Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md2 doc

Sejarah Filsafat Barat
YUNANI KUNO
Semester I
(Bab III – Socrates)

Dr. Valentinus, CP
Seminari Tinggi Pasionis
Biara Bt. Pio Campidelli Malang
2009

BAB III
KAUM SOFIS DAN SOCRATES

Permenungan filosofis mulai dari Thales hingga
para fisikawan monistis memusatkan diri pada kosmos
sementara manusia berada sebagai obyek semata.
permenungan filosofis telah mengabaikan keberadaan
manusia dan hakekatnya. Permenungan yang demikian
membawa suatu konsekwensi yang cukup berat dari
sudut etika dan hukum. Artinya pemahaman manusia
Yunani klasik dalam terang arête dan segenap pranata

sosial lainnya yang membantu manusia dalam
menghayati hidupnya masih jauh dari memadai.
Tidak disangkal sama sekali bahwa manusia
merupakan bagian integral dari alam semesta. Namun
hakekat manusia sebagai makhluk rasional dan
kemampuannya menata dan mengelola hidupnya secara
rasional lewat hukum, tata aturan dan adat istiadat
merupakan suatu hal yang sangat menentukan. Manusia
adalah makhluk istimewa dan pemahaman terhadapnya
menuntut perhatian yang khas pula.
Permenungan mengenai manusia dimulai oleh
sekelompok cendikiawan Yunani klasik yang terkenal
dengan sebutan kaum sofis dan selanjutnya
dikembangkan secara lebih mendalam dan rinci oleh
Sokrates serta Platon dan Aristoteles.
Makna Istilah “Sofis”

1

a)

b)
c)
d)
e)
f)

Istilah sofis dalam makna awali merujuk pada
“orang bijak”, “ilmuan”, “pemilik ilmu pengetahuan”.
Kandungan makna demikian memperlihatkan bahwa
istilah sofis merupakan suatu hal yang prestisius dan
sangat
positif.
Beberapa
pengarang
Yunani
menggunakan istilah sofis untuk orang-orang yang
mumpuni dalam pengetahuan: Pythagoras disebut sofis
oleh Herodotos, ketujuh orang bijaksana oleh Androtion
dan Sokrates, Platon oleh Lysias. Selanjutnya, dengan
diperkenalkan istilah baru philosophos, makna dan

rujukan istilah sofis disempitkan pada para guru yang
berkeliling mencari murid-murid di polis-polis.
Konotasi negatif untuk istilah sofis mungkin
bermula dari Sokrates dan kemudian diradikalkan oleh
muridnya, Platon, lalu Senophontes dan Aristoteles.
Platon mendedikasikan satu buku khusus untuk
membahas dan mendeskreditkan kaum sofis yang diberi
judul “ Para Sofis”. Di situ diberikan 6 ciri khas para
sofis, yakni
pemburu gaji dari kaum muda kaya,
sejenis importir kepandaian yg tertarik dengan jiwa,
penjaja kepandaian,
pedagang hasil-hasil pengetahuan,
sejenis olahragawan agonistis untuk berpidato dan
sejenis pemurni spiritual dari opini-opini yang menghalangi
pengetahuan bagi jiwa.
Beberapa Alasan Historis Kemunculan Kaum Sofis
Alasan pertama berkaitan dengan kehabisan
bahan dalam permenungan kosmologis. Alasan kedua
2


berlatar belakang sosial, ekonomi, politik dan
kebudayaan. Alasan kedua ini ditandai terutama oleh
krisis kelas aristokrat dan kemunculan demos atau
rakyat biasa sebagai suatu kekuatan politik. Perubahan
ini terutama disebabkan oleh perkembangan dunia
perdagangan yang mulai melewati batas-batas polis dan
interaksi yang semakin luas ini membawa dampak pada
perluasan cakrawala, pengalaman dan pengetahuan,
sehingga terjadilah percampurbauran adat kebiasaan,
hukum dan norma-norma yang mengatur kehidupan
bersama.
Krisis kelas aristokrat berimbas pada persoalan
keutamaan sebagai nilai tradisional yang sangat
dipegang teguh dan dianggap berkaitan erat dengan
kelahiran (keturunan). Namun dengan kemunculan
demos sebagai kekuatan dominan, maka akses pada
kekuasaan politik lebih terbuka bagi siapa saja tanpa
terlalu memperhatikan latar belakang keturunan.
Perubahan ini memberikan titik tekan bukan lagi pada

arête keturunan melainkan pada arête politik.
Metode Kerja
Berbeda daripada pola permenungan dan
pencaharian kosmologis yang menggunakan metode
deduktif, para sofis menggunakan metode empirisinduktif. Titik tolaknya adalah pengalaman dan
pengetahuan seluas-luasnya dalam aneka bidang
kehidupan, kemudian dari kedua hal tersebut, para sofis
mencoba menarik kesimpulan-kesimpulan.

3

Finalitas Permenungan
Permenungan filosofis para sofis memiliki
tujuan praktis dan bukan teoretis murni. Sasaran setiap
aktivitas pengetahuan selalu dikaitkan dengan
pengajaran. Murid merupakan unsur penting dalam
aktivitas ilmiah dan menjadi ilmuan merupakan suatu
profesi.
Hal esensial dalam fenomena kaum sofis adalah
persoalan edukasional dan pengabdian pada bidang

pedagogi. Dengan kaum sofis, pengertian mengenai
arête menjadi lebih luas: setiap orang dapat memiliki
keuatamaan karena dididasarkan semata-mata pada
pengetahuan.
Mengingat bahwa tekanan pendidikan dan
pedagogi adalah arête politik, maka para sofis
membatasi aktivitasnya pada orang-orang yang kiranya
memiliki akses besar pada kekuasaan.
Motif Uang
Platon (dalam Menon) dan kritikus terhadap
kaum sofis menunjukkan suatu tendensi umum yang
lalu menjadi cap atau ciri khas mereka: kaum sofis
mengajar dan mencari murid melulu didorong oleh
motif finansial.
Terlepas dari kenyataan bahwa ada sekian
banyak kaum sofis memang mengejar uang, namun
tuduhan Platon dan Aristoteles kiranya dilatarbelakangi
oleh motif ideologis dan politis. Motif ideologis dan
politis ini adalah prasangka dan keyakinan kuat
terhadap dominasi kelas aristokrat yang tidak

4

tergantikan. Para bangsawan dan kaum berkuasa-kaya
mencoba menjauh-kan diri dari uang dan memusatkan
diri pada arête semata dan kebudayaan sebagai otium.
Kaum sofis, sebaliknya melihat tugas mengajar
dan pendidikan sebagai sebuah profesi dan keahlian
yang sudah selayaknya mendapat imbalan demi
mempertahankan hidup. Motif uang untuk bertahan
hidup timbul dari ketiadaan relasi yang stabil dengan
negara maupun tidak adanya spesialisasi yang
membatasi mereka. Kalau kita bandingkan dengan
profesi di era modern kontemporer, kaum sofis adalah
para dosen dan para wartawan yang menjadi sarana
pemberi berita dan pembentuk opini publik.
Roh progresif-revolusioner
Satu lagi ciri dasar kaum sofis adalah sikap
terbuka, dinamis, anti kemapanan dan progresif.
Pergerakan mereka yang sebegitu dinamis dengan
berkeliling dari polis ke polis telah membuat ikatan

