun tertulis terminologi "demokrasi
liberal" dimana kata "liberal" dimaknai dua hal di dalam konteks sistem-sistem politik.
Pertama, mereka mengklaim bahwa demokrasi berdiri diatas pengertian responsifnya
terhadap harapan-harapan warga negara, tidak terhadap kepentingan yang "dianggap
terbaik" dari warga negara yang didefinisikan oleh penguasa (pemerintah) atau oleh
sistem ideologi. Kedua, harapan-harapan dari golongan mayoritas tidak untuk
menunggangi hak politik dan hak sipil dari golongan minoritas. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terminologi "demokrasi liberal" mempunyai makna posisi tawar
yang implisit antara wakil pemerintah dan warga negaranya. Posisi tawar adalah
legitimasi milik pemerintah yang merupakan pengharapan patuhnya terhadap hukum
pemerintah yang bergantung pada klaim untuk melakukan apa yang warga negara
akan lakukan. Pengaturan spesifik yang mengatur posisi tawar tersebut dan
pengaturan aturan yang mengatur legitimasi posisi tawar tersebut adalah pemilihan
secara politik yang kompetitif (Powell, 2002).
Secara genealogis, demokrasi liberal merupakan sebuah fenomena di abad
sembilan belas (19). Pada abad itu terdapat 48 negara merdeka yang mempunyai
sistem pemilihan langsung dengan persyaratan yang tidak ketat bagi pemilih yang
terlibat. Pada tahun 1870 hanya Amerika, Prancis dan Swiss yang mempunyai
pendekatan hak pilih hanya milik orang dewasa laki-laki saja dan dimana hak pilih
untuk perempuan akan berlaku beberapa tahun kemudian (Powell, 2002). Pada tahun
1929-1930 menyusul 22 negara yang bergabung dengan 65 negara lainnya yang telah
menganut demokrasi (Gerlich 1973 dan Rokkan 1961 dalam Powell, 2002). Sebagian
besar dari negara-negara tersebut mengalami kolaps menyusul kekacauan global yang
diakibatkan depresi ekonomi pada awal 1930-an. Setelah kemenangan sekutu pada
perang dunia kedua dan hancurnya kolonial kerajaan Eropa, menyebarnya praktik
demokrasi liberal tidak dapat dibendung. Banyak negara dunia ketiga seperti Nigeria,
Ghana dan Pakistan memulai demokrasi namun menurut Powell (2002), sistem
tersebut tidak dapat membantu menyetabilkan sistem politik mereka. Sejak tahun
1950an walau naik turun namun negara yang menganut demokrasi liberal terus
bertambah. Beberapa negara dengan rejim otoriter seperti Spanyol, Yunani, Turki dan
Argentina berubah haluan ke demokrasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada
tahun 1960-1970an sekitar seperempat negara merdeka di dunia menganut demokrasi
(Lijphart, 1984; Powel 1982). Tahun 1985, sepertiga rejim di dunia dapat
diklasifikasikan menganut demokrasi liberal namun kestabilan dari negara-negara
tersebut sangat diragukan (Coppedge dan Reinicke 1988). Beberapa literature juga
menyebutkan secara mengejutkan negara-negara dengan rejim control yang ketat
seperti Hungaria, Polandia, Jerman Timur dan Ceko berubah rejim demokrasi pada
tahun 1989.
Dalam perjalanannya, praktik demokrasi yang dipercaya merupakan bagian
dari mega proyek modernisasi mempunyai banyak variasi menyesuaikan
perkembangan politik di negara penganutnya. Beberapa variasi tersebut adalah sistem
kesatuan atau federal, sistem presidensial atau parlementer dan sistem dua partai atau
multi partai. Pada negara demokrasi yang stabil terdapat pengaturan pada sebuah
112
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
terminologi bernama “konstitusi” (baik berupa dokumen tertulis atau sebuah rangkaian
praktik dan undang-undang). Konstitusi tersebut menyangkut dua hal: pertama,
bagaimana hukum atau kebijakan dibuat (decision rule) dan kedua, bagaimana para
pembuat hukum tersebut dipilih (election rules) yang mengkonstruksi sebuah logika
fundamental atas konseptual bahwa semua kebijakan yang diproduksi mencerminkan
derajat inklusivitas. Penjabaran dari “decision rule” adalah derajat inklusivitas tersebut
salah satunya diwarnai oleh bagaimana hubungan dan pembagian kekuasaan antara
legislatif dan eksekutifnya. Pada sistem parlemen seperti kebanyakan Negara di Eropa,
pihak eksekutif yaitu perdana menteri dipilih oleh parlemen dan parlemen juga dapat
membatalkannya. Pihak eksekutif dapat mendominasi legislatif, namun keduanya
mempunyai hubungan yang dekat dan erat. Sedangakan berdiri dihadapan sistem
tersebut adalah presidensial seperti di Amerika dan Indonesia dimana legislatif dan
pihak eksekutif dipilih oleh rakyat secara terpisah dan keduanya mempunyai sumber
daya yang terpisah dalam membentuk logika pengambilan keputusan. Keseimbangan
diantara keduanya akan bergantung pada masing-masing kekuasaannya yang spesifik
sebagaimana inter koneksi dari partai kontrol. Ketika partai kontrol terpecah, sistem
presidensial akan lebih menjadi sebuah sistem yang tidak terpengaruh dengan
kemayoritasan dan membutuhkan koalisi-koalisi yang lebih luas. Bacaan lebih lanjut
adalah kasus Perancis dan Finlandia yang berada di bawah rejim semi presidensial
(Duverger, 1980).
Beralih ke logika “election rules” dimana hal ini merupakan salah satu kritik
dari demokrasi. Seperti yang dinyatakan Riker (1982), dimana sebenarnya para ilmuan
politik pada abad Sembilan belas telah melihat bahwa aturan pemilihan pada pemilihan
umum (pemilu) –yang dikenal dengan first-past-the-pos (“winner-takes-all', or 'simple
plurality') akan menuntun pada eksklusi partai-partai kecil dan terbentuknya mayoritas.
Duverger (1980) melihat aturan tersebut akan melahirkan sistem dua partai dimana
proses menjadi mayoritas merupakan efek dari dua hal yaitu efek mekanikal dari
agregasi pilihan dan efek psikologis dari pemilih dan politikus yang menghindari efek
mekanikal tersebut.
DARI OTORITERISME MENUJU TRANSISI DEMOKRASI
Paska lengsernya Soekarno, kebijakan Orde Baru berubah drastis dengan
berusaha memberangus semua aspek yang berbau Soekarno, seperti pembaharuan
agraria. Suatu proses yang di postulatkan oleh Wiradi (2005) sebagai deSoekarnoisasi. Secara sistematis proses framing berlangsung dengan mengedepankan
nilai-nilai pragmatism, tanpa idealism dan tanpa kesadaran politik. “Politik no dan
ekonomi yes” adalah slogan indoktrinasi dalam kesadaran publik untuk membungkam
berbagai bentuk perlawan dan idelogis Soekarnois. Konsep pembangunan betting on
strong dan revolusi hijau lahir dianggap pilihan ideal bagi pembangunan ekonomi dan
pertanian sekaligus sebagai alternatif reforma agraria dan pada tahun 1980-an
Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan namun gagal mengelola konflik
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
113
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
berbasis lahan dan semakin masuk ke dalam arus besar neoliberalisme melalui
berbagai paket deregulasi.
Paska Orde Baru telah terjadi disorientasi dan tidak ada grand design politik
pembangunan pertanian. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil bersifat teknis,
tanpa mengkaitkan secara serius landasan-landasan filosofis ideologi negara (Wiradi,
2005). Lonceng kematian semakin berbunyi nyaring seiring dengan semakin kuatnya
pasar dan pembajakan elit atas demokrasi.
Gambar 1, mengilustrasikan bahwa secara politik tidak ada perubahan
fundamental dalam politik pembangunan pertanian. Politik pembangunan pertanian
tetap menanggalkan landasan filosofis dan ideologis negara. Penekanan pembangunan
pertanian tidak pernah jauh bergeser dari hal-hal yang bersifat teknis dan
menempatkan aktor-aktor kuasa kapital ekonomi kuat sebagai kekuatan utama di sisi
lain secara bersamaan menyerahkan kedaulatan diri pada mekanisme pasar bebas.
