20070823 Perlindungan HAM kepastian hukum Romli Atmasasmita
Teks Ceramah Ilmiah
Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan
Di Dalam RUU KUHP
Oleh:
Romli Atmasasmita
La u n ch in g Bu k u d a n W e b
“Mas a D e p an Re fo rm as i KU H P D alam Mas a Tran s is i”
H o te l Su ltan , Jakarta 2 3 Agu s tu s 2 0 0 7
1
Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan Di Dalam RUU KUHP
Romli Atmasasmita1
Pengantar
Penyusunan RUU KUHP yang t elah berlangsung kurang lebih 30(t igapuluh) t ahun t elah selesai
dan akan diaj ukan Pemerint ah kepada Dewan Perwakilan Rakyat . Sekalipun proses penyusunan
t elah selesai dilaksanakan oleh t im penyusun yang t erdiri dari para Ahl i hukum pidana
Indonesia t erkemuka akan t et api t idak luput dari kelemahan-kelemahan dan j uga harus diakui
t erdapat kel ebihan-kelebihannya. Rancangan KUHP ini merupakan karya anak bangsa Indonesia
set elah sekian lamanya digunakan KUHP warisan pemerint ah Hindia Belanda dengan beberapa
perubahan seperlunya.
Pert anyaan pert ama yang harus disampaikan saat
ini,
adalah,
bagaimana ket ent uan pasal-pasal dalam RU KUHP t ent ang perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM), dan seberapa j auh ket ent uan-ket ent uan t sb mencerminkan asas kepast ian hukum?
Dua pert anyaan mendasar ini akan diuraikan j awabannya dalam bent uk analisis hukum normat if
dan sosiologis.
Analisis Ketentuan RUU KUHP tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Sej alan dengan ket ent uan t ent ang HAM di dalam UUD 1945 (Bab XA) seharusnya seluruh
perat uran perundang-undangan yang berlaku saat
ini menyesuaikan dengan ket ent uan
mengenai perlindungan HAM t sb. Tuj uan penyesuaian t sb adalah agar t idak ada l agi ket ent uanket ent uan di dalam perat uran perundang-undangan yang bert ent angan dengan UUD 1945 dan
Perubahannya. Perlu dipahami t erl ebih dulu apa makna ” penyesuaian” dengan ket ent uan di
dalam UUD 1945 t sb? Makna ” penyesuaian” t sb adal ah suat u proses harmonisasi ket ent uan
perat uran perundang-undangan yang t engah berlaku sepanj ang mengenai perlindungan HAM.
Makna kalimat ” penyesuaian” memiliki konsekuensi ” perubahan” ; dan makna perubahan
adalah seharusnya perubahan ket ent uan perundang-undangan ke arah yang lebih baik dari
ket ent uan perat uran perundang-undangan sebelumnya. Penegasan kalimat ” lebih baik” perlu
digaris bawahi yait u pert ama, masalah krit eria at au t olok ukur yg l ebih baik, karena kal imat
t ersebut bersif at relat if t ergant ung dari perubahan wakt u dan t empat (geographis). Kedua,
kalimat t ersebut tidak harus bermakna, ” lebih unggul” at au ” berkualit as t inggi” melebihi
kemaj uan perkembangan implement asinya di negara lain. Dengan kat a lain, makna ” lebih
baik” seharusnya diukur dari sisi ket erbat asan suat u negara baik dari sisi sosial, kul t ural ,
ekonomi, polit ik dan hukum di dal am upaya memenuhi mandat konst it usi-nya.
1
GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
2
Bert it ik t ol ak dari pemikiran t sb di at as, dapat dikat akan bahwa implement asi ket ent uan
perlindungan HAM di negara maj u t idak harus dapat disamai oleh perkembangan implement asinya di Indonesia. Hal ini perlu disampaikan sehubungan dengan pernyat aan di dalam Dekl arasi
Bangkok (Bangkok Declarat ion, t ahun?) yang
t et ap
mendukung
dan
melaksanakan
mencerminkan bahwa negara anggot a ASEAN
pemaj uan
dan
perlindungan
HAM
akan
t et api
implement asinya disesuaikan dengan kondisi geographis dan sosial budaya set empat (masingmasing negara). Penegasan ini sekaligus mencerminkan pula masih dianut nya pandangan
relat ivisme HAM
oleh sebagian besar negara anggot a ASEAN dibandingkan pandangan HAM
yang bersif at absolut ; yang mana dalam kenyat aan merupakan sesuat u hal yang t idak mudah
unt uk menempat kannya sebagai
” t he living law f or all nat ion” . Saat ini implement asi
pandangan HAM universal di seluruh negara t ermasuk negara maj u dan dikenal sebagai negara
sponsor pemaj uan dan perlindungan HAM (Amerika Serikat dan negara2 t ergabung dal am Uni
Eropa) masih bersif at ” t rial and error” ; bahkan kenyat aan membukt ikan t idak konsist en di
dalam pemaj uan dan perlindungan t sb. Berbagai kasus pel anggaran HAM oleh Amerika Serikat di
Guant anamo, dan dal am peperangan di Irak t elah membukt ikan hal t sb. Rusia dan Cina j uga
t elah t idak konsist en dalam memaj ukan dan melindungi HAM di negaranya masing-masing;
kasus penghilangan paksa orang-orang yang t idak disukai at au bersebrangan secara polit ik
dengan pemerint ah Put in, s sepert i t erhadap seorang j urnalis wanit a t erkenal mengkrit isi
kebij akan polit ik Put in, dan pembunuhan seorang agen int elij en Rusia yang membel ot ke AS. Di
Indonesia, kasus pembunuhan Munir j uga t elah membukt ikan masalah inkonsist ensi t erhadap
pemaj uan dan perl indungan HAM. Kasus sensos pers di Indonesia yang t el ah dit iadakan dengan
berlakunya UU Pokok Pers (t ahun?) selain merupakan kemaj uan di bidang hak dan kebebasan
menyampaikan inf ormasi dan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh UUD 1945 dan
Perubahannya, j uga masih ada beberapa kasus pencemaran nama baik at au penghinaan
t erhadap presiden yang masih t erj adi. Put usan MA dalam kasus Maj alah Tempo merupakan
suat u
kemaj uan berart i sekalipun dalam kasus lain MA masih belum konsist en menerapkan
hukum HAM, sepert i dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Lest e. Semua perist iwa di dalam
negeri dan di negara lain di at as menunj ukkan bahwa, t ampaknya pandangan HAM universal
belum dianut sepenuhnya yang pada gilirannya berdampak t erhadap implement asi pemaj uan
dan perlindungannya. Cont oh konkrit mengenai paham part ikularist ik t ent ang HAM j uga masih
dianut di dalam perundang-undangan pidana di Belanda dan j uga di dalam Konvensi HAM Eropa.