emosional dan kesetiaan terhadap polisnya mulai
memudar. Mereka lebih merasa sebagai seorang pribadi
yang lepas bebas, para guru dan penyiar freelance
daripada seorang warga polis.
Kepudaran pamor polis sebagai dasar, pedoman,
rujukan dan tujuan ideal dari setiap manusia Yunani
klasik ditimbulkan juga oleh persaingan dan
pertempuran terus menerus antar polis. Gerak keluar
dari polis dan kemudian merelativirnya merupakan
salah satu cara untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Dalam perspektif ini, kaum sofis jauh lebih maju
5

daripada Platon dan Aristoteles yang secara ideologis
dan politis masih tetap tertancap pada mentalitas kelas
aristokrat dan sistim aristokrasi serta memahami
paradigma ideal negara dalam polis.
Iluminisme Sofis
Ciri dasar kaum sofis adalah kebebasan dan
kemajuan. Dalam tataran filosofis, ideologis dan

kultural kaum sofis dapat disebut sebagai kelompok
iluminis. Mereka adalah kelompok pemikir pertama
yang mencoba keluar dari pergulatan mengenai physis,
mengkritisi
tradisi-tradisi
keagamaan,
konsepsi
mengenai arête keturunan, dominasi kelas aristokrat,
paradigma negara ideal dalam polis serta sistim nilai
tradisional Yunani klasik. Kaum sofis adalah orang
pertama yang memulai sekularisasi dan demokrasi
dalam peradaban Yunani klasik. Mereka menurunkan
filsafat dari langit ke bumi.
Pola berpikir yang anti kemapanan dan sikap
cinta akan kebebasan menunjukkan salah satu semangat
dasar filsafat. Filsafat harus berakar dalam pengalaman
dan realitas konkrit dan daripadanya ia menarik
konklusi-konklusi yang kiranya dapat membantu
memecahkan masalah, dengan memperlihatkan hakikat
atau substansi dari suatu persoalan. Dengan kata lain,

para sofis memiliki kesadaran kritis-investigatif dan
kesadaran ini menuntun mereka untuk memeriksa segala
sesuatu yang mengitari dan menafkahi hidup manusia:
hukum, kebiasaan, tradisi, institusi-institusi sosial dan
religius.
6

Berbagai Aliran Sofis
Ada tiga kelompok sofis:
a) para sofis dari generasi pertama adalah para
sofis teoretis-praktis;
b) para sofis eristis: sekelompok ilmuan yang
mengutamakan aspek formal dan metode sofistik
tanpa peduli dengan muatan dan rilevansi moral dan
mentransformasikannya menjadi diskursus semata;
c) para sofis politik, yakni orang-orang yang
berambisi di kancah perpolitikan dan tanpa
menghiraukan muatan moral-etis apapun. Doktrin dan
metode sofisme telah dimanipulir untuk meraih ambisi
dan kepentingan sosial politik serta membentuk suatu

doktrin immoralisme.
1. Protagoras
Lahir di Abdera sekitar tahun 491 atau 481 SM. Ia
berkeliling dari polis ke polis dan berulang kali singgah di
Athena. Di kota ini ia mendapat kesuksesan besar dan
Perikles mempercayakan kepadanya tugas untuk
mempersiapkan legislasi atau undang-undang untuk Turi,
sebuah koloni baru (444 SM). Menurut Diogenes dari
Laertius, Protagoras diusir dari Athena dan tulisantulisannya disita lalu dibakar di taman kota karena
pendapatnya terhadap dewa-dewi. Namun Platon
mengatakan bahwa Protagoras tidak pernah mengalami
kekerasan selama menetap di Athena (Protagoras, 317b). Ia
wafat pada tahun terakhir dari abad V SM. Diperkirakan

7

karya utama Protagoras berjudul Tentang Kebenaran yang
memuat Penalaran Demolitoris dan Antilogi.
Prinsip “homo-mensura”
Prinsip dasar doktrin Protagoras terungkap dalam
kalimat “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu, dari
dan demi apa yang ada maupun yang tidak ada”1. Istilah
ukuran dimengerti sebagai norma keputusan, sedangkan
segala sesuatu adalah semua fakta pada umumnya. Dalam
gagasan ini, Protagoras bermaksud menegaskan ketiadaan
norma absolut tentang ada dan ketiadaan, benar dan salah,
sah dan tidak sah. Kriteria penilaian adalah relatif, yakni
setiap orang.
Prinsip Dwi Alasan Kontradiksi
Prinsip dasar “homo-mensura” berada dalam konteks
pengajaran arête dan bukan dalam keinginan untuk
mendirikan suatu doktrin gnoseologis. Doktrin homomensura berada dalam karyanya Antilogi.
Berdasarkan kesaksian Diogenes dari Laertius,
Protagoras mengajarkan bahwa seputar segala sesuatu
terdapat dua penalaran yang saling bertentangan: tentang
suatu hal orang dapat menyetujui dan menyangkal. Artinya
orang dapat membuat dalih-dalih yang saling meniadakan.
Pola berdiskusi semacam ini disebut antilogi atau
kontroversi. Kepada setiap murid sofis diajarkan antitesis
dari berbagai tesis tentang sekian banyak tema atau
hipotesis dan kemudian antitesis-antitesis semacam ini
dikatalogisasikan dan diuraikan secara tepat. Argumentasi
1

Platon, Teetetos, 151e - 152a

8

antilogis ini secara singkat dapat disebut sebagai
argumentasi untuk mengkritik dan mendiskusikan serta
menata-kelolakan suatu kompetisi penalaran melawan
penalaran.
Dalam terang berpikir antilogi seperti ini, Protagoras
hendak mengajarkan bahwa tentang segala sesuatu selalu
terdapat kemungkinan untuk mendalihkan argumen pro
dan kontra dan memperkokoh argumentasi yang lebih
lemah. Perspektif ini kiranya jangan ditarik pada prinsip
moral bahwa kejahatan dan ketidakadilan dilawankan
dengan keadilan dan kebaikan. Secara ringkas, Protagoras
hanya bermaksud mengajarkan para murid mengenai aneka
cara untuk memperkuat dan membawa suatu argumentasi
yang sebelumnya dianggap lebih lemah kepada
kemenangan.
Prinsip
dwi
alasan
kontradiksi
merupakan
konsekwensi turunan dari prinsip homo-mensura. Dalam
hal ini sistim nilai menjadi relatif; tiada lagi distingsi
absolut mengenai indah dan buruk rupa, adil dan durjana,
benar dan salah, bijak dan gila; tiada dilakukan definisi
apapun. Semua sistim nilai tersebut dapat ditampilkan
secara logis dan tidak, diterima sebagai kebenaran atau
kekeliruan tergantung pada argumentasi yang sedang
dibangun.
Ajaran dan Makna tentang Keutamaan Protagorian
Protagoras mengakui diri sebagai seorang guru
keutamaan. Pengajarannya difokuskan pada kecerdikan
(euboulia) baik pada lingkup pribadi maupun urusanurusan publik. Para alumnus dididik untuk memiliki
9

kecakapan dalam berbicara di depan umum, pengadilan
dan pertemuan-pertemuan raya. Kecakapan berbicara
demikian dapat diajarkan melalui teknik antilogi dan
akibat-akibat turunan dari teknik demikian yang
memperlihatkan keunggulan dan kegunaannya dalam
menghadapi argumentasi lawan.
Dalam pengertian kecakapan secara demikian,
Protagoras memahami arête bukan dalam artian
keutamaan, melainkan makna awali tentang kecakapan,
keahlian, ketrampilan dalam bersilat lidah dan
mengalahkan argumentasi lawan.
Garis Batas Prinsip Homo-mensura
Prinsip homo-mensura secara tegas menyangkal nilainilai absolut dan kebaikan absolut. Meskipun demikian,
diakui oleh Protagoras mengenai sesuatu yang lebih
berguna, sesuai dan menguntungkan. Seorang bijak adalah
orang yang mengenal hal relatif yang lebih bermanfaat,
lebih sepadan dan lebih menguntungkan dan kemudian
mengejawantahkannya.
Gagasan mengenai nilai relatif dari segala sesuatu dan
kemudian hal yang bermanfaat, hal yang sesuai dan
menguntungkan mereduksikan doktrin homo-mensura pada
pragmatisme dan relativisme.
Utilitarianisme Protagoras
Setelah mengeliminir masalah
kebenaran dan
kekeliruan, Protagoras menyodorkan suatu gagasan baru
dalam tataran empiris. Manusia selalu melihat segala
sesuatu dalam nilai kegunaan dan kerugian. Orang bijak,
10