Otoriter
Transisi demokratis
Politik no
Grand design
De-soekarnoisasi
Disorientasi
Betting on the strong
Revolusi hijau
Kebijakan teknis
Landasan filosofis dan ideologis negara: Pertanian dan reforma agraria
Gambar 1: Politik Pembangunan Pertanian dari Otoriterisme Menuju Transisi Demokratis
114
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
AKTOR DI PUSARAN RELASI KUASA POLITIK DAN EKONOMI
Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia sekitar tahun 1998/1999
merupakan implikasi nyata dari pembangunan ekonomi yang sentralistis dimasa lalu
(Syahrani, 2001). Telah lima belas tahun kita keluar dari krisis, namun secara
kuantitatif dan kualitatif pembangunan kita masih belum secara signifikan mampu
mengangkat kualitas yang lebih baik dari warganya, khususnya petani. Pertumbuhan
yang positif tidak diikuti oleh menurunnya kesenjangan ekonomi masyarakat. Gini rasio
bahkan merangkak naik dari sekitar 0,29 tahun 1990 menjadi 0,41 tahun 2013.
Catatan BPS (2014) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 28 juta
pada tahun 2013 dan dari jumlah tersebut penduduk miskin pedesaan mencapai 17,92
juta jiwa. 90 persen dari penduduk miskin pedesaan ini ternyata bukan penduduk yang
menganggur tetapi dalam kondisi bekerja dan walau telah bekerja keras mereka tetap
miskin (Mulyanto, 2013).
Walau akhir-akhir ini pemerintah telah memunculkan berbagai jargon-jargon
dalam pembangunan nasional, termasuk di sektor pertanian seperti desentralisasi
ekonomi, ekonomi kerakyatan, pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi
(Syahrani, 2001), dan kebijakan-kebijakan pro-petani (Suseno, dan Suyatna, 2007).
Namun berbagai jargon tersebut tampaknya hanya sekedar retorika politik dan akan
berujung tanpa makna bila tidak ada perubahan-perubahan yang fundamental dalam
relasi kuasa ekonomi dan politik dalam kontek dinamika pewacanaan transisi
demokrasi politik yang telah semakin menghegemoni ruang publik. Dalam tulisan ini,
maka penulis akan menggunakan pendekatan sosiologis-antropologis dalam
membahas relasi kuasa politik dan ekonomi dengan titik sentral bagaimana aktor-aktor
politik membentuk, mengkonstruksikan, dan memanipulasi relasi kuasa berdasarkan
kekuasaan yang dimilikinya demi berbagai kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Mubyarto (2004) mendefinisikan pengertian politik dalam perkataan politik
pertanian, kadang-kadang diasosiasikan dengan politik yang berkaitan dengan caracara kelompok masyarakat mencapai tujuan politiknya. Karena, penulis berkeyakinan,
bahwa pendekatan ini akan cukup ampuh untuk membuka misteri invisible hand yang
mengontrol dan mengendalikan jalanya politik pembangunan pertanian. Sebab,
kekuasaan dari perspektif antropologi dilihat sebagai struktur yang dinamis, relasional,
dan situasi strategis dengan memfokuskan pada tindakan dan aktor-aktor akan lebih
mampu menjelaskan secara komprehensif bagaimana kekuasaan bekerja di parlemen
(Subkhan, 2013), atau pun di field lainnya seperti di arena pembangunan pertanian.
Subkhan (2013) menjelasakan dimana dalam kajian politik, kuasa dan
kekuasaan seringkali dipandang sebagai kewenangan yang didapatkan oleh seseorang
atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan
yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang
diperoleh. Sebenarnya power atau kekuasaan itu apa? Seseorang memiliki kekuasaan
yang lebih besar dibandingkan yang lain. Bagi Dahl (2001) kekuasaan ditempatkan
dalam posisi relasional dengan orang lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk
memaksa orang lain untuk melakukan apa yang diingini. Berbeda Gidden (1984)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
115
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
melihat kekuasaan bukanlah sumber daya. Sumber daya-sumber daya seperti misalnya
pertanian merupakan media yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan sebagai
bagian dari proses reproduksi sosial. Sedangkan Wolf (1990) dalam Subkhan (2013)
menjelaskan bahwa kekuasaan harus dipahami bukan hanya beroperasi dalam
konteks atau domain namun juga mengorganisasikan dan mengatur konteks itu
sendiri. Sementara Foucoult (1980) memahami kekuasaan tidak hanya beroperasi
dalam mekanisme fomal instrumen pendisiplinan warga, seperti penjara tetapi juga
melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesejahteraan
dan pembangunan. Kekuasaan bukan hubungan searah yang bersifat subjektif.
Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan
perlengkapan, manuver, teknik dan mekanisme tertentu. Kekuasaan tidak bias
dilokalisasi sebagai milik seseorang atau melekat pada aparat negara. Kekuasaan
adalah akibat keseluruhan dari posisi strategis mereka. Kekuasaan itu ada dimanamana (omniscient) dan menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat
(Haryatmoko, 2002; Dahl, 2001).
Demikian juga dalam era transisi dari otoriterisme menuju demokrasi liberal,
para aktor pemegang kuasa politik terutama yang duduk di partai politik dan aktor
pemegang kuasa ekonomi, meminjam Wolf (1990) mereka juga bekerja dengan
mengorganisasi, memobilisasi dan mengatur konteks. Politik uang (Sujito, 2012), yang
sudah menjadi rahasia umum, telah mereproduksi para pemeganga kuasa ekonomi
dan politik untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik untuk kepentingan jangka
pendek mereka. Selain itu para pemegang kuasa ekonomi dan politik juga turut andil
bagi runyamnya politik pembangunan pertanian.
Berbagai kebijakan pertanian yang dilakukan di era transisi demokrasi,
menjadi tidak bermakna ketika diaplikasikan di lapangan. Seperti misalnya kebijakan
perlindungan terhadap lahan pertanian. Banyak kasus perubahan lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian, baik untuk perkebunan maupun perumahan dan
peruntukkan lainnya terjadi di berbagai daerah dan wilayah, seperti di Kalimantan
Tengah. Misalnya, dari luas total 500.854 hektar daerah irigasi dan rawa yang
diperuntukan bagi lahan pertanian dan perkebunan masyarakat di Kalimantan Tengah,
sekitar 29.431 hektar berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Saluran irigasi
ditimbun dan diratakan dengan tanah. Saluran irigasi yang sudah dibangun oleh Dinas
Pekerjaan Umum sejak tahun 1990 justru ditimbun tanah lalu dijadikan kebun sawit
tahun 2000-an. Tidak ada komunikasi dan koordinasi antara pemerintah kabupaten,
perusahaan perkebunan sawit, dan dinas PU provinsi. Lahan yang sudah berubah
fungsi itu antara lain tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat, Seruyan, dan
Kotawaringin Timur. Di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau juga terjadi hal yang
sama walau telah ada Undang-Undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan (Kompas, Sabtu 29 Maret 2014).
Perubahan ini
bukan saja membuktikan besarnya pengaruh pasar tetapi juga hegemoni kuasa
ekonomi dan politik lokal yang seringkali bertautan dengan pemegang kekuatan kuasa
ekonomi dan politik di tataran nasional.
116
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat kompetisi adanya
persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian, persaingan itu muncul karena akibat fenomena ekonomi dan sosial yaitu
keterbatasan sumber daya alam, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi
(Freastoni dan Sirajuddin, 2010). Berdasarkan hasil evaluasi lahan pada skala
eksplorasi (skala 1: 1.000.000) untuk seluruh wilayah Indonesia, ternyata lahan-lahan
yang sesuai untuk pertanian seluas 100,7 juta ha, terdiri dari lahan yang sesuai untuk
lahan tanaman pangan seluas 24,6 juta ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering.
Serta seluas 50,9 juta ha sesuai untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002).
Dalam konteks yang lebih luas, penyusutan tanah-tanah pertanian dapat pula
menimbulkan persoalan ekonomi dan goncangan politik karena penyusutan tersebut
berpotensi menciptakan kelangkaan pangan di masa mendatang (Freastoni dan
Sirajuddin, 2010).