Sebagaimana dij el askan di dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP Belanda masih membat asi
” kebebasan pers”
dal am art i bahwa, yang dilindungi adalah pencet ak dan penerbit nya
sepanj ang penerbit at au pencet aknya dapat memberikan inf ormasi siapa penulisnya secara
3
lengkap maka mereka akan bebas dari penunt ut an kecuali sebaliknya. 2 Padanan t erhadap
kedua pasal t sb adalah Pasal 61 dan Pasal 62 KUHP. Larangan dan sanksi pidana t erhadap
penerbit dan pencet ak masih diat ur dalam KUHP Belada dalam Pasal 418-420 KUHP,
adalah
padanan Pasal 483-485 KUHP Indonesia. Larangan sensor pun t el ah dit et apkan di dalam
Konst it usi Belanda pada Pasal 7 dan Pasal 10 Konvensi Uni Eropa; akan t et api di Konst it usi
Belanda t sb dit egaskan bahwa, masih ada kekecualiannya yait u t idak menghilangkan t anggung
j awab set iap orang berdasarkan undang-undang yang berl aku( ” No one needs prior permission
for
through . . . . . . . . . . the
press experssing thoughts or
sentiments,
notwithstanding
everyone/ s responsibility under the law” ). Dij elaskan lebih j auh makna, ” responsibilty
under
the
law
untuk
suatu
publikasi”
yait u
dapat
dipert anggungj awabkan
scara
perdat a(ant ara l ain dengan mel akukan gugat an perdat a unt uk t indak pidana pencemaran nama
baik oleh korban t erhadap penulis dan at au penerbit nya). Dikat akan lebih j auh bahwa, larangan
sensor t idak mengenyampingkan kemungkinan bagi pengadilan unt uk menet apkan ” inj unct ion”
t erhadap penerbit an t sb. 3
Begit upul a Konvensi HAM Eropa pada Pasal 10 menegaskan, set iap orang memiliki hak secara
bebas menyampaikan pendapat . Hak Kebebasan
menyampaikan pendapat dan menerima sert a
menyebarluaskan inf ormasi dan gagasan-gagasan t anpa ada int ervensi oleh alat kekuasaan dan
t anpa pembat asan t erit orial . Pasal ini t idak dapat mencegah Negara unt uk menet apkan
perizinan unt uk penyiaran, t elevisi at au perf ilman. Dal am ayat 2 dari Pasal 10 dit egaskan
t erdapat 7(t uj uh) t uj uan unt uk mana dibolehkannya pembat asan t erhadap hak dan kebebasan
t eersebut di at as, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
” The exercise of t hese freedoms¸ since it carries it dut ies and responsibilit ies, may be
subj ect t o such formalit ies, condit ions, rest rict ios or penalt ies as ae prescribed by law
and are necessary in a democrat ic societ y, in t he int erest of nat ional securit y, t errit orial
int egrit y or public safet y, for t he prevent ion of disorder or crime, for t he prot ect ion of
healt h or morals, for t he prot ect ion of t he reput at ion or right s of ot hers, for prevent ing
t he disclosure of informat ion received in confidence, or for maint aining t he aut horit hy
and impart ialit y of t he j udiciary”. Keij zer, menegaskan bahwa “ pembat asan-pembat asan”
yang dibolehkan menurut Alinea kedua Pasal 10 t sb adalah, hanya dapat dibenarkan j ika
dipenuhi 3(t iga) persyarat an, yait u, (1) pembat asan t sb harus dit et apkan dalam undangundang; (2) persyarat an t sb harus memiliki t uj uan yang dibenarkan secara hukum (lihat
2
Nico Keijzer, “Press Offences Under The Law of The Netherlands”; makalah dalam Seminar Hukum Pidana
Nasional-kerjasama Aspehupiki dan FH Unpad, tahun 2005.
3
Nico Keijzer, :”Freedom of The Press And Its Limitation”; Makalah dalam Seminar Hukum Pidana
Nasional, Kerjsama Aspehupiki dan FH Unpad tahun 2005.
4
ket uj uh t uj uan pembat asan di at as), dan (3) harus ada keperluan yang signif ikan unt uk
melaksanakan pembat asan. Persyarat an ket iga ini sangat krusial dalam art i bahwa pembat asan
t sb harus memenuhi asas proprosional it as, yait u sej auh manakah pembat asan t sb memang
memenuhi t unt ut an kebut uhan masyarakat (baca: bukan pemerint ah! ). 4
Pada t at aran kebij akan legislat if di Indonesia,
masalah pemaj uan dan perlindungan HAM di
Indonesia t elah mengalami kemaj uan dibandingkan dengan keadaan Indonesia sebelum
ref ormasi bahkan dengan negara-negara lain. Hal ini t erbukt i dari berbagai UU yang t el ah
dihasilkan pasca era ref ormasi 1998, sepert i UU Nomor 35 t ahun 1999 t ent ang HAM, UU Nomor
26 t ahun 2000 t ent ang Pengadil an HAM, dan berbagai UU yang t elah mengesahkan berlakunya
konvensi2 int ernasional
t ent ang HAM (hak polit ik,
hak sosial dan hak ekonomi,
dan
penghapusan diskriminasi at as et nis, agama dan ras; dan hak anak sert a wanit a). Berkait an
dengan kebij akan legislat if dalam bidang hukum pidana, pemerint ah t el ah membent uk Tim
RUU KUHP dan RUU KUHAP unt uk menyesuaikan KUHP dan KUHAP yang berlaku dengan
perkembangan sosial , ekonomi, polit ik dan budaya saat ini t erut ama dalam kait an pemaj uan
dan perl indungan HAM sert a perkembangan lint as kej ahat an t ransnasional abad 21 ini.