dalam gagasan protagorian, adalah orang yang mengenal
hal yang baik dan berguna dari apa yang sedang ia
kerjakan. Seorang petani disebut bijak sejauh memahami
apa yang baik dan berguna tentang tanam-tanaman dan
mampu mendatangkan hasil. Dokter adalah bijak bila
mengenal dan memahami kebaikan dan kegunaan tubuh
serta mampu memproduksikan sesuatu berkaitan
dengannya. Seorang sofis atau guru disebut bijak bila
mengetahui nilai baik dan berguna untuk polis dan
membuatnya tampak adil baginya (kegunaan publik) serta
mendidik warga polis. Bijak berarti professional dalam
pekerjaan.
Secara implisit, seharusnya Protagoras mengakui hak
supremasi, karena manusia bijak dapat memberikan hal
yang tampak baik dan berguna kepada seluruh warga yang
kurang mengenal apa yang baik dan berguna baginya.
Secara akronistis dapat dikatakan bahwa konsepsi
Protagoras mengenai kebajikan berciri empirisfenomenologis.
Persoalan utama dari gagasan homo-mensura yang
mereduksikan manusia dan jiwanya pada sekedar merasa
dan mencerap berkaitan erat dengan dimensi etis-politis
hidup polis: hidup bersama dalam polis diatur seturut
norma-norma, hukum dan prinsip-prinsip moral tertentu
dan bukan sekedar kebutuhan material. Nah, siapa yang
menentukan kegunaan dan kebaikan itu? Setiap orang atau
seorang bijak (sofis)?
Konsepsi tentang Dewa-Dewi

11

Protagoras secara tegas mengatakan bahwa “tentang
dewa-dewi saya tidak mempunyai alasan untuk
mengatakan bahwa mereka ada atau tidak ada”. Pendapat
ini kiranya berkaitan erat dengan metode argumentatif
antilogis pro dan contro eksistensi dan non eksistensi
dewa-dewi.
Secara spiritual sulit sekali mengatakan bahwa
Protagoras menyangkal eksistensi dewa-dewi. Argumentasi
antilogis kiranya berkaitan dengan pengetahuan tentang
dewa-dewi dan bukan keberadaan mereka. Pada tahap
kepercayaan, Protagoras, sebagaimana dikatakan oleh
Platon, meyakini dan mengakui dewa-dewi; hanya saja
praksis hidupnya boleh dikata tidak terpengaruh olehnya.
Protagoras adalah seorang agnostik teologis. Prinsip homomensura pasti menggiring pada skeptisisme total dan
immoralisme yang berujung pada ateisme.
2. Giorgias
Giorgias lahir di kota Liontini, Sisilia sekitar tahun
485/480 SM. Ia adalah murid Empedokles. Semasa
hidupnya ia berkeliling Yunani dan menetap juga di
Athena. Pada tahun 427 SM, Giorgias dikirim oleh kota
Liontini sebagai duta untuk mendapat bantuan militer
melawan Siracusa. Berkat seni retorika, Giorgias mendapat
sukses besar dan kemashyuran. Karya utamanya adalah
Tentang Alam atau tentang ketiadaan, sebuah ungkapan
nihilsme klasik.
Negasi Kebenaran

12

Giorgias bergerak pada garis dan posisi nihilisme.
Nihilisme ini merupakan suatu pembalikan sistematis
terhadap filsafat kosmologis dan eleatisme, terutama yang
digagas oleh Melissos. Untuk menentang gagasan
mengenai ada, Giorgias mengajukan tiga dalil yang saling
berkaitan:
a) tidak ada ketiadaan;
b) seandainya ada adalah ada, ada tidak dapat
dipahami;
c) dan jika pun dapat dipahami, ada tidak dapat
dikomunikasikan maupun dijelaskan
kepada orang lain.
Pembuktian dari ketiga dalil ini memiliki sasaran jitu,
yaitu diarahkan untuk menyingkirkan secara radikal
kemungkinan eksistensi atau pencapaian dalam
pengungkapan kebenaran obyektif. Giorgias memang
berkeinginan mengeliminir ada dan semua kriteria
kebenaran.
Dengan
menunjukkan
ketiadaan,
ketakterpahami,
ketidak-dapat-dikomunikasikan
dan
dijelaskan ada, Giorgias memperlihatkan kemustahilan
bagi keputusan. Baginya, tiada kebenaran apapun;
semuanya keliru.
Dalil pertama bahwa tiada sesuatupun merupakan
jawaban atas polemik di antara para filosof sebelumnya
mengenai apakah ada adalah tunggal atau jamak, inderawimaterial-temporal atau kekal-abadi-ilahi. Polemik di antara
para pemikir dan argumentasi mereka saling menjatuh-kan.
Karena itu, spekulasi mereka membuktikan kemustahilan
ada berada.

13

Dalil kedua mengenai ketakterpahami ada merujuk
pada penegasan Parmenides seputar ikatan ada dan pikiran:
berpikir berarti berpikir tentang ada dan ada selalu dapat
dipikirkan. Ada dan pikiran adalah dua sisi dari satu mata
uang yang sama. Giorgias menentang identifikasi itu
dengan mengatakan bahwa ada sekian banyak muatan
pikiran yang tidak riil dan tidak eksis dalam kenyataan.
Jika demikian, penengasan bahwa yang tidak ada tidakdapat dipikirkan disangkal juga mengingat kita dapat
memikirkan hal-hal yang tidak eksis secara konkrit.
Sebagai kesimpulan: jika ada sekian banyak hal yang
terpikirkan tidak eksis, sebaliknya benarlah pula bahwa ada
tidak dapat dipikirkan; jika yang dipikirkan adalah tidak
ada, ada tidak terpikirkan.
Dalil ketiga menyangkal adanya hubungan antara ada,
pikiran dan ungkapan (kata). Jika tiada relasi antara pikiran
dan ada, tidak ada pula kemungkinan untuk mengatakan,
mengungkap-kan ada apapun. Dengan kata lain, Protagoras
menolak asumsi sebelumnya bahwa pikiran merupakan
pembawa ada dan kebenaran dan kata sebagai penyingkap
ada dan pikiran.
Kebenaran empiris dan realitas situasional
Dengan menolak kemampuan nalar (individu) untuk
mencapai kebenaran absolut atau aletheia, satu-satunya
realitas tersisa adalah tampilan dan kemungkinan jalan
pengetahuan adalah opini atau doxa. Meskipun demikian,
Protagoras menolak dengan tegas validitas doxa dan
menganggapnya sebagai yang paling tak-terpecayai dari
segala sesuatu.