REFORMASI POLITIK DALAM ARENA PEMBANGUNAN
PERTANIAN
Reformasi politik dalam arena pembangunan pertanian umumnya dilakukan
melalui fungsi-fungsi yang melekat pada DPR diantaranya budgeting, melalui
pembuatan instrumen peraturan perundangan, dan pengawasan. Reformasi politik
juga seringkali dilakukan melalui lobi-lobi pembahasan. Tidak mengherankan bila
misalnya perda tata ruang atau peraturan tentang keruangan seringkali berhenti di
tengah jalan karena kuatnya konflik kepentingan dari para aktor pemegang kuasa
politik dan ekonomi. Pertempuran kepentiangan di arena kebijakan publik seperti ini
tentunya berdampak terhadap tersingkirnya aspirasi masyarakat. Ruang kebijakan
seolah hanya menjadi ruang dari sekelompok elit.
Reformasi politik di arena pembangunan pertanian juga terjadi melalui
dinamika perkembangan dan perubahan struktur sosial yang menurut Gidden (1994),
terus bergerak. Para pemegang kuasa politik dan ekonomi terus berusaha
mengkooptasi problem-problem publik demi kepentingan mereka. Misalnya dalam
kasus perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke perkebunan atau perambahan
kawasan untuk perkebunan sawit, para oknum pemegang kuasa politik dan ekonomi
seringkali berada di belakang mereka memperjuangkan hak-hak masyarakat namun
sejatinya mereka memperjuangkan hak-hak mereka sendiri karena mereka
sesungguhnya menjadi bagian yang memiliki kepentingan menguasai sumber daya
lahan dan orang untuk penguatan posisi politik dan ekonomi mereka.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
117
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM CENGKRAMAN OLIGARKI
POLITIK
Hasil perjuangan demokrasi adalah perubahan nyata dimana ada perubahan
konfigurasi dan konstelasi kekuatan politik. Subkhan (2013) menjelaskan dimana Pasca
reformasi 1998, tidak ada lembaga negara yang memiliki kekuasaan sedemikian besar
seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atau pun DPRD. Perubahan kewenangan
kekuasaan yang paling radikal adalah pada kekuasaan DPR sebagai pembentuk
undang-undang. DPR saat ini memiliki otoritas yang jauh lebih luas dibandingkan pada
zaman orde baru. Kalau dulu DPR sekedar lembaga yang melegitimasi kebijakan
pemerintah, maka saat ini DPR merupakan lembaga yang menentukan kebijakan
pemerintah. Kekuatan yang besar dan posisi politik yang krusial telah mendudukkan
para aktor politik di parlemen sangat vital. Namun, bagi Subkhan (2013), implikasi dari
kekuasaan parlemen yang demikian besar berpotensi terjadi penyimpangan atau
penyalahgunaan. Ungkapan dari Lord Acton (1834-1902) dalam Subkhan (2013) ,
power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely menemukan
relevansinya dalam kasus praktek politik di parlemen. Kekuasaan parlemen yang
demikian besar, tanpa diimbangi dengan sistem yang bersih dan integritas anggotanya
menyebabkan parlemen seolah menjadi sarang utama kasus-kasus korupsi besar di
Indonesia. Banyak anggota parlemen yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki
untuk kepentingan pribadi dan partainya.
Walau demokrasi dipercaya sebagai sistem politik yang terbaik dari yang
terburuk namun demokrasi tidak bisa menjamin lahirnya aktor-aktor pemegang kuasa
politik dan kuasa ekonomi yang demokratis. Apa yang terjadi di Indonesia, demokrasi
justru telah melahirkan para pemegang kuasa ekonomi dan politik yang pragmatis
yang tidak menghendaki lahirnya demokrasi ekonomi dalam diskurus politik
pembangunan pertanian. Sebab, demokrasi ekonomi dalam pembangunan pertanian
justru dianggap menjadi penghambat terbesar dalam proses akumulasi capital dan
kekuasaan politik. Adalah wajar bila di beberapa daerah yang kaya akan sumber daya
lahan dengan tenurial yang tidak jelas, berbagai oknum pemegang kuasa politik dan
ekonomi saling berkompetisi dan bekerjasama untuk memperebutkan sumber daya
lahan untuk dijadikan kebun sawit ataupun pertambangan liar. Bahkan banyak lahanlahan yang secara legal diperuntukan untuk pertanian lahan basah justru banyak yang
di rubah untuk perkebunan baik secara legal maupun illegal.
Di sisi lain secara institusional, ada kecenderungan politik pembangunan
pertanian hanya ditentukan oleh oligarki politik. Paska Orde Baru, yang diikuti oleh
kemunculan berbagai partai politik baik yang bersifat ideologis maupun pragmatis
secara langsung maupun tidak langsung telah berkorelasi terhadap perubahan garis
politik pembangunan pertanian. Harga yang harus dibayar di era transisi demokrasi ini
adalah ada tendensi terjadinya pemudaran ideologi dan disorientasi perjuangan partai
politik. Akibatnya garis politik pembangunan pertanian menjadi lebih kental warna
politiknya ketimbang misi dasar, kerangka nilai emansipasi dan empati bagi
pembebasan petani melalui pertanian. Sujito (2012), menyebutnya ada tiga hal yang
118
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
menjadi penyebabnya. Pertama, corak politik berbiaya tinggi yang tengah berlangsung
mengakibatkan politisi kian membabi buta mencari uang demi membiayai sepak
terjangnya meraih posisi kekuasaan, sekalipun dengan cara-cara yang illegal. Kedua,
lemahnya kontrol publik, terutama konstituen atas perilaku politisi parpol. Bahkan,
ironisnya konstituen juga terperangkap oleh arus pragmatism. Ketiga, manajemen
parpol yang oligarki mengakibatkan politik menjadi tidak akuntabel dan gagal
menjalankan sebagai lembaga representasi.
Saat ini hampir sulit untuk membedakan antara partai yang berideolgi kuat
dengan yang pragmatis. Katakanlah antara partai-partai tradisional yang muncul
semenjak era Orde Baru, yang dianggap berideologi kuat dan partai yang tumbuh
paska reformasi yang dianggap pragmatis, tetapi ketika mereka menjadi pemegang
kekuasaan, perbedaan tersebut menjadi tidak ada batasnya lagi dan seolah-olah
menjadi cair. Partai ideologis pun tak jarang terjebak dengan koalisi pragmatis dalam
menjalankan pemerintahan. Program-program pembangunan yang dijalankan walau
dibungkus oleh istilah-istilah yang kental dengan nuansa ideologis, seperti bantuan
sosial, jaring pengaman sosial, BLSM, ekonomi kerakyatan, perlindungan dan
pemberdayaan petani dan pertanian, namun pada prakteknya justru dimanfaatkan
sebagai instrumen untuk kepentingan jangka pendek penguatan penguasaan sumbersumber ekonomi dan politik. Politik pembangunan pertanian hanya ditentukan oleh
koalisi dari partai politik sehingga outcome yang dicapai pun tidak pernah optimal
karena dibebani oleh kepentingan dari elit partai bahkan banyak yang dijadikan sapi
perahan partai.
Ideologi pembangunan yang kapitalistik, perkembangan demokrasi politik yang
tidak diikuti oleh kemajuan dalam demokrasi ekonomi, pada dasarnya telah
menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dan kontraksi-kontraksi dalam politik
pembangunan pertanian. Kontraksi-kontraksi ini menjalar dari pusat ke daerah-daerah
dan sampai ke tingkat komunitas. Berbagai indikator yang bisa dijadikan indikasi
terjadinya kontraksi adalah bisa dilihat dari adanya perebutan akses terhadap sumber
daya lahan, marginalisasi pertanian dan petani serta ketidakjelasan ketata ruangan.
Jalan panjang memang harus dilalui untuk membangun politik pembangunan
pertanian yang menyejahterakan masyarakat. Penguatan peran negara dan reforma
agrarian serta konsolidasi demokrasi dalam rangka mereduksi kecederungan terjadinya
seperti yang diistilahkan Sujito (2012) sebagai pendangkalan politik, adalah jalan yang
harus ditempuh untuk mengurangi kontraksi dalam politik pembangunan pertanian.
PENUTUP
Peningkatan intensitas pembangunan pertanian ternyata tidak selalu
berbanding lurus dengan produktivitas hasil pertanian. Berbagai data menunjukkan
bahwa justru ada kemandegan produktivitas di berbagai komoditas. Arus deras impor
pun akhirnya menjadi pilihan instan untuk mengatasi problem komoditas yang tidak
disadari semakin menenggelamkan harapan, kredibilitas dan kapasitas petani dan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
119
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
pertanian sebagai penopang pembangunan nasional. Sementara di sisi lain, proses
diferensiasi sosial berbasis keagrariaan semakin menajam, membuat harapan besar
para petani akan masa depannya semakin meredup seiring dengan proses fragmentasi
lahan-lahan pertanian.