Prof . Mul adi sebagai Ket ua Tim RUU KUHP t el ah menegaskan bahwa, para pakar yang t erlibat
dalam perumusan KUHP t elah menyerap aspirasi yang bersif at mul t idimensional baik yang
berasal
dari
elemen-elemen
suprast rukt ural. inf rast rukt ural, akademis
maupun
aspirasi
int ernasional. Dikat akan j uga t idak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa (elemen
part ikul arist ik). Sel anj ut nya dal am mengemukakan asas-asas hukum pidana yang dianut dalam
Buku I, Muladi menggaris bawahi 17(t uj ubelas) but ir pemikiran yang dipandang sebagai
menj iwai asas-asas hukum pidana dalam RUU KUHP. Dalam kait an dengan HAM dij elaskan
bahwa RUU KUHP t elah mencipt akan hukum pidana yang manusiawi (humanit arian criminal
law) baik unt uk kepent ingan masyarakat , kepent ingan pelaku maupun kepent ingan korban
kej ahat an. 5 Selanj ut nya dij elaskan bahwa, sif at hukum pidana yang semula merupakan hukum
pidana perbuat an (daadst raf recht ) yang dipengaruhi Aliran Klasik set elah Revolusi Perancis
disempurnakan menj adi hukum pidana pelaku yang j uga berorient asi kepada pelaku (daaddader st raf recht ); pidana yang semula bert uj uan unt uk pembalasan(ret ribut ion) dit uj ukan
kearah yang lebih bermanf aat . 6 Terkait kepada Konvensi t ent ang Hak Anak, dij elaskan bahwa
secara khusus (RUU KUHP, sic) diat ur t ent ang, ” Pidana dan Tindakan Bagi Anak” dalam Bab
t ersendiri(Bab Keempat , Pasal 106 sd 123); dan dit ent ukan j uga bat as minimum umum
4
Keizer,ibid
Dikutip dari “Kumpulan Tulisan tentang RUU KUHP”; Panitian Penyusunan RUU Tentang KUHP
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI; Tahun 2004;halaman 4
5
6
ibid
5
pert anggungj awaban pidana, yait u 12 t ahun. Pidana mat i t et ap dipert ahankan namun diat ur
dalam pasal t ersendiri sebagai ” pidana yang bersif at khusus” dan selalu diancamkan al t ernat if .
Pidana mat i dij at uhkan sebagai ” upaya t erakhir unt uk mengayomi masyarakat ” (Pasal 80 RUU
KUHP). Dengan syarat -syarat t ert ent u j uga dimungkinkan penerapan ” Pidana Mat i Percobaan”
(condit ional deat h penalt y) di dalam Pasal 82 RUU, di mana pidana mat i dimungkinkan diubah
menj adi pidana seumur hidup at au pidana penj ara 20 t ahun.
Bert it ik t olak dari penj elasan Ket ua Tim RUU KUHP t ersebut di at as, dapat dikat akan bahwa,
t im
penyusun
masih
menggunakan
pendekat an
yuridis normat if
dengan
t et ap
t idak
meninggalkan t uj uan pemidanaan klasik dan berusaha unt uk mengalokasikan f akt or sosio-kult ur
bangsa Indonesia. Di sisi l ain, t im penyusun secara gambl ang menyinggung pent ingnya
perlindungan HAM akan t et api dalam perumusannnya masih t et ap ” mempert ahankan st at usquo” t erut ama misal nya, ket ent uan pidana mat i; kej ahat an t erhadap ket ert iban umum,
khususnya Pasal 154 (Pasal 284 -285 RUU KUHP); dan Pasal 157 (Pasal 286 RUU KUHP), akan
t et api rumusan t indak pidana dalam RUU diubah, dari Delik Formil(cukup dengan t erbukt i
adanya perbuat an),
menj adi Delik Mat eriel (pidana hanya dij at uhkan j ika t imbul akibat dari
perbuat an yang dit uduhkan). Namun demikian perubahan rumusan t indak pidana t sb, t idak
mengubah esensi dari rumusan t sb dikait kan dengan wewenang aparat kepolisian yang
merupakan perpanj angan t angan pemerint ah yang j uga rent an t erhadap int ervensi kekuasaan
dalam proses penegakan
hukum. Upaya Tim Penyusun unt uk mempert imbangkan sisi
perlindungan HAM (hak unt uk menyat akan pendapat secara bebas) di sat u sisi dan kewaj iban
pemerint ah unt uk memelihara ket ert iban t el ah menghasilkan rumusan yang menit ikberat kan
kepada ” muncul nya akibat yang dapat merugikan kepent ingan masyarakat yang lebih luas” .
Dalam kait an ini, dokt rin hukum pidana mengenal berbagai t eori mengenai hubungan sebabakibat (causal relat ionship), sepert i,
t eori condit io sine qua non (Von Buri) , t eori Relevansi
(Van Hamel dan Langemeyer), dan t eori ekuivalensi (Von Kries) yang sudah t ent u akan
memepngaruhi cara pandang alat kekuasaan membukt ikan adanya hubungan kausal suat u
kasus, dan kemudian menent ukan dapat dit unt ut t idaknya seseorang pelaku. Ket ika alat -alat
kekuasaan menent ukan kausa t ersebut maka sulit unt uk dij amin t idak akan st eril dari
kepent ingan polit ik pemegang kekuasaan at au int ervensi dari pemegang kekuasaan, t erut ama
dalam kasus-kasus kej ahat an t erhadap ket ert iban umum. Mengapa? Hal ini sangat t ergant ung
dari subj ekt ivit as cara pandang dan kedalaman wawasan dan ilmu penget ahuan hukum sert a
ket elit ian para penyidik kepol isian yang t idak j arang t elah t erj adi melanggar obj ekt ivit as
dalam menemukan kebenaran mat eriel dari suat u kasus.
6
Persoal annya, adalah bagaimana prediksi impl ement asi di dalam prakt ik penegakan hukum?
Prediksi bahwa, implement asi rumusan t indak pidana t ersebut t idak akan mengubah paradigma
aparat ur penegak hukum di dalam memandang perbuat an yang dit uduhkan sebagai penghinaan
at au delik pers t idak t erhindarkan karena persoalan ” t rauma polit ik penegakan hukum masa
lalu”
yang t elah menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan bel aka. Tampaknya, posisi
st at us-quo masih dianut Tim penyusun RUU KUHP
dengan pert imbangan , bahwa prinsip
” et at isme” masih relevan dan pent ing dalam kont eks kehidupan masyarakat domest ik dalam
masa t ransisi menuj u ke arah demokrasi. Dal am kont eks menuj u masyarakat demokrasi posisi
t sb masih dapat dipahami, akan t et api kiranya ” kecurigaan” (suspicious) al at -al at kekuasaan
dalam memandang dinamika kehidupan masyarakat t idak selalu harus dit anggapi secara apriori
dari kaca mat a kepent ingan pemegang kekuasaan semat a-mat a. Posisi t sb j uga harus dit imbang
dari sisi aspirasi nilai-nilai demokrasi yang memang memerlukan ” kepercayaan penuh” yang
bersif at resiprosit as sert a simbios mut ualist ik ant ara rakyat dan pemerint ahnya. Namun
demikian adakah visi dan misi yang j elas t uj uan dan prospek kehidupan dan diperansert akan
pemerint ah pasca era ref ormasi 1998 sampai saat ini; inilah t it ik persoalan bangsa ini kedepan
di
dalam memasuki
dan menit i
kehidupan demokrat isasi
di
segala sekt or
kehidupan
masyarakat .