14

Penolakan atas jalan nalar dan jalan opini, Protagoras
mencari jalan ketiga antara ada dan tampilan , kebenaran
dan opini. Jalan ketiga tersebut adalah jalan pengalaman.
Protagoras mengakui logos yang menerangi fakta-fakta,
situasi dan kondisi serta memunculkan pengalaman hidup
individu dan polis.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa jalan
pengetahuan yang digagas oleh Protagoras adalah jalan
tengah (moderasi) di antara eudemonisme dan
intelektualisme. Jalan tengah itu memustahilkan peluang
untuk mencapai uraian, definisi dan tata aturan absolut
maupun opini liar individualistis. Jalan tengah protagorian
adalah secara etis-politis adalah etika situasional.
Retorika, Kemahakuasaan Kata dan Puisi
Penyangkalan atas kebenaran absolut dan hubungan
antara ada, pikiran dan kata memberikan suatu perspektif
baru mengenai fungsi dan makna kata dalam hidup
manusia. Kata memiliki otonomi. Tiada lagi hubungan
antara kata dan kebenaran, wicara dan pengetahuan; kata
menjadi terbuka dan tersedia bagi siapa dan apa saja. Bagi
Protagoras, kata merupakan pembawa sugesti, persuasi
dan keyakinan semata.
Adapun disiplin ilmu yang mengolah kata dan
mengaktualkan kemampuannya secara maksimal adalah
retorika. Maka retorika merupakan seni membujuk,
meyakinkan, merayu. Karena itu, retorika merupakan jalan
yang sangat menjanjikan baik dalam lingkup finansialekonomis, yuridis maupun politis. Retorika adalah kemudi
sejati di tangan penguasa.
15

Keterlepasan kata dari kebenaran obyektif membuat
kata menjadi senjata yang amat berbahaya. Kekuasaan dan
magnet kata tergantung dan bergantung sepenuhnya pada
pribadi dan niat-niatnya saja.
Selain mengembangkan aspek retoris, kekuatan kata
juga dimanfaatkan dalam bidang puisi. Parallel dengan
tekanan praktis-pragmatis dalam retorika, dalam bidang
puisi para sofis mempermainkan kata-kata bukan untuk
mengungkapkan kebenaran teoretis dari perasaan puitis
(individualitas tertentu) secara otonom, melainkan untuk
mengaduk-aduk dan mempermainkan perasaan individu
semata.
3. Prodicos
Filosof ini lahir di pulau Keos, namun tidak diketahui
kapan data kelahirannya. Para ahli mereka-reka bahwa
Prodicos lahir antara 470-460 SM dan aktivitasnya
ditempatkan pada awal perang Peloponnexos. Perkiraan ini
didasarkan pada sindiran Aristophanes pada Prodicos. Ia
berulang-ulang ke Athena sebagai utusan dan mendapat
sukses besar di kota ini maupun di kota-kota lain. Karya
utamanya berjudul Horai, yang diperkirakan para ahli
berasal dari nama dewa kesuburan.
Prodicos merupakah ahli dalam seni berpidato. Seni
berpidato ini dibangun di atas distingsi antara aneka
sinonim dan determinasi ketat tentang perbedaan tipis
makna-makna dalam sinonim. Prodicos mengajarkan para
muridnya untuk memanfaatkan semaksimal mungkin
permainan distingsi dari sinonim-sinonim di pengadilan
dan pertemuan raya.
16

Etika Utilitarian
Ketegangan antara arête dan kakía, keutamaan dan
kedurjanaan berada dalam kerangka etika utilitarian.
Aturan-aturan dan resep-resep yang digagas oleh Prodicos
selalu berada dalam perspektif kegunaan, memperoleh
keunggulan-keunggulan baik berkaitan dengan dewa-dewi,
rekan-rekan, kehormatan polis, kekaguman oleh orangorang Yunani maupun mendapatkan hasil tanah yang
melimpah ruah, memperoleh kekayaan.
Namun, untuk memperolehnya Prodicos menolak
cara-cara yang melelahkan. Semua keunggulan dapat
diperoleh tanpa jerih payah alias dengan mudah dan cepat.
Tentu saja tidak dapat ditarik kesimpulan seakan-akan ada
identifikasi antara arête dan hedone, keutamaan dan
kesenangan. Kesenangan yang dimaksud hanya dalam cara
untuk mewujudkan keutamaan atau keunggulan dan
bukanlah tujuan. Karena itu, etika Prodicos berciri
utilitarianisme-eudemonisme aktivistis. Jadi, keutamaan
adalah rasionalisasi kesenangan dan kegunaan moral dan
material secara terperinci dan sistematis.
Dewa sebagai Divinisasi Kegunaan
Gagasan Prodicos tentang kegunaan diterapkan pada
tataran moral maupun teologis. Hal ini terungkap dalam
kesaksian Sextus Empiricus. Prodicos dari Keo
mengatakan, ”orang-orang kuno menganggap dewa-dewi,
seturut keunggulan yang ada padanya, adalah matahari,
bulan, sungai-sungai, sumur-sumur, dan secara umum,
segala kekuatan yang mengitari kehidupan kita, seperti
misalnya, [sungai] Nil di Mesir, dan karena itu, roti
17

dianggap sebagai Demeter, anggur seperti Dionysius, air
sebagai Posidone, api seperti Hephaistos. Begitulah setiap
hal ihwal yang berguna bagi kita dianggap dewa-dewi”.
Dalam gagasan demikian terungkap secara jelas
hakikat agama. Agama adalah ciptaan manusia semata,
sedangkan dewa-dewi merupakan personifikasi dari
kebutuhan dan kegunaan benda-benda serta segala hal bagi
hidup manusia. Di sini tampak jelas perbedaan esensial
antara para sofis dan para filosof kosmologis. Dewa-dewi
bukan lagi berperan sebagai prinsip melainkan
diidentikkan sebagai kegunaan yang lebih besar.
4. Hippias
Hippias tergolong ke dalam kelas sofis yang beraliran
naturalistis. Lahir di Elis pada sekitar akhir abad V SM dan
merupakan rekan sebaya Sokrates. Dari sudut ilmu
pengetahuan, Hippias tergolong sebagai seorang ilmuan
terkenal dan menguasai banyak bidang pengetahuan dan
keahlian. Ketenarannya dapat ditarik dari dua karya yang
didedikasikan oleh Platon kepadanya yakni, Hippias Mayor
dan Hippias Minor.
Metode ‘Polimathia’
Secara metodologis, Hippias mempunyai perbedaan
cukup radikal dalam hal pengajaran dengan para sofis pada
umumnya.
Baginya, metode antilogika dan retorika
maupun sinonimitas kurang berfaedah dan kurang
mendatangkan banyak keunggulan. Metode terpenting dan
teruji adalah polimathia, pengetahuan ensiklopedis,
mengetahui semua dan serba bisa dalam praksis.

18

Untuk memperoleh pengetahuan ensiklopedis dan
ketrampilan serba bisa, orang harus diajar tentang seni
mengingat atau mnemoteknik. Untuk itu, materi pelajaran
yang amat ditekan-kan olehnya adalah ilmu-ilmu alam dan
matematika, sebab menurutnya hidup manusia harus lebih
serasi dengan alam dan hukum-hukumnya melebihi
hukum-hukum manusia.
Preferensi Kodrat/alamiah
Doktrin Hippias berkisar pada persoalan antara kodrat
(physis) dan hukum (nomos). Apakah tingkah laku manusia
dan struktur masyarakat harus ditata dan dikeloloa seturut
nomos atau physis? Hippias beranggapan bahwa kriteria
dasar dan barometernya adalah kodrat manusia dan bukan
adat kebiasaan.
Hippias menghadirkan kodrat sebagai sesuatu yang
menyatukan manusia, sementara hukum dan kebiasaan
menjadi sesuatu yang memecah belah, dengan memaksa
manusia. Dari sudut ini, hukum dipandang sebagai hal
yang bertentangan dengan alam dan kodrat.
Basis atau fondasi sejati bagi kehidupan dan perbuatan
manusia serta struktur masyarakat adalah alam dan
kodratnya. Sebaliknya hukum merupakan tirani manusia.
Undang-undang
harus
terus
menerus
diubah,
disempurnakan agar dapat sesuai dengan situasi dan
semangat jaman. Tapi lebih daripada itu, hukum kerap kali
melanggar dan melukai kodrat manusia dengan membuat
pembedaan-pembedaan berdasarkan status sosial, garis
keturunan, jabatan, keahlian dst.