Konsep pembangunan betting on strong dan revolusi hijau lahir dianggap
pilihan ideal bagi pembangunan ekonomi dan pertanian sekaligus sebagai alternatif
reforma agraria dan pada tahun 1980 an Indonesia berhasil mencapai swasembada
pangan namun gagal mengelola konflik berbasis lahan dan semakin masuk ke dalam
arus besar neoliberalisme melalui berbagai paket deregulasi. Paska Orde Baru telah
terjadi disorientasi dan tidak ada grand design politik pembangunan pertanian.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil bersifat teknis, tanpa mengkaitkan secara
serius landasan-landasan filosofis ideology negara. Lonceng kematian pembangunan
pertanian semakin berbunyi nyaring seiring dengan semakin kuatnya pasar dan
pembajakan elit atas demokrasi.
Dalam era transisi dari otoriterisme menuju demokrasi liberal, para aktor
pemegang kuasa politik terutama yang duduk di partai politik dan aktor pemegang
kuasa ekonomi, bekerja dengan mengorganisasi, memobilisasi dan mengatur konteks.
Reformasi politik di arena pembangunan pertanian juga terjadi melalui dinamika
perkembangan dan perubahan struktur sosial yang terus bergerak. Para pemegang
kuasa politik dan ekonomi terus berusaha mengkooptasi problem-problem publik demi
kepentingan mereka. Politik uang telah mereproduksi para pemegang kuasa ekonomi
dan politik untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik untuk kepentingan jangka
pendek mereka.
Ideologi pembangunan yang kapitalistik, perkembangan demokrasi politik yang
tidak diikuti oleh kemajuan dalam demokrasi ekonomi, pada dasarnya telah
menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dan kontraksi-kontraksi dalam politik
pembangunan pertanian. Penguatan peran negara dan reforma agraria serta
konsolidasi demokrasi dalam rangka mereduksi kecederungan terjadinya seperti yang
diistilahkan Sujito (2012) sebagai pendangkalan politik, adalah jalan yang harus
ditempuh untuk mengurangi kontraksi dalam politik pembangunan pertanian.
Walau demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik dari yang terburuk
namun demokrasi tidak bisa menjamin lahirnya aktor-aktor pemegang kuasa politik
dan kuasa ekonomi yang demokratis. Apa yang terjadi di Indonesia, demokrasi justru
telah melahirkan para pemegang kuasa ekonomi dan politik yang pragmatis yang tidak
menghendaki lahirnya demokrasi ekonomi dalam diskursus politik pembangunan
pertanian. Itulah parasit dan patologi demokrasi yang harus kita berantas bersama
sampai ke akar-akarnya bagi keberdayaan pembangunan pertanian.
120
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Andri,
K.B. 2006. Perspektif Pembangunan
Vol.6/XVIII/Maret 2006.
Wilayah
Pedesaan.
INOVASI
Cohen, C. 1971. Democracy. New York. Free Press.
Coppedge, M. And Reinicke, W. 1988. ‘A scale of polyarchy’, in R.D. Gastil (ed.)
Freedom in the World: Political Rights and Civil Liberties 1987-1988. New
York. Freedom House.
Dahl, Robert A., 1957. The Concept of Power, Behavioral Science, 2:3 (1957:July)
p.201.
Duverger, M. 1980. ‘A new political system model: semi-presidential government’.
European Journal of Political Research 8:165-87.
Freastoni, A., dan Sirajuddin. 2010. Politik Hukum Perlindungan Lahan Pertanian dan
Hak Asasi Petani sebagai Instrumen Mewujudkan Ketahanan Pangan
Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2, November
2010. 149.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Colin Gordon, ed. and trans. Brighton,
England: Harvester Press.
Giddens, A. 1984. The constitution of society: Outline of the theory of structuration.
Cambridge: Polity Press
Haryatmoko. 2002. Kekuasaan melahirkan anti kekuasaan: menelanjangi mekanisme
dan teknik kekuasaan bersama Foucoult. No. 1-2 tahun ke 51, Basis
Januari-Februari 2002.
Karsidi, R. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Petani dan Nelayan Kecil. Pernah
disampaikan dalam Semiloka Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Tengah
dalam rangka Pelaksanan Otda, Badan Pemberdayaan Masyarakat Jateng,
di Semarang 4-6 Juni 2002
Kompas, Sabtu, 29 Maret 2014. 29.431 Hektar Lahan Jadi Kebun Sawit.
Kifli, G.C. 2007. Strategi Komunikasi Pembangunan Pertanian pada Komunitas Dayak
di Kalimantan Barat. Agricultural Development Communication Strategy of
Dayak Community in West Kalimantan. FORUM PENELITIAN AGRO
EKONOMI. Volume 25 No. 2, Desember 2007 : 117 – 125
Mubyarto. 1994. Politik pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan Jakarta
1994.
Riker, W.H. 1982. Liberalism Against Populism. San Francisco. W.H. Freeman.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
121
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
Suradisastra, K. 2011. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Mempercepat Pembangunan
Sektor Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Pengembangan Inovasi
Pertanian 4(2), 2011: 118-136
Syahrani, H.A.H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis dalam Pembangunan
Ekonomi Daerah. The Application of The Agropolitant and Agribusiness In
Regional Economy Development. FRONTIR Nomor 33, Maret 2001
Suseno, D., dan Suyatna, H. 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani.
Jurnal Sosial dan Politik Vol. 10, No. 3 Maret 2007.
Subkhan, I. 2013. Kuasa Parlemen dalam Perspektif Antropologi Kekuasaan. Diunduh
pada tanggal 28 April 2014 dari http://anthropower.wordpress.com/
2013/06/16/kuasa-parlemen-dalam-perspektif-antropologi-kekuasaan/
Sujito, A. 2012. Pendakalan Politik. IRE Yogyakarta.
Wiradi, G. 2005. Politik Pertanian/Agraria di Indonesia. Makalah ringkas disampaikan
dalam acara Workshop Pertanian YLBHI bertema Tantangan dan Masa
Depan Pertanian di Hotel Seruni, Cisarua tanggal 2 Mei 2005.
Wolf, Eric. 1982. Europe and the People without History. Berkeley, CA: University of
California Press.
_________. 1990. “Distinguished Lecture: Facing Power—Old Insights,
122
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
DEMOKRASI, PEMBAJAKAN ELIT DAN KONTRAKSI
POLITIK PEMBANGUNAN PERTANIAN
Lukas R. Wibowo dan Handoyo
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian terus diintensifkan baik secara kelembagaan,
teknologi maupun sosial ekonomi politik. Peningkatan intensitas pembangunan
pertanian ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan produktivitas hasil pertanian.
Berbagai data menunjukkan bahwa justru ada kemandegan produktivitas di berbagai
komoditas. Arus deras impor pun akhirnya menjadi pilihan instan untuk mengatasi
problem komoditas yang tidak disadari semakin menenggelamkan harapan, kredibilitas
dan kapasitas petani dan pertanian sebagai penopang pembangunan nasional.
Sementara di sisi lain, proses diferensiasi sosial berbasis keagrariaan semakin
menajam, membuat harapan besar para petani akan masa depannya semakin
meredup seiring dengan proses fragmentasi lahan-lahan pertanian.
Tulisan ini mencoba mendiskusikan persepektif perkembangan demokrasi
politik dan politik pembangunan pertanian dalam kerangka mencari opsi jalan keluar
dari berbagai krisis yang melingkupinya, seperti krisis pangan, kedaulatan dan
legitimasi kelembagaan di tengah semakin derasnya neoliberalisme. Argumentasinya
adalah selama ini pembangunan pertanian hanya dikupas dari sisi teknis dan sosial
ekonomi (Lihat: Suradisastra, 2011; Andri, 2006; Syahrani, 2001) dan aspek mikro
pemberdayaan petani (Karsidi, 2002) serta komunikasi pembangunan pertanian (Kifli,
2007). Belum banyak yang mencoba membedah pembangunan pertanian dari frame
perkembangan demokrasi politik, terutama dari perkembangan transreformasi politik
dari otoriterisme sampai pada era transisi demokrasi. Dalam membedah dinamika
politik pembangunan pertanian, maka saya akan menggunakan dua variabel utama
sebagai basis analisis, yakni kuasa politik dan ekonomi.