Tentang Masalah Kepastian Hukum dan Keadilan
Kepast ian Hukum akan selalu merupakan ikon dan sekal igus j at i diri hukum sej ak masa Yunani
yang lampau sampai saat ini, dan
masih dikumandangkan dan diaj arkan sebagai asas dan
t uj uan hukum yang bersif at universal dan abadi, dan sekal igus sering dipert ent angkan dengan
Keadilan. Tim Penyusun RUU KUHP t elah mengadopsi kedua asas t sb secara kurang
proporsional karena dinyat akan di dalam Pasal 12 RUU KUHP dit egaskan bahwa, penerapan
hukum oleh hakim sej auh mungkin mengut amakan keadilan di at as kepast ian hukum. Rumusan
Pasal 12 RUU KUHP t sb mencoba unt uk memberikan perlakuan yang sama t erhadap kedua asas
dimaksud namun j uga diberikan t ekanan kepada hakim, bahwa keadilan memiliki ” nilai
t ambah” dibandingkan dengan kepast ian hukum. Sepint as rumusan t ersebut ” cukup cant ik” dan
” enak dipandang” , akan t et api t im penyusun j uga
t elah t idak bersikap realist ik t erhadap
” keadil an nyat a” dalam masyarakat yang sesungguhnya keadilan it u t idak pernah t erwuj udkan
baik di
negara maj u maupun di negara berkembang. Sebagai cont oh, peradilan Nuremberg,
sering secara sinis disebut , ” Vict or’ s Just ice” , bukan ” legal j ust ice” at au ” int ernat ional
j ust ice” sekalipun akibat Peranf g Dunia Ke Dua sangat mengerikan dalam sej arah peradaban
bangsa-bangsa.
Peradil an Yugoslavia dan Rwanda sering disebut ” Peradilan Pemegang Vet o”
karena ada ket idak adilan ket ika t ent ara Amerika Serikat dal am perang Viet nam dan t idak
pernah ada peradilan unt uk mereka; begit u j uga t idak ada pengadilan HAM unt uk kej ahat an
7
t ent ara Amerika dan sekut unya dalam perang Irak. Mengapa bisa t erj adi? Hal ini disebabkan
pandangan t ent ang keadilan akan selalu mengalami perubahan sit uasional dan bersif at
kont ekst ual dalam perkembangan kehidupan masyarakat . Von Savigny sej ak lama t elah
memperingat kan kit a, bahwa ” hukum selalu t ert inggal dari perkembangan masyarakat nya” ;
dan at as pendapat t sb kit a dapat menarik kesimpulan bahwa nilai keadilan yang diharapkan
lahir dari penerapan hukum t idak akan konst an sif at nya namun ia akan selalu dinamis. Pada
t it ik ini maka kit a harus bert anya t ent ang sej auh manakah relevansi rumusan Pasal 12 RUU
KUHP t ersebut dal am kont eks masyarakat Indonesia yang kini t engah mengalami perkembangan
masa t ransisi menuj u demokrasi. Bukankah dengan ket ent uan t ersebut t idak akan memudahkan
para hakim ” menemukan” keadil an, bahkan mungkin kepast ian hukum-lah yang akan lebih
mudah dit erapkan daripada keadil an it u sendiri. Biarkanlah ” keadilan” it u berada pada
pandangan masyarakat menurut t empat dan wakt u t ert ent u. Rumusan ket ent uan Pasal 12 RUU
KUHP t ersebut
– yang
merupakan
isi
Bab
II,
di
bawah
”
Tindak
Pertanggungj awaban Pidana” yang merupakan asas ut ama Hukum Pidana,
Pidana
dan
j ust ru akan
menimbul kan ” ket idakpast ian hukum dan ket idakadilan” baru di dalam prakt ik peradilan
pidana di Indonesia di masa yad.
Kit a dapat dibayangkan set iap put usan Hakim akan selalu
diuj i dengan t ol ok ukur seberapa j auh, para hakim t elah mengut amakan ” keadilan” lebih besar
daripada ” kepast ian hukum” ; suat u pert anyaan mendasar t erhadap hakekat hukum, dan
bersif at f ilosof is yang t idak akan kunj ung selesai dan bermasalah.
Keadil an dalam kont eks kul t ur
dan sosio-geograpis Indonesia harus dimaknai
sebagai
” Perdamaian” (Peace) yang akan j auh lebih dapat dipahami secara sadar karena ia sesuai
dengan kebiasaan dan hukum adat yang hidup sej ak lama di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam t at aran pragmat isme kehidupan set iap bangsa, t erbukt i, perdamaian it u
relat if lebih mudah dicapai dan t erj angkau daripada keadilan. Mengapa kit a selalu harus
bert umpu pada keadil an sedangkan kit a selalu menut up mat a bahwa keadil an sepanj ang
sej arah peradaban t idak pernah ada, karena it ul ah pernah ada pendapat (?) yang mengat akan
bahwa, keadilan it u adalah ket idakadil an t ert inggi. Perdamaian sebagai t uj uan hukum baru
akan melengkapi asas sekaligus t uj uan umat manusia membent uk hukum(nasional dan
int ernasional) sehingga seharusnya asas dan t uj uan hukum it u adalah, keadilan untuk
mencapai perdamaian (j ustice for peace) daripada t uj uan unt uk mencapai keadilan semat amat a; apalagi j ika sel al u mempert ent angkan ant ara keadilan dengan kepast ian hukum.
RUU KUHP masih menganut ideologi kant ianisme yang memang di dal am sej arah hukum pidana
t ampak masih dominan dibandingkan di dalam ket iga pembagian j enis hukum lainnya (hukum
perdat a, t at a negara, dan hukum int ernasional ).
Namun demikian t im penyusun RUU KUHP
8
j j uga mempert imbangkan pul a ideologi ut il it arian baik dari perspekt ip kepent ingan pelaku,
korban dan masyarakat luas. Sel ain it u j uga t elah dianut pendekat an vikt imologi dengan
mengut amakan prinsip resorat ive j ust ice. Hal ini dapat dit emukan pada ket ent uan mengenai
pemulihan korban kej ahat an dan pidana kerj a sosial yang bersif at ” non-punit ive” . Dapat
dikat akan bahwa, t im penyusun berusaha membuat masakan ” gado-gado” dari semua aliran
yang berkembang dari aliran kl asik (t ert ua) yang bersif at ret ribut if
kepada aliran modern
(baru) yang bersif at rest orat ive.
Set iap RUU baru sel alu memiliki kelemahan-kel emahan baik dari sisi f ilosof is, yuridis, maupun
sosiologis, dan sudah t ent u RUU KUHP t idak luput dari kelemahan t sb. Namun lebih baik ada
upaya pembaruan daripada t idak ada sama sekali; masih ada wakt u dan ruang unt uk publik
berpart isipasi dan sekaligus memberikan koreksi unt uk penyempurnaan RUU t ersebut .