19

5. Antiphontes
Sumber-sumber yang berbicara tentang Antiphontes
hanya ada sedikit sekali dan riwayat hidupnya juga sangat
kabur. Dia hidup sekitar akhir abad V SM. Karyanya
berjudul “Veritas, Kebenaran”, amat dipengaruhi oleh
Sekolah eleatis. Secara filosofis, Antiphontes mempunyai
pemikiran tentang manusia, hidup bersama dan struktur
masyarakat yang jauh lebih radikal daripada permenungan
Hippias.
Gagasan
mengenai
kesetaraan
dan
kosmopolitanisme manusia digiring pada sudut yang
meruntuhkan baik prasangka-prasangka rasial dan
superioritas Yunani dibandingkan dengan suku bangsa
lainnya maupun kasta aristokrat dan ketertutupan polis.
Bagi Antiphontes, setiap polis adalah sama/setara
dengan polis lainnya, tiap kelas sosial setingkat dengan
kelas sosial lainnya dan setiap bangsa adalah sederajad
dengan bangsa lainnya, karena setiap manusia per natura
adalah setara dengan manusia lainnya. Iluminisme kaum
sofis telah mengubah secara radikal atau merevolusir sistim
nilai, kepercayaan, keyakinan dan struktur kemasyarakatan
dalam polis.
Lalu apa yang dimaksud dengan kodrat manusia yang
sama dengan manusia lainnya? Di mana letak kodrat
tersebut? Kodrat yang dimaksud oleh Antiphontes berciri
inderawi-badani. Kodrat adalah sesuatu berkat mana
kebaikan adalah kegunaan dan kesenangan, sementara
keburukan adalah kerugian dan kesengsaraan. Jadi, kodrat
yang dimaksud adalah spontanitas dan kebebasan
instingtif.

20

Dalam terang gagasan kodrat yang instingtif demikian,
hukum-hukum dan kebiasaan selalu dipandang sebagai hal
yang tak-alami, buatan semata dan bertentangan dengan
kodrat manusia. Hukum mempunyai daya paksa untuk
berkurban dan menjadi korban, dan dalam artian ini berarti
derita, sengsara, batasan dan rintangan bagi perasaan,
insting dan spontanitas.
Gagasan mengenai kesetaraan manusia yang
berdimensi inderawi-badani murni kiranya membawa
konsekwensi yang cukup fatal. Secara teoretis, gagasan
kesetaraan Antiphontesian seperti menghapus semua
perbedaan, namun dalam kenyataannya, pernyataannya
memberikan peluang untuk membangun suatu perbedaan
dan distingsi bentuk lain yang lebih buruk. Sebab orang
dapat saja menyimpulkan premis-premis Antiphontesian
dengan mengatakan bahwa alam “membuktikan adanya
manusia yang lebih kuat dan yang lebih lemah, yang lebih
perkasa secara kodrati mendominasi yang lemah dan
memaksakan keinginannya”. Nah, penyimpulan demikian
dibuat oleh para sofis yang berkecimpung dalam dunia
politik. Dari sinilah terjadi degradasi nilai dan etis dalam
doktrin para sofis.

Socrates
Apakah Socrates adalah seorang filosof? Apakah Socrates
menulis sesuatu yang dapat dijadikan pegangan untuk
membuktikan bahwa dia adalah filosof sejati? Kalau
dianggap sebagai filosof, adakah sumber-sumber
historis yang dapat dijadikan sebagai rujukan? Apakah
mungkin membuat suatu lukisan yang kurang lebih aseli
21

dan murni mengenai figur dan pemikiran Socrates?
Inilah beberapa persoalan yang menjadi perdebatan
sepanjang sejarah permenungan mengenai Socrates.
Sumber-Sumber
Sumber pertama adalah Aristophanes. Dalam komedi
berjudul Awan-awan, Aristophanes menjadikan Socrates
sebagai tokoh utama. Dalam komedi ini, Socrates
dianggap sebagai seorang sofis dan sekaligus filosof
alam. Komedi bukanlah sekedar parodi melainkan juga
senjata untuk menyerang seseorang dan doktrindoktrinnya.
Sumber kedua adalah Platon. Platon menjadikan Socrates
sebagai tokoh utama dalam dialog-dialognya. Di satu
sisi Platon mengangkat Socrates sebagai simbol
kebenaran, keadilan dan keutamaan (pahlawan moral,
santo, bijak dst.) dan di sisi yang lain menjadikan
Socrates sebagai juru bicara seluruh doktrinnya.
Sumber ketiga adalah Xenophon. Dalam Memorabilia
tentang Socrates, Xenophon menulis tentang Socrates
dan percakapan-percakapannya dengan rekan-rekannya.
Xenophon pernah menjadi pengikut Socrates, namun
tidak berlangsung lama.
Sumber keempat adalah Aristoteles. Aristoteles tidak
mengenal langsung Socrates. Ia mengetahui Socrates
secara tidak langsung. Namun demikian, Aristoteles
menganggap doktrin socratesian penting bagi
permenungan filosofis.
Riwayat Hidup
22

Seputar riwayat hidup Socrates, kita memiliki data yang
pasti mengenai kematiannya. Ia wafat pada 399 SM
sebagai konsekwensi dari hukuman mati dengan cara
meminum racun yang telah dijatuhkan oleh pejabat
Athena kepadanya. Waktu meminum racun itu, Socrates
berusia 70 tahun. Maka kelahirannya diperkirakan 469
SM. Ayahnya bernama Sophroniskos, seorang pematung
dan ibunya adalah Phainarete dan berprofesi sebagai
bidan. Socrates menikah pertama kali dengan Mirtos
(Diogenes Laertius, II, 26) dan pernikahan kedua ketika
ia sudah cukup berumur dengan Santippe, seorang
wanita yang sangat sulit (Xenophon, Simposium, II, 10).
Masa-masa formatio pendidikannya, Socrates bergaul
dengan para filosof kosmologis dan pernah berguru
pada Arkhelaos, murid dan pengganti Anaxagoras di
Athena. Sulit memasti-kan sampai kapan ia mengikuti
Arkhelaos. Hanya, Socrates tidak puas dengan
pendekatan dan obyek permenungan para filosof
kosmologis. Karena itu, ia mencoba menemukan
jalannya sendiri.
Aktivitas di luar filsafat hampir tidak ada sama sekali,
kecuali berkaitan dengan semacam wajib militer sebagai
hoplites atau prajurit infanteri (pasukan jalan kaki). Ciri
khas prajurit ini adalah mereka membiayai seluruh
perlengkapannya. Socrates ikut dalam pertempuran di
Potidea, Anphipoli dan Delio. Sedangkan terhadap
hidup politik, Socrates bersikap amat alergi dan kritis
meskipun bukan seorang apolitik.
Kematian Socrates terkait erat dengan tuduhan Anytos,
seorang tokoh politik yang ikut ambil bagian dalam
23