DEMOKRASI, JEBAKAN DEMOKRASI DAN PRAGMATISME
Sebelum jauh pembaca masuk ke dalam tulisan yang argumentatif ini,
walaupun mungkin para pembaca telah mengetahui apa itu demokrasi, namun penulis
berpikir tidak ada salahnya penulis menuliskan tawaran makna demokrasi dari
beberapa literatur demi mulusnya proses pemahaman kita tentang jebakan demokrasi
dan pragmatisme pada tulisan ini. Mungkin sebagian besar ilmuan politik setuju
dengan tawaran Cohen (1971) yang memaknai demokrasi secara fundamental sebagai
partisipasi masyarakat dalam ikut serta pada pembuatan kebijakan. Dalam
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
111
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
ensiklopedia pemerintah dan politik (Hawkesworth dan Kogan, eds, 2002) tidak
ditemukan terminologi tunggal demokrasi, namun tertulis terminologi "demokrasi
liberal" dimana kata "liberal" dimaknai dua hal di dalam konteks sistem-sistem politik.
Pertama, mereka mengklaim bahwa demokrasi berdiri diatas pengertian responsifnya
terhadap harapan-harapan warga negara, tidak terhadap kepentingan yang "dianggap
terbaik" dari warga negara yang didefinisikan oleh penguasa (pemerintah) atau oleh
sistem ideologi. Kedua, harapan-harapan dari golongan mayoritas tidak untuk
menunggangi hak politik dan hak sipil dari golongan minoritas. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa terminologi "demokrasi liberal" mempunyai makna posisi tawar
yang implisit antara wakil pemerintah dan warga negaranya. Posisi tawar adalah
legitimasi milik pemerintah yang merupakan pengharapan patuhnya terhadap hukum
pemerintah yang bergantung pada klaim untuk melakukan apa yang warga negara
akan lakukan. Pengaturan spesifik yang mengatur posisi tawar tersebut dan
pengaturan aturan yang mengatur legitimasi posisi tawar tersebut adalah pemilihan
secara politik yang kompetitif (Powell, 2002).
Secara genealogis, demokrasi liberal merupakan sebuah fenomena di abad
sembilan belas (19). Pada abad itu terdapat 48 negara merdeka yang mempunyai
sistem pemilihan langsung dengan persyaratan yang tidak ketat bagi pemilih yang
terlibat. Pada tahun 1870 hanya Amerika, Prancis dan Swiss yang mempunyai
pendekatan hak pilih hanya milik orang dewasa laki-laki saja dan dimana hak pilih
untuk perempuan akan berlaku beberapa tahun kemudian (Powell, 2002). Pada tahun
1929-1930 menyusul 22 negara yang bergabung dengan 65 negara lainnya yang telah
menganut demokrasi (Gerlich 1973 dan Rokkan 1961 dalam Powell, 2002). Sebagian
besar dari negara-negara tersebut mengalami kolaps menyusul kekacauan global yang
diakibatkan depresi ekonomi pada awal 1930-an. Setelah kemenangan sekutu pada
perang dunia kedua dan hancurnya kolonial kerajaan Eropa, menyebarnya praktik
demokrasi liberal tidak dapat dibendung. Banyak negara dunia ketiga seperti Nigeria,
Ghana dan Pakistan memulai demokrasi namun menurut Powell (2002), sistem
tersebut tidak dapat membantu menyetabilkan sistem politik mereka. Sejak tahun
1950an walau naik turun namun negara yang menganut demokrasi liberal terus
bertambah. Beberapa negara dengan rejim otoriter seperti Spanyol, Yunani, Turki dan
Argentina berubah haluan ke demokrasi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada
tahun 1960-1970an sekitar seperempat negara merdeka di dunia menganut demokrasi
(Lijphart, 1984; Powel 1982). Tahun 1985, sepertiga rejim di dunia dapat
diklasifikasikan menganut demokrasi liberal namun kestabilan dari negara-negara
tersebut sangat diragukan (Coppedge dan Reinicke 1988). Beberapa literature juga
menyebutkan secara mengejutkan negara-negara dengan rejim control yang ketat
seperti Hungaria, Polandia, Jerman Timur dan Ceko berubah rejim demokrasi pada
tahun 1989.
Dalam perjalanannya, praktik demokrasi yang dipercaya merupakan bagian
dari mega proyek modernisasi mempunyai banyak variasi menyesuaikan
perkembangan politik di negara penganutnya. Beberapa variasi tersebut adalah sistem
kesatuan atau federal, sistem presidensial atau parlementer dan sistem dua partai atau
multi partai. Pada negara demokrasi yang stabil terdapat pengaturan pada sebuah
112
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
terminologi bernama “konstitusi” (baik berupa dokumen tertulis atau sebuah rangkaian
praktik dan undang-undang). Konstitusi tersebut menyangkut dua hal: pertama,
bagaimana hukum atau kebijakan dibuat (decision rule) dan kedua, bagaimana para
pembuat hukum tersebut dipilih (election rules) yang mengkonstruksi sebuah logika
fundamental atas konseptual bahwa semua kebijakan yang diproduksi mencerminkan
derajat inklusivitas. Penjabaran dari “decision rule” adalah derajat inklusivitas tersebut
salah satunya diwarnai oleh bagaimana hubungan dan pembagian kekuasaan antara
legislatif dan eksekutifnya. Pada sistem parlemen seperti kebanyakan Negara di Eropa,
pihak eksekutif yaitu perdana menteri dipilih oleh parlemen dan parlemen juga dapat
membatalkannya. Pihak eksekutif dapat mendominasi legislatif, namun keduanya
mempunyai hubungan yang dekat dan erat. Sedangakan berdiri dihadapan sistem
tersebut adalah presidensial seperti di Amerika dan Indonesia dimana legislatif dan
pihak eksekutif dipilih oleh rakyat secara terpisah dan keduanya mempunyai sumber
daya yang terpisah dalam membentuk logika pengambilan keputusan. Keseimbangan
diantara keduanya akan bergantung pada masing-masing kekuasaannya yang spesifik
sebagaimana inter koneksi dari partai kontrol. Ketika partai kontrol terpecah, sistem
presidensial akan lebih menjadi sebuah sistem yang tidak terpengaruh dengan
kemayoritasan dan membutuhkan koalisi-koalisi yang lebih luas. Bacaan lebih lanjut
adalah kasus Perancis dan Finlandia yang berada di bawah rejim semi presidensial
(Duverger, 1980).
Beralih ke logika “election rules” dimana hal ini merupakan salah satu kritik
dari demokrasi. Seperti yang dinyatakan Riker (1982), dimana sebenarnya para ilmuan
politik pada abad Sembilan belas telah melihat bahwa aturan pemilihan pada pemilihan
umum (pemilu) –yang dikenal dengan first-past-the-pos (“winner-takes-all', or 'simple
plurality') akan menuntun pada eksklusi partai-partai kecil dan terbentuknya mayoritas.
Duverger (1980) melihat aturan tersebut akan melahirkan sistem dua partai dimana
proses menjadi mayoritas merupakan efek dari dua hal yaitu efek mekanikal dari
agregasi pilihan dan efek psikologis dari pemilih dan politikus yang menghindari efek
mekanikal tersebut.
DARI OTORITERISME MENUJU TRANSISI DEMOKRASI
Paska lengsernya Soekarno, kebijakan Orde Baru berubah drastis dengan
berusaha memberangus semua aspek yang berbau Soekarno, seperti pembaharuan
agraria. Suatu proses yang di postulatkan oleh Wiradi (2005) sebagai deSoekarnoisasi. Secara sistematis proses framing berlangsung dengan mengedepankan
nilai-nilai pragmatism, tanpa idealism dan tanpa kesadaran politik. “Politik no dan
ekonomi yes” adalah slogan indoktrinasi dalam kesadaran publik untuk membungkam
berbagai bentuk perlawan dan idelogis Soekarnois. Konsep pembangunan betting on
strong dan revolusi hijau lahir dianggap pilihan ideal bagi pembangunan ekonomi dan
pertanian sekaligus sebagai alternatif reforma agraria dan pada tahun 1980-an
Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan namun gagal mengelola konflik
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
113
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
berbasis lahan dan semakin masuk ke dalam arus besar neoliberalisme melalui
berbagai paket deregulasi.