9
Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan
Di Dalam RUU KUHP
Oleh:
Romli Atmasasmita
La u n ch in g Bu k u d a n W e b
“Mas a D e p an Re fo rm as i KU H P D alam Mas a Tran s is i”
H o te l Su ltan , Jakarta 2 3 Agu s tu s 2 0 0 7
1
Perlindungan HAM, Kepastian Hukum dan Keadilan Di Dalam RUU KUHP
Romli Atmasasmita1
Pengantar
Penyusunan RUU KUHP yang t elah berlangsung kurang lebih 30(t igapuluh) t ahun t elah selesai
dan akan diaj ukan Pemerint ah kepada Dewan Perwakilan Rakyat . Sekalipun proses penyusunan
t elah selesai dilaksanakan oleh t im penyusun yang t erdiri dari para Ahl i hukum pidana
Indonesia t erkemuka akan t et api t idak luput dari kelemahan-kelemahan dan j uga harus diakui
t erdapat kel ebihan-kelebihannya. Rancangan KUHP ini merupakan karya anak bangsa Indonesia
set elah sekian lamanya digunakan KUHP warisan pemerint ah Hindia Belanda dengan beberapa
perubahan seperlunya.
Pert anyaan pert ama yang harus disampaikan saat
ini,
adalah,
bagaimana ket ent uan pasal-pasal dalam RU KUHP t ent ang perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM), dan seberapa j auh ket ent uan-ket ent uan t sb mencerminkan asas kepast ian hukum?
Dua pert anyaan mendasar ini akan diuraikan j awabannya dalam bent uk analisis hukum normat if
dan sosiologis.
Analisis Ketentuan RUU KUHP tentang Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Sej alan dengan ket ent uan t ent ang HAM di dalam UUD 1945 (Bab XA) seharusnya seluruh
perat uran perundang-undangan yang berlaku saat
ini menyesuaikan dengan ket ent uan
mengenai perlindungan HAM t sb. Tuj uan penyesuaian t sb adalah agar t idak ada l agi ket ent uanket ent uan di dalam perat uran perundang-undangan yang bert ent angan dengan UUD 1945 dan
Perubahannya. Perlu dipahami t erl ebih dulu apa makna ” penyesuaian” dengan ket ent uan di
dalam UUD 1945 t sb? Makna ” penyesuaian” t sb adal ah suat u proses harmonisasi ket ent uan
perat uran perundang-undangan yang t engah berlaku sepanj ang mengenai perlindungan HAM.
Makna kalimat ” penyesuaian” memiliki konsekuensi ” perubahan” ; dan makna perubahan
adalah seharusnya perubahan ket ent uan perundang-undangan ke arah yang lebih baik dari
ket ent uan perat uran perundang-undangan sebelumnya. Penegasan kalimat ” lebih baik” perlu
digaris bawahi yait u pert ama, masalah krit eria at au t olok ukur yg l ebih baik, karena kal imat
t ersebut bersif at relat if t ergant ung dari perubahan wakt u dan t empat (geographis). Kedua,
kalimat t ersebut tidak harus bermakna, ” lebih unggul” at au ” berkualit as t inggi” melebihi
kemaj uan perkembangan implement asinya di negara lain. Dengan kat a lain, makna ” lebih
baik” seharusnya diukur dari sisi ket erbat asan suat u negara baik dari sisi sosial, kul t ural ,
ekonomi, polit ik dan hukum di dal am upaya memenuhi mandat konst it usi-nya.
1
GURUBESAR HUKUM PIDANA INTERNASIONAL UNPAD
2
Bert it ik t ol ak dari pemikiran t sb di at as, dapat dikat akan bahwa implement asi ket ent uan
perlindungan HAM di negara maj u t idak harus dapat disamai oleh perkembangan implement asinya di Indonesia. Hal ini perlu disampaikan sehubungan dengan pernyat aan di dalam Dekl arasi
Bangkok (Bangkok Declarat ion, t ahun?) yang
t et ap
mendukung
dan
melaksanakan
mencerminkan bahwa negara anggot a ASEAN
pemaj uan
dan
perlindungan
HAM
akan
t et api
implement asinya disesuaikan dengan kondisi geographis dan sosial budaya set empat (masingmasing negara). Penegasan ini sekaligus mencerminkan pula masih dianut nya pandangan
relat ivisme HAM
oleh sebagian besar negara anggot a ASEAN dibandingkan pandangan HAM
yang bersif at absolut ; yang mana dalam kenyat aan merupakan sesuat u hal yang t idak mudah
unt uk menempat kannya sebagai
” t he living law f or all nat ion” . Saat ini implement asi
pandangan HAM universal di seluruh negara t ermasuk negara maj u dan dikenal sebagai negara
sponsor pemaj uan dan perlindungan HAM (Amerika Serikat dan negara2 t ergabung dal am Uni
Eropa) masih bersif at ” t rial and error” ; bahkan kenyat aan membukt ikan t idak konsist en di
dalam pemaj uan dan perlindungan t sb. Berbagai kasus pel anggaran HAM oleh Amerika Serikat di
Guant anamo, dan dal am peperangan di Irak t elah membukt ikan hal t sb. Rusia dan Cina j uga
t elah t idak konsist en dalam memaj ukan dan melindungi HAM di negaranya masing-masing;
kasus penghilangan paksa orang-orang yang t idak disukai at au bersebrangan secara polit ik
dengan pemerint ah Put in, s sepert i t erhadap seorang j urnalis wanit a t erkenal mengkrit isi
kebij akan polit ik Put in, dan pembunuhan seorang agen int elij en Rusia yang membel ot ke AS. Di
Indonesia, kasus pembunuhan Munir j uga t elah membukt ikan masalah inkonsist ensi t erhadap
pemaj uan dan perl indungan HAM. Kasus sensos pers di Indonesia yang t el ah dit iadakan dengan
berlakunya UU Pokok Pers (t ahun?) selain merupakan kemaj uan di bidang hak dan kebebasan
menyampaikan inf ormasi dan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh UUD 1945 dan
Perubahannya, j uga masih ada beberapa kasus pencemaran nama baik at au penghinaan
t erhadap presiden yang masih t erj adi. Put usan MA dalam kasus Maj alah Tempo merupakan
suat u
kemaj uan berart i sekalipun dalam kasus lain MA masih belum konsist en menerapkan
hukum HAM, sepert i dalam kasus pelanggaran HAM di Timor Lest e. Semua perist iwa di dalam
negeri dan di negara lain di at as menunj ukkan bahwa, t ampaknya pandangan HAM universal
belum dianut sepenuhnya yang pada gilirannya berdampak t erhadap implement asi pemaj uan
dan perlindungannya. Cont oh konkrit mengenai paham part ikularist ik t ent ang HAM j uga masih
dianut di dalam perundang-undangan pidana di Belanda dan j uga di dalam Konvensi HAM Eropa.