pemulihan sistim pemerintahan demokratis di Athena.
Anytos menuduh Socrates tidak percaya pada dewadewi yang diakui polis Athena dan malahan
memperkenalkan doktrin-doktrin religius yang baru.
Selain masalah religius, Anytos juga menuduh Socrates
telah meracuni kaum muda dengan doktrin-doktrinnya
yang sangat menyerang praksis politik dan hidup politis
Athena masa itu. Socrates adalah ancaman bagi agama
populer warga polis dan bagi stabilitas politik dan
pemerintahan Athena. Ini semua tertulis dalam
Apologia yang ditulis oleh Platon.
Doktrin Socrates
Permenungan filosofis Socrates bertitik tolak dari
pergulatannya dalam mencari prinsip-prinsip yang
mengatur alam semesta. Itulah fase pertama pergulatan
Socrates. Namun, Socrates lambat laun merasa jenuh
dan buntu atas kesimpangsiuran dan pertentangan
doktrinal para fisikawan dan kosmolog. Akhirnya,
Socrates berbalik arah dan mengikuti jalan yang
ditempuh para sofis: memperhatikan dan memusatkan
diri pada soal manusia. Permenungan-permenungan
Socrates memiliki banyak kesamaan dengan sofisme,
sehingga tanpa penjelasan dari Platon, Xenophon dan
Aristoteles, orang bisa menyetujui kesimpulan
Aristophanes bahwa Socrates adalah seorang sofis.
1. Penemuan Hakekat Manusia
Socrates memulai permenungannya dengan bertitik
tolak dari pengalaman konkrit dan hidup harian. Baginya,
manusia adalah seorang pelaku yang memiliki kemampuan
24

akal budi dan organisasi diri. Perbedaan dasar
permenungan Socrates dibandingkan dengan kaum sofis
terletak pada kedalaman refleksi. Socrates mencari hakekat
manusia: siapakah manusia?
Socrates menjawab demikian, manusia adalah jiwa
atau batinnya. Jiwa atau batin adalah faktor pembeda
dasariah dan esensial antara manusia dan benda-makhluk
lainnya. Gagasannya tentang jiwa berbeda dari pengertianpengertian sebelumnya, seperti Homer dan Orfisme. Bagi
Socrates, jiwa bukanlah phantasma, roh yang
meninggalkan badan setelah kematian, bukan pula ilah-ilah
yang terkurung dalam badan karena dosa asal. Jiwa
berkaitan dengan kesadaran berpikir dan berkarya,
bersinggungan dengan nalar dan tempat aktivitas berpikir
dan bertindak secara moal. Jiwa socratesian adalah saya
yang berpikir, aku yang sadar dan personalitas intelektual
dan moral.
2. Metode Permenungan
Metode permenungan kaum Sofis berciri monolog dan
pengajarannya dilakukan dengan diskursus parade yakni
teknik berpidato yang menggelorakan dan meyakinkan
para pendengar lewat aliran kata yang seakan tiada
habisnya. Metode permenungan monolog ini bertitik tolak
dari keyakinan kuat dan angkuh para sofis bahwa hanya
mereka yang memiliki kebenaran, sementara para
pendengar adalah ignoran sama sekali. Kebalikan dari itu,
Socrates menggunakan metode dialog (dia-logos). Artinya
dengan menggunakan logos, guru dan murid terlibat secara
intens dalam pengalaman spiritual untuk mencari
25

kebenaran lewat konstruksi pertanyaan dan jawaban.
Diskursus parade diganti dengan diskursus pendek-pendek
atau dialog terbuka secara mengalir dan mendalam.
Finalitas metode dialog socratesian adalah etika dan
edukasi. Dialektikanya terarah pada nasihat (eksortasi)
keutamaan bahwa jiwa dan pemeliharaannya merupakan
kebaikan tertinggi bagi manusia dan membebaskan jiwa
dari kekeliruan dan mendapatkan kebenaran. Socrates mau
mengajak orang agar memperhatikan dan memuaskan
jiwanya (Lakhes, 187d – 188b) dan lewat dialog harus
menelanjangi jiwa dan berkontemplasi (Kharmides, 154de) agar lewat pemurnian itu orang menjadi sadar akan
hidupnya (Apologia, 29d-e, 39c-d).
a. Ketidaktahuan
Titik berangkat diskusi atau dialog socratesian
adalah afirmasi “tidak tahu”. Di hadapan rekan-rekan
dialognya, Socrates selalu menghadirkan diri sebagai
orang yang tidak tahu apa-apa dan karena itu ia ingin
belajar, bukan mengajar. Ketidaktahuan socratesian ini
berciri mendua atau khiasan, sehingga orang kerap
memahaminya sebagai prinsip skeptisme. Dalam
kenyataan, Socrates hanya bermaksud memutuskan
diri dari pengetahuan dan spekulasi para kosmolog,
kaum sofis serta kebudayaan tradisional dan membuka
sebuah horison baru dan forma baru pengetahuan
yakni, kebijaksanaan manusia.
Terhadap para kosmolog dan fisikawan, afirmasi
tidak tahu merupakan suatu tuduhan atas
kecenderungan mereka yang mencari jawaban pada
26

daya-daya ekstra human dan upaya untuk mengetahui
rahasia hukum-hukum alam, sehingga mengabaikan
dan melupakan manusia. Atas kaum sofis, tidak tahu
Socrates merupakan suatu dakwaan atas kepongahan
(presumpsi) intelektual mereka bahwa mereka tahu
segala sesuatu (sejenis ilmuan ensiklopedia ala
Giorgias). Sementara atas tradisi kebudayaan pada
umumnya (politisi, seniman, pemahat dst.) tidak tahu
Socrates adalah dakwaan atas inkonsistensi total
mereka, dengan membiarkan diri mengapung di
permukaan dan kesombongan mengetahui semua
karena menguasai satu displin ilmu. Anggapan
ketidaktahuan socratesian berada dalam konteks
pengetahuan Dewata. Pengetahuan manusia bersifat
terbatas dan rapuh; hanya Allah saja adalah
omniscientist.
b. Ironi
Tidak tahu Socrates merupakan sebuah metode
dialog. Ia berpura-pura tidak tahu agar memancing
lawan bicara untuk mengambil sikap superior atasnya
dan membuatnya membangun alur berpikir sendiri.
Dengan begitu, Socrates menggiringnya pada posisi
penjelas dan pembela daripada penanya dan penyelidik
serta pendakwa.
Berpura-pura tidak tahu merupakan sebuah ironi
(έíρωνεíα). Ironi berarti penyamaran (dissimulation)
dan merujuk pada permainan berantai, beragam dan
fiksif. Ia menampilkan diri sebagai pengagum atas
tampilan, jasa dan pengetahuannya, teman baginya dan
27

meminta nasihat dan pelatihan darinya. Namun, ciri
pura-pura terlalu kuat untuk disembunyikan, karena
terpancar lewat nada yang meremehkan dan pilihan
kata yang mendua. Kadang-kadang, Socrates
menyanjung gagasan dan metode-metode para lawan
bicaranya sedemikian tinggi sehingga terkesan sebagai
karikatur semata untuk kemudian menggiring mereka
lewat pengertian, definisi dan pendapat-pendapat
mereka pada posisi orang yang tidak tahu, setengah
tahu dst. Jadi, ironi merupakan sandi, ciri khas dari
filsafat socratesian.
c. Konfutasi (Elenchus)
Pada kesempatan pertama, Socrates selalu
membawa rekan dialognya untuk mengakui
kepongahan intelektualnya. Rekan dialog posisikan
sebagai orang yang memiliki pengetahuan pasti dan
aman. Kemudian Socrates memaksa teman dialog
untuk mendefinisikan argumentasi seputar tema yang
dibicarakan dan didalami. Setelah itu, Socrates
memilah-milah dan menarik satu per satu kekurangan,
kontradiksi dan kekeliruan dari uraian dan definisi
yang dibuat. Sesudah mempresentasikan semua
kekurangan, kontradiksi dan kelemahan, Socrates
mulai mendiskusikannya dan memperlihatkan status
rekan dialog sebagai orang yang sesungguhnya
ignoran. Dia hanya mengetahui kulit ari semata dan
tidak sampai pada inti sari dari pengetahuan. Para
rekan dialog sungguh-sungguh tersekak mati hingga