Paska Orde Baru telah terjadi disorientasi dan tidak ada grand design politik
pembangunan pertanian. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil bersifat teknis,
tanpa mengkaitkan secara serius landasan-landasan filosofis ideologi negara (Wiradi,
2005). Lonceng kematian semakin berbunyi nyaring seiring dengan semakin kuatnya
pasar dan pembajakan elit atas demokrasi.
Gambar 1, mengilustrasikan bahwa secara politik tidak ada perubahan
fundamental dalam politik pembangunan pertanian. Politik pembangunan pertanian
tetap menanggalkan landasan filosofis dan ideologis negara. Penekanan pembangunan
pertanian tidak pernah jauh bergeser dari hal-hal yang bersifat teknis dan
menempatkan aktor-aktor kuasa kapital ekonomi kuat sebagai kekuatan utama di sisi
lain secara bersamaan menyerahkan kedaulatan diri pada mekanisme pasar bebas.
Otoriter
Transisi demokratis
Politik no
Grand design
De-soekarnoisasi
Disorientasi
Betting on the strong
Revolusi hijau
Kebijakan teknis
Landasan filosofis dan ideologis negara: Pertanian dan reforma agraria
Gambar 1: Politik Pembangunan Pertanian dari Otoriterisme Menuju Transisi Demokratis
114
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
AKTOR DI PUSARAN RELASI KUASA POLITIK DAN EKONOMI
Krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia sekitar tahun 1998/1999
merupakan implikasi nyata dari pembangunan ekonomi yang sentralistis dimasa lalu
(Syahrani, 2001). Telah lima belas tahun kita keluar dari krisis, namun secara
kuantitatif dan kualitatif pembangunan kita masih belum secara signifikan mampu
mengangkat kualitas yang lebih baik dari warganya, khususnya petani. Pertumbuhan
yang positif tidak diikuti oleh menurunnya kesenjangan ekonomi masyarakat. Gini rasio
bahkan merangkak naik dari sekitar 0,29 tahun 1990 menjadi 0,41 tahun 2013.
Catatan BPS (2014) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin sebesar 28 juta
pada tahun 2013 dan dari jumlah tersebut penduduk miskin pedesaan mencapai 17,92
juta jiwa. 90 persen dari penduduk miskin pedesaan ini ternyata bukan penduduk yang
menganggur tetapi dalam kondisi bekerja dan walau telah bekerja keras mereka tetap
miskin (Mulyanto, 2013).
Walau akhir-akhir ini pemerintah telah memunculkan berbagai jargon-jargon
dalam pembangunan nasional, termasuk di sektor pertanian seperti desentralisasi
ekonomi, ekonomi kerakyatan, pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi
(Syahrani, 2001), dan kebijakan-kebijakan pro-petani (Suseno, dan Suyatna, 2007).
Namun berbagai jargon tersebut tampaknya hanya sekedar retorika politik dan akan
berujung tanpa makna bila tidak ada perubahan-perubahan yang fundamental dalam
relasi kuasa ekonomi dan politik dalam kontek dinamika pewacanaan transisi
demokrasi politik yang telah semakin menghegemoni ruang publik. Dalam tulisan ini,
maka penulis akan menggunakan pendekatan sosiologis-antropologis dalam
membahas relasi kuasa politik dan ekonomi dengan titik sentral bagaimana aktor-aktor
politik membentuk, mengkonstruksikan, dan memanipulasi relasi kuasa berdasarkan
kekuasaan yang dimilikinya demi berbagai kepentingan dirinya dan kelompoknya.
Mubyarto (2004) mendefinisikan pengertian politik dalam perkataan politik
pertanian, kadang-kadang diasosiasikan dengan politik yang berkaitan dengan caracara kelompok masyarakat mencapai tujuan politiknya. Karena, penulis berkeyakinan,
bahwa pendekatan ini akan cukup ampuh untuk membuka misteri invisible hand yang
mengontrol dan mengendalikan jalanya politik pembangunan pertanian. Sebab,
kekuasaan dari perspektif antropologi dilihat sebagai struktur yang dinamis, relasional,
dan situasi strategis dengan memfokuskan pada tindakan dan aktor-aktor akan lebih
mampu menjelaskan secara komprehensif bagaimana kekuasaan bekerja di parlemen
(Subkhan, 2013), atau pun di field lainnya seperti di arena pembangunan pertanian.
Subkhan (2013) menjelasakan dimana dalam kajian politik, kuasa dan
kekuasaan seringkali dipandang sebagai kewenangan yang didapatkan oleh seseorang
atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan
yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang
diperoleh. Sebenarnya power atau kekuasaan itu apa? Seseorang memiliki kekuasaan
yang lebih besar dibandingkan yang lain. Bagi Dahl (2001) kekuasaan ditempatkan
dalam posisi relasional dengan orang lain. Kekuasaan adalah kemampuan untuk
memaksa orang lain untuk melakukan apa yang diingini. Berbeda Gidden (1984)
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
115
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
melihat kekuasaan bukanlah sumber daya. Sumber daya-sumber daya seperti misalnya
pertanian merupakan media yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan sebagai
bagian dari proses reproduksi sosial. Sedangkan Wolf (1990) dalam Subkhan (2013)
menjelaskan bahwa kekuasaan harus dipahami bukan hanya beroperasi dalam
konteks atau domain namun juga mengorganisasikan dan mengatur konteks itu
sendiri. Sementara Foucoult (1980) memahami kekuasaan tidak hanya beroperasi
dalam mekanisme fomal instrumen pendisiplinan warga, seperti penjara tetapi juga
melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesejahteraan
dan pembangunan. Kekuasaan bukan hubungan searah yang bersifat subjektif.
Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan
perlengkapan, manuver, teknik dan mekanisme tertentu. Kekuasaan tidak bias
dilokalisasi sebagai milik seseorang atau melekat pada aparat negara. Kekuasaan
adalah akibat keseluruhan dari posisi strategis mereka. Kekuasaan itu ada dimanamana (omniscient) dan menyebar dalam hubungan-hubungan masyarakat
(Haryatmoko, 2002; Dahl, 2001).
Demikian juga dalam era transisi dari otoriterisme menuju demokrasi liberal,
para aktor pemegang kuasa politik terutama yang duduk di partai politik dan aktor
pemegang kuasa ekonomi, meminjam Wolf (1990) mereka juga bekerja dengan
mengorganisasi, memobilisasi dan mengatur konteks. Politik uang (Sujito, 2012), yang
sudah menjadi rahasia umum, telah mereproduksi para pemeganga kuasa ekonomi
dan politik untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik untuk kepentingan jangka
pendek mereka. Selain itu para pemegang kuasa ekonomi dan politik juga turut andil
bagi runyamnya politik pembangunan pertanian.
Berbagai kebijakan pertanian yang dilakukan di era transisi demokrasi,
menjadi tidak bermakna ketika diaplikasikan di lapangan. Seperti misalnya kebijakan
perlindungan terhadap lahan pertanian. Banyak kasus perubahan lahan pertanian
menjadi lahan non pertanian, baik untuk perkebunan maupun perumahan dan
peruntukkan lainnya terjadi di berbagai daerah dan wilayah, seperti di Kalimantan
Tengah. Misalnya, dari luas total 500.854 hektar daerah irigasi dan rawa yang
diperuntukan bagi lahan pertanian dan perkebunan masyarakat di Kalimantan Tengah,
sekitar 29.431 hektar berubah fungsi menjadi perkebunan sawit. Saluran irigasi
ditimbun dan diratakan dengan tanah. Saluran irigasi yang sudah dibangun oleh Dinas
Pekerjaan Umum sejak tahun 1990 justru ditimbun tanah lalu dijadikan kebun sawit
tahun 2000-an. Tidak ada komunikasi dan koordinasi antara pemerintah kabupaten,
perusahaan perkebunan sawit, dan dinas PU provinsi. Lahan yang sudah berubah
fungsi itu antara lain tersebar di Kabupaten Kotawaringin Barat, Seruyan, dan
Kotawaringin Timur. Di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau juga terjadi hal yang
sama walau telah ada Undang-Undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan (Kompas, Sabtu 29 Maret 2014).