Sebagaimana dij el askan di dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP Belanda masih membat asi
” kebebasan pers”
dal am art i bahwa, yang dilindungi adalah pencet ak dan penerbit nya
sepanj ang penerbit at au pencet aknya dapat memberikan inf ormasi siapa penulisnya secara
3
lengkap maka mereka akan bebas dari penunt ut an kecuali sebaliknya. 2 Padanan t erhadap
kedua pasal t sb adalah Pasal 61 dan Pasal 62 KUHP. Larangan dan sanksi pidana t erhadap
penerbit dan pencet ak masih diat ur dalam KUHP Belada dalam Pasal 418-420 KUHP,
adalah
padanan Pasal 483-485 KUHP Indonesia. Larangan sensor pun t el ah dit et apkan di dalam
Konst it usi Belanda pada Pasal 7 dan Pasal 10 Konvensi Uni Eropa; akan t et api di Konst it usi
Belanda t sb dit egaskan bahwa, masih ada kekecualiannya yait u t idak menghilangkan t anggung
j awab set iap orang berdasarkan undang-undang yang berl aku( ” No one needs prior permission
for
through . . . . . . . . . . the
press experssing thoughts or
sentiments,
notwithstanding
everyone/ s responsibility under the law” ). Dij elaskan lebih j auh makna, ” responsibilty
under
the
law
untuk
suatu
publikasi”
yait u
dapat
dipert anggungj awabkan
scara
perdat a(ant ara l ain dengan mel akukan gugat an perdat a unt uk t indak pidana pencemaran nama
baik oleh korban t erhadap penulis dan at au penerbit nya). Dikat akan lebih j auh bahwa, larangan
sensor t idak mengenyampingkan kemungkinan bagi pengadilan unt uk menet apkan ” inj unct ion”
t erhadap penerbit an t sb. 3
Begit upul a Konvensi HAM Eropa pada Pasal 10 menegaskan, set iap orang memiliki hak secara
bebas menyampaikan pendapat . Hak Kebebasan
menyampaikan pendapat dan menerima sert a
menyebarluaskan inf ormasi dan gagasan-gagasan t anpa ada int ervensi oleh alat kekuasaan dan
t anpa pembat asan t erit orial . Pasal ini t idak dapat mencegah Negara unt uk menet apkan
perizinan unt uk penyiaran, t elevisi at au perf ilman. Dal am ayat 2 dari Pasal 10 dit egaskan
t erdapat 7(t uj uh) t uj uan unt uk mana dibolehkannya pembat asan t erhadap hak dan kebebasan
t eersebut di at as, sebagaimana diuraikan di bawah ini.
” The exercise of t hese freedoms¸ since it carries it dut ies and responsibilit ies, may be
subj ect t o such formalit ies, condit ions, rest rict ios or penalt ies as ae prescribed by law
and are necessary in a democrat ic societ y, in t he int erest of nat ional securit y, t errit orial
int egrit y or public safet y, for t he prevent ion of disorder or crime, for t he prot ect ion of
healt h or morals, for t he prot ect ion of t he reput at ion or right s of ot hers, for prevent ing
t he disclosure of informat ion received in confidence, or for maint aining t he aut horit hy
and impart ialit y of t he j udiciary”. Keij zer, menegaskan bahwa “ pembat asan-pembat asan”
yang dibolehkan menurut Alinea kedua Pasal 10 t sb adalah, hanya dapat dibenarkan j ika
dipenuhi 3(t iga) persyarat an, yait u, (1) pembat asan t sb harus dit et apkan dalam undangundang; (2) persyarat an t sb harus memiliki t uj uan yang dibenarkan secara hukum (lihat
2
Nico Keijzer, “Press Offences Under The Law of The Netherlands”; makalah dalam Seminar Hukum Pidana
Nasional-kerjasama Aspehupiki dan FH Unpad, tahun 2005.
3
Nico Keijzer, :”Freedom of The Press And Its Limitation”; Makalah dalam Seminar Hukum Pidana
Nasional, Kerjsama Aspehupiki dan FH Unpad tahun 2005.
4
ket uj uh t uj uan pembat asan di at as), dan (3) harus ada keperluan yang signif ikan unt uk
melaksanakan pembat asan. Persyarat an ket iga ini sangat krusial dalam art i bahwa pembat asan
t sb harus memenuhi asas proprosional it as, yait u sej auh manakah pembat asan t sb memang
memenuhi t unt ut an kebut uhan masyarakat (baca: bukan pemerint ah! ). 4
Pada t at aran kebij akan legislat if di Indonesia,
masalah pemaj uan dan perlindungan HAM di
Indonesia t elah mengalami kemaj uan dibandingkan dengan keadaan Indonesia sebelum
ref ormasi bahkan dengan negara-negara lain. Hal ini t erbukt i dari berbagai UU yang t el ah
dihasilkan pasca era ref ormasi 1998, sepert i UU Nomor 35 t ahun 1999 t ent ang HAM, UU Nomor
26 t ahun 2000 t ent ang Pengadil an HAM, dan berbagai UU yang t elah mengesahkan berlakunya
konvensi2 int ernasional
t ent ang HAM (hak polit ik,
hak sosial dan hak ekonomi,
dan
penghapusan diskriminasi at as et nis, agama dan ras; dan hak anak sert a wanit a). Berkait an
dengan kebij akan legislat if dalam bidang hukum pidana, pemerint ah t el ah membent uk Tim
RUU KUHP dan RUU KUHAP unt uk menyesuaikan KUHP dan KUHAP yang berlaku dengan
perkembangan sosial , ekonomi, polit ik dan budaya saat ini t erut ama dalam kait an pemaj uan
dan perl indungan HAM sert a perkembangan lint as kej ahat an t ransnasional abad 21 ini.