28

kehabisan argumentasi dan alasan, dan akhirnya pergi
dengan malu dan sakit hati (Sophis, 230b-e).
Terhadap para sofis medioker yang tidak pernah
mau mengakui ketidaktahuannya, metode konfutasi
diarahkan untuk menghancurkan kepastian-kepastian
yang dangkal dan keliru. Konfutasi menjadi alat untuk
membersihkan jiwa dari kekeliruan-kekeliruan. Di sini
mereka bukan dikalahkan melainkan diperkaya.
Misalnya, kaum sofis mengatakan bahwa dalam jiwa
terdapat opini-opini dan kepastian-kepastian yang
keliru sehingga mustahil orang dapat sampai pada
kebenaran. Socrates mencoba membersihkan batin dari
kekeliruan demikian agar dia dapat menemukan
kebenaran.
d. Maieutica
Diskusi dan konfutasi untuk membersihkan jiwa
dari kekeliruan disebut maieutika. Status pengetahuan
manusia ibarat orang yang sedang hamil. Agar si
jabang bayi dapat melihat dunia, diperlukan seorang
bidan yang dapat membantu proses persalinan. Begitu
juga jiwa murid-murid yang terbebani ketidaktahuan
dan hamil kebenaran memerlukan seorang bidan
spiritual yang dapat membuat kebenaran itu muncul ke
permukaan. Bagi Socrates, setiap orang telah memiliki
basis-basis pengetahuan. Persoalannya adalah tidak
setiap
orang
mampu
mencapai
dan
mengkomunikasikan pengetahuan tertentu kepada
orang lain. Gagasan mengenai maieutika terungkap
dalam buku Theaitetos, 148e – 151d.
29

Dari sudut metode, Socrates menyumbang dua
hal bagi dunia filsafat pada umumnya yakni, gagasan
mengenai universalitas, keumuman atau definisidefinisi umum dan argumentasi induktif. Kedua
gagasan ini merupakan cikal bakal bagi logika yang
akan digagas secara sistematis oleh Aristoteles
beberapa dasawarsa berikutnya (Metafisica, A6, 987b
1).
3. Etika
Telah dibahas sebelumnya bahwa permenungan
filosofis Socrates berpusat pada manusia dan berorientasi
pada kebenaran praktis. Sasaran utama permenungan
Socrates bukanlah logika atau gnoseologia melainkan
etika-moral. Socrates hendak mengajarkan manusia untuk
sampai pada penemuan hakekat dirinya dan bagaimana
mewujudkannya.
Gagasan Socrates mengenai jiwa bersifat rasionalintelektual. Ada suatu identifikasi antara psyche dan
tempat sejati intelek serta karakter individu. Manusia
adalah makhluk rasional dan jiwanya adalah rasio atau
inteleknya.
Premis dasar etika socratesian adalah proposisi gnoti
seauton, kenalilah dirimu sendiri dan rawatlah dirimu.
Kenalilah dirimu bukan sekedar suatu pengetahuan tentang
siapa nama, dari mana berasal, berapa ukuran tinggi dan
berat badan, melainkan suatu introspeksi dan refleksi atas
tata hidup batin. Maka rawatlah dirimu berada dalam
konteks memelihara keseimbangan dan kesehatan tata
batin. Tugas Socrates, sebagaimana diyakininya sebagai
30

perintah dewata, adalah mengajar manusia untuk mengenal
dan merawat dirinya. Prinsip dasar etika socratesian dapat
disimpul secara demikian: bukan badan memberi hidup
kepada jiwa, melainkan jiwa menghidupi badan. Socrates
adalah dokter bagi jiwa manusia.
a.

Keutamaan
Konsepsi dasar mengenai hakikat dengan
sendirinya mengandung pengertian mengenai tujuan
hidup manusia. Apa tujuan otentik dan terakhir
manusia? Apa keutamaan (arête) manusia? Bagi
Socrates arête bukanlah techne. Kebajikan manusia
terletak pada upaya untuk membuat jiwa menjadi baik
seturut kodratnya. Menuai arête berarti menjadikan
jiwa yang terbaik, mewujudkan aku batiniah,
mencapai tujuan akhir manusia rohani, menjadi
bahagia.
Apa artinya arête? Jika manusia dibedakan dari
yang lain karena batin/jiwanya dan jika jiwa adalah
aku sadar, tahu dan rasional, nah arête atau apa yang
mewujudkan secara penuh kesadaran dan inteligensi
demikian adalah ilmu dan pengetahuan. Pengetahuan
adalah nilai tertinggi bagi manusia, membuat jiwa
menjadi sebagaimana seharusnya dan merealisasikan
manusia yang memiliki hakikat dalam jiwanya.
Konsepsi socratesian tentang dimensi rasional
dan sadar sebagai jati diri sejati manusia dan ukuran
kepenuhan realisasi diri telah mengubah susunan nilai
dalam kepercayaan Yunani klasik. Jika bagi para sofis
nilai tradisional terkait erat dengan hal-hal badaniah:
31

hidup, kesehatan tubuh dan kecantikan serta hal ihwal
yang berkaitan dengan aspek eksternal manusia seperti
kekayaan, kepopuleran, kekuasaan dst. Socrates malah
membalik semuanya itu. Baginya nilai tertinggi
terletak pada hal-hal batiniah rasional; jiwa lebih
tinggi daripada badan dan manusia diidentikkan
dengan jiwa.
Konsepsi
sokrates
mengenai
konsepsi
pengetahuan dipertentangkan dengan ketidak tahuan
(paradoks dari arête adalah ignoransi). Ignoransi
adalah kurang pengetahuan dan lemah dalam
kesadaran. Jika seluruh dan setiap arête direduksikan
pada pengetahuan, demikian pula cacat cela manusia,
semua disatukan dalam ignoransi. Konsekwensi dari
proposisi etis semacam ini adalah orang berbuat jahat
dikarenakan ia kurang sadar dan tidak tahu semata.
Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa prinsip
epistemologi dan etis socratesian adalah sebagai
berikut: a) keutamaan adalah pengetahuan dan b)
tiada seorang pun berbuat jahat/ berdosa secara
sadar.
Identifikasi keutamaan dengan pengetahuan
merupakan sebuah revolusi nilai. Mentalitas Yunani
klasik hingga kaum Sofis menganggap keutamaan
bertalian dengan kebiasaan, adat istiadat dan
keyakinan umum masyarakat, dan bukan berdasarkan
penilaian rasional. Socrates menempatkan hidup
manusia di bawah dominasi nalar, sama seperti
menundukkan dunia luar dan material pada akal budi
manusia. Keutamaan bukanlah sekedar menyesuaikan
32

diri pada adat istiadat, kebiasaan dan keyakinan umum
melainkan sesuatu yang dimotivasi secara rasional,
dijustifikasi dan difondasikan di atas pengetahuan.
Itulah pengetahuan tertinggi.
Mengenai tidak seorang pun berbuat jahat
secara sadar, Socrates tentu memiliki alasan
memadai. Tentu saja ia mengakui kebenaran pepatah
video meliora proboque, sed deteriora sequor. Namun
di balik perbuatan jahat yang dilakukannya secara
“sengaja”, ada suatu dunia yang carut cemarut.
Kelemahan moral atau melakukan yang jahat
meskipun hal tersebut adalah buruk merupakan
pengalaman harian setiap individu. Namun tiada
seorang pun melakukan yang jahat karena melihatnya
jahat. Umumnya orang kerap kali melakukan
kejahatan karena pada saat pertama dilihatnya sebagai
kebaikan. Dasar dari setiap perbuatan adalah keinginan
atas kebaikan dan kebahagiaan dan bukan kejahatan
dan kesedihan. Tak seorang pun menilai lebih ide
tentang kekayaan dan kekuasaan, kesenangan dan
keadilan daripada realitas kaya, berkuasa, senang dan
adil; kita tidak pernah mengapresiasi bayangan lebih
daripada kenyataan dan tempelan-tempelan daripada
substansi. Dengan demikian, perbuatan jahat selalu
berdiam dalam penilaian keliru tentang sesuatu hal; ia
berharap dapat memperoleh kuasa, harta benda,
keuntungan, kesenangan dari suatu perbuatan buruk
yang dinilainnya baik. Namun, ia tidak sadar bahwa
semua hal itu kemudian dapat menggerogoti jiwa
secara tamak.
33

b.

Autodominio, Libertas dan Autarchia
Istilah autodominio (έγκράτεια-enkrateia dari
akar kata έγκρατής ) memang berasal dari Socrates
untuk menunjukkan kebaikan ekselen bagi manusia.
Enkrates sendiri merujuk pada orang yang mempunyai
kuasa atau hak untuk mengatur-mengelola sesuatu.
Enkrateia adalah penguasaan atas diri sendiri terutama
dalam kaitan dengan kesenangan dan derita, keletihan
dan dorongan insting dan perasaan. Enkrateia
merupakan penguasaan atas animalitas diri. Menjaga
dan merawat enkrateia dalam jiwa berarti menjadikan
jiwa sebagai tuan atas badan dan nalar atas instinginsting. Kekurangan pengekangan dan kontrol diri
membuat badan berkuasa atas jiwa dan insting-insting
atas nalar (Giorgias, 491d).
Socrates mengidentikan secara tegas enkrateia
dengan έλευθερία-eleutheria, kebebasan. Sebelum
Socrates, kebebasan memiliki makna eksklusif dalam
ranah yuridis dan politik semata, tetapi dengan
Socrates kebebasan memuat makna moral tentang
kekuasaan rasionalitas atas animalitas (Xenophontes,
Memorabili, IV, 5, 2).
Kemudian Socrates mengembangkan gagasan
enkrateia dan eleutheria dan mengaitkan- nya dengan
αùτάρκεια-autarchia. Autarchia berarti otonomi
keutamaan dan manusia bijak. Ide ini kiranya
terinspirasi dari doktrin Antistene yang beranggapan
bahwa tujuan dari setiap orang adalan mencapai
34

autarchia technica, yakni kemampuan melakukan
segala sesuatu yang berguna bagi hidup secara
mandiri. Nah, Socrates ingin memperdalam gagasan
itu dengan menunjukkan tujuan sejati dari setiap
pencaharian seturut hakekat manusia adalah autarchia
moralis.
Ada dua sifat dasar dalam gagasan autarchia: a)
kemandirian terhadap kebutuhan-kebutuhan dan
dorongan-dorongan badani melalui pengontrolan oleh
nalar (psyche) dan b) menjadikan nalar sebagai satusatunya alat untuk mencapai kebahagiaan. Secara
umum gagasan Socrates mengenai autarchia terkait
erat dengan pemahaman umum Yunani klasik tentang
heroisme seperti tergambar dalam Heracles dan usaha
kerasnya (πóνοι): kemampuan mengerjakan sendiri.
Jika heroisme sebelumnya berkaitan erat dengan
perjuangan
melawan
kekuatan-kekuatan
jahat
eksternal, dalam Socrates tekanannya terutama pada
heroisme dalam tataran batiniah,
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa
autodominio merupakan penguasaan nalar dan
pengetahuan (bukan voluntas) atas impulsi inderawi;
kebebasan berkaitan erat dengan kemampuan nalar
(bukan
kebebasan
arbitrio-volitium)
untuk
mewajibkan tuntutannya demi mengatasi tuntutan
animalitas manusia dan autarchia merujuk pada sikap
autosufisien logos manusia dari tuntutan-tuntutan
kebutuhan badani.
c.

Kesenangan dan Kegunaan
35

Dalam Protagoras, Platon lewat mulut Socrates
memperlihatkan adanya keterkaitan timbal balik antara
kesenangan dan kebaikan. Gagasan ini amat baru
karena dalam dialog-dialog yang lain, kedua hal
tersebut ditempatkan pada posisi berlawanan. Apakah
gagasan dalam Protagoras berasal dari Socrates atau
pendapat Platon semata?
Lepas dari persoalan itu, adanya keterkaitan
antara kebaikan dan kesenangan menunjuk-kan bahwa
kebahagiaan tidak terletak dalam penyangkalan
kesenangan, melainkan dalam kalkulasi terhadap
kesenangan. Dalam konteks ini, doktrin Socrates
bahwa keutamaan adalah ilmu dan pengetahuan
mendapat aplikasinya dalam bentuk seni mengukur
kesenangan. Bagi Socrates, kesenangan bersifat netral;
ia tergantung pada pemakaiannya: jika kesenangan
ditundukkan pada disiplin enkrateia dan virtu, hal itu
merupakan sesuatu yang positif.
Berkaitan dengan kegunaan, Socrates selalu
mengaitkannya dengan dunia batin. Semua kegunaan
selalu menjurus pada utilitas animae, sementara
kegunaan material-badani selalu berada dalam terang
kegunaan batin. Jadi parameter kegunaan berada
dalam perspektif arête virtu animae, ilmu dan
pengetahuan dan bukan utilitarisme empiristis,
materialistis dan positivistis.
d. Kebahagiaan
Tujuan dari seluruh proses pengajaran
socratesian adalah kebahagiaan (eudaimonia). Socrates
36

adalah seseorang yang mencari kebahagiaan dan
mengajarkan cara-cara untuk sampai pada penemuan
kebahagiaan tersebut.
Kebahagiaan sama sekali berada di luar hal
ihwal eksterior, badani maupun material. Bagi
Socrates kebahagiaan berkaitan erat dengan dunia
batin, penghalusan dan penyempurnaan dimensi
spiritual lewat keutamaan-keutamaan atau ilmu dan
pengetahuan.
Menyempurnakan
jiwa
dengan
kebajikan-kebajikan berarti mewujudkan kodrat hakiki
manusia atau menjadi individu seutuhnya.
Keutamaan itu dibatinkan seluruhnya dan
dilepaskan dari segala sesuatu yang datang dari luar
dan bahkan dari tubuh itu sendiri. Kebahagiaan berada
dalam jiwa manusia dan dengan demikian ditempatkan
dalam kekuasaan manusia. Singkat kata kebahagiaan
bergantung sepenuhnya pada logos dan pembinaan
rohani. Selain itu keutamaan tidak memerlukan juga
segala sesuatu yang berada diatas manusia. Keutamaan
itu adalah autarchia dan tidak memerlukan suatu
imbalan di masa depan. Gagasan ini memperlihatkan
bahwa secara epistemologis Socrates tidak merasa
perl