Perubahan ini
bukan saja membuktikan besarnya pengaruh pasar tetapi juga hegemoni kuasa
ekonomi dan politik lokal yang seringkali bertautan dengan pemegang kekuatan kuasa
ekonomi dan politik di tataran nasional.
116
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat kompetisi adanya
persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian, persaingan itu muncul karena akibat fenomena ekonomi dan sosial yaitu
keterbatasan sumber daya alam, pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi
(Freastoni dan Sirajuddin, 2010). Berdasarkan hasil evaluasi lahan pada skala
eksplorasi (skala 1: 1.000.000) untuk seluruh wilayah Indonesia, ternyata lahan-lahan
yang sesuai untuk pertanian seluas 100,7 juta ha, terdiri dari lahan yang sesuai untuk
lahan tanaman pangan seluas 24,6 juta ha lahan basah dan 25,3 juta ha lahan kering.
Serta seluas 50,9 juta ha sesuai untuk tanaman tahunan (Puslitbangtanak, 2002).
Dalam konteks yang lebih luas, penyusutan tanah-tanah pertanian dapat pula
menimbulkan persoalan ekonomi dan goncangan politik karena penyusutan tersebut
berpotensi menciptakan kelangkaan pangan di masa mendatang (Freastoni dan
Sirajuddin, 2010).
REFORMASI POLITIK DALAM ARENA PEMBANGUNAN
PERTANIAN
Reformasi politik dalam arena pembangunan pertanian umumnya dilakukan
melalui fungsi-fungsi yang melekat pada DPR diantaranya budgeting, melalui
pembuatan instrumen peraturan perundangan, dan pengawasan. Reformasi politik
juga seringkali dilakukan melalui lobi-lobi pembahasan. Tidak mengherankan bila
misalnya perda tata ruang atau peraturan tentang keruangan seringkali berhenti di
tengah jalan karena kuatnya konflik kepentingan dari para aktor pemegang kuasa
politik dan ekonomi. Pertempuran kepentiangan di arena kebijakan publik seperti ini
tentunya berdampak terhadap tersingkirnya aspirasi masyarakat. Ruang kebijakan
seolah hanya menjadi ruang dari sekelompok elit.
Reformasi politik di arena pembangunan pertanian juga terjadi melalui
dinamika perkembangan dan perubahan struktur sosial yang menurut Gidden (1994),
terus bergerak. Para pemegang kuasa politik dan ekonomi terus berusaha
mengkooptasi problem-problem publik demi kepentingan mereka. Misalnya dalam
kasus perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke perkebunan atau perambahan
kawasan untuk perkebunan sawit, para oknum pemegang kuasa politik dan ekonomi
seringkali berada di belakang mereka memperjuangkan hak-hak masyarakat namun
sejatinya mereka memperjuangkan hak-hak mereka sendiri karena mereka
sesungguhnya menjadi bagian yang memiliki kepentingan menguasai sumber daya
lahan dan orang untuk penguatan posisi politik dan ekonomi mereka.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
117
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
PEMBANGUNAN PERTANIAN DALAM CENGKRAMAN OLIGARKI
POLITIK
Hasil perjuangan demokrasi adalah perubahan nyata dimana ada perubahan
konfigurasi dan konstelasi kekuatan politik. Subkhan (2013) menjelaskan dimana Pasca
reformasi 1998, tidak ada lembaga negara yang memiliki kekuasaan sedemikian besar
seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI atau pun DPRD. Perubahan kewenangan
kekuasaan yang paling radikal adalah pada kekuasaan DPR sebagai pembentuk
undang-undang. DPR saat ini memiliki otoritas yang jauh lebih luas dibandingkan pada
zaman orde baru. Kalau dulu DPR sekedar lembaga yang melegitimasi kebijakan
pemerintah, maka saat ini DPR merupakan lembaga yang menentukan kebijakan
pemerintah. Kekuatan yang besar dan posisi politik yang krusial telah mendudukkan
para aktor politik di parlemen sangat vital. Namun, bagi Subkhan (2013), implikasi dari
kekuasaan parlemen yang demikian besar berpotensi terjadi penyimpangan atau
penyalahgunaan. Ungkapan dari Lord Acton (1834-1902) dalam Subkhan (2013) ,
power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely menemukan
relevansinya dalam kasus praktek politik di parlemen. Kekuasaan parlemen yang
demikian besar, tanpa diimbangi dengan sistem yang bersih dan integritas anggotanya
menyebabkan parlemen seolah menjadi sarang utama kasus-kasus korupsi besar di
Indonesia. Banyak anggota parlemen yang menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki
untuk kepentingan pribadi dan partainya.
Walau demokrasi dipercaya sebagai sistem politik yang terbaik dari yang
terburuk namun demokrasi tidak bisa menjamin lahirnya aktor-aktor pemegang kuasa
politik dan kuasa ekonomi yang demokratis. Apa yang terjadi di Indonesia, demokrasi
justru telah melahirkan para pemegang kuasa ekonomi dan politik yang pragmatis
yang tidak menghendaki lahirnya demokrasi ekonomi dalam diskurus politik
pembangunan pertanian. Sebab, demokrasi ekonomi dalam pembangunan pertanian
justru dianggap menjadi penghambat terbesar dalam proses akumulasi capital dan
kekuasaan politik. Adalah wajar bila di beberapa daerah yang kaya akan sumber daya
lahan dengan tenurial yang tidak jelas, berbagai oknum pemegang kuasa politik dan
ekonomi saling berkompetisi dan bekerjasama untuk memperebutkan sumber daya
lahan untuk dijadikan kebun sawit ataupun pertambangan liar. Bahkan banyak lahanlahan yang secara legal diperuntukan untuk pertanian lahan basah justru banyak yang
di rubah untuk perkebunan baik secara legal maupun illegal.
Di sisi lain secara institusional, ada kecenderungan politik pembangunan
pertanian hanya ditentukan oleh oligarki politik. Paska Orde Baru, yang diikuti oleh
kemunculan berbagai partai politik baik yang bersifat ideologis maupun pragmatis
secara langsung maupun tidak langsung telah berkorelasi terhadap perubahan garis
politik pembangunan pertanian. Harga yang harus dibayar di era transisi demokrasi ini
adalah ada tendensi terjadinya pemudaran ideologi dan disorientasi perjuangan partai
politik. Akibatnya garis politik pembangunan pertanian menjadi lebih kental warna
politiknya ketimbang misi dasar, kerangka nilai emansipasi dan empati bagi
pembebasan petani melalui pertanian. Sujito (2012), menyebutnya ada tiga hal yang
118
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
menjadi penyebabnya. Pertama, corak politik berbiaya tinggi yang tengah berlangsung
mengakibatkan politisi kian membabi buta mencari uang demi membiayai sepak
terjangnya meraih posisi kekuasaan, sekalipun dengan cara-cara yang illegal. Kedua,
lemahnya kontrol publik, terutama konstituen atas perilaku politisi parpol. Bahkan,
ironisnya konstituen juga terperangkap oleh arus pragmatism. Ketiga, manajemen
parpol yang oligarki mengakibatkan politik menjadi tidak akuntabel dan gagal
menjalankan sebagai lembaga representasi.
Saat ini hampir sulit untuk membedakan antara partai yang berideolgi kuat
dengan yang pragmatis. Katakanlah antara partai-partai tradisional yang muncul
semenjak era Orde Baru, yang dianggap berideologi kuat dan partai yang tumbuh
paska reformasi yang dianggap pragmatis, tetapi ketika mereka menjadi pemegang
kekuasaan, perbedaan tersebut menjadi tidak ada batasnya lagi dan seolah-olah
menjadi cair. Partai ideologis pun tak jarang terjebak dengan koalisi pragmatis dalam
menjalankan pemerintahan. Program-program pembangunan yang dijalankan walau
dibungkus oleh istilah-istilah yang kental dengan nuansa ideologis, seperti bantuan
sosial, jaring pengaman sosial, BLSM, ekonomi kerakyatan, perlindungan dan
pemberdayaan petani dan pertanian, namun pada prakteknya justru dimanfaatkan
sebagai instrumen untuk kepentingan jangka pendek penguatan penguasaan sumbersumber ekonomi dan politik. Politik pembangunan pertanian hanya ditentukan oleh
koalisi dari partai politik sehingga outcome yang dicapai pun tidak pernah optimal
karena dibebani oleh kepentingan dari elit partai bahkan banyak yang dijadikan sapi
perahan partai.