Prof . Mul adi sebagai Ket ua Tim RUU KUHP t el ah menegaskan bahwa, para pakar yang t erlibat
dalam perumusan KUHP t elah menyerap aspirasi yang bersif at mul t idimensional baik yang
berasal
dari
elemen-elemen
suprast rukt ural. inf rast rukt ural, akademis
maupun
aspirasi
int ernasional. Dikat akan j uga t idak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa (elemen
part ikul arist ik). Sel anj ut nya dal am mengemukakan asas-asas hukum pidana yang dianut dalam
Buku I, Muladi menggaris bawahi 17(t uj ubelas) but ir pemikiran yang dipandang sebagai
menj iwai asas-asas hukum pidana dalam RUU KUHP. Dalam kait an dengan HAM dij elaskan
bahwa RUU KUHP t elah mencipt akan hukum pidana yang manusiawi (humanit arian criminal
law) baik unt uk kepent ingan masyarakat , kepent ingan pelaku maupun kepent ingan korban
kej ahat an. 5 Selanj ut nya dij elaskan bahwa, sif at hukum pidana yang semula merupakan hukum
pidana perbuat an (daadst raf recht ) yang dipengaruhi Aliran Klasik set elah Revolusi Perancis
disempurnakan menj adi hukum pidana pelaku yang j uga berorient asi kepada pelaku (daaddader st raf recht ); pidana yang semula bert uj uan unt uk pembalasan(ret ribut ion) dit uj ukan
kearah yang lebih bermanf aat . 6 Terkait kepada Konvensi t ent ang Hak Anak, dij elaskan bahwa
secara khusus (RUU KUHP, sic) diat ur t ent ang, ” Pidana dan Tindakan Bagi Anak” dalam Bab
t ersendiri(Bab Keempat , Pasal 106 sd 123); dan dit ent ukan j uga bat as minimum umum
4
Keizer,ibid
Dikutip dari “Kumpulan Tulisan tentang RUU KUHP”; Panitian Penyusunan RUU Tentang KUHP
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI; Tahun 2004;halaman 4
5
6
ibid
5
pert anggungj awaban pidana, yait u 12 t ahun. Pidana mat i t et ap dipert ahankan namun diat ur
dalam pasal t ersendiri sebagai ” pidana yang bersif at khusus” dan selalu diancamkan al t ernat if .
Pidana mat i dij at uhkan sebagai ” upaya t erakhir unt uk mengayomi masyarakat ” (Pasal 80 RUU
KUHP). Dengan syarat -syarat t ert ent u j uga dimungkinkan penerapan ” Pidana Mat i Percobaan”
(condit ional deat h penalt y) di dalam Pasal 82 RUU, di mana pidana mat i dimungkinkan diubah
menj adi pidana seumur hidup at au pidana penj ara 20 t ahun.
Bert it ik t olak dari penj elasan Ket ua Tim RUU KUHP t ersebut di at as, dapat dikat akan bahwa,
t im
penyusun
masih
menggunakan
pendekat an
yuridis normat if
dengan
t et ap
t idak
meninggalkan t uj uan pemidanaan klasik dan berusaha unt uk mengalokasikan f akt or sosio-kult ur
bangsa Indonesia. Di sisi l ain, t im penyusun secara gambl ang menyinggung pent ingnya
perlindungan HAM akan t et api dalam perumusannnya masih t et ap ” mempert ahankan st at usquo” t erut ama misal nya, ket ent uan pidana mat i; kej ahat an t erhadap ket ert iban umum,
khususnya Pasal 154 (Pasal 284 -285 RUU KUHP); dan Pasal 157 (Pasal 286 RUU KUHP), akan
t et api rumusan t indak pidana dalam RUU diubah, dari Delik Formil(cukup dengan t erbukt i
adanya perbuat an),
menj adi Delik Mat eriel (pidana hanya dij at uhkan j ika t imbul akibat dari
perbuat an yang dit uduhkan). Namun demikian perubahan rumusan t indak pidana t sb, t idak
mengubah esensi dari rumusan t sb dikait kan dengan wewenang aparat kepolisian yang
merupakan perpanj angan t angan pemerint ah yang j uga rent an t erhadap int ervensi kekuasaan
dalam proses penegakan
hukum. Upaya Tim Penyusun unt uk mempert imbangkan sisi
perlindungan HAM (hak unt uk menyat akan pendapat secara bebas) di sat u sisi dan kewaj iban
pemerint ah unt uk memelihara ket ert iban t el ah menghasilkan rumusan yang menit ikberat kan
kepada ” muncul nya akibat yang dapat merugikan kepent ingan masyarakat yang lebih luas” .
Dalam kait an ini, dokt rin hukum pidana mengenal berbagai t eori mengenai hubungan sebabakibat (causal relat ionship), sepert i,
t eori condit io sine qua non (Von Buri) , t eori Relevansi
(Van Hamel dan Langemeyer), dan t eori ekuivalensi (Von Kries) yang sudah t ent u akan
memepngaruhi cara pandang alat kekuasaan membukt ikan adanya hubungan kausal suat u
kasus, dan kemudian menent ukan dapat dit unt ut t idaknya seseorang pelaku. Ket ika alat -alat
kekuasaan menent ukan kausa t ersebut maka sulit unt uk dij amin t idak akan st eril dari
kepent ingan polit ik pemegang kekuasaan at au int ervensi dari pemegang kekuasaan, t erut ama
dalam kasus-kasus kej ahat an t erhadap ket ert iban umum. Mengapa? Hal ini sangat t ergant ung
dari subj ekt ivit as cara pandang dan kedalaman wawasan dan ilmu penget ahuan hukum sert a
ket elit ian para penyidik kepol isian yang t idak j arang t elah t erj adi melanggar obj ekt ivit as
dalam menemukan kebenaran mat eriel dari suat u kasus.
6
Persoal annya, adalah bagaimana prediksi impl ement asi di dalam prakt ik penegakan hukum?
Prediksi bahwa, implement asi rumusan t indak pidana t ersebut t idak akan mengubah paradigma
aparat ur penegak hukum di dalam memandang perbuat an yang dit uduhkan sebagai penghinaan
at au delik pers t idak t erhindarkan karena persoalan ” t rauma polit ik penegakan hukum masa
lalu”
yang t elah menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan bel aka. Tampaknya, posisi
st at us-quo masih dianut Tim penyusun RUU KUHP
dengan pert imbangan , bahwa prinsip
” et at isme” masih relevan dan pent ing dalam kont eks kehidupan masyarakat domest ik dalam
masa t ransisi menuj u ke arah demokrasi. Dal am kont eks menuj u masyarakat demokrasi posisi
t sb masih dapat dipahami, akan t et api kiranya ” kecurigaan” (suspicious) al at -al at kekuasaan
dalam memandang dinamika kehidupan masyarakat t idak selalu harus dit anggapi secara apriori
dari kaca mat a kepent ingan pemegang kekuasaan semat a-mat a. Posisi t sb j uga harus dit imbang
dari sisi aspirasi nilai-nilai demokrasi yang memang memerlukan ” kepercayaan penuh” yang
bersif at resiprosit as sert a simbios mut ualist ik ant ara rakyat dan pemerint ahnya. Namun
demikian adakah visi dan misi yang j elas t uj uan dan prospek kehidupan dan diperansert akan
pemerint ah pasca era ref ormasi 1998 sampai saat ini; inilah t it ik persoalan bangsa ini kedepan
di
dalam memasuki
dan menit i
kehidupan demokrat isasi
di
segala sekt or
kehidupan
masyarakat .
Tentang Masalah Kepastian Hukum dan Keadilan
Kepast ian Hukum akan selalu merupakan ikon dan sekal igus j at i diri hukum sej ak masa Yunani
yang lampau sampai saat ini, dan
masih dikumandangkan dan diaj arkan sebagai asas dan
t uj uan hukum yang bersif at universal dan abadi, dan sekal igus sering dipert ent angkan dengan
Keadilan. Tim Penyusun RUU KUHP t elah mengadopsi kedua asas t sb secara kurang
proporsional karena dinyat akan di dalam Pasal 12 RUU KUHP dit egaskan bahwa, penerapan
hukum oleh hakim sej auh mungkin mengut amakan keadilan di at as kepast ian hukum. Rumusan
Pasal 12 RUU KUHP t sb mencoba unt uk memberikan perlakuan yang sama t erhadap kedua asas
dimaksud namun j uga diberikan t ekanan kepada hakim, bahwa keadilan memiliki ” nilai
t ambah” dibandingkan dengan kepast ian hukum. Sepint as rumusan t ersebut ” cukup cant ik” dan
” enak dipandang” , akan t et api t im penyusun j uga
t elah t idak bersikap realist ik t erhadap
” keadil an nyat a” dalam masyarakat yang sesungguhnya keadilan it u t idak pernah t erwuj udkan
baik di
negara maj u maupun di negara berkembang. Sebagai cont oh, peradilan Nuremberg,
sering secara sinis disebut , ” Vict or’ s Just ice” , bukan ” legal j ust ice” at au ” int ernat ional
j ust ice” sekalipun akibat Peranf g Dunia Ke Dua sangat mengerikan dalam sej arah peradaban
bangsa-bangsa.
Peradil an Yugoslavia dan Rwanda sering disebut ” Peradilan Pemegang Vet o”
karena ada ket idak adilan ket ika t ent ara Amerika Serikat dal am perang Viet nam dan t idak
pernah ada peradilan unt uk mereka; begit u j uga t idak ada pengadilan HAM unt uk kej ahat an
7
t ent ara Amerika dan sekut unya dalam perang Irak. Mengapa bisa t erj adi? Hal ini disebabkan
pandangan t ent ang keadilan akan selalu mengalami perubahan sit uasional dan bersif at
kont ekst ual dalam perkembangan kehidupan masyarakat . Von Savigny sej ak lama t elah
memperingat kan kit a, bahwa ” hukum selalu t ert inggal dari perkembangan masyarakat nya” ;
dan at as pendapat t sb kit a dapat menarik kesimpulan bahwa nilai keadilan yang diharapkan
lahir dari penerapan hukum t idak akan konst an sif at nya namun ia akan selalu dinamis. Pada
t it ik ini maka kit a harus bert anya t ent ang sej auh manakah relevansi rumusan Pasal 12 RUU
KUHP t ersebut dal am kont eks masyarakat Indonesia yang kini t engah mengalami perkembangan
masa t ransisi menuj u demokrasi. Bukankah dengan ket ent uan t ersebut t idak akan memudahkan
para hakim ” menemukan” keadil an, bahkan mungkin kepast ian hukum-lah yang akan lebih
mudah dit erapkan daripada keadil an it u sendiri. Biarkanlah ” keadilan” it u berada pada
pandangan masyarakat menurut t empat dan wakt u t ert ent u. Rumusan ket ent uan Pasal 12 RUU
KUHP t ersebut
– yang
merupakan
isi
Bab
II,
di
bawah
”
Tindak
Pertanggungj awaban Pidana” yang merupakan asas ut ama Hukum Pidana,
Pidana
dan
j ust ru akan
menimbul kan ” ket idakpast ian hukum dan ket idakadilan” baru di dalam prakt ik peradilan
pidana di Indonesia di masa yad.
Kit a dapat dibayangkan set iap put usan Hakim akan selalu
diuj i dengan t ol ok ukur seberapa j auh, para hakim t elah mengut amakan ” keadilan” lebih besar
daripada ” kepast ian hukum” ; suat u pert anyaan mendasar t erhadap hakekat hukum, dan
bersif at f ilosof is yang t idak akan kunj ung selesai dan bermasalah.
Keadil an dalam kont eks kul t ur
dan sosio-geograpis Indonesia harus dimaknai
sebagai
” Perdamaian” (Peace) yang akan j auh lebih dapat dipahami secara sadar karena ia sesuai
dengan kebiasaan dan hukum adat yang hidup sej ak lama di dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dalam t at aran pragmat isme kehidupan set iap bangsa, t erbukt i, perdamaian it u
relat if lebih mudah dicapai dan t erj angkau daripada keadilan. Mengapa kit a selalu harus
bert umpu pada keadil an sedangkan kit a selalu menut up mat a bahwa keadil an sepanj ang
sej arah peradaban t idak pernah ada, karena it ul ah pernah ada pendapat (?) yang mengat akan
bahwa, keadilan it u adalah ket idakadil an t ert inggi. Perdamaian sebagai t uj uan hukum baru
akan melengkapi asas sekaligus t uj uan umat manusia membent uk hukum(nasional dan
int ernasional) sehingga seharusnya asas dan t uj uan hukum it u adalah, keadilan untuk
mencapai perdamaian (j ustice for peace) daripada t uj uan unt uk mencapai keadilan semat amat a; apalagi j ika sel al u mempert ent angkan ant ara keadilan dengan kepast ian hukum.
RUU KUHP masih menganut ideologi kant ianisme yang memang di dal am sej arah hukum pidana
t ampak masih dominan dibandingkan di dalam ket iga pembagian j enis hukum lainnya (hukum
perdat a, t at a negara, dan hukum int ernasional ).
Namun demikian t im penyusun RUU KUHP
8
j j uga mempert imbangkan pul a ideologi ut il it arian baik dari perspekt ip kepent ingan pelaku,
korban dan masyarakat luas. Sel ain it u j uga t elah dianut pendekat an vikt imologi dengan
mengut amakan prinsip resorat ive j ust ice. Hal ini dapat dit emukan pada ket ent uan mengenai
pemulihan korban kej ahat an dan pidana kerj a sosial yang bersif at ” non-punit ive” . Dapat
dikat akan bahwa, t im penyusun berusaha membuat masakan ” gado-gado” dari semua aliran
yang berkembang dari aliran kl asik (t ert ua) yang bersif at ret ribut if
kepada aliran modern
(baru) yang bersif at rest orat ive.
Set iap RUU baru sel alu memiliki kelemahan-kel emahan baik dari sisi f ilosof is, yuridis, maupun
sosiologis, dan sudah t ent u RUU KUHP t idak luput dari kelemahan t sb. Namun lebih baik ada
upaya pembaruan daripada t idak ada sama sekali; masih ada wakt u dan ruang unt uk publik
berpart isipasi dan sekaligus memberikan koreksi unt uk penyempurnaan RUU t ersebut .
9