Ideologi pembangunan yang kapitalistik, perkembangan demokrasi politik yang
tidak diikuti oleh kemajuan dalam demokrasi ekonomi, pada dasarnya telah
menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dan kontraksi-kontraksi dalam politik
pembangunan pertanian. Kontraksi-kontraksi ini menjalar dari pusat ke daerah-daerah
dan sampai ke tingkat komunitas. Berbagai indikator yang bisa dijadikan indikasi
terjadinya kontraksi adalah bisa dilihat dari adanya perebutan akses terhadap sumber
daya lahan, marginalisasi pertanian dan petani serta ketidakjelasan ketata ruangan.
Jalan panjang memang harus dilalui untuk membangun politik pembangunan
pertanian yang menyejahterakan masyarakat. Penguatan peran negara dan reforma
agrarian serta konsolidasi demokrasi dalam rangka mereduksi kecederungan terjadinya
seperti yang diistilahkan Sujito (2012) sebagai pendangkalan politik, adalah jalan yang
harus ditempuh untuk mengurangi kontraksi dalam politik pembangunan pertanian.
PENUTUP
Peningkatan intensitas pembangunan pertanian ternyata tidak selalu
berbanding lurus dengan produktivitas hasil pertanian. Berbagai data menunjukkan
bahwa justru ada kemandegan produktivitas di berbagai komoditas. Arus deras impor
pun akhirnya menjadi pilihan instan untuk mengatasi problem komoditas yang tidak
disadari semakin menenggelamkan harapan, kredibilitas dan kapasitas petani dan
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
119
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
pertanian sebagai penopang pembangunan nasional. Sementara di sisi lain, proses
diferensiasi sosial berbasis keagrariaan semakin menajam, membuat harapan besar
para petani akan masa depannya semakin meredup seiring dengan proses fragmentasi
lahan-lahan pertanian.
Konsep pembangunan betting on strong dan revolusi hijau lahir dianggap
pilihan ideal bagi pembangunan ekonomi dan pertanian sekaligus sebagai alternatif
reforma agraria dan pada tahun 1980 an Indonesia berhasil mencapai swasembada
pangan namun gagal mengelola konflik berbasis lahan dan semakin masuk ke dalam
arus besar neoliberalisme melalui berbagai paket deregulasi. Paska Orde Baru telah
terjadi disorientasi dan tidak ada grand design politik pembangunan pertanian.
Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil bersifat teknis, tanpa mengkaitkan secara
serius landasan-landasan filosofis ideology negara. Lonceng kematian pembangunan
pertanian semakin berbunyi nyaring seiring dengan semakin kuatnya pasar dan
pembajakan elit atas demokrasi.
Dalam era transisi dari otoriterisme menuju demokrasi liberal, para aktor
pemegang kuasa politik terutama yang duduk di partai politik dan aktor pemegang
kuasa ekonomi, bekerja dengan mengorganisasi, memobilisasi dan mengatur konteks.
Reformasi politik di arena pembangunan pertanian juga terjadi melalui dinamika
perkembangan dan perubahan struktur sosial yang terus bergerak. Para pemegang
kuasa politik dan ekonomi terus berusaha mengkooptasi problem-problem publik demi
kepentingan mereka. Politik uang telah mereproduksi para pemegang kuasa ekonomi
dan politik untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik untuk kepentingan jangka
pendek mereka.
Ideologi pembangunan yang kapitalistik, perkembangan demokrasi politik yang
tidak diikuti oleh kemajuan dalam demokrasi ekonomi, pada dasarnya telah
menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dan kontraksi-kontraksi dalam politik
pembangunan pertanian. Penguatan peran negara dan reforma agraria serta
konsolidasi demokrasi dalam rangka mereduksi kecederungan terjadinya seperti yang
diistilahkan Sujito (2012) sebagai pendangkalan politik, adalah jalan yang harus
ditempuh untuk mengurangi kontraksi dalam politik pembangunan pertanian.
Walau demokrasi dipercaya sebagai sistem politik terbaik dari yang terburuk
namun demokrasi tidak bisa menjamin lahirnya aktor-aktor pemegang kuasa politik
dan kuasa ekonomi yang demokratis. Apa yang terjadi di Indonesia, demokrasi justru
telah melahirkan para pemegang kuasa ekonomi dan politik yang pragmatis yang tidak
menghendaki lahirnya demokrasi ekonomi dalam diskursus politik pembangunan
pertanian. Itulah parasit dan patologi demokrasi yang harus kita berantas bersama
sampai ke akar-akarnya bagi keberdayaan pembangunan pertanian.
120
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
Politik Pertanian Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Andri,
K.B. 2006. Perspektif Pembangunan
Vol.6/XVIII/Maret 2006.
Wilayah
Pedesaan.
INOVASI
Cohen, C. 1971. Democracy. New York. Free Press.
Coppedge, M. And Reinicke, W. 1988. ‘A scale of polyarchy’, in R.D. Gastil (ed.)
Freedom in the World: Political Rights and Civil Liberties 1987-1988. New
York. Freedom House.
Dahl, Robert A., 1957. The Concept of Power, Behavioral Science, 2:3 (1957:July)
p.201.
Duverger, M. 1980. ‘A new political system model: semi-presidential government’.
European Journal of Political Research 8:165-87.
Freastoni, A., dan Sirajuddin. 2010. Politik Hukum Perlindungan Lahan Pertanian dan
Hak Asasi Petani sebagai Instrumen Mewujudkan Ketahanan Pangan
Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2, November
2010. 149.
Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Colin Gordon, ed. and trans. Brighton,
England: Harvester Press.
Giddens, A. 1984. The constitution of society: Outline of the theory of structuration.
Cambridge: Polity Press
Haryatmoko. 2002. Kekuasaan melahirkan anti kekuasaan: menelanjangi mekanisme
dan teknik kekuasaan bersama Foucoult. No. 1-2 tahun ke 51, Basis
Januari-Februari 2002.
Karsidi, R. 2002. Pemberdayaan Masyarakat Petani dan Nelayan Kecil. Pernah
disampaikan dalam Semiloka Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Tengah
dalam rangka Pelaksanan Otda, Badan Pemberdayaan Masyarakat Jateng,
di Semarang 4-6 Juni 2002
Kompas, Sabtu, 29 Maret 2014. 29.431 Hektar Lahan Jadi Kebun Sawit.
Kifli, G.C. 2007. Strategi Komunikasi Pembangunan Pertanian pada Komunitas Dayak
di Kalimantan Barat. Agricultural Development Communication Strategy of
Dayak Community in West Kalimantan. FORUM PENELITIAN AGRO
EKONOMI. Volume 25 No. 2, Desember 2007 : 117 – 125
Mubyarto. 1994. Politik pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Sinar Harapan Jakarta
1994.
Riker, W.H. 1982. Liberalism Against Populism. San Francisco. W.H. Freeman.
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian
121
Demokrasi, Pembajakan Elit dan Kontraksi Politik Pembangunan Pertanian
Suradisastra, K. 2011. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Mempercepat Pembangunan
Sektor Pertanian dalam Era Otonomi Daerah. Pengembangan Inovasi
Pertanian 4(2), 2011: 118-136
Syahrani, H.A.H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis dalam Pembangunan
Ekonomi Daerah. The Application of The Agropolitant and Agribusiness In
Regional Economy Development. FRONTIR Nomor 33, Maret 2001
Suseno, D., dan Suyatna, H. 2007. Mewujudkan Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani.
Jurnal Sosial dan Politik Vol. 10, No. 3 Maret 2007.
Subkhan, I. 2013. Kuasa Parlemen dalam Perspektif Antropologi Kekuasaan. Diunduh
pada tanggal 28 April 2014 dari http://anthropower.wordpress.com/
2013/06/16/kuasa-parlemen-dalam-perspektif-antropologi-kekuasaan/
Sujito, A. 2012. Pendakalan Politik. IRE Yogyakarta.
Wiradi, G. 2005. Politik Pertanian/Agraria di Indonesia. Makalah ringkas disampaikan
dalam acara Workshop Pertanian YLBHI bertema Tantangan dan Masa
Depan Pertanian di Hotel Seruni, Cisarua tanggal 2 Mei 2005.
Wolf, Eric. 1982. Europe and the People without History. Berkeley, CA: University of
California Press.
_________. 1990. “Distinguished Lecture: Facing Power—Old Insights,
122
